Anda di halaman 1dari 22

BAB II

RITUAL, SIMBOL DAN JEJARING SOSIAL

2.1 Pendahuluan

Dalam membangun hubungan sosial antara individu dengan individu

maupun antar kelompok dalam suatu masyarakat, eksistensi ritual sangatlah

penting. Hal ini terlihat ketika ritual memainkan peran tidak hanya mengatur dan

menjaga relasi sosial, namun memberikan nilai sakral pada simbol, karena simbol

merupakan manifestasi dari ritual. Dengan sistem yang diatur dalam masyarakat

lewat ritual dan simbol, maka kepercayaan dibangun untuk menjaga, merawat

hubungan sosial yang disebut juga sebagai jejaring sosial. Dengan demikian, relasi

sosial yang dibangun oleh masyarakat diatur dengan nilai atau aturan yang

mengikat untuk hidup saling berdampingan (orang basudara). Pada bab ini, penulis

menguraikan secara konseptual tentang ritual, simbol, dan jejaring sosial sebagai

berikut:

2.2 Ritual

Ritual adalah seperangkat tindakan yang mencoba melibatkan agama atau

magis, yang diperkuat melalui tradisi. Para ahli seperti Arnold Van Gennep, Victor

Turner, Clifford Geertz, Roy Rappaport, Raymond Firth, Mariasusasi Dhavamony

dalam melihat ritual lebih menekankan pada bentuk ritual sebagai suatu penguatan

ikatan tradisi sosial dan individu dengan struktur sosial dari kelompok. Integrasi itu

dikuatkan dan diabadikan melalui simbolisasi ritual. Jadi ritual bisa dikatakan

sebagai perwujudan esensial dari kebudayaan. Ritual mempunyai tujuan yang

13
sangat terorganisir dan dikendalikan secara umum untuk menunjukkan

keanggotaan dalam kelompok.

Menurut Victor Turner, ritual berkaitan erat dengan masyarakat, yang

dilakukan untuk mendorong orang-orang melakukan dan menaati tatanan sosial

tertentu. Ritual memberikan motivasi dan nilai pada tingkat yang paling dalam.

Oleh karena itu, ritual mempunyai peran dalam masyarakat, antara lain:

menghilangkan konflik, mengatasi perpecahan dan membangun solidaritas

masyarakat, menyatukan prinsip yang berbeda-beda dan memberi motivasi serta

kekuatan baru untuk hidup dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. 1 Sependapat

dengan itu, Dhavamony juga menjelaskan bahwa ritual merupakan suatu sarana

bagi manusia religius berkomunikasi dengan hakekat tertinggi, yang Kudus yang

diyakini sungguh ada, penuh kekuatan, serta menjadi sumber kehidupan dan dapat

mempengaruhi nasib manusia secara baik atau buruk.2

Ritual sendiri merupakan suatu tindakan kebiasaan dari cerita rakyat yang

berulang-ulang. Ritual mempunyai tujuan yang sangat terorganisir dan

dikendalikan secara umum untuk menunjukkan keanggotaan dalam kelompok. 3

Oleh karena itu, ritual kemudian digambarkan sebagai suatu tindakan yang

dirutinkan atau kebiasaan. Seperti integrasi ritual, kepercayaan dan perilaku, tradisi

dan perubahan, ketertiban dan kekacauan, individu dan kelompok, alam dan

budaya, subjektivitas dan objektivitas.4

1
Victor Turner, The Ritual Process, Structure and Antistructure (New York: Cornell
University Press, 1969), 92-93.
2
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 176.
3
Martha Sims dan Martine Stephens, Living Folklore: An Introduction to the Study of
People and Their Traditions (Logan: Utah State University Press, 2011), 99.
4
Catherine Bell, Ritual–Perpectives and Dimensions (New York: Oxford University Press,
1997), 19-20.

14
Ritual bersifat publik untuk menyeragamkan wujud nilai-nilai yang ada

pada masyarakat untuk menjadikan suatu perantaraan pengalaman-pengalaman

individu dalam masyarakat.5 Roy Rappaport, menekankan bagaimana kegiatan-

kegiatan budaya tertentu berguna sebagai mekanisme homeostatis untuk

mempertahankan keseimbangan masyarakat dengan lingkungan fisiknya. Ritual

yang dilakukan oleh manusia merupakan proses adaptasi terhadap lingkungan alam

sekitarnya. Selanjutnya ritual seringkali dihubungkan dengan berbagai unsur-unsur

kebudayaan.6 Dengan kata lain, ada hubungan erat antara kehidupan sehari-hari

masyarakat dengan ritual. Sebab peranan ritual dalam masyarakat sangatlah

menonjol. 7 Unsur terpenting dalam ritual adalah simbol, maka simbol pun

mendapatkan perhatian khusus. Di mana simbol sebagai unit terkecil dari ritual

yang masih mempertahankan sifat-sifat spesifik dari tingkah laku dalam ritual. 8

Sebab suatu simbol tentunya memiliki instrumen nilai.9

Menurut Van gennep dalam buku The Rites of Passage, dikatakan bahwa

peralihan itu diiringi dengan ritual-ritual peralihan. Proses ritual ini terdiri dari tiga

(3) fase, yaitu: pertama, pemisahan, di mana seseorang tidak terlibat dari peran atau

status sosial, (manusia menjadi objek dari upacara itu akan terpisah atau dipisahkan

dari lingkungan dan struktur masyarakat semula); kedua, transisi, di mana

seseorang beradaptasi dan perubahan agar sesuai dengan peran baru, (mereka

memasuki masa liminalitas atau transisi); dan ketiga, penggabungan, di mana orang

5
Mary Douglas, Purity And Danger (London And New York: Routledge, 1996), 48.
6
Roy A. Rappaport, Pigs For The Ancestors: Ritual In The Ecology Of A New Guinea
(New Haven And London: Yale University Press, 1978), 1.
7
Turner, The Ritual Process, Structure And Anti-Structure, 9.
8
Turner, Symbols In African Ritual, 361.
9
Raymond Firth, Symbols: Public And Private (New York, Ithaca: Cornell University
Press, 1973), 76.

15
tersebut mengintegrasikan peran baru atau status ke dalam diri (objek akan masuk

ke dalam lingkungan baru dalam struktur masyarakatnya). 10

Hal ini sama pendapatnya dengan Turner, komunitas muncul di mana tidak

ada struktur sosial. 11 Karena komunitas merupakan bentuk sosial dari liminalitas.

Di mana komunitas yang lahir dari periode liminal merupakan salah satu model

masyarakat yang relatif tidak terstruktur dan tidak terbedakan, atau tidak terstruktur

secara sempurna, bahkan merupakan komuni (communion) dari individu-individu

sederajat yang tunduk bersama-sama kepada satu otoritas umum (general

aothority).12 Adapun tujuan dari ritual ini sebagai penerimaan, perlindungan,

pemurnian, pemulihan, kesuburan, penjamin, melestarikan kehendak leluhur

(penghormatan), mengontrol sikap komunitas menurut situasi kehidupan sosial

yang semuanya diarahkan pada transformasi keadaan manusia atau alam. 13 Sebagai

kontrol sosial, ritual bermaksud mengontrol perilaku kesejahteraan individu demi

dirinya sendiri sebagai individu ataupun individu bayangan. Hal itu dimaksudkan

untuk mengontrol dengan cara konservatif, perilaku, keadaan hati, perasaan, dan

nilai-nilai dalam kelompok demi komunitas secara keseluruhan. 14

Menurut Durkheim, ritual merupakan tindakan yang hanya lahir di tengah

kelompok-kelompok manusia dan tujuannya adalah melahirkan, mempertahankan

atau menciptakan kembali keadaan-keadaan mental tertentu dari kelompok-

10
Arnold Van Gennep, The Rites of Passage (London And Henley: Rouledge And Kegan
Paul, 1960), 11.
11
Y.W. Winangun, Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas Dari Komunitas Menurut
Victor Turner (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 47.
12
Turner, The Ritual Process, 96.
13
Dhavamony, Fenomenologi Agama, 175.
14
Emile Durkheim, Sejarah Agama Terj. (Yogyakarta: Ircisod, 2003), 29.

16
kelompok itu.15 Lebih lanjut Van Gennep mengemukakan bahwa tujuan ritual dapat

menandai kemajuan seseorang dari satu status yang satu ke status yang lain. Hal ini

merupakan suatu fenomena universal yang dapat menunjukan antropologi dalam

hierarki sosial, nilai-nilai dan keyakinan yang penting dalam budaya. 16

Ritual memiliki banyak fungsi, baik pada tingkat individu maupun

kelompok dan masyarakat. Ritual dapat menyalurkan dan mengekspresikan emosi,

menuntun dan menguatkan bentuk-bentuk perilaku, memberi dukungan dan

mengembangkan status quo, membawa perubahan, juga memiliki fungsi yang

sangat penting dalam penyembahan dan penghormatan. Ritual juga dapat

digunakan untuk memelihara kesuburan tanah dan untuk menjamin hubungan yang

benar dengan dunia yang tak terlihat dari roh-roh leluhur atau kekuatan-kekuatan

supranatural lainnya. 17 Ritual merupakan aturan tentang perilaku yang menentukan

bagaimana manusia harus mengatur hubungan dirinya dengan hal-hal yang sakral. 18

Ritual berfungsi sebagai alat yang membolehkan masyarakat berhimpun

sehingga adanya peluang untuk mempengaruhi perasaan dan semangat bersatu

padu. Selain itu, fungsi ritual tidak hanya untuk menguatkan ikatan dengan para

leluhur, namun juga sebaliknya memperkuat ikatan yang menyemangatkan

individu kepada kelompok sosialnya sebagai anggota dari suatu kelompok, dan

melalui ritual ini kelompok menjadi sadar akan kelompoknya.

2.2.1 Ritual Kultural Perempuan Saat Menstruasi

15
Emile Durkheim, Sejarah Agama, 30.
16
Gennep, The Rites of Passage, 10.
17
Dhavamony, Fenomenologi Agama, 147.
18
Durkheim, Sejarah Agama, 72.

17
Turner berpendapat bahwa ritual akan menjadi sangat efektif apabila

tersedia ruang untuk mengekspresikan perasaan. Ruang tersebut dapat menciptakan

perubahan sosial sehingga semua orang yang melakukan ritual dapat kembali

menjadi masyarakat baru.19 Selain mencapai perubahan sosial, Turner menekankan

bahwa masyarakat akan merasakan ikatan kebersamaan melalui sebuah ruang yang

disebut liminalitas. Ikatan kebersamaan yang tercipta dalam ruang liminalitas juga

dapat meratakan dan melupakan perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh

masyarakat.20

Liminalitas dapat digunakan sebagai alat budaya yang menerangi setiap

kemungkinan-kemungkinan dari sebuah simbol dalam kehidupan masyarakat.

Dalam hal ini, liminalitas berada pada satu titik yang dapat memberikan makna bagi

setiap aspek kehidupan. Liminalitas tidak hanya memiliki pengaruh pada tingkat

berpikir, tetapi juga pada perasaan dan tindakan. 21 Dengan demikian, keberadaan

kelompok masyarakat pada ruang liminalitas tidak hanya mendorong untuk

berefleksi melainkan juga untuk bertindak.

Konsep liminalitas memiliki kemiripan konsep dengan pemikiran Van

Gennep dalam bukunya The Rites of Passage. Van Gennep memahami ritual

sebagai sebuah ritus yang terjadi dengan adanya perubahan tempat, keadaan, posisi

sosial dan usia.22 Dengan demikian, ritual merupakan sebuah perpindahan dari satu

fase menuju fase yang baru. Fase perpindahan ini terjadi karena adanya kehamilan

19
Andrew C. Wegley, “Ritually Failing: Turner’s Theatrical Communitas,” Dalam Mark
Franko (Ed.), Ritual And Event (London And New York: Rouledge, 2007), 56.
20
Andrew C. Wegley, “Ritually Failing: Turner’s Theatrical Communitas,”, 57.
21
Jennifer Howard-Grenville Et.Al, “Liminality As Cultural Process For Cultural Change”,
Organization Science 22, no. 22 (2011): 525.
22
Turner, The Ritual Process, 94.

18
dan kelahiran, masa pertunangan dan perkawinan, upacara-upacara pemakaman,

dan juga ritual-ritual peralihan musim di setiap bulan dan bahkan tahun. 23 Van

Gennep menyebut fase perpindahan tersebut dengan sebutan peralihan. Baginya,

peralihan status yang dialami masyarakat adalah peralihan yang sakral. 24

Setiap peralihan yang dilakukan selalu diikuti dengan ritual-ritual tertentu

guna menghindari gangguan dari para leluhur. Menurut Van Gennep, peralihan

dapat terjadi karena masyarakat terdiri dari kelompok yang berbeda-beda. Peralihan

dapat dipahami sebagai bagian dari seseorang mengingat dan merefleksikan

kembali akan keberadaan dan pengalaman hidupnya. 25 Van Gennep menjelaskan

bahwa ada tiga fase dalam ritual, yakni: 26

1. Fase Pemisah. Pada fase ini, seseorang tidak mengambil bagian atau

peran dalam prosesi ritual dan dipisahkan dari struktur masyarakat. Fase

pemisahan lebih menonjol pada ritual pemakaman, di mana akan ada

perpisahan yang tidak membawa penyatuan.

2. Fase Transisi. Fase transisi akan dialami setelah fase pemisahan. Pada

fase ini, masyarakat akan berjumpa dengan komunitas yang lain dan

dipersiapkan untuk mengikuti ritual secara bersama-sama.

3. Fase Penggabungan atau Penyatuan. Pada fase ini, mereka mulai

mengintegrasikan peranan dan status yang baru ke dalam diri mereka.

Artinya, mereka berada pada ruang yang baru dengan struktur

masyarakat yang lama.

23
Dhavamony, Fenomenologi Agama, 176-177.
24
Winangun, Masyarakat Bebas Struktur, 32.
25
Gennep, The Rites of Passage, 3.
26
Gennep, The Rites of Passage, 11.

19
Dengan demikian, ritual dapat membawa seseorang untuk masuk pada masa

peralihan dari status sosial yang rendah ke tinggi dan sebaliknya. Masa peralihan

akan membawa seseorang untuk mendapatkan kesetaraan dalam masyarakat.

Sejalan dengan pemikiran Van Gennep, Victor Turner menjelaskan ada tiga

fase yang dapat ditemukan pada sebuah ritual, yakni fase pemisahan atau

separation, fase liminal dan fase penyatuan atau reintegration.27 Ketiga fase ini

memiliki perbedaan dengan ketiga fase yang dijelaskan oleh Van Genep. Van

Gennep lebih menekankan perubahan-perubahan status sosial yang dilengkapi oleh

ritus-ritus, sedangakan Turner lebih menekankan tentang perubahan-perubahan

batin, moral dan kognitif yang terjadi. Selain itu, Turner juga lebih fokus pada

simbol-simbol yang dianggap tidak penting dan menjadi asing dalam ritual. 28

Ketiga fase yang disebutkan oleh Turner dapat dijelaskan sebagai berikut: 29

1. Fase Pemisahan atau Separation. Fase pemisahan merupakan fase

persiapan untuk memasuki tahap berikutnya. Pada fase ini, pelaku ritual

akan dipisahkan dari dunia yang profan menuju dunia yang sakral.

Pemisahan yang terjadi menunjukan bahwa pelaku ritual harus

mempersiapkan hati dan pikirannya sebelum menghadap Yang Maha

Suci.

2. Fase liminal merupakan tahap untuk terbebas dari hierarki sosial.

Artinya bahwa, tidak ada status-status sosial yang terikat pada pelaku

ritual. Hal ini bertujuan untuk menciptakan kesetaraan dan kesamaan

nasib antar pelaku ritual.

27
Turner, The Ritual Process, 94.
28
Winangun, Masyarakat Bebas Struktur, 34.
29
Winangun, Masyarakat Bebas Struktur,35.

20
3. Fase Penyatuan atau Reintegration menjadi fase terakhir yang akan

menyatukan pelaku ritual dengan kehidupan sehari-hari. Pada fase ini,

pelaku ritual telah memperoleh nilai-nilai sosial yang baru untuk

diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, pelaku ritual juga

akan semakin sadar bahwa ia mampu berdiri sendiri untuk menjalani

kehidupannya.

Salah satu ritus yang ditemukan oleh Turner pada masyarakat Ndembu ialah

ritual krisis hidup. 30 Ritual ini meliputi kelahiran, pubertas, dan kematian. Upacara-

upacara krisis hidup tidak hanya berpusat pada individu, melainkan juga tanda

adanya perubahan dalam relasi sosial di antara orang yang berhubungan dengan

mereka, dengan ikatan darah, perkawinan, kontrol sosial, dan sebagainya.

Termasuk dalam ritus krisis hidup ini adalah upacara inisiasi. Upacara ini

melibatkan perempuan dengan tujuan Ia akan mengalami perubahan status dalam

masyarakat. Adapun upacara inisiasi untuk perempuan antara lain:

1. Upacara ini bersifat individu untuk perempuan pada permulaan masa

puber.

2. Tujuan upacara inisiasi untuk perempuan ialah untuk mempersiapkan

dirinya menuju kedewasaan dan mempersiapkan perkawinan.

3. Upacara ini berlokasi di hutan dan dibuat pondok rumput untuk tempat

tinggal perempuan.

Dengan demikian, seperti dikutip oleh Victor Turner dari Monica Wilson,

“ritual mengungkapkan nilai pada tingkat yang paling dalam, studi tentang ritus

30
Turner, The Forest of Symbols, 6.

21
merupakan kunci untuk memahami pembentukan essensial masyarakat Ndembu’’ 31

memperlihatkan betapa kayanya dan pentingnya ritus dalam masyarakat Ndembu.

Studi etnografi Luisa Elvira Belaunde tentang Airo-Pai di Amazonian Peru,

memberikan contoh bagaimana praktik pengasingan menstruasi dapat mengubah

ritme kehidupan sehari-hari dan mempengaruhi peran perempuan dalam suatu

komunitas. Saat seorang wanita sedang menstruasi, tidak diijinkan untuk memasak

atau melakukan pekerjaan rumah tangga. Oleh karena itu, tanggung jawab untuk

tugas ini jatuh kepada suaminya. Belaunde mencatat bahwa selama periode

menstruasi, wanita Airo-Pai masuk ke dalam pengasingan. Mereka harus duduk di

pojok rumah mereka yang dikelilingi daun pisang. Sang suami tidak diijinkan

menyerahkan makanan langsung kepada istrinya karena akan berdampak buruk

bagi kesehatannya (Pria sakit kepala dan jatuh sakit) Makanan yang diletakan pada

daun pisang akan diberikan oleh anak kepada ibunya. Pada akhir pengasingan,

wanita pergi ke sungai untuk mandi, tapi dilarang berjalan di jalur yang digunakan

oleh pria. Selama istirahat menstruasi, seorang wanita didorong untuk tetap duduk

diam di dalam rumah untuk melindungi dirinya dari semua pengaruh buruk. 32

2.2.2 Ritual Panas Pela

Pela sebagai suatu simbol persatuan dan kesatuan masyarakat Maluku,

secara berkala selalu dipupuk melalui kegiatan ritual maupun seremonial antara

warga masyarakat yang ber-pela. Upacara tersebut lazim dikenal dengan sebutan

31
Turner, The Ritual Procces, 6.
32
Victoria Louisa Newton, “Everyday Discourses of Menstruation” Cultural and Social
Perspectives (Milton Keynes: Health And Social Care, 2016), 38.

22
“panas pela”.33 Upacara panas pela bertujuan untuk mengingatkan dan

menyadarkan masyarakat akan hubungan persaudaraan di antara mereka, dan juga

mereka diingatkan untuk selalu menjaga dan memelihara hubungan persaudaraan

tersebut yang telah dibentuk, dibina dan diletakkan dasar-dasarnya oleh para

leluhur.

Pela merupakan hubungan sakral, dasar-dasar sakralisasi dari pela diletakan

oleh leluhur ketika dilakukan upacara “sumpah pela” pada saat dibentuknya ikatan

pela antara dua negeri atau lebih. Pela sebagai sebuah tradisi yang demokratis,

mengutamakan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan

(orang basudara), dan merupakan sebuah potensi nilai kearifan lokal (local

wisdom).34

Upacara panas pela yang diselenggarakan secara teratur (diulang-ulang)

oleh masyarakat memiliki dua dimensi pokok, yakni: penegasan dan pembaruan

janji antar negeri berpela; penurunan alihan nilai kepada generasi. 35 Menurut Frank

Cooley, 36 moment panas pela juga dilaksanakan manakala hubungan antara kedua

pihak mengalami persoalan-persoalan tertentu yang perlu diputuskan dan

diselesakan. Biasanya pihak yang merasa berkepentingan di dalam satu masalah

akan mengundang pihak lain; ada juga karena ketetapan bersama dilakukan secara

periodek, misalnya selama lima tahun sekali. Negeri-negeri yang ber-pela secara

bergantian menjadi tuan dan nyonya rumah.

33
A. Basir Solissa, Falsafah Pela Gandong dan Toleransi Beragama Dalam Masyarakat
Ambon yang Multikultrur, Jurnal Filsafat dan pemikiran Islam 14, no 2 (2014): 216-229.
34
Thomas Frans, Wacana Tradisi Pela Dalam Masyarakat Ambon. Jurnal Bahasa Dan Seni
Fkip Universitas Pattimura Ambon 38, no 2 (2010), 167-168.
35
John Chr. Ruhulessin, Etika Publik, 266.
36
Frank L. Cooley, Ambonese Adat: A. General Description (Michigan: The Cellar Book
Shop, 1962), 75.

