Plotinus mengatakan, jiwa tidak bergantung pada materi. Materi seratus persen pasif,
sedangkan jiwa seratus persen aktif. Karena itu, jiwa merupakan esensi tubuh material. Tubuh
itu materi yang berisi prinsip-prinsip ketiadaan, penuh dengan kejahatan dan keterbatasan
yang berjarak jauh dengan Tuhan. Tetapi bukan berarti tubuh lantas boleh diabaikan. Dunia
tidak boleh disangka sebagai sumber ketidakbahagiaan, karena Tuhan sebenarnya telah
menciptakan yang ada ini dengan ketelitian, keteraturan dan keindahannya.
Agustinus menyatakan bahwa menurut naturnya (demikian seharusnya) jiwa memang ada
(bertempat) pada badan (tidak melalui proses emanasi seperti prasangka Plotinus). Tetapi
jiwa tidak bergantung pada badan karena sifatnya immortal (abadi), sehingga ia tidak ikut
binasa jika badan hancur. Dari sini, jiwa itu lebih tinggi dan lebih hakikat (esensial) daripada
badan.
Menurut Thomas Aquinas, karena jiwa lebih tinggi dari raga, maka jiwa harus menjadi
pembimbing. Jiwa tertinggi adalah jiwa rasional yang merupakan manifestasi kehidupan
tertinggi yang menyajikan supremasi intelek di atas benda, tetumbuhan (jiwa vegetatif) dan
hewan (jiwa sensitif). Sekalipun jiwa itu satu, tetapi dapat dibagi dalam kemampuannya yang
meliputi: daya mengindera (sensation), berfikir (reason), dan nafsu (appetite) yang mencakup
kemauan. Sebagaimana Agustinus, Aquinas meyakini jiwa bersifat immaterial karena mampu
memikirkan obyek-obyek yang bersifat immaterial dan universal. Jiwa juga bersifat abadi
karena ia pemberi hidup (bagi badan). Pemberi hidup harus selalu hidup. Baginya, jiwa adalah
form. Matter (dalam hal ini badan) memperoleh form dari jiwa, lantas mengaktual. Begitu
jasad rusak, jiwa memisahkan dirinya.
Kelak, menurutnya, jiwa akan dipersatukan kembali dengan tubuhnya dalam kehidupan
mendatang.Tentang interaksi tubuh dan jiwa menarik disimak pemikiran Cartesian berikut
ini: Melalui analisisnya, Rene Descartes sampai pada suatu simpulan bahwa tidak ada ruang
kosong di alam semesta ini. Semuanya penuh dengan aneka partikel yang memiliki sifat-sifat
dasar sederhana (simple natures) yaitu keluasan (ekstensi) dan gerak (motion). Tiga partikel
dasar yang ada di alam ini adalah: api, udara, dan tanah. Tubuh manusia juga terdiri dari
partikel-partikel tersebut dengan 10 fungsi fisiologis yang bergerak secara mekanis: (1)
pencernaan makanan, (2) sirkulasi darah, (3) daya tahan dan pertumbuhan, (4) respirasi, (5)
tidur dan terjaga, (6) sensasi pada dunia eksternal, (7) imajinasi, (8) memori, (9) nafsu dan
gairah, (10) pergerakan tubuh. Kesemuanya itu dikontrol oleh aktivitas otak dan sistem syaraf.
Adapun variasi respon spesifik (individual) adalah hasil dari interaksi respon eksternal dan
kesiapan “emosional” internal “roh-roh hewani”.
Descartes percaya bahwa memahami manusia tak cukup hanya dengan penjelasan secara
mekanistis karena adanya “kesadaran dan kehendak”, “keinginan dan pertimbangan-
pertimbangan rasional” dalam tindakannya. Disini ia mempercayai entitas immaterial yang
disebut sebagai jiwa, yang sama sekali berbeda dengan tubuh. Sekalipun tidak pernah nampak
secara langsung atau dialami dalam totalitasnya, jiwa dapat dikenali dengan melacak ide-ide
bawaan (innate ideas). Jiwa dikatakan bersifat padu, rasional dan konsisten. Jiwa dapat
berperan menjadikan perilaku disadari (atas pertimbangan rasional). Dalam bahasanya,
“Cogito ergo sum” (aku berfikir, maka aku ada). Tetapi, sekalipun jiwa dapat mempengaruhi
perilaku, ia tidak selalu dapat mengendalikannya. Descartes mengatakan, “Tak cukup
mempunyai pikiran yang baik. Hal yang utama ialah menerapkannya dengan baik.”
Blaise Pascal juga pernah mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang rumit dan
kaya dengan variasi serta mudah berubah. Maka dari itu, matematika dan demikian pula
halnya dengan logika dan metafisika tidak mungkin dapat memahami manusia secara utuh.
Disiplin-disiplin pemikiran itu hanya alat-alat yang dapat digunakan untuk memahami obyek-
obyek yang konsisten dan bebas kontradiksi. Sedangkan manusia itu makhluk yang penuh
dengan kontradiksi, sehingga satu-satunya jalan untuk memahami manusia adalah melalui
agama. Jadi, tatkala akal tidak mampu menjangkau sesuatu maka hati dapat menyingkap hal
itu. Kata Pascal, “Hati mempunyai alasan-alasannya yang tidak dapat diketahui akal budi.”
Baginya, lebih rasional percaya kepada Tuhan daripada tidak,sebab, jika memang Tuhan ada
maka akibatnya sangat besar, tetapi jika memang Dia tidak ada maka tidak ada yang perlu
merasa kehilangan.