2.1 Pendahuluan
penting. Hal ini terlihat ketika ritual memainkan peran tidak hanya mengatur dan
menjaga relasi sosial, namun memberikan nilai sakral pada simbol, karena simbol
merupakan manifestasi dari ritual. Dengan sistem yang diatur dalam masyarakat
lewat ritual dan simbol, maka kepercayaan dibangun untuk menjaga, merawat
hubungan sosial yang disebut juga sebagai jejaring sosial. Dengan demikian, relasi
sosial yang dibangun oleh masyarakat diatur dengan nilai atau aturan yang
mengikat untuk hidup saling berdampingan (orang basudara). Pada bab ini, penulis
menguraikan secara konseptual tentang ritual, simbol, dan jejaring sosial sebagai
berikut:
2.2 Ritual
magis, yang diperkuat melalui tradisi. Para ahli seperti Arnold Van Gennep, Victor
dalam melihat ritual lebih menekankan pada bentuk ritual sebagai suatu penguatan
ikatan tradisi sosial dan individu dengan struktur sosial dari kelompok. Integrasi itu
dikuatkan dan diabadikan melalui simbolisasi ritual. Jadi ritual bisa dikatakan
13
sangat terorganisir dan dikendalikan secara umum untuk menunjukkan
tertentu. Ritual memberikan motivasi dan nilai pada tingkat yang paling dalam.
Oleh karena itu, ritual mempunyai peran dalam masyarakat, antara lain:
dengan itu, Dhavamony juga menjelaskan bahwa ritual merupakan suatu sarana
bagi manusia religius berkomunikasi dengan hakekat tertinggi, yang Kudus yang
diyakini sungguh ada, penuh kekuatan, serta menjadi sumber kehidupan dan dapat
Ritual sendiri merupakan suatu tindakan kebiasaan dari cerita rakyat yang
Oleh karena itu, ritual kemudian digambarkan sebagai suatu tindakan yang
dirutinkan atau kebiasaan. Seperti integrasi ritual, kepercayaan dan perilaku, tradisi
dan perubahan, ketertiban dan kekacauan, individu dan kelompok, alam dan
1
Victor Turner, The Ritual Process, Structure and Antistructure (New York: Cornell
University Press, 1969), 92-93.
2
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 176.
3
Martha Sims dan Martine Stephens, Living Folklore: An Introduction to the Study of
People and Their Traditions (Logan: Utah State University Press, 2011), 99.
4
Catherine Bell, Ritual–Perpectives and Dimensions (New York: Oxford University Press,
1997), 19-20.
14
Ritual bersifat publik untuk menyeragamkan wujud nilai-nilai yang ada
yang dilakukan oleh manusia merupakan proses adaptasi terhadap lingkungan alam
kebudayaan.6 Dengan kata lain, ada hubungan erat antara kehidupan sehari-hari
menonjol. 7 Unsur terpenting dalam ritual adalah simbol, maka simbol pun
mendapatkan perhatian khusus. Di mana simbol sebagai unit terkecil dari ritual
yang masih mempertahankan sifat-sifat spesifik dari tingkah laku dalam ritual. 8
Menurut Van gennep dalam buku The Rites of Passage, dikatakan bahwa
peralihan itu diiringi dengan ritual-ritual peralihan. Proses ritual ini terdiri dari tiga
(3) fase, yaitu: pertama, pemisahan, di mana seseorang tidak terlibat dari peran atau
status sosial, (manusia menjadi objek dari upacara itu akan terpisah atau dipisahkan
seseorang beradaptasi dan perubahan agar sesuai dengan peran baru, (mereka
memasuki masa liminalitas atau transisi); dan ketiga, penggabungan, di mana orang
5
Mary Douglas, Purity And Danger (London And New York: Routledge, 1996), 48.
6
Roy A. Rappaport, Pigs For The Ancestors: Ritual In The Ecology Of A New Guinea
(New Haven And London: Yale University Press, 1978), 1.
7
Turner, The Ritual Process, Structure And Anti-Structure, 9.
8
Turner, Symbols In African Ritual, 361.
9
Raymond Firth, Symbols: Public And Private (New York, Ithaca: Cornell University
Press, 1973), 76.
15
tersebut mengintegrasikan peran baru atau status ke dalam diri (objek akan masuk
Hal ini sama pendapatnya dengan Turner, komunitas muncul di mana tidak
ada struktur sosial. 11 Karena komunitas merupakan bentuk sosial dari liminalitas.
Di mana komunitas yang lahir dari periode liminal merupakan salah satu model
masyarakat yang relatif tidak terstruktur dan tidak terbedakan, atau tidak terstruktur
yang semuanya diarahkan pada transformasi keadaan manusia atau alam. 13 Sebagai
dirinya sendiri sebagai individu ataupun individu bayangan. Hal itu dimaksudkan
untuk mengontrol dengan cara konservatif, perilaku, keadaan hati, perasaan, dan
10
Arnold Van Gennep, The Rites of Passage (London And Henley: Rouledge And Kegan
Paul, 1960), 11.
11
Y.W. Winangun, Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas Dari Komunitas Menurut
Victor Turner (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 47.
12
Turner, The Ritual Process, 96.
13
Dhavamony, Fenomenologi Agama, 175.
14
Emile Durkheim, Sejarah Agama Terj. (Yogyakarta: Ircisod, 2003), 29.
16
kelompok itu.15 Lebih lanjut Van Gennep mengemukakan bahwa tujuan ritual dapat
menandai kemajuan seseorang dari satu status yang satu ke status yang lain. Hal ini
digunakan untuk memelihara kesuburan tanah dan untuk menjamin hubungan yang
benar dengan dunia yang tak terlihat dari roh-roh leluhur atau kekuatan-kekuatan
bagaimana manusia harus mengatur hubungan dirinya dengan hal-hal yang sakral. 18
padu. Selain itu, fungsi ritual tidak hanya untuk menguatkan ikatan dengan para
individu kepada kelompok sosialnya sebagai anggota dari suatu kelompok, dan
15
Emile Durkheim, Sejarah Agama, 30.
16
Gennep, The Rites of Passage, 10.
17
Dhavamony, Fenomenologi Agama, 147.
18
Durkheim, Sejarah Agama, 72.
17
Turner berpendapat bahwa ritual akan menjadi sangat efektif apabila
perubahan sosial sehingga semua orang yang melakukan ritual dapat kembali
bahwa masyarakat akan merasakan ikatan kebersamaan melalui sebuah ruang yang
disebut liminalitas. Ikatan kebersamaan yang tercipta dalam ruang liminalitas juga
masyarakat.20
Dalam hal ini, liminalitas berada pada satu titik yang dapat memberikan makna bagi
setiap aspek kehidupan. Liminalitas tidak hanya memiliki pengaruh pada tingkat
berpikir, tetapi juga pada perasaan dan tindakan. 21 Dengan demikian, keberadaan
Gennep dalam bukunya The Rites of Passage. Van Gennep memahami ritual
sebagai sebuah ritus yang terjadi dengan adanya perubahan tempat, keadaan, posisi
sosial dan usia.22 Dengan demikian, ritual merupakan sebuah perpindahan dari satu
fase menuju fase yang baru. Fase perpindahan ini terjadi karena adanya kehamilan
19
Andrew C. Wegley, “Ritually Failing: Turner’s Theatrical Communitas,” Dalam Mark
Franko (Ed.), Ritual And Event (London And New York: Rouledge, 2007), 56.
20
Andrew C. Wegley, “Ritually Failing: Turner’s Theatrical Communitas,”, 57.
21
Jennifer Howard-Grenville Et.Al, “Liminality As Cultural Process For Cultural Change”,
Organization Science 22, no. 22 (2011): 525.
22
Turner, The Ritual Process, 94.
18
dan kelahiran, masa pertunangan dan perkawinan, upacara-upacara pemakaman,
dan juga ritual-ritual peralihan musim di setiap bulan dan bahkan tahun. 23 Van
guna menghindari gangguan dari para leluhur. Menurut Van Gennep, peralihan
dapat terjadi karena masyarakat terdiri dari kelompok yang berbeda-beda. Peralihan
1. Fase Pemisah. Pada fase ini, seseorang tidak mengambil bagian atau
peran dalam prosesi ritual dan dipisahkan dari struktur masyarakat. Fase
2. Fase Transisi. Fase transisi akan dialami setelah fase pemisahan. Pada
fase ini, masyarakat akan berjumpa dengan komunitas yang lain dan
23
Dhavamony, Fenomenologi Agama, 176-177.
24
Winangun, Masyarakat Bebas Struktur, 32.
25
Gennep, The Rites of Passage, 3.
26
Gennep, The Rites of Passage, 11.
19
Dengan demikian, ritual dapat membawa seseorang untuk masuk pada masa
peralihan dari status sosial yang rendah ke tinggi dan sebaliknya. Masa peralihan
Sejalan dengan pemikiran Van Gennep, Victor Turner menjelaskan ada tiga
fase yang dapat ditemukan pada sebuah ritual, yakni fase pemisahan atau
separation, fase liminal dan fase penyatuan atau reintegration.27 Ketiga fase ini
memiliki perbedaan dengan ketiga fase yang dijelaskan oleh Van Genep. Van
batin, moral dan kognitif yang terjadi. Selain itu, Turner juga lebih fokus pada
simbol-simbol yang dianggap tidak penting dan menjadi asing dalam ritual. 28
Ketiga fase yang disebutkan oleh Turner dapat dijelaskan sebagai berikut: 29
persiapan untuk memasuki tahap berikutnya. Pada fase ini, pelaku ritual
akan dipisahkan dari dunia yang profan menuju dunia yang sakral.
Suci.
Artinya bahwa, tidak ada status-status sosial yang terikat pada pelaku
27
Turner, The Ritual Process, 94.
28
Winangun, Masyarakat Bebas Struktur, 34.
29
Winangun, Masyarakat Bebas Struktur,35.
20
3. Fase Penyatuan atau Reintegration menjadi fase terakhir yang akan
kehidupannya.
Salah satu ritus yang ditemukan oleh Turner pada masyarakat Ndembu ialah
ritual krisis hidup. 30 Ritual ini meliputi kelahiran, pubertas, dan kematian. Upacara-
upacara krisis hidup tidak hanya berpusat pada individu, melainkan juga tanda
adanya perubahan dalam relasi sosial di antara orang yang berhubungan dengan
Termasuk dalam ritus krisis hidup ini adalah upacara inisiasi. Upacara ini
puber.
3. Upacara ini berlokasi di hutan dan dibuat pondok rumput untuk tempat
tinggal perempuan.
Dengan demikian, seperti dikutip oleh Victor Turner dari Monica Wilson,
“ritual mengungkapkan nilai pada tingkat yang paling dalam, studi tentang ritus
30
Turner, The Forest of Symbols, 6.
21
merupakan kunci untuk memahami pembentukan essensial masyarakat Ndembu’’ 31
komunitas. Saat seorang wanita sedang menstruasi, tidak diijinkan untuk memasak
atau melakukan pekerjaan rumah tangga. Oleh karena itu, tanggung jawab untuk
tugas ini jatuh kepada suaminya. Belaunde mencatat bahwa selama periode
pojok rumah mereka yang dikelilingi daun pisang. Sang suami tidak diijinkan
bagi kesehatannya (Pria sakit kepala dan jatuh sakit) Makanan yang diletakan pada
daun pisang akan diberikan oleh anak kepada ibunya. Pada akhir pengasingan,
wanita pergi ke sungai untuk mandi, tapi dilarang berjalan di jalur yang digunakan
oleh pria. Selama istirahat menstruasi, seorang wanita didorong untuk tetap duduk
diam di dalam rumah untuk melindungi dirinya dari semua pengaruh buruk. 32
secara berkala selalu dipupuk melalui kegiatan ritual maupun seremonial antara
warga masyarakat yang ber-pela. Upacara tersebut lazim dikenal dengan sebutan
31
Turner, The Ritual Procces, 6.
32
Victoria Louisa Newton, “Everyday Discourses of Menstruation” Cultural and Social
Perspectives (Milton Keynes: Health And Social Care, 2016), 38.
22
“panas pela”.33 Upacara panas pela bertujuan untuk mengingatkan dan
tersebut yang telah dibentuk, dibina dan diletakkan dasar-dasarnya oleh para
leluhur.
oleh leluhur ketika dilakukan upacara “sumpah pela” pada saat dibentuknya ikatan
pela antara dua negeri atau lebih. Pela sebagai sebuah tradisi yang demokratis,
(orang basudara), dan merupakan sebuah potensi nilai kearifan lokal (local
wisdom).34
oleh masyarakat memiliki dua dimensi pokok, yakni: penegasan dan pembaruan
janji antar negeri berpela; penurunan alihan nilai kepada generasi. 35 Menurut Frank
Cooley, 36 moment panas pela juga dilaksanakan manakala hubungan antara kedua
akan mengundang pihak lain; ada juga karena ketetapan bersama dilakukan secara
periodek, misalnya selama lima tahun sekali. Negeri-negeri yang ber-pela secara
33
A. Basir Solissa, Falsafah Pela Gandong dan Toleransi Beragama Dalam Masyarakat
Ambon yang Multikultrur, Jurnal Filsafat dan pemikiran Islam 14, no 2 (2014): 216-229.
34
Thomas Frans, Wacana Tradisi Pela Dalam Masyarakat Ambon. Jurnal Bahasa Dan Seni
Fkip Universitas Pattimura Ambon 38, no 2 (2010), 167-168.
35
John Chr. Ruhulessin, Etika Publik, 266.
36
Frank L. Cooley, Ambonese Adat: A. General Description (Michigan: The Cellar Book
Shop, 1962), 75.
23
Rachel Iwamony, merunutkan ritual atau upacara panas pela dalam
tahapan-tahapan sebagai berikut:37 Pada awal upacara, saudara pela yang menjadi
tuan rumah menyambut saudarannya dengan kain putih (kain gandong) di gerbang
negeri. Dalam lingkaran kain gandong, mereka berarak-arakan pergi ke rumah adat
upacara berlangsung. Berikutnya, dalam ritual adat itu, tua-tua adat dari dua negeri
yang ber-pela menceritakan kisah hubungan pela mereka. Kemudian, para tetua
Dalam upacara panas pela semua saudara pela diharapkan hadir terutama
saniri dan tua-tua adat. Menurut Cooley, bagian-bagian penting dari upacara panas
pela, antara lain: pembacaan kembali sejarah pela; pengambilan sumpah dan
minum campuran darah bersama (untuk jenis pela keras) atau makan sirih-pinang
bersama (untuk jenis pela tampa-siri). Kedua upacara ini merupakan inti proses
pada saat hubungan itu dibentuk sebelumnya. Tujuannya sebagai regenerasi atau
pewarisan tradisi ini kepada anak-cucu. Sesudah kedua prosesi inti itu selesai
2.3 Simbol
Kata simbol berasal dari bahasa Yunani yaitu ”symbollein” yang berarti
mencocokan. Simbol diakui banyak menghubungkan dua entitas, dan kedua bagian
itu disebut symbola. Kata ini lambat laun berarti tanda pengenalan, dalam
37
Rachel Iwamony, The Reconciliatory Potential of The Pela In The Moluccas The Role
of The GPM In This Transformation Process. (Disertasi., Belanda: Amsterdam University, Digital
Version, 2010), 70.
38
Frank L. Cooley, Ambonese Adat: A General Description (Cultural Report Series) (New
Haven: Yale University Press, Southeast Asia Studies, 1962), 76.
24
pengertian yang lebih luas, misalnya untuk anggota-anggota sebuah masyarakat
rahasia atau minoritas yang dikejar-kejar. Sebuah simbol pada mulanya adalah
sebuah benda, tanda, atau sebuah kata yang digunakan untuk saling mengenali dan
dengan arti yang sudah dipahami. Sebuah simbol bertujuan untuk menghubungkan
tersebut.39
lahir dan terlihat arbitrer untuk sebuah konsepsi yang abstrak, nilainya yang tinggi
terletak dalam suatu substansi bersama dengan ide yang disajikan. Fungsi simbol
relasi. 40
simbol. Simbol tidak hanya berperan untuk menciptakan tatanan, fungsi yang dapat
39
F. W. Dilliston, Daya Kekuatan Simbol: The Power of Symbols (Yogyakarta: Kanisius,
2006), 21.
40
Alfred North Whitehead, Symbolism: its Meaning And Effect (Cambridge: Cambridge
University Press, 1928), 9.
25
dianggap pertama-tama bersifat intelektual. Simbol dapat menjadi sarana untuk
konteks sosial yang khusus mewujudkan suatu pola atau sistem yang dapat disebut
hubungan yang dapat berperan sebagai wahana suatu konsepsi, dan konsepsi ini
Simbol menurut Mary Douglas, berkaitan dengan bahasa manusia dan tata
cara yang dipengaruhi secara mendalam oleh masyarakat dan sebaliknya bahwa
dari analogi-analogi yang diberikan oleh perilaku berpola tubuh manusia. Douglas
untuk perubahan, interaksi, yang harus dipandang sebagai simbol historis. Simbol
41
Raymond Firth, Symbols: Public and Private (George Allen and Unwin, 1973), 20.
42
Cliford Geertz, Anthropological Approaches to the Study of Religion (London and New
York: Routledge, 1966), 28.
43
Mary Douglas, Natural Symbols:Explorations in Cosmology (London and New York:
Rotledge, 1970), 112.
26
Victor Turner menambahkan hal yang penting bahwa dalam simbol ada
semacam kemiripan antara hal yang ditandai dengan maknanya, sedangkan tanda
tidak mempunyai kemiripan sepeti itu. Tanda hampir selalu ditata dalam sistem-
dirinya sendiri bersifat terbuka secara semantis. Makna simbol tidak sama sekali
tetap karena makna baru dapat saja ditambahkan oleh kesepakatan kolektif pada
pribadi pada makna umum sebuah simbol. Simbol-simbol yang lain membentuk
satuan perilaku ritual yang lebih kecil, tetapi bukan sekadar embel-embel. Simbol-
simbol itu mempengaruhi sistem-sistem sosial dan maknanya harus diturunkan dari
Dewasa ini lebih besar kemungkinan bahwa ritual diungkapkan dalam pawai,
keuntungan duniawi langsung. Dengan cara-cara yang berbeda, proses ritual terus
berlangsung hingga kini dengan melibatkan kehadiran simbol dalam tindakan atau
aksi simbolik. 45
atau mengubah pesan dalam ruang sosial yang unik. Fungsi ritual terbagi tiga.
44
Victor Turner and Edith Turner, Image And Pilgrimage In Christian Culture:
Anthropological Perspective (New York: Columbia University Press, 1978), 245.
45
Dillistone, Daya Kekuatan Simbol, 115.
27
Pertama, ritual adalah tindakan simbolik. Tindakan simbolik sebagai tindakan fisik
yang membutuhkan interpretasi. Pesan dari tindakan simbolik tidak secara langsung
membahas orang atau peristiwa yang sementara terjadi, tetapi komunikasi melalui
simbol, mitos, dan metafora yang mengizinkan beragam interpretasi. Kedua, ritual
dan simbol sering berada pada ruang khusus yang beranjak dari kehidupan sehari-
hari dalam cara yang berbeda-beda. Salah satu cara dari mengidentifikasi ritual
adalah dengan menganalisa konteks di mana tindakan simbolik itu berada. Ketiga,
dalam dua arena yang terpisah, yaitu wilayah yang sakral dan wilayah yang
dianut oleh suku bangsa penduduk asli Australia. Dalam totemisme, kelompok
manusia itu mengasosiakan dirinya dengan salah satu binatang atau tumbuhan
sebagai totem. Mereka menggangap semua simbol totem itu sakral, sehingga tidak
boleh disentuh atau dimakan. Dari pandangan seperti itu mulai muncul kesadaran
Sakral selalu berhubungan dengan yang suci atau keramat. Yang sakral
46
Lisa Schirch, Ritual and Symbol in Peacebuilding (United States of America: Kumarian
Press, 2005), 16-17.
47
Emile Durkehim, The Elementary Forms Of Religious Life (Terj. Joseph World Swain),
(London: George Allen&Unwin Ltd., 1976), 52-54.
48
Daniel L. Pals, Seven Teories Of Religion, (Jogjakarta: Penerbit IRCiSoD, 2011), 167-
168.
28
Durkheim, karena manusia atau masyarakat yang mempercayainya itu sajalah telah
menjadikan sesuatu itu suci, bukan karena adanya sesuatu yang lain atau istimewa
dari benda tersebut. Kesakralan terwujud karena sikap mental yang didukung oleh
perasaan kagum yang menjadi emosi sakral yang paling nyata. Perasaan kagum itu
menyebabkan daya tarik dari rasa cinta dan penolakan terhadap bahaya. 49
Selain Durkheim, Mircea Eliade juga adalah salah seorang yang memaknai
sombol-simbol sebagai sesuatu yang sakral dalam bukunya “The Dalam buku “The
Sacred and The Profane”, Eliade50 menjelaskan bahwa langkah utama untuk
arkais (kuno) yang hidup di zaman pra-sejarah atau masyarakat tribal dengan
tanam. 51
49
Elizabeth K. Notingham, Agama Dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama
(Jakarta: Rajawali, 1985), 11.
50
Mircea Eliade, lahir di Burcharest, Rumania 9 Maret 1907, anak seorang pegawai
kemiliteran Rumania. Di usia yang masih belia (18 tahun) Eliade merayakan penerbitan artikelnya
yang ke seratus. Ia banyak menulis cerita fiksi yang pada akhirnya cerita-cerita ini banyak
mempengaruhi jalan pendidikannya. Di Universitas Burcharest dan Italia, ia banyak mempelajari
pikiran mistis Platonis dari tokoh-tokoh renaisans Italia, selanjutnya Ia juga dipengaruhi oleh
pikiran-pikiran spiritualitas Hindu. Pada tahun 1928, ia pergi ke India untuk belajar Yoga di
Himalaya. Tiga tahun menetap di India, kembali ke Rumania untuk menjalani wajib militernya
seraya menuliskan novel fiksi yang berjudul Maytryi (1933). Pada tahun 1936 Eliade menyelesaikan
doktoralnya dengan judul Yoga: A Essay on Origins of Indian Mystical Theology. Pada tahun 1940
kembali ia menerbitkan buku yang berjudul Pattern in Comparative Religion yang menjelaskan
fungsi simbol dalam agama dan The Myth of Eternal Return yang menerangkan konsep historis,
sakralitas waktu dan perbedaan antara agama kuno dengan pemikiran modern. Lihat Daniel L Pals,
Seven Teories,…, 227-229.
51
Daniel L Pals, Seven Teories of Religion, 233.
29
bahasa, simbol dan mitos.52 Dalam buku yang berjudul Patterns in Comparative
ditekankan bahwa apa saja dalam kehidupan ini yang bersifat biasa-biasa saja
adalah bagian dari Yang Profan. Dia ada hanya untuk dirinya sendiri namun dalam
sakral. 53
Sebuah benda, seekor binatang, nyala api, bunga yang merekah, sebuah batu
bahkan seorang manusia bisa saja menjadi tanda yang sakral asal manusia
ganda, sebagai dirinya sendiri dan bisa berubah menjadi sesuatu yang baru, sesuatu
yang beda dengan sebelumnya. Sebuah batu di satu sisi ia menjadi dirinya sebagai
batu biasa, tetapi pada saat yang bersamaan ia bisa menjadi suci. Misalnya, Ka’bah
bagi orang Muslim, disatu sisi ia hanyalah seonggok batu biasa, tetapi karena
menghasilkan refleksi atau cerminan dari apa yang dilihat dan didengar, akan tetapi
52
Daniel L. Pals, Seven Teories of Religion, 241.
53
Mircea Eliade, Patterns In Comprative Religion (New York: Meridian Books, 1963), 11.
54
Hierophani Artinya Manifestasi Dari Yang Kudus Atau Yang Sakral. Tipe Hierophany
Yang Lain Adalah Theophany (dari bahasa Yunani theos artinya Tuhan ) Lih. Daniel L. Pals, Seven
Teories, 254-255.
30
Dengan kata lain, kegiatan simbolik itu tidak bersifat univok, tetapi bersifat
yang memiliki hubungan “dengan yang di atas” serta mitos-mitos yang lainnya
karena terkait dengan simbol dan mitos-mitos yang lainnya, sehingga dunia berada
dalam suatu sistem yang terkait dan bukan sebuah dunia yang chaos. Simbol
menyatakan suatu realitas suci atau kosmologis yang tidak dapat dinyatakan oleh
dalam kosmis, sehingga manusia tidak merupakan fragmen saja, tetapi dengan
membuat jati dirinya yang terdalam serta status sosialnya jelas dan membuat dirinya
menjadi irama alam, mengintegrasikan dirinya ke dalam kesatuan yang lebih besar,
hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk di antara sekelompok orang, di mana
55
Mircea Eliade, Patterns In Comprative Religion, 446.
56
Mircea Eliade, Patterns In Comprative Religion, 41.
31
Dalam kehidupan, jaringan sosial ini sedemikian kompleks dan saling tumpang-
tindih atau saling memotong satu sama lain. 57 Sehingga Barnes, membedakan
adanya dua macam jaringan sosial, yaitu jaringan sosial menyeluruh dan jaringan
dalam masyarakat. Jaringan sosial parsial adalah jaringan yang dimiliki oleh
Ditinjau dari tujuan hubungan sosial yang membentuk jaringan sosial, dapat
sedikitnya tiga orang yang mempunyai identitas dan dihubungkan satu dengan lain
57
James C. Mitchell, Social Networks in Urban Situation: Analysis of Personal
Relationships in Central Africa Town (Manchester: Manchester University Press, 1969), 1-2.
58
James, C. Mitchell, Social Networks in Urban Situation, 3.
59
Ruddy Agusyanto, Dampak Jaringan-jaringan Sosial dalam Organisasi: Kasus PAM
Jaya, DKI Jakarta, (Tesis., Jakarta: Program Pascasarjana UI, 1996), 19.
32
melalui hubungan-hubungan sosial, sehingga hubungan-hubungan sosial itu dapat
sosial tidak terjadi secara acak tapi menunjukkan suatu keteraturan yang jelas. 60
Struktur-struktur sosial ini tidak berdiri sendiri tetapi bersumber dari kebudayaan
Timothy Rowley, analisis jaringan sosial tidak saja menganalisis tingkah laku,
suatu keterkaitan kelompok dari orang-orang yang lazim mempunyai atribut sama;
dan dalam konteks ini, maka pada saat yang sama, seseorang dapat menjadi bagian
lebih dari satu jejaring. Sedangkan trust, mengacu pada tingkat keyakinan bahwa
orang lain akan bertindak sebagaimana yang dikatakan, atau yang diharapkan untuk
berbagai kondisi.63
60
Mitchell, Social Network in Urban Situations, 8.
61
Timothy J. Rowley, “Moving Beyond Dyadic Ties: A Network Theory of Stakeholder
Influences,” in The Academy of Management Review 22, no. 4 (1997): 887-910.
62
Tonny D. Pariela, Plural Social Capital Sebagai Basis Sistem Manajemen Ketahanan
Hayati. Jurnal Studi Pembangunan Interdisipliner 20, no 3 (2008), 211-218.
63
Tontji Soumokil, Reintegrasi Sosial Pasca Konfil Maluku, (Salatiga: Fakultas Ilmu Soial
dan Ilmu Komunikasi-Universitas Kristen Satya Wacana Press, 2011), 22.
33
Proses identifikasi diri sebagai suatu komunitas, dapat dikatakan tidak
terjadi dengan serta merta (tiba-tiba), tetap melalui intervensi yang dilakukan
telah ada dalam komunitas, para pemimpin komunitas kemudian berperan untuk
menghidupkan. 64
64
Tonny D. Pariela, Plural Social Capital Sebagai Basis Sistem Manajemen Ketahanan
Hayati. Jurnal Studi Pembangunan Interdisipliner 20, no 3 (2008), 211-218.
34