Anda di halaman 1dari 4

C.

FILSAFAT HIDUP

Pada abad yang ke-19 dan awal abad ke-20 ilmu pengetahuan dan tehnik berkembang
dengan cepat, yang mengakibatkan perkembangan in dustrialisasi yang cepat juga. Hal ini
menjadikan segala pemikiran orang diarahkan kepada hal-hal yang bendani saja. Akal
manusia dipakai untuk menyelidiki segala sesuatu. Segala sesuatu dianalisa, dibongkar dan
ditaf sirkan, serta disusun kembali. Juga ilmu yang menyelidiki jiwa manusia (psikologi)
berbuat demikian. Baik jagat raya maupun manusia dipandang sebagai mesin, yang terdiri
dari banyak bagian, yang masing-masing menempati tempatnya sendiri-sendiri, serta yang
bekerja menurut hukum yang telah ditentukan bagi masing-masing bagian itu. Demikianlah
juga halnya dengan manusia. Roh bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Ker janya
disebabkan karena akibat proses-proses bendani yang berjalan karena keharusan, seperti
umpamanya: ginjal harus mengeluarkan air ken cing, jantung harus memompa darah, otak
harus mengeluarkan buah pikiran, dan lain sebagainya.
Salah satu reaksi terhadap pandangan yang demikian itu adalah filsafat hidup, yang
salah seorang penganutnya adalah HENRI BERGSON (1859-1941), seorang yang berdarah
campuran Perancis dan Yahudi, Semula ia belajar matematika dan fisika. Tetapi justru karena
kecakapan nya untuk menganalisa itulah ia segera dihadapkan dengan persoalan-per soalan
metafisika yang tersembunyi di belakang tiap ilmu pengetahuan. Hal ini menyebabkan dia
berpaling ke filsafat.
Banyak buah tulisannya, di antaranya: Essai sur les données immédiate de la
conscience, atau "Karangan mengenai hal-hal yang langsung ditemui dalam kesadaran"
(1889), yang diterbitkan dalam bahasa Inggris di bawah judul Time and Free Will, atau
"Waktu dan Kehendak Bebas"; L'Evolu tion créatrice, atau "Evolusi yang kreatif" (1907);
Les Deux sources de la morale et de la religion, atau "Kedua sumber kesusilaan dan agama"
(1932).
Semula Bergson mengagumi Spencer, tetapi makin ia mendalami ajaran Spencer
makin ragu-ragu ia terhadap kebenaran ajaran yang menge mukakan, bahwa hidup berasal
dari benda atau materi yang tanpa hidup. Menurut Bergson, hidup adalah suatu tenaga
eksplosif yang telah ada sejak awal dunia, yang berkembang dengan melawan penahanan
atau penentangan materi (y.i. sesuatu yang lamban yang menentang gerak, yang oleh akal
dipandang sebagai materi atau benda). Jikalau gerak perkem bangan hidup itu digambarkan
sebagai gerak ke atas, maka materi adalah gerak ke bawah, yang menahan gerak ke atas itu.
Dalam perkembangannya sebagai gerak ke atas hidup menjumpai penahanan gerak ke bawah
itu. Hal ini mengakibatkan hidup terbagi-bagi menjadi arus yang menuju ke banyak jurusan,
yang sebagian ditundukkan oleh materi, sedang bagian lain tetap memiliki kecakapannya
untuk berbuat secara bebas dengan terus berjuang keluar dari genggaman materi. Bergson
yakin akan adanya evolusi, tetapi tidak seperti yang diajarkan Darwin, yang menggambarkan
evolusi sebagai perkembangan segaris, yang satu sesudah yang lain, dengan manusia sebagai
puncaknya. Menurut Bergson evolusi adalah suatu perkembangan yang menciptakan, yang
meliputi segala kesadaran, segala hidup, segala kenyataan, yang dalam perkembangannya itu
terus-menerus menciptakan bentuk-bentuk yang baru dan menghasilkan kekayaan yang baru.
Evolusi ini tidak terikat kepada keharusan seperti keharusan yang tersirat di dalam hukum
sebab-akibat yang mekanis. Evolusi, demikian Bergson, bukan ber gerak ke satu arah di
bawah dorongan suatu semangat hidup yang bersifat umum, tetapi evolusi berkembang ke
arah yang bermacam-macam. Pada tumbuh-tumbuhan perkembangan itu kandas dalam
bentuk-bentuk yang tanpa kesadaran; pada binatang perkembangan itu berhenti dalam naluri,
sedang pada manusia perkembangan itu berlangsung sampai pada akal.
Yang disebut naluri adalah tenaga bawaan kelahiran guna meman faatkan alat-alat
organis tertentu dengan cara terterKojo.36adi victoMEO, tanpa memberi tempat kepada
spontanitas atau pembaharuan (Karena naluri burung membuat sarangnya). Naluri semata-
mata diarah kan kepada kepentingan kelompok atau rumpunnya. Oleh karena itu sifat
individual ditaklukkan kepada sifat kelompok (bnd. semut, lebah).
Manusia memiliki akal, yaitu kecakapan untuk menciptakan alat-alat kerja bagi
dirinya dan secara bebas dapat mengubah-ubah pembuatan alat-alat kerja itu. Akal
mencakapkan manusia untuk menyadarkan diri akan kepentingan individu-individu. Akan
tetapi akal tidak dapat dipakai untuk menyelami hakekat yang sebenarnya dari segala
kenyataan. Sebab akal adalah hasil perkembangan, yaitu perkembangan dalam rangka proses
hidup. Akal timbul karena penyesuaian manusia. Dengan akalnya manusia dapat
menyesuaikan diri dengan dunia sekitarnya. Oleh karena itu akal memiliki fungsi yang
praktis. Itulah sebabnya akal tidak dapat menyelami hakekat yang sebenarnya dari segala
kenyataan. Dalam hidup yang praktis itu akal harus mempergunakan pengertian-pengertian
guna mengabadikan perubahan-perubahan yang ada. Padahal pengertian-pengertian adalah
gagasan-gagasan yang tak bergerak, yang telah membeku, yang merusak hakekat kenyataan
yang dirumuskan dalam pengertian itu. Kerja akal sama seperti kerja alat potret, yang
mengabadikan gerak-gerak yang dipotret dalam gambar yang mati. Oleh karena itu akal
berguna sekali bagi pemikiran ilmu fisika dan mekanika, tetapi tidak berguna bagi
penyelaman ke dalam hakekat segala sesuatu.
Guna menyelami hakekat segala kenyataan diperlukan intuisi, yaitu suatu tenaga
rohani, suatu kecakapan yang dapat melepaskan diri dari akal, kecakapan untuk
menyimpulkan serta meninjau dengan sadar. Intuisi adalah naluri yang telah mendapatkan
kesadaran diri, yang telah dicakap kan untuk memikirkan sasarannya serta memperluas
sasaran itu menurut kehendak sendiri tanpa batas. Intuisi adalah suatu bentuk pemikiran yang
berbeda dengan pemikiran akal, sebab pemikiran intuisi bersifat dinamis. Fungsi intuisi ialah
untuk mengenal hakekat pribadi atau "aku" dengan lebih murni dan untuk mengenal hakekat
seluruh kenyataan. Hakekat yang sebenarnya, baik dari "aku" maupun dari "seluruh
kenyataan" oleh intuisi dilihat sebagai "kelangsungan murni" atau "masa murni", yang ke
adaannya berbeda sekali dengan "waktu" yang dikenal akal.
Akal, jikalau ingin mengerti keadaan suatu kenyataan (umpamanya seekor binatang),
kenyataan itu dianalisa, dibongkar dalam banyak unsur. Unsur yang satu dibedakan dengan
yang lain, dipisahkan dari yang lain, dan ditempatkan yang satu di samping yang lain serta
sesudah yang lain, artinya: akal memikirkan kembali unsur-unsur itu dalam ruang dan waktu.
Kerja akal yang demikian itu oleh Bergson disebut kerja yang sinematografis, kerja bioskop.
Di dalam pertunjukkan bioskop pita film terdiri dari gambar yang bermacam-macam, yang
berdiri sendiri-sendiri, yang satu lepas daripada yang lain, terpisah dalam ruang, yang satu
per satu tidak bergerak, dan oleh karenanya pada dirinya, entah satu per satu. entah bersama-
sama, tidak dapat menggambarkan gerak. Tetapi jikalau pita film itu diputar dengan
kecepatan yang cukup, gambar-gambar itu dipertunjukkan yang satu sesudah yang lain, maka
pita film itu akan mem beri khayalan gerak yang lancar. Demikianlah akal bekerja secara
sinema tografis. Pengertian waktu seperti ini dipakai juga dalam ilmu pasti-alam, yaitu bahwa
waktu adalah suatu deretan "saat-saat yang sama".
Tidak demikianlah kerja intuisi. Baik apa yang terjadi di dalam kesadaran maupun di
dalam kenyataan di luar kesadaran, semuanya dilihat sebagai "masa yang murni" atau
"kelangsungan yang murni", di mana masa lampau, masa kini dan masa depan saling
berpaduan. Di situ masa lampau tidak terpisah dari masa kini, tetapi mencantol ke masa kini,
sedang masa depan tidak terpisah dari masa kini, melainkan dicantolkan kepada masa kini.
Semuanya kait-mengait, mewujudkan suatu kesinambungan, suatu kenyataan yang tak
terpisah-pisah, yang menciptakan perubahan, menciptakan hal-hal yang baru. Dengan
demikian intuisi menunjukkan bahwa segala kejadian terjadi dalam kebebasan.
Dari apa yang telah dikemukakan di atas tampaklah bahwa Bergson bekerja dengan
dua pengertian yang saling dipertentangkan, umpamanya: materi dan hidup, akal dan intuisi,
waktu dan masa murni atau kelangsung an murni, statis dan dinamis. Cara kerja ini
diteruskan juga dalam ajaran nya tentang etika.
Di sini ia memakai pengertian masyarakat tertutup dan masyarakat terbuka, moral
tertutup dan moral terbuka. Yang dimaksud dengan masya rakat tertutup ialah masyarakat
yang menjadi sumber kewajiban-kewajiban moral dan sumber adat-istiadat, sedang
masyarakat terbuka ialah masya rakat yang pada asasnya meliputi seluruh umat manusia.
Yang dimaksud dengan moral tertutup ialah moral yang hanya berlaku bagi masyarakat
tertentu, yang hanya bernilai relatif, sedang moral terbuka ialah moral yang berlaku mutlak
bagi seluruh umat manusia.
Manusia adalah makhluk sosial, yang hidup bersama dalam pergaulan. Pergaulan
hidup membawa kewajiban-kewajiban. Oleh karena itu di dalam masyarakat timbullah segera
unsur-unsur tertib hidup, timbullah semacam kewajiban-kewajiban, yang mewajibkan orang
perorangan menyesuaikan diri di bawah pengawasan tertib persekutuan hidup itu. Masyarakat
menen tukan cara hidup para anggotanya, tetapi sekaligus masyarakat juga membantu orang
untuk dapat memenuhi kewajiban-kewajiban tadi. Tuntutan tuntutan masyarakat disesuaikan
dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu manusia. Adapun yang menjadi dasar kewajiban-
kewajiban sosial itu adalah naluri sosial, yang pada dasarnya sesuai dengan keadaan masya
rakat yang tertutup itu, yaitu lebih kurang tanpa gerak, statis.
Di samping moral tertutup ada moral terbuka, yang bersifat mutlak, yang berlaku
bagi seluruh umat manusia. Dasar moral terbuka ini bukan naluri sosial, melainkan kebebasan
dan kasih. Moral terbuka ini dilaksana kan oleh tokoh-tokoh yang besar di segala zaman.
Pada dasarnya moral ini berbeda sekali dengan moral tertutup, karena kewajiban-
kewajibannya bersumber pada semangat kasih, suatu usaha untuk mencapai kemajuan, yang
sasaran-sasarannya tidak dapat diabadikan dalam pengertian-pengertian. Jiwa dapat
membuka dirinya bagi moral, tetapi juga dapat menutup dirinya terhadap moral itu.
Menurut Bergson, agama itu ada dua macam, yaitu:
a) Agama yang statis, yang timbul karena hasil karya perkembangan. Di dalam
perkembangan ini alam telah memberikan kepada manusia ke cakapan untuk menciptakan
dongeng-dongeng yang dapat mengikat manu sia yang seorang dengan yang lain dan dapat
mengikat manusia dengan hidup. Karena akalnya manusia tahu, bahwa ia harus mati. Juga
karena akalnya ia tahu, bahwa ada rintangan-rintangan yang tidak terduga, yang merintangi
usahanya untuk mencapai tujuannya. Alam telah membantu manusia untuk memikul
kesadaran yang pahit ini dengan khayalan-khayalan. Demikianlah timbul agama sebagai alat
bertahan terhadap segala sesuatu yang dapat menjadikan manusia putus asa.
b)Agama yang dinamis, yang diberikan oleh intuisi. Dengan perantaraan agama ini
manusia dapat berhubungan dengan Asas yang Lebih Tinggi, yang lebih kuasa daripada
dirinya sendiri, yang menyelami dia tanpa menghapuskan kepribadiannya. Karena agama
inilah manusia diikatkan kepada hidup dan masyarakat atas dasar yang lebih tinggi. Ia tahu,
bahwa ia dengan kuat dihubungkan dengan suatu Asas yang Lebih Tinggi. Bentuk agama
yang paling tinggi adalah mistik, yang secara sempurna terdapat di dalam agama Kristen.
Demikianlah filsafat hidup Bergson yang besar sekali pengaruhnya di Perancis.

Anda mungkin juga menyukai