Anda di halaman 1dari 28

BAB 9

KEHARUSAN DAN KEBEBASAN MANUSIA


II PERMASALAHAN
Kegiatan manusia, terutama sebagai pengertian dan
penghargaan, menimbulkan pertanyaan akan kebebasan.
Jikalau di dalam segala korelasi Ictnp otonom, apakah itu
berarti bahwa manusia bebas? Bukankah is juga ditentukan
oleh masyarakat sekitarnya, dan oleh pembawaannya pribadi?
Mcnurut banyak psikolog, manusia hanya bebas untuk sebagian
saja sebab iii dideterminasi dan diarahkan oleh proses-proses
bawah-sadar yang tidak diinsafinya. Andaikata demikian, is
tidak dengan penuh bertanggung jawab pula.
Bila ingin menyelidiki soal kebebasan menurut hakikatnya,
pertamaI;ima hares dipertimbangkan struktur manusia yang
normal. Yang direflekxikan ialah 'aku' sendiri yang sadar akan
pengakuan sendiri. Secara konkret uilah 'aku' sejauh telah
dapat mengikuti filsafat manusia, dengan bertitik Iolak dari
kesadaran pribadi, dan sejauh memahami garis-garis hakiki di
ilalam manusia. Keadaan normal itu mungkin bare memberikan
pemahaman Icntang kebebasan orang waktu is sedang tidur, atau
kalau di bawah hipnotis, ntau kalau sakit 'jiwa'. Keadaan ini
mungkin dapat menjadi jelas manakala orang dikuasai hawa
nafsunya sehingga is tidak cukup menguasai diri.
Lazimnya soal kebebasan digabungkan dengan 'kehendak'
manusia, scdangkan dianggap jelas bahwa pengertiannya
tidak memiliki kebebasan. I )ari Bab 8 sudah tampak bahwa
pengertian dan penghendakan, putusan (Ian pilihan, bersatu dan
memiliki ciri-ciri hakiki yang sama. Telah ditemukan juga bahwa
evaluasi intelektual dan afektif tidak dapat dipisahkan dari pelak-
sanaan kegiatan sebagai komunikasi dengan partner. Maka dari
itu, soal kebebasan menyangkut seluruh kegiatan manusia,
terutama pengertian dan penghendakan.
Penyelidikan kebebasan tidak mulai dengan salah sate
rumusan kebebasan, sebab rumusan seperti itu perlu diteliti
dasarnya. Dari analisis hakikat manusia bare menjadi tampak
struktur kebebasan; bukan dengan mencari suatu kebebasan
pada umumnya; yang dicari ialah kebebasan manusiawi.
Kebebasan manusiawi ini hanya diselidiki menurut struktur
faktual, dan itu 'disebut kebebasan psikologis, menyangkut
'dapat dan tidaknya'. Pada fase initidak diperhatikan arah
yang harus diberikan kepada kebebasan, atau aspek normatif,
atau disebut kebebasan moral, tentang 'boleh dan tidaknya',
Oleh karena itu, dalam bab ini tidak dibicarakan hal seperti hak
dan kewajiban, ketaatan dan peraturan.
1 BEBERAPA PENDAPAT FILOSOFIS
Pembagian berikut bersifat sistematis, ditentukan oleh dua faktor,
yaitu (a) kehendak menurut hakikatnya (induk); danputusan-pilihan-
tindakan konkret (sekunder); (b) kesendirian subjek; dan faktor-
faktor'asing', yaitu unsurunsur infrahuman di dalam manusia,
prasejarah, dan objek-milieu.

1.1 Posisi ekstrem:


Adanya objek atau adanya subjek disangkal.

1.1.1 Determinisme total 1.1.1.1


Spiritualistis
Idealisme intelektualistis: Hegel. Pendapatnya adalah bahwa tidak
ada instansi 'asing'; semua objek, prasejarah, dan unsur-unsur bawah-
human diciptakan oleh subjek sendiri. Kehendak menurut hakikatnya
menikmatl kebebasan penuh. Namun, yang dimaksudkan dengan
kebebasan ialah spontanitas intern yang murni. Manusia mengadakan
diri-sendiri, namun menurut keniscayaan hakiki yang mutlak.
Realisasi-dri ini terjadi menurut rasionalitas total, jadi sekaligus
merupakan determinasi total. Putusan-pilihantindakan konkret
mengalir secara determinaif dari keterikatan kehendak pada
hakikatnya sendiri berdasarkan motif-motif rasional yang mutlak jelas,
Spinoza. Kehendak manusia diemanasikm dengan mutlak dari
substansi ilahi, dan mengambil bagian dalam spontanitas
(kebebasan) Tuhan yang intrinsik, karena kesatuan fundamental
deigan Tuhan juga merupakan pilihan konkret dideterminasi. Kesadaran
keb~basan pilihan disebabkan oleh karena pemahaman kurang
lengkap, dan sebab kesadaran manusia tidak insaf akan alasan yang
mengharuskan pilihai itu.
1.1.1.2 M a t e r i a l i s t i s
Mekanisme. Instansi 'asing' mendominir subjek dengan total,
objek, prasejarah, dan unsur-unsur dinamik natural di dalam subjek
menentukannya dengan keharusan alamiah - dalam hakikatnya dan
sampai dengan putusanpilihan-tindakan terakhir.
1.1.2 Indeterminisme total 1.1.2.1
Spiritualistis
Idealisme voluntaristis: Fichte, Royce. Dalam kehendak tidak ada
keterarahan hakiki; dan setiap putusan-pilihan-tindakan konkret
diciptakan manusia sendiri, tanpa alasan apa pun (irasionalisme
total).
1.1.2.2 M a t e r i a l i s t i s
Atomisme. Semua terjadi kebetulan, dari pertemuan dan
penggabungan atom-atom yang kebetulan belaka. '

1.2 Posisi ekstrem sedang:


Kebebasan hanya diberi tempat kecil kepada objek, atau kepada
subjek. 1.2.1 Determinisme sedang
1.2.1.1 Spiritualistis
Dualisme intelektualistis. Kehendak sendiri tidak bebas menurut
hakikatnya, tetapi mempunyai keterarahan hakiki menuju 'yang-baik'.
Di dalam putusan-pilihan-tindakan konkret manusia de facto mengikuti
yang diketahui sebagai baik; praktis tidak ada alternatif dalam pilihan.
Platinos. Dapat dipersoalkan apakah kegiatan yang dikontrol oleh
hakikat manusia masih bebas. Akhirnya, kebebasan berakar dalam
intelek (nous).
Leibniz. Dalam pilihan konkret manusia memang mengikuti
dorongannya sendiri, dan dapat memilih dari antara banyak, namun de
facto ia memilih apa yang kini-sini dipahami sebagai yang lebih baik
(optimisme).
1.2.1.2 Materialistis
Marxisme. Seluruh proses pilihan-pilihan terikat pada hakikat
manusia sebagai bagian materi umum, yang mendorong dengan
mutlak; praktis tidak ada kebebasan.
Strukturalisme. 'Subjek' terikat pada struktur-struktur yang 'abadi'
dalam lingkungan dan hakikatnya sendiri. Yang rupanya kebebasan, itu
hanya

sama dengan kebebasan. Untuk menikmati kebebasan intern itu


manusia perlu membebaskan diri dari segala keinginan akan objek
konkret yang mendorong dengan perbuatan dan tak pernah puas
(sebagai penjelmaan Kehendak Kosmis Asali); dengan demikian, ia
mencapai indeterminasi total yang membahagiakan.
1.3.2.2 Materialistis
Banyak ahli psikologi empiris dan klinis; Freud, Skinner. Di dalam
manusia ada daya-daya dan dorongan-dorongan yang membuat
dengan liar dan tak terarah. Namun, dalam tindakan konkret daya-
daya itu ditampung dan disalurkan oleh lingkungan sehingga manusia
sebagian besar atau sama sekali tidak bebas.
1.4 Usaha Sintesis
Eksistensialisme: Marcel, Merleau Ponty; Paul Ricoeur. Ada dialog
dan kerja sama antara kehendak (the voluntary) dan semua faktor yang
secara tradisional dianggap berlawanan dengan kebebasan: objek dan
motif, prasejarah, dan tubuh-psyche (the involuntary). "The
involuntary" merupakan bagian integral bagi 'aku' sebagai kesatuan,
dan bagi kegiatannya. Pada hakikatnya kehendak itu bebas, namun
tidak tanpa arah; dalam tindakannya manusia bebas, namun tidak
tanpa alasan-motif. Jadi, bukan ada determinisme, bukan pula
indeterminisme. Kebebasan sekaligus keaktifan dan kepasifan, bersifat
kreatif dan reseptif.
2 HAKIKAT MANUSIA DAN KEBEBASAN
2.1 Pandangan Populer
Lazimnya determinasi, keharusan, penentuan, pengaruh, atau
paksaan dianggap bertentangan dengan kebebasan, otodeterminasi,
berdikari, atau orisinalitas; bahkan oposisi itu rupa-rupanya bersifat
kontradiktoris. Sebab 'ditentukan' berarti 'tidak bebas', dan bebas
berarti 'tidak diharuskan'. Deteh minasi lalu dianggap merupakan
ketidaksempurnaan, sedangkan kebebasan merupakan
kesempurnaan. Manusia yang terpaksa menerima determinasi,
dengan tidak mampu melawan atau menolaknya, itu terang tidak
berdaya terhadap desakan itu, bersifat lemah dan kurang sempurna.
Kalau dibandingkan dengan hewan, maka kekhususan manusia
ialah bahwa ia sudah mulai mengatasi segala macam pengaruh
dan determinasi, Namun, ia masih kurang bebas pula sebab dalam
banyak hal masih terpaksa bertindak secara tertentu. Kiranya itu bukan
hanya kebetulan saja, melainkan termuat di dalam hakikatnya sendiri,
yang selalu mengandung ketidaksempurnaan pula. Timbullah
prasangka bahwa manusia tidak pernah (dapat) menikmati kebebasan
lengkap; biasanya hanya 80%, atau 50%, atau 30%, atau lebih kurang
lagi.
2.2 Hakikat manusia 2.2.1
Keharusan
Manusia hanya dapat 'memanusia'; atau dengan lebih konkret lagi:
hanya dapat 'mengaku'. la menemukan diri sebagai fakta yang tidak
dapat diubahkan - dengan struktur tertentu. la manusia, 'aku' konkret
dan unik, dengan ciri-ciri tertentu; ia berkorelasi dengan "Mitwelt"-nya;
ia merupakan badan-yang-menjiwa, ia bertarafempat; objek-formalnya
sebagai cakrawala kegiatannya itu tertentu, yaitu 'manusia', 'mengaku';
ia berkembang dengan terus-menerus, dan tidak bisa tidak
berkegiatan. Jadi, ia tertimpa oleh suatu 'keniscayaan kodrati' yang
termuat dalam hakikatnya. la sudah menemukan diri sebagai manusia
dan tidak dapat lain. la tidak 'bebas' untuk fnenerima atau menolak
hakikatnya sebagai manusia. Bahkan, ia harus menjadi dirinya sendiri,
dan tidak dapat lain daripada meng-'aku'.
2.2.2 Kebebasan
Manusia merealisir diri sejak saat pertama secara otonom; ia
meng'aku'-i dirinya sendiri. la menerima faktisitasnya sendiri dan
menjadi dirinya sendiri dengan keunikannya yang tak terulang. la
bersifat otonom dan berdi-kari. la mengartikan dan menghargakan
dirinya sendiri; dengan kesadaran formal keakuan itu diiakannya.
Manusia menentukan dirinya sendiri; ia bertindak demi diri sendiri
(propter se); sebagai penyebab diri sendiri (causa sui); ia mengambil
diri sendiri di kedua belah tangannya sendiri. Inilah kebebasan induk.
2.2.3 Kesatuan keharusan dan kebebasan
Hanya oleh karena pengiaan ini manusia ('aku') memang ada.
Pengakuan-diri itu terjadi dengan keniscayaan yang mutlak. Mau tidak
mau ia mengakui diri sendiri, dan ia tidak bisa tidak mengamininya.
Jadi, manusia 'terpaksa' bebas; ia tidak 'bebas' untuk bebas atau
tidak: ia 'harus' bebas.
'Keniscayaan' atau keterpaksaan itu bukan bersifat fisiko-kimis atau
biotis atau psikis saja, melainkan merupakan keharusan yang disadari
dengan formal-manusiawi; ia dipahami dan disetujui dengan meliputi
seluruh substansi manusia. manusia 'terpaksa' mengartikan dan
menghargakan diri sendiri, dan mengamini faktisitas hakikatnya. la
harus menerima 'aku'-nya.

Dari lain pihak, hanya pelaksanaan kebebasan fundamental itu


menyebabkan adanya keniscayaan. Hakikat sendiri memang 'diberikan
sebagai data', namun bukan sebagai bejana yang sudah jelas. Baru
dalam penghayatan pribadi tampaklah hakikatku itu apa atau siapa.
Misalnya saja manusia tidak mengakui diri sebagai 'aku', maka ia
sendiri tidak ada, pun pula keniscayaan hakikatnya (pribadi) tidak ada.
Hanya dengan menyetujui dirinya dengan bebas, ia harus benar-benar.
Jadi, manusia dengan bebas menyusun keharusannya pula - dengan
sadar ia mendirikan keterpaksaannya. Manusia meng-'harus'-kan diri
sendiri secara pribadi. Manusia membuat hakikatnya sendiri.
2.2.4 Perkembangan
Subjek, dengan menghayati diri dalam otonomi, makin merealisir
dan mengkonkretkan diri dengan dinamiknya. la makin mendapat
"insight" dalam 'aku'nya, dengan strukturnya; ia makin mengartikan
dan menghargakan keharusannya menjadi 'aku', dan makin 'terpaksa'
melakukan diri dengan bebas. Dengan demikian, ia makin menjadi
substansi.
2.3 Kesimpulan

2.3.1 Keharusan dan kebebasan saling memuat


Pada pengakuan manusia akan diri sendiri tidak didapatkan
pertentangan antara 'bebas' dan 'diharuskan'; bukan dilawankan, dan
bukan dijadikan separoh-separoh. Manusia bebas, karena mengharus;
manusia harus, karena membebas. la keharusan yang bebas, dan
kebebasan yang harus. Kebebasan dan keharusan saling memuat dan
saling mengkonstitusikan. Atau memakai istilah lain: determinasi tidak
mengurangi melainkan mengandaikan dan memuat otodeterminasi
sadar (dari kata Yunani autos, artinya 'sendiri'). Sebaliknya,
otodeterminasi tidak dapat lepas dari determinasi. Keharusan
merupakan cakrawala mutlak bagi pengakuan-diri. Tanpa keharusan itu
tidak ada arah dalam otodeterminasi, - tidak ada sasaran atau alasan.
Indeterminasi hakiki yang total dan mutlak itu mustahil. Kebebasan
tidak pernah lepas dari hakikat mutlak; hanya merupakan
penghayatannya. Keharusan hakiki menuntut adanya pengaminan
bebas; dan pengaminan bebas menuntut ketentuan niscaya. Makin
besarlah yang satu, makin pula besarnya yang lainnya. Mereka sama
rata; mereka co-extensive clan co-incident. Mereka merupakan
determinasi dan kebebasan manusia induk atau hakiki.

2.3.2 Empat taraf


Determinasi atau keharusan inti tidak hanya terbatas pada taraf I
sampai dengan 3. Determinasi hakiki dan otodeterminasi manusia
terdapat pada setiap taraf, sebab masing-masing taraf mempunyai
hakikatnya sendiri yang harus dihayati dengan otonom. Jikalau
otodeterminasi pada salah satu taraf berkedudukan lebih rendah, maka
begitu juga determinasi hakiki; dan sebaliknya. Dari sebab itu
keniscayaan atau keharusan hakiki dalam manusia tidak lebih kecil
daripada hewan atau pohon, melainkan lebih kuat dan intensif.
Keharusan (dan otodeterminasi) manusia justru mencapai puncaknya
pada taraf khas-manusiawi; dan taraf-taraf lebih rendah merupakan
bayangan berkurang dari determinasi dan otodeterminasi itu. Keempat
taraf bersamasama mengintegrasikan keharusan dan kebebasan
manusia yang utuh.
2.3.3 Titik tolak penyelidikan selanjutnya
Dari fakta induk ini harus diselidiki unsur-unsur struktural yang
pokok. Kebebasan ini menuntut mengambil-serius semua struktur
hakiki yang ada di dalam manusia.
3 KEJASMANIAN-KEROHANIAN DAN KEBEBASAN
Biasanya tercampurkan dua aspek yang perlu dibedakan,
3.1 Empat Taraf
3.1.1 Pandangan sehari-hari
Manusia dianggap bebas sejauh putusan-pilihan-tindakannya tidak
dapat diterangkan oleh faktor-faktor badaniah seperti misalnya
proses-proses fisiko-kimis dan biotis, ataupun oleh daya psikis seperti
misalnya watak atau naluri atau nafsu-nafsu. Semua unsur tersebut
dapat diikhtisarkan dengan istilah 'bawah sadar' ("subconscious")
menurut arti struktural. Ialah semua unsur-unsur yang bukan-personal
atau yang infrahuman di dalam substansi manusia sendiri ("id" atau
"Es").
Hewan seluruhnya terikat dan ditentukan oleh proses-proses dan
dayadaya sedemikian, dengan tidak mampu mengelakkannya;
tindakannya hanya merupakan hasil dan akibat determinasi. Manusia
mengatasi keterikatan berkat kerohaniannya. Namun, hanya dengan
sangat terbatas dan kurang sempurna. Dengan tetap kemurnian
kebebasannya diganggu gugat oleh pengaruh dan tuntutan-tuntutan
ketiga taraf lainnya, dan hanya dengan sukar sekali mereka dapat
dikendalikannya. Bahkan, ada ahli psikologi yang ber

BAB 11 LAHIRNYA MANUSIA


0 PERMASALAHAN
0.1 Titik tolak
Bab I sampai dengan 10 berefleksi mengenai manusia yang aktual,
'aku' sekarang ini, menurut semua dimensi dan kegiatannya. 'Aku'
yang aktual itulah yang pertama-tama dapat merupakan dasar bagi
pemahaman hakikat manusia. Berdasarkan pengertian mengenai
struktur manusia yang hakiki inilah dapat dicari pemahaman mengenai
asal usul manusia, sebab struktur hakiki (aktual) ini juga akan berlaku
pada lahirnya manusia.
0.2 'Aku' Konkret
Pertanyaan tentang asal usul manusia itu bukan mengenai manusia
pada umumnya, atau mengenai umat manusia seluruhnya (evolusi).
Hanya dibicarakan manusia individual, 'aku' ini, yang telah melampaui
Bab I sampai dengan 10, dan yang mampu mengakui diri dan
masyarakat/dunianya. Atau dengan lebih konkret yang dipersoalkan
ialah hanya kelahiranku pribadi.
0.3 Dimensi Horizontal
Antropologi metafisik hanya mencari hakikat manusia pada taraf
horizontal. Maka diselidiki ialah (kemungkinan) penyebaban terhadap
manusia baru hanya pada taraf manusiawi saja. Pengaruh Tuhan
didiamkan dulu; baru dipersoalkan sebagai 'penciptaan' pada filsafat
ketuhanan.
0.4 Lahirnya Subjek Baru
Rupanya kelahiran manusia dapat dijelaskan dengan pengertian
akan kelahiran substansi-substansi infrahuman yang dianggap
'materiil': hewan atau pohon. Diandaikan bahwa substansi infrahuman
itu (sebab hanya jasmani') dengan lebih mudah dipahami daripada
manusia, sebab dibutuhkan keterangan tambahan bagi kerohanian
manusia.

Tetapi dualisme dalam hal asal-usul materiil dan spiritual


demikian menjadi mustahil oleh karena kesatuan jiwa-badan di
dalam manusia (Bab 5); dan itu berlaku balk bagi kegiatan orangtua,
maupun bagi anak yang mereka lahirkan. Tidak ada segi yang
mempunyai prioritas. Bahkan, lahirnya hewan atau potion justru
menimbulkan soal metafisis pokok yang sama seperti berlaku bagi
manusia, yaitu lahirnya substansi otonom baru. Bagaimana itu dapat
dipahami? Bukan lahirnya substansi infrahuman yang dapat
memberikan "insight" hakiki mengenai soal itu. Hanya pemahaman
akan hakikat manusia dapat membuka jalan bagi pengertian kelahiran
yang fundamental.

1 PENDAPAT PENDAPAT FILOSOFIS 1.1 Dua


Ekstrem

1.1.1 Materialisme
Seluruh manusia itu melulu materi; dan seluruhnya la
dilahirkan oleh orangtuanya, menurut proses alamiah.

1.1.2 Spiritualisme panteistis


Jiwa diemanasikan dari substansi ilahi, entah dengan telah berada
sebelum kehidupan duniawi (pre eksistensi) atau belum. Jiwa itu
merupakan suatu modifikasi, suatu bagian, atau suatu fase dari
substansi ilahi. Badan itu hanya epifenomena saja.

1.2 Dualisme
Jiwa telah diciptakan sebagai substansi utuh sebelum kehidupan
duniawi (pre eksistensi). Kemudian, jiwa itu dipersatukan dengan
badan, dengan alasan berwarna-warna (Kant, Schelling).
1.3 Usaha Sintesis 1.3.1
Tradusianisme
Tradusianisme berasal dari kata Latin "traducere" yang berarti:
menyc;rahkan, atau memberi-alih. Balk badan maupun jiwa dilahirkan
oleh orangtua, atau diberi-alih dari substansi mereka.
Ada beberapa macam:
(a) tradusianisme materiil: j iwa dikembangbiakkan langsung melalui
mani
badaniah, clan lahir dari substansi badaniah orangtua;
(b) tradusianisme spiritual:
atau mani badaniah hanya merupakan semacam alat pengantara
untuk mencurahkan jiwa orangtua kepada manusia baru; atau
jiwa itu lahir dari semacam mani spiritual yang dihasilkan oleh
jiwa orangtua.
1.3.2 Kreasionisme
Kreasionisme ialah ajaran skolastik yang tradisional, mulai abad-
abad pertengahan. Jiwa itu dipersatukan secara substansial dengan
badan, tetapi pada ketika itu juga baru diciptakan oleh Tuhan secara
langsung. Dengan demikian, Tuhan menjadi sumber satu-satunya bagi
adanya jiwa.
Menurut Thomas j iwa manusia baru tidak dapat dengan langsung
berasal dari (dilahirkan oleh) orangtua. Jiwa itu subsisten, dan
transenden terhadap materi; - sedangkan kegiatan orangtua pada
kelahiran hanya terbatas pada bidang materiil saja. Maka orangtua
menyediakan materi bagi manusia baru; pada saat persiapan itu
sudah cukup, maka jiwa - dengan diciptakan sekaligus - dimasukkan
ke dalam materi sebagai prinsip formal ("forma") manusiawi.
1.3.3 Rosmini (abad ke-19)
Pada manusia baru'jiwa sensitif' lahir dari orangtua, seperti juga
terjadi dalam hal nyawa hewan. Lalu, oleh karena pada suatu waktu
berintuisi akan ide 'berada', maka jiwa sensitif itu berubah menjadi
jiwa rasional.
1.3.4 Frohschammer (abad ke-19)
Jiwa tidak diberi-alih oleh orangtua (entah secara spiritual, atau
materiil, tetapi jiwa orang barn 'diciptakan' oleh orangtua, berkat suatu
daya istimewa yang dikurniakan Tuhan kepada mereka.
1.3.5 Hominisasi
Menurut teori Teilhard de Chardin mengenai kesatuan kompleksifikasi
dan interiorisasi di dalam satu substansi sepanjang seluruh evolusi,
kiranya juga dalam kelahiran manusia unik baik badan maupun j iwa
dihasilkan oleh orangtua. Teilhard berpendapat bahwa ajaran skolastik
mengenai penciptaan jiwa yang langsung dapat disesuaikan dengan
teorinya tentang evolusi itu.

Karl Rahner menolak ajaran skolastik klasik itu. Orangtua


menghasilkan seluruh manusia baru, badan dan jiwa. Dengan
demikian, mereka 'mengatasi' diri sendiri pula ("Selbstuberbietung").
Kelebihan itu hanya mungkin sebagai partisipasi akan kegiatan kreatif
yang tak terbatas: Tuhan.
2 MANUSIA MENGADAKAN MANUSIA
Pertanyaan yang harus dijawab ialah: sejauh mana manusia
dapat melahirkan manusia. Perlu diulangi beberapa hal mengenai
keadaan manusia aktual dulu sebelum dapat dipertimbangkan asal
usulnya.
2.1 Komunikasi
Manusia berkornunikasi dengan manusia. Komunikasi itu bukan
hanya berarti bahwa menyampaikan kepada partner macam-macam
objek atau alat saja. Pada dasarnya manusia mengkomunikasikan
dirinya sendiri. Maka di dalam komunikasi mereka saling
memperkembangkan menjadi lebih manusia. Manusia saling
menciptakan kembali (rekreasi); tanpa henti-hentinya seakan-akan
saling melahirkan. Maka komunikasi antarmanusia dalam pertemuan
dan dialog merupakan 'penyebaban' yang paling efektif dan vital
(Bab 7), yaitu menyampaikan adanya-manusia kepada partner.
Komunikasi ini sebetulnya tidak pernah hanya berdua. Permanusiaan
satu sama lain ini beriri dalam konteks komunikasi lebih luas yang
meliputi banyak orang lain pula.
2.2 Lama dan Baru: Kreatif
Di dalam komunikasi antarsubjektif terdapatlah kontinuitas dan
diskontinuitas. Dan satu pihak, partner (clan subjek) tetap sama
saja; dari lain pihak, muncullah yang serba baru di dalam mereka.
Komunikasi itu kreatif; namun tidak lepas dari yang-lampau. Seakan-
akan semua berjalan dengan sendirinya, seperti biasa, tanpa ada
yang mengherankan sehingga dapat diramalkan dan dinantikan. Dan
toh diciptakan kemanusiaan baru, berubahlah semuanya, muncullah
yang tak terduga.
Hasil baru dari komunikasi timbal balik, walaupun berakar di
dalam yang 'sudah', mengatasi sebab-sebabnya secara entitatif.
Prinsip klasik "Nemo dat quod non habet" ('Orang tidak memberi yang
tidak dimilikinya') itu kurang benar. Yang baru itu termuat di dalam
subjek dan partner sebagai harapan dan janji; clan dalam
antarkomunikasi dilahirkan sesuatu yang belum ada sebelumnya. Yang
baru benar-benar mengatasi yang lama.
2.3 Manusia Unik
Komunikasi antarsubjekif itu tidak hanya menyampaikan
kemanusiaan yang umum. Subjek itu unik, dan partner juga serba
osirinal (otonom). Komunikasi justru berarti: mengakui yang serba
lain. Maka komunikasi - diri dari pihak subjek diterima dan dihayati
oleh partner secara serba 'lain'. Manusia itu untuk seratus persen
menerima diri dari sesama dan dunia infrahuman (pasif) namun pula
ia menentukan dirinya sendiri secara otonom clan unik (aktif). la
dideterminasikan, tetapi itu justru sekaligus merupakan pengakuan-
diri. Maka komunikasi antarmanusia itu menyebabkan akibat yang
serupa dengan penyebab sendiri (subjek): sekaligus memuat
subjek yang unik, dan mewujudkan kelainan partner. Dan antara
subjek clan partner ada keseimbangan keaktifan clan kepasifan.
Hanya di dalam dialog bersama yang bersifat orisinal dari dua belah
pihak, jadilah komunikasi yang efektif.

2.4 Jasmani-Rohani
Jiwa dan badan manusia identik secara real (bukan secara formal,
atau sebagai konsep). Maka komunikasi antarsubjektif juga selalu
bersifat jasmani-rohani. Kegiatan paling spiritual pun seluruhnya
juga material, yakni diwujudkan dan berdimensi-dimensi. Sebaliknya
komunikasi material juga bersifat spiritual, yaitu digayakan dan
difokuskan. Komunikasi rohani itu membadan; dan komunikasi
jasmani itu menjiwa. Maka penyebaban antarmanusia itu hanya satu
saja: seluruhnya jasmani-rohani, sejajar.
Di dalam kegiatan yang satu itu masih dapat dibedakan empat
taraf, yang tidak terpisahkan. Yang paling tinggi seakan-akan
muncul dari yang rendah dan, sebaliknya, meresapi kembali clan
'mengangkat' yang rendah. Maka manusia menyebabkan adanya
manusia lain itu menurut keempat taraf bersama-sama.
3 MANUSIA MELAHIRKAN MANUSIA BARU
Struktur hakiki, yang termuat di dalam antarkomunikasi
manusia selama proses perkembangannya, juga menentukan
permulaan proses itu. Jikalau manusia (dapat) 'mengadakan'
manusia lain menurut keunikannya dan sekadar manusia, maka ia
juga (dapat) melahirkan manusia baru. Dari segi ontologis
permulaan proses itu lebih sederhana clan lebih mudah daripada
perlangsungannya.
3.1 Komunikasi
Seperti manusia hanya berkembang di dalam komunikasi, begitu
juga manusia baru lahir hanya di dalam dan karena komunikasi. Sambil
berkomunikasi satu sama lain dan sambil saling memanusiakan,
orangtua mengkomunikasikan kemanusiaan kepada anaknya pula.
Seperti orangtua saling membuat lebih manusia, demikian pula anak
menerima diri seluruhnya dari orangtua sebagai manusia yang utuh, di
dalam penyebaban manusia yang langsung. Jadi, kelahiran manusia
bukan suatu penyebaban serba luar biasa, melainkan merupakan
permulaan normal dari suatu proses manusiawi yang normal.
3.2 Lama dan Baru: Kreatif
Komunikasi orangtua, sekalipun merupakan proses kontinu, bersifat
kreatif pula, baik antara mereka sendiri, maupun bagi anak. Justru
dalam anak itu kebaharuan lebih tampak lagi sebab tadinya belum ada
sama sekali (kecuali dalam harapan dan janji). Anak itu sekaligus sama
dengan orangtua, radikal-baru dan tak terduga. la berakar di dalam
sebab-sebabnya (orangtuu ), clan mengatasi sebab-sebab itu. Dapat
diramalkan sebagai kontinuitas prosc;N komunikasi, dan muncul sebagai
diskontinuitas total. Anak itu mengandung seluruh masa lampau
(orangtua), dan merupakan permulaan total-baru.
3.3 Otonomi Unik
Sambil saling mengakui dan saling mengadakan menurut keunikan
musing-masing, orangtua bersama-sama melahirkan pusat otonom
barn yans serba orisinal. Dari satu pihak, anak menerima dirinya
sendiri seluruhnyu dari orangtuanya; ia disebabkan menurut seluruh
adanya dan segala seginyu; ia dideterminasikan oleh mereka menurut
segala aspeknya: potongan badannya, warna matanya, kepandaiannya.
Dari lain pihak, satu detik pun ia bukan hanya 'pasif saja. Sejak saat
pertama ia menerima dirinya dengan aktif, dalam otodeterminasi. la
memiliki diri dalam otonomi dan pengakuran-diri. Anak itu tidak lain dari
orangtuanya; ia hanya memuat dalam dirinya sendiri komunikasi-diri dari
orangtua; ia hanya memuat dalam dirinya sendiri komunikasi-diri dari
orangtua; ia menyerupakan orangtuanya. Semua sifat-sifatnyu dihayati
secara unik dan tak terulang. Di dalam dan karena korelasi teruh -
menerus, anak itu makin memperkembangkan dan menampakkan
orangtuanya di dalam dirinya sendiri. Bersama dengan itu ia makin
berbeda dad mereka, dan membedakan diri dari mereka, menjadi
serba 'lain'. la selHlu dan makin hasil komunikasi, dan pula la makin
menghayati diri dengan berdikari.
Anak itu juga mengkomunikasikan dirinya sendiri kembali kepada
orangtua. Mereka diperkaya oleh kelahiran anak dan oleh responnya.
Komunikasi dwitunggal mereka diperluas dan diperdalam menjadi
komunikasi tritunggal; menjadi benar-benar keluarga.
3.4 Jasmani-Rohani
Penyebaban manusiawi yang melahirkan manusia baru bersifat
jasmanirohani, baik dalam kegiatan orangtua, maupun dalam hasilnya:
anak.
Komunikasi orangtua itu memuat seluruh 'ada' mereka, jiwa-
badan, sejajar. Penjebaban mereka hanya satu, - yaitu utuh-
manusiawi, jasmanirohani - baik sebagai hubungan suami-istri, maupun
kepada anaknya. Penyebaban itu yang bertaraf empat: bukan hanya
bersifat fisis-biotis, atau psikisinstingtif. Semua taraf termuat di
dalamnya, tetapi seluruhnya bersifat formal-manusiawi.
Orangtua mengkomunikasikan kepada anaknya seluruh jiwa-
badan mereka, dengan keempat taraf sehingga anak juga mereka
hasilkan menurut jiwa-badannya. Manusia utuh mereka lahirkan. Jadi,
manusia baru sebagai hasil sama sekali tidak 'mengatasi' kegiatan
orangtuanya. Anak justru dijadikan oleh orangtua sebagai pribadi;
dan seluruh komunikasi mereka manuju kepada kepada pengakuan-
diri yang formal dalam anaknya.
4 BEBERAPA CATATAN 4.1 Permulaan
dan Proses
Pengandungan pertama ("conceptio") tidak boleh dilepaskan dari
perkembangan pertama selama 9 bulan sampai pada kelahiran anak;
dan juga harus terus dilihat dalam hubungan dengan seluruh pendidikan
sesudah kelahiran. Bukan permulaan itu yang paling penting, melainkan
sebaliknya. 'Penciptaan' anak baru mempunyai arti bagi orangtua
sejauh itu sekaligus mengandung kesediaan untuk melahirkannya dan
mendidiknya. Pembentukan pribadi anak di dalam antarkomunikasi
pendidikan itu jauh lebih penting daripada saat kelahiran aktual.
Kelahiran sendiri memuat janji dan tekad untuk bertanggung jawab
bagi seluruh perkembangan anak.
4.2 Kapan Menjadi Manusia?
Pada abad pertengahan Thomas berpendapat bahwa manusia baru
berjiwa (manusiawi) sesudah beberapa waktu: untuk anak pria sesudah
40 hari; untuk anak wanita setelah 80 hari, yaitu jikalau janin ("foetus")
telah berbentuk manusiawi. Jikalau materi sudah cukup disiapkan
(didisposisikan), timbullah dengan sendirinya jiwa vegetatif; kemudian
setelah berkembang lagi, muncullah jiwa sensitif yang menggantikan
jiwa vegetatif; sampai akhirnya embrio telah dapat menerima jiwa
rasional yang dengan langsung diciptakan Tuhan. Ada juga pendapat
bahwa sebelum pertemuan antara "sperma" dan "ovum", kedua-duanya
sudah berjiwa.
Sekarang pun, sekitar persoalan pengguguran ("abortus") ada
banyak orang berpendapat bahwa janin itu baru manusiawi sesudah
beberapa waktu: 6-8 minggu sampai 6 bulan lebih (kalau anak sudah
"viable"). Tetapi jikalau hasil komunikasi orangtua memang kemudian
benar-benar manusia, maka itu dari semula telah formal-manusiawi
pula. Andaikata bukan manusiawi dari saat pertama - sejak komunikasi
manusiawi mereka yang mendalam itu - maka tidak dapat dipahami
bahwa manusia menjadi manusia pada suatu saat kemudian.
Dilihat dari segi biotis, sejak saat kesatuan "sperma" dan "ovum"
terbentuklah set yang tidak lagi dapat diidentifisir dengan salah satu
dari orangtua. Set itu merupakan substansi yang berdikari; dan seluruh
"kode" genetis bagi manusia konkret-unik sudah lengkap termuat dalam
"gene-gene" yang baru. Maka dari permulaan set pertama itu sudah
terarah kepada adanya manusia dewasa jadi sudah masuk bidang
formal-manusiawi. Hanya tinggal diperkembangkan, clan
perkembangan itu merupakan kesatuan dinamis.
Walaupun kemanusiaan telah lengkap sejak saat pengandungan
pertama, dibutuhkan waktu lama sebelum bentuk manusiawi tampak
secara empiris; dan lebih lagi sebelum kesadarannya (pengakuan-diri)
tampak.
4.3 Penciptaan
Penciptaan Tuhan tidak dibicarakan di dalam antropologi. Tidak
disangkal pula. Hanya ditemukan bahwa orangtua menyebabkan atau
mengadakan seluruh manusia baru. Tuhan tidak bersaingan dengan
manusia, dan kegiatan penciptaan tidak dapat dijejerkan dengan
kegiatan manusia. Yang diadakan oleh manusia itu, seluruhnya juga'
diadakan (diciptakan) oleh Tuhan. Itu berlaku untuk kegiatan manusia
mana pun, jadi juga bagi pelahiran manusia baru. Jikalau menyelidiki
tempat khusus yang diduduki manusia baru dalam penciptaan Tuhan,
maka perlu diingat beberapa hal.
4.3.1 Hubungan aktual antara Pencipta dan ciptaan
Penciptaan umum bukan pertama-tama mengenai permulaan,
mc;lainkan mementingkan hubungan aktual antara Pencipta dan
ciptaan sekarung ini. Begitu juga permulaan manusia konkret tidak
serba lain menjadinya daripada keseluruhan hidupnya.
Ketergantungannya dari Tuhan yang aktual juga memberikan
pemahaman tentang permulaannya.
4.3.2 Seluruh manusia jiwa-badan diciptakan Tuhan
Bukan hanya j iwa, melainkan seluruh manusia jiwa-badan
diciptakan Tuhan - dengan sama nilainya dan sama langsungnya.
4.3.3 Satu macam penciptaan
Tidak ada dua kelas penciptaan Tuhan: yang satu umum dan biasa,
yang lain khusus. Hanya ada satu macam penciptaan saja. Namun,
makin tinggi dan makin intensif ciptaan itu, makin mendalam
pula hubungannya dengan Tuhan. Jadi, memang relasi manusia dengan
Tuhan itu spesial namun tetap serupa dengan relasi substansi-substansi
infra-human dengan Pencipta.

BAB 12 KEMATIAN MANUSIA


0 PERMASALAHAN
0.1 Fakta Kematian
Manusia berkembang dengan memuncak (Bab 3). Namun, tidak ter-
sangkal pula fakta kematian. Bagaimanakah perkembangan dan
kematian itu harus dibayangkan? Apakah memang seluruh kenyataan
manusia akhimya dihapus clan binasa? Ataukah kematian merupakan
peralihan kepada keadaan tetap dan definitif?
Menurut kesan spontan saja badan manusia meninggal dan
hancur; rupanya hanya bagian rohani mencapai keadaan tetap
yang disebut keabadian. Dengan demikian, hanya satu aspek atau
bagian dari keseluruhan manusia mengalami kematian. Jiwa lolos dari
kematian; jiwa terpisah dari badan.
Sebenarnya manusia adalah jiwa-yang-membadan dari badan-
yangmenjiwa. Jiwa clan badan sejajar, dan tidak dapat dipisahkan.
Jadi, jikalau manusia meninggal, seluruh manusia, jiwa-badan,
meninggal. Jikalau manusia itu tetap, maka seluruh manusia, jiwa-
badan, tetap. Bagaimanakah pertentangan ini dapat diatasi?
0.2 Kematian Manusia
Ada kecenderungan untuk memandang kematian manusia dengan
bertitik tolak dari pengalaman mengenai segala macam makhluk
pada umumnya. Segala-galanya saja yang hidup itu juga mati:
tumbuh-tumbuhan, hewan dari manusia. Maka kematian dinilai
menjadi nasib natural bagi egala sesuatu yang hidup. Manusia ikut
serta dalam hakikat alam semesta: ia lahir, berkembang,
menyumbangkan dirinya kepada dunia, dan akhimya mati lagi.
Hakikat kematian dapat dirumuskan sebagai "berakhirnya kehidupan"
(cessatio vitae), atau "berhentinya makhluk" (cessatio entis viventis).
Dengan demikian, kematian menurut hakikatnya diartikan serba negatif
Kemudian, harus dihadapi pertanyaan khusus bagi manusia: apakah di
samping kematian masih ada segi lain pula yang lebih positif, yang
tidak binasa, atau tidak meninggal?
Dengan cara pandang itu kematian hanya merupakan sisa dunia
infrahuman di dalam manusia, dan belum diungkapkan sebagai
peristiwa khasmanusi
awi. Kematian justru harus diterangkan sebagai peristiwa
manusiawi secara penuh dan formal. Bagi pohon dan hewan hal tersebut
merupakan kematian tersembunyi, atau hanya real dalam ketakutan
buta dan instingtif. Tetapi manusia sadar bahwa ia akan meninggal
dengan tidak terelakkan. Kesadaran itu harus diperhitungkan dan
dieksplisitkan.
Kecuali itu, bagi pohon dan hewan pun sama sekali belum
disinggung persoalan lebih fundamental: bagaimanakah mungkin
bahwa makhluk yang telah hidup dapat berhenti? Sebetulnya
kematian pohon dan hewan pun tidak jelas hakikatnya. Pendekatan
melalui dunia infrahuman itu terlalu empiris dan fenomenal. Kematian
hanya dipandang sebagai fakta biologismedis saja sehingga baik
istilah "dapat mati" (mortal), maupun "tidak dapat mati" (immortal) itu
juga hanya tinggal konsep biologis-medis saja. Padahal, kematian harus
diberikan pemahaman noumenal (metafisis dan hakiki). Justru pada
manusia soal itu memuncak, dan terutama dalam hal manusia
harus dipecahkan dulu. Baru dari pemahaman kematian manusialah
juga kematian hewan dan pohon dapat dijelaskan.
0.3 Kematian Manusia Pribadi
Manusia tahu akan kematian berdasarkan peristiwa kematian orang
lain, sebagai suatu pengalaman umum. Maka kematian bagi manusia
lalu suatu fakta di luar di sendiri. Namun, dengan demikian kematian
belum merupakan unsur eksistensial; belum menjadi kenyataan bagi
dia pribadi. Yang mau ditemukan ialah bukan kematian umat manusia
pada umumnya, melainkan kematian perseorangan.
Kematian harus direfleksikan dengan bertitik tolak dari pengakuan
akan diri sendiri. Dengan menangkap diri sendiri dari dalam, ia harus
menyelidiki kematian sebagai unsur intrinsik di dalam dinamika
kehidupannya pribadi. Kematian yang diteliti dalam bab ini ialah
kematian pribadi. Manusia sendiri ada di tengah-tengah jalan ke arah
kematian; selama seluruh hidupnya ia menuju ke peristiwa itu.
Melalui eksistensi yang real kematian pribadi harus diraba-raba
dalam 'iman' filosofis, dan harus diramalkan sebagai misteri personal
yang makin mendalam.
1 BEBERAPA PANDANGAN FILOSOFIS 1.1
Keabadian supraindividual 1. 1l Monisme
spiritual dan panteisme
Tidak menerima keabadian perorangan. Mungkin manusia menga
lami
suatu re-inkarnasi: dilahirkan kembali, entah untuk menebus
kesalahannya, entah karena alasan lain. Tetapi jiwa perorangan berakhir
dengan dihisap ke dalam realitas ilahi.
1.1.2 Averroes
Averroes tidak menerima keabadian pribadi, tetapi hanya
keabadian satu intelek umum bagi semua orang.
1.2 Tanpa Keabadian 1.2.1
Materialisme
Manusia hanya merupakan bagian dari dunia materiil, yang
berubah dan berkembang dengan terus-menerus. Dunia dan masyarakat
sebagai keseluruhan melangsungkan realitasnya, tetapi manusia
individual meninggal dan hilang. la cuma memiliki 'kebadian'
fungsional sejauh ia hidup terus dalam anaknya, hasil karyanya dan
pengaruhnya, penghargaan dan kenangan orang.
1.2.2 Humanisme
Sebab kebadaniahan itu hakiki bagi manusia, maka seluruh
manusia meninggal dan musnah dalam kematian. Kesadaran akan
kematian itu mengisi manusia dengan kecemasan eksistensial, yang
memungkinkan macammacam sikap. Stoa: Manusia melebur menjadi
satu kembali dengan alam; itu ditunggu dan diterima dengan tenang
dan tanpa panik.
Schopenhauer: Kematian dinantikan sebagai pembebasan dari hidup
yang serba jahat dan jelek. Selama hidup pun manusia harus mulai
melepaskan diri dari segala kehendak atau keinginan akan hidup
supaya tercapai damai total dalam 'ketiadaan' atau Nirwana.
Nietzsche: Manusia dengan bangga harus menantang kematian.
Freud: Di dalam manusia ditemukan suatu dorongan atau keinginan
tak sadar menuju kematian.
Heidegger: Kematian adalah kemungkinan ultim bagi manusia
sebagai proyek. Oleh karena itu, tampak segala kemungkinan hidup
dan totalitas dunia (die Seienden) itu tidak penting. Namun, manusia
harus menerima faktisitas hidup dan mati dengan ketabahan; dan
dengan menghadapinya ia

akan memahami juga "das Sein". Sartre: Dari kematian yang tidak
masuk akal tampaklah bahwa seluruh eksistensi manusia dengan
segala kebebasannya ia absurd (une passion inutile). Tetapi kebebasan
harus dipergunakan dengan keberanian sampai akhir. Camus: Akhirnya
satu-satunya soal filosofis yang sah ialah soal 'bunuh-diri'.

1.3 Keabadian Perorangan 1.3.1


Kant
Tidak dapat dibuktikan keabadian dengan logis; disangkal pun tidak.
Hanya dituntut oleh intelek praktis, dengan jalan pikiran sebagai
berikut. Kehendak manusia tunduk kepada perintah kategoris
yang diberikah oleh hukum moral (du sollst). Secara mutlak kehendak
mempunyai sebagai objek: realisasi kebaikan tertinggi. Realisasi itu
hanya mungkin jikalau intensi kehendak itu secara sempurna
mencocokkan diri dengan hukum moral; pencocokan itu berarti: kesucian
sempurna. Pencocokan sempurna itu hanya dapat dihayati kalau ada
kemajuan tidak terbatas. Itu mengandaikan perlangsungan terus
(duratio) yang tidak terbatas; dan perlangsungan terus itu sama dengan
immortality.
1.3.2 Dualisme yang mementingkan segi spiritual
Tradisi Plato-Aristoteles-Skolastik dan selanjutnya mengakui
keabadian jiwa, sedangkan badan itu hancur. Bagi Plato jiwa itu serba
rohani dan tidak dapat mati. Sesudah hidup ini (eventual sesudah
beberapa re-inkarnasi) j iwa akan kembali kepada dunia ide-ide, dengan
menyimpan ide-ide yang sudah dipahaminya selama hidup ini.
Pendapat Aristoteles tidak jelas.
Para Skolastik melandaskan keabadian jiwa pada ketunggalan. Jiwa
serba rohani tidak memuat materi; jadi tidak dapat hancur oleh karena
pembongkaran suatu bagian intern. Daya jiwa, yaitu akal budi dan
kehendak, saling meresapi; mereka tidak akan memberontak satu sama
lain dan dengan demikian mengancam adanya jiwa. Apalagi jiwa itu
demikian tak tergantung sehingga tidak mungkin dipatahkan
kesatuannya dari luar.
1.3.3 Para eksistensialis teistis
Walaupun rupanya seluruh manusia dimusnahkan, kematian
dihadapi dengan kepercayaan.
Marcel: Bercinta kasih berarti mengatakan, "Engkau tidak akan
mati." Sebab di dalam cinta kasih kita termuat suatu kepastian yang
menjembatani kematian. Jaspers: Hanya di dalam kecerobohan dan
kegagalannya manusia

akan menemui hakikatnya sendiri. Kematian sebagai "Grenz-situation"


terakhir akan membuka jalan pemahaman definitif.
1.3.4 Pada umumnya
Kontinuitas antara hidup ini dan hidup abadi diterangkan dengan
beberapa cara:
1. Apokaliptis: Seluruh manusia hancur dan silam dulu, lalu
timbullah 'manusia' serba baru yang diskontinu dengan
hidup lama. Demikianlah terutama banyak pemikir
reformatoris.
2. Teleologis: Jiwa-sesudah-mati mempunyai kontinuitas dengan
hidup duniawi dan pula diskontinuitas; keabadian merupakan
kristalisasi hidup ini. K. Rahner dan St. Boros berpendapat
bahwa sebelum kematian definitif manusia berkesempatan
mengambil putusan-pilihan terakhir dengan penuh sadar.
3. Profetis: Harapan akan keabadian itu sebagian besar hanya
khayalan dan proyeksi keinginan subjektif. Tetapi di dalamnya
termuat suatu inti benar, yang cuma merupakan suatu
harapan gelap dan penyerahan, tanpa tahu hasilnya.
2 DINAMIKA PERKEMBANGAN MANUSIA
2.1 Mutlak dan Memuncak

Kegiatan manusia (yang baik dan yang jahat) benar-benar bersifat


se
rius. Dalam pengakuannya manusia merangkum diri dan dunianya
secara
sadar dan formal. Di dalam putusan dan pilihannya ia
mempertaruhkan
dirinya seluruhnya dengan tahu dan mau. Kebebasan manusia
berarti dan
bernilai mutlak. Kebijaksanaan dan kebaikannya, pun pula
kejahatan dan
dosanya, bukan hanya disposable, yang mudah ditanggalkan dan
dimus
nahkan: bukan hanya bersifat throw-away: sekali dipakai dapat
dibuang.
Hasil kebebasan itu berharga intrinsik dan transenden, demi
dirinya sendiri.
Manusia berdinamika intrinsik. Ia berkembang dengan memuncak,
dan
tidak pernah dapat merosot lagi. Yang sekali terjadi, tetap terjadi;
dan segala
kegiatannya, pengertian dan penghargaannya, segala komunikasi
dan parti si -
pasi, mengendap dalam dia dan dalam yang-lain. Setiap kali ia
mengaijooil
keputusan nyata dan benar dan mengambil posisi secara
personal; ia meaipr:r
kokoh milik-dirinya. Pengakuan-diri berkembang; kepadatan intern
dann pe
nyempurnaan wujud bertambah. Makin ia tahu dengan pasti akan
kebenaran
dan kebaikan, dan makin pula ia memilih tanpa ragu-ragu lagi. la
membangun
kebenaran dan kebaikan, kebebasan dana kemanusiaan, di dalam
dunia ini
dengan kreatif. Dan hasil itu tidak pernah dapat dianggap tidak
terjadi. Endapan dari yang lampau itu bukan sementara dan darurat
saja, melainkan berarti dan bernilai mutlak dan definitif; tidak
terbatalkan atau tercabutkan dengan mudah lagi. Tidak pernah
manusia dapat mulai dari titik nol lagi. la tidak hidup dalam gerak-
lingkaran yang selalu mengulang diri kembali; ia menciptakan
kemanusiaan yang unik dan tak terulang.
2.2 Pemberhentian
Dinamik manusia ini, dengan melangsungkan jalannya secara
kontinu, bukan dengan sendirinya saja mencapai titik akhir. Menurut
hakikatnya dapat memuncak terus-menerus tanpa pernah mencapai
puncak definitif. Bukan hanya aktualitas manusia bertambah, tetapi
juga potensialitasnya berkembang, baik menurut keluasannya
(ekstensi) maupun menurut kepadatannya (komprehensi), sehingga
manusia makin berdaya pula.
Dapat dibayangkan bahwa pada suatu ketika penyatuan kerohanian
manusia dapat menjadi sedemikian kuat sehingga mampu mendobrak
dinamik materialitas yang berkembang terus-menerus, dan
menghasilkan pembekuan badan secara komplit dan definitif. Atau
sebaliknya, bahwa pada suatu saat perwujudan materialitas dapat
menjadi sedemikian stabil sehingga mampu memikat dinamik
spiritualitas yang tak terbatas, dan menghasilkan pembekuan jiwa
secara total dan definitif. Namun, bayangan demikian melawan
kesamarataan j iwa-badan. Bukan j iwa bukan badan dapat
menyebabkan pemberhentian. Badan atau wujud makin dapat
diruncingkan dan diperhalus sehingga makin memberikan wajah
kepada pengakuan manusia. Jiwa atau gaya makin dapat diperketat
dan dipadatkan sehingga makin menyatukan pengakuan manusia.
Menurut jalan ini tidak pernah akan tercapai wujud atau gaya
definitif.
Begitu pula baik otonomi manusia maupun korelasinya menurut
hakikatnya dapat berkembang, diperluas, dan diperdalam, tanpa
pernah mencapai titik akhir. Tidak mungkin bahwa salah satu dari
kedua aspek itu begitu saja membekukan yang lainnya.
Dinamik ini tidak dapat berjalan terus untuk selama-lamanya.
Pada suatu waktu harus berhenti, sebab proses perkembangan
manusia tanpa akhir yang jelas itu sudah kehilangan segala arti dan
nilai. Pemberhentian dinamik perkembangan itu terjadi dalam
kematian.
2.3 Kesia-siaan tidak Masuk Akal
Jikalau kemutlakan manusia menurut hakikatnya memuncak, maka
tidak masuk akal, andaikata seluruh perkembangannya toh berakhir
dalam nothing
ness (ketiadaan). Mustahillah pemuncakannya menuju kekosongan dan
pengingkaran yang total. Sebab andaikata menurut hakikat manusia
demikianlah titik akhir, maka itu meresapi dan menyifatkan seluruh
proses perkembangan. Lalu kebebasan manusia hanya menciptakan
yang dapat ditiadakannya lagi tanpa kesulitan. Tanggung jawab
manusia merupakan keterarahan kepada yang tidak bernilai dan
tidak berarti, yang selalu dapat direvisi kembali. Keunikan manusia
berupa 'uang palsu'. Yang ditemukan sebagai yang paling berharga
oleh manusia di dalam dirinya akhimya ternyata kesia-siaan belaka.
Justru pertimbangan inilah membuat kematian begitu berat bagi
orang yang entah karena apa meyakinkan diri bahwa kematian
merupakan pembongkaran definitif. Kematian pohon dan hewan itu
diterima dengan mudah sebab rupanya selama hidupnya mereka
telah mencapai realisasi cukup; mereka telah berbuah atau telah
beranak; fungsi mereka telah selesai. Yang dibangun manusia itu
begitu definitif dan mutlak: otonomi dan korelasi, cinta dan
kesetiaan, kebaikan dan kejujuran; dan masih begitu banyak dapat
diharap dari dia. Tetapi bagi manusia kematian itu tidak hanya
menghalangi perkembangan lebih lanjut, clan memutuskan harapan
akan kekayaan lebih besar; melainkan juga membinasakan semua
yang telah dicapai dan yang dianggap tidak musnah. Maka seluruh
kehidupan tampak sebagai kekeliruan tragis. Tidak ada pemahaman;
hanya ada ancaman penghapusan inti sari manusia sendiri yang tak
terelakkan. Itu yang menyebabkan ketakutan manusia di hadapan
kematian. Kematian itu lalu mencekik dan membunuh segala
aspirasi orang.
2.4 Harapan Kristalisasi
Namun, nasib malang inilah melawan hakikat manusia. Justru
tokohtokoh yang menjadi manusia matang dan padat, entah dalam
kebaikan atau dalam kejahatan, mereka sadar akan kemutlakan dan
ketetapan hasil karyanya. Setiap "cynicism" yang radikal terhadap
akhir manusia bagi mereka serba asing. Berdasarkan kenyataannya
setiap manusia mencita-citakan, mengharap, menantikan, dan
menuntut suatu pemenuhan dan pembulatan definitif. Seluruh
kesadaran diri menunjukkan suatu titik kristalisasi atau penghabluran
yang mengepalkan proses pemanusiaannya dengan hasib. Hakikat
manusia memuat harapan spontan dan intrinsik akan pemberhentian
yang positif.
3 STRUKTUR KEMATIAN MENURUT SEGI NEGATIF
Kemungkin kematian sebagai pemberhentian dinamik
perkembangan itu harus ditemukan di dalam struktur manusia
sendiri. Namun, sudah jelas
menentukan seluruh sejarah manusia perorangan; dan merupakan
peristiwa paling penting dari seluruh sejarahnya.
5.1.3 Hakikat sejarah
Baru dari kematian jelaslah hakikat sejarah secara definitif.
Struktur masa lampau dan masa depan di dalam 'sekarang' tetap
berlaku, tetapi mendapat pembulatan dalam kristalisasi. Masa depan
tidak hilang. Yang berhenti itu hanya perkembangan masa depan,
perkembangan harapan dan janji ke arah yang masih terbuka. Dengan
demikian, masa depan dimiliki bukan lagi sebagai ramalan kabur,
melainkan dengan komplit dan secara lengkap. 'Sekarang'-ku telah
memiliki masa depan secara matang dan menyeluruh, memahaminya
dan tnenyetujuinya; inilah keabadian. Bersama dengan itu (sebab
masa lampau dan masa depan selalu bersatu dan sama luasnya)
masa lampau pula tidak berkembarg lagi, melainkan dimiliki secara
definitif.
5.2 Hidup Menuju Kematian
Kematian itu bukan hanya suatu malapetaka yang rnenimpa
manusia dari luar belaka. Kematian itu unsur formal-human di dalam
eksistensi manusia; dan dari semula telah disadari sebagai struktur
imanen yang tidak terelakkan. Maka manusia tidak dapat meninggal
seperti hewan, dalam putus asa atau penyerahan yang buta, tetapi
kematiannya pun merupakan kegiatan manusia formal. Seperti
seluruh hidupnya, begitu juga pengakhirannya. Mau tidak mau
kematiannya bersifat perseorangan dan unik. Kematian itu tidak dapat
dihitungkan, atau dikuasai, atau ditentukannya secara otonom.
Tetapi otonominya berarti: menerima keadaan manusia (la condition
humaine), menerima fakta human ini sebagai konsekuensi inheren pada
adanya manusia, dan membuatnya putusan dan pilihannya pribadi.
Hidup manusia ialah sama dengan menjalankannya. Hidup ialah
makin lama makin mati; dan di dalam kematian itu hidup
menyelesaikan diri (Sein zum Tode). Oleh karena kristalisasi di dalam
kematian itu, maka manusia makin sadar bahwa segalanya yang
dibuat dan ditentukannya itu bersifat unik dan mutlak; merupakan
peristiwa yang tidak kembali lagi dan tak terulang lagi. Titik akhir itu
sekarang pun telah menentukan seluruh eksistensinya, dan
mempengaruhi semua pilihannya. Sebab kematian itu sekarang telah
menyadarkan manusia akan arti dan nilai hidupnya, dan menghadap-
kannya dengan akibat proyek yang mau direalisirnya.
5.3 Putusan dan Pilihan Pribadi
Kehidupan manusia merupakan persiapan bagi kematiannya
sebagai ptltusan dan pilihan terakhir. Seluruh hidupnya yang dijalankan
dengan sadar
dan bebas itu diberi penyelesaian di dalam kematian. Kematiannya
merupakan putusan dan pilihan perseorangan yang definitif, yang
total, dan, tidak dapat dicabut lagi. Semua putusan dan pilihan
sebelumnya, semua pertemuan, proyek, dinamik, dan kecondongan
merupakan persiapan bagi saat terakhir itu; mereka dikumpulkan
bersama dan diberikan cap dan pengesahan ultim. Manusia
menyelesaikan diri dan mengakui diri secara definitif; dan hasil
seluruh hidupnya dikristalisasi dalam kegiatan kematian itu. Dalam
pengakuan terakhir ini ia menciptakan keabadiannya perorangan.
Dengan mengucapkan 'aku' yang terakhir ini, ia melantingkan diri ke
dalam keabadian, dan menjadi 'aku' utuh-selesai.
Putusan dan pilihan terakhir ini tidak terjadi sebelum atau
sesudah kematian, melainkan merupakan inti hakiki pada kematian
sendiri. Kegiatan itu adalah fakta sekunder dan fenomen paling akhir.
Seluruh hidup dan sejarah pribadi diperhitungkan dan ditinjau-kembali
untuk terakhIr kalinya dalam kegiatan ini. Maka putusan dan pilihan
ini, dari satu pihal, adalah kegiatan yang paling bulat dan penuh dari
seluruh hidup. Dari lain pihak, sebagai fakta sekunder terakhir,
sekaligus bersifat sangat tipis dan mii.im, dan mungkin hanya
menampakkan diri sejauh orang yang menghembuskan napas
penghabisan, dan bergentar untuk terakhir kalinya. Maka secara nor-
mal putusan dan pilihan terakhir ini bukan mengubahkan seluruh
orientasi hidup, melainkan sesuai dengan sikap dan kebiasaan sendiri;
tidak menambah suatu hal baru, tetapi hanya memberikan
persetujuan dengan tanda tangan dan cap terakhir kepada hidup dan
sejarah itu.
5.4 Kebebasan dan Determinasi Definitif
Dalam putusan dan pilihan terakhir itu manusia membulatkan
kebebasannya seperti telah diperkembangkannya selama hidupnya. la
mencapai kebebasan definitif. Kebebasan itu sekaligus bersifat stabil
dan tidak terubahkan lagi sebab telah tidak ada perkembangan. Maka
juga determinasinya mencapai puncaknya.
6 BEBERAPA SEGI KRISTALISASI 6.1
Kebangkitan Badan
Oleh karena kesatuan substansial manusia, maka badan ikut serta
dalam kristalisasi. Itulah kebangkitan badan yang hakiki dan utama.
Sama sekali tidak pentinglah penyatuan kembali dengan jenazah, sebab
jenazah itu bukan badan manusia. Hanya pandangan dualistis terpaksa
memikirkan kebangkitan 'badan' empiris itu.

6.2 Pengadilan
Kematian merupakan kegiatan perorangan yang mendefinitiflcan
putusan dan pilihan pribadi. Pada saat itu berhentilah segala fakta
sekunder baru; ia tidak berkembang lagi, dan tidak mempunyai
kemungkinan reformability (kemampuan meninjau-kembali) lagi.
Orientasi terhadap yang baik dan yang jahat telah terbeku untuk
selama-lamanya.
Karena ia tidak lagi mengeksplisitasikan diri dalam fenomen-
fenomen, maka pengakuan manusia akan diri-sendiri sudah bukan lagi
hanya implisit dan tersembunyi, melainkan menjadi eksplisit dan
penuh. Manusia menyadari seluruh realitas konkretnya dengan
sekaligus. Dia dengan penuh sadar mengakui dan menyetujui putusan-
pilihannya yang terakhir, dengan segala konsekuensinya. Maka
putusan-pilihan pribadi itu juga merupakan pengadilan bagi dia pribadi.
la tidak perlu diadili lagi, sebab ia sudah sadar sendiri akan apa yang
dikristalisasikannya dan akan konsekuensinya. Ia telah mengadili dirinya
sendiri.
6.3 Sorga dan Neraka
Kristalisasi manusia itu sesuai dengan sikapnya yang terakhir
terhadap yang baik dan yang jahat. Sejauh manusia dalam
kematiannya memutus dan memilih yang benar dan yang baik, maka
kristalisasi itu mengumpulkan seluruh hidup dalam pengartian benar
dan penghargaan baik terhadap diri dan yang-lain, sehingga hidup itu
pada dasarnya merupakan harmoni, dalam otonomi dan korelasi.
Kristalisasi itu merupakan iman dan cinta definitif; dengan sendirinya
membahagiakan; dan ini dapat disebut sorga.
Sejauh manusia dalam kematiannya memutus dan memilih yang
salah dan yang jahat, maka kristalisasi itu mengumpulkan seluruh
hidup dalam pengartian palsu dan penghargan jahat terhadap diri dan
yang-lain sehingga hidup itu pada dasarnya merupakan
penyelewengan dalam otonomi dan korelasi. Kristalisasi itu
merupakan penyalahsangkaan dan benci definitif; itu dengan
sendirinya mencelakakan; dan ini dapat disebut cteraka.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa manusia, menciptakan
sorga dan nerakanya sendiri, sudah mulai dalam hidup ini.
6.4 Korelasi dengan Orang yang Masih Hidup di Dunia ini
Dari segi orang yangtelah meninggal itu tidak begitu sulit
memikirkan korelasinya. Manusia itu tidak berkembang lagi; maka
bagi dia tidak real lagi waktu dan sejarah. Tidak mungkinia
menunggu sesuatu; kristalisasi merupakan satu 'sekarang' abadi.
Maka pada saat kematiannya ia sekaligus mengalami
penyelesaian/kristalisasi bagi semua orang bersama-sama ('akhir

zaman'). Jadi, bagi dia pengadilan perseorangan dan pengadilan


terakhir itu jatuh bersama dan identik. Tetapi lain hal kalau diandang
dari sudut pandangan orang yang masih hidup.
6.4.1 Pengaruh orang dan dunia di sini kepada orang mati
Setelah manusia meninggal, dunia dan masyarakat masih
berkembang terus; begitu juga kenalannya dan alat-alatnya dulu.
Perkembangan lebih lanjut dalam manusia dan dunia itu
menambahkan otonomi dan korelasi orang lain di dunia itu. Dan oleh
karena orang yang telah meninggal tetap berkorelasi juga dengan
mereka, maka perkembangan itu menambah isi kristalisasinya (entah
kebahagiaan entah kecelakaan). Baru pada akhir zaman, jikalau seluruh
umat manusia telah mencapai kristalisasi, maka bagi dia juga
kristalisasi menjadi bulat. Dari sudut pandangna ini orang yang mati
sedang 'bangkit', dan masih 'menunggu' penyelesaiannya (keadilan
terakhir); ia sedang diabadikan.
6.4.2 Pengaruh orang mati kepada orang dan dunia di sini
Orang yang telah meninggal itu tetap hadir secara personal di
tengahtengah orang yang masih hidup. Namun, karena orang mati
itu tidak berkembang lagi, maka pengaruh personalnya tidak dapat
ditingkatkannya. la hanya berpengaruh sejauh komunikasinya telah
diterima di dalam orangorang sesamanya. Kebaikannya, atau
kejahatannya yang telah dipancarkannya selama kehidupannya itu
berlangsung terus di dalam orang lain itu sebagai warisan. Misalnya,
orang yang dahulu mempengaruhi adalah nenek atau orangtua anak
remaja; sekarang pun mereka masih ikut serta mempengaruhi hidup si
remaja itu secara tidak langsung, yaitu melalui orang tua itu. Ide-ide
dan nilai-nilai berjuta juta orang yang telah meninggal itu hidup terus
dalam umat manusia sekarang. Namun, pengaruh yang dibawa terus
dalam sejarah itu dan memuncak secara kolegial kerap tidak dipikirkan
lagi atua tidak diingat lagi sehingga lama-kelamaan menjadi anonim
saja. Baru pada akhir zaman akan diakui secara bukan-anonim kembali
jikalau segalagalanya menjadi terang dan transparan secara definitif,
sebab orang pribadi itu akan diakui kembali.
7 KESIMPULAN: MISTERI KEMATIAN
Walaupun kematian ditemukan sebagai unsur integral dalam
historisias manusia, kematian tetap merupakan misteri yang
menggentarkan. Meskipun kematian itu bukan hukuman,
penyelewengan dan dosa menyebabkan bahwa
kematian dihadapi dengan ketakutan dan rasa ragu-ragu. Sejauh
kematian itu dapat diraba-raba melalui fenomena, ia merupakan
pemecahan dan pembongkaran. Badan sebagai pengekspresian
dan kelakuan (comportement) manusia, sebagai tempat
pertemuan dengan orang lain, itu tampaknya hancur.
Pemahaman, cinta, dan kesetiaan yang telah dibentuk di dalam
dirinya itu rupanya akan musna lagi. Dia tampaknya kehilangan
semua kawan dan akan menghadapi kematian itu seorang diri. la
rupanya tidak berdaya kepada kematian, dan terpaksa menyerah
diri kepadanya dalam kelemahan total.
Kematian merupakan pertanyaan radikal yang mempersoalkan
seluruh eksistensi manusia. Dan sebelum meninggal sendiri dan
diketahui dari pengalaman pribadi, kematian itu kabur dan ngeri.
Dengan merefleksikan pengalaman dinamik pribadi kini-sini,
manusia dapat memahami pula ramalan dan janji yang termuat di
dalamnya. la dapat membangun iman (filosofis) dan cinta akan
titik akhir yang tak tertangkap itu. Kesadaran dan keinsafan itu
dibangun di dalam sosialitas, dalam komunikasi dengan kepastian
orang lain. Manusia saling meyakinkan, dan saling memberikan
kepercayaan bahwa hidup ini bukan sia-sia. Dengan demikian,
manusia akan berani menerima 'nasib' itu, dengan penuh rasa
tanggung jawab; tanpa mengutuk atau memprotesnya; tanpa
dengan mengotot berusaha berpegang pada hidup ini. la akan
berharap dan percaya bahwa tidak akan jatuh hilang dalam jurang
ketiadaan, tetapi akan sampai pada kepenuhan; bahwa akan
menemukan kembali dirinya sendiri dan semua korelasinya dalam
ketetapan abadi.

Anda mungkin juga menyukai