Anda di halaman 1dari 5

BAB II

Kristus Pengubah Kebudayaan

Tipologi Kristus Pengubah Kebudayaan adalah tipologi yang menyatakan bahwa di dalam setiap
kebudayaan, Kristus datang sebagai pengubah dan pembaharu dari kebudayaan itu. Para
pendukung tipologi ini memakai Injil Yohanes sebagai penguat “teori” mereka (Yohanes 3:16).
Tokoh yang paling menonjol dari tipologi ini adalah Agustinus. Agustinus berpendapat bahwa
Kristus adalah pengubah kebudayaan dalam arti bahwa Kristus memberi arah baru, memberi
tenaga baru dan meregenerasikan hidup manusia yang dinyatakan dalam semua karya manusia.
Begitu juga Wesley, beliau berpendapat bahwa Kristus adalah pengubah kehidupan, Ia
membenarkan manusia dengan memberikan mereka iman. Dan bahkan F.D.Maurice menegaskan
bahwa Kristus adalah Raja dan manusia harus memperhitungkan dia saja, sehingga Maurice
berpendapat bahwa tidak ada satupun kebudayaan yang tidak diubah (dikuasai) oleh Kristus.

Simbol

Manusia hidup tidak terlepas dari simbol. Pendapat seorang sosiolog mengatakan bahwa
kesatuan sebuah kelompok, seperti semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan memakai
symbol. Budiono Herusatoto mengatakan bahwa simbol adalah sesuatu hal yang atau keadaan
yang merupakan pengantara pemahaman terhadap objek.22 Simbol sekaligus merupakan sebuah
pusat perhatian tertentu, sebuah sarana komunikasi, dan landasan pemahaman bersama. Setiap
komunikasi dengan bahasa atau sarana yang lain, menggunakan simbol. Masyarakat hampir tidak
mungkin tanpa simbol-simbol.23

Beberapa pandangan ahli mengenai simbol:

Pandangan pertama dari Raymond Firth, yang dalam bukunya Symbols: Public and Private
memuat menyatakan bahwa ia melihat sebuah simbol memiliki peranan yang sangat penting
dalam kehidupan manusia, sebab manusia menata dan menafsirkan realitasnya dengan simbol-
simbol dan bahkan merekonstruksikan realitasnya itu dengan simbol.24 Menurut Firth, sebuah
symbol dapat menjadi sarana untuk menegakkan tatanan sosial atau penggugah kepatuhan-
kepatuhan sosial, selain itu sebuah simbol kadang-kadang dapat memenuhi suatu fungsi yang
lebih bersifat privat dan individual, meskipun tidak mudah mengakui adanya nilai dalam sebuah
simbol yang tidak mempunyai suatu acuan kepada pengalaman sosial yang lebih luas.25
Pandangan Victor Turner yang dalam bukunya yang berjudul “The Forest of Symbols and The
Ritual Process”, membicarakan fungsi simbol dalam mengatur kehidupan sosial. Turner sungguh-
sungguh menyadari bahwa ada dua segi yang harus dipertimbangkan untuk memahami fungsi
simbol dalam kehidupan sosial, yakni: penciptaan peranan-peranan dan aturan-aturan yang
memungkinkan eksistensi sosial sehari-hari, munculnya kelompok-kelompok komunal yang
mempunyai kemungkinan-kemungkinan yang mempunyai keyakinan-keyakinan dan hasrat-hasrat
bersama serta yang menata dirinya dengan cara-cara yang berbeda dari cara-cara masyarakat
luas. Pemahaman menarik dari Turner tentang simbolisme adalah bahwa simbol- simbol yang
dominan dilihatnya menduduki tempat yang signifikan dalam sistem sosial manapun. Sebab,
makna simbol pada umumnya tidak berubah dari zaman ke zaman dan merupakan kristalisasi
pola aliran tata cara yang dipimpinnya. Walaupun demikian, simbol- simbol lainnya pun
membentuk satuan perilaku ritual yang lebih kecil, tetapi bukan mebel- embel: simbol-simbol itu
mempengaruhi sistem-sistem sosial dan maknanya harus diturunkan dari konteks khusus
berlangsungnya simbol-simbol itu.

Paul Tillich memberikan cirri khas dari simbol yaitu:

Simbol bersifat fuguratif. Dalam hal ini dipahami bahwa simbol selalu menunjuk kepada sesuatu
diluar dirinya sendiri, sesuatu yang tingkatannya lebih tinggi.

Simbol bersifat dapat diserap, baik sebagai bentuk objektif maupun sebagai konsepsi imajinatif.

Simbol memiliki daya kekuatan yang melekat. Ciri ini memberi kapada simbol realitas yang hampir
hilang daripadanya dalam pemakaian sehari-hari.

Simbol mempunyai akar dalam masyarakat dan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Tillich
menyatakan bahwa “jika sesuatu menjadi simbol baginya yakni bagi individu itu, maka juga
menjadi simbol dalam hubungan dengan masyarakat yang pada gilirannya dapat mengenali
dirinya dari simbol itu.”

Simbol dan religi

Koentjaraningrat dalam bukunya tentang Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan megatakan


bahwa setiap religi memiliki setidaknya empat komponen yaitu:

Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia menjadi religious. Emosi keagamaan merupakan
suatu getaran yang menggerakan jiwa manusia, hal ini terjadi apabila cahaya Tuhan memasuki
jiwa manusia. Getaran ini bisa dicapai seseorang dalam keadaan sunyi senyap. Seseorang bisa
berdoa dengan penuh khidmat dan dalam keadaan terhinggap oleh emosi keagamaan
membayangkan Tuhan, dewa dan roh yang lainnya. Wujud dari bayangan tersebut ditentukan
oleh kepercayaan yang ada di masyarakat dan selanjutnya dijalankan menurut adat yang berlaku.

Sistim kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayangan-bayangan manusia tentang sifat-
sifat Tuhan, serta tentang wujud dari alam gaib, supranatural, yaitu tentang hakekat hidup dan
maut, dan wujud dewa-dewa dan mahluk-mahluk halus lainnya yang mendiami alam gaib.
Keyakinan-keyakinan itu biasanya diajarkan kepada manusia dari buku-buku suci dari agama yang
bersangkutan, atau dari mitologi dan dongeng-dongeng suci yang hidup dalam masyarakat. Sistim
kepercayaan erat hubungann dengan sistim upacara religius, dan menentukan tata urut dari
unsur-unsur, acara serta rangkaianalat yang dipakai dalam upacara.

Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan Tuhan, dewa- dewa
atau mahluk halus yang mendiami alam gaib. Sistim upacara religious ini melaksanakan dan
melambangkan, konsep yang terkandung dalam sistim kepercayaan.sistem kepercayaan
merupakan manisfestasi dari religi. Seluruh sistim upacara terdiri dari aneka macam upacara yang
bersifat harian, musiman atau kadangkala. Masing-masing uapacara terdiri dari berbagai unsur
seperti misalnya: berdoa, bersujud, bersaji dan sebagainya. Tentu bahwa semua unsur tersebut
adalah buatan manusia.
Kelompok-kelompok religious atau kesatuan-kesatuan sosial yang menganut sistim kepercayaan
tersebut seperti: keluarga inti atau kelompok-kelompok kekerabatan kecil lainnya. Kelompok-
kelompok kekerabatan yang lebih besar seperti keluarga luas, keluarga unilineal seperti klen,
suku, marga dadia dan lain-lain. Kesatuan komuniti seperti desa, gabungan desa-desa dan lain-
lain. Organisasi-organisasi religious seperti oragnisasi penyiaran agama, organisasi gereja dan
sebagainya.

Dari uraian ini, jelas bahwa kedudukan simbol atau lambang dalam religi sebagai alat atau
perbuatan dalam uapacara religious. Kedudukan simbol atau tindakan simbolis dalam religi adalah
merupakan relasi (penghubung) antara komunikasi human-kosmis dan komunikasi religius lahir
batin. Tindakan simbolis dalam upacara religious merupakan bagian yang sangat penting dan tidak
mungkin dibuang begitu saja, karena ternyata bahwa manusia harus bertindak dan berbuat
sesuatu yang melambangkan komunikasinya dengan Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai