Anda di halaman 1dari 45

Nama kelompok : Timotius

Nama Anggota : 1. Tran Ngoc Lam (200510091)


2. Indra Yosef Muliyawan (200510050)
3. Torkis Ardana Siahaan (200510090)
4. Gainvolotua Sinaga (200510040)
5. Elisa Francius Datubara (200510031)
Kelas : IB
Semester : II (dua)
Mata Kuliah : Masyarakat dan Kesenian Indonesia
Dosen : Dr. Yustinus Slamet Antono

RINGKASAN THE POWER OF SYMBOL


BAB SATU
Pendahuluan
I
Mengapa harus menaruh perhatian pada symbol. Untuk mengetahui jawaban ini
haruslah kita mengetahui arti symbol. Lalu apa hubungan-hubungannya, apa fungsinya dalam
hidup manusia dan dalam pengalaman manusia. Juga akan muncul pertanyaan bagaimana
symbol itu muncul? Apa pengaruh symbol dalam kehidupan? Bagaimana symbol itu
berfungsi? Apa manfaatnya?
II
Menurut Paul Tillich symbol merupakan sarana tertinggi bagi manusia untuk dapat
berbicara tentang Allah dan Tindakan-tindakan-Nya. Sangatlah sering muncul ucapan “ Ah!
Itu hanya symbol. Menurut buku Profesor Suzanne Langer, Philosophy in a New Key. Buku
ini tidak hanya memberi arti dari symbol tapi juga membuka tentang tempat dan hakiki
bentuk-bentuk symbolis dalam semua bidang kesenian. Suatu pemikiran yang luar biasa yang
diperoleh yaitu dapat memperkenalkan seseorang bahwa manusia adalah “ animal
Symbolicum”. Hanya dengan symbol-simbol manusia dapat mencapai potensi dan tujuan
hidupnnya yang tertinggi. Banyak karya-karya yang terkenal yang mengulas tentang symbol.
Karya-karya itu juga memuat kisah dan karakter dari seorang tokoh juga dalam karya puisi,
drama, dan sastra. Hubungan antara perasaann dan bentuk (dan ini berarti bentuk simbolik)
menjadi semakin jelas.
III
Perasaan dan bentuk-bentuk simbolik dapat memberi penjelasan dari symbol itu sediri
atau kekuatan dari symbol itu sediri. Symbol juga akan meninggalkan kesan yang mendalam
bagi seorang yang dapat mengartikan symbol itu sendiri. Symbol akan memberikan suatu
pengertian atau juga suatu pemahaman dan itulah kekuatan symbol. Symbol dalam bidang
sastra akan kita jumpai berbagai macam fungsi symbol dan arti symbol itu sendiri. Imajinasi
yang ada pada sastra itulah salah satu dari symbol dan juga fungsi dari symbol tersebut. Kita
juga akan menemui symbol dalam keagmaan baik itu suatu yang magis atau yang gaib-ajaib.
IV
Simbol merupakan suatu pengalaman manusia. Untuk mengetahui suatu symbol kita
harus belajar dari orang yang mengerti simbol tersebut. Ketika kita mengetahui secara
keseluruhan dari symbol maka kita akan memperoleh pengetahuan dari symbol dan akan
memperoleh banyak manfaat.
V
Arti penting yang diberikan kepada simbolisme dalam pelbagai bidang ilmu,
gambaran mengenai alam bawah sadar kolektif. Symbol memberikan penjelasan bagaimana
terulangnya apa yang disebut bentuk-bentuk symbol universal dalam mite, impian, dan ritus.
Symbol yang sama berfungsi secara kuat dan efektif dalam konteks-konteks yang terpisah
jauh dapat dibuktikan. Alam bahwah sadar mempunyai arti penting universal. Ketidaksadaran
kolektif, artinya bahwa sebuah masyarakat, klan, atau suku bangsa,yang bertepat tinggal di
suatu daerah khusus dan menghubungkan diri dengan keadaan-keadaan lingkungannya, akan
mempunyai suatu kesadaran bersama dalam bentuk-bentuk, pola-pola, atau bahkan gejala-
gejala berlainan, yang dialami dalam hidup sehari-hari masyarakat, akan memperoleh makna
yang lebih dari biasanya dan mempunyai arti penting yang kuasi mistis atau keagamaan. Ada
suatu warisan khazanah symbol, semacam tandon gen bentuk-bentuk yang akan berpengaruh
kuat pada psike manusia. Juga bahwa ada arkerip-arketip universal yang menunggu untuk
menunggu untuk diperyeksikan ke atas apa bila terjadi suatu peristiwa kritis dalam kehidupan
individual atau sosial. Kesadarann batin atau bawah sadar individu dan kelompok tidak
pernah terbuka untuk diperiiksa. Bentuk symbol muncul dalam kesadaran manusia.
Terkadang kelihatan secara sepontan. Symbol muncul dalam kesadaran manusia yang terbuka
dan tidak langsung. Dalam buku berusaha untuk menunjukkan bagaimana, dalam stiap
bidang hidup manusia. Ungkapan symbolis merupakaan jalan menuju kebebasan yang
berdaya cipta. Pengalaman manusia menunjukkan bahwa ada selalu ada bahaya sebuah
system tatanan, suatu karangan tanda-tanda yang tidak mendua, akan menjadi tujuan dalam
dirinya sendiri untuk dipaksakan secara keras dan dijaga agar tidak menimoang. Bebeda
dengan semua bentuk totalitarianism, symbol berartti keterbukaan. Berarti menunjuk kepada
kemungkinan-kemungkinan alternatif, kesiapsediaan untuk melakukan percabaan dengan
harapan akan memperoleh pemahaman yang lebih penuh tentang kenyataan (realitas). Hidup
yang menggunakan symbol berarti kebebasan sejati.
BAB DUA
I
Apakah Symbol Itu?

Kesatuan sebuah kelompok, seperti semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan
memakai symbol .... Simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu,
sebuah sarana komunikasi, dan landasan pemahaman bersama.... Setiap komunikasi, dengan
Bahasa atau sarana yang lain, menggunakan simbol-simbol. Masyarakat hampir tidak ada
tanpa symbol. Tanda dan isyarat (sinyal) sebagai operator dalam proses komunikasi; symbol,
tanda, isyarat, merupakan ‘Tindakan-tindakan ekspresif’ yang entah hanya mengatakan
sesuatu tentang tatanan dunia sebagaimana adanya, entah bermaksud untuk mengubah
tatanan itu secara metaforis”. Oprator seperti isyarat, tanda, dan symbol, bersifat deskriptif
atau transormasional. Ada istilah umum yaitu gambaran, petunjuk, ikon, kiasan dan semua ini
dapat digolongkan lain dengan symbol yang agak terpisah dari dunia, sedangkan yang lain itu
diterapkan pada dunia sebagaimana adanya. Petunjuk dan tanda pertama-tama diterapkan
sebagaimana adanya dan beroperasi dalam lingkungan yang relative statis. Petunjuk dan
tanda sudah dikenal, digunakan, untuk mendeskripsikan suatu barang atau peristiwa.
Biasanya memiliki kesuaian langsung, satu-lawan-satu dan apabila kedua individu dalam
masyarakat yang sama hanya sedikit menimbulkan kesulitan dalam memahami petunjuk dan
tanda.
Sinyal, kata ini mengisayrakatkan permintaan perhatian atau Tindakan yang dengan
suatu cara akan mengubah (menstansformasikan) suatu keadaan atau duduk perkara yang ada.
Tanda ini sangat tepat digunakan dalam kemuliteran serta perdagangan, dan cara yang baik
untuk mengirim pesan dengan sarana elektronik. Sinyal bersifat tajam, tepat, dan dapat
langsung disiarkan atau berfungsi secara langsung demikian juga dengan tanda dan sinyal.
Sifat dari keduanya ambigu sedapat mungkin dihindarkan. Dalam menjalankan komunikasi
tidak pernah dapat ada kesesuaian yang persis antara penerima dan pemberi. Ini hanya dapat
tewujud secara impersonal dan mekanis. Meski demikian, dalam banyak hal, baik dalam
deskripsi maupun transformative, komunikasi dimaksudkan untuk mencapai hasil langusung
dengan menggunakan tanda dan sinyal yang ada dalam peristilahan umum suatu sitem
budaya khusus.
Situasi yang lebih konpleks timbul apabila digunakan kata symbol dan simbolis.
Seperti pada iklan, berita, pidato politik, perkiraan cuaca, dan analisis ekonomi symbol akan
menimbulkan suatu istilah yang persis untuk istilah-istilah itu dan tidak mudah untuk
menetapkanya dalam arti. Contoh: nilai utama pertemuan serta pertalian antara apollo dan
Soyus pada 1975 haruslah terdapat pada segi symbol-simbolnya. (New Scientist, 20juli
1972). Istilah symbol telah menjadi sangat penting dalam filsafat, sosiologi, psikologi, dan
dalam kesenian. Juga memungkinkan arti penting yang dapat ditetapkan di setiap pemakaian
baik secara umum maupun dalam bidang ilmu itu sendiri.
Salah satu definisi yang termasyur ialah A.N>Whitehead (symbolism). “ pikiran
manusia berfungsi secara simbolis apabila kompenen penglamanya menggugah kesadaran,
kepercayaan, perasaan, dan gambaran mengenai kompenen-komponen lain pengalamannya.
Perangkat komponen yang terdahulu ialah “symbol” dan perangkat komponen yang
kemudian membentuk “ makna” symbol. Keberfungsian organis yang menyebabkan adanya
peralihan dari symbol kepada makna itu akan disebut referensi. Goethe menyatakan bahwa “
dalam simbolisme sejati, yang khusus mengungkapkan yang universal bukan sebagai impian
atau bayangan, melaikan sebagai wahyu yang hidup, dari yang tidak dapat diduga”,
Sedangkan Coleridge mendasarkan bahwa sebuah symbol sesunngguhnya, mengambil
bagian dalam realitas yang membuatnya dapat dimengerti. Erwin Goodenough medefinisikan
symbol sebagai berikut : “ Simbol adalah barang atau pola yang, apa pun sebabnya, bekerja
pada manusia, dan berpengaruh pada manusia, melaupaui pengakuan semata-mata tentang
apa yang disajikan secara harfiah dalam bentuk yang diberikanitu. Ia membagi dua sifat yaitu
denitatif yaitu temapt, ilmiah, harfiah dan konotatof yaitu berasosiasi, tidak persis tepat,
memungkinkan beragaam penafsiran, dan symbol temasuk kategori yang kedua. Symbol
memiliki makan atau nilainya sendiri dan bersama dengan ini daya kekuatannya sendiri
untuk menggerakkan kita atau referensi yang bersifat intelektual semata-mata tidak diterima.
Malahan symbol bersifat emotif, yang merangsang orang untuk bertindak dipandang sebagai
ciri hakikatnya.
Banyaknya definisi yang ada diakui secara umum bahwa sebuah symbol sedikit
banyak menghubungkan dua entitas. Jadi sebuah symbol menghungkan atau meggabungkan
mencocokkan. Jika symbol mengunakan benda dengan mengabungkan benda tersebut dapat
menggambarkan atau menunjuk kepada apa yang disimbolkan tersebut. Menyangkut definisi
kamus bahwa sebuah symbol tidak berusaha untuk mengungkapakan keserupaan yang persis
atau untuk mendokumentasikan suatu keadaan yang setepatnya. Symbol-simbol merupakan
alat yang kuat untuk meperluas penglihatan kita, merangsang imajinasi kita, dan meperdalam
pemahaman kita. Symbol berpartisipasi dalam relitas. Symbol mendatangkan transformasi
atas apa yang harfiah dan lumrah. Symbol meyelubungi ke-Allah-an.
Sebuah symbol juga dapat dipandang sebagai:
1. Sebuah kata atau barang arau objek atau Tindakan atau pristiwa atau pola atau pribadi
atau hal konkrit.
2. Yang mewakili atau mengambarkan atau mengisyaratkan atau menandakan atau
menyelubungi atau mengingat atau merujuk kepada atau berdiri menggantikan atau
mencorankkan atau menujukkan atau berhubungan dengan atau bersesuaian dengan
atau menggelar kembalu atau berkaitan dengan.
3. Sesuatu yang lebih besar atau transenden atau tertinggi atau terakhir: sebuah makna,
realitas, suatu cita-cita, nilai, prestasi, kepercayaan, masyarakat, konsep, Lembaga,
dan suatu keadaan.
II
Pertama dalam pola dasar dapat disebaut sebagai symbol dan ada juga sebagai
referen. Ditegaskan bahwa symbol adalah sebuah kara atau sebuah gambar atau sebuah
konsep yang bersifat umum dan dapat diserap oleh pancaindra. Juga dengan referen sudah
ada pada symbol dan sedang menunggu, seolah-olah untuk dihubungkan secara terbuka
dengan sebuah symbol yang tepat-selaras. Peroses menghubungkan ini adalah usaha
pembedaan spesies manusia dan daya Tarik eksistensi manusia yang tak kunjung henti.
Dalam kalangan binatang ada dorongan instingtif dan gerak-gerik luar (atau tanda sinyal)
baik tubuh maupun suara tetapi tidak ada bukti bahwa binatang dapat mengembangkan
system symbol seperti pada manusia yang dapat mengembangkan, mencipatakan, dan
merenungkan, meyampaikan symbol sehingga mengungguli binatang.
System symbol yang teramat penting ialah Bahasa-bahasa manusia. Symbol dapat
diartikan sesuat tempat penggunanya.contoh menari, makan, minum, meyembelih kerbau,
memberi kado dan lain sebagainya. Pengacuan kepada masyarakat ini segera membawa orang
kepada kebenaran asasi mengenai symbol-simbol. Symbol-simbol berkaitan erat dengan
koheresi sosial dan transformasi sosial. Memang benar bahwa individu bertanggung jawab
atas penciptaan bentuk simbolis yang baru dan pengaitannya dengan gagasan dan nilai yang
baru. Tetapi jika tidak memiliki suatu hubungan yang lama tidak mungkin diterima. Setipa
individu telah dibentuk di dalam system simbolis bersama dan meskipun sumbangannya
sendiri mungkin mengubahnya,sumbangan ini tidak akan menggantikan system simbolis itu
dan symbol-simbol dan masyarakat saling memiliki dan saling mempengaruhi.
Selama evolusi manusia telah ada corak-corak masyarakat yang lain, tergantungpada
gaya-gaya hidup yang khusus yang diperlakukan untuk kelangsungan hidup. Di lain pihak
lagi telah ada orang yang telah mengalami daerah-daerah yang kurang ramah, tidak tenang,
selalu mencari, bergerak, bersetegang, terpaksa membunuh dan memburu agar memperoleh
makanan dan bertahan hidup. System komunikasi mereka ialah saling memberi sinyal dalah
usaha mereka untuk memenuhi kebutuhan praktis atau darurat praktis dan ia mempergunakan
alat-alat simbolis, entah untuk mengenang pengalaman masa lalu, meramal relitas dengan
roh, binatang, sesama manusia di masa yang akan datang.
Dilain pihak ada orang menetap, ramah, mempunyai makanan sehari-hari, air tersedia,
dapat membangun kelompok, dan kehidupan teratur. Ini merupakan system komunikasi
pertama-tama berupa system tanda penata kehidupan yang menuju tugas yang harus
dilakukan. Symbol tetap berkaitan dengan kegiatan hubungan manusia sehari-hari, tetapi
mempunyai fungsi tambahan yaitu merayakan dan mengandaikan siklus kehidupan dari dunia
alami yang teratur dan memperkuat kesesuaian siklus itu. Ada dua jenis perbedaan manusia
dan organisasi sosial dan telah timbul dua jenis perbedaan bentuk simbolis. Pertama sejak
dahulu telah mengandung di dalam manifestasi-manifestasi segi-segi tertentu dan kedua
dalam perjalanan waktu dan setiap jenis berpengaruh dengan jenis yang lain bahkan sangat
besar pengaruhnya.
Symbol-symbol telah memperoleh bentuknya dalam komunikasi atau dalam corak
masyarakat dalam sejarah manusia. Ada dua kekecualian yang dapat dihadapkan pada
perkembangan dua jenis simbolis yang telah dikemukakan tadi. Udara adalah sayarat
universal misal: jika air dan udara kurang maka individu tidak akan dapat bertahan. Ini
menunjukkan bahwa nafas ( roh) dan air telah menjadi symbol universal. Setiap corak sosial
mempergunakan symbol dalam ujaran dan dalam Tindakan ritual. Dalam masyarakat
pengembala, gejala tampak jelas bahkan mengejutkan seperti misalnya angin yang bertiup
dari gunung atau dari laut yang menimbulkan ombak gelombang, membengkokkan cabang-
cabang pohon bahkan membuat manusia penasaran dan melakukan Tindakan. Roh datang
dengan penuh kuasa pada seseorang, membuatnya mampu melakukan perbiuatan yang berani
dan luar bisa. Symbol angin, roh memiliki dua simbolis yaitu bisa misteri yang tidak dapat
diramalkan kecuali dengan orang tertentu misalnya orang kudus. Dan lagi dalam pengalaman
manisia yang jarang melihat badai, topan, angin sejuk mereka berfikir itu merupakan suatu
keberuntungan atau suatu yang sebaliknya. Bisa juga symbol roh menjadi simbolis Tuhan dan
pemberi hidup.
Demikina dengan air. Bagi pegembara ini menjadi perhatiannya. Ia akan mencari
oasi, sumur,sungan karena melihat sudah lama tidak hujan sehingga jika hujan akan
mengalami kebanjiran. Demikian bahwa corak masyarakat sangat tergantung pada air. Air
merupakan irama dunia. Dan seriap masyarakat akan memberikan tekanan tertentu pada
symbol yang ada pada mereka bis aitu sautu peringatan juga suatu anigrah.
Jadi sangat jelas bahwa tekanan akan berbeda-beda pada symbol yang ada dan itulah
bahwa symbol itu berperan universal sesuai keadaan-keadaan khusus orang-orang yang
mempergunakan symbol dalam proses deskripsi dan transformasi. Ini juga mengacu pada
fenomena alam yang dapat berfungsi secara universal sebagai symbol yang penting tapi juga
dapat menunjuk pada nilai atau makna yang berbeda-beda. Symbol tidak bersifat uniter dan
juga tidak bersifat univok dan sebuah tanda harus bersifat tetap, seragam,tak dapat diartikan
salah. Sebuah tanda membukakan pintu kepada sebuah dunia yang lebih besar yang penuh
dengan ciri-ciri yang tak dapat diketahui sampai saat ini, bahkan berakhir pada misteri yang
melampaui segala kemampuuan deskriptif manusia.
BAB TIGA
HARFIAH DAN SIMBOLIS

Bagaiman harus membedakan harfiah dan yang simbolis? Terutama saat membaca
Kitab Suci. Dua jenis symbol yaitu symbol-simbol yang di baliknya kita dapat melihat dan
symbol-simbol yang dibaliknya tidak dapat kita lihat. Ada symbol yang tidak dapat
digambarkan dengan lebih benar dengan istilah-istilah yang lain. Ada juga symbol
merupakan representasi analogis tentang sifat-sifat ilahi dan tidak dapat digambarkan dengan
jelas dan tepat.
Tapi dari kedua symbol ini kita dapat menelaah yaitu setiap symbol mempunyai sifat
mengacu kepada apa yang tertinggi atau ideal. Symbol mempersatukan atau
menggabungkan suatu segi pengalaman manusia yang sudah dikenal baik dengan apa yang
mengatasi pengalaman itu atau ungkapannya. (symbol dapat berupa sebuah kata sandi atau
tidakan atau gambaran atau drama). Dengan kata yang lebih umum bahwa symbol
menghubungkan usaha pencarian manusia dengan realitas yang lebih besar, bahkan yang
tertinggi (terakhir).
Kata harfiah ( arab = berkenanan dengan huruf yang membuat menjadi tulisan dan
mempunyai makna tergantung pada maka apa yang diberikan pada huruf tersebut. Kata
harfiah dapat menghubungkan denga yang lain baik itu hal yang nyata mapun dalam
mengerti tentang yang tertinggi atau hubungan manusia dalam keseluruhan lingkungan
seseorang. Kata harfiah digunakan menjadi alat-alat lahiriah untuk menentukan apa yang
pada mulanya belum ditentukan tetapi hanya diungkapkan secara sepantan dan imaginative
memalui ujaran simbolis.
Keharfiahan baru timbul di kemudian hari dalam sejarah Bahasa. Keharfiahan adalah
hasil Hasrat keinginan manusia akan tata tertip (tatanan) dan sifat tetap yang tentu saja
mempunyai tempat yang sah dalam masyarakat dan yang telah mendatangkan benyak sekali
manfaat bagi bangsa manusia. Ini juga dilakukan untuk menentukan hukum-hukum alam
yang dapat dirumuskan dengan cara harfiah. Namun masalhnya ialah pembuktian tidak
memadai untuk membuktikan struktur dan energi temuan baru di dalam dunia ini. misteri
tertinggi tidak dapat ditagkap di dalam kerangan harfiah. Contoh :A. keharfiahan tampak
dalam agama islam bahwa Quran diapandang mencatat perkataan langsung Allah kepada
Muhmamad. B. pertanyaan menarik muncul ; apakah suatu teks simbolis dapat diungkapkan
secara harfiah. Penafsiran dapat didefinisikan sebagai kalimaat yang harus dipahami sdcara
harfiah dan secara deskriptif mengartikan apa yang disugertikan oleh kalimat metaforis.
Fungsi tafsiran ialah reduplikasi dari daya sugestif metafora dalam istilah-istilah lain
meskipun deskriftif belum tentu dapat diartikan secara tepat.

BAGIAN PERTAMA
BEBERAPA CONTOH BENTUK SIMBOLIS
BAB EMPAT
VISUAL DAN DRAMATIS
A. Tubuh dan Makanan
Pemikiran pertama ialah bagaimana dapat bertahan hidup. Manusia hidup karena
hubungannya dengan segala yang melampaui dirinya: orang tua, saudara kandung,
lingkungan, alam, yang Trasenden dan Gaib.
Kemampuan universal untuk bertansendensi-diri, sejauh kita ketahui merupakan sifat
yang membedakan manusia dengan binatang dan merupakan suatu yang membuat manusia
dapat saling berkomunikasi melalui system symbol yangdiungkapkan melalui ferak-gerik
atau melalui Bahasa. Menggunakan symbol-simbol secara penuh berarti menjadi lebih
manusiawi. Symbol dapat menunjuk kepada sebuah barang, suatu peristiwa, atau seseorang di
dunia yang lain dan pada isi yang dibayangkan.
Tubuh adalah hal yang universal atau umum untuk seluruh bangsa manusia. Tubuh
merupakan tidak ahnya sebagai symbol kenyataan tapi juga fungsi-fungsinya yang juga
kelihatan pada semua orang. Dalam kesadaran manusia nafas menjadi seuah symbol yang
menunjuk kepada suaturoh di dalam atau kepada roh-roh yang tinggal di fenomena alami
yang lain. Tubuh merupakan symbol istimewa keutuhan,keanekaragaman, pertimbangan,
kekuatan pada laki-laki, keindahan pada perempuan. Tubuh dapat merosot martabatnya dan
menjadi simbok kejahatan; khususnya hwa nafsu seksual kedagingan menjadi musuh roh;
tubuh yang tercemar menjadi symbol kecamaran, tubuh yang rusak menjadi kuburan jiwa.
Namun karena Kerjasama setiap anggot tubuh menjadikan symbol yang kuat yang dapat
membantu banyak orang.
Dalam Gereja, tubuh disimbolkan menunjukkan Kristus baik kepala maupun seluruh
jemaat Kristen. Mengabaikan tubuh atau mencemarkannya adalah dosa berat. Pengaruh
simbolisme roh atas kesadaran manusia dapat diilustrasikan dengan mengacu pada Bahasa-
bahasa di banyak kebudayaan. Khususnya pada tradisi barat, ada kenyataan menonjol yaitu
kata yang sama dalam Bahasa ibrani, Yunani,dan latin digunakan kata roh da angina tau
nafas. Agin sepoi, nafas terengah-engah, tubuh berhenti bernafas dalam kematian-semuanya
merupakan pengalaman universal dan semua mengandung arti simbolis apabila melukiskan
karya roh ilahi. Setiap manusia diberi kemampuan untuk melihat Yesus tidak haya sebagai
manusia tapu juga sebagai Tuhan dan Anak Allah. Roh Kuduslah yang menjadi penafsir ilahi
dann membimbing manusia kepada pemahaman tentang kebenaran yang menyelamatkan.
II
Tubuh tampil pertama kali saat kelahiran dan tubuh harus disingkirkan pada saat
kematian. Kelahiran tubuh sebagai simbolis kepada kelahiran baru, kelahiran kedua,
kelahiran dari atas seperti dalam Bahasa Yonaes 3. Juga dapat membuka arti bahwa kelahiran
baru adalah diperbaharui dan diubah oleh roh Allah dan kelahiran baru ini adalah suatu
symbol yang paling kuat dalam Kekeristenan. Kelahiran menjanjikan pertumbuhan tapi
kematian bersifat final, tidak dapat diubah sejauh menyangkut tubuh. Tubuh sebagai
pengingat dan meskipun tuhuh menjadi debu atau abu, lain dengan jiwa yang akan terus
hidup dengan demikian meskipun mati dapat dipulihkan Kembali oleh kuasa Allah. Tubuh
dipandang secara simbolis sebagai suatu yang menunjuk kepada apa yang akan
dikoordinasikan secara sempurna dan diintegrasikan secara penuh. Penguburan tubuh adalah
suatu simbolis. Dalam kekeristenan ini menunjuk kepada pengharapan. Penafsiran dalam
kekristenan symbol dapat berbicara dengan sangat luasdan bervariasi tergantung pada
pendangan budaya suatu masyarakat khusus.
Makanan dalam masyarakat pemburu daging merupakan makanan pokok, dan dalam
pertain biji-bijian. Makanan merupakan untuk kebutuhan biologis. Dalam Paskah Yahudi
Tindakan makan dan minum merupakn bentuk simbolis, mereka mempersembahkan anak
domba terbaik sebagai kurban syukur. Ada juga pesta musim semi dan mereka meyembelih
seekor binatang. Penyembelihan anak domba, susunan penyantapan makanan, keluaran yang
tergesa-gesa-semuanya itu dapat dihimpun menjadi satu yaitu festifal simbolis kritis yang
mengigatkan para peserta upacara akan penebusan mereka dan yang mengilhami mereka
dengan pengharapan akan kebebasan.
III
Kegiatan makan bersama merupakan suatu peristiwa genting yang telah mewujudkan
satu bentuk simbolis makanan yang telah memikat dan mengikat imajinasi generasi
berikutnya. Perayaan ini juga memperlihatkan symbol-simbol perhambaan dan pengekangan
dalam air asin dan rerumputan pahit. Ini menunjukkan symbol keluaran. Roti tak beragi
merupakan kepastian datangnya berkat Allah pada masa depan. Semua peristiwa ini secara
simbolis peristiwa genting yang unuk. Ada juga kegiatan doa yang menginngatkan mereka
pada masa keluaran. Semua itu menceritakan arti penting dan derama kisah lama awal mula
yang hina dina, air mata dan duka cita, berakhir pada sukacita yang disemarakkan dengan
nyanian-nyanyian puji syukur kepada Batu Karang Israel dan Penebusnya.
Masyarakat agraris pemberian makanan merupakan bekat kesuburan dan kematangan
akan kelestarian. Namun lain halnya dalam teradisi Kristen olah nama Yesus menetapkan roti
dan anggur dan menghunungkannya dengan tubuh dab darah. Juga misal persediaan gandum
dan anggur harus dihubungkan dengan Tubuh Kristus.
Penafsiran persembahan dan kurban merupakan penafsiran pokok atas Tindakan-
tindakan yang dilakukan atas roti dan anggur, sambil menghubungkan persembahan dan
kurban itu secara khusus dengan tanah subur yang menghasilkan banyak buah. Dan juga
persembahan dan kurban di ubah menjadi konteks perayaan Ekaristi tubuh dan darah kristus.
Muncullah subtansi yaitu menjadi/berubah kendati wujud bentuk tidak berubah. Subtansi
berubah sehingga menurut subtansinya menjadi tubuh Kristus. Makan bersama dapat
memperkuat kesadaran bermasyarakat.
IV
Tubuh manusia adalah symbol yang tepat untuk koordinasi banyak unsur di dalam suatu
kuruhan organis tubuh manusia juga dapat menjadi symbol untuk konsentrasiintens pada
pengharapan suatu tujuan khusus. Agar kedua fungsi itu dapat bekerja dibutuhkan energi-
energi yang disediakan, seperti oleh udara (roh) dan makanan (materi). Ini diwujudkan secara
simbolis oleh manusia yang menerima ilham dan santapan rohani dapat ditentukan sejauh
ketergantungan tubuh pada lingkungan hidup alaminya diakui.
Simbolis lain ialah hubungan-hubungan antartubuh, entah hubungan laki-laki dan
perempuan atau ibu dan anak, atau sahabat. Tindakan seksual akan disebut symbol seks yaitu
cinta dan Bahasa. Tubuh yang berhubungan secara sehat dengan lingkungannya
menyimbolkan cita-cita keselarasan, koordinasi,kehidupan organis. Bertumbuhnya tubuh-
tubuh meyimbolkan cita-citadaya cipta, kepedulian, sikap tanggap satu sama lain.
B. Tanah
Tanah mempunyai arti symbol yang sangat penting. Memiliki sebidang tanah memberi
keyakinan jati diri dan keamanan, merupakan tanda yang sangat jelas sekali mengenai
kesinambungan antara masa lalu, sekarang dan masa depan. Tanah merupak symbol yang
berharga, tanah adalah alat, sarana. Kecintaan atau rasa lekat pada tanah dalam beberapa
masyarakat agraris dihubungkan dengan penghormatan kepada dewi bumi, ibu pertiwi yang
melahirkan hidup kodrati. Dalam filsafat manusia dipandang berhubungan vital dengan tanah
sendiri; manusia memiliki tanah bahkan tanah memiliki manusia. Dengan demikian tanah
dipandang suci dan sebagai symbol ada yang terakhir.
Menurut pandangan yang pertama tanah adalah symbol yang berharga dan dalam
pandangan yang kedua adalah alat, sarana. Dengan upacara-upacara simbolis membajak,
menabur, mengairi, memangkas, menuai bukan praktek-praktek yang bersifat utiliter melulu.
Semua itu merupakan sesuatu yang lebih. Semua itu dihubungkan dengan seluruh daur hidup
dan oleh karenanya harus ”dibaptis” secara simbolis. Apa lagi upacara-upacara (yang asal
usulnya kafir) telah diubah oleh penjelmaan Sabda Allah sehingga materi sendiri secara
potensial telah ditebus. Dengan demikian, dunia dan kehidupan kosmis di bawa kepada
realisasi potensi itu dengan senantiasa mengulangi dan memberlakukan Kembali upacara-
upacara simbolis yang sesuai dengan setiap tahap yang utuh. Ini adalah agama transfigurasi;
di sini tanah dipandang sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar sarana produksi: tanah adalah
symbol seluruh proses- hidup ilahi. Menyelewengkan proses itu atau mengabaikan
kesuciannya berarti melakukan dosa besar. Sifat hakiki tanah adalah bahwa tanah itu
seluruhnya milik dan kuasa Yahwa, Allah Israel. Tanah tidak hanya sebuah symbol sebagi
penyedia makanan atau sumber daya alam melainkan tempat ketaatan kepada Allah tanpa ada
orang yang merintanginya atau mengekang.
C. Pakaian
Pakaian mempunyai arti khusus dan makna simbolis. Pakaian telah dikaitkan secara erat
dengan jati diri (identitas, kpribadian), steruktur kelas, petunjuk pertumbuhan dan penuaan
juga perayaan kesenian. Dalam keagamaan pakaian mempunyai fungsi dan symbol yang
berbeda. Seperti pada kaum biarawan/biarawati yang selalu memakai pakainya yang berbeda-
beda. Berbeda dengan kaum fotografi yang memperhatikan hubungan era tantara kelas dan
pakaian. Pakaian adalah sebagai tanda dan juga tidak semata-mata bersifat fungsional. Tanda-
tanda bisa bersifat ilmiah yang sedikit mengalami perubahan atau perkembangan. Apakah
pakaian masih terus berfungsi sebagai symbol dalam keagamaan. Pandangan pertama
berpakaian untuk tokoh sentralnya seorang imam dengan pakaiannya meyimbolkan tugasnya
yaitu tugas mengkat manusia kepada hidup Bersatu dengan Allah sendiri. Bentuk pakaian
dapat berubah-ubah sesuai zaman tapi warna tetap syarat yang tidak berubah.
Supaya kita dapat hidup selaras dengan recana-rencana Allah, ada tahap-tahap yang
lebih tinggi dalam suatu hierarki budaya atau pengalaman-pengalaman yang lebih
merangsang dan menggairahkan dalamperjalan memasuki masa depan. Dalam setiap
kebudayaan pakaian atau busana mempunyai arti khusus. Kelompok orang yang sangat
menyeramkan adalah kelompokk orang yang pakaiannya selurunya seragam. Lepas dari hal-
hal yang abnormal itu, sejarah pakaian, dengan makna-makna simbolisnya, merupakan
sejarah yang penuh pesona. Orang yang tugas kewajibannya berdiridi hadapan Allah sebagi
wakil sesamanya harus mengenakan pakaian yang selaras untuk memperlihatkan bahwa ia
dikhususkan untuk karya pelayanan.
Simbol-simbol jati diri nasional, yang kerap kali boleh dikatakan tetap tidak beerubah
selama berabad-abad, telah dikenali secara meluas oleh karena perjalan dan informasi
semakin bertambah banyak berkat televisi selama lima puluh tahun yang lalu. Bahkan dalam
masyarakat-masyarakat yang berubah dengan cepat dalam seggi-segi yang lain, sedikit
banyak dirasakan bahwa hukum, pertahanan negara, pendidikan tinggi, dan penyembuhan
badan harus tetap menggunakan tanda-tanda lahir yang terlihat dalam cara berpakaian wakil-
wakilnya.
Namun pertanyaannya masih tetap, yaitu apakah pakaian masihterusberfungsi sebagai
symbol keagamaan. Apakah pakaian menunjuk kepada penciptatertinggi, sumber kehidupan
tertinggi? Hal ini dapat dilihat dengan jelasterhadap pakaian imam. Dalam kehidupan sehari-
hari mereka menggunakan pakaian warna hitam dan Ketika menjalankan tugasnya berpakaian
putih. Hitam melambangkan penjaauhan darikemewahan dan putih melambangkan
kemampuan mengarah kepada persembahan diri.
Agama Kristen Reformasi secara tradisional memberi perhatian lebih kecil kepada
pakaian atau symbol-simbol yang kelihatan. Perhatian utamanya adalah mendengar firman
Allah yang hidup melalui bejana-bejana terpilih dan menaggapi firman itu dengan iman
kepercayaan dan ketaatan. Simbolisme yang kelihatan dianggap sebagai hal yang sekunder.
Namun apakah pakaian berguna Ketika memaklumkan firman Allah secara meriah? Apakah
Kitab Suci yang menjadi saksi firman itu harus merupakan satu-satunya bentuk simbolis?
Migrasi dan perjalanan yang semkain banyak, perpecahan masyarakat, pegarus media
komunikasi massa, mobilitas mode pakaina telah menyebabkna perubahan luarbiasa dalam
gaya berpakaian sejak Perang Dunia II. Dalam dunia Gereja juga ada beberapa pakaian yang
hilang dan sebagian menjadi sangat jarang digunakan.
Dalam perjanjian baru tidak ada catatan tentang para rasul atau pengarang injil atau
imam atau diakon mngenakan pakaian istimewa atau tanda-tanda jabatan. Simbolisme pokok
dan kerap kali diulangi untuk semua orang adalah simbolis menanggalkan pakaian lama dan
mengenakan pakaian baru. Sebuah pakaian menjadi using, berlubang-lubang atau sobek-
sobek, menjadi lusuh, kumal, dan tidak layak lagi dikenakan. Saat itulah, saat untuk ciptaan
baru. Gambaran ini adalah sesuatu yang pokok dalam ajaran Yesus sendiri. Jangan
menambalkan kain baru pada pakaian lama! Hal ini menjadi pokok bagi orang-orang yang
bertobat menjadi Kristiani di dunia Laut Tengah. Menanggalkan dan mengenakan.
Menanggalkan peri kehidupan lama, adat kebiasaan lama, kelemahan-kelemahan lama.
Mengenakan adat kebiasaan baru, kekuatankekuatan baru, dan terlebih-lebih Kristus sendiri.
’’Kenakanlah Tuhan Yesus Kristus’' (Rm 13: 14).
Namun, tidak hanya tekanan atau desakan dari para penguasa duniawi yang dapat
menentukan pakaian. Pada umumnya semakin suatu rezim gereja bersifat autoritatif, semakin
rezim itu akan memaksa supaya tanda keterpisahan yang jelas dapat terus-menerus dilihat.
Kerah biru dan kerah putih ditandingi oleh kerah Romawi. Jubah secara langsung
membedakan pemakainya dari semua pria dan wanita yang lain. Pakaian tertentu diwajibkan
ketika pejabat menjalankan tata cara sacramental. Pakaian menyimbolkan manusia; dunia
kodrati adalah sebuah pakaian yang menyimbolkan yang ilahi. Oleh karena itu, menurut
pandangan Carlyle, tidak ada suatu apa pun yang tetap dan tidak berubah dalam sebuah
simbol. Simbol dapat menjadi usang dan kuno. Dapat digantikan dengan apa yang sesuai
dengan keadaan atau kondisi yang berubah. Bagi Carlyle, simbol, seperti pakaian, adalah
bayangan yang mengundang para penglihat untuk menembus dengan daya imajinasinya ke
realitas di seberang Sana. Akan tetapi, simbol tidak mengambil bagian dalam realitas itu.
Seperti ditunjukkan oleh Sr. Swiatecka, kata kunci bagi Coleridge bukan meniru
melainkan “pengejawantahan”. Sebuah simbol sebenarnya mengambil bagian dalam apa yang
diwakilinya dan dengan demikian memiliki sifat ilahi yang menjadikan simbol itu lain
daripada yang lain. Hal ini berarti, menurut hemat saya, bahwa pakaian untuk perayaan
Ekaristi yang dikenakan oleh seorang imam mempunyai sifat suci: pakaian itu tidak dapat
dikenakan untuk tujuan-tujuan duniawi dan tidak dapat dipandang sebagai segi tindakan
ekaristi yang dapat berubah-ubah. Kebanyakan penduduk dunia setiap hari berpikir tentang
pakaian. Apakah pakaian semata-mata bersifat fungsional ataukah pakaian dalam arti tertentu
bersifat simbolis? Jika bersifat simbolis, apakah pakaian menunjukkan status dalam
masyarakat, jenis tugas khusus yang harus dilaksanakan, mode untuk masa khusus? Atau
apakah pakaian sebenarnya merupakan bagian dari seluruh hubungan manusia dan Allah,
suatu simbol yang dapat berubah-ubah dalam hal detailnya yang tak hakiki dari tempat ke
tempat dan dari zaman ke zaman tetapi yang dalam bentuk hakikinya, oleh hubungannya
dengan Yang Kekal Abadi, tetap tidak berubah
D. Terang dan Gelap
Dalam segenap pengalaman manusia, terang dan kegelapan, dapatlah dikatakan,
merupakan fenomena yang kita insafi secara paling tetap dan sesadar-sadamya. Udara untuk
bemapas jarang sekali tidak dapat diperoleh dan jarang-jarang pula kita sadar akan proses
bernafas; air dan makanan dibawa oleh orang lain ke rumah kita atau kita sendiri mencari air
dan makanan itu, sedang di banyak bagian dunia hal itu juga berlaku untuk penyediaan panas.
Namun, irama teranggelap bersifat unik. Lambat laun terang bertambah dan menyelimuti
kita; lambat laun terang berkurang dan kita diliputi kegelapan. erjanjian Baru
menghubungkan Allah secara langsung dengan tiga pengalaman manusia: Allah adalah Roh,
Allah adalah Kasih, Allah adalah Terang. Barangkali pengalaman teranglah yang paling
banyak digunakan secara simbolis oleh para saksi Kristen untuk membuat sesama mereka
mampu tumbuh berkembang dalam pengetahuan akan Allah.
Salah satu manfaat terpenting simbolisme terang ialah bahwa simbolisme terang dapat
digunakan tidak hanya dalam pengajaran dan penafsiran verbal tetapi juga oleh seniman-
seniman yang menggunakan sarana-sarana visual untuk mengungkapkan wawasan-wawasan
mereka sendiri. Terang sebagaimana digunakan dalam sebuah lukisan atau sebagaimana
diperantarai oleh jendela-jendela bangunan dapat menghasilkan suatu efek yang gaib,
misterius, keramat. Terang dapat mengisyaratkan, bahkan menunjuk kepada, suatu sumber
transenden atau kepada suatu sifat meresapi yang imanen. oleh dikatakan sepanjang tahun
matahari bersinar kuat dan pada malam hari langit diterangi oleh bulan yang gemilang atau
oleh beriburibu bintang. Orang-orang Mesir, Ibrani, Yunani semuanya menghubungkan Allah
atau dewa-dewi yang baik hati dengan terang; terang merupakan symbol terpenting keilahian.
Dengan demikian, melalui simbolisme terang dunia filsafat dan mistisisme orang
Helenis menjadi sangat dekat dengan dunia agama dan etika orang Ibrani. Dalam Perjanjian
Lama, khususnya dalam kitab Mazmur, simbolisme terang digunakan dengan leluasa ketika
berbicara tentang Allah dan hubungan-Nya dengan manusia. Selanjutnya, simbolisme terang
ini diambil oleh Philo dan dipergunakan sebagai salah satu mata rantai utama antara tradisi
Ibrani dan filsafat Yunani. Pernyataan dramatis "Aku adalah terang dunia" ternyata
merupakan salah satu hal yang paling kuat menunjuk kepada sifat dasar perutusan Yesus dan
kepada arti penting hidup, wafat, dan kebangkitan-Nya yang tak ada hentinya antara Allah
dan manusia.
Dalam sejarah agama Kristen, pelbagai sifat dan tingkatan terang telah menjadi bahan
bagi para filsuf, pelukis, pengkhotbah, dan moralis. Dalam milenium pertama, Platonisme
dan Neo-Platonisme merupakan sistem filsafat yang dominan dan agama Kristen berusaha
menghubungkan diri dengan kedua system filsafat itu; dalam kedua sistem filsafat tersebut
simbolisme terang senantiasa dijumpai. Karya-karya besar seni Kristen menunjukkan dengan
sangat jelas bahwa kedatangan Kristus membawa sumber terang yang baru ke dalam dunia.
Akhimya, bagi para moralis, tidak ada kontras yang dapat dijelaskan dengan lebih mudah
daripada kontras antara pekerjaan baik yang bersinar sebagai terang di hadapan sesama
manusia maupun pekerjaan jahat yang secara sembunyi-sembunyi dilakukan di suatu tempat
gelap.
Akan tetapi, dua abad yang lalu telah terjadi perkembangan yang luar biasa dalam
pemah aman kita tentang sifat-sifat dan proses-proses terang, dan dengan demikian dalam
cara-cara baru untuk menghasilkan terang. Apakah terang masih merupakan simbol alami
ataukah sudah menjadi semata-mata medium yangkegunaannya sangat mengagumkan di
dalam kompleks teknologi yang sangat luas? Listrik, televisi, laser, teknologi informasi
semuanya secara mendalam menyangkut daya-daya kemampuan terang yang dihasilkan
secara artifisial. Pada awal mulanya kegelapan menyelimuti wajah lubuk hati; kemudian
terang ilahi bersinar dan orang-orang mulai berpaling ke arah terang itu, menciptakan
"agama-agama yang lebih tinggi”; akan tetapi, agama-agama ini menjadi formal serta tanpa
kehidupan dan kegelapan kembali. Kemudian datanglah saat yang sudah ditetapkan, saat
terang Sang Sabda bersinar memancar dan seakan-akan orang-orang sekarang hams berjalan
maju dari terang ke terang. Akan tetapi, lagi-lagi egoisme dan kebutaan menyebabkan
kegagalan dalam gereja dan menjadi mendesaklah kebutuhan akan halhal yang tampak dapat
mengingatkan orang akan terang yang tak kelihatan.
Dengan mengingat hal itu, sang pujangga mengakhiri karyanya dengan lagu pujian
agung untuk memuji Terang yang tidak terlihat. Semua terang yanglebih kecil adalah
pengingat: terang di timur sebagai matahari terbit, terang di barat sebagai matahari terbenam,
cahaya bulan dan bintang, terang-terang di altar dan tempat suci, terang yang terpantul dan
terbias, bahkan terang kecil yang bertelau-telau dalam bayangan. Namun, rupanya karena
pengalaman seram Perang Dunia 11, Eliot kemudian merasa bahwa kegelapan telah
menyelimuti bumi lagi dan bahwa orang-orang Kristen terpaksa masuk ke dalam kegelapan
itu, memang tidak tanpa harapan. tetapi dengan pengertian bahwa hanya melalui pertobatan
dan pemumian yang mendalam — malam gelap jiwa — dapatlah mereka mengalami saat-saat
sinar cerah sesudah hujan, cahaya cemerlang sesudah bayang-bayang suram, pancaran terang
sesudah kegelapan.
Dengan banyak cara terang telah merupakan simbol yang sangat kuat untuk
mengungkapkan dan menyampaikan wahyu Kristen. Para saksi telah mengatakan bahwa
orang yang memaklumkan Sabda Allah dan kemudian mati serta bangkit kembali adalah
pancaran kemuliaan Allah dan terang yang menunjukkan jalan bagi semua orang, pria dan
wanita, untuk menemukan tujuan hidup mereka yang sesungguhnya. Kita sedang menemukan
daya kekuatan sinar terang yang sampai saat ini tak terpikirkan: daya kekuatannya untuk
menembus atau memotong baja dan untuk menggantikan kawat-kawat dalam menyampaikan
pesan-pesan. Akan tetapi, daya kekuatan ini hampir tidak mengarahkan daya imajinasi
manusia kepada hubungan Allah-manusia. Daya kekuatan ini hanya dilihat semata-mata
sebagai contoh lebih lanjut atas kemajuan teknologi tinggi. Kegelapan jasmani jarang
dialami. Rasa kagum akan kedatangan Terang berkurang dan simbolisme kuat Epifani
menghadapi bahaya kemunduran
e. Api dan Air
Kebutuhan pada matahari pada zaman purbakala sangatlah mutlak. Kemudian
ditemukanlah babak baru yaitu Ketika ditemukannya cara menyalakan api. Dengan
ditemukannya cara membuat api ini, bangsa manusia memperoleh tidak hanya kenyamanan
dan kemudahan hidup bagi diri mereka sendiri tetapi juga manfaat yang tak terhitung
besarnya bagi binatang. Untuk keperluan penerangan, kehangatan, perlindungan, dan masak-
memasak, mereka sekarang mempunyai alat yang tak temilai harganya. Tidak mengherankan
bahwa api menjadi salah satu bentuk simbolis yang paling kuat dan paling luas penerapannya.
Api dapat mengacu kepada sedemikian banyak manfaat, dan kepada sedemikian banyak
bahaya. Api tidak pernah dapat diperlakukan dengan serampangan tanpa tahu akibatnya. Oleh
karenanya, timbullah seruan orang yang melihat api sebagai simbol katarsis tertinggi: Allah
kita adalah api yang melalap. Api telah memainkan peranan penting dalam mitologi, legenda,
puisi, dan dalam sejarah. Api berfungsi dengan sempurna sebagai simbol yang berhubungan
dengan sifat rangkap pengalaman manusia: api menghangatkan; api juga menghancurkan.
Namun, api juga dapat menjadi simbol pembersihan yang dramatis. Ketika patung-
patung (Yudas Iskariot, Paus, Guy Fawkes) dibakar di muka umum, timbullah rasa puas yang
aneh bahwa telah membersihkan tanah dari pengaruh jahat yang berasal dari sumber tertentu.
Pembakaran para bidaah dan ahli sihir rupanya menjadi jalan untuk melenyapkan ancaman si
jahat. Tidak ada catatan tentang pengalaman para saksi Kristen purba yang telah
membangkitkan daya imajinasi di kemudian hari dengan lebih kuat daripada catatan yang
menyebutkan ”tiba-tiba turunlah dari langit suatu bunyi seperti tiupan angin keras ... dan
lidah-lidah seperti nyala api”. Maka, orang-orang Kristen berusaha untuk dibaptis dengan api,
untuk mempunyai api di dalam hati mereka, untuk berkobar-kobar dengan api ilahi.
Kemenduaan yang sama tampak dalam simbolisme air. Manusia dapat tidak makan
selama berhari-hari dan masih tetap hidup. Akan tetapi, manusia tidak dapat hidup lama tanpa
air. Dengan motivasi lain apa pun dan dalam keadaan lain apa pun para suku bangsa
pengembara berpindah-pindah tempat, kebutuhan akan persediaan air sangat mutlak: sumur
atau perigi atau sumber atau oasis dengan sendirinya mempunyai arti penting yang besar
sebagai simbol penyelamatan dan penyegaran rohani. Namun, dilihat dari sudut yang lain, air
dapat merupakan ancaman dan kehancuran. Kesusastraan dunia berlimpah dengan kisah-
kisah air bah, topan, puting beliung, laut menggelombang, sungai membanjir, kapal-kapal
tenggelam. Kisah Nabi Nuh, kenangan akan orang-orang Mesir yang ditelan Laut Merah,
perjuangan para pelaut di kapal yang ditumpangi Nabi Yunus semuanya secara dramatis
dikisahkan oleh para penulis Perjanjian Lama. Turun ke tempat yang hina dina, mirip dengan
lahir dari air yang mengalir dari rahim ibu, dibersihkan dari bekas-bekas hidup sebelumnya,
dan mengenakan pakaian baru semuanya itu membuat baptisan Kristen menjadi ritus yang
penuh dengan daya kekuatan simbolis, dengan di dalamnya air merupakan unsur pokok yang
memiliki kemungkinan penafsiran keagamaan yang hidup dalam bentuk yang tidak terbatas
jumlahnya.
Dengan demikian, air, meskipun dapat digunakan hanya sebagai tanda untuk menarik
dan menolak, sepanjang sejarah manusia telah menjadi simbol yang kekuatannya luar biasa.
Dalam bab tentang ’The Waters and Water Symbolism” dalam bukunya Patterns in
Comparative Religion, Mircea Eliade menyatakan dengan sangat jelas sehingga kita tidak
ragu-ragu bahwa (seperti dirumuskannya)” air menyimbolkan seluruh daya kemampuan: air
adalah fans et origo, sumber seluruh eksistensi yang mungkin ... air menyimbolkan zat purba
asal datangnya semua bentuk dan tujuan kembalinya semua bentuk”
f. Darah dan Kurban
Dalam dunia kuno darah rupanya menjadi sumber dan pembawa hidup sendiri.
Berbagi darah, seperti dalam upacara inisiasi atau perjanjian, berarti berbagi hidup; minum
darah (seperti terdapat di kalangan suku bangsa Eskimo tertentu) atau mengoleskan darah
pada tubuh berarti meningkatkan sifat-sifat yang menghidupkan; mencurahkan darah ke tanah
adalah suatu cara untuk menyuburkan tanah demi menjaga kelestarian keseimbangan hidup.
Darah seekor binatang harus ditumpahkan ketika seorang anak dilahirkan ke dalam dunia;
kehilangan darah berarti kehilangan hidup. Dalam masyarakat yang relatif menetap, yang
persediaan makanannya berasal dari bumi dan tumbuh-tumbuhannya, jarang terjadi kontak
dengan darah secara umum. Keterkaitan darah dengan kelahiran dan haid mungkin telah
menyebabkan orang bertanya-tanya dan takut, dan kecelakaan yang tragis mungkin telah
menyebabkan orang cemas. Namun, penumpahan darah secara langsung dalam pertentangan
baik antara orang dan orang maupun antara orang dan binatang — itulah yang menyebabkan
kekhawatiran yang jauh lebih dalam.
Khususnya ketika suku-suku bangsa pengembara menjadi tergantung pada daging
hewan untuk kelangsungan hidup mereka sendiri (dan keadaan ini dapat terjadi pada masa
sebelum masa pola hidup yang lebih menetap), menjadi semakin pentinglah pertanyaan
tentarig bagaimana menangani darah yang, seperti pada manusia, merupakan pendukung
langsung zat kelestarian hidup. Jelaslah bahwa darah bukan sesuatu yang dapat diterangkan
secara rasional. Perasaan-perasaan emosional yang mendalam bercampur dengan keperluan-
keperluan praktis, dan hal ini masih demikian dewasa ini. Dalam konteks perawatan medis di
satu pihak dan terorisme di lain pihak, daya tarik emosional simbolisme darah tetap kuat
seperti sediakala.
Hal ini telah menjadi sangat jelas dalam kosakata media berita. Mandi darah, balas
dendam darah, "Minggu berdarah’’, haus darah, laporan tentang pembubuhan cap darah pada
spanduk sebagai protes keras, dan sebagainya istilah-istilah dan kejadian-kejadian seperti itu
menyingkapkan kekuatan emosional bentuk kiasan seperti itu. Tidak ada tempat lain yang
telah memperlihatkannya dengan lebih terang-terangan daripada pertentangan di Timur
Tengah. Dalam konteks yang lebih membahagiakan, berusaha keras untuk menulis, berdoa,
bahkan berpikir barangkali digambarkan sehidup-hidupnya sebagai pencurahan darah.
Dengan kata-kata Milton yang termasyhur, sebuah buku adalah "darah hidup yang berharga
dari seorang adi-roh’’, dan bagi Nietzsche hanya apa yang ditulis dalam darah adalah, pada
hematnya, layak dibaca dan dipelajari.
Bahwa darah beredar di seluruh tubuh sudah lama diketahui, tetapi saya belum lama
ini baru menyadari bahwa hal ini diterapkan secara simbolis pada hidup masyarakat.
(Meskipun demikian, St. Gregorius sudah lama sebelumnya membuat hubungan simbolis
yang menarik. "Beberapa tetes darah memperbarui seluruh dunia dan mengerjakan untuk
semua orang apa yang dikerjakan oleh rennin untuk susu: menggabungkan dan
mempersatukan kita.’’) Hal yang palin dramatis adalah pemyataan Ny. Indira Gandhi, yang
menyatakan, tidak lama sebelum ia dibunuh: “Jika darah tidak beredar, tubuh mati. Jika saya
mati hari ini, tiap tetes darah saya akan memperkokoh bangsa”.
Saya telah menggunakan contoh-contoh itu untuk menunjukkan betapa masih kuatnya
daya tarik simbolisme darah: darah, dapat kiranya ditegaskan, adalah penghubung yang
paling hidup dan dramatis antara kehidupan dan kematian. Namun, simbolisme darah tidak
berdiri sendiri. Simbolisme darah berkaitan erat dengan simbolisme kurban. Sejarah upaya
untuk menafsirkan kurban adalah sejarah yang luar biasa. Usaha demi usaha dilakukan untuk
memberikan satu penafsiran yang serba mencakup dan kemudian menggunakannya sebagai
dasar suatu dogma agama. Pertama, jelas bahwa tata cara kurban sudah ada lama sebelum
adanya pertanian yang terorganisir. Zaman baru yang ditengarai oleh pembagian
sawahladang, penaburan serta pengairan tanaman, dan penuaian serta penyimpanan gandum
mendatangkan perubahan-perubahan besar dalam hidup bermasyarakat dan semuanya ini
dicerminkan dalam sikap-sikap terhadap dan hubunganhubungan baik dengan binatang
maupun dewa-dewi. Dewa-dewi pun dihubungkan dengan pemberian kondisi-kondisi yang
baik untuk menabur, mematangkan, menuai hasil-hasil bumi, dan dalam konteks ini tidak ada
hal yang lebih layak daripada membagi-bagikan hasil dan mempersembahkan
pemberianpemberian. Kurban akhimya menjadi, secara dominan, persembahan hasil-hasil
bumi dengan disertai permohonan atau puji syukur. Simbolisme darah tidak lagi dominan
dalam lingkup hidup sehari-hari.
Namun, ada satu ruang lingkup di mana daya kekuatan simbolisme kurban dan darah
masih tetap besar, yaitu ruang lingkup hukum.Aturan paling sederhana dalam seluruh hukum
suku bangsa adalah aturan ekuivalensi. Mata ganti mata, gigi ganti gigi, nyawa ganti nyawa,
darah ganti darah. Hanya beberapa minggu sebelum saya menulis paragraf ini surat kabar
memuat detail-detail keadilan yang seram di Iran: seorang istri, sesudah membutakan mata
suaminya, harus ganti matanya sendiri dibutakan. Pembalasan, balas dendam, penggantian,
penyulihan rupanya telah menjadi ungkapan keadilan yang wajar di semua jenis masyarakat.
Satu-satunya perbedaan terletak dalam memperbolehkan hukuman pengganti dan dalam
menentukan apa seharusnya yang menjadi pengganti.
Dalam konteks hukum kodrat, kurban dapat dipandang sebagai cara untuk senantiasa
mengulang dan memberlakukan kembali secara simbolis asas poko kematian sebagai
pendahuluan yang perlu menuju hidup baru: siklus yang secara tetap diulang di atas bumi
sebagai simbol suatu proses surgawi. Sebagai kemungkinan lain, dalam konteks hukum yang
ditetapkan oleh otoritas untuk suatu masyarakat khusus mana pun, kurban dapat dipandang
sebagai cara untuk memulihkan ekuilibrium. Kiranya tidak dapat diragukan bahwa pada masa
dahulu kala eksistensi manusia, pembunuhan binatang (dan kadang-kadang manusia), dan
penumpahan darah merupakan bagian hakiki dari perjuangan memperoleh makanan
seharihari dan bahwa hal ini diberlakukan kembali secara dramatis dalam suatu jenis kurban.
Hal yang kedua ini rupanya menghubungkan orang yang melakukannya dengan daya
kekuatan yang lebih dari manusiawi saja.
Dalam tradisi Kristen, di luar konteks hukum, kurban Kristus telah dihubungkan
secara istimewa dengan renuntiatio (meninggalkan dunia), dan darah Kristus dengan
purificatio (memumikan diri). Tidak ada simbol yang bekerja dengan lebih kuat dalam drama
inisiasi baptis daripada simbol kurban Kristus: melalui kurban ini la mati bagi ringkusan daya
kekuatan setan, bagi kekakuankekakuan hukum, bagi dunia yang berdosa, dan bagi setiap
manifestasi kejahatan di dalam dunia itu sebelum la bangkit kembali ke dalam hidup yang
baru. Demikian juga, tidak ada simbol yang lebih kuat sebagai sarana pembersihan rohani
daripada darah Kristus. Karena sekarang ini mengalirnya darah pada umumnya tersembunyi
dari mata publik di tempat-tempat pemotongan hewan atau di rumah-rumah sakit, maka
referensi kepada simbol darah menjadi berkurang dan kerap kali rupanya tidak diinginkan.
Bahasa Buku Doa Bersama, "semoga tubuh kita yang berdosa dibersihkan oleh tubuh-Nya
dan jiwa kita dibasuh dalam darah-Nya yang teramat berharga" atau bahasa madah-madah
seperti misalnya "Batu Karang Segala Zairian” dengan penyebutannya "air dan darah, yang
mengalir dari lambung-Mu yang terkoyak”, dan "ada air mancur darah yang memancar dari
urat nadi Immanuel” tampak terlalu realistis dan kadang-kadang hampir bersifat magis, gaib
dalam implikasinya.
BAB LIMA
LISAN DAN TERTULIS
I
Tidak ada topik yang diperhatikan di kalangan cendekiawan selama lima puluh tahun
terakhir sesering topik bahasa. Para filsuf, antropolog sosial, dan psikolog asyik berpikir
tentang asal usul, peraturan, tata bahasa, dan makna: disiplindisiplin ilmu yang baru telah
tercipta seperti misalnya semantik, semiotik, psikolinguistik, dan sosiolinguistik. Jika ada
satu ciri yang terdapat pada semua orang, ciri itu ialah bahasa lisan. Memang benar bahwa
binatang dan burung mempunyai cara untuk saling berkomunikasi dan dengan demikian
mungkin saja berbicara tentang bahasa binatang. Akan tetapi, perbedaannya dengan bahasa
manusia sangat radikal. Kalau bahasa binatang tampak terbatas pada pemberian sinyal-sinyal
dan penerimaan respons-respons langsung, bahasa manusia mencakup segala macam
pengalaman manusia: sejarah masa lalu dan prospekprospek bangsa manusia pada masa
depan, hubungan dan pertalian manusia dengan lingkungannya serta pengungkapan totalitas
yang kita sebut kebudayaan.
Dua pola umum pengalaman manusia telah berpengaruh secara menonjol pada
bentuk-bentuk bahasa. Kedua pola ini ialah hal-hal yang berirama dan berulangulang di satu
pihak, dan hal-hal yang berurutan dan bertujuan di lain pihak. Dalam suatu kalangan yang
tertutup, bahasa berkisar di sekitar barang-barang yang dikenal sehari-hari dan
manifestasinya yang terperinci (manusia, binatang, sayuran, barang tambang). Semuanya ini
dapat diberi nama dan hubunganhubungannya ditentukan. Kuantitas (besamya, beratnya,
umur) dapat ditunjukkan dalam angka. Banyak jenis peristiwa (kelahiran, tahap-tahap
pertumbuhan, kematian) terjadi berulang-ulang dan semuanya ini juga dapat diwakili secara
verbal. Pola-pola yang tetap dan berulang-ulang membentuk suatu sistem tanda yang secara
relatif tidak ambigu atau mendua sifatnya: semuanya ini dapat dibaca dan diartikan oleh
seluruh masyarakat.
Simbol harus menjaga hubungan dengan apa yang sudah dikenal melalui pengalaman
tetap. Bersamaan dengan itu, simbol juga harus terentang menuju kepada hal tak terduga
yang tidak seutuhnya cocok dengan pola yang sudah biasa. Simbol melukiskan secara
imajinatif fenomena baru dengan suatu analogi; simbol berbeda, namun sebanding, dengan
apa yang sampai saat ini merupakan pengalaman yang biasa. Simbol dapat berupa bentuk
kata yang menambahi nama asli dengan awalan atau adjektif atau adverbia; alternatifnya,
simbol itu dapat memperluas nama asli sedemikian rupa sehingga tetap mempertahankan
susunan asli tetapi menunjuk lebih jauh lagi. Sifat penting simbol seperti itu ialah bahwa
simbol itu menunjuk kepada cakrawala yang lebih luas tanpa meninggalkan hubungan
dengan yang sudah biasa dan menjadi tradisi. Bagi kelompokkelompok sosial yang tetap dan
terbatas, Allah divisualisasikan sebagai yang hidup pada puncak suatu kompleks hierarkis.
Dasamya mungkin bergaris tengah ekstensif; mungkin ada banyak tingkat dalam analogi-
analogi memuncak; akan tetapi, pada batas ketinggian yang transenden ada Dia yang ditunjuk
dan dirayakan oleh semua bentuk symbol.
II
Mengenai bentuk atau pola yang kedua, bahasa yang linear berusaha untuk
membangkitkan ingatan akan pengalaman-pengalaman masa lalu dan untuk mengungkapkan
antisipasi masa depan yang diharapkan. Warisan dari masa lalu diperoleh dari belajar melalui
peristiwa-peristiwa yang silih berganti: perjumpaan dengan manusia dan binatang,
pengalaman akan fenomena alam. Prospek masa depan adalah prospek mengatasi rintangan
dan mencapai pemenuhan pribadi. Genealogi memberikan garis keturunan yang penting; apel
para pahlawan merayakan silih bergantinya perbuatan-perbuatan berani pada masa lalu.
Menurut kepercayaan, apa yang terjadi pada masa lalu akan dimanifestasikan lagi pada masa
depan. Catatan yang bersifat linear rupanya merupakan tanda jelas akan adanya suatu tujuan
yang sedang digarap di atas bumi. Fungsi hakiki paradoks atau perumpamaan ialah
menggabungkan hal-hal yang tampak berlainan dan berbeda dalam saling pengaruh yang
kreatif di dalam pengalaman sosial.
Studi sejarah menyingkapkan bahwa simbol-simbol yang bersifat perumpamaan
dengan mudah dapat menjadi formal, terbatas pada satu tafsiran. Hal ini mungkin merupakan
akibat dari perihal memperluas pengetahuan tentang dunia alami atau sejarah umat manusia,
pengetahuan yang memampukan kita untuk mengetahui bahwa hal-hal yang telah tampak tak
bercocokan merupakan bagianbagian vital dari tekstur (jaringan) yang kaya. Akan tetapi,
bilamana upaya mencari metafora dan perumpamaan berhenti, hidup menjadi diatur dan
dibatasi pada garis lurus yang tanpa variasi dan monoton.
III
Dua bentuk simbolis terkemuka yang digunakan oleh para cendekiawan Abad
Pertengahan adalah analogi dan alegori. Analogi adalah metode yang digunakan untuk
menafsirkan alam kodrat dan eksistensi manusia, dengan melihat bahwa alam dan eksistensi
manusia telah diciptakan secara ilahi dan oleh karenaaya mampu menunjuk kepada pikiran
dan maksud ilahi. Alegori adalah metode yang digunakan untuk teks-teks Kitab Suci, dengan
melihat teks-teks itu sebagai selubung yang menyembunyikan kebenaran-kebenaran ilahi di
bawahnya. Alam semesta adalah organisme yang mahaluas, yang digerakkan dan
mengungkapkan hidup ilahi.
Dalam situasi-situasi agraris, ada beraneka ragam bukti kehidupan, dan orang-orang
yang tinggal di situ mempunyai tugas menyebarluaskan dan menjaga hidup itu. Bahasa yang
biasa menyangkut proses-proses hidup ini dan kemudian diperluas dengan analogi untuk
mencakup keperluan-keperluan sosial yang lebih tinggi, yaitu organisasi, distribusi,
penyembuhan, pemilikan, dan akhirnya memuncak kepada pelukisan dunia transendensi dan
kegiatan-kegiatan Allah yang hidup sendiri. Analogi cara perluasan yang sebanding dalam
bentuk verbal, dan sinekdoke, cara penggunaan sebagian untuk mewakili keseluruhan atau
pars pro toto, merupakan sarana-sarana biasa yang dipakai oleh para cendekiawan Abad
Pertengahan untuk memberikan kesaksian mereka tentang Dia yang telah menciptakan
seluruh alam semesta dan mengatur tataran-tataran hidup di dalamnya.
Metode dasamya seragam. Muncul dari tanah, sumber dan penjaga kehidupan,
tampaklah simbol analogis, yang membubung tahap demi tahap menuju yang transenden.
Setiap bangunan, dengan cara dan cirinya sendiri yang khas, merupakan contoh keagungan di
atas bumi yang terbatas ini tetapi tahu bahwa tidak pemah dapat mengungkapkan sepenuhnya
apa yang tidak terbatas. Tidak ada orang yang lebih sadar daripada Thomas Aquinas,
pujangga metode analogi, bahwa Summa-nya yang masif hanya dapat menunjuk kepada Ada
ilahi, tidak pernah dapat mencakup-Nya secara keseluruhan. Analogi pada hakikatnya adalah
alat atau metode penafsir struktur alam, ilmuwan, filsuf ilmu, ketika ia siap sedia untuk
memandang melampaui apa yang dapat diamati secara langsung dan diwakili dengan tanda-
tanda univok menuju konteks yang lebih besar dan luas, bahkan menuju realitas universal
yang serba-mencakup. Seperti dikatakan oleh Francis Bacon, "Alam semesta jangan
dipersempit pada batas-batas pemahaman kita — justru pemahaman kita harus direntangkan
dan diperbesar untuk menerima citra Sang Semesta ketika ditemukan.” Alat yang paling
efektif untuk mewujudkan perluasan itu adalah analogi. Analogi juga merupakan hal yang
pokok dalam tugas menyampaikan pengetahuan ilmiah tentang dunia alami (kodrati).
Analogi juga merupakan hal yang pokok dalam tugas mengembangkan pengetahuan
kita tentang Allah dengan merujuk kepada fenomena dalam dunia kodrati yang terlihat
sebagai ciptaan-Nya. Jadi, nilai penggunaan analogi, baik dalam ilmu alam maupun dalam
teologi kodrati, hampir tidak dapat diragukan. Namun, selalu ada bahaya bahwa kita
memusatkan perhatian pada satu analogi atau menyimpulkan bahwa analogi harus ditafsirkan
secara harfiah atau univok. Analogi adalah salah satu cara, cara yang penting, untuk
mengembangkan pengetahuan kita tentang Allah.Analogi adalah cara pendambaan, cara
hasrat manusia untuk melambung, cara pembangunan tangga dan anak tangga, cara
pembangunan tataran-tataran. Akan tetapi, analogi bukanlah satu-satunya cara.
IV
Metode alegori digunakan untuk menguraikan misteri teks-teks Kitab Suci. Orang
mungkin berusaha untuk membubung menuju Yang Tertinggi dengan, pertama-tama,
mempelajari dan, kemudian, menggali melampaui bentuk-bentuk yang terlihat dalam dunia
kodrati. Namun, sumber wahyu juga tersedia, yaitu Kitab Suci, yang dapat dipelajari oleh
mereka yang mempunyai perlengkapan yang diperlukan. Akan tetapi, sama sekali tidak
mudah membuat penafsiran. Dengan menggunakan penafsiran alegoris, para gembala Abad
Pertengahan berusaha membangun dan memperluas pengertian-pengertian rohani kawanan
(umat gembalaan) mereka. Misalnya, cerita St. Agustinus menggambarkan seorang terpelajar,
yang dengan sabar menerangkan ayat-ayat dari Perjanjian Lama dan Baru dengan
menunjukkan bagaimana istilah-istilah, yang diambil dari percakapan sehari-hari,
sesungguhnya dapat menunjuk kepada realitas-realitas rohani yang penting atau dapat
mengajak orang untuk melakukan kegiatankegiatan rohani yang bertanggung jawab.

Berbeda dengan analogi yang mulai dari fondasi-fondasi duniawi dan kemudian
berusaha membangun, tahap demi tahap, sebuah bangunan bentukbentuk simbolis, alegori
mulai dari penafsiran atas Kristus dan karya-Nya, yang sudah diterima sebagai sesuatu yang
otoritatif di dalam tradisi Kristen. Selama berabad-abad soal yang kritis adalah penafsiran
Perjanjian Lama. Kumpulan tulisan ini sudah diterima oleh gereja Kristen sebagai Kitab Suci
dalam menghadapi usaha-usaha untuk meninggalkannya karena Perjanjian Lama dianggap
sub-Kristen atau bahkan anti-Kristen. Sejauh menyangkut Perjanjian Baru, secara komparatif
tidak banyak keperluan untuk mencari tafsiran-tafsiran yang melampaui apa yang sudah
diterima sebagai catatan yang terpercaya tentang serangkaian peristiwa dan penafsiran makna
peristiwa-peristiwa itu oleh rasul-rasul yang terilhami. Namun, tidaklah demikian halnya
dengan Perjanjian Lama.

Hal ini telah dibicarakan oleh Andrew Louth dalam bukunya, Discerning the Mystery,
la membela metode alegori, yang pertama-tama digunakan oleh para Bapa Gereja purba dan
kemudian diteruskan oleh para teolog Abad Pertengahan, terutama atas dasar dua alasan.
Pertama, ia menarik perhatian orang kepada pengalaman puitis dan kejadian yang selalu
berulang, yaitu bahwa pujangga yang "terilhami/terwahyui" telah mengucapkan atau
menuliskan katakata yang maknanya melampaui makna menurut kesadaran mereka sendiri
atau zaman mereka sendiri. Lalu jika para penulis Perjanjian Lama diilhami,tidakkah mudah
dipahami bahwa kata-kata mereka dapat ditafsirkan memberikan kesaksian akan misteri
Kristus? Kedua, ia berpijak pada arti penting tradisi dan fakta bahwa tidak ada penafsir
dewasa ini yang dapat melepaskan diri sama sekali dari tradisi gereja Kristen, sekurang-
kurangnya selama ia mengaku menafsirkan Perjanjian Lama sebagai seorang Kristen

Menjadi manusia bukan sekadar fakta jasmani, melainkan peristiwa budaya: dalam
Perjanjian Lama dikembangkan matriks budaya itu di mana hal ini mungkin terjadi. Dalam
Perjanjian Bam ada pemenuhan: misteri itu menjadi fakta. Misteri yang menjadi fakta itu
mengubah seluruh sejarah."(6) Dari pemyataan itu timbullah pertanyaan-pertanyaan serius
tentang "kebudayaan", “fakta" dan "sejarah", tetapi keberatan saya yang terpenting muncul
dari cara keseluruhan Perjanjian Lama itu dipandang sebagai membentuk ("membangun")
suatu "matriks budaya". Para Bapa Gereja purba, yang karena menguasai metode alegori,
memutuskan untuk melakukan hal yang sama terhadap Perjanjian Lama. Sebuah tradisi
apostolik sudah tersedia untuk digunakan sebagai pelaksana tranformasi yang dapat
mengubah kata-kata suci menjadi pragambaran yang berarti. Suatu pemecahan yang sudah
tetap dikenakan pada katakata itu bahkan, dalam kebanyakan hal, kata-kata itu menunjuk
kepada suatu pemecahan yang meluas. Sifat hakiki alegori adalah memisahkan,
menyejajarkan, mengatakan hal yang satu tetapi memaksudkan hal yang lain dari apayang
dikatakan. Bentuk katanya sendiri (bahasa Yunani alios, ’lain”, dan agoreuein, “berbicara
secara terbuka di muka umum) mengandung arti bahwa dengan alegori apa yang tidak
mewujud atau abstrak dapat diwakili secara tepat dan memikat oleh suatu susunan verbal
yang biasanya berbentuk gambar. Dengan demikian, kalau hakikat simbol ialah
mempersatukan dua entitas, hakikat alegori ialah memisahkan. Apalagi hal ini bukan semata-
mata masalah bahasa. Alegori berkaitan dengan bentuk-bentuk hidup keagamaan yang
bersifat monastik dan sektarian, dengan memisahkan dari dunia; simbolisme berkaitan
dengan usaha untuk mempersatukan hidup duniawi dengan hidup ilahi, dengan demikian
hidup ilahi memurnikan dan menguduskan hidup duniawi.

V
Altematif analogi yang paling terkenal, apabila menanggapi hal-hal yang serupa dan
tak serupa dalam hidup dan sastra, adalah meta/bra. Saya melihat bahwa dalam percakapan
dan penulisan sehari-hari tidak mungkin lagi membedakan dengan jelas antara dua bentuk
simbolis itu. ’Pengalaman publik” mencapai derajat maksimum ketika sebuah masyarakat
terikat erat di dalam lingkungan yang dibatasi, yang jarang dikunjungi oleh orang asing, yang
warga-warganya bekerja melakukan tugas-tugas yang sama di dalam tata ekonomi yang
dikenal dengan baik dan hampir tidak berubahubah. Kesamaan-kesamaan mudah dilihat dan
sudah sewajamya kesamaan itu diperluas untuk mencakup daya-daya kekuatan yang tidak
terlihat yang, menurut anggapan orang, mempedulikan nasib hidup penduduk bumi.
Pada umumnya (meskipun kerap kali perbedaannya diabaikan), bahasa analogis
digunakan oleh ilmuwan dalam menganalisis dan mendeskripsikan hubungan manusia
dengan suatu dunia yang dapat diurus dan dikelola; bahasa metaforis digunakan oleh para
penyair, penulis novel, sejarawan untuk menggambarkan interaksi manusia dengan barang
dan orang dan peristiwa yang tak dapat dikuasai atau dikendalikan secara langsung. Analogi
sangat banyak ditemukan dalam catatan-catatan ilmiah, metafora dalam puisi dan drama.
Metafora bersifat dinamis, terus-menerus meningkatkan interaksi, dan kemudian membawa
orang kepada kemungkinan-kemungkinan makna yang selalu baru. Metonimia hanya
memindahkan sebuah nama, dengan demikian mengganti satu bentuk yang sudah tetap
dengan bentuk yang lain. Demikian juga, sebuah kode menggantikan serangkaian sandi,
merepresentasikan kesesuaian satu-lawan-satu dengan suatu amanat yang orisinal. Akan
tetapi, metafora pada puncaknya bergetar dengan kemungkinan-kemungkinan yang baru dan
berdaya cipta berkat interaksi dialektis yang merupakan cirinya yang hakiki.

VI
Jelas ada hubungan yang erat antara metafora dan perumpamaan. Namun, kalua para
pemikir Yunani pertama-tama memikirkan penggunaan kata-kata secara tepat dan selaras
dalam retorika atau puisi atau drama, para penulis Ibrani lebih memikirkan cerita-cerita:
catatan-catatan tentang peristiwa dan gerakan dan inter-relasi. Orang Yunani berpijak pada
arti penting analogi dan metafora; orang Ibrani menggunakan catatan dan perumpamaan.
Catatan berusaha merayakan atau meratapi perubahan-perubahan yang terjadi dalam sejarah
lalu bangsa pilihan Allah. Perumpamaan biasanya digunakan untuk memberikan semacam
peninjauan hal-hal yang mungkin sekali akan terjadi pada masa yang akan datang.

Bila kita meninjau perumpamaan-perumpamaan Yesus, pembedaan utama yang dapat


kita buat ialah antara perumpamaan yang memusatkan perhatian pada proses-proses alami
dan perumpamaan yang pokok pembicaraannya adalah upaya-upaya dan hubungan-hubungan
manusiawi. Dalam hal jenis perumpamaan yang pertama, ada contoh-contoh yang jelas
diambil dari penaburan dan penuaian, perjuangan melawan ilalang, pertumbuhan biji yang
sangat kecil
menjadi pohon yang besar, bekerjanya ragi dalam semangkuk tepung, budi daya pohon
anggur, sifat-sifat terang dan roti, air dan api. Biasanya suatu kegiatan pokok dalam dunia
alami diperluas untuk menggambarkan kegiatan Allah sendiri yang lebih besar dalam
pemerintahan-Nya yang membawa keselamatan.

Tekanan yang lebih besar dalam perumpamaan-perumpamaan Yesus terletak pada apa
yang baru dan apa yang mengejutkan, pada kesaksian tentang bentuk-bentuk tindakan Allah
yang tidak diisyaratkan oleh proses-proses alami dan juga tidak dimaklumkan di dalam
tradisi-tradisi agama ortodoks. Dengan kata-kata yang lebih sederhana, hal ini dapat
dilukiskan sebagai Tindakan rahmat, transendensi mengejutkan yang melampaui segala
peraturan ketat tentang kesesuaian yang tepat antara perilaku yang mentaati hukum dan
ganjaran, antara perilaku yang melanggar hukum dan hukuman. Simbol yang membangkitkan
ketidakpahaman terbesar dan bahkan permusuhan adalah simbol memanggul salib,
menanggung penderitaan, dikhianati dan dihukum mati sebagai penjahat. Hal-hal ini
sesungguhnya terjadi di dunia pemerintahan Romawi di Palestina abad pertama.

Kesaksian akan kebangkitan tidak terbatas pada bahasa simbolis yang diambil dari
dunia agraris, yaitu penaburan dan penuaian. Metqfora-metafora yang lebih dramatis juga
digunakan, yaitu metafora-metafora yang diilhami oleh iman kepercayaan akan Allah yang
telah bertindak dengan cara yang, menurut standar pengalaman manusia sehari-hari,
kelihatannya praktis mustahil. Kebangkitan dari antara orang mati menunjukkan bahwa
Kristus sendirilah pemenangnya dan bahwa (sebagaimana dalam sebuah metafora) apa yang
tampak sebagai hal-hal yang sama sekali tidak serupa telah dipersatukan di dalam suatu
hubungan yang tepat. Hal ini dapat disebut sebagai bahasa paradoks, meskipun biasanya
paradoks terbatas pada penggabungan ungkapan-ungkapan bertentangan yang semuanya
dianggap benar tetapi tidak terlihat adanya pemecahan lebih lanjut.

Tidak ada bahasa, tidak ada bentuk simbolis, yang dari dirinya sendiri memadai untuk
memberikan kesaksian akan tindakan Allah yang menentukan itu. Melalui analogi dan
metafora, melalui perumpamaan dan paradoks, orang-orang Kristen telah berusaha untuk
mengakui bahwa Yesus yang hidup di Galilea dan Yerusalem serta mati di salib adalah Anak
Allah dan Penyelamat umat manusia.

Bagian Kedua
BEBERAPA TEORI SIMBOLISME
BAB ENAM
AHLI-AHLI ANTROPOLOGI SOSIAL

Antropologi sosial belum lama diakui secara komparatif sebagai sungguh-sungguh


disiplin ilmu. Kesusastraan kuno dan kesusastraan dunia klasik membangun teori-teori
tentang kodrat manusia atau lentang pola-pola hubungan manusia. Teori-teori ini sudab
disingkapkan secara otoritatif melalui Ki tab Suci atau melalui catatan tentang peradaban-
peradaban besar di sekitar Laut Tengah. Pada abad kesembilan belas timbullah kemungkinan
untuk mencakup seluruh umat manusia di dalam satu teori yang mencakup semuanya. Hasil
yang diperoleh adalah harta karun pengetahuan yang secara kasar dapat dibagi menjadi dua
golongan meskipun jelas saling berkaitan. Di satu pihak, bertambah besar jumlah
pengetabuan kita tentang tubuh manusia - kejadiannya, susunannya, perkembangannya,
kesebatan atau sakitnya, ciri-ciri penentu fisiknya. Di lain pihak, jumlah pengetabuan kita
tentang apa yang disebut kebudayaan manusia, bertambah besar juga - babasa, tradisi lisan,
organisasi sosial, upacara keagamaan, dan karya seni.

Pengakuan luas tentang sangat pentingnya simbol tidak menghasilkan pola penafsiran
yang seragam sejauh menyangkut kegiatan-kegiatan sosial yang ada dari suku bangsa khusus
mana pun. Namun, hal ini tidak mengurangi keasyikan untuk menafsirkan bentuk-bentuk
simbolis.

Ada empat ahli antropologi sosial yang belum lama ini menelaah dan menekankan
tempat simbol-simbol dalam perkembangan osial.

a. Raymond Firth

"Hakikat simbolisme," "terletak dalam pengakuan bahwa hal yang satu mengacu
kepada (mewakili) hal yang lain dan hubungan antara keduanya pada hakikatnya adalah
hubungan hal yang konkret dengan yang abstrak, hal yang khusus dengan yang umum.
Relevansi utama suatu pendekatan antropologis kepada studi tentang simbolisme adalah
usaha untuk menghadapi secara seempiris mungkin masalah manusia yang pokok, yang
disebut masalah “putus hubungan”. Menurut dia, symbol idak hanya berperan untuk
menciptakan tatanan tetapi juga dapat berhasil memusatkan pada dirinya sendiri seluruh
semangat yang semestinya hanya menjadi milik realitas terakhir (tertinggi) yang diwakilinya.
Jadi, sebuah symbol dapat menjadi sarana untuk menegakkan tatanan social serta memenuhi
suatu fungsi yang lebih bersifat privat dan individual.

Konkret dan abstrak, pemyataan pada pennukaan dan makna yang mendasari, repre
entasi dan realitas terakhir (tertinggi) -semuanya ini adalah pasangan istilah yang rupanya
mengilustrasikan "putus hubungan" yang dipandang oleh Firth sebagai masalah manusia yang
pokok. "putus hubungan" merupakan bagian pertanyaan dan spekulasi di dalam kebudayaan
Barat daripada kebudayaan bangsa manusia secara keseluruhan. Kesejahteraan seluruh
masyarakat akan dapat dipelihara hanya apabila semua hubungan diatur dan digambarkan
dalam suatu sistem simbol.

Simbol-simbol diarahkan kepada pribadi-pribadi dalam-waktu daripada kepada


pribadi-pribadi dalam ruang. Simbol menunjuk melampaui dirinya sendiri kepada
berfungsinya seluruh sistem sosial, tetapi dengan cara yang berbeda-beda. Sistemsistem
simbol telah mengalami banyak penyesuaian: sehingga memelihara atau mempertahankan
sebuah sistem menjadi problematis.

Soal yang asasi bagisemua teori simbolisme. Ada dua istilah yang dipakai Firth:
"simbol" mencakup dua entitas; "substansi" berarti zat atau bahan yang mendasari, tidak
terbagi. Tetapi substansi hanyalah substansi; tidak dapat berkaitan secara hidup dengan
sesuatu yang lain dan dengan demikian tidak dapat membangun hubungan simbolis apa pun.
Firth mengemukakan perbedaan antara simbol dan substansi dengan mengajukan pertanyaan
tentang etnisitas Yesus. Hubungan simbolisnya adalah dengan segisegi kodrati dan sejarah
yang senantiasa harus ditafsirkan ulang dalam konteks lingkungan baru dan keadaan baru.
melalui simbol itulah manusia telah bangkit mengatasi pengurungan-diri dan kecukupan-diri,
serta telah muJai mengalami kebebasan dan melihat makna.

b. Mary Douglas

Dalam bukunya “Natural Symbols”, ia mengemukakan hubungan erat yang ada antara
tubuh manusia dan masyarakat manusia, di semua zaman dan di semua tempat. Tubuh
merupakan analogi yang cocok sekali untuk diterapkan pada masyarakat umum: susunan, tata
kerja, dan tata hubungan antara pelbagai bagian tubuh dapat disejajarkan dengan hidup setiap
masyarakat tertutup. manusia berusaha untuk menciptakan tatanan dan pengendalian dalam
hal-hal yang berhubungan dengan tubuhnya sendiri, demikian juga ia mengupayakan
kategori-kategori stabilitas untuk kehidupan sosialnya. Sistem simbolis yang paling
memuaskan rupanya adalah apa yang terstruktur secara organis dan yang menjaga hubungan
erat antara ungkapan sosial dan ungkapan tubuh. bahasa manusia dan tata cara dipengaruhi
secara mendalam oleh susunan masyarakat dan vice versa, bahwa setiap masyarakat
menemukan sitnbol-simbolnya yang autentik dengan menimba dari analogi-analogi yang
diberikan oleh perilaku berpola tubuh manusia. Baginya, apa yang rohani tidak dapat
ditumbuhkembangkan dengan memisahkan yang rohani dari yang formal dan meterial.

Ada variasi-variasi antara pelbagai corak masyarakat, tetapi semua masyarakatnya ada
di dalam kategori umum ketertutupan. Kelompok sosial yang tertutup dengan sendirinya
berkepentingan dengan status dan tanah serta susunan hierarki. Juga ada sekarang
masyarakat-masyarakat yang terbuka, dinamis, yang dicirikan oleh pelbagai macam perilaku
ritual, yang tersusun dari perayaan-perayaan pembebasan pada waktu yang lampau dan
pengharapan pada masa yang akan datang. Contohnya suku-suku bangsa Israel, memang,
sirnbolsimbol tubuh bersifat alami dan cocok dalam keadaan rnasyarakat yang tertutup.
Simbolsimbol yang dominan adalah simbol-simbol pemilihan dan tujuan akhir hidup,
perjanjian dan penebusan.

Natural Symbols memberikan kesaksian tentang nilai dari corak tertentu bentuk-
bentuk ritual dalam membawakan koherensi dan stabilitas kepada masyarakat. Minat Mary
Douglas untuk: melindungi penggunaan "simbol-simbol alami" dan bentuk-bentuk ritual
tradisional dalam kehidupan sosial diungkapkan dengan sangat kuat dalam komentar-
komentarnya tentang Ekaristi Kristen. Ketertarikan pada bentuk: bentuk verbal bukanlah
satu-satunya alternatif untuk tata cara sebuah masyarakat tertutup. Ada bentuk-bentuk ritual
masyarakat yang mengembara, bergerak, berorientasi eskatologis. Sementara, Arti penting
dari simbol-simbol "pengarahan dan pembatas" dalam masyarakatmasyarakat yang sudah
menetap di suatu daerah khusus dan perlu menata. tubuhtubuh semua anggotanya di dalam
keseluruhan yang koheren dan organis.

Simbol-simbol yang tergantung pada anaJogi-analogi tubuh itu sangat penting dalam
penataan clan pertautan masyarakat-masyarakat yang menetap. Namun, juga ada corak-corak
masyarakat yang lain. Bagi masyarakat-masyarakat ini, simbol-simbol bersifat hakiki jika
kerja sama yang setia dipelihara, tetapi tidak akan bergantung dengan cara yang sama pada
batas-batas tubuh atau sistem tubuh yang tertutup. Simbolsimbol itu akan merupakan bentuk-
bentuk simbolis inter-relasi.

c. Victor Turner

Dalam bukunya, the Forest of Symbols dan the Ritual Process, ia membicarakan
fungsi symbol dalam mengatur kehidupan sosial. Ada dua segia yang harus dipertimbangkan:
penciptaan peranan-peranan dan aturan-aturan yang memungkinkan eksistensi sosial sehari-
hari. Ada juga interaksi dialektis antara masyarakat keseluruhan dan kelompok-kelompok
khusus di dalamnya. Di satu pihak, ada penggambaran tatanan tetap secara simbolis. Di lain
pihak, ada tata cara simbolis yang harus dilaksanakan ketika suatu peristiwa kritis hampir
terjadi. Upacara-upacara sirnbolis diperlukan untuk menjamin kepergian yang aman dan
kedatangan kembali yang membahagiakan. Jadi, di satu pihak ada bentuk-bentuk simbolis
yang diperlukan untuk menjaga kesehatan yang berkelangsungan dan kehidupan teratur
seluruh masyarakat. Semuanya ini merupakan semacam kerangka intelektual, yang hanya
holeh berubah atau disesuaikan sedikit dari generasi ke generasi. Di lain pihak, ada bentuk-
bentuk yang diperlukan untuk membangkitkan dan menggalakkun dan memberikan
kesadaran tujuan kepada orang-orang yang menghadapi risikorisiko yang tidak diketahui,
baik dalam kehidupan perseorangan maupun dalam kehidupan bersama. Tidak ada
masyarakat yang dapat hidup lama tanpa semacam tatanan yang tetap. Tatanan ini mungkin
terstruktur oleh tuntutan-tuntutan suatu tata ekonomi ja mani yang khusus (terutama ekonomi
pertanian) atau oleh pemberian aturanaturan yang mengikat.

Victor Turner, bekerja sama dengan Edith Turner, menerbitkan sebuah buku yang
berjudul Image and Pilgrimage in Christian Culture: Anthropological Perspectives. Buku ini
meneliti dan melukiskan struktur-struktur dan proses-proses sosial yang berkaitan dengan
peziarahan. Di dalamnya ada perbedaan di antara sistem "liminal" dan sistem "liminoid":
sistem liminal tetap berada di dalam lingkup umum suatu struktur yang teratur; sistem
liminoid bersifat terbuka dan sukarela, dan cenderung untuk melampaui atau bahkan
mendobrak pola struktur induk.

Simbol-simbol yang dominan menduduki tempat yang penting dalam sistem sosial
mana pun, sebab makna simbol-simbol itu pada umumnya tidak berubah dari zaman ke
zaman dan "dapat dikatakan merupakan kristalisasi pola aliran tata cara yang dipimpinnya".
Simbol-simbol yang lain membentuk satuan perilaku ritual yang lebih kecil, tetapi bukan
sekadar embel-embel: simbol-simbol itu mempengaruhi sistemsistem sosial dan maknanya
harus diturunkan dari konteks khusus berlangsungnya simbol-simbol itu. Namun, ciri lebih
penting masyarakat mana pun adalah ritual (tata cara)-nya, yang mencakup upacara-upacara
peralihannya dan hubungannya dengan keadaan yang baru. Bentuk-bentuk simbolis yang
membentuk tata cara harus terbuka kepada tafsiran-tafsiran baru yang terkait dengan
keadaan-keadaan baru.

Sumbangan khas Turner kepada soal-soal sosial dunia terletak dalam penekanan atau
penandasannya bahwa masyarakat harus dipandang sebagai proses dan bukan sesuatu yang
tidak berubah. Agar masyarakat dapat hidup, harus ada struktur, namun pada waktu yang
sama harus ada pula suatu unsur antistruktur, suatu unsur ungkapan bebas.

d. Clifford Geertz

Sumbangan pentingnya dalam buku Anthropological Approaches to the Study of


Religion, pcngembangan "matra budaya analisis keagamaan". "Makna yang diejawantahkan
dalam simbol", "konsep yang terungkap dalam bentuk simbolis" merupakan pusat minat dan
penelitiannya. Bentuk-bentuk simbolis, dalam suatu konteks sosial yang khusus, mewujudkan
suatu pola atau sistem yang dapat disebut suatu kebudayaan. Cara hidup dan pandangan
hidup saling melengkapi, kerap kali melalui satu bentuk simbolis. Ada kongruensi atau
kesesuaian antara gaya hidup dan tatanan universal dan ha! ini terungkap dalam sebuah
sirnbol yang terkait dengan keduanya. Geertz mengajukan "setiap objek, tindakan, peristiwa,
sifat, atau hubungan yang dapat berperan sebagai wahana suatu konsepsi", dan konsepsi itu
adalah "makna" simbol. Simbol-simbol keagamaan menghasilkan dan memperkuat keyakinan
keagamaan.

Ada pendekatan yang berbeda-beda kepada masalah-masalah umum (bersama) dan


ada pelajaran-pelajaran yang dapat dipelajari dari penggunaan bentuk-bentuk simbolis yang
lain dari bentuk-bentuk simbolis sendiri. Kesukaran timbul ketika Geertz membatasi simbol
keagamaan pada pengungkapan totalitas entah dari gaya hidup suatu bangsa khusus entah
dari pandangan hidup mereka secara keseluruhan. bentuk-bentuk simbolis yang sungguh-
sungguh memiliki kekuatan dalam zaman kita sekarang.

Symbol-simbol kadang-kadang bersifat integrative tetapi juga kadang-kadang


revolusioner. Penafsiran merupakan tugas rangkap, yang memang harus peka terhadap
tradisitradisi yang diwarisi tetapi juga harus peka terhadap munculnya keyakinan dan
tuntutan-tuntutan baru.

BAB TUJUH

PARA FILSUF, TEOLOG, DAN SEJARAWAN BENTUK-BENTUK AGAMA

a. Ernst Cassirer

Tidak ada filsuf modern yang telah menjadikan simbol lebih sentral dalam
pengembangan penafsiran tentang realitas daripada Cassirer. Dalam bukunya, An
Introduction to a Philosophy of Human Culture ada definisinya tentang tempat bentuk-bentuk
simbolis dalam kebudayaan manusia. Massa data telah bertambah banyak secara mencolok.
Tetapi bagaimana menghubungkan dan memadukan?

Pernyataan bahwa manusia memiliki "hubungan ketiga" itu jelas amat penting.
Menurut pandangan Cassirer, manusia sama seperti semua makhluk hidup lainnya, yaitu
mempunyai sistem reseptor dan efektor. Namun, manusia juga memiliki daya kemampuan
untuk memasukkan di antara kedua sistem itu suatu sistem simbol yang dapat rnenghasilkan
bentuk-bentuk kebudayaan daripada respons-respons langsung dan segera terhadap rangsang-
rangsang.

Terna sentral Cassirer adalab bentuk-bentuk simbolis. Ada dua simbol yang sepintas
mungkin mengisyaratkan sasaran-sasaran yang sangat berbeda untuk kehidupan umat
manusia. Ia melukiskan keadaan dunia kita sekarang ini sebagai sebuah labirin butir-butir
informasi yang tanpa hubungan. Namun, setelah memberikan bangunan bentuk-bentuk
simbolis sebagai petunjuknya, ia kemudian melukiskan keadaan barn itu sebagai keadaan
sebuah jaring simbolis yang dilukiskan sebagai kusut berliku-liku. Jadi petunjuk tentang
keadaan manusia bukanlah petunjuk tunggal tetapi ada dualitas kehidupan manusia dan
polaritas pengalaman manusia. Ada benluk simbolis yang memberikan keamanan dan
kemantapan; ada pula yang menunjuk ke depan menuju penemuan-penemuan baru dan usaha
bebas. Manifestasi ungkapan manusia yang lebih bersifat konservatif, sementara itu
manifestasi yang lain lebih bersifat inovatif. Bentuk-bentuk agama, ilmu, dan kesenian di
kemudian hari semuanya telah mengarahkan daya imajinasi ke rnasa depan. Simbol-simbol
tradisional bersifat hakiki untuk mempersatukan generasi demi generasi dan mewujudkan
nilai-nilai di dalam setiap kebudayaan khusus. Simbol-simbol yang inovatif bersifat hakiki
untuk mempertemukan wakil-wakil dari pelbagai kebudayaan dan untuk mengungkapkan
segi-segi pandangan baru dalam semua kebudayaan.

"Pemikiran simbolislah yang mengalahkan inertia alami manusia dan yang


memberinya kemampuan baru, kemampuan untuk senantiasa membangun kembali alam raya
kemanusiaannya.”

b. Paul Tillich

Baginya, simbol merupakan kategori sentral tentang Allah. Dia menegaskan bahwa
hanya satu pemyataan nonsimbolis dapat dibuat tentang Allah dan itu adalah bahwa Allah itu
Sang Ada sendiri. Ia juga membuat konsep simbol menjadi scdemikian mendasar dan serba
mencakup dalam sistemnya. Ada ciri-ciri mendasar tertentu dari sebuah simbol yang berkali-
kali ditunjuknya kembali. Pertama, ia membedakan antara simbol dan tanda: kalua sebuah
tanda bersifat univok, arbitrer dan dapat diganti, karena tidak mempunyai hubungan intrinsik
dengan sesuatu yang ditunjuknya itu, sebuah simbol sungguh-sungguh mengambil bagian
dalam realitas yang ditunjuknya dan yang sampai tingkat tertentu diwakilinya. Simbol
berfungsi seperti ini tidak secara mandiri tetapi dalam kekuatan hal yang ditunjuknya.

Pandangan tentang fungsi simbol ini mempunyai arti penting yang istimewa dalam
pembicaraan Tillich tentang tempat sakramen-sakramen dalam pengalaman orang Kristiani.
Sebuah simbol sakramental mengambil bagian dalam daya kekuatan dari apa yang
disimbolkannya, dan oleh karenanya dapat menjadi medium Roh.

Fungsi kedua suatu simbol yang sejati, menurut pandangan Tillich, ialah
membukakan kepada manusia adanya tingkat-tingkat realitas yang tidak dapat dimengerti
dengan cara lain. Hal ini secara khusus berlaku untuk simbol-simbol seni. Dengan
pengalamannya sendiri tetang “ekstasis”, ia mengatakan bahwa simbol "membukakan" rob
manusia kepada pandangan-pandangan yang lebih tentang "Yang Kudus" dalam dimensi
transendennya.

Fungsi ketiga sebuah simbol ialah membuka dimensi-dimensi roh batiniah manusia
sehingga terwujudlah suatu koresponsdensi atau korelasi dengan segisegi realitas tertinggi.
Simbol memperluas penglihatan tentang realitas transenden; bersamaan dengan itu, simbol
memperluas roh manusia untuk memampukannya ditangkap oleh penglihatan itu dan dengan
demikian tumbuh berkembanglah pengertian rohaninya.

Ciri khas yang keempat ialah kemiripannya dengan makhluk hidup: Simbol tidak
dapat diciptakan; simbol tidak dapat dihasilkan dengan sengaja. Dan juga ada beberapa
simbol mati dan tidak dapat dihidupkan kembali. Tetapi pertanyaan ialah apakan ada simbol
keagamaan yang tidak pernah mati?

Menurut Tillich ada beberapa ciri khas dari semua simbol, yakni:

1. Simbol bersifat figuratif

2. Simbol bersifat dapat dicerap

3. Simbol memiliki daya kekuatan yang melekat. Inilah ciri yang terpenting.

4. Simbol mempunyai akar dalam masyarakat dan mendapat dukungan dari


masyarakat.

Baginya, simbol keagamaan ialah apa yang menyangkut diri kita pada akhirnya.

Kebudayaan sendiri adalab campuran dari yang rasional dan yang mistis, yang
intelektual dan yang imajinatif, dan simbol yang menarik menurut pihak yang satu mungkin
gagal untuk menarik menurut pihak yang lain. Baginya ciri khas tertinggi simbol ialah
"membukakan" dimensi-dimensi baru dalam Realitas dan dalam subjek pemandang.

c. Paul Ricoeur

Bertitik tolak dan tradisi retorik atau neo-Platonik, yang meredusir simbol menjadi
analogi. Ia mendefinisikan "simbol" sebagai setiap struktur makna di mana suatu arti yang
langsung, primer, harfiah menunjukkan, sebagai tambahan, arti lain yang tidak langsung,
sekunder, dan figuratif serta yang dapat dipahami hanya melalui arti pertama. Karena
penafsiran simbol menyibak tingkat-tingkat makna yang terkandung dalam arti harfiah, maka
simbol dan penafsiran menjadi konsep-konsep yang korelatif.

“Meredusir simbol menjadi analogi” karena arti harfiah menimbulkan suatu analogi
dan dengan demikian membentuk arti simbolis. Dalam filsafat Ricoeur simbol dan penafsiran
terikat bersama secara tidak terpisahkan lagi. Maka kewajiban terbesar penafsir ialah
melarnpaui yang harfiah untuk menerangi makna-makna yang tersembunyi, makna-makna
sekunder, makna-makna yang diperkaya, makna-makna yang secara tepat disebut simbolis.

Perhatian utama Ricoeur adalah makna kebebasan, kebebasan dalam eksistensi


manusia, kebebasan manusia di hadapan otoritas objektif atau objektivitas kultus, doa,
wahyu, dan gereja yang otoriter. Kehadiran Yang Transenden merupakan paradigma
kebebasan manusia. "Simbol-simbol (yakni sandi-sandi) memperlihatkan kehadiran ontologis
dari yang riil." "Eksisten" memahami Kehadiran melalui sandi (atau simbol) dan dengan
demikian bertindak dengan bebas.

Ricoeur menyatakan bahwa agama berkepentingan bukan untuk menindas atau


memperkecil kebebasan melainkan untuk menyelamatkan kebebasan, untuk menjaganya
terhindar dari kesia-siaan dan kekosongan makna. Di sini, kita perlu ingat definisi dari
Jaspers tentang empat hal yang harus dijalani oleh setiap manusia, yakni kematian,
penderitaan, perjuangan, dan rasa bersalah. Jadi, rasa bersalah merupakan bagian konsekuensi
yang tidak terelakkan dari menjadi manusia; merupakan bagian keterbatasan manusia yang
menghalangi kebebasan. Sedangkan seluruh tradisi Kristiani telah memandang rasa bersalah
sebagai sejenis kejatuhan, pemberontakan melawan maksud tujuan ilahi. Dalam teologi
Ricoeur individu dibebaskan oleh tindakan penebus ilahi yang menyelamatkan, melalui
pengantaraan simbol-simbol Kristiani yang unik. Namun, tentang soal pokok hubungan
antara rasa bersalah dan kebebasan ia tidak berkompromi.

Jadi, perbedaan yang menentukan antara Jaspers dan Ricoeur harus ditemukan dalam
pandangan mereka yang bertolak belakang mengenai sifat dasar perwahyuan-diri Allah.
Jaspers berpandangan bahwa Allah berbicara "sedapat mungkin, di mana-mana, namun selalu
secara tidak langsung dan bersifat ambigu. Sebab Allah tersembunyi". Berbeda dengan
Jaspers, Ricoeur menciptakan sebuah simbol yang bagus - "benang emas pendamaian
religius yang mengikat”. Ricoeur mengakui bahwa istilah simbol digunakan baik dalam
bidang logika formal maupun dalam bi dang penafsiran alegoris. Akan tetapi, keduanya,
tegas Ricoeur, meredusir simbol kepada status suatu tanda yang tertentu dan dapat didekati
dengan pasti. Ia bermaksud memberi simbol suatu referensi analogis. Simbol pembersihan
yang ditunjukkan melalui karya Kristus bukanlah sesuatu yang bersifat sementara melainkan
jalan penyembuhan dari Allah untuk kesalahan manusia.

d. Karl Rahner

Simbol adalah pusat berkisar seluruh system Rahner. Dan dalam sistemnya,
simbolisme termasuk dalam kodrat keAllahan sendiri. “Logos adalah simbol Bapa”. Teori
tentang ungkapan simbolis tidak menyimpang dari keesaan dan kesempurnaan yang menjadi
sifat Allah, tetapi justru memperkaya seluruh konsep kita tentang Tritunggal dalam keesaan.
Atas dasar penafsiran pokok simbolisasi ini, ia mengembangkan suatu sistem kristologi dan
ekklesiologi yang komprehensif. Simbol tidak pernah boleh dipandang sebagai sesuatu yang
terpisah dari hal yang disimbolkannya, yang berdiri di hadapannya, menunjuk kepadanya,
mengilustrasikannya. Sebaliknya, suatu objek, suatu diri menjadi terungkap dalam simbol
dan dengan demikian menjadi hadir dalam simbol. Simbol yang sejadi dipersatukan dengan
hal yang disimbolkan, karena hal yang disimbolkan membentuk simbol sebagai realisasi
dirinya sendiri.

Meskipun Rahner mengembangkan paparannya dengan argumen filosofis yang


kompleks dan pengetahuan teologis yang mengesankan, melihat gambaran keseluruhan yang
lebih sederhana. Gambar itu ialah gambar sebuah benih, sebuah embrio, suatu potensi yang
tersembunyi, yang menemukan ungkapannya yang benar dalam dan melalui manifestasi lahir
dan kelihatan. Setiap potensi di dalam lingkup Ada menemukan pengungkapan serta
pemenuhannya yang benar dengan memberikan dirinya sendiri kepada yang lain. Maka,
Allah secara terus-menerus memberikan diri-Nya sendiri kepada orang-orang demi
keselamatan mereka.
e. Bernard Lonergan

Ia mendefinisikan tempat dan fungsi simbol dengan cara yang berbeda dengan
Rahner. Pendekatan Rahner lebih bersifat filosofis; pendekatan Lonergan lebih bersifat
psikologis. Rahner mulai dengan manusia yang mengetahui; Lonergan mulai dengan manusia
yang merasa. Rahner memusatkan perhatian pada pengungkapan diri; Lonergan, pada
maksud diri; bagi Rahner "yang lain" teramat penting, sebab dalam yang-lainlah diri sendiri
terungkap secara sirnbolis. Bagi Lonergan, diri sendiri terungkap secara spontan dalam
bentuk simbolis yang perlu ditafsirkan. Kedua pendekatan itu mungkin tidak bertentangan,
tetapi pasti berbeda.

Namun, simboljuga memainkan peranan yang penting dalam teologi Lonergan. lnilah
definisinya: "Sebuah simbol adalah gambaran dari suatu objek nyata atau khayal yang
menggugah perasaan atau digugah oleh perasaan. Perasaan-perasaan berhubungan dengan
objek, satu sama lain, dan dengan subjek”. Ia juga merangkum fungsi simbol dalam
kehidupan manusia serta kemajuan dari evolusi biologis kepada evolusi budaya. Lonergan
menandaskan bahwa simbol sendiri mendahului setiap penafsian atau penjelasan. Simbol
adalah intensionalitas yang mendasar artinya. Melalui simbol budi dan tubuh, budi dan hati,
hati dan tubuh berkomunikasi."Akan tetapi, komunikasi seperti itu tidak mudah ditafsirkan,
sebab sebuah simbol yang sejati mempunyai banyak sekali makna yang mungkin.

Menurut pandangan Lonergan, simbol adalah ungkapan tertinggi atau perekam


perasaan. Lonergan memandang lingkup penafsiran jauh lebih luas dan melukiskan makna
yang harus diambil dari simbol-simbol, yakni “makna dasar” dan “makna linguistis”. Akan
tetapi, makna dasar adalah sesuatu yang tidak pemah dapat kita ketahui dengan pasti. Kita
mempunyai simbol itu sendiri. Kita tahu bahwa simbol mewujudkan suatu komunikasi yang
dimaksudkan. Satu-satunya kemungkinan yang terbuka bagi kita ialah berusaha menafsirkan
simbol itu secara linguistis dengan menyelidiki sedapat-dapatnya konteks yang menjadi asal
munculnya simbol itu. Jadi tidak mungkin untuk memastikan "makna dasar".

f. Austin Farrer

Farrer adalab seorang filsuf dan sekaligus pujangga yang menganggap diri
mempunyai panggilan untuk membangun sebuah teologi kodrati dan teologi wahyu. Ia
menyatakan babwa budi manusia terletak di antara dua kehadiran, yang tidak terbatas dan
yang terbatas, dan dapat melihat masing-masing dalam yang lain. Budi menangkap suatu
objek di dalam eksistensi terbatas dan melihat objek itu sebagai sebuah simbol yang tidak
terbatas. Ada dua kerjanya, yaitu kerja yang pertama memungkinkan adanya suatu teologi
rasional dan kodrati; kerja yang kedua memungkinkan adanya teologi perwahyuan. Kerja
yang pertama membangun pengetahuan melalui analogi-analogi; kerja yang kedua, melalui
penglihatan yang diilhamkan dari dunia sana.

Gambaran-gambaran perwahyuan menurut pandangannya terletak dalam struktur-


struktur dominan tertentu yang harus ditemukan dalam lcitab suci Perjanjian Lama dan yang
mencapai kepenuhan pengungkapannya dalam Perjanjian Baru. Manusia Yesus adalah Sang
citra Allah yang tidak kelihatan, citra yang tampak dari pengadaAllah sendiri. Deskripsi
Farrer tentang apa yang disebutnya "garnbaran-gambaran perwahyuan" menduduki tempat
yang sedemikian sentral dalarn teologi simbolnya. Ia yakin bahwa ilham dari suatu sumber
adikodrati adalah suatu realitas yang hidup, meskipun ilham seperti itu dapat diungkapkan
dan disampaikan hanya melalui gambaran-gambaran "kodrati" atau simbol-simbol. Apa yang
harfiah baginya bersifat sekunder; gambaran atau simbol lebih bersifat primer. Bagi teologi,
kodrati bentuk simbolis yang teramat penting ialah analogi; bagi teologi wahyu, bentuk
simbolis yang teramat penting ialah gambaran-gambaran. Ia menemukan simbol-simbol yang
bertindak sebagai kaca yang mencerminkan realitasrealitas ilahi.

g. Mircea Eliade

Eliade berbicarakan arti pentingnya dalam menghubungkan manusia dengan yang


ilahi, dan secara khusus menekankan arti penting dari apa yang disebutnya "hierofani", yaitu
manifestasi dari yang kudus dalam konteks dunia sekular. Manifestasi-manifestasi seperti itu,
menurut Eliade, selalu diwujudkan dan kemudian hari dikenang melalui simbol-simbol.
Simbol mengambil bagian dalam sifat kudus itu dan mungkin simbol itu sendiri kemudian
dipandang sebagai suatu unsur yang kudus dalam seluruh konsepsi tentang alam semesta. Ia
mampu menghasilkan contohcontoh terperinci tentang cara manusia menunjukkan, dengan
pola-pola kegiatan mereka, kesadaran akan yang kudus. Dalam pandangan Eliade, simbol dan
penciptaan simbollah yang paling memadai untuk mencakup aneka segi ungkapan
pengalaman manusia yang dilukiskannya. dengan menghubungkan dirinya pada apa yang
menciptakan manifestasi itu melalui semacam tanggapan timbal batik. Dengan kata lain,
kegiatan simbolis tidak bersifat univok. Kegiatan simbolis ini bersifat multivalent.

Ia yakin bahwa mite dan simbol-sirnbol merupakan hakikat hidup rohani sendiri dan
fungsinya sebagai ungkapan ketergantungan manusia pada realitas transenden dan suatu
tujuan metaempiris, tidak pernah dapat disingkirkan atau dihancurkan. Eliade tidak
memperkecil kesulitan dalam menjaga kelestarian daya kemampuan sebuah simbol untuk
mengembangkan hidup. Menurutnya, fungsi sejati sebuah simbol tetap tidak berubah:
"fungsinya ialah mengubah suatu barang atau tindakan menjadi sesuatu yang lain daripada
yang kelihatan dari barang atau tindakan itu di mata pengalaman profan". pertama-tama
karena simbol mampu meneruskan proses hierofanisasi dan khususnya, kadang kala, menjadi
sebuah hierofani sendiri. Simbol menyatakan suatu realitas suci atau kosmologis yang tidak
dapat dinyatakan oleh manifestasi lainnyaY9l Perbedaan pokok yang diadakan oleh Eliade
adalah perbedaan antara yang profan dan yang suci. Mula-mula setiap manusia dibenarnkan
dalan1 dunia profan, tetapi "simbolisme menciptakan solidaritas tetap antara manusia dan
yang kudus". Perbedaan pokok yang diadakan oleh Eliade adalah perbedaan antara yang
profan dan yang suci. Mula-mula setiap manusia dibenarnkan dalam dunia profan, tetapi
"simbolisme menciptakan solidaritas tetap antara manusia dan yang kudus". Menurut
pandangan Eliade, simbolisme adalah sebuah "bahasa" yang, dalam suatu masyarakat khusus
mana pun, berfungsi "untuk menghapuskan batas-batas manusia di dalam masyarakat dan
kosmis.

Dalam esai ini ia menekankan ciri-ciri simbol yang multivalen dan metaempiris:
simbol menunjuk lebihjauh daripada dirinya sendiri kepada yang-kudus, dunia realitas
tertinggi. Sebuah simbol "selalu tertuju kepada suatu realitas atau situasi yang melibatkan
eksistensi manusia" dan dengan demikian memberikan arti atau makna ke dalam eksistensi
manusia. Eliade mengacu kepada dua fungsi simbol yang saya pandang teramat penting
dalam semua pembicaraan ten tang simbolisme keagamaan. Kedua fungsi itu ialah pemaduan
dan pendamaian. "Simbol keagamaan memungkinkan manusia untuk menemukan kesatuan
tertentu Dunia dan pada saat yang sama membukakan kepada dirinya sendiri tujuan hidupnya
yang semestinya sebagai bagian integral Dunia itu”. Simbolisme bukan merupakan faktor
pemersatu yang mencolok dalam pengalaman umat manusia. Selanjutnya, simbol-simbol
keagamaan juga berfungsi untuk mempersatukan apa yang tampak sebagai ciri-ciri dunia
pengalaman yang secara langsung bersifat kontradiktif atau paradoks. Pengalaman manusia
mengenai dunia organis perlama-tama adalab pengalaman bertemu dengan aneka macam
unsur yang membutuhkan suatu pusat integrasi (perpaduan).

h. Erns Gombrich

Tesisnya yang utama ialah bahwa mungkin saja melihat dalam perkembangan
kesenian selama lebih dari 2000 tahun pengaruh dua tradisi filsafat yang dominan, yaitu
tradisi Platonis dan tradisi Aristotelian, tradisi mistis dan tradisi rasional, tradisi imajinatif
dan tradisi logis. Dengan memakai warisan kesenian yang gemilang ini, perubahan bidup
yang terus-menerus senantiasa ditahan oleb bentuk-bentuk simbolis dan bentuk-bentuk
simbolis telah menjadi objek penelitian dan penafsiran berikutnya. Filsafatnya ialah suatu
filsafat secara khusus mempengaruhi penciptaan karya seni. Dalam pandangan Neo-Platonis,
gambaran sirnbolis itu selalu merupakan aproksimasi (penghampiran), suatu tahap awal pada
jalan naik menuju kesempurnaan. Dalam pandangan Skolastisisme, gambaran simbolis itu
merupakan suatu sarana yang efisien untuk menyampaikan hidup atau daya atau
kebijaksanaan ilahi. Pandangan yang kedua ini dapat dikatakan berciri didaktis, moralistis,
bahkan praktis: simbol dipandang sebagai sarana tertinggi untuk menyadarkan jiwa manusia
akan asal usul dan tujuan ilahinya serta untuk memampukan jiwa manusia itu bergerak maju
menuju tujuannya.

Sebuah simbol yang dicontohkannya, yakni burung pelikan. Burung pelikan


dipercayai oleh kaum Platonis mempragambarkan Kristus dan cinta kasih-Nya. Namun,
orang-orang yang mengikuti tradisi Aristotelian akan memandang burung pelikan
menggambarkan Kristus secara metaforis. Bagi orang-orang yang menganut tradisi
Aristotelian, bentuk-bentuk simbolis, baik dalam alam maupun dalam Kitab Suci,
memerlukan penelitian dan penafsiran. Bentuk-bentuk simbolis itu harus dipandang sebagai
representasi gagasan atau keutamaan atau sifat.

Dalam menafsirkan karya-karya seni, Gombrich menggunakan tiga kata kunci:


representasi, simbolisasi, dan ekspresi. Dalam semua karya seni rupanya setiap unsur itu
terlibat meskipun salah satu mungkin yang dominan. karya seni itu dipisahkan dari suatu
faksimile fotografis di satu pihak (meskipun babkan ini pun mungkin perlu ditafsirkan), dan
suatu gambar barang-barang campur aduk yang tidak koheren di lain pihak (meski ini pun
mungkin terbuka untuk dianalisis secara psikologis). Gabungan representasi, simbolisasi, dan
ekspresi merupakan gabungan yang berguna berkenaan dengan lukisan dan pahatan.
Bagaimanapun simbolisasi adalah proses sentralnya dan inilah rahasia kekuatan karya seni,
apakah referensi simbolis ditafsirkan secara intuitif ataukah melalui proses lebih luas lewat
penalaran diskursif.

Bentuk-bentuk simbolis bukan pertama-tama sebagai alat bahasa melainkan sebagai


agen penuh kekuatan yang beroperasi dalam alam bawah sadar manusia. Dengan dernikian,
simbol menjadi pembawa kepenuhan makna dan sarana efektivitas yang tidak terbatas dalam
kehidupan manusia. Simbol Aristotelian senantiasa menghadapi bahaya menjadi tidak lebib
dari sebuab tanda yang didefinisikan secara ketat. Simbol Platonis, sekurang-kurangnya bila
dilihat perkembangannya dalam NeoPlatonisme, selalu terbuka kepada realitas-realitas
transenden; bahayanya, menguap ke dalam alam mistis yang khayal belaka.

BAB 8
SIMBOLISME DALAM KITAB SUCI

Ada dua buku yang terbit hampir bersamaan, yang masing-masing membicarakan
bentuk-bentuk Bahasa dalam Kitab Suci dan gambaran yang ditampilkan oleh bentuk-bentuk
bahasa tersebut. Buku-buku itu adalah The Language and Imagery of the Bible karya G.B.
Caird dan The Great Code karya Northop Frye. The Language and Imagery of the Bible
membahas tentang soal-soal pokok menyangkut tatanan, makna, dan cara penulis Kitab Suci
dalam menyajikan tatanan dan makna itu dengan membuat perbandingan dan persamaan
dengan benda-benda dan peristiwa-peristiwa dalam dunia mereka sendiri. Di akhir buku
terdapat pembahasan tentang mite, sejarah dan eskatologi, yang bertujuan menunjukkan
kebenaran-kebenaran mengenai keterkaitan Allah dengan umat manusia dengan bentuk-
bentuk khusus itu. Buku The Great Code juga focus pada bentuk-bentuk bahasa dan pada
cara Kitab Suci menggunakan bentuk-bentuk itu. Dengan menggunakan ilustrasi yang banyak
dari Kitab Suci, kedua penulis itu berusaha menunjukkan bagaimana bentuk-bentuk simbolis
dipakai untuk melayani maksud para penulis dan untuk menyampaikan maknanya.

Kata Simbol berasal dari Bahasa Yunani, yakni Symbolon yang artinya pelontaran
bersama atau penempatan bersama. Padanan katanya yang paling dekat dengan bahasa latin
adalah Signum yang artinya tanda. Sebuah simbol menggabungkan, entah dalam bentuk
gambaran entah dalam bentuk bahasa, dua unsur yang tampaknya berlainan. Daripada
dianggap sebagai pemulihan suatu kesatuan semula yang terpecah penggabungan itu harus
dipandang sebagai hal yang menciptakan suatu hubungan baru yang terikat satu sama lain
secara dialektis. Sejak permulaan abad ke-19, istilah simbol telah digunakan secara sangat
luas dalam bahasa Inggris sehingga hampir sama artinya dengan “kemiripan” atau
“keserupaan”. Tetapi jika di dalamnya terkandung arti yang lebih kuat seperti
“menggabungkan” atau “menjembatani kesenjangan”.

Di dalam kitab Perjanjian Lama sudah lama terdapat perbedaan antara Hukum Taurat
dengan Para Nabi, yang mungkin dapat dipakai untuk membedakan antara buku-buku yang
berisi tentang peraturan untuk kehidupan sosial bangsa Israel dan buku-buku yang berisi
tentang nubuat-nubuat masa lalu dan masa depan Israel. Keduanya saling berhadapan tetapi
digabungkan oleh Hukum Taurat. Selama dipatuhi, Hukum Taurat merupakan agen pengikat.
Allah dan bangsanya digabungkan bersama oleh ketaatan kepada hukum: ini adalah tanda
kebersamaan.

Dalam surat-surat Perjanjian Baru, tidak terhitung jumlah contoh penggunaan bahasa
simbol yang hidup untuk menggugah daya imajinasi dan dengan demikian menuntun orang
untuk memberikan tanggapan yang aktif. Seperti misalnya dalam surat santo Yakobus,
gambaran-gambaran itu sungguh hidup. Laut yang diguncangkan oleh angin, seorang laki-
laki mabuk yang berjalan terhuyung-huyung, kuda-kuda yang dikendalikan dengan kekang,
dan lainnya. Semuanya itu merupakan simbol yang mempunyai arti yang lebih dalam.

Simbol tertinggi kebersamaan adalah perjanjian. Ini adalah tindakan Allah untuk
menjembatani kesenjangan antara diri-Nya sendiri dan suatu bagian umat manusia. Allah
dan bangsa-Nya dihubungkan didalam perjanjian. Akan tetapi karena bangsa Israel berlaku
tidak setia, maka hubungan itu terputus untuk sementara. Karena ketidaksetiaan itu
memuncak, maka seolah diharuskanlah akan adanya sebuah perjanjian yang baru, dan
perjanjian itu menjadi simbol pembeda bangsa yang baru.
Robert Alter menggunakan istilah langka, yaitu “tembus cahaya”, yang muncul dalam
definisi Coleridge tentang simbol. Gambaran tembus cahaya dalam paragraf Alter dapat
digantikan sebagai simbol, yang menggambarkan hubungan antara satu sama lain yang terus-
menerus yang meliputi percakapan dan perasaan. Dalam Kitab Perjanjian Lama, cerita-cerita
para nabi menampilkan dalam bentuk simbolis kata-kata dan tindakan Allah. Tegangan dan
dialektika antara Allah dan manusia diungkapkan melalui suatu kisah simbolis yang kuat,
yang menarik perhatian kita untuk menangkap dengan lebih mudah apa yang sedang
dikatakan dan dilakukan oleh Allah, dan bagaimana manusia menanggapinya.

Yang menjadi perhatian dari para narator kitab nabi-nabi adalah apa yang sudah
dilakukan Allah pada masa lalu dan apa yang harus dilakukan Allah pada masa yang akan
datang. Yang perlu diperhitungkan adalah variasi-variasi kaya yang tidak dapat dipatok
dengan rumus, yang dapat mengingatkan peristiwa-peristiwa penting di masa lalu, sekaligus
menunjuk ke depan kepada peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi di masa mendatang.

Sifat dasar dan fungsi simbol amat penting untuk dipahamu oleh para pembaca Kitab
Perjanjian Baru yang serius, karena hal itu berperan untuk menjaga Perjanjian Baru tetap
bersih dari segala hal yang ambigu dan keliru. Peristiwa-peristiwa yang dicatat di dalamnya
harus dipandang melulu sebagai serangkaian perbuatan ilahi.

Pandangan tentang campur tangan Allah yang unik dan dicatat, membuat sejarah
manusia, yang tidak semuanya sungguh-sungguh terlibat dalam campur tangan Tuhan, masih
harus ditelaah dan dievaluasi. Dengan menafsirkan dunia dan pengalaman-pengalaman
mereka di dunia secara simbolis, manusia telah meningkat mengatasi respons-respons luar
kemauan terhadap stimuli, dan telah masuk ke dalam hubungan-hubungan sadar yang
bercorak dialektis. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab, dan
setiap campur tangan Allah yang mengesampingkan kemampuan manusia untuk menanggapi
secara simbolis daripada secara otomatis hanya dapat dipandang seperti memperlakukan
manusia layaknya robot atau barang tak bernyawa.

Sejak abad pertama gereja Kristus, para pengajar telah berusaha untuk mengakui
sepenuhnya kemanusiaan Yesus. Meskipun Yesus adalah Allah, Ia telah mengosongkan diri-
Nya dan menjadi serupa dengan manusia. Yesus juga memiliki kemampuan untuk
menciptakan simbol. Baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan, Yesus senantiasa
bergerak menuju nilai, makna, serta pemahaman yang semakin mendalam tentang apa arti
hidup di dunia ini. Perumpamaan dan mukjizat yang diperbuat oleh-Nya selalu mengarahkan
perhatian orang kepada kerajaan Allah yang dikatakan-Nya sudah dekat.

Ciri kemanusiaan Yesus yang menonjol adalah hidup dengan menggunakan simbol-
simbol, menciptakan simbol-simbol verbal yang baru, melakukan tindakan-tindakan simbolis,
dan berkomunikasi dengan orang lain melalui bentuk-bentuk simbolis. Dengan demikian Ia
menjadi manusia dan tokoh simbolis, yang berbicara dan bertindak dengan simbol-simbol,
sehingga menonjokan diri-Nya sebagai manusia representatif, yaitu manusia yang
memperlihatkan sifatnya yang tertinggi dan terkemuka: sifat yang menuju kepada yang
transenden dan yang terakhir.

Injil Sinoptik memberikan tekanan yang istimewa kepada segi-segi pemenuhan dan
antisipasi. Sebelum era Yesus, nabi-nabi tertentu muncul dan memandang situasi-situasi “di
sini dan kini” mereka sebagai manifestasi-manifestasi kegiatan di masa sekarang, atau
sebagai pertanda pemenuhan atau tindakan Allah pada masa yang akan datang. Pemenuhan
itu masih akan terbuka pada pengembangan dan penafsiran lebih lanjut, meskipun dengan
cara yang mencolok akan memberikan jawaban pada pertanyaan generasi-generasi
sebelumnya.

Para penulis Injil Sinoptik berkepentingan terutama pada permulaan dan


perkembangan-perkembangan yang terjadi, sedangkan para penulis kemudian, khususnya
Paulus dan Yohanes, berkepentingan untuk menafsirkan dan menarik arti penting simbolis
hidup dan pelayanan Yesus sendiri. Hal ini mereka lakukan dengan menggunakan banyak
sekali bentuk simbolis, yang menuju kepada pengalaman yang lebih luas dan kebenaran yang
lebih kaya.

Tantangan pertama yang harus dihadapi oleh Petrus dan saksi-saksi lainnya di zaman
para rasul adalah memberi nama / gelar kepada Yesus sesuai dengan karya, pewartaan, dan
kematian-Nya. Allah telah memulihkan nama baik-Nya dengan membangkitkan-Nya dari
antara orang mati dan dengan demikian memaklumkan-Nya sebagai Mesias (yang diurapi),
Anak Allah, Tuhan, Penyelamat, Raja Kehidupan. Kelima gelar itu menunjuk kepada arti
penting universalitas Yesus.

Gelar-gelar Yesus lainnya yang secara simbolis terhubung dengan konteks-konteks


khusus, tercipta ketika Gereja Kristen menjadi lebih mapan dan kokoh. Dalam lingkup ibadat,
Ia disebut sebagai Imam Agung. Dalam lingkup reksa pastoral, Ia disebut sebagai Gembala
Agung. Ketika Gereja semakin berkembang, Ia dipandang sebagai Kepala Gereja. Dengan
adanya kebutuhan untuk menghubungkan iman Kristen yang baru dengan pertanyaan
intelektual seputar penciptaan dan asal-usul hidup, Ia diserukan sebagai Yang Sulung dari
segala ciptaan dan Sabda Kehidupan. Dan akhirnya, ketika berbicara tentang ke-Allah-an, Ia
diserukan sebagai Anak, sebagai Citra, sebagai Pancaran Terang, sebagai Logos.

Sejak abad pertama, gelar-gelar yang lain telah dialamatkan kepada-Nya sebagai
jawaban atas penilaian-penilaian baru terhadap situasi manusia: raja, pemimpin, wali,
pengganti, pembebas, dan pengada baru (dalam teologi Paul Tillich). Ini semua adalah simbol
baru dan dinamis. Simbol yang baru dan dinamis ini berhubungan dengan ciri pengalaman
manusia, yang memperoleh arti penting melalui pengaruh atas perkara-perkara manusia yang
ditimbulkan oleh kehidupan, pengajaran, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus.

Gelar-gelar yang telah disebutkan itu menghubungkan Yesus dengan beraneka ragam
kebutuhan dan pengalaman manusia. Tetapi gelar-gelar yang merupakan bentuk simbolis itu
mengandung antitesis, anomali, dan kontradiksi. Yesus, yang adalah orang yang “dibenarkan
oleh Allah”, yang berkenan di hati Allah, yang berbuat baik untuk umat manusia, menerima
nasib yang tidak pantas diterima oleh pribadi yang semacam itu. Ia dikhianati, disiksa, dan
akhirnya dijatuhi hukuman mati seperti seorang penjahat.

Dengan banyak bentuk simbolis, kerap kali dengan paradoks yang berani, para ahli
teologi Perjanjian baru berusaha untuk menjembatani apa yang tampaknya menjadi jurang
besar kesalahpahaman.

Tidak ada satu pun bentuk simbolis yang dapat mengimbangi besarnya masalah yang
disajikan oleh contoh mengenai penderitaan yang tidak sepantasnya ditanggung dan kematian
yang tidak adil. Para penulis Perjanjian Baru berpegang pada aktualitas tradisi dan
pengalaman pribadi mereka, dan menghubungkan aktualitas itu dengan aktualitas penyaliban
dan kebangkitan.
Dalam tradisi orang Yahudi, motif yang dominan adalah motif penebusan dan
pembebasan. Penebusan diikuti oleh suatu penetapan suatu perjanjian yang mencakup
ketaatan kepada perintah-perintah hukum resmi. Bangsa Israel telah dibentuk dengan suatu
perjanjian yang mengesankan di mana Musa telah berbicara sebagai wakil Allah dan orang-
orang Israel telah menjawab dengan bertekad untuk hidup selaras dengan bentuk perilaku
yang khusus.

Hukumtelah diberikan, keras, dan tidak berubah-ubah aturannya; namun kisah masa
lalu bangsa Israel dinodai dengan berbagai bentuk pelanggaran hukum Allah dan banyak
sekali kegagalan manusiawi. Bagaimana semuanya itu dapat dimaafkan dan diampuni?

Dalam imajinasi para nabi dan penafsiran tentang perjuangan politis di kemudian hari,
ada dukungan untuk harapan bahwa melalui dedikasi tanpa pamrih, bahkan kalau harus
menderita dan mati sebagai martir sekalipun, seluruh masyarakat akan memperoleh
manfaatnya. Pertanyaan seputar pola simbolis apa yang dilihat dari kepatuhan Yesus sampai
mati di salib, dan apakah berkat kematian-Nya banyak orang dibenarkan dan berkat bilur-
bilurnya banyak orang disembuhkan, merupakan bentuk simbolis yang dirujuk oleh penulis
Perjanjian Baru. Mereka tidak membangun dogma-dogma tetap. Mereka mempergunakan
cerita dan gambaran yang bertujuan mempersatukan realitas-realitas kematian dan hidup baru
dalam interaksi yang kreatif, dan melihat realitas-realitas itu memperoleh ungkapan yang
tertinggi dan teramat penting dalam kematian dan kebangkitan Yesus.

Pendekatan terdekat untuk mengetahui dasar rasional penyilihan terdapat dalam


konteks umum penerapan tata tertib hukum. Ada dua sistem hukum dalam dunia sosial abad
pertama: sistem hukum bangsa Yahudi yang mempersatukan orang-orang Israel dengan kuat,
dan sistem hukum bangsa Romawi yang menjaga persatuan seluruh kerajaan dengan
dukungan kekuatan militer. Bagi seorang Yahudi yang hidup di masa imperialis Romawi,
hukum merupakan realitas yang meliputinya dari segala sisi. Pelanggaran hukum akan
dikenai hukuman yang keras.

Di semua negeri dan di semua kalangan masyarakat ada kepedulian akan hubungan
yang teratur antar-individu dan tentang pola-pola hidup bermasyarakat yang tampak nyata.
Mungkin ada pengakuan hukum alam atau penerimaan hukum yang diwajibkan. Hukum
rupanya menjamin stabilitas dan tata tertib yang selayaknya. Aturan-aturan utama sebuah
undang-undang cepat dipahami dan ada keinginan umum agar undang-undang itu dijunjung
tinggi dan tatanan sosial dijaga kelestariannya.

Ada bahaya berupa hukum yang totaliter dan diktatoris, yang menolak hubungan
dengan keadaan-keadaan individu atau konteks sosial, sehingga manusia harus siap untuk
hidup di dalam “sangkar besi”. Simbolisme tidak dimungkinkan sama sekali, karena semua
harus tunduk pada hukum yang diberlakukan secara harafiah dan tanpa peduli.

Berdasarkan situasi yang dilukiskan oleh Paulus, seluruh dunia bersalah di hadapan
Allah. Tidak ada orang yang benar, satu pun tidak ada. Dalam keadaan yang suram ini, Allah
menempatkan Yesus sebagai sarana untuk menghapuskan kesalahan yang memisahkan Allah
dari manusia dan manusia dari Allah. Di sini Paulus menekankan iman, kepercayaan
sepenuhnya kepada Yesus dan kepada efektivitas dari apa yang telah dikerjakan-Nya di
antara umat manusia, kepada keadaan dipersatukan dengan-Nya sepenuh-penuhnya sehingga
dapat disebut ada di dalam Kristus. Paulus memandang kematian di salib itu sebagai
kemenangan atas dosa, sebagai pemenuhan apa yang diminta oleh hukum, sebagai kematian
yang mematahkan rantai dosa – maut, sebagai kematian yang dapat dikenakan oleh iman dan
kemudian dibalikkan dalam kebangkitan, sumber hidup baru bagi semua orang beriman.

Perjanjian Baru bergembira dalam iman bahwa ada sesuatu yang lebih, dan istilah
yang biasa digunakan untuk mengungkapkannya ialah rahmat. Melalui rahmat, Allah
memberikan diri-Nya dalam Kristus untuk mendamaikan dunia dengan diri-Nya. Tindakan
itu melampaui tatanan adil, di mana tindakan itu tidak dapat diungkapkan dengan bahasa
yang termasuk dalam tatanan itu saja. Maka dari itu, sehimpunan bentuk simbolis yang kaya
telah diciptakan dari abad ke abad ketika para penafsir berusaha untuk menanggapi rahmat
Allah yang berlimpah-limpah dan melihat dalam kematian dan kebangkitan Kristus sumber
simbolisme terkaya yang dapat diungkapkan oleh bahasa manusia dan ikonografi manusia.

Dalam Perjanjian Baru tidak terhitung jumlah contoh penggunaan bahasa simbol yang
hidup untuk menggugah daya imajinasi dan dengan demikian menuntun orang untuk
memberikan tanggapan yang aktif. Dalam 1Tesalonika dapat ditemukan gambaran verbal,
misalnya: seorang pencuri pada waktu malam, seorang wanita yang sedang sakit bersalin,
serdadu yang bersenjata dan berbaris, dan lain-lain. Dalam Surat St. Yakobus, gambaran-
gambaran yang sungguh hidup merupakan simbol yang mempunyai arti lebih dalam,
misalnya: laut yang diguncangkan oleh angin, seorang lelaki mabuk yang berjalan
terhuuyung-huyung, dan lain-lain.

Injil Yohanes menjadi sumber bentuk-bentuk simbolis yang terbukti tidak terperikan
nilainya dalam sejarah agama Kristen. Injil Yohanes disebut “Injil Tanda-tanda”, yang
bertujuan membimbing para pembacanya untuk maju terus melampaui kata atau peristiwa
lahir yang nyata menuju kepada kebenaran yang lebih kaya, realitas ilahi yang diacunya atau
yang di dalamnya kata atau peristiwa itu sebenarnya mengambil bagian.

Ujaran simbolis yang paling menantang adalah tujuh ujaran Yesus “Akulah”. Ketujuh
ujaran itu dikaitkan dengan keadaan-keadaan atau kejadian-kejadian yang termasuk dalam
pelayanan Yesus sendiri, tetapi terbukti dapat diterapkan dalam konteks yang jauh lebih luas
dan tidak terbatas pada suatu masa khusus. Kata-kata, peristiwa, gelar, perumpamaan,
bahkan polemik menunjuk lebih jauh daripada dirinya sendiri kepada realitas yang
diwahyukan oleh Yesus dengan kedatangan-Nya.

Komentar lengkap Injil Yohanes diperlukan untuk meliput kekayaan simbolisme


sugestif yang ada di dalam Injil itu. Ada simbolisme-simbolisme tertentu yang khas dalam
Injil tersebut, yang berkaitan dengan tatanan alam, contohnya adalah istilah Anak Domba
Allah. Pembicaraan yang panjang tentang domba dan kawanan domba secara berulang-ulang
mengacu kepada hidup. Percakapan Yesus dengan wanita Samaria menegaskan bahwa tidak
ada simbolisme yang lebih beragam dan lebih kuat daripada air. Dari kisah orang buta yang
bisa melihat kembali, terang merupakan sumber daya sugestif simbolis.

Penderitaan dan kematian Kristus ditafsirkan dengan menggunakan simbol-simbol


yang diambil dari tatanan alam dan proses produksi pangan, perbandingan-perbandingan
yang tidak muncul dalam buku-buku Perjanjian Baru lainnya. Misalnya, bab keenam Injil
Yohanes menyangkut pada kebutuhan manusia akan roti, dan bab kelima belas memusatkan
perhatian pada budi daya pohon anggur.

Penunjuk-penunjuk simbolis dalam Injil Yohanes telah diterapkan dan digunakan


secara harafiah, materialistis, dan kerap kali diragukan. Namun ternyata semua itu menjadi
sumberpesona yang tiada hentinya dan sumber penerangan rohani. Injil Yohanes senantiasa
menantang pembaca untuk melihat lebih jauh dari yang tersurat secara harafiah, untuk
menerapkan kata-katanya pada kebutuhan-kebutuhan manusia dewasa ini. Kitab “tanda-
tanda” merupakan rumah perbendaharaan simbol yang tidak ada habisnya.

Segala yang kelihatan pada zaman dahulu menjadi simbol pada zaman berikutnya.
Dengan majunya pengetahuan tentang sejarah manusia, yang diperkuat oleh pengetahuan
baru tentang perkembangan geologis dan biologis, timbullah sikap skeptis yang makin lama
makin besar. Akibatnya muncul pertentangan atau perdebatan-perdebatan antara para ahli
mengenai pemikiran bahwa “Yesus merupakan simbol”.

Menurut penulis, sudah sepatutnya dan sesuai dengan kesaksian para penulis
perjanjian baru mengakui Yesus sebagai simbol Allah yang menjadi pusat (memegang
peranan yang sangat penting). Dalam mengakui Yesus dengan sejumlah gelar, orang-orang
kristiani awal menyatakan bahwa Ia adalah simbol yang menjadi jalan bagi manusia untuk
dapat menembus lebih jauh dari dunia yang temporal menuju dunia keabadian, lebih jauh dari
berubah-ubah menuju dunia yang tetap, lebih jauh dari apa yang bersifat parsial menuju apa
yang bersifat total.

Sebuah simbol manusiawi adalah yang paling tinggi potensinya dari semua simbol,
karena menunjuk lebih jauh dari dirinya sendiri kepada Allah. Orang kristiani dari segala
abad mengakui bahwa Yesus sendiri adalah simbol pusat, yang berpotensi mempersatukan
seluruh bangsa manusia dengan Allah sendiri.

BAB 9

ROH DAN HURUF

Tulisan Paulus yang terdapat dalam 2 Kor 3:6: ”Hukum yang tertulis mematikan,
tetapi Roh menghidupkan” memiliki pengaruh pertentangan yang besar. Paulus
mempertentangkan pemberian hukum dalam Perjanjian Lama dengan anugerah yang
menghasilkan hidup baru. Pada umumnya perbedaan antara hukum tertulis dan roh dikaitkan
dengan perbedaan antara yang terlihat dan yang tidak terlihat, antara simbol atau realitas,
yang menonjol dalam pandangan abad pertengahan. Dengan pancaindra kita melihat dunia
alam dan mendengar kata-kata kitab suci. Dengan penglihatan rohani kita menuju realitas
yang manifestasi-manifestasi lahirnya terwujud dalam semuanya itu. Penglihatan ini adalah
kemampuan untuk menangkap di dalam objek-objek persepsi indrawi itu realitas yang tidak
terlihat dari dunia yang dapat dipahami, yang ada di balik objek-objek itu. Dalam abad
pertengahan, menafsirkan kata-kata Allah berarti menguraikan kata sandi Allah.

Perubahan dramatis antara suasana Abad Pertengahan dan suasana abad


kelima belas sampai abad ketujuh belas dapat dilukiskan dengan banyak cara. Perubahan itu
dapat dilihat melalui perubahan mengenai bahasa yang merupakan salah satu bentuk
simbolisme. Eropa kitab suci latin ke bahasa Yunani atau selanjutnya ke bahasa Ibrani.
Kemudian kitab-kitab berbahasa tradisional diwujudkan melaui media percetakan. Bagi
Luther pertentangan antara hukum tertulis dan roh senantiasa diberlakukan kembali melalui
perjumpaan antara kematian dan hidup antara penghakiman dan penyelamatan, antara
penghukuman dan pembenaran. Menurutnya banyaknya penggunaan alegori, sinekdoke,
analogi, bentuk-bentuk bahasa tidak berdaya untuk menghadapi keterputusan dan atau jurang
lebar antara hukum moral dan kodrat manusia yang berdosa. Huruf dan roh harus ditafsirkan
sebagai hukumm dan janji. Dengan ini Luther memperluas penafsiran huruf-roh. Metodenya
tentang ini berbeda dengan yang dimengerti pada abad pertengahan. Namun ditempat lain ia
justru mengatakan bahwa pertentangan huruf-roh sebagai sesuatu yang menyimbolkan
perlunya selalu berjalan terus, tidak pernah berhenti pada suatu ungkapan huruf tetapi
berjalan maju menanggapi panggilan roh.

Calvin seolah-olah setuju dengan Paulus bahwa hukum itu mematikan dan roh
menghidupkan akan tetapi ia juga mempersatukan huruf dan roh. Dengan demikian ia
menggabungkan dua kesimpulan doktriner, firman dan roh dalam hubungan erat. Firman
yang hanya berbunyi di telinga mematikan; hanya roh yang menerapkannya secara hidup
dalam hati. Calvin karena keagungannya pada hukum menafsirkan kondisi manusia sebagai
hal yang runyam dan tidak dimaafkan. Hanya perjanjian baru, pewahyuan baru tentang
kristus oleh roh, dapat mendatangkan keselamatan.antusiasme baru akan firman dalam
teologi reformasi dan pasc-reformasi dapat dengan sangat mudahnya membawa orang kepada
upaya untuk menjaga kelestarian pernyataan-pernyataan ortodoks dan tanda-tanda yang tidak
boleh berubah dan dengan demikian kepada kematian simbol-simbol.

Menjelang akhir abad keempat orang menjadi hampir terobsesi oleh


pengertian tatanan khususnya mereka yang memegang kekuasaan. Apa pun mungkin terjadi.
Dalam perkara rohani gereja menjadi penjaga tatanan, karena kekeliruan yang terjadi
membuat orang memanggil konsili, lagi tindakan para klerus menyebabkan orang mencari
bimbingan terbaru. Dalam kekecewan ini timbul pengharapan dengan ditemukannya kembali
sabda ilahi. Di sini otoritas diperlukan untuk mengatur secara benar kehidupan individual dan
sosial. Sabda diandalkan dan tata tertib ibadat disusun dengan mengandalkan sabda. Dan
berperan untuk memaklumkan sabda. Sabda menjadi pengatur hidup. Di kalangan Protestan
proses seperti ini sangat penting.

Namun masalah penafsiran masih merupakan hal yang perlu dikatakan


masalah besar. Setiap penerjemah melibatkan penafsiran, khotbah-khotbah, kesusastraan
menyangkut moral butuh penafsiran. Meski demikian selama jangka waktu yang cukup lama
selagi bangsa-bangsa dan masyarakat masih terus bersifat tertutup, sabda Allah sebagai
otoritas terakhir tetap tidak tertantang dan penafsiran mengikuti garis petunjuk yang
ditetapkan dalam pelbagai golongan. Akantetapi ketika pengetahuan tentang alam
berkembang masalah penafsiran menjadi lebih akut. Revolusi ilmu pengetahuan
mengarahkan perhatian pada tanda-tanda yang mampu menggerakkan benda-benda di langit.
Saat mulai berjabat tangan dengan fenomena perubahan para pemimpin Kristen mulai
melihat dengan lebih seksama ajaran tentang roh. Menurut Perjanjian Baru, roh mengilhami
orang-orang yang menjadi saksi sabda. Luther dan Calvin mengakui perlunya pengakuan roh
untuk memahami isi kitab suci secara benar, ini soal perkara berdoa mohon bimbingan
untukk menelaah kitab suci secara keseluruhan.

Ada sekte-sekte di dalam dunia Kristen Reformasi memohon bimbingan roh untuk
penafsiran khusus mereka. Dan mereka menyadari perlunya berpisah dari tatanan karena
mereka berada di bawah bimbingan roh. Perbedaan antara roh dan huruf mulai digariskan.
Pertentangan antara roh dn huruf pada masa ini dan selanjutnya mengambil bentuk tegangan
antara bahasa yang bersifat formal, teknis, harfiah, faktual, dan bahasa yang bersifat puitis,
metaforis, mistis, rohani. Jika tekanan pertama yang menonjol maka bahasa cenderung
kepada kata sandi, tanda, korespondensi formal. Jika tekanan kedua yang menonjol maka
bahasa cenderung kepada khayali, yang fantastis, sandi pribadi. Mempersatukan huruf dan
roh dalam hubungan simbolis yang vital merupakan salah satu tugas besar selama dua abad
terakhir. Rupanya hubungan-hubungan ilahi-manusiawi dapat diungkapkan secara verbal
dalam dogma,rumusan, dan konstitusi. Namun manusia menolak itu. Maka terjadilah
perjuangan untuk mencapai kebebasan Roh dalam evangelikalisme. Namun di lain sisi
pertanyaan tentang arti rohani dan peraanan roh kudus tidak mendapat jawaban jelas.roh
menurut tradisi kristen adalah Tuhan pemberi hidup.

Para pemikir dalam abad ketujuh belas dan delapan belas memandang sesuatu
pada tekanan logika, kejelasan, dan ketetapan. Akal budi dipandang sebagai faktor-faktor
utama dalam kebudayaan dan faktor-faktor ini menjamin adanya masyarakat yang relatif
stabil. Pandangan ini akhirnya menimbulkan reaksi, dalam reaksi ini ternyata tidak ada
konsep yang lebih penting daripada simbol. Dalam wacana logika dan hukum selalu ada
kebutuhan akan arti tertentu, akan tanda-tanda yang sesuai dengan realitas. Dalam ungkapan
seni dan wacana pribadi kebutuhan akan simbol-simbol lebih bersifat fleksibel. Serta terbuka
kepada realitas transenden.

Pada abad kedua puluh terjadi perubahan dengan lahir dan berkembangnya
teori relativitas, mekanika kuantum, pengertian ketidaktentuan, penmeuan kode
genetika.perbedaan besar masih terletak antaara apa yang dapatdiungkapkan secara sistematis
dan apayang diungkapkan secara secara analogis dan apa yang diungkapkan secara analogis
dan komplementer.

Dengan menggunakan simbollah manusia mengakui bahwa rohlah yang


menghidupkan dan memampukan manusia untuk menjadi saksi sifat kodrat hidup itu dalam
bahasa simbol. Bentuk-bentuk simbolis bahasa telah digunakan dalam laju perkembangan
ilmu selama dua abad yang lalu, tetapi di dalam penggambaran hubbungan-hubungan-
hubungan manusia melaluisejarah dan kesenianlah gagasan simbol terbukti mempunyai arti
penting yang amat besar. Juga diungkapkan dalam musik, kesusastraan, dan filsafat.
Kepedulian baru akan daya imajinasi muncul dalamhubungan manusiadengan Alam dan
Allah, akan arti penting baik perasaan dan akal budi dalam menafsirkan keadaan manusia.
Untuk menilai dan menafsirkan bagaimana manusia ketika memandang alam atau
mendengarkan musik hanya dapat dijawab dengan menggunakan bentuk-bentuk simbolis
daripada pernyataan yang logis, abstrak, atau proporsional. Simbolisme dalam kesenian,
dalam kesusastraan, dalam teologi harus menjadi minat perhatian satu bidang studi
kemanusiaan yang luas dalam abad kesembilan belas. Kebutuhan akan simbol lahir menurut
Coleridge karena tidak memadainya abstraksi atau ilustrasi belaka untuk menggambarkan
gagasan, serta perlunya perasaan dan daya imajinasi untuk membawa gagasan dalam
pengalaman.

Perkembangan selanjutnya yaitu muncul minat baru kepada teologi naratif. Lahirnya
novel, prestasi gemilang para filsuf idealisme, jawaban penuh kagum kepadaalam daripada
pujangga dan pelukis, drama-drama ibsen, dan opera wagner. Menjadi saksi dorongan untuk
menembus apa yang jelas, biasa, dan menunjuk melalui bentuk-bentuk simbolis.

Telah dikemukakan sejak munculnya minat pada teologi naratif bahwa cerita
atau kisah sunguh-sungguh dapat menjadi metafora yang luas. Dalam cerita yang terpenting
adalah suspens atau tegangan. Selama cerita tetap terbuka kepada penafsiran kembali yang
terus-menerus dan kepada penerapan luas di dalam hidup sekarang ini, cerita tetap menjadi
alat roh yang memimpin orang kepada kebenaran yang semakin penuh. Namun apabila
eksklusif diletakkan pada segi bahasa, filosofis, arkeologis, dan sosiologis dari agama dan
kesenian. Maka simbol lamban laun kehilangan kekuatannya dan menjadi barang
peninggalan.

BAB X

“SIMBOL DAN KEBUDAYAAN”

Kebudayaan dalam arti gaya hidup suatu masyarakat khusus, dapat dilukiskan dan
didefinisikan oleh karena keterikatannya dengan seluruh tatanan atau tata tertib. Hal ini dapat
diartikan sebagai bentuk kewajiban-kewajiban setiap individu yang berkenaan dengan alam,
suatu tata susunan hak dan tanggung jawab yang diperlukan demi terciptanya kehidupan
sosial yang selaras.

Suatu kebudayaan yang sama sekali terisolasi, dengan tata susunan tanda-tanda
tradisionalnya sendiri yang dimasukkan dalam hukum lisan atau tertulis, rasanya amat pantas
diinginkan. Hal ini tentu membutuhkan keterbukaan dan kemauan masyarakat untuk selalu
setia pada aturan-aturan tersebut. Memang merupakan hal yang wajar apabila mendengar
penjelasan ini. Apakah semua aturan dan hukum itu harus dipandang sebagai tanda yang
tidak dapat ditawar-tawar, yang hakiki untuk kelestarian kehidupan yang tertata? Atau
dapatkah berfungsi sebagai simbol-simbol, yang menunjuk lebih jauh dari dirinya sendiri
kepada keadilan yang tidak pernah dapat diwujudkan atau dijamin sepenuhnya tetapi
merupakan tujuan yang usaha pencapaiannya menghendaki suatu pemeliharaan suatu tatanan
yang layak? Bangunan misalnya, akan terus merupakan tanda tentang apa yang sudah
tercapai berkat dedikasi manusia, berkat usaha manusia. Namun, dengan catatan bila
bangunan tersebut tetap merupakan kegiatan-kegiatan Bersama. Yang artinya hubungan
antara yang objektif dengan yang subjektif amatlah penting. (Visual & Verbal)

II

Menurut Simeon Weil agar suatu simbolisme dapat masuk ke dalam suatu kesadaran
masyarakat, terjadi terutama melalui perantaraan dua bentuk simbolis, dan juga yang terikat
pada tanah dan hasil bumi, yang berkepentingan dengan kesuburan dan kelestarian hidup,
yang diatur keadaan-keadaan musim yang tetap di daerah Laut tengah: bentuk yang pertama
bersifat dramatis dan visual, bentuk yang kedua bersifat verbal dengan akibat-akibat
dramatis. Kedua bentuk ini ialah kurban dan hukum. Kurban dan hukum adalah
kategori yang umum. Seperti kebudayaan Ibrani dan Hellenistis, misalnya. Kedua
kebudayaan tersebut mempunyai tradisi tata cara kurban yang dramatis, setiap kebudayaan
diikat menjadi satu di dalam suatu sistem hukum. Akan tetapi, bentuk-bentuk strukturalnya
sebagaimana ada dan makna-maknanya di dalam dua kebudayaan sangat berbeda.

Namun meskipun kedua kebudayaan itu sangat berbeda, tetap merupakan kenyataan
bahwa jika peristiwa penyaliban-kebangkitan dapat diwartakan menurut pengertian perbaikan
hukum yang dilanggar. Dengan demikian, peralihan besar dalam simbolisme Kristiani terjadi
dari penafsiran berdasarkan tradisi kurban dan hukum masyarakat petani Yunani-Romawi.
Para penganut Reformasi memandang bahwa konsep kurban telah digiring ke dalam satu
saluran sempit teori dan praktek, telah menjadi tanda hakiki ortodoksi, dan dengan demikian
telah menyerongkan penafsiran Kitab Suci. Meskipun demikian sebuah kebudayaan yang
baru muncul di Eropa Utara selama abad kelima belas sampai keenam belas dan kebudayaan
ini berusaha untuk mendapatkan Kembali bentuk-bentuk simbolis yang asli dari tradisi Ibrani.

Orang Kristen berusaha untuk menyampaikan iman kristiani itu sendiri kepada para
dua anggota kebudayaan itu, tetapi tidak banyak hasilnya

III

Pembenturan sesungguhnya tradisi-tradisi budaya (dan simbol-simbol) telah terjadi di


wilayah-wilayah di mana selama berabad-abad orang-orang, yang hidup di atas tanah dan
nafkah dari tanah, telah membangun kebudayaan mereka sendiri yang khas dan
mengungkapkannya melalui bentuk-bentuk Bahasa, kesenian, dan agama. Para misionaris
melihat kedekatan mereka dengan bentuk-bentuk orang-orang yang mencari nafkah dari
tanah, berusaha untuk memurnikan mereka dan mengarahkan mereka kepada pusat devosi
yang benar – Anak Allah yang menjadi jalan bagi kita untuk mendekat kepada Bapa oleh satu
Roh. Namun hal itu tentu tidak dapat dicapai dengan mudah, sebab munculnya berbagai
pertanyaan dari masyarakat. Salah satunya ialah, dapatkah apa yang menjadi tanda-tanda
tetap dalam agama-agama Kristen Katolik?

Simbol-simbol yang perubahannya bagaimana pun juga tidak disetujui oleh pimpinan
gereja adalah roti dan anggur dalam perayaan Ekaristi. Para misionaris menandaskan bahwa
roti dan anggur adalah unsur yang dapat memberi cap kepada agama Kristen Katolik.

IV

Dalam gereja-gereja reformasi, seperti di Inggris, Wales, atau Skotlandia, tidak


banyak perhatian kepada hubungan manusia dengan alam (yang kerap kali tampak keras dan
tidak ramah) atau dengan pola-pola liturgis ibadat. Selain itu terdapat pula usaha perluasan
besar agama Kristen. Akan tetapi pada saat itu terjadi pula interaksi yang belum pernah
terjadi sebelumnya antara kebudayaan barat dan kebudayaan negeri-negeri lain, dengan
sistem-sistem simbol masing-masing berbenturan hampir secara keras. Orang-orang katolik
Roma dam mereka yang lebih menekankan sifat katolik dalam Gereja Inggris berusaha untuk
menanamkan bentuk-bentuk simbolis mereka sendiri dan meningkatkan pertumbuhannya di
negeri-negeri lain. Gereja-gereja reformasi dan sayap Evangelikal gereja Inggris
menceburkan diri ke dalam tugas untuk membuat Injil dikenal di seluruh dunia kafir.

Kepercayaan reformasi ialah kepada firman Allah, tetapi mereka hidup di tengah
orang-orang yang buta huruf dan yang kebudayaannya tentu bukan semata-mata kebudayaan
kata tertulis: kebudayaannya adalah kebudayaan yang simbol-simbol utamanya adalah
nyanyian, cerita, tarian, drama, persembahan untuk memenuhi nazar, laku mati raga.

Simbol-simbol atau sandi-sandi merupakan bagian dari sekurang-kurangnya proses


budaya yang membawa manusia kepada kepenuhan potensinya. Simbol-simbol adalah hasil
dari keterkaitan dan hubungan timbal balik, seperti halnya kehidupan biologis yang baru
adalah hasil antara suami dan istri. Maka simbol-simbol yang masih ada dalam kebudayaan
yang lain harus dihormati dan dipelajari. Hanya dengan demikian dapatlah interaksi yang
kreatif mulai dan bentuk-bentuk simbolis yang baru muncul. Maka manusia perlu melakukan
dialog, dialektika, pertemuan, pertukaran, interaksi, hubungan timbal balik agar proses kreatif
simbolisasi dapat dipelihara dan dipertahankan.
BAB XI

“HIDUP DAN MATINYA SIMBOL”

Dahulu sebuah puncak Menara gereja merupakan simbol terkemuka peningkatan


semangat keagamaan bagi suatu jemaat, dengan mengangkat pandangan dengan kedambaan
para anggotanya menuju ke surga; di puncak Menara itu mungkin ditempatkan sebuah salib,
simbol keselamatan Kristen. Akan tetapi lama kelamaan simbol-simbol tadi semakin hilang
maknanya dengan adanya bangunan-bangunan pemancar langit. Dapat dikatakakan bahwa
dengan lampuk simbol keagamaan tradisional, di manakah ciptaan-ciptaan yang menunjuk ke
atas dan memandang ke depan akan mendapatkan tempatnya?

II

Anthony Bridge dalam bukunya menyatakan bahwa suatu gaya hidup selama simbol-
simbol terus digunakan sebagai simbol yang menunjuk kepada sesuatu yang lebih jauh di
dalam dirinya sendiri, segera setelah simbol itu digunakan untuk kepentingannya sendiri dan
diperlakukan sebagai fakta, artinya sebagai realitas yang sudah digunakan cukup dalam
dirinya sendiri, simbol itu akan mati.

Bridgen menyarankan dua saran untuk mengatasi masalah itu. Di satu pihak, ia
mendesak agar diciptakan simbol-simbol baru, meskipun pekerjaan ini tidak mudah dan di
mana-mana respons publik lambat. Di lain pihak, harus ditunjukkan usaha untuk
menunjukkan hubungan antara symbol lama dan realitas yang ditunjukkan. Simbol akan terus
hidup hanya sepanjang simbol memperkuat pengertian seseorang tentang realitas ilahi yang,
menurut maksud semula, digambarkan atau dihadirkan oleh simbol itu.

Artikel kedua yang berbicara tentang hidup dan matinya simbol terbit dalam majalah
berkala, yang berbicara tentang spritualitas ekaristi dewasa ini. Dalam hal ini John Riches
memusatkan perhatiannya pada simbol-simbol yang digunakan dan pada tunduknya simbol-
simbol itu kepada proses perubahan. Matinya simbol-simbol keagamaan ialah dikarenakan
keadaan ekonomi, sosial, dan politik yang sesungguhnya memaksa simbolisme keagaan itu
sendiri harus diubah.

III

Berbicara tentang kegunaan simbol-simbol kuno dan tradisional dalam Kristen


(lukisan, tulisan, dll.) adalah soal yang pelik. Kekuatan dan dorongan timbul dari Tindakan
mengungkapkan kesinambungan dengan generasi-generasi silam yang menciptakan bentuk-
bentuk simbolis yang berdaya kekuatan; akan tetapi, selalu ada bahaya bentuk-bentuk itu
menjadi stereotip, klise, sekadar pajangan, tak bermakna. Hal ini mungkin berlaku bagi
zaman modern ini, yang menganggap simbol-simbol yang telah lahir pada zaman dahulu
sudah kuno.

Stategi yang tidak meninggalkan sama sekali simbol-simbol masa lalu dan juga tidak
menggunakan simbol-simbol itu dengan cara yang bersifat konvensional dan meniru belaka
sangat sukar untuk disusun dan dipertahankan. Perlu juga diketahui bahwa simbolisme tidak
dapat hidup dengan literalisme. Namun, juga dapat dinyatakan pendapat manusia, tanpa
simbolisme, tidak dapat sungguh-sungguh hidup. jika sebuah simbol harus memiliki daya
hidupnya, simbol itu harus senantiasa diselaraskan dan ditafsirkan Kembali di dalam konteks
yang baru.

BAB XII

KESIMPULAN: PARADOKS RANKAP SIMBOLISME

Nicholas Berdyaev menulis sebuah artikel berjudul Man, the machine and the new
heroism. Dalam tulisannya itu ia sangat menyoroti dominasi Teknik: hilangnya simbol! Hal
ini menurut pandangannya, merangkum kontras situasi zaman modern tanpa tedeng aling-
aling. Namun, dalam artikelnnya itu, ia melukiskan situasi itu sebagai paradoks.

Pembedaan mendasar yang dibuat oleh Berdyaev adalah antara dunia organik, di
mana manusia sendiri adalah bagiannya serta ada kemungkinan saling pengaruh daya-daya
alam secara bebas, dan dunia Teknik, di mana manusia berdiri terpisah, terasing dari barang-
barang dan menggunakan Teknik-teknik untuk membuat barang-barang untuk maksud
tujuannya sendiri. Akan tetapi, ia mengakui bahwa tanpa Teknik kebudayaan tidak mungkin.
Dengan mempersatukan hal-hal yang ekstrem, yang organis dan yang teknis, yang alami dan
yang terorganisasi, melalui penggunaan simbol-simbol, manusia menciptakan dan terus
menciptakan Kembali kebudayaan. Yang tampak sebagai paradoks akhir menjadi kreatif
berkat perantaraan simbol.

Dengan membangun simbol-simbol, manusia dapat hidup dan berkembang di dalam


apa yang tampak sebagai situasi yang seluruhnya paradoks. Hidup menurut hukum berarti
dibebaskan dari beban segala keputusan yang menggelisahkan. Hidup bebas berarti menjadi
mangsa segala ketidakpastian yang timbul baik dari kegiatannya sendiri maupun dari
kegiatan orang lain. Simbollah yang dapat mempersatukan hukum dan kebebasan
sebagaimana ditunjukkan pada masa Reformasi, meskipun istilah simbol jarang digunakan.
Hukum dan rahmat, keadilan dan penebusan, ketaatan dan iman adalah seruan-seruan yang
senantiasa diulang-ulang, dan simbol yang memper-satukan semuanya itu adalah tokoh
Kristus; pada Dia dan melalui Dia paradoks itu dapat diterima dengan baik.

II

Sejarah bangsa manusia memperlihatkan betapa kuatnya dalam hati manusia dambaan
akan yang satu, akan keseragaman, akan sistem yang lengkap-menyeluruh, yang tidak
mengenal ancaman ambiguitas atau ketidakpastian. Di satu pihak, ada usaha mencari sistem
yang logis, definisi kesatuan yang konstan, rumus ilmiah yang padat untuk menggambarkan
asal usul dan evolusi selanjutnya alam raya. Di lain pihak, ada usaha mencari sistem hukum,
konstitusi yang tidak berubah, satu pengendali segala antar hubungan yang banyak sekali
jumlahnya di dalam kehidupan masyarakat. Hensle Henson pernah berkata tentang “nafsu
akan keseragaman” yang ada pada manusia. Orang dapat pula berkata tentang daya pikat satu
penglihatan (visi), teori agung tanpa diferensiasi.

Contoh-contoh terbaik tentang kesatuan tapa diferensiasi dalam kehidupan dewasa ini
ialah “mesin berfungsi tunggal dan kesatuan militer bertujuan tunggal. Dalam mesin
berfungsi tunggal, Teknik tidak mengizinkan penyimpangan; dalam kesatuan militer
bertujuan tunggal, disiplin tidak mengizinkan umpanan balik.” Jam barang kali dapat disebut
simbol ketergantungan manusia pada jadwal yang disepakati Bersama tentang ukuran waktu.
Akan tetapi, jam adalah mesin, yang tidak dapat menyimpang atau berubah baik dalam cara
kerjanya maupun dalam penafsiran informasi yang diberikannya. Semakin dekat sebuah
mesin dengan ketepatan seperti jam, otomatisasi, dan penafsiran yang seragam, semakin kecil
arti penting simbolis yang dimilikinya. Hal ini tidak menyangkal nilainya. Ini hanya
menggaris bawahi paradoks Berdyaev.

Namun, ada cara yang lebih halus untuk mencari semacam keseragaman dan
kepastian tertinggi. Cara ini diungkapkan dengan istilah-istilah seperti misalnya mencari inti,
hakikat, esensi, dasar, landasan, substansi, fakta-fakta. Misalnya, almarhum Uskup John
Robinson pernah berkata bahwa ia tidak pernah meragukan kebenaran asasi agama Kristen
tetapi meragukan pengungkapannya dalam simbol-simbol. Namun, bagaimanakah kebenaran
asasi ini dapat diungkapkan? Bult Mann pasti benar Ketika menyatakan bahwa pandangan
hidup orang-orang pada abad pertama tidak dapat dipandang sebagai barang yang mutlak
untuk dewasa ini. Namun, ia juga keliru bila membayangkan bahwa kita dapat mengabaikan
pandangan hidup dalam situasi kita dewasa ini. Demi-kian juga, tidak ada perangkat
peraturan social yang diperintahkan dalam situasi-situasi Perjanjian Baru dapa dipandang
sebagai barang yang mutlak untuk segala zaman. Semua itu harus dihubungkan secara
simbolis dengan keadaan-keadaan masyarakat dewasa ini yang sudah berubah.

Inti, hakikat, esensi, substansi, sekali sudah didefinisikan, mungkin dipandang sebagai
sesuatu yang final. Akan tetapi, upaya-upaya penelitian seperti itu tidak dapat menghasilkan
pernyataan-pernyataan mutlak. Dialog, interaksi harus berjalan terus dengan bersikap terbuka
kepada perjumpaan-perjumpaan dan hubungan-hubungan simbolis. Apa yang mengkristal,
menjadi fosil atau mumi berisi fatstatis, dijaga kuat-kuat oleh penentu-penentu jasmani. Apa
yang membeku, tertutup bersifat statis, dijaga kuat-kuat oleh pengalaman-pengalaman sosial
yang tersimpan otak. Tidak dapat disangkal bahwa ada desakan-desakan jasmani yang kuat
dalam dunia dan juga benar bahwa ada hukum-hukum yang haru juga dipatuhi. Maka intinya
ialah “hidup secara simbolis menyatakan kebebasan sejati” (Thomas Mann).

III

Dalam bukunya A History of Religious Ideas, Mircea Eliade menegakkan apa yang
merupakan unsur terpenting dalam seluruh perkembangan bentuk-bentuk simbolis. Eliade
menyatakan bahwa artefak-artefak ternyata sangat berpengaruh pada daya imajinasi manusia
pada waktu imajinasi berusaha untuk menghubungkan pengalaman sehari-hari yang biasa
dengan beberapa realitas transenden, dari dunia lain, dunia rohani. Pengenalan yang baik
mengenai pelbagai modalitas bahan (materi) mengilhami imajinasi manusia untuk
mengungkapkan istilah-istilah yang menunjuk kepada alat-alat atau senjata-senjata yang
sudah dikenal dengan baik Ketika mengacu kepada kegiatan-kegiatan para pengada ilahi.

Alat dan senjata, menurut Eliade, dipenuhi dengan simbolisme yang tidak terhitung
banyaknya. Akan tetapi, hal-hal ini bukan satu-satunya komponen konteks manusia. Yang
senantiasa dilihat juga mempengaruhi imajinasi manusia dan sudah sewajarnya bila dikatakan
bahwa petani tergantung secara khusus pada apa yang dilihatnya keadaan tanah, munculnya
benih-benih semaian, cara pertumbuhannya, pemusnahan ilalang, proses pematangan,
kualitas panen. Ia selalu berjaga.

Di lain pihak, orang-orang yang hidupnya dikelilingi oleh hamparan padang gurun
atau yang berlayar mengarungi bentangan laut memperoleh seperangkat gambaran visual
yang sangat berbeda. Yang dilihat dapat bersifat sama sekali tidak menarik dan bersifat
monoton: dataran yang kering atau bentangan air saja sejauh mata memandang. Perangsang
utama daya imajinasi adalah angin (yang dapat dirasakan), yang akibatnya dapat dilihat
meskipun angin itu tetap tidak terlihat, dan suhu atmosfer (yang juga dapat dirasakan). Angin
dan api dan kebalikannya, keteduhan dan hawa dingin yang menggigit, adalah simbol-simbol
terkemuka yang menghubungkan pengalaman manusia dengan kegiatan-kegiatan ilahi.

Selama beribu-ribu tahun eksistensi manusia, pengenalan yang baik mengenai


lingkungan yang terbatas, dan dengan lingkup terbatas modalitas-modalitas materi di
dalamnya, praktis tetap tidak berubah. Memang ada banyak peristiwa yang mengherankan
yang dapat dilihat atau didengar dan yang akibatnya dapat dirasakan. Namun, untuk
melukiskan peristiwa-peristiwa itu, tidak diperlukan kosakata yang baru sama sekali dan juga
tidak diperlukan bentuk-bentuk simbolis yang baru. Semuanya ini akan berubah secara drastis
oleh adanya penemuan-penemuan baru yang tidak hanya memperbesar kemampuan manusia
untuk menangani lingkungannya tetapi juga mengembangkan penafsiran imajinatif mengenai
dunia yang tak terlihat.

Jika seluruh alam raya hanyalah seperangkat Teknik dan tidak lebih dari itu, jika
sejarah bangsa manusia hanyalah catatan tentang organisasi sosial yang makin lama makin
efisien dan tidak lebih dari itu, maka simbolisme sekarang hanyalah peninggalan masa lalu,
barangkali merupakan sarana untuk membangkitkan emosi massa atau semangat revolusioner
tetapi tidak mempunyai arti penting dalam menafsirkan realitas tertinggi. Positifisme logis
dan materialis dialektis, determinisme biologis dan psikoanalisis ilmiah tidak mempunyai
tempat untuk bentuk-bentuk simbolis. Semuanya itu berupaya untuk mereduksi alam raya
dan umat manusia kepada suatu asas operatif tunggal dan menutup kemungkinan terus-
menerus terjadinya pengaruh hubungan pribadi antara manusia dan dunianya atau antara
manusia dan sesamanya. Gerhana alam pribadi melibatkan gerhana simbol. Kembali kepada
Thomas Mann, “hidup secara simbolis menyatakan kebebasan sejati”.

IV

Simbol, dalam Bahasa Indonesia, berasal dari kata dalam Bahasa Yunani simbol dan
tetap mempunyai cita rasa Yunaninya. Peradaban Yunani terkenal karena memajukan
dialektika, dialog, dan perdebatan. Bertemunya unsur-unsur yang dapat dibedakan tidak perlu
mendatangkan kekacauan atau kerusakan tetapi justru dapat bersifat kreatif dan konstruktif,
dan ada dua cara terjadinya hal ini. Unsur-unsur itu mungkin dapat dibedakan tetapi mungkin
juga banyak ciri-cirinya yang sama; atau unsur-unsur itu mungkin berlainan dalam
kebanyakan hal. Maka dari itu, sebuah simbol dapat berfungsi untuk menggabungkan dan
membangun sebuah keseluruhan yang organis (dapat dibandingkan dengan cara anggota-
anggota yang tidak terhitung jumlahnya membentuk satu badan). Atau simbol itu dapat
berfungsi untuk menggabungkan dengan cara yang mengherankan unsur-unsur pengalaman
yang tampak tidak saling bersesuaian atau bahkan bertentangan. Istilah-istilah seperti
coincident a oppositorum atau conjunction menjadi masyhur. Sebuah simbol seperti ini bukan
suatu kelangkaan yang terisolasi belaka. Simbol ini membentuk jalinan baru yang susul-
menyusul, dan conjunction itu dapat diterapkan lebih lanjut dan menciptakan gabungan-
gabungan baru.

Dengan demikian, simbol pada hakikatnya berkepentingan baik dengan pertumbuhan


tetap dalam pengetahuan maupun dengan loncatan-loncatan kreatif daya imajinasi.
Mengamati proses-proses hidup, membandingkan unsur-unsur kesamaan, membangun dan
jalinan-jalinan genetis yang menggambarkan gerak tetap menuju keseluruhan organis inilah
satu bagian dari tugas simbol. Mengamati bergabungnya manusia yang hidup dengan
lingkungan sosial, menggambarkan ikatan-ikatan mengherankan yang melahirkan hubungan-
hubungan baru inilah bagian kedua tugas simbol. Bagian kedua ini lebih sulit dilukiskan
sebab pada hakikatnya bersifat inovatif, mengherankan, tampak berlawanan dengan tradisi-
tradisi yang sudah diterima, dan bahkan dapat merusak keseluruhan yang reproduksinya
menjadi tujuan simbol organis itu. Memusatkan perhatian pada simbol seperti ini dan
kemudian menjadikannya ciri suatu kelompok separatis yang mencari kekuasaan berarti
menjadikannya sebuah tanda pembawa kematian yang menakutkan. (Swastika dan apartheid
adalah contoh yang sangat jelas.) Corruption optimipessima. Namun, bahwa gabungan-
gabungan berani dari hal-hal yang nyata-nyatanya berlainan menciptakan zaman-zaman baru
dalam sejarah umat manusia.

Dari semua simbol, simbol yang paling kuat adalah manusia yang hidup. Orang itu
mungkin merupakan wakil yang terkemuka dalam kategori pertama simbol yang telah saya
coba lukiskan. Dengan menyerap secara luar biasa pengetahuan ilmiah yang bertambah
tentang alam raya, tentang unsur-unsurnya dan perpaduannya menjadi keseluruhan yang
makin mengembang, orang seperti itu dapat mengamati dan mengadakan percobaan serta
membuat hipotesis, dan akhirnya mengemukakan suatu representasi simbolis dari seluruh
Gerakan tatanan alam menuju integrasi yang lebih menyeluruh. Tokoh-tokoh besar dalam
kemajuan ilmu pengetahuan modern sendiri telah menjadi simbol keterbukaan visi dan
kesabaran penyelidikan yang meningkatkan kemajuan pengetahuan dan kesejahteraan
keseluruhan sosial. Namun, di samping itu ada tokoh-tokoh revolusioner, terutama barangkali
dalam dunia kesenian tetapi juga aktif dalam dunia ilmu pengetahuan. Mereka mengalami
penglihatan-penglihatan dan mempunyai impian-impian serta mengungkapkan semuanya itu
dalam bentuk-bentuk simbolis yang tampaknya bertentangan dengan semua standar dan
struktur zaman mereka yang sudah diterima. Bentuk-bentuk seperti itu mungkin memang
terbukti merupakan hasil dari hubris(kesombongan) atau fantasi atau ketaktahuan belaka.

Agama-agama besar atau filsuf-filsuf agama masing-masing mempunyai tokoh


simbolis sentral: Musa, Muhammad, Konfusius, Buddha, Sokrates. Masing-masing
mempunyai pengikut tetapi tidak sampai menjadikan mereka semacam replica dirinya.
Hukum, meskipun perlu, tidak pernah dapat terbatas pada satu tafsiran yang tidak dapat
ditawar-tawar. Keberadaan realitas transenden sendiri mengandung arti bahwa tidak ada
bentuk simbolis duniawi yang dapat bersifat mutlak.

Agama Kristen berpusat pada satu tokoh simbolis, Yesus, yang hidup di Nazaret,
disalibkan di luar Yerusalem, dan menampakkan diri sesudah pernampakan-Nya kepada
banyak orang yang telah mengenal-Nya dalam daging. Bagi mereka dan bagi parapengikut
dari generasi sesudahnyalah menjadi simbol maksud Allah mengenai seluruh alam ciptaan
("Sebab telah menyatakan rahasia kehendak-Nya kepada kita, sesuai dengan rencana
kerelaan-Nya, yaitu rencana kerelaan yang dari semula telah ditetapkan-Nya di dalam Kristus
sebagai persiapan kegenapan waktu untuk mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala
segala sesuatu, baik yang ada di surga maupun yang di bumi.

Hidup secara simbolis, melalui pemahaman setiap orang yang semakin berkembang
tentang tatanan alam dan melalui penafsiran imajinatif kita tentang sejarah umat manusia,
menyatakan kebebasan. Menurut kesaksian Paulus tentang apa yang sudah terjadi dan yang
masih terjadi pada umat manusia melalui Kristus, barangkali tidak ada penegasan yang lebih
bagus daripada penegasan yang dibuat oleh Paulus untuk memaklumkan bahwa di mana ada
Roh Tuhan, di situ ada kebebasan. Jika Kristus adalah simbol Allah, Rohlah yang
menafsirkan Injil Kristus bagi manusia, dan dengan demikian mengilhami manusia untuk
pada gilirannya menjadi tokoh simbolis di dalam karya Allah yang hidup, yang tiada
hentinya bekerja.

Anda mungkin juga menyukai