Anda di halaman 1dari 9

Ujian Tengah Semester

Mata Kuliah : Ilmu Sosial dan Kajian Budaya Dasar


Dosen Pengampu: Dr. Yustinus Tri Subagya

Oleh :

Andreas Subagya Wahyu Pribadi 196114090

Semester II

FAKULTAS TEOLOGI
PRODI FILSAFAT KEILAHIAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2020
1. Clifford Geertz memandang bahwa agama merupakan salah satu sistem budaya. Dia
menunjukkan bahwa agama menjadi model dari (model of) dan sekaligus juga model bagi
(model for) tindakan/ perilaku sosial. Berikan penjelasan yang memadai tentang konsep
tersebut. Untuk lebih terangnya beri contoh analisa model dari dan model bagi
tindakan/perilaku dari fenomena keagamaan.

Clifford Greertz memandang agama sebagai sistem budaya. Agama menjadi petunjuk
mengenai pemahaman budaya mengenai segala sesuatu sehingga menjadi acuan dalam budaya
juga. Selain itu, agama merupakan suatu sistem yang menaungi manusia untuk mencapai
kedekatan rohani dengan Yang Kuasa atau Tuhan. Jika kebudayaan sendiri merupakan suatu
kumpulan makna yang berisi simbol-simbol yang dipahami secara bersama-bersama. Maka
agama dalam konteks budaya menentukan kondisi emosi setiap pribadi didalamnya karena disatu
sisi menanamkan akan kekuatan sumber-sumber simbolis kita untuk merumuskan gagasan-
gagasan analitis dalam konsop otoritatis tentang bentuk menyeluruh dari kenyataan.
Clifford Greetz berpendapat bahwa agama menjadi model dari (model of) tindakan atau
perilaku sosial. Maka dapat dijelaskan bahwa agama menjadi suatu model dari berbagai macam
perilaku yang tumbuh dari masyarakat sehingga masyarakat percaya akan agama yang sudah ada
atau dari nenek moyang terdahulu yang sudah turun temurun dan lebih tepatnya sebagai
kepercayaan mereka masing-masing daerah. Contoh agama sebagai model dari tindakan perilaku
sosial itu adalah agama kejawen atau kebatinan yang merupakan agama jawa sinkretis dari
kepercayaan asli. Selain itu ada kaharingan adalah kepercayaan/agama asli suku Dayak di
Kalimantan. Kaharingan artinya tumbuh atau hidup dan mereka percaya terhadap Tuhan Yang
Maha Esa (Ranying Hatalla Langit), yang dianut secara turun temurun dan dihayati oleh
masyarakat Dayak di Kalimantan. Maka mereka tidak menganut agama-agama seperti Katolik,
Islam dan lain sebagainya
Clifford Greetz berpendapat bahwa agama menjadi model bagi (model for) tindakan atau
perilaku sosial. Maka dapat dijelaskan bahwa agama berkaitan dengan nilai-nilai yang ada dalam
agama yang kemudian dihidupi oleh masyarakat sehingga nilai itu dapat mencerminkan perilaku
seseorang. Dalam agama tentu ada nilai-nilai yang akan dihidupi dan dikembangkan oleh
masyarakat yang menganut agama tertentu terutama mengenai aturan-aturan dan kaidah yang
ada juga dihidupi oleh seseorang. Contoh agama sebagai model bagi tindakan perilaku sosial itu
adalah negara Indonesia yang mayoritasnya menganut agama Islam maka mereka menerapkan
nilai-nilai yang ada dalam agama Islam seperti sholat, najis jika memakan daging babi, dan

1
lainnya. Namun dalam agama Katolik harus beribadah ke Gereja untuk berdoa dan mengucap
syukur, ada pula 10 perintah Allah yang harus dihidupi salah satunya adalah jangan membunuh.

2. Ceritakan dari lingkungan sosial budaya di daerah anda dibesarkan bagaimana orang
memandang kematian? Bagaimana konsep mereka? Upacara-upacara apa saja yang dilakukan
untuk mengantarkan orang yang meninggal ke dalam peristirahatan abadi.

Kematian bagi orang Jawa merupakan paradoks kehidupan. Di satu sisi kematian
merupakan akhir kehidupan manusia di dunia, akan tetapi di sisi lain orang jawa percaya bahwa
kematian merupakan awal perjalanan menuju kehidupan di alam kekal. Ketika manusia
mengalami kematian atau meninggal, maka nyawa dipandang tidak turut binasa bersama dengan
tubuhnya melainkan menyatu dengan Tuhan di alam kelanggengan (manunggaling kawula
Gusti).
Manusia sejatinya memiliki jiwa dan raga dan masing-masing tidak dapat berdiri sendiri.
Maka ketika manusia mengalami kematian berarti bahwa manusia bersifat tidak abadi dan akan
kembali menjadi tanah atau debu. Tubuh yang sudah mati maka akan kembali pada 4 elemen
yaitu kulit, tulang, daging (dari makanan, dari tanah), darah dan keringat (dari air), nafas (dari
udara), matahari sumber kehidupan (dari api). Manusia mengalami kematian berarti berhubungan
dengan namanya arwah. Arwah bagi masyarakat Jawa dipandang sebagai makhluk yang sangat
dihormati. Masyarakat Jawa melakukan komunikasi dengan mereka yang sudah meninggal
dengan cara melalui doa dan doa itu harus dilakukan menggunakan bahasa Jawa Krama (bahasa
yang khusus digunakan ketika berbicara dengan orang yang lebih tua). Pekerjaan dan aktivitas
yang berhubungan dengan roh juga diusahakan tanpa cacat cela.
Menurut tradisi Jawa, kembalinya manusia ke asalnya itu ada beberapa tahap yaitu :
i. Sejak awal kematian hingga hari ketiga : roh masih berada dalam rumah yang
ditinggalinya
ii. Sampai hari ketujuh : roh mulai menyingkir dari rumah dan berpindah ke pekarangan
rumah.
iii. Sampai hari keempat puluh : roh sudah keluar dari pekarangan namun masih
kerapkali kembali.
iv. Sampai hari keseratus : roh masih sering berkunjung untuk melihat anak-cucunya dan
mulai untuk berpamitan pada keluarganya.

2
v. Sampai satu tahun dan dua tahun : roh sekali-kali suka datang dan melihat anak-
cucunya.
vi. Sudah sampai tiga tahun atau 1000 hari : tubuh telah sampai keasalnya dan roh
sampai tujuannya.
Dalam tradisi Jawa, upacara yang dilakukan ketika orang sudah meninggal yaitu
jenazah dimandikan dengan mengikuti hitungan ganjil seperti tiga kali atau lima kali dan
seterusnya, setelah itu dikafani jika beragama Islam tetapi jika Kristiani maka diberi pakaian
yang rapi seperti jas. Kemudian ada sembahyang terakhir sebelum dimakamkan.Ada pula
tradisi brobosan untuk menghormati orang yang sudah meninggal yang dilakukan didepan
rumah sebelum dimakamkan. Selain itu juga ada acara slametan yang berarti memberikan
hidangan atau kardusan makanan pada para yang hadir melayat. Setelah meninggal maka ada
sembahyangan arwah 7 harinya yang meninggal bahkan sampai terakhir kalinya yaitu 1000
harian di sembahyangkan juga.
Masyarakat Jawa menganggap bahwa kematian akan dialami oleh semua manusia dan
tidak perlu terus dirundung kedukaan atau ditangisi teurs menerus ketika sudah ditinggalkan
orang yang tercinta atau terdekat agar bisa lebih tenang disana bersama Yang Kuasa. Jika
mengenai pemakaman sebisa mungkin dilakukan pada hari yang sama atau setelahnya ketika
kematiannya menjelang sore atau malam hari sehingga tidak perlu ditunda lama-lama. Jika
mengenai almarhum maka orang terhormat tentu akan mendapat tamu peziarah lebih banyak
dibanding kuburan orang tak dikenal dan bangunan kuburan (kijing) serta letak pun kerap
disesuaikan menurut agama almarhum. Selain itu kematian terbgi menurut riwayat sebelumnya.
Menurut tradisi Jawa, kematian dibedakan menjadi dua bentuk, mati yang utama atau baik dan
mati salah. Contohnya kematian yang baik itu mati karena umur yang sudah tua, mati saat lahir
atau saat melahirkan, mati sabil. Akan tetapi, kematian yang salah itu jika melakukan bunuh diri,
korban kecelakaan maut, korban pembunuhan, dan lainnya. Akhirnya kematian seseorang
diterima atau tidaknya bersama Yang Kuasa itu tergantung amal dan perbuatan saat hidup dan
hanya Yang Kuasa yang tahu dan menentukan setelah kematian itu.

3. Uraikan pengertian agama menurut Emile Durkheim? Apa hubungannya dengan dikotomi sakral
dan profan; fakta sosial; serta kesadaran kolektif?

3
Emile Durkheim melihat agama dengan konteks hidup dari masyarakat. Emile Durkheim
melihat agama sebagai faktor esensial bagi identitas dan integrasi masyarakat karena agama
merupakan suatu sistem interpretasi diri kolektif. Maka, agama adalah simbol dimana
masyarakat bisa menjadi sadar akan dirinya. Ia juga menjelaskan bahwa agama bukanlah suatu
yang alami dalam individu, melainkan suatu produk dari sebab-sebab sosial.
Jika dikaitkan dengan sakral itu berarti agama adalah kesatuan sistem keyakinan dan
praktek-praktek yang berhubungan dengan sesuatu yang sakral, dimana keduanya yaitu
supranatural dan sakral memiliki perbedaan yang mendasar. Ia mengatakan bahwa yang sakral
menentukan kesejahteraan anggota masyarakat dan yang profan itu tidak memiliki pengaruh
yang begitu besar karena merupakan refleksi keseharian. Kebaikan dan keburukan tentu ada
dalam yang sakral dan profan. Akan tetapi keduanya tidak bisa saling berubah satu menjadi yang
lain. Maka konsentrasi agama terletak pada hal yang sakral.
Jika kaitannya dengan fakta sosial itu berarti bahwa fakta tersebut memiliki kebenaran
yang dipercayai kebenarannya oleh masyarakat. Ia mempunyai pandangan bahwa fakta sosial
jauh lebihfundamental dibandingkan dengan fakta individu. Jika mengenai fakta individu itu
berarti bahwa yang terpenting diri sendiri atau suatu individu percaya bahwa ini benar sehingga
tidak perlu melihat orang lain percaya bahwa ini benar.
Dalam lingkungan masyarakat yang plural maka disitulah agama hidup sehingga mereka
yang hidup bersama itu menaati aturan dan norma yang dibentuk secara bersama dan
terbentuklah suatu kesadaran kolektif atau kesadaran bersama. Maka dengan segala
kebersamaan, aturan yang dihidupi dan kesadaran mereka akan membentuk suatu agama
sehingga segala aturan, ritual dan nilai yang ada pada agama akan terus dihidupi dalam
kehidupan mereka.
Contohnya pada penelitiannya pada masyarakat primitif Aborigin di Australia mengenai
sistem agama totemisme. Durkheim menyimpulkan bahwa mereka terbentuk atas klan-kan dan
masing-masing klan memiliki binatang dan tumbuhan sebagai totem mereka yang sakral oleh
suku mereka tetapi mereka tidak mengetahui mengapa itu sakral. Mereka menggunakan binatang
atau tumbuhan sebagai simbol-simbol untuk upacara keagamaan mereka. Maka kehidupan
mereka yang primitif dipengaruhi oleh totem-totem mereka.

4
4. Marapu adalah keyakinan/religi orang Sumba. Jelaskan konsep kelahiran, hidup dan kematian
dalam pandangan tersebut. Bagaimana kedudukan Marapu bagi orang Katolik?

Marapu adalah suatu sistem keyakinan lokal bagi orang Sumba. Kata marapu sendiri
diartikan sebagai agama atau kepercayaan dan leluhur. Jadi orang sumba lebih memuliakan
leluhur mereka. Maka sulit membedakan akan penggunaan marapu sebagai kepercayaan dan
marapu sebagai leluhur.
Dalam konsep kelahiran, sebelumnya membahas itu sumba percaya bahwa alam semesta
terdiri dari tiga lapisan, yaitu langit, bumi, dan bawah bumi. Selain itu, orang Sumba percaya
adanya yang tertinggi yaitu Marapu Rato dan Marapu Rato itu kemudian tinggal di bumi dan
melahirkan yang lainnya sehingga terciptalah konsep kelahiran.
Jika konsep hidup, orang Sumba menjalankan kehidupan mereka berdasarkan pedoman
dan sistem kepercayaan Marapu. Mereka pun dalam kehidupan selalu memuliakan roh leluhur.
Mereka percaya bahwa dengan memuliakan roh leluhur akan memperoleh keselamatan dan
kesejahteraan selama hidup.
Dalam konsep kematian, mereka (orang Sumba) percaya pada roh orang mati yang
menetap di lokasi-lokasi tertentu atau dianggap hidup dalam kehidpuan sehari-hari. Kepercayaan
akan roh orang mati adalah kebutuhan orang Sumba akan sumber kemakmuran dan pencegahan
dari malapetaka. Roh orang mati terkadang dianggap bijaksana karena kemampuannya
menghadirkan kemakmuran dan keselamatan. Akan tetapi, sering kali semangat kematian
dianggap sebagai awal dari segala bencana maka orang Sumba berpikir bahwa perlu diadakan
ibadat sebagai persembahan kepada roh orang mati.
Kedudukan Marapu bagi orang Katolik itu sebenarnya hampir konsep atas Yang Ilahi
bahwa dalam agama Katolik ada Allah sebagai pencipta dan Yesus sendiri sebagai anak-Nya
yang berada dan diutus ke bumi bersama manusia untuk menyelamatkan manusia. Begitu pula
kepercayaan Marapu yang mereka percayai bahwa Marapu Rato atau Yang Kuasa itu tinggal dan
menetap di bumi dan menciptakan segalanya.
Kedudukan Marapu bagi orang Katolik itu bahwa kami juga sebagai orang yang
beragama Katolik tentu menghargai akan kepercayaan-kepercayaan yang ada terutama di
Indonesia seperti kepercayaan Marapu dan itu hak mereka untuk mempercayai kepercayaan
mereka masing-masing. Akan tetapi, yang terpenting adalah bagaimana dapat menghargai dan
menjaga keutuhan satu sama lain sehingga tetap terjalin hubungan dalam hidup masyarakat

5
sehingga tidak saling menjatuhkan atau menindas satu sama lain. Maka selama tidak meresahkan
dan menimbulkan suatu masalah itu merupakan hal yang perlu ditoleransi. Suatu kepercayaan
dalam daerah masing-masing tentu sudah dulu tumbuh jadi yang terpenting bahwa mereka tetap
memperjuangkan keselamatan seperti kami yang beragama Katolik. Kepercayaan yang mereka
anut seperti Marapu tentu mereka mempunyai tujuan hidup dan bagaimana ketika sudah mati
sama halnya seperti agama Katolik. Maka sebenarnya sama saja namun agama-agama resmi itu
seperti agama Katolik, Kristen, Islam, Hindu, Budha, dan lain sebagainya. Jadi orang Katolik
tidak menindas akan kercayaan seperti Marapu atau menganggap bahwa kedudukan kepercayaan
Marapu rendah namun tetap memandang baik dengan melihat sisi positif yang baik dari mereka
dan yang berbeda itu tetap dihargai atas aturan mereka sendiri.

5. Uraikan apa yang dimaksud dengan ritus dan jelaskan teorinya menurut Victor Turner.
Bagaimana tahap-tahap dalam ritus berlangsung? Apa ciri-ciri komunitas (anti struktur)
tersebut? Berikan salah satu contoh ritus yang pernah anda ikuti dan apa makna ritus tersebut?

Victor Turner mengatakan bahwa ritus dikenal dengan istilah liminalitas yang berasal
dari bahasa Latin yaitu limen yang berarti ambang. Kata itu mengacu pada kondisi yang
memiliki mengacu pada kondisi yang memiliki status yaitu celah atau perantara sesuatu.
Liminalitas juga merupakan perubahan seseorang dikarenakan pengaruh kebudayaan yang
berbeda dari daerah asalnya yang membuat seseorang tidak mengikuti baik daerah asal maupun
daerah baru yang ditempati dan sering kali mereka melakukan tindakan yang tidak dapat
diterima oleh nalar. Selain itu, liminalitas sering disamakan dengan kematian, tembus pandang,
ada dalam kegelapan, dan gerhana matahari atau bulan. Victor membagi liminalitas menjadi tiga
bagian yaitu :
i. Separasi : kondisi dimana seseorang harus meninggalkan kebudayaan lamanya
menuju kebudayaan yang baru.
ii. Liminal : kondisi dimana ada suatu celah antara kebudayaan yang lama dengan yang
baru sehingga adanya peralihan dan adanya keadaan yang ambigu.
iii. Reintegrasi : kondisi dimana seseorang berproses untuk menyatukan dirinya dengan
segala situasi baru yang akan dimasukinya atau tahap kembalinya individu menjadi
bagian dalam struktur komunitas.

6
Selain itu, ada pula bahwa semua ritus peralihan atau "transisi" ditandai oleh tiga fase:
pemisahan, margin atau limen, yang menandakan "ambang", dan agregasi. Fase pertama
(pemisahan) terdiri dari perilaku simbolis yang menandakan pelepasan individu atau kelompok
baik dari titik tetap sebelumnya dalam struktur sosial, dalam kondisi budaya atau bahkan dari
keduanya. Fase yang kedua itu pada periode "liminal" intervensi, karakteristik subjek ritual
bersifat ambigu; ia melewati ranah budaya yang memiliki sedikit atau tidak ada atribut dari masa
lalu atau negara yang akan datang. Pada fase ketiga yaitu agregasi dan dalam bagian ini
merupakan bagian penyempurnaan. Subjek ritual dan individu berada dalam keadaan yang relatif
stabil dan seseorang diharapkan untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma adat dan standar
etika tertentu.
Ciri-ciri komunitas (anti struktur) itu berarti Victor mencirikan sebagai relasi antar
manusia mutlak melampaui segala bentuk struktur bahwa adanya perkumpulan atau kebersamaan
sehingga disebut sebuah komunitas, adanya pertemuan bagi masyarakat yang menjalankan ritual
dengan baik, tidak adanya struktur yang dirancang sehingga berjalan bersamaan.
Contoh ritus yang pernah saya ikuti adalah ketika saya bersekolah di SMA Regina Pacis
berarti status saya sebagai seorang awam atau anak SMA biasa dan kehidupannya lebih bebas.
Namun ketika lulus dan masuk Seminari Menengah Mertoyudan, saya menjadi memiliki sebutan
lain selain awam yaitu menjadi seminaris calon imam dan harus menyesuaikan dengan
lingkungan baru yang semuanya itu laki-laki dalam komunitas serta ada aturan berasrama. Lulus
dari situ, maka mulai masuk ke Tahun Orientasi Rohani (TOR) saya resmi menjadi frater
sebagai calon imam untuk Keuskupan Agung Semarang dan lanjut ke Seminari Tinggi ini juga
sebagai frater. Saya pun harus menyesuaikan dengan budaya baru di tempat yang baru.
Sebenarnya yang awalnya status saya sebagai awam kemudian menjadi seminaris dan sekarang
menjadi frater itu hanyalah sebutan atau status yang saya dapatkan ketika saya melanjutkan
proses formasi tetapi sebenarnya sama saja bahwa saya tetap orang biasa bukan spesial dan tidak
diagungkan. Maka proses perpindahan dari SMA ke Seminari merupakan proses awal yaitu
proses separasi sehingga saya harus meninggalkan budaya lama saya yang bisa lebih bebas
melakukan apa saja menjadi harus menyesuaikan dengan segala aturan dan kewajiban yang ada
di Seminari.
Jika proses liminal itu terjadi ketika saya yang berada di Seminari ini sebagai frater dan
melakukan apa yang seharusnya saya lakukan di Seminari. Akan tetapi, ketika diutus untuk

7
berdinamika bersama dengan orang lain itu saya tetap memposisikan diri sebagai orang biasa dan
sama seperti mereka sehingga memang sebenarnya setara sehingga tidak ada pembatas
strukturnya. Bisa dikatakan pula bahwa saya di Seminari sebagai frater namun ketika bertemu
dengan orang lain di luar maka saya sama dengan mereka sehingga harus saling membantu
bukannya saya harus dilayani.
Proses reintegrasi itu ketika saya menjadi manusia yang baru yang awalnya anak SMA-
seminaris dan menjadi frater maka sikap saya tentu menjadi lebih baik dan lebih dewasa karena
telah mengalami pengolahan dari hari ke hari serta mengalami perkembangan dengan situasi
yang baru. Akhirnya bisa melakukan apa yang menjadi tugas saya di Seminari ini dan melakukan
pelayaanan di luar Seminari.

Anda mungkin juga menyukai