Anda di halaman 1dari 3

Nama : Faqih Alfarisi

Nim : 2210030005

Mata Kuliah : Teori-teori Keagamaan

Agama sebagai Sistem Budaya

Clifford Geertz mempunyai pendapat balıwa aktivitas kebudayaan manusia merupakan


sesuatu yang istimewa dan lain dari yang lain. Geertz melakukan penelitiannya di Jawa dan Bali
dengan judul buku penilitiannya. The Social History of an Indonesian Toıvn (1965)
menceritakân kondisi masyarakat tempat dia melakukan sebagian beşar studinya, yaitu daerah
Mojokuto. Bükü ini terutama membicarakan masalah perubahan-perubahan ekonomi, politik dan
kehidupan sosial dalam masyarakat yang bergerak dari pemerintahan kolonial menuju
kemerdekaan.

Yang perlu perhatikan dari latar belakangnya Geertz adalah dalam bidang antropologi.
adalah kenyataan bahwa dia tidak dididik dalam tradisi Durkheimian Paris atau Evan
Pritchardian Oxford, melainkan di Universitas Harvard, Amerika Ide-idenya tentang agama dan
kebudayaan berkembang di bawah dua pengaruh; tradisi antropologi Amerika Yang kuat dan
independen serta perspektif dia tentang ilmu-ilmu sosial Yang didapatkannya dari Harvard yang
dipengaruhi langsung oleh Talcot Parson.

Apakah yang dimaksud dengan agama sebagai satu sistem kebudayaan? Geertz
menjawab pertanyaan ini dengan satu kalimat panjang dan "padat”. Agama adalah satu sistem
simboı yang bertujuan untuk menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat, mudah menyebar,
dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang dengan cara membentuk konsepsi tentang sebuah
tatanan umum eksistensi dan melekatkan konsepsi ini kepada pancaran-pancaran faktual dan
pada akhirnya perasaan dan motivasi ini akan terlihat sebagai suatu realitas yang unik.
Geertz dengan terang-terangan meyakini ide tentang sebuah kebudayaan sebagai sebuah
sistem simbol-simbol yang objektif, dan Para İlmuwan lebih senang menamakan pendekaan
Geertz ini dengan sebutan "antropologi simbolis. Melalui simbol, ide dan adat-istiadat, Geertz
menemukan pengaruh agama berada di setiap celah dan sudut kehidupan masyarakat Jawa.
Pertama, yang dimaksud Geertz dengan sebuah sistem simbol" adalah segala sesuatu
yang memberi seorang idč-ide. Misalnya, sebuah objek, seperti lingkaran untuk berdoa bagi
pemeluk Budhisme; sebuah peristiwa, seperti penyaliban; satu ritual, seperti palang Mitzvah;
atau perbuatan tanpa kata-kata, seperti perasaan kasihan dan kekhusyukan. Lembaran-
lembaran Taurat, contohnya, memberikan ide kepada orang Yahudi tentana firman Tuhan,
image yang ditampikan oleh sorang pendeta di sebuah rumah sakit menyebabkan si sakit ingat
pada Tuhan. Seperti yang čsebutkan sebelumnya, hal terpenting adalah bahwa ide dan simbol-
simbol tersebut bukan murni bersifat privasi. Ide dan simbol-simbol iłu adalah milik publik,
sesuatu yang ada di luar kita.
Kedua, saat dikatakan bahwa simbo-simbol tersebut menciptakan perasaan dan motivasi
yang kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang, kita dapat
meringkasnya dengan mengatakan bahwa agama menyebabkan seseorang merasakan atau
melakukan sesuatu. Motivasi tentu memiliki tujuan-tujuan tertentu dan orang yang termotivasi
terebut akan dibimbing oleh seperangkat nilai tentang apa yang penting, apa yang baik dan
buruk, apa yang benar dan salah bagi dirinya.
Dalam ritual keagamaan, manusia dimasuki oleh desakan realitas riil ini. Perasaan dan
motivasi seseorang dalam ritual keagamaan sama persis dengan pandangan hidupnya. Kedua
hal ini saling memberi kekuatan. Pandangan hidup saya mengatakan saya harus merasakan
ini", umpamanya. Pada gilirannya perasaan tersebut mengatakan bahwa pandangan hidup
saya ini adalah pandangan yang benar dan tidak bisa diragukan lagi. Satu penyatuan simbolis
antara pandangan hidup dengan etos akan terlihat dalam ritual yang dilakukan seseorang yang
merasa harus dilakukannya (etosnya) selalu akan selaras dengan gambaran dunia yang
teraktualisasi dalat-n pikirannya.
Geertz mengatakan bahwa contoh yang paling baik tentang penyatuan ini, yaitu
perpaduan etos dan pandangan dunia, bisa ditemukan dalam salah satu upacara masyarakat
Indonesia (Bali). Dalam kesempatan-kesempatan tertentu, masyarakat mementaskan
pertunjukan meriah yang menceritakan pertempuran antara patung dua tokoh dalam mitologi
mereka; pertarungan antara Rangda dan Barong. Dalam upacara ini, masyarakat
berbondongbondong mengikuti pawai, sebagian mereka ada yang menggotong patung-patung
tersebut dan sebagian lain dalam keadaan ekstase. Pertunjukan ini bagi masyarakat Bali tentu
bukanlah pertunjukan biasa, tapi sebuah ritual yang harus tetap dilaksanakan berulangkali.
Muatan drama dan emosi yang dilibatkan dalam kerumunan orang yang melakukan upacara
tersebut seolah-olah membawa segala sesuatu ke dalam kondisi chaos. Pertempuran dalam
drama ini selalu diakhiri tanpa kemenangan mutlak dari salah satu pihak. Namun hal ini
bukanlah poin yang kita maksud, sebab yang lebih penting adalah pertunjukkan ini dapat
menggugah sikap dan perasaan orang Bali. Satu percampuran antara permainan, pargelaran
dan perasaan takut yang menjadi ciri khas kebudayaan mereka.
Dalam kesimpulannya Geertz menjelaskan bahwa studi apa pun tentang agama akan
berhasil bila telah menjalani dua langkah; seseorang harus mulai dengan menganalisa
seperangkat makna yang terdarpat dalam simbol-simbol keagamaan itu sendiri dan hal ini
adalah tugas yang paling sulit. Kemudian, yang tak kurang sulitnya, adalah karena simbol-
simbol ini sangat terkait dengan struktur masyarakat dan aspek psikologi anggota masyarakat,
maka rangkaian simbol-simbol ini harus ditelusuri secara kontinyu, baik cara terciptanya,
proses penerimaan dan pemaknaannnya atau pembelokan maknanya. Hubungan ini dapat
dianalogikan dengan rentangan kawat mela!ul tiga titik yang membentuk sebuah segi tiga.
Titik usntuk simbol, titik kedua untuk masyarakat dan titik ketiga untuk psikologi individu.
Kita akan mendapatkan kesan yang sama tentang pengaruh dan efek yang timbul antara ketiga
titik tadi dengan yang terjadi;. dalam sistem kebudayaan religius.

Anda mungkin juga menyukai