SHARES
Tulisan Marcel Bonneff ini versi aslinya berbahasa Prancis: “Ki Ageng
Suryomentaram, Prince et Philosophe Javanais,” dimuat pertama kali di Archipel 16
(1978), hal. 175–203. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Susan Crossley,
“Ki Ageng Suryomentaraman, Javanese Prince and Philoshoper,” dimuat
di Indonesia 57 (April 1994).
Versi bahasa Indonesia tulisan ini diterjemahkan oleh Afthonul Afif dari versi
Inggrisnya atas izin Marcel Bonneff. Tulisan ini juga menjadi apendiks dalam
buku Matahari dari Mataram, karya Afthonul Afif dan kawan-kawan. Afthonul Afif
adalah seorang peneliti Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Dua bukunya tentang
Ki Ageng Suryomentaram yaitu: Matahari dari Mataram; Menyelami Spiritualitas
Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram (2012) dan Ilmu Bahagia menurut Ki Ageng
Suryomentaram (2012). Ia juga aktif menulis tema psikologi kebahagiaan di berbagai
media massa.
ama seperti hidupnya, tulisan-tulisan KAS juga dicirikan oleh gagasan tentang
pencarian “kebahagiaan”, atau sebuah kondisi psikologis yang mirip dengan
“kebebasan spiritual”. Pertama kali dikenal sebagai Kawruh Beja, pemikiran filosofis
ini di kemudian hari lebih sering disebut dengan Kawruh Jiwa atau Ilmu Jiwa
(Science of the Soul) atau Ilmu tentang Pengetahuan Diri (Science of Self-knowledge).
Perubahan istilah tersebut agaknya ditujukan untuk lebih memberi penekanan makna
pada pencapaian pengetahuan seperti itu, yang tidak disangsikan lagi berhubungan
erat dengan refleksi-refleksi mendalam penggagasnya. 1
Dasar dari “Ilmu Kebahagiaan” ini adalah pengakuan terhadap eksistensi manusia
sebagai sebuah simpangan (interchange) antara senang (bungah) dan susah (susah).
Dimilikinya perasaan bahagia (raos beja) dan tidak bahagia (raos cilaka) seperti
itulah yang kemudian membedakan antara manusia dengan binatang. Meski manusia
juga adalah makhluk dengan kebutuhan dasar sebagaimana binatang—misalnya
kebutuhan bertahan hidup (pangupa jiwa) dan melanjutkan keturunan (lestantuning
jenis)—namun kemudian manusia berbeda dengan mereka karena manusia menyadari
kebutuhan-kebutuhan tersebut (raos gesang/awareness of life). Konsep kebahagiaan
atau ketidakbahagiaan yang umumnya dipahami oleh manusia pada dasarnya
bersumber dari kondisi terpenuhi atau tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar
tersebut.
Lebih lanjut, sekali kebutuhan dasar itu terpenuhi manusia kemudian menyadari
kebutuhan-kebutuhan sekunder yang muncul dalam imajinasinya. KAS memberi
contoh demikian: ketika manusia haus, dalam imajinasinya kemudian muncul gagasan
tentang teh, kopi, atau bir, sementara ada jenis cairan lain yang sebenarnya lebih bisa
menghilangkan dahaganya, yaitu air putih (kebutuhan mendasar yang dirasakan
semua orang). Manusia kemudian menjadi korban dari kebutuhan-kebutuhan yang
diandaikannya sendiri, yang bersumber dari hasratnya (karep). Hasrat ini memiliki
pengaruh yang kuat dalam kehidupan manusia dan sering disalahpahami sebagai
eksistensi manusia itu sendiri: manusia adalah hasrat (karep punika tiyang). Ketika
masih berada di dalam kandungan ibu, sudah ada hasrat, yaitu hasrat lahir. Hasrat itu
abadi (karep punika langgeng), suatu waktu bisa menimbulkan kebahagiaan,
sementara di lain waktu dapat menyebabkan kesengsaraan, dan dua perasaan ini akan
selalu hadir dalam diri manusia sebagaimana hasratnya—keduanya adalah keabadian
manusia (manusia itu abadi sebab hasratnya tidak mengenal awal atau akhir). 2
Sebuah contoh mungkin cukup untuk menjelaskan: seseorang yang akan menikahkan
anaknya terobsesi untuk memberikan layanan terbaik kepada tamu-tamunya dengan
menyuguhkan hiburan wayang kulit kepada mereka, namun dia ternyata tidak cukup
punya uang sehingga diliputi kecemasan. Dia bingung harus dengan jalan seperti apa
mencari pinjaman dalam jumlah sebesar itu. Jika dia tidak berhasil mendapatkan
pinjaman, dia akan menemukan dirinya berada dalam situasi yang memalukan dan
akan menanggung rasa malu (wirang). Namun hal ini tidak akan berlangsung lama,
sebab setelah acaranya selesai, betapa dia merasa lega karena (ternyata) dia tidak
perlu menanggung hutang.4
Kita telah melihat bagaimana suatu hari KAS berhasil menemukan diri sejatinya,
sebuah penyingkapan diri yang kemudian membuatnya berujar: “Suryomentaram
dudu aku” (Suryomentaram bukan saya). Untuk menjelaskan proses “menemukan diri
yang baru” itu, dia mengingat sebuah kejadian yang telah mengubah hidupnya: suatu
hari dalam perjalanan menuju Parangtritis dia terhadang oleh banjir di Kali Opak. Tak
ada tukang perahu yang bisa menyeberangkannya. KAS memutuskan untuk berenang
menuju bibir sungai di seberang, namun aliran sungai yang deras justru menyeretnya.
Dalam kondisi nyaris tenggelam itu, tiba-tiba menjadi jelas dalam pikirannya bahwa
kenekatannya menyeberangi sungai itu dipengaruhi oleh hasrat untuk mengakhiri
hidup (karena dia baru saja kehilangan istri pertamanya). Sosok Suryomentaram yang
bersemangat itu, yang berangsur-angsur hilang di dalam air, sama sekali berbeda
dengan sosok yang telah muncul ke permukaan kemudian—sosok itu telah berubah
menjadi “diri yang tenteram”.7 Dia pun berkata, “Ini bukan saya” (dudu aku).
Orang harus belajar dari pengalaman (piageming gesang) agar bisa membedakan
momen-momen yang menyenangkan dengan momen-momen yang menyusahkan
untuk mempertajam rasa-nya. Ini adalah persoalan waktu dan latihan. Pendekatan
KAS ini tiada lain adalah introspeksi (pengawikan pribadi atau mawas
diri).8 Pendekatan ini sepenuhnya bersifat individual, meski hal ini juga tidak menutup
kemungkinan bantuan dari orang lain: untuk memastikan bantuan orang lain
seseorang harus berdialog dengan dirinya sendiri terlebih dulu, menanyakan tentang
penilaian-penilaian orang lain tentang dirinya, lalu melihat posisi mereka kembali,
melihat “dari dampak-dampaknya, lalu penyebab-penyebabnya” (from effects to the
causes).
Perasaan bahagia bukanlah antitesis dari perasaan tidak bahagia, melainkan muncul
dari rasa tenteram dan bebas yang dihasilkan dari kemampuan seseorang dalam
menghadapi eksistensinya sendiri. Orang mestinya lebih fokus untuk menemukan
“kesadaran diri”, bukan “kebahagiaan”, sebab yang kedua hanyalah akibat dari yang
pertama. Ketika kebahagiaan itu hadir dari eksistensi manusia yang terdalam (Aku),
maka ia sama dengan kesadaran diri itu sendiri. Ketika orang diliputi oleh
kebijaksanaan ini, maka satu-satunya kemungkinan yang dimilikinya dalam bertindak
adalah sifat tangguh (tatag), nasibnya tidak akan lagi ditentukan oleh kejadian-
kejadian di sekitarnya (tak lagi mempersoalkan di mana, kapan, dan bagaimana
kejadian-kejadian itu terjadi). Untuk memutus jeratan siklus takut akan masa depan
dan menyesali masa lalu,9 dan untuk mendapatkan hasil akhir dari perpotongan antara
perasaan bahagia dan tidak bahagia, orang harus bertindak berdasarkan prinsip enam
“sa”: sabutuhê, saperlunê, sacukupê, sabenerê, samesthinê, sakepenakê (sebutuhnya,
seperlunya, secukupnya, sebenarnya, semestinya, dan sepantasnya). Jika
Suryomentaram menginginkan kopi ketimbang teh untuk mengatasi dahaganya, maka
“ego” (aku) hanya akan memerintahkan untuk mengambil segelas air putih.
Contohnya adalah, jika anak mereka tidak naik kelas, maka mereka akan marah.
Mereka bisa jadi mengajukan alasan macam-macam, namun alasan yang sebenarnya
mendasari kemarahan mereka itu tiada lain adalah adanya rasa takut untuk melihat
hancurnya harapan-harapan mereka. Orang tua semestinya menyadari tentang hakikat
perasaan-perasaan mereka dan, konsekuensinya, memahami bahwa kemarahan
tersebut sebenarnya bersumber dari diri mereka sendiri, dari egoisme mereka, karena
tidak naik kelasnya si anak sebenarnya disebabkan oleh motif yang sepenuhnya
berbeda (misalnya bukan untuk menghancurkan harapan orang tua—penerj.).
Selanjutnya, kritisisme terhadap anak mereka itu tidak lagi bersumber dari kemarahan,
melainkan dari perasaan damai (raos dame), dan penilaian akan diambil berdasarkan
alasan-alasan bahwa si anak mungkin tidak termotivasi untuk belajar. Ini adalah cinta
sejati; ia terlihat dengan jelas ketika seseorang tidak mengutamakan kepentingan-
kepentingannya sendiri. Cinta sejati akan menciptakan harmoni dan mengantarkan
pada kedudukan yang sama antara orang tua dan anak (raos sami). Terlepas dari
perbedaan-perbedaan individual yang dimiliki manusia, kaya atau miskin, raja atau
kuli, naik–turunnya hidup itu memiliki cara yang sama karena dilihat secara
psikologis setiap orang itu pada dasarnya setara. Untuk mengetahui dirinya sendiri,
seseorang harus mengetahui orang lain, merasakan apa yang mereka rasakan
(ngraosaken raosing tiyang sanes). Kepekaan sosial ini oleh KAS disebut sebagai
“Ukuran Keempat” (Ukuran kaping IV). Dengan cara yang sama, ketika seseorang
berpikir “dudu aku” saat dia mengetahui munculnya dorongan untuk mementingkan
diri sendiri, dimensi keempat ini juga akan memberi bisikan kepadanya untuk
mengatakan “dudu kowe” ketika dia melihat apa yang telah orang lain perbuat.
Adanya cinta dan rasa saling hormat merupakan ciri dari sebuah masyarakat di mana
dimensi keempat ini telah berlaku.11
Bukan hanya muatan dari prinsip-prinsip umum ajaran KAS yang akan disampaikan
di sini, karena dalam sejumlah ceramah yang digelarnya KAS juga melihat cara-cara
tertentu di mana filsafatnya itu dapat dipraktikkan. Dalam menjalani kehidupannya
(lelampahing gesang),12 seorang individu akan menjumpai beragam situasi di mana
dia mungkin dapat menemukan dirinya, karena dia juga memiliki beragam
kepentingan, di mana setiap kepentingan itu membutuhkan sebuah tanggapan yang
memadai. Kepentingan-kepentingan tersebut mengemuka dalam berbagai aspek
penting kehidupan, meliputi: kepemilikan materi, pengakuan publik, kekuasaan,
keluarga, kelompok, bangsa, pengetahuan, spiritualisme (kebatinan), dan kemampuan
atau kapasitas (kesagedan).13
Selanjutnya, ada banyak kejadian yang akan menandai periode-periode sulit dalam
hidup seseorang, di antaranya munculnya perasaan cinta di usia remaja, memilih
pasangan, situasi-situasi tertentu dalam kehidupan berumah tangga, pendidikan anak,
dan menjelang ajal.14 Dalam situasi-situasi tersebut sangat penting bagi manusia untuk
menyadari kebutuhan-kebutuhannya dan mengetahui hal apa saja yang bakal
merintangi perkembangan kepribadiannya. Hasrat seksual misalnya, harus diterima
sebagai konsekuensi dari kebutuhan vital itu; ia baru bisa disalurkan secara penuh
hanya melalui kehidupan perkawinan, sebuah konteks yang paling pantas untuk
melahirkan keturunan. Menghargai pasangan, yakni menerima perbedaan-perbedaan
yang dia miliki, harus menjadi dasar bagi cinta dalam perkawinan (di antara sekian
hal, KAS menekankan pentingnya monogami dan cinta pengasuhan/parental love).15
KAS agak berhati-hati dalam menjelaskan situasi-situasi yang menguji perjalanan
hidup seseorang (pengalaman pahit getir): kematian orang tua atau perceraiannya
ketika muda dulu, kematian saudara atau teman, sakit, perselingkuhan, membina
rumah tangga, kemiskinan, kehilangan status sosial, dan lain-lain. KAS menunjukkan
bahwa sebuah pelajaran/hikmah itu bisa diambil dari beragam peristiwa tersebut yang
akan membantu kita menjaga atau memulihkan keseimbangan psikologis kita. 16
Kekhawatiran tentang hal-hal yang terjadi di alam metafisik merupakan akibat dari
pengingkaran seseorang terhadap hakikat (kehidupan) manusia. Jiwa manusia,
sebagaimana orang dengan hasrat-hasratnya, tidak memiliki awal dan akhir: jiwa itu
mendiami tubuh manusia untuk sementara waktu, lalu menghilang dan kembali lagi
ke alam semesta (Alam Agung). Lantas mengapa kita harus mengkhawatirkan
kematian? Dengan melihat lebih dekat hasrat-hasratnya, manusia menjadi lebih
mampu berbuat yang terbaik, karena manusia mampu membuat jarak antara dirinya
dengan apa yang sedang terjadi. Mungkin kematian sedikit perlu dikhawatirkan
apabila manusia itu bereinkarnasi menjadi babi hutan (celeng); nasib babi itu berbeda
dengan nasib manusia, tetapi tidak lebih baik atau lebih buruk dari nasib manusia.
Oleh karena itu, mencari dan mencapai kesempurnaan (kasempurnan) merupakan
tindakan yang absurd/sia-sia dalam hidup ini, jika hanya berharap mendapatkan
kehidupan yang lebih baik setelah kematian. Hidup yang sempurna tidak akan pernah
ada; hidup semacam itu hanya terjadi dalam imajinasi kita, imajinasi yang berupaya
menutupi hasrat yang tak terpuaskan atas kebahagiaan yang abadi. Oleh karena itu,
KAS melawan takhayul dan kepercayaan religius yang berupaya menghidupkan
harapan-harapan tersebut (“takhayul adalah menghubung-hubungkan antara sebab-
sebab dan akibat-akibat yang sebetulnya tidak memiliki hubungan”). 17 KAS
berpendapat ajaran guru kebatinan itu aneh, KAS juga mencela kepercayaan yang
ditujukan sebagian orang terhadap dukun, dan menolak praktik-praktik puasa, pantang
terhadap seks, dan seterusnya sebagai hal yang tidak alamiah. 18
Dalam dunia yang kacau di awal ’50-an, persatuan Indonesia haruslah kokoh untuk
menghindari jebakan antara memilih kapitalisme atau komunisme, jebakan yang
dibentangkan oleh dua kekuatan dunia yang tengah bersaing mencari pengaruh di
negara-negara yang baru saja merdeka. Memegang keyakinan atas ajaran-ajaran
filosofisnya, KAS menjelaskan kepada para pengikutnya bahwa negara-negara yang
takut akan meletusnya perang dunia ketiga, yang berupaya menyelidiki tanda-tanda
yang mengarah pada perang dunia, meyakini bahwa mereka dapat menolak realitas
dari masalah mereka sendiri dengan menciptakan ketergantungan terhadap hal-hal di
luar kendali mereka.20
Bersambung…
Catatan Kaki:
3. “Salumahing bumi sakurebing langit, punika boten wonten barang ingkang pantes
dipun aya-aya dipun padosi utawi dipun ceri-ceri dipun tampik” (sebagai
contoh: Tandesan, hal. 20).
5. Tentang pertanyaan atas hubungan sosial, lihat: Pilsapat Raos Gesang; Aku iki
wong apa?; Ukuran kaping sakawan (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
sebagai Ukuran Keempat).
9. “Luwar saking naraka sumelang lan manjing swarga tatag” (Wedjangan, hal. 30).
10. “…gegayuhanipun inggih punika tandon pensiun lan garan moncer” (Buku
Peringatan… tulisan: “Wudjuding Kawruh Djiwa”).
16. Piageming gesang.
17. “Gugon tuhon punika nyambet-nyambetan sebab lan kedadosan ingkang mboten
sambet” (Wedjangan, hal. 27).
18. Hal Kesempurnaan.