Anda di halaman 1dari 11

Ujian Akhir Semester

Filsafat Manusia
( Dr. Hastangka, S.Fil, M.Phil )

Disusun Oleh:
Riadhun Na’im
215110021

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2021
TIPE SOAL A:

1. Uraian tesis ini berdasarkan dua pendekatan dari Filsafat Manusia yang selama
ini anda pahami dan dari ilmu psikologi yang selama ini anda dalami.
Ilmu psikologi umumnya mempelajari tiga aspek dalam diri manusia, yakni,
perilaku, afek, dan pikiran, serta bagaimana ketiga hal tersebut saling berhubungan.
Dari semua pendekatan yang ada di psikologi baik yang mempelajari manusia secara
individual, berkelompok, ataupun dalam masyarakat, hal-hal tersebut tidak lepas dari
aspek perilaku, afek dan pikiran. Salah satu pendekatan yang dapat diambil contoh
adalah pendekatan kognitif, meskipun dalam pendekatan kognitif mendalami
mengenai pikiran memori, daya ingat, pemrosesan informasi, dan sebagainya, namun,
tetap tidak lepas dari pendalaman mengenai bagaimana perilaku seseorang atau
sekelompok manusia dipengaruhi oleh sisi kognitifnya. Hal ini menunjukkan bahwa
dalam psikologi manusia dipandang sebagai subjek yang memiliki kompleksitas
tinggi dan sebenarnya tidak cukup dengan “satu kesatuan” sebagai penggambaran
manusia itu sendiri, karena pada dasarnya, ada aspek-aspek mental yang terpisah
didalam diri manusia yang dapat diukur sebagai aspek ukur tunggal, hanya saja
psikologi mempercayai aspek ukur tunggal tersebut tetap mempengaruhi aspek
lainnya.
Dari hal tersebut diketahui bahwa tentu saja antara psikologi dan filsafat
memiliki “starting point” yang berbeda. Jika psikologi berangkat dari induktif rasional
dari manusia seperti hal-hal yang tampak dan spesifik, maka filsafat berangkat dari
induktif yang dapat dipahami dari manusia yang menitik beratkan pada pemaknaan
aktivitas manusia secara utuh dan bukan perbagian aspek seperti psikologi. Dalam
perspektif ontologi, manusia tidak dapat hanya dipandang dari satu aspek saja untuk
mengetahui esensi dari manusia, melainkan manusia seharusnya dipandang sebagai “a
whole being” untuk menemukan makna dari manusia itu sendiri dan menemukan
“human nature”. Berangkat dari “human nature” maka dapat diketahui latar belakang
dari segala aktivitas ada perilaku manusia. Perspektif ontologi dalam filsafat
menginginkan inti dari hal universal yang ada pada manusia dan berusaha
menerangkan bagaimana isi dari hal-hal universal tersebut saling berhubungan. Akan
tetapi, baik psikologi maupun filsafat tetap dapat saling berhubungan melalui
metafisika manusia sebagai bagian dari filsafat. Baik metafisika maupun psikologi
keduanya merupakan bukti yang dibutuhkan untuk mengetahui filosofi dari “human
nature”. Metafisika manusia mempelajari esensi dari alamiah dari pikiran manusia
dan kesadaran manusia dan menggali makna dari keberadaan manusia itu sendiri.
Kesimpulannya, memang benar bahwa ada perbedaan dalam “starting point”
antara psikologi dan filsafat untuk memahami manusia dan menjawab pertanyaan
“what is a man?”. Namun, keduanya memiliki kesamaan sampai pada tahap tertentu.
Psikologi membantu filsafat untuk mempelajari hal-hal eksternal dari manusia yang
mana hal tersebut dapat membantu pemahaman lebih dalam mengenai manusia,
sedangkan filsafat membantu psikologi untuk mendalami esensi dari manusia secara
internal sehingga manusia tidak lagi dilihat dari sisi eksternalnya saja melainkan
esensi keberadaannya juga.

2. a. Memahami manusia dari titik tolak konteks “relasi dengan ada”


Dalam perpsektif idealisme bahwa satu-satunya hal yang ada adalah pikiran
dan ide, kedua hal tersebut merupakan ciri khas dari manusia sehingga manusia
dianggap ada ketika mereka berpikir dan menghasilkan ide. Lebih jauh lagi, manusia
dianggap ada ketika mereka menggunakan pikirannya hingga mencapai kesadaran.
Sedagkan menurut fisuf eksistensialis menganggap bahwa untuk menjadi ada,
seseorang harus mampu menyadari bahwa dia “ada”. Dalam pengertian ini hanya
manusia yang bisa eksis karena kemampuan untuk menjadi sadar (conscious)
hanyalah dimiliki oleh manusia. Filsafat eksitensialisme menjelaskan bahwa sesuatu
dianggap “ada” ketika sesuatu tersebut bersifat partikular dan individual, serta hadir
di dunia (being-in-the-world ) sehingga dapat dikatakan, dalam situasi yang konkret
dan dapat ditentukan secara historis.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa manusia dianggap ada ketika
manusia tersebut hadir secara fisik dan konkret di dunia, kehadiran manusia tentunya
harus bersifat individual. lebih jauh lagi, manusia juga perlu menyadari bahwa dia
“ada” untuk menjadi ada. Hal tersebut tidak mungkin tercapai jika manusia tidak
menggunakan pikiran dan menghasilkan ide. Oleh karenanya, memahami manusia
dalam konteks relasi dengan ada adalah ketika manusia hadir secara fisik dan konkret
di dunia, mampu menyadari bahwa dia “ada” dan menggunakan pikirannya untuk
mencapai kesadaran tersebut.

b. Memahami manusia dari titik tolak konteks “relasi dengan bergerak”


Dalam Filsafat timur “ada” dan “tidak ada” dianggap sebagai hal yang
komplementer dan saling mengisi “dalam ketiadaan terdapat ada dan dalam yang
ada terdapat ketiadaan” . Filsafat timur lebih menekankan keseluruhan dan kesatuan
daripada oposisi yang bersifat diametrikal. Jika memahami manusia dari titik tolak
konteks “relasi dengan ada” melalui paham filsafat timur, maka manusia dianggap
sebagai sesuatu yang sifatnya statis sehingga manusia tidak dapat dipahami dari ada
dan tiadanya saja melainkan dari ayunan abadi antar keduanya sehingga apa yang
paling riil adalah “mengada/menjadi ada”.
Manusia perlu “mengadakan” dirinya untuk menjadi “ada”, bahkan dalam
ajaran Jean-Paul Sartre“ existence precedes essence” dijelaskan bahwa eksistensi
mendahului esensi dan esensi adalah makna atau tujuan hidup individu, yang
dibuatnya sendiri sehingga manusia dapat dipahami dan dikatakan “ada” ketika ia
bergerak atau melakukan sesuatu untuk tujuan hidupnya. Contohnya, manusia perlu
“mengadakan” dirinya dengan melakukan hal-hal esensial seperti berbuat baik,
memberikan pengaruh pada orang lain dan sekitarnya, dan melakukan hal-hal yang
bersifat movement lainnya sebab keberadaan itu lebih dulu ada dibanding esensi
sehingga manusia perlu menunjukkan keberadaannya untuk menemukan esensi
dirinya.

3. Jelaskan konsepsi manusia dalam relasi sebab-akibat, apakah manusia menjadi


penyebab segala sesuatu, atau sebaliknya manusia sebagai akibat dari segala
sesuatu
Umumnya, kausalitas terbagi menjadi dua, yakni dilihat dari angle fungsi
yang terdiri dari necessary causa dan sufficient causa. kedua dari angle urutannya.
yang terdiri dari sebab yang jauh dan sebab langsung. Necessary causa adalah sebuah
kondisi dimana tanpa kondisi tersebut sebuah akibat tidak akan terjadi, namun,
adanya kondisi tersebut tidak harus juga sebuah akibat ikut ada. Contohnya, aliran
sungai yang deras merupakan penyebab Aris bisa hanyut, tanpa adanya aliran sungai,
Aris tidak mungkin hanyut. Namun, dengan adanya aliran sungai yang deras, tidak
harus pula Aris hanyut. Dengan kata lain, aliran sungai bukanlah satu-satunya
penyebab Aris hanyut meskipun secara umum itu benar.
Sedangkan sufficient causa adalah suatu sebab yang dengan adanya itu suatu
akibat pasti terjadi, begitu juga sebaliknya: jika akibat tidak ada, maka sebab juga
tidak ada. Contohnya, Aris hanyut karena tergelincir: jika Aris tidak tergelincir maka
Aris tidak akan hanyut. Tergelincir di sini posisinya sebagai sebab yang menjadikan
Aris hanyut dan hanyutnya Aris sebagai akibat dari tergelincir tadi. Akan tetapi sebab
ini masih tidak dapat menafikan adanya necessary causa sehingga meskipun Aris
tergelincir maka tidak akan hanyut jika sungainya tidak mengalir. Dari penjelasan ini,
manusia pada umumnya perada pada sufficient causa dimana banyak hal terjadi
disebabkan oleh tindakan manusia yang mana jika tindakan tersebut tidak dilakukan
maka tidak ada akibat yang terjadi. Akan tetapi manusia juga tidak dapat secara
mutlak berada di posisi yang menyebabkan segala sesuatu karena terdapat necessity
kausa yang mengakibatkan memunculkan tindakan manusia. Contohnya, manusia
tersambar petir karena berdiri di lapangan saat hujan, jika tidak berdiri di lapangan
saat hujan, maka tidak akan tersambar petir. Namun, hal tersebut juga tidak akan
terjadi jika tidak ada hujan dan petir. Oleh karena itu, dapat disimpulkan, manusia
perlu menggunakan akal dan kewaspadaan agar tidak menjadi sufficient causa untuk
hal-hal negatif yang mengakibatkan hal negatif berikutnya.

4. a. Hal hal apa saja yang bisa anda temukan dari materi tersebut (pertemuan 8-
14)
Sebenarnya, banyak insight yang saya dapatkan dari tiap materi tersebut dan
akan jadi cerita yang sangat panjang kalau dituliskan semua. Akan tetapi, beberapa
materi yang paling membekas di ingatan saya adalah materi kehendak bebas dan
determinisme, segala informasi yang saya dapat dalam materi tersebut membuat saya
refleksi diri lagi dan merefleksikan kehidupan saya sebelum-sebelumnya dan
membuat saya mempertimbangkan sebara jauh determinisme dan kehedak bebas
dapat diaplikasikan untuk diri dan hidup saya. Selain itu, ada materi imajinasi dan
rasionalitas manusia, efeknya terhadap saya tidak jauh berbeda dengan materi
kehendak bebas, materi tersebut juga membuat saya refleksi diri mengenai
rasionalitas saya sendiri, dan hal-hal yang berkaitan lainnya. Materi 8-14 secara
keseluruhan tidak hanya membuat saya refleksi diri saja tapi juga melihat keluar diri
dengan pandangan lebih jauh yang sebelumnya tidak pernah saya lakukan.
Singkatnya, materi 8-14 tidak hanya sekedar teori yang ada dalam pikiran saya
saja, entah bagaimana apa yang saya pelajari dari mata kuliah ini ikut mengubah atau
mungkin memperluas cara pandang saya. Apa yang saya rasakan ini agak sulit
dijelaskan dengan eksplisit tapi yang jelas saya bisa merasakan materi-materi tersebut
tidak hanya mengendap sebagai teori yang dipelajari saja, akan tetapi, lebih dari itu,
saya bisa merasakan hal-hal yang saya pelajari itu juga mengubah hal-hal dalam diri
saya.
b. Upaya apa saja untuk membantu pengembangan ilmu anda setelah
mempelajari Filsafat manusia berdasarkan dari pertemuan ke-8 dan pertemuan
ke-14.
Saya rasa, upaya pertama yang dapat saya lakukan untuk mengembangkan
ilmu itu adalah dengan menggunakan ilmu tersebut dalam setiap kesempatan. upaya
kedua adalah mendalami dengan banyak membaca bahan-bahan yang berkaitan,
ketiga berdiskusi dengan orang yang memiliki pemahaman yang sama atau yang
sama-sama tertarik dengan topik bahasan tersebut.

TIPE SOAL B:

Rasionalitas Moral Tokoh Agama Pelaku Pencabulan : Tinjauan Filsafat Moral

PENDAHULUAN
Pada akhir 2021 kejahatan seksual kian banyak terungkap melalui sosial media dan
media berita online lainnya. Percaya atau tidak, sedikit banyak dari pelaku-pelaku kejahatan
tersebut bukanlah orang asing atau orang-orang yang mendapat label “penjahat” karena
penampilannya, melainkan orang-orang yang berdiam di area-area yang selama ini dianggap
aman oleh masyarakat luas seperti petugas keamanan, pendidik agama, pengasuh instansi
agama, dan sebagainya. Kejahatan seksual nyatanya tidak hanya dilakukan oleh orang asing
yang ditemui seseorang di gang-gang gelap atau di pinggir-pinggir jalan. Ironisnya, kejahatan
seksual justru terjadi di rumah-rumah Tuhan, di dalam lingkungan keluarga, di area-area yang
selama ini umumnya dianggap aman, lalu dilakukan oleh orang-orang yang memiliki label
“pengayom, pendidik, dan pelindung” masyarakat, salah satu dari pelaku kejahatan seksual
tersebut berasal dari ranah keagamaan yang sering dikenal dengan predikat “Tokoh Agama”.
Tokoh agama adalah individu yang memiliki ilmu dan pemahaman terhadap agama
serta mempraktekkan dan mengajarkan ilmu agamanya tersebut kepada orang lain. Tokoh
agama umumnya dijadikan sosok panutan oleh masyarakat karena budi pekerti dan sopan
santun yang menggambarkan ajaran yang dianutnya. Jika seseorang memiliki peran sebagai
tokoh agama atau memutuskan mengambil peran sebagai tokoh agama di masyarakat maka
sudah seharusnya ia memiliki karakteristik yang sesuai dengan ajaran agama yang dianut.
seperti penuh cinta dan kasih terhadap sesama, akhlak yang baik, serta memiliki budi didalam
dirinya. Namun, kenyataannya justru berbanding terbalik dengan kondisi ideal yang
diharapkan. Tokoh agama yang dianggap sebagai panutan dan diharapkan dapat memberikan
rasa aman serta mengayomi orang lain nyatanya justru merupakan seorang predator seksual
dibalik jubah agamanya bahkan sampai hati mengorbankan umat untuk memuaskan naluri
primitifnya tersebut.
Hal tersebut didukung dengan banyaknya berita-berita yang tersebar di media online
seperti kumparan.com yang memberitakan oknum tokoh agama di bali yang mencabuli
umatnya di pura, liputan6.com yang memberitakan adanya pencabulan yang dilakukan oleh
tokoh agama di surabaya, megapolitan.kompas.com yang memberitakan tindakan pencabulan
oleh guru agama, news.detik dengan beritanya mengenai pencabulan pengasuh ponpes di
sentolo, metro.tempo yang menulis berita mengetai tindakan pencabulan oleh seorang pastor
gereja kepada anak-anak, dan masih banyak berita-berita lainnya.
Fenomena ini menjadi hal yang menarik untuk dikaji karena citra identitas sosial dari
predator-predator seksual tersebut-dalam hal ini tokoh agama- berbanding terbalik dari
perilaku yang ditunjukkan. Nilai-nilai yang melekat pada identitas sosial tersebut ternyata
tidak sejalan dengan perilaku individu yang menggunakan identitas itu sehingga mengetahui
bagaimana rasionalitas moral dalam diri oknum-oknum tokoh agama pelaku pelecehan
tersebut merupakan hal menarik yang layak untuk didiskusikan.

PEMBAHASAN
Etika normatif disebut juga dengan etika preskriptif, sebuah kajian teori etika yang
mengarahkan bagaimana orang harus bertindak. Etika normatif adalah kajian mengenai
norma-norma etika, yaitu standar moral yang membuat individu dapat mengklasifikasikan
tindakan yang benar dan yang salah, atau yang baik dan yang buruk, dan bagaimana individu
menjalani kehidupan yang bermoral (Hasan, 2013). Menurut Jhonson (1994) rasionalitas
sendiri adalah sebuah tindakan atau pilihan yang dilakukan secara sadar dengan
pertimbangan yang masuk akal sehingga rasionalitas moral dipahami sebagai tindakan atau
pilihan yang dilakukan secara sadar berdasarkan etika moral yang ada. Oleh karena itu,
penting bagi individu untuk memiliki rasionalitas moral sebagai kompas dalam berperilaku,
bertindak, dan mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari. Ada banyak teori dari
etika normatif yang telah dikembangkan untuk meningkatkan moralitas manusia baik dari
teori etika klasik maupun teori etika kontemporer, salah satu teori etika yang terkenal disebut
dengan teori Golden Rule.
Golden Rule dikenal dengan etika normatifnya yang berbunyi “Kita tidak boleh
memperlakukan orang lain apa yang tidak ingin mereka lakukan terhadap kita” dengan
penalaran tersebut maka secara teoritik seseorang dapat menentukan tindakan yang benar dan
salah sehingga berdasarkan Golden Rule akan salah jika seseorang berbohong, menghina,
memanipulasi, menyiksa, atau melecehkan orang lain karena orang tersebut tentu tidak akan
bersedia diperlakukan demikian.. Golden Rule merupakan salah satu contoh teori etika
normatif yang mengembangkan prinsip tunggal untuk memutuskan perilaku manusia. Golden
Rule banyak diterapkan dan dijadikan bahan diskusi oleh berbagai filsuf bahkan kini Golden
Rule telah menjadi common sense untuk masyarakat di dunia sehingga menjadi sebuah
problematik ketika seorang tokoh agama yang seharusnya menjunjung tinggi ajaran moral
dari agamanya tidak memahami prinsip dari Golden Rule yang umumnya telah menjadi
prinsip moral dengan sifat universal.
Para tokoh agama tersebut tentu tidak ingin dirinya atau anggota keluarganya
dilecehkan, dirugikan, diancam, dan dimanipulasi. Akan tetapi pada akhirnya oknum-oknum
tersebut tetap melakukan tindakan tidak terpuji sampai pada titik dimana mereka tampak
kehilangan rasionalitas moral yang dimiliki, bahkan kepercayaan yang dianut tidak dapat
menumbuhkan kompas moral dalam diri oknum tokoh agama yang melakukan pelecehan
seksual.
Salah satu teori etika normatif lainnya adalah teori normatif konsekuensialis yang
merupakan salah satu pendekatan etika normatif secara tradisional. Menurut teori
konsekuensialis, perilaku moral yang benar utamanya ditentukan dengan menganalisis
ongkos dan manfaat dari konsekuensi perilaku tersebut. Prinsip normatif konsekuensialis
menuntut individu untuk memperhitungkan dengan cermat konsekuensi baik dan buruk dari
perilaku individu, kemudian menimbang konsekuensi mana yang lebih berat diantara
keduanya, jika konsekuensi yang baik lebih baik lebih besar maka tindakan tersebut layak
secara moral. Teori ini sempat mengundang berbagai diskusi dan perdebatan karena menurut
Jeremi Bentham salah satu penganut konsekuensialis utilitarianisme, perbudakan dan
penyiksaan dianggap dapat dibenarkan jika menguntungkan dan menghasilkan manfaat sosial
lebih banyak dibanding kerugiannya Teori ini dianggap sempit karena mengabaikan
konsekuensi moral yang signifikan yang tidak harus menyenangkan atau menyakitkan.
Terlepas dari perdebatan yang ada, rasionalitas moral dari tindakan pelecehan seksual yang
dilakukan oleh oknum tokoh agama dapat dijelaskan dengan landasan teori etika
konsekuensialis.
Teori etika konsekuensialis dipahami sebagai salah satu cara untuk memutuskan
tindakan bermoral menggunakan pertimbangan antara kerugian dan keuntungan bagi
masyrakat luas. Pertimbangan ini moral ini juga dapat digunakan ketika sesorang ingin
melakukan suatu tindakan untuk dirinya, apakan tindakan tersebut lebih menguntungkan atau
lebih merugikan bagi dirinya atau orang lain. Akan tetapi, tidak semua orang
mempertimbangkan posisi orang lain saat menggunakan pertimbangan dari prinsip
konsekuensialis sehingga pertimbangan tersebut berhenti pada pemikiran apakah sebuah
tindakan lebih merugikan atau lebih menguntungkan diri sendiri. Hasil pemeriksaan psikologi
pada kasus oknum tokoh agama yang melecehkan anak-anak dibawah umur dengan rentang
usia korban antara 13-15 tahun ditemukan bahwa oknum tokoh agama tersebut berada pada
tahap mental yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya sehingga secara intelektual
oknum tokoh agama tersebut tentu melewati proses menimbang-nimbang tindakan pelecehan
tersebut sebelum benar-benar melakukannya.
Pertanyaannya adalah hal-hal apa yang membuat oknum-oknum tokoh agama tersebut
yakin bahwa tindakan pelecehan yang dilakukannya memiliki lebih banyak keuntungan
dibanding kerugian sehingga tindakan tersebut dilakukan secara sadar dan terus berulang.
Beberapa portal berita online menuliskan bahwa terdapat lembaga-lembaga keagamaan yang
secara terang-terangan menutupi kasus tersebut. Artikel berita lainnya menuliskan bahwa
citra tokoh agama secara luas turut menyebabkan oknum tokoh agama melakukan
tindakannya, tokoh agama seringkali dianggap sosok aman oleh masyarakat luas sehingga
masyarakat umumnya lengah terhadap individu dengan identitas tokoh agama, selain itu citra
seorang tokoh agama juga didukung dengan gambaran diri yang ditunjukkan sebaik mungkin
di depan korban seperti merayu dengan menjanjikan memberikan sekolah gratis dan masa
depan cerah, ketaatan terhadap guru akan menjamin surga, dan gambaran diri yang dibentuk
seolah oknum tokoh agama tersebut merupakan sosok penolong dan pelindung. Tentu saja
orang dewasa akan sulit terhasut dengan metode demikian, namun, akan berbeda hasilnya
jika target korbannya adalah anak-anak yang baru menginjak usia remaja.
Dengan demikian, tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum tokoh
agama tidak hanya disebabkan oleh faktor personal melainkan terdapat faktor-faktor
pendukung seperti perlindungan dari lembaga keagamaan, kepercayaan berlebih dari
masyarakat sehingga menyebabkan kelengahan, gambaran diri yang diciptakan oleh oknum
tersebut, serta target korban yang berada di usia rentan. Akumulasi dari hal-hal diatas
kemudian menciptakan rasa aman bahwa oknum tersebut tidak akan ketahuan karena
dilindungi oleh lembaga, masyarakat luas mempercayai mereka sehingga tidak mungkin
curiga, mereka menciptakam gambarin diri yang positif, serta korban yang usianya sangat
muda tidak akan berani melawan, melapor, dan mudah dimanipulasi. Rasa aman dalam
melakukan tindak pelecehan mengaburkan rasionalitas moral yang dimiliki oleh oknum tokoh
agama tersebut sehingga tindakan pelecehan dianggap pilihan yang paling menguntungkan
dengan kerugian yang rendah selama tidak diketahui oleh siapapun, bahkan jika diketahui
sekalipun, tentu membutuhkan waktu yang relatif lama untuk masyarakat sekitar menyadari
hal tersebut.
KESIMPULAN
Rendahnya rasionalitas moral pada oknum-oknum tokoh agama tidak hanya
disebabkan oleh faktor pribadi melainkan adanya rasa aman dari identitas sosial yang
dilekatkan pada dirinya. “Tokoh Agama” merupakan alat yang dapat digunakan untuk
menciptakan rasa aman pada diri pelaku. Dengan identitas pelaku pelecehan sebagai seorang
tokoh agama, mereka mendapat perlindungan dari lembaaga keagamaan tertentu yang
namanya tidak ingin tercoreng jika kasus pelecehan tersebar, mereka juga mendapat
kepercayaan dari masyarakat, dan target korban yang usianya masih belia merupakan zona
aman tersendiri bagi pelaku. Hal-hal diatas kemudian melahirkan rasa aman dalam diri
pelaku untuk merealisasikan tindakannya karena keuntungan dari tindakan tersebut dianggap
lebih besar dibanding konsekuensinya.
REFERENSI
Doyle. P Jhonson.(1994) Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama

Hasan, P. B. A. (2013). Kode Etik Psikolog dan Ilmuwan Psikologi. Edisi Pertama.
Yogyakarta: Graha Ilmu

Sutrisna, T. (2021). Saat Lembaga Agama Tutupi Kasus Pelecehan Seksual, Sosiolog: “Mau
Tidak Mau Harus Diproses”. Line Today. Saat Lembaga Agama Tutupi Kasus
Pelecehan Seksual, Sosiolog: “Mau Tidak Mau Harus Diproses” | Kompas.com |
LINE TODAY

Salukh, A. N. (2021). Hati-Hati! Ada Predator Seks Berbaju Agama. Kompasiana. Hati-Hati!
Ada Predator Seks Berbaju Agama Halaman 1 - Kompasiana.com

Piring, F. (2022). Ritual Bamandi Jadi Modus Tokoh Agama Lecehkan 11 Perempuan, Satu
Korban Jadi Penyelamat 10 Lainnya. Tribun Manado. Ritual Bamandi Jadi Modus
Tokoh Agama Lecehkan 11 Perempuan, Satu Korban Jadi Penyelamat 10 Lainnya -
Tribunmanado.co.id (tribunnews.com)

Nugroho, W.K. (2021). Modus Herry Wirawan Perkosa Santri: Merayu Menikahi dan Rawat
Bayi. KumparanNEWS. Modus Herry Wirawan Perkosa Santri: Merayu Menikahi
dan Rawat Bayi | kumparan.com

Nugroho, W.K. (2021). Iming-iming Sekolah Gratis, Modus Herry Wirawan Rekrut Santri
Korban Pemerkosaan. KumparanNEWS. Iming-iming Sekolah Gratis, Modus Herry
Wirawan Rekrut Santri Korban Pemerkosaan | kumparan.com

Anda mungkin juga menyukai