23
Rachel Iwamony, merunutkan ritual atau upacara panas pela dalam

tahapan-tahapan sebagai berikut:37 Pada awal upacara, saudara pela yang menjadi

tuan rumah menyambut saudarannya dengan kain putih (kain gandong) di gerbang

negeri. Dalam lingkaran kain gandong, mereka berarak-arakan pergi ke rumah adat

(baileo) untuk berkomunikasi dengan leluhur (tete-nenek moyang) pada saat

upacara berlangsung. Berikutnya, dalam ritual adat itu, tua-tua adat dari dua negeri

yang ber-pela menceritakan kisah hubungan pela mereka. Kemudian, para tetua

membaca ikrar atau sumpah janji panas pela.

Dalam upacara panas pela semua saudara pela diharapkan hadir terutama

saniri dan tua-tua adat. Menurut Cooley, bagian-bagian penting dari upacara panas

pela, antara lain: pembacaan kembali sejarah pela; pengambilan sumpah dan

minum campuran darah bersama (untuk jenis pela keras) atau makan sirih-pinang

bersama (untuk jenis pela tampa-siri). Kedua upacara ini merupakan inti proses

pada saat hubungan itu dibentuk sebelumnya. Tujuannya sebagai regenerasi atau

pewarisan tradisi ini kepada anak-cucu. Sesudah kedua prosesi inti itu selesai

dilakukan, biasanya diadakan rapat Saniri kedua pihak. 38

2.3 Simbol

Kata simbol berasal dari bahasa Yunani yaitu ”symbollein” yang berarti

mencocokan. Simbol diakui banyak menghubungkan dua entitas, dan kedua bagian

itu disebut symbola. Kata ini lambat laun berarti tanda pengenalan, dalam

37
Rachel Iwamony, The Reconciliatory Potential of The Pela In The Moluccas The Role
of The GPM In This Transformation Process. (Disertasi., Belanda: Amsterdam University, Digital
Version, 2010), 70.
38
Frank L. Cooley, Ambonese Adat: A General Description (Cultural Report Series) (New
Haven: Yale University Press, Southeast Asia Studies, 1962), 76.

24
pengertian yang lebih luas, misalnya untuk anggota-anggota sebuah masyarakat

rahasia atau minoritas yang dikejar-kejar. Sebuah simbol pada mulanya adalah

sebuah benda, tanda, atau sebuah kata yang digunakan untuk saling mengenali dan

dengan arti yang sudah dipahami. Sebuah simbol bertujuan untuk menghubungkan

atau menggabungkan. Dalam pengertian sebagai symbollein, simbol dapat

menggambarkan atau mengingatkan atau menunjuk kepada apa yang disimbolkan

tersebut.39

Menurut Alfred North Whitehead, mengatakan bahwa pikiran manusia

berfungsi secara simbolis apabila beberapa komponen pengalamannya

mengunggah kesadaran, kepercayaan, perasaan, dan gambaran mengenai

komponen-komponen lain pengalamannya. Sebuah simbol jauh melebihi tanda

lahir dan terlihat arbitrer untuk sebuah konsepsi yang abstrak, nilainya yang tinggi

terletak dalam suatu substansi bersama dengan ide yang disajikan. Fungsi simbol

adalah merangsang daya imaginasi, dengan menggunakan sugesti, asosiasi dan

relasi. 40

Raymond Firth memandang simbol mempunyai peranan yang sangat

penting dalam urusan-urusan manusia; di mana manusia menata dan menafsirkan

realitasnya dengan simbol-simbol dan bahkan merekonstruksi realitasnya dengan

simbol. Simbol tidak hanya berperan untuk menciptakan tatanan, fungsi yang dapat

39
F. W. Dilliston, Daya Kekuatan Simbol: The Power of Symbols (Yogyakarta: Kanisius,
2006), 21.
40
Alfred North Whitehead, Symbolism: its Meaning And Effect (Cambridge: Cambridge
University Press, 1928), 9.

25
dianggap pertama-tama bersifat intelektual. Simbol dapat menjadi sarana untuk

menegakkan tatanan sosial atau untuk menggugah kepatuhan-kepatuhan sosial. 41

Cliford Geertz mengungkapkan bahwa bentuk-bentuk simbolis dalam suatu

konteks sosial yang khusus mewujudkan suatu pola atau sistem yang dapat disebut

kebudayaan. Menafsirkan suatu kebudayaan adalah menafsirkan sistem bentuk

simbolnya dan dengan demikian menurunkan makna yang autentik.

Mengkonsepkan simbol sebagai setiap objek, tindakan, peristiwa, sifat atau

hubungan yang dapat berperan sebagai wahana suatu konsepsi, dan konsepsi ini

adalah makna simbol. Penafsiran kebudayaan pada dasarnya adalah penafsiran

simbol-simbol, sebab simbol bersifat teraba, tercerap, umum, dan konkret.42

Simbol menurut Mary Douglas, berkaitan dengan bahasa manusia dan tata

cara yang dipengaruhi secara mendalam oleh masyarakat dan sebaliknya bahwa

setiap masyarakat menemukan simbol-simbolnya yang autentik dengan menimba

dari analogi-analogi yang diberikan oleh perilaku berpola tubuh manusia. Douglas

menekankan pentingnya simbol-simbol untuk menata masyarakat. Selain itu,

bentuk-bentuk simbolis juga diperlukan untuk pengalaman sosial dalam waktu,

untuk perubahan, interaksi, yang harus dipandang sebagai simbol historis. Simbol

historis yaitu simbol yang dibangun, dipolakan, dibentuk oleh peristiwa-peristiwa

penting dalam pengalaman sosial. 43

41
Raymond Firth, Symbols: Public and Private (George Allen and Unwin, 1973), 20.
42
Cliford Geertz, Anthropological Approaches to the Study of Religion (London and New
York: Routledge, 1966), 28.
43
Mary Douglas, Natural Symbols:Explorations in Cosmology (London and New York:
Rotledge, 1970), 112.

26
Victor Turner menambahkan hal yang penting bahwa dalam simbol ada

semacam kemiripan antara hal yang ditandai dengan maknanya, sedangkan tanda

tidak mempunyai kemiripan sepeti itu. Tanda hampir selalu ditata dalam sistem-

sistem tertutup, sedangkan simbol-simbol (khusus simbol yang dominan) dari

dirinya sendiri bersifat terbuka secara semantis. Makna simbol tidak sama sekali

tetap karena makna baru dapat saja ditambahkan oleh kesepakatan kolektif pada

wahana-wahana simbolis yang lama. Individu-individu dapat menambahkan makna

pribadi pada makna umum sebuah simbol. Simbol-simbol yang lain membentuk

satuan perilaku ritual yang lebih kecil, tetapi bukan sekadar embel-embel. Simbol-

simbol itu mempengaruhi sistem-sistem sosial dan maknanya harus diturunkan dari

konteks khusus berlangsungnya simbol-simbol itu.44

2.3.1 Simbol Dalam Ritual

Dahulu ritual merupakan kegiatan yang secara dominan bersifat keagamaan,

diarahkan kepada daya-daya kuasa atau kemungkinan-kemungkinan transenden.

Dewasa ini lebih besar kemungkinan bahwa ritual diungkapkan dalam pawai,

protes, nyanyian-nyanyian, demo, yang ditujukan kepada tercapainya suatu

keuntungan duniawi langsung. Dengan cara-cara yang berbeda, proses ritual terus

berlangsung hingga kini dengan melibatkan kehadiran simbol dalam tindakan atau

aksi simbolik. 45

Ritual menggunakan tindakan simbolik untuk berkomunikasi membentuk

atau mengubah pesan dalam ruang sosial yang unik. Fungsi ritual terbagi tiga.

44
Victor Turner and Edith Turner, Image And Pilgrimage In Christian Culture:
Anthropological Perspective (New York: Columbia University Press, 1978), 245.
45
Dillistone, Daya Kekuatan Simbol, 115.

27
Pertama, ritual adalah tindakan simbolik. Tindakan simbolik sebagai tindakan fisik

yang membutuhkan interpretasi. Pesan dari tindakan simbolik tidak secara langsung

membahas orang atau peristiwa yang sementara terjadi, tetapi komunikasi melalui

simbol, mitos, dan metafora yang mengizinkan beragam interpretasi. Kedua, ritual

dan simbol sering berada pada ruang khusus yang beranjak dari kehidupan sehari-

hari dalam cara yang berbeda-beda. Salah satu cara dari mengidentifikasi ritual

adalah dengan menganalisa konteks di mana tindakan simbolik itu berada. Ketiga,

ritual dan simbol bertujuan untuk membentuk (membangun) atau merubah

pandangan seseorang, identitas, dan hubungan. 46

2.3.2 Simbol Sebagai Sakral

Menurut Durkheim, orang-orang religius selalu membagi dunia mereka ke

dalam dua arena yang terpisah, yaitu wilayah yang sakral dan wilayah yang

profan.47 Untuk menjelaskan yang sakral Ia menganalisa agama totemisme yang

dianut oleh suku bangsa penduduk asli Australia. Dalam totemisme, kelompok

manusia itu mengasosiakan dirinya dengan salah satu binatang atau tumbuhan

sebagai totem. Mereka menggangap semua simbol totem itu sakral, sehingga tidak

boleh disentuh atau dimakan. Dari pandangan seperti itu mulai muncul kesadaran

akan adanya yang sakral dan profan.48

Sakral selalu berhubungan dengan yang suci atau keramat. Yang sakral

selalu diperhadapkan dengan yang profan dalam konteks tertentu. Menurut

46
Lisa Schirch, Ritual and Symbol in Peacebuilding (United States of America: Kumarian
Press, 2005), 16-17.
47
Emile Durkehim, The Elementary Forms Of Religious Life (Terj. Joseph World Swain),
(London: George Allen&Unwin Ltd., 1976), 52-54.
48
Daniel L. Pals, Seven Teories Of Religion, (Jogjakarta: Penerbit IRCiSoD, 2011), 167-
168.

28
Durkheim, karena manusia atau masyarakat yang mempercayainya itu sajalah telah

menjadikan sesuatu itu suci, bukan karena adanya sesuatu yang lain atau istimewa

dari benda tersebut. Kesakralan terwujud karena sikap mental yang didukung oleh

perasaan kagum yang menjadi emosi sakral yang paling nyata. Perasaan kagum itu

menyebabkan daya tarik dari rasa cinta dan penolakan terhadap bahaya. 49

Selain Durkheim, Mircea Eliade juga adalah salah seorang yang memaknai

sombol-simbol sebagai sesuatu yang sakral dalam bukunya “The Dalam buku “The

Sacred and The Profane”, Eliade50 menjelaskan bahwa langkah utama untuk

memahami agama terlebih dahulu harus memahami kehidupan/sejarah masyarakat

arkais (kuno) yang hidup di zaman pra-sejarah atau masyarakat tribal dengan

kebudayaan terbelakang dari kehidupan saat ini, yang sehari-hari mereka

mengajarkan pekerjaan secara alami, seperti berburu, memancing dan bercocok

tanam. 51

Yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana menemukan yang

sakral dalam pengalaman yang normal? Menurut Eliade, penyelesaiannya adalah

terdapat di dalam “pengalaman tidak langsung” (indirect experience) terhadap

49
Elizabeth K. Notingham, Agama Dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama
(Jakarta: Rajawali, 1985), 11.
50
Mircea Eliade, lahir di Burcharest, Rumania 9 Maret 1907, anak seorang pegawai
kemiliteran Rumania. Di usia yang masih belia (18 tahun) Eliade merayakan penerbitan artikelnya
yang ke seratus. Ia banyak menulis cerita fiksi yang pada akhirnya cerita-cerita ini banyak
mempengaruhi jalan pendidikannya. Di Universitas Burcharest dan Italia, ia banyak mempelajari
pikiran mistis Platonis dari tokoh-tokoh renaisans Italia, selanjutnya Ia juga dipengaruhi oleh
pikiran-pikiran spiritualitas Hindu. Pada tahun 1928, ia pergi ke India untuk belajar Yoga di
Himalaya. Tiga tahun menetap di India, kembali ke Rumania untuk menjalani wajib militernya
seraya menuliskan novel fiksi yang berjudul Maytryi (1933). Pada tahun 1936 Eliade menyelesaikan
doktoralnya dengan judul Yoga: A Essay on Origins of Indian Mystical Theology. Pada tahun 1940
kembali ia menerbitkan buku yang berjudul Pattern in Comparative Religion yang menjelaskan
fungsi simbol dalam agama dan The Myth of Eternal Return yang menerangkan konsep historis,
sakralitas waktu dan perbedaan antara agama kuno dengan pemikiran modern. Lihat Daniel L Pals,
Seven Teories,…, 227-229.
51
Daniel L Pals, Seven Teories of Religion, 233.

29
bahasa, simbol dan mitos.52 Dalam buku yang berjudul Patterns in Comparative

Religions, Eliade mengeksplorasi tentang simbol-simbol religus. Satu hal yang

ditekankan bahwa apa saja dalam kehidupan ini yang bersifat biasa-biasa saja

adalah bagian dari Yang Profan. Dia ada hanya untuk dirinya sendiri namun dalam

waktu–waktu tertentu, hal-hal profan dapat ditransformasikan menjadi yang

sakral. 53

Sebuah benda, seekor binatang, nyala api, bunga yang merekah, sebuah batu

bahkan seorang manusia bisa saja menjadi tanda yang sakral asal manusia

menemukan dan meyakininya. Jadi seluruh objek simbolik memiliki karakter

ganda, sebagai dirinya sendiri dan bisa berubah menjadi sesuatu yang baru, sesuatu

yang beda dengan sebelumnya. Sebuah batu di satu sisi ia menjadi dirinya sebagai

batu biasa, tetapi pada saat yang bersamaan ia bisa menjadi suci. Misalnya, Ka’bah

bagi orang Muslim, disatu sisi ia hanyalah seonggok batu biasa, tetapi karena

hierophani,54 Ka’bah tersebut menjadi sakral.

Aneka ungkapan pengalaman manusia dilukiskan dengan sangat mendalam

melalui simbol dan penciptan simbol. Melalui bentuk-bentuk simbol, manusia

menanggapi hierophani-hierophani, tidak hanya sekedar dengan berusaha

menghasilkan refleksi atau cerminan dari apa yang dilihat dan didengar, akan tetapi

dengan menghubungkan dirinya pada apa yang menciptakan manifestasi itu.

52
Daniel L. Pals, Seven Teories of Religion, 241.
53
Mircea Eliade, Patterns In Comprative Religion (New York: Meridian Books, 1963), 11.
54
Hierophani Artinya Manifestasi Dari Yang Kudus Atau Yang Sakral. Tipe Hierophany
Yang Lain Adalah Theophany (dari bahasa Yunani theos artinya Tuhan ) Lih. Daniel L. Pals, Seven
Teories, 254-255.

30
Dengan kata lain, kegiatan simbolik itu tidak bersifat univok, tetapi bersifat

multivalen, dan mengungkapkan segi-segi barang suci yang bervariasi.

Menurut Eliade, masyarakat Arkhais memandang mitos sebagai sesuatu

yang memiliki hubungan “dengan yang di atas” serta mitos-mitos yang lainnya

untuk membentuk satu framework sebuah simbol. Berfungsinya sebuah simbol

karena terkait dengan simbol dan mitos-mitos yang lainnya, sehingga dunia berada

dalam suatu sistem yang terkait dan bukan sebuah dunia yang chaos. Simbol

menyatakan suatu realitas suci atau kosmologis yang tidak dapat dinyatakan oleh

manifestasi yang lainnya.55

Setiap manusia mula-mula dibenamkan dalam dunia profan, tetapi

simbolisme menciptakan solidaritas tetap antara manusia dan kudus.56 Dengan

demikian, simbol adalah sebuah bahasa yang menghapus batas-batas manusia di

dalam kosmis, sehingga manusia tidak merupakan fragmen saja, tetapi dengan

membuat jati dirinya yang terdalam serta status sosialnya jelas dan membuat dirinya

menjadi irama alam, mengintegrasikan dirinya ke dalam kesatuan yang lebih besar,

masyarakat dan alam semesta.

2.4 Jejaring Sosial

Menurut Mitchell, jaringan sosial merupakan seperangkat hubungan-

hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk di antara sekelompok orang, di mana

karakteristik hubungan-hubungan tersebut dapat digunakan untuk menginter-

pretasikan motif-motif perilaku sosial dari orang-orang yang terlibat di dalamnya.

55
Mircea Eliade, Patterns In Comprative Religion, 446.
56
Mircea Eliade, Patterns In Comprative Religion, 41.

31
Dalam kehidupan, jaringan sosial ini sedemikian kompleks dan saling tumpang-

tindih atau saling memotong satu sama lain. 57 Sehingga Barnes, membedakan

adanya dua macam jaringan sosial, yaitu jaringan sosial menyeluruh dan jaringan

sosial parsial. Jaringan sosial menyeluruh adalah keseluruhan jaringan yang

dimiliki individu-individu dan mencakup berbagai konteks atau bidang kehidupan

dalam masyarakat. Jaringan sosial parsial adalah jaringan yang dimiliki oleh

individu-individu terbatas pada bidang-bidang kehidupan tertentu, misalnya

jaringan politik, ekonomi, keagamaan, kekerabatan.58

Ditinjau dari tujuan hubungan sosial yang membentuk jaringan sosial, dapat

dibedakan menjadi tiga jenis. Pertama, jaringan kekuasaan (power), merupakan

hubungan-hubungan sosial yang membentuknya bermuatan kekuasaan. Dalam

jaringan kekuasaan, konfigurasi saling keterkaitan antar-pelaku di dalamnya

disengaja atau diatur. Kedua, jaringan kepentingan (interest), merupakan jaringan

di mana hubungan-hubungan sosial yang membentuknya bermuatan kepentingan.

Ketiga, jaringan perasaan (sentiment), merupakan jaringan yang terbentuk atas

dasar muatan perasaan, di mana hubungan-hubungan sosial itu sendiri menjadi

tujuan dan tindakan sosial. 59

2.4.1 Pela Sebagai Jaringan Sosial-Kultural

Jaringan sosial merupakan pengelompokan yang terdiri sejumlah orang,

sedikitnya tiga orang yang mempunyai identitas dan dihubungkan satu dengan lain

57
James C. Mitchell, Social Networks in Urban Situation: Analysis of Personal
Relationships in Central Africa Town (Manchester: Manchester University Press, 1969), 1-2.
58
James, C. Mitchell, Social Networks in Urban Situation, 3.
59
Ruddy Agusyanto, Dampak Jaringan-jaringan Sosial dalam Organisasi: Kasus PAM
Jaya, DKI Jakarta, (Tesis., Jakarta: Program Pascasarjana UI, 1996), 19.

32
melalui hubungan-hubungan sosial, sehingga hubungan-hubungan sosial itu dapat

dikelompokkan sebagai kesatuan sosial. Hubungan-hubungan sosial dalam jaringan

sosial tidak terjadi secara acak tapi menunjukkan suatu keteraturan yang jelas. 60

Struktur-struktur sosial ini tidak berdiri sendiri tetapi bersumber dari kebudayaan

yang menuntun anggota-anggotanya berinteraksi dengan orang lain. Menurut

Timothy Rowley, analisis jaringan sosial tidak saja menganalisis tingkah laku,

sikap dan kepercayaan-kepercayaan individual, tapi fokus pada bagaimana

interaksi-interaksi sosial menyatakan suatu kerangka atau struktur yang dapat

dianalisis secara benar.61

Interaksi sosial memiliki fungsi yang sangat penting guna membentuk

indikator-indikator seperti jejaring, trust, norma-norma sosial. 62 Jejaring adalah

suatu keterkaitan kelompok dari orang-orang yang lazim mempunyai atribut sama;

dan dalam konteks ini, maka pada saat yang sama, seseorang dapat menjadi bagian

lebih dari satu jejaring. Sedangkan trust, mengacu pada tingkat keyakinan bahwa

orang lain akan bertindak sebagaimana yang dikatakan, atau yang diharapkan untuk

bertindak, atau apa yang dikatakan, dan dipercaya. Sementara norma-norma,

merupakan pemahaman bersama, aturan-aturan informal, dan konvensi-konvensi

yang menentukan, melarang atau mengatur perilaku-perilaku tertentu dalam

berbagai kondisi.63

60
Mitchell, Social Network in Urban Situations, 8.
61
Timothy J. Rowley, “Moving Beyond Dyadic Ties: A Network Theory of Stakeholder
Influences,” in The Academy of Management Review 22, no. 4 (1997): 887-910.
62
Tonny D. Pariela, Plural Social Capital Sebagai Basis Sistem Manajemen Ketahanan
Hayati. Jurnal Studi Pembangunan Interdisipliner 20, no 3 (2008), 211-218.
63
Tontji Soumokil, Reintegrasi Sosial Pasca Konfil Maluku, (Salatiga: Fakultas Ilmu Soial
dan Ilmu Komunikasi-Universitas Kristen Satya Wacana Press, 2011), 22.

33
Proses identifikasi diri sebagai suatu komunitas, dapat dikatakan tidak

terjadi dengan serta merta (tiba-tiba), tetap melalui intervensi yang dilakukan

pemimpin komunitas. Dengan memanfaatkan inklusivitas relasi-relasi sosial yang

telah ada dalam komunitas, para pemimpin komunitas kemudian berperan untuk

membangun kembali, memelihara dan mengembangkan jejaring di antara negeri-

negeri bertetangga, dan berusaha memperkuat trust di dalam jejaring yang

bersangkutan atas dasar kesepakatan-kesepakatan sosial (norma-norma sosial) yang

dibentuk bersama-sama oleh komunitas. Melalui proses-proses sosial asosiatif

yang dilalui bersama dengan komunitas secara partisipatif, maka perlahan-lahan

terjadilah proses kesamaan paradigma untuk membangun komunitas yang saling

menghidupkan. 64

64
Tonny D. Pariela, Plural Social Capital Sebagai Basis Sistem Manajemen Ketahanan
Hayati. Jurnal Studi Pembangunan Interdisipliner 20, no 3 (2008), 211-218.

34

Anda mungkin juga menyukai