Anda di halaman 1dari 6

Sosiologi SMAN 1 Cibeber

Emmanuel Levinas. Metafisika tentang “Yang Lain”

Karya filosofis besar dari tahun 1961 berjudul lengkap Totalite et infini. Essai sur l’exteriorite
(Totalitas dan Tak Berhingga. Esai tentang Eksterioritas). Untuk dapat mengerti maksud pemikiran
Levinas, sebaiknya kita berpangkal pada tiga istilah yang tercantum dalam judul ini: totalitas, tak
berhingga, dan eksterioritas.

Istilah yang pertama, totalitas, bagi Levinas mempunyai nada yang kurang baik. Seluruh filsafat Barat
selama ini mengejar totalitas; artinya filsafat ingin membangun suatu keseluruhan yang berpangkal
pada “ego” sebagai pusatnya. Karena tradisi filosofis ini selalu bertolak dari “aku” dan kembali pada
“aku”, maka cara berpikir serupa itu oleh Levinas disebut juga la philosophie du meme (the
philosophy of the same). Plotinos sudah mengatakan bahwa jiwa tidak pernah pergi ke sesuatu yang
lain daripada dirinya sendiri dan tidak berada dalam sesuatu yang lain daripada dirinya sendiri.
Dalam filsafat modern titik tolak ini mendapat kedudukan kuat sejak pernyataan Descartes tentang
cogito ergo sum (aku berpikir, jadi aku ada). Dengan Descartes filsafat modern menjadi “egologi”.
Dan egologi itu berkembang terus sampai dengan Husserl dan murid-muridnya (Husserl sendiri
menggunakan istilah egologi untuk menunjuk filsafatnya). Sartre misalnya masih melukiskan
aktivitas khas manusiawi sebagai “totalisasi”. Tendensi ini tampak dengan jelas sekali dalam
idealism. Bagi idealism Ada dimengerti sebagai “imanensi” atau “interioritas”. Bagi idealism Ada itu
sama dengan kesadaran yang mengkonstitusikan dirinya sendiri. Yang lain hanya ada karena dan
bagi kesadaran-diri. Filsafat yang ditandai oleh totalisasi itu oleh Levinas disebut “ontology”.

Totalitas itu didobrak oleh “yang Tak Berhingga”. Dengan Tak Berhingga dimaksudkan di sini suatu
realitas yang secara prinsipial tidak mungkin dimasukan ke dalam lingkup pengetahuan dan
kemampuan saya. Yang Tak Berhingga itu adalah Orang Lain (Autrui, l’Autre). Totalitas yang saya
susun dengan seksama, langsung pecah dalam perjumpaan dengan Orang Lain. Untuk merumuskan
Sosiologi SMAN 1 Cibeber

pengalaman itu Levinas menciptakan suatu istilah filosofis yang baru: Wajah. Saya berjumpa dengan
yang Tak Berhingga karena penampakan Wajah (l’epiphanie du visage). Penampakan Wajah itu
merobohkan egoism saya. Jika Levinas mengatakan “Wajah”, ia tidak memaksudkan suatu hal fisis
atau empiris, seperti keseluruhan yang terdiri dari bibir, hidung, dagu, dan seterusnya. Seandainya
sama dengan sesuatu yang bersifat empiris begitu saja, Wajah akan termasuk totalitas juga. Tetapi
yang dimaksudkannya ialah orang lain sebagai lain, orang lain menurut keberlainannya. Jadi,
kualitas-kualitas fisis atau psikis yang bias tampak pada sebuah wajah (tampan, muda, cemerlang,
dan lain-lain) tidak penting bagi dia. Yang dimaksudkan ialah le visage nu: Wajah telanjang; artinya
wajah begitu saja, Wajah dalam keadaan polos. Wajah itu menyatakan diri sebagai visage signifiant,
Levinas mengatakan lagi: Wajah yang mempunyai makna secara langsung, tanpa penengah, tanpa
suatu konteks.

Menurut Levinas, dalam filsafat Barat sampai sekarang adanya sesama manusia belum pernah
dipikirkan dengan semestinya. Adanya sesama manusia merupakan suatu fenomena sui generis,
suatu fenomena yang sama sekali unik, yang tidak dapat diasalkan dari atau kepada sesuatu yang
lain. Orang Lain tidak merupakan bagian dari suatu totalitas; ia tidak dapat dimasukan dalam suatu
keseluruhan. Ia selalu tinggal tersendiri, selalu mempertahankan otonomi, dan kepadatan yang tak
terselami. Dengan Orang Lain tampak suatu eksteriorits, suatu transendensi. Untuk dapat
menjumpai dia, saya harus keluar dari imanensi saya. Ia membuka suatu dimensi tak berhingga bagi
saya. Jadi, Orang Lain itu bukan alter ego, sebagaimana sering dikatakan dimasa lampau, bukan aku
yang lain. Saya tidak dapat mendekati dia dengan bertitik tolak dari “aku”. Dia lain sama sekali.
Orang lain adalah si Pendatang, Orang Asing (l’Etranger).

Penampakan Wajah merupakan suatu kejadian etis. Itulah satu langkah penting sekali dalam
pemikiran Levinas. Wajah menyapa saya dan saya tidak boleh tinggal tak acuh saja. Ia mewajibkan
saya. Ia mengadakan apel kepada saya supaya saya membuka hati dan pintu rumah saya. Ia
mengimbau saya agar saya mempraktekan keadilan dan kebaikan. Wajah menyatakan diri sebagai
“janda dan yatim piatu” kata Levinas dengan logat yang mengingatkan pada nabi-nabi Israel kuno.
Karena penampilan Wajah saya diinterpelasi “dari atas” dan dipanggil untuk bertanggungjawab.
Orang lain adalah guru dan tuan saya. Imbauan Wajah kepada saya pada pokoknya ialah “jangan
membunuh”. Bila Kain bertanya: “apakah aku penjaga adikku” (Kejadian 4:9), maka karena
penampilan Wajah harus saya akui bahwa saya memang penjaga saudaraku. Kewajiban etis yang
timbul dengan Wajah harus dianggap asimetris. Yang harus saya berikan kepada orang lain, tidak
boleh saya tuntut dari dia. Saya boleh memberikan hidup saya bagi sesama, tetapi saya tidak berhak
Sosiologi SMAN 1 Cibeber

untuk membuat dia menjadi keuntungan dan kegunaan saya. Relasi saya dengan sesama tidak boleh
didasarkan pada do ut des atau balas jasa. Asimetris etis ini disertai suatu asimetri metafisis: saya
tidak dapat melihat diri saya dari luar dan berbicara tentang diri saya serta orang lain dalam arti yang
sama. Totalisasi semacam itu secara prinsipial tidak mungkin.

Seperti diketahui, dalam filsafat Martin Buber pun hubungan antar-manusia mendapat perhatian
khusus. Dan pandangannya dalam hal ini pasti dilatarbelakangi juga oleh alam pikiran Yahudi. Buber
melukiskan relasi antar-manusia sebagai relasi Aku—Engkau. Tetapi filsafat dialogis Buber ini tidak
dapat memuaskan Levinas. Keberatan fundamental Levinas ialah bahwa relasi dengan Orang Lain
tidak ditandai resiprositas, melainkan asimetri. Tampilnya Orang lain mengakibatkan saya
bertanggung jawab. Inilah kejadian yang sama sekali menentukan. Relasi Aku—Engkau pada Buber
melewati begitu saja ciri etis tersebut dan itulah kelemahannya yang utama. Di samping itu ia
mempunyai keberatan juga bahwa adanya imanensi dan transendensi dalam relasi intersubjektif
pada Buber tidak dipikirkan dengan semestinya. Namun, selain kritik ini, ia sangat menghargai usaha
filosofis Buber dan merasa pemikirannya sendiri dekat dengan dia.

Pemikiran yang membuka diri bagi dimensi tak berhingga yang tampak dengan adanya “yang lain”,
oleh Levinas disebut metafisika; sedangkan ontologi adalah istilah yang—sudah kita lihat—
dikhususkan untuk menunjukkan pemikiran tentang yang sama. Salah satu tesis pokok pada Levinas
ialah bahwa kepada metafisika harus diberi prioritas di atas ontologi. Dan karena penampakan
Wajah merupakan suatu kejadian etis, maka kiranya sudah jelas bahwa metafisika itu menurut
kodratnya bersifat etis; metafisika dan etika tidak dapat dipisahkan. Etika adalah “filsafat pertama”,
kata Levinas. Prioritas metafisika terhadap ontologi diungkapkan Levinas juga dengan suatu
perkataan Plato yang sangat digemarinya, yaitu ide “Baik” harus ditempatkan di seberang ide “Ada”.
Perkataan Plato ini sudah dikutip sebagai pedoman bagi jalan pemikirannya dalam buku kecil De
l’existence a l’existant dari tahun 1947 dan dapat menjadi kunci untuk mengerti judul karya besar
dari tahun 1974 Lain daripada Ada atau di Seberang Esensi.

Beberapa kali Levinas menandaskan bahwa filsafat Barat dapat dibandingkan dengan Odysseus,
pengembara yang sudah banyak petualangan pulang kembali ke kampung halamannya: pulang ke
apa yang dikenal. Yang dimaksudkannya ialah tokoh utama dalam epos Homeros yang berjudul
Odyssea. Bagi kita di Indonesia boleh ditambah: seperti juga dalam Ramayana akhirnya Rama pulang
ke tempat asalnya. Tetapi perjalanan yang harus kita ikuti—katanya—ialah perjalanan seperti
ditempuh oleh Abraham, orang yang dipanggil oleh “yang lain”, supaya ia meninggalkan tanah
Sosiologi SMAN 1 Cibeber

tumpah darahnya dan untuk selama-lamanya keluar dari rumahnya menuju negeri asing yang
dijanjikan: exodus (keluaran) ke apa yang tidak dikenal. Kalau kita dengan demikian membuka
pemikiran bagi transendensi yang tampak dengan Wajah, maka semua pengertian fundamental dari
tradisi filsafat Barat harus dipikirkan kembali. Salah satu contoh ialah titik tolak bagi filsafat modern
sejak Descartes, yaitu cogito atau kesadaran. Bagi Levinas bukan kesadaran (la conscience theorique)
melainkan hati nurani (la conscience morale) merupakan titik tolak dan dasar filsafat. Bukan refleksi
tentang diri saya menyingkapkan bagi saya “aku” yang sejati, melainkan kejutan yang saya alami
dalam perjumpaan dengan “Orang Lain”. Di bawah ini kami kembali lagi pada pandangan Levinas
tentang cogito ini.

Pemikiran Levinas tentang bahasa pula tidak dapat dilepaskan dari konteks filosofis yang sama. Di
sini juga hanya dapat kami berikan beberapa catatan saja. Bahasa pada dasarnya ialah percakapan
atau dialog dan dalam dialog itu saya menyapa sesama. Apa yang dibicarakan (tema percakapan)
selalu dilatarbelakangi oleh orang yang disapa. Mengatakan sesuatu berarti menyapa seseorang.
Tema dikuasai dan diarahkan oleh orang yang disapa. Dari sebab itu orang lain sebenarnya tidak
dapat menjadi tema. Saya memang dapat berbicara tentang dia, tetapi—kalau begitu—di balik tema
ia masih tampil sebagai orang yang disapa. Dalam apa saja yang saya katakana, orang lain disapa,
pun pula jika saya berbicara tentang dia. Hakikat Bahasa adalah interpelasi, penyapaan. Vocaticus
mendasari indicaticus. Bahasa mengadakan perdamaian sebelum menjadi sistem tanda untuk
menyampaikan pikiran. Bahasa berkaitan dengan etika sebelum mempunyai kaitan dengan teori.

Pemikiran Levinas tentang Allah berhubungan erat dengan apa yang sudah kita lihat sampai
sekarang. Dalam pendahuluan bukunya Lain daripada Ada atau di Seberang Esensi ia mengatakan
bahwa yang penting ialah mendengar suara Allah yang tidak dinodai oleh Ada. Maksudnya ialah
bahwa Allah tidak dapat dipikirkan dengan semestinya dalam konteks ontologi. Dan itulah yang
senantiasa diusahakan dalam filsafat Barat. Levinas mau membicarakan Allah dengan berpegang
pada prinsipnya bahwa pengertian “Baik” terletak di seberang Ada. Dengan lain perkataan, ia ingin
berbicara tentang Allah dalam rangka metafisika, di mana yang Tak Berhingga menampakkan diri
dengan tampilnya Wajah. Dimensi ilahi membuka diri dalam Wajah Orang Lain, kata Levinas. Melalui
Wajah Orang Lain saya menghadapi yang lain sama sekali, yaitu Tuhan. Tetapi ini tidak berlangsung
pada taraf pengenalan teoretis, melainkan dalam konteks praktek etis. Tuhan hadir bagi saya sejauh
saya mengamalkan keadilan dan kebaikan kepada sesama yang membutuhkan pertolongan. Relasi
saya dengan Tuhan tidak dapat dilepaskan dari relasi etis saya dengan sesama. Mengenal Allah
berarti mengetahui apa yang harus saya perbuat terhadap sesama. Sifat-sifat Allah tidak diberikan
Sosiologi SMAN 1 Cibeber

dalam modus indicaticus tetapi dalam modus imperativus. “Allah itu murah hati” berati “Hendaklah
engkau murah hati seperti Dia”.

Sepatah kata lagi tentang hubungan antara kedua karya filosofis yang besar Totalitas dan Tak
Berhingga dan Lain daripada Ada atau di Seberang Esensi. Dalam karya kedua Levinas merumuskan
pemikirannya dengan lebih radikal lagi. Kalau karya pertama di sana-sini masih terlalu dipengaruhi
oleh pemikiran ontologis, maka karya kedua berusaha berpikir lebih konsekuen dalam suasana
metafisis. Dalam hal ini ia memberanikan diri bergumul dengan kemungkinan dan ketidakmungkinan
Bahasa kita, sebab Bahasa yang kita pakai dan mengerti masih diselimuti oleh alam pikiran ontologis.
Dalam Lain daripada Ada atau di Seberang Esensi secara khusus diusahakan untuk berpikir lebih
radikal tentang subjektivitas. Kalau dalam karya yang pertama ia terutama memperhatikan dan
menafsirkan tampilnya Wajah itu sendiri, sekarang ia khususnya menyoroti pertanggungjawaban
yang dituntut karena penampakan Wajah tersebut. Soalnya ialah apakah subjektivitas masih dapat
dimengerti sebagai kesadaran atau eksistensi? Ternyata tidak. Subjek bukanlah pour-soi (bagi
dirinya), katanya sekarang, melainkan l’un pour-l’autre (seorang-untuk-orang-lain). Subjek menjadi
subjek karena bertanggungjawab atas orang lain. Dimensi etis tidak ditambah pada suatu subjek
yang sudah ada. Saya tidak lebih dulu sudah berdiri sendiri sebagai subjek dan baru kemudian
bertanggung jawab. Saya tidak “”mengambil” pertanggungjawaban; seolah-olah sebelumnya saya
sudah ada sebagai subjek. Dalam pertanggungjawaban atas orang lain, saya dikonstitusikan sebagai
subjek. Biasanya dikatakan bahwa saya bertanggungjawab atas perbuatan saya saja. Tetapi menurut
Levinas, saya bertanggungjawab atas perbuatan orang lain, malah saya bertanggungjawab atas
pertanggungjawaban orang lain itu. Mendengar semuanya ini tidak sedikit orang segera akan
bertanya: tetapi apakah orang lain itu sendiri tidak bertanggungjawab? Levinas akan menjawab:
barangkali, tetapi itu urusannya sendiri; jangan kita lupa, relasi etis itu asimetris.

Dalam konteks ini kerap kali Levinas menggunakan suatu pengertian yang amat sulit, yaitu
substitution (mengganti tempat orang lain; menjadi sandera bagi orang lain). Bab IV dari Lain
daripada Ada atau di Seberang Esensi membicarakan substitusi ini dan menurut keterangan Levinas
dalam pendahuluan itulah bagian sentral bukunya. Maksudnya barangkali dapat dijelaskan sebagai
berikut. Saya bertanggung jawab atas orang lain, malah saya bersalah (dalam arti guilty) karena
perbuatan orang lain. Dalam pemikiran ontologis tidak ada tempat untuk pengertian seperti
"substitusi" itu. Ontologi hanya mengenal dilema: menguasai atau menaklukkan diri, tuan atau
hamba. Bagi ontologi pertanggungjawaban didasarkan pada kebebasan: pertanggungjawaban tidak
melebihi batas-batas kebebasan. Bagi ontologi saya hanya bertanggungjawab atas diri saya sendiri.
Sosiologi SMAN 1 Cibeber

Tetapi--kalau tetap begitu--menurut Levinas persaudaraan universal tidak dapat diharapkan.


Pertanyaan dari Kain memang harus dijawab afirmatif. Apa yang tidak dapat dipikirkan oleh ontologi
merupakan kenyataan juga. Sebagai contoh beberapa kali Levinas menunjuk kepada protes kaum
muda pada tahun 70-an melawan ketidakadilan dalam dunia (dan untuk itu mereka tentu tidak
bersalah dalam arti ontologi). Menurut Levinas pertanggungjawaban saya tidak dapat diukur
menurut kebebasan saya. Saya juga bertanggung jawab atas apa yang tidak saya perbuat, malah atas
apa yang diperbuat orang terhadap saya. "Aku" adalah Mesias, katanya dalam Kebebasan Penuh
Kesukaran. Demikian, dengan mencari inspirasi pada paham alkitabiah tentang Mesias yang
menderita bagi orang lain (Yesaya 53), ia berusaha memberikan suatu pendasaran filosofis bagi
subjektivitas yang sama sekali berlainan dari cogito Descartes, bagi subjektivitas sebagai seorang-
untuk-orang-lain. Cogito ergo sum dari Descartes seharusnya diganti dengan Respondeo ergo sum
(aku bertanggung jawab, jadi aku ada).

Sebagaimana Levinas sering menunjuk kepada contoh-contoh dari bidang sastra untuk menjelaskan
pemikiran filosofisnya, demikian juga bila ia berbicara tentang "substitusi". Ia mengutip penyair
Jerman, Paul Celan, yang antara lain mengatakan Ich bin du, wenn ich ich bin (Aku adalah engkau,
bila aku adalah aku). Dan lebih menarik lagi, ia menunjuk kepada buku novel karangan Dostoyevsi
Karamazov Bersaudara di mana Starets (rahib) Zosima mengatakan: "Setiap orang di antara kita
bersalah terhadap semua orang lain dan saya lebih bersalah daripada siapa pun". Tetapi sang Starets
ditertawakan oleh para pendengarnya: "Masakan saya bersalah terhadap setiap orang lain--seorang
di antara mereka katakan--; apakah misalnya kebersalahan saya terhadap anda?". Anggapan tentang
subjektivitas ini memang tidak cocok dengan pemikiran yuridis kita yang selalu menyetarafkan
pertanggungjawaban dengan kebebasan. Dalam hal ini Levinas tidak bermaksud mengatakan bahwa
substitusi merupakan suatu kewajiban umum. Maksudnya ialah menggambarkan situasi manusiawi
yang khas etis di mana tampak suatu dimensi dalam subjektivitas yang belum pernah dipikirkan
dalam filsafat Barat. Perlu ditekankan sekali lagi bahwa relasi etis ditandai oleh asimetri: relasi ini
tidak dapat dibalik. Sayalah yang bertanggung jawab bukan saja atas perbuatan-perbuatan saya,
tetapi juga atas perbuatan-perbuatan orang lain; tetapi saya tidak dapat mengatakan bahwa orang
lain bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan saya. Memang benar seperti yang dikatakan
Starets: "Saya lebih bersalah daripada siapa pun".

Sumber:
Bertens. K. "Filsafat Barat Kontemporer: Prancis". 2001. Gramedia. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai