Anda di halaman 1dari 4

Ringkasan Artikel Agama sebagai Sebuah Sistem Kebudayaan

Mata Kuliah : Ilmu Sosial dan Kajian Budaya Dasar


Dosen Pengampu: Dr. Yustinus Tri Subagya

Oleh :

Aloysius Anggoro 196114004

Anandito Putra Kapindo 196114006

Paulus Sih Nugroho 196114034

Andreas Subagya Wahyu Pribadi 196114090

Semester II

FAKULTAS FILSAFAT KEILAHIAN


UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2020
Agama sebagai Sebuah Sistem Kebudayaan
Studi Antropologis tentang agama dalam kenyataan berada dalam keadaan stagnasi
umum namun ada keraguan bahwa studi itu akan mulai lagi dengan menghasilkan lebih banyak
variasi-variasi kecil tentang tema-tema teoritis klasik. Kasus mengenai ibadat kepada leluhur
mendukung otoritas hukum generasi yang lebih tua, bahwa pengelompokan ritual mencerminkan
oposisi politis dan bahwa mitos-mitos memberikan dasar bagi pranata sosial. Kasus itu
membuktikan bahwa para antropolog dapat bekerja keras untuk membuktikan hal yang sudah
pasti.
Selain itu ada pula agama ada kaitannya dengan simbol, konsep dan makna dan itu semua
merupakan konsep filosofis yang dominan dari zaman ini sehingga tanda, simbol, denotasi,
signifikan, komunikasi merupakan persediaan dalam perdagangan. Selain itu, karena berhadapan
dengan makna, maka perlu paradigma yang berarti bahwa simbol sakral berfungsi untuk
mensintesiskan suatu etos bangsa, yaitu nada, ciri, kulitas hidup, moral, suasana hati, dan
pandangan dunia mengenai cara bertindak, gagasan yang ada mengenai tatanan.
Selain itu pula, model-model kebudayaan yang ada digunakan untuk menetapkan suasana
hati dan motivasi kuat yang meresapi dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan cara
menggunakan model tersebut ke kehidupan manusia. Adapun simbol-simbol mengungkapkan
suasana yang ada dalam kebudayaan tersebut dan simbol pun mewakili ensensi dari suatu budaya
tersebut. Simbol-simbol yang ada juga merupakan hasil dari pendefinisian dari disposisi yang
ditetapkan saat seseorang mengalami budaya. Maka dalam arti ini bukan berarti budaya bersifat
subjektif namun merupakan suatu system yang dapat diinterpretasikan dalam diri masing-
masing.
Ada pula aspek motivasi yang merupakan suatu kecenderungan yang terus menerus
muncul untuk menampilkan jenis-jenis tindakan dalam pengaplikasian suatu budaya. Adanya
perbedaan dalam suatu motivasi merupakan suatu warna yang bermakna dalam pencapaian suatu
budaya. Maka dari situlah ada proses yang berbeda-beda namun untuk mencapai tujuan yang
sama.
Dalam bentuk-bentuk budaya terkadang mengalami suatu yang ganjil seperti jamur yang
memiliki bentuk aneh dalam kalangan kita. Seperti layaknya budaya terkadang asing dalam
kajian nalar namun itu merupakan bentuk dari arti yang sesungguhnya.

1
Hal yang aneh tersebut tidak boleh disepelekan karena setiap budaya memiliki proses dan
modivikasinya masing-masing.
Agama merupakan suatu sistem yang menaungi manusia untuk mencapai kedekatan
rohani dengan Yang Kuasa. Agama dalam konteks budaya menentukan kondisi emosi setiap
pribadi didalamnya. Agama disatu sisi menanamkan kekuatan sumber-sumber simbolis kita
untuk meremuskan gagasan-gagasan analitis dalam konsop otoritatis tentang bentuk menyeluruh
dari kenyataan.
Adapun bagi seorang antropolog, pentingnya agama terletak pada kemampuan untuk
berlaku, bagi setiap individu atau sebuah kelompok sebagi sumber konsep umum namun jelas,
tentang dunia, diri dan hubungan-hubungan di anatara keduanya, di satu pihak, yaitu model dari
segi agama itu, dan di lain pihak sumber disposisi-disposisi “mental” yang berakar, yang tak
kurang jelasnya uaitu model untuk segi agama itu.
Selain itu kepercayaan-kepercayaan religius juga merupakan sebuah mistar lengkung.
Keprcayaan itu tidak sekedar menafsirkan proses-proses sosial dan psikologis dalam arti kosmis
yang dalam hal ini semua itu bersifat filosofis, tidak religius. Namun kepercayaan-kepercayaan
itu membentuk proses-proses itu.
Sebuah pertemuan menyanyi bersama adalah semacam sikodrama religious dimana ada
tiga pelaku utama yaitu penyanyi, penderita, dan semacam kor antiphonal. Kegiatan ini
merupakan suatu aplikasi dari agama yang kita jalankan. Lirik-lirik dalam sebuah lagu
merupakan refleksi pribadi atau kelompok atas hubungannya dengan Yang Kuasa. Kegiatan
menyanyi kita tempatkan sebagai sarana untuk mengekspresikan kedetakan kita dengan Yang
Kuasa.
Pengetahuan dan eksplorasi perbedaan kualitataif merupakan suatu perbedaan yang
empiris bukan perbedaan transedental antara agama murni dan agama terapan. Antara sebuah
perjumpaan dengan apa yang dianggap nyata dan sebuah pandangan tentang pengalaman yang
biasa tentang Allah. Koreksi dan pelengkapan agama tidak memiliki isi yang sama. Sifat
prasangka yang diberi agama kepada kehidupan yang biasa berbeda-beda menurut agama yang
dianutnya serta menurut disposisi khusus yang ditimbulkan dalam diri yang percaya dengan
konsep-konsep tatanan semesta yang mulai diterima.
Salah satu masalah-masalah metodologis adalah kecenderungan untuk mengesampingkan
suara ateis desa sekaligus juru khotbah atau tetua di suatu desa.

2
Hal tersebut menyebabkan implikasi sosial dan sikologi dari kepercayaan religious tertentu dapat
muncul terang atau arti yang berbeda karena tidak dilihat dari berbagai sisi. Apabila hal itu selalu
terjadi semua pertanyaan mengenai apakah suatu agama itu baik atu buruk, fungsional atau
disfungsional, menguatkan ego atau menghasilkan kecemasan akan lenyap seakan-akan gagasan
tersebut tidak masuk akal dan gagasan tersebut pergi tanpa ada jawaban yang pasti.
Hal tersebut justru menambah persoalan yang tidak penting tentang sekelumit pertanyaan
agama dan eksistensinya. Namun pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak perlu dilontarkan atau
dijawab karena masuk dalam tatanan suatu privasi dalam beragama. Setiap pribadi memiliki hak
untuk mempertahankan dan mencintai agama tersebut.
Suatu pendekatan terhadap teori nilai yang menyoroti kearah tingkah-laku orang-orang
aktual di dalam masyarakat-masyarakat yang aktual, kemudian dihayati menurut kebudayaan
aktual baik untuk rangsangannya maupun validasinya, akan menjauhkan seseorang dari
argument-argumen abstrak. Peranan ilmu pengetahuan seperti antropologi dalam analisis tentang
nilai-nilai tidaklah menggantikan penyelidikan filosifis, melainkan untuk membuatnya relevan.

Anda mungkin juga menyukai