Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH METODELOGI STUDI ISLAM

“Eksistensi Penelitian Agama Diantara Penelitian Sosial, Budaya,


Ilmu Eksakta Beserta Disiplin Ilmu Lainnya”
Disusun oleh:
Kelompok 2
Putri Maulida Turrahma : 202112024
Bahauddin : 202112022
Al asadi : 202112043
Smt / Unit : 3/2

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LHOKSEUMAWE
TAHUN AKADEMIK 2021-2022
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-
Nya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari
pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
pikiran maupun materinya. Penulis sangat berharap semoga makalah
ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca.
Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca
praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai penyusun
merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah
ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

BAB II

PEMBAHASAN

A.Bagaimana merumuskan realitas sebagai medan penelitia nsosial dan agama?


B.Bagaimana hubungan penelitian sosial dan agama?
C.Bagaimana persamaan dan perbedaan penelitian sosialdan penelitian agama?
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Saran

DAFTAR PUSTAKA
4

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 
Dunia saat ini tengah memasuki era globalisasi dengan dampak
negatif dan positifnya, di antara dampak negatif tersebut misalnya terjadi
dislokasi, dehumanisasi, sekularisasi, dan sebagainya. Sedangkan dampak
positifnya antara lain semakin terbukanya berbagai kemudahan dan
kenyamanan, baik dalam lingkungan ekonomi, informasi, teknologi, sosial
maupun psikologi.
Semua orang mungkin sepakat bahwa dalam era globalisasi
tersebut keutuhan manusia ingin tetap terpelihara dengan baik, dan ilmu
pengetahuan sosial diharapkan dapat menjadi salah satu alternative yang
strategis bagi pengembangan manusia Indonesia seutuhnya pada era
globalisasi tersebut. Namun demikian, ilmu pengetahuan sosial yang ada
sekarang ini dinilai sudah mulai kewalahan dan hampir gagal dalam ikut
serta memeberikan kerangka pemecahan sosial yangtimbul dalam era
globalisasi tersebut, hal demikian antara lain disebabkan karena dasar-
dasar dan prinsip-prinsip yang dijadikan landasan dalam ilmu pengetahuan
sosial tersebut berasal dari filsafat barat yang bertumpu pada logika
rasional dan cara berpikir empirik.1
Agama merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah swt. untuk
manusia. Fungsi dasar agama adalah memberikan orientasi, motivasi dan
membantu manusia untuk mengenal dan menghayati sesuatu yang sakral.
Lewat pengalaman beragama (religion experience), yaitu penghayatan
kepada Tuhan, manusia menjadi memiliki kesanggupan, kemampuan dan
kepekaan rasa untuk mengenal dan memahami eksistensi Sang Ilahi. Ini
membuktikan bahwa manusia meyakini akan adanya kekuatan

1
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA, Metodologi Studi Islam, (cet. II; Jakarta:
Rajawali Press, 2008), h. 53
5

supranatural yang berada di luar dirinya yang mampu menjadi sumber


kekuatan dan motivasi bagi dirinya.2
Agama sebagai refleksi atas cara beragama tidak hanya terbatas
pada kepercayaan saja, tetapi juga merefleksi dalam perwujudan-
perwujudan tindakan kolektivitas ummat. Perwujudan-perwujudan
tersebut keluar sebagai bentuk pengungkapan cara beragama, sehingga
agama dalam arti umum dapat diuraikan menjadi beberapa unsur atau
dimensi religiositas, yaitu emosi keagamaan, sistem kepercayaan, sistem
upacara keagamaan dan ummat atau kelompok keagamaan. 
Dipandang dari sudut sosiologis, agama merupakan kategori sosial
dan tidak empiris. Dalam konteks ini, agama dirumuskan dengan ditandai
oleh tiga corak pengungkapan universal, yaitu pengungkapan teoritis
berwujud kepercayaan (belief system), pengungkapan praktis sebagai
sistem persembahan (system of worship), dan pengungkapan sosiologis
sebagai sistem hubungan masyarakat (system of social relation). Di sini,
agama secara teoritis merupakan sistem yang mempunyai daya bentuk
sangat kuat untuk membangun ikatan sosial religius masyarakat. Bahkan
agama mampu membentuk kategori sosial yang terorganisasi sedemikian
rupa atas dasar ikatan psikoreligius, dogma, atau tata nilai spiritual yang
diyakini bersama.3
Agama memiliki daya konstruktif membangun tatanan hidup
masyarakat. Terutama dalam masyarakat di mana nilai dan norma diterima
dan diakui keberadaannya. Oleh karena itu, pembangunan agama,
pembinaan, pengembangan, dan pelestarian menjadi agenda yang penting
dan niscaya. Ini berarti agama diakui memiliki peran transformatif dan
motivator bagi proses sosial kultural dalam masyarakat.4

2
H. M. Sayuthi Ali, Metodologi Studi Islam, (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 1
3
Drs. H. Muhammad Sayuthi Ali, Metode Peneltian Agama: Pendekatan Teori
dan Praktek, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h.8
4
Drs. H. Muhammad Sayuthi Ali, Metode Peneltian Agama: Pendekatan Teori
dan Praktek, h.9
6

Dengan demikian, dalam penelitian sosial dan penelitian agama


tidak selalu mesti dipisahkan karena ketika meneliti agama, maka yang
diteliti adalah bentuk pengalaman dari ajaran agama tersebut, atau agama
yang nampak dalam perilaku penganutnya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang masalah mengenai penelitian sosial dan
agama (merumuskan realitas sebagai medan penelitian sosial dan agama),
maka penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan menjadi
fokus pembahasan dalam makalah ini, yaitu :
1) Bagaimana merumuskan realitas sebagai medan penelitian sosial dan
agama?
2) Bagaimana hubungan penelitian sosial dan agama?
3) Bagaimana persamaan dan perbedaan penelitian sosial dan penelitian
agama?
7

BAB II
PEMBAHASAN
A. Merumuskan Realitas sebagai Medan Penelitian Sosial dan Agama
Realitas berupa fakta dan fenomena. Fakta adalah kejadian yang
muncul dalam kontak budaya di masyarakat. Fakta ada yang dapat diamati
dan ada yang hanya dapat dirasakan. Fakta adalah realitas yang benar-
benar terjadinya atau ada. Fakta dapat diamati dan mendukung hadirnya
realitas. Sedangkan teralitas dapat benar-benar terjadi, akan dan sedang
terjadi. Realitas ini bersifat alamiah sehingga wujudnya pun apa adanya.
Realitas dan fakta tersebut akan memunculkan sebuah fenomena. Maka
tugas penelitian adalah mengolah fenomena tersebut agar menjadi sebuah
data yang akurat.
Realitas sosial dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu: Pertama,
realitas dalam alam kodrat/alam anogranik (fisika/ilmu kealaman) dan
realitas dalam alam organik/alam hayat (biologi). Realitas dalam kedua
alam ini bersifat empiris, kuantitatif, materialistik, dan rasionalistik.
Kedua, realitas dalam gejala-gejala sosial budaya (termasuk gejala
keberagaman). Ini merupakan gejala serupa organik yang bersifat abstrak
dan tak teraba. Lebih-lebih gejala sosial agama yang berkaitan dengan
keyakinan terhadap yang adikodrat (beyond be life).5
Gejala-gejala sosial-agama seperti budaya manusia dalam
bertuhan, kohesi kelompok dalam oraganisasi keagamaan, perilaku ritus
dan sebagainya. Sungguh merupakan gejala yang abstrak dan verbalisme.
Gejala-gejala sosial-agama itu dapat berupa tindakan-tindakan, ucapan-
ucapan/ungkapan-ungkapan, sikap-sikap, simbol-simbol yang dihargai,
cita-cita, emosi-emosi dan pikiran-pikiran yang oleh pelakuya dianggap
memiliki keterkaitan dengan hidup keberagamaannya atau merupakan
perwujudan dari ajaran atau doktrin agama yang diyakini.
Semua gejala keagamaan itu tidak sekedar dilihat bentuk, frekuensi
(intensitas), pola, melainkan (yang lebih penting) adalah pemaknaannya.
Prof. Dr. Imam Suprayogo dkk, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Cet. I;
5

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h. 24


8

Oleh karena itu, realitas sosial dalam studi-studi sosial pada galibnya lebih
banyak bergumul dengan konsep-konsep atau konstruksi sosial (social
construction).6
Persoalan yang muncul adalah bagaimana cara mendefinisikan
realitas sosial ke dalam suatu konsep, padahal realitas sosial itu bersifat
kompleks dan multidimensional. Maka seorang peneliti harus mengenali
seluruh aspek yang menjadi indikator dari realitas itu lalu melakukan
imajinasi dan abstraksi yang kemudian diformulasikan secara verbal
menjadi rational construction yang disebut konsep. Permbuatan konsep
(konseptualisasi) ini sangat penting, karena perbedaan konsep akan
menghasilkan perbedaan temuan data, dan perbedaan temuan data akan
mengakibatkan perbedaan hasil analisis yang disebut kesimpulan.
Persoalan berikutnya adalah siapakah yang membuat konsep,
peneliti (subjek peneliti) atau yang diteliti (subjek yang diteliti)?
Paradigma kaum strukturalis (paradigma makro) menyatakan bahwa
peneliti yang berdasarkan kepakaran atau berdasarkan teori-teori yang ada,
mestinya harus mengenali, mendefinisikan dan memformulasikan
konsepnya. Realitas sosial tentang kemiskinan misalnya, ditentukan oleh
peneliti berdasarkan konsumsi kalori perhari, keadaan fisik dan fasilitas
yang dimiliki, dan sebagainya.7
Adapun paradigma kaum fenomenologis/interaksionis (mikro)
menyatakan bahwa konsep yang harus dipakai untuk menyatakan secara
definitif terhadap suatu objek harulah menurut pelaku sosial sebagai
realitas.
Etos ilmu pengetahuan sosial adalah mencari kebenaran obyektif,
yaitu upaya untuk mencari kebenaran tentang realitas. Menurut kaum
strukturalis, realitas dan obyektifitas itu ditentukan oleh peneliti
berdasarkan teori yang ada. Karena itu, kebenaran bersifat subjectivied
objectives atau objektif yang subjektif menurut peneliti. Peneliti ibarat ahli
biologi yang melihat bakteri melalui mikroskop.
6
Prof. Dr. Imam Suprayogo dkk, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, h. 24
7
Prof. Dr. Imam Suprayogo dkk, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, h. 25
9

Sebaliknya, menurut kaum fenomenologis bahwa realitas sosial itu


sesungguhnya adalah struktur kognitif seseorang atau sejumlah orang dan
berada di alam imajinasi, pikiran, perasaan, dan cita. Hal inilah yang justru
menjadi objek kajian dalam ilmu-ilmu sosial yang utama dan pertama.
Oleh karena itu, subjektivitas awam itu justru merupakan objectivied
subjectivies atau subjektif yang objektif. Dalam hal ini, peneliti ibarat
murid yang belajar dari masyarakat yang diteliti.

B. Hubungan Penelitian Sosial dan Agama


Keterkaitan agama dengan masalah kemanusiaan sebagaimana
tersebut menjadi penting jika dikaitkan dengan situasi kemanusiaan di
zaman modern ini. Kita mengetahui bahwa dewasa ini manusia
menghadapi berbagai macam persoalan yang benar-benar membutuhkan
pemecahan segera. Kadang-kadang kita merasa bahwa situasi yang penuh
dengan problematika di dunia modern justru disebabkan oleh
perkembangan pemikiran manusia itu sendiri. Di balik kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern, dunia modern sesungguhnya
menyimpan suatu potensi yang dapat menghancurkan martabat manusia.
Umat manusia telah berhasil mengorganisasikan ekonomi, menata struktur
politik, serta membangun peradaban yang maju untuk dirinya sendiri,
tetapi pada saat yang sama, kita juga melihat bahwa umat manusia telah
menjadi tawanan dari hasil ciptaannya sendiri. Sejak manusia memasuki
zaman modern mereka mampu mengembangkan potensi-potensi
rasionalnya, mereka memang telah membebaskan diri dari belenggu
pemikiran mistis yang irrasional dan belenggu pemikiran hukum alam
yang sangat mengikat kebebasan manusia. Tetapi ternyata di dunia modern
ini manusia tidak dapat melepaskan diri dari jenis belenggu yang lain,
yaitu penyembuhan kepada hasil ciptaan dirinya sendiri.
Dalam keadaan demikian, kita saat ini nampaknya sudah mendesak
unutk memiliki ilmu pengetahuan sosial yang mampu membebaskan
10

manusia dari berbagai problema tersebut. Ilmu pengetahuan sosial yang


dimaksudkan adalah ilmu pengetahuan yang digali dari nilai-nilai agama.8
Pada dasarnya, penelitian sosial merupakan penelitian pada
keadaan-keadaan yang dengan nyata terdapat dalam masyarakat atau
masalah-masalah kemasyarakatan. Sementara penelitian dalam bidang
agama terkadang dipahami dengan dua makna yang berbeda, yaitu
penelitian agama dengan penelitian keagamaan. Yang pertama lebih
menekankan pada materi agama, sehingga sasarannya adalah tiga elemen
pusat, yaitu : ritus, mitos dan magik. Sedangkan yang kedua lebih
menekankan kepada agama sebagai sistem atau sistem keagamaan.
Dengan demikian, sasaran penelitian agama adalah agama sebagai doktrin,
sedangkan sasaran penelitian keagamaan adalah agama sebagai gejala
sosial.9
Apabila penelitian keagamaan memandang agama sebagai gejala
soaial, maka tentu saja akan sangat erat hubungannya dengan penelitian
sosial yang juga meneliti berbagai keadaan dalam masyarakat. Penelitian
agama sebagai usaha akademis berarti menjadikan agama sebagai sasaran
penelitian. Secara metodologis, agama harus dijadikan sebagai suatu
fenomena rill, meskipun agama itu terasa abstrak.
Dari sudut pandang ini, dapat dibedakan tiga kategori agama
sebagai fenomena yang menjadi subject metter peneliti, yaitu agama
sebagai doktrin, dinamika dan struktur masyarakat dibentuk oleh agama,
dan sikap masyarakat pemeluk agama terhadap doktrin.
Kategori pertama bertolak dari keinginan untuk mengetahui dan
memahami esensi agama itu sendiri. Penelitian atau kajian yang banyak
dilakukan umumnya bercorak sejarah intelektual dan biografi tokoh
agama. Teks-teks keagamaan, tradisi dan catatan sejarah merupakan
bahan-bahan utama yang harus digali.

Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA, Metodologi Studi Islam, h.54-55


8

Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, (Cet. VIII;
9

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 13


11

Kategori kedua adalah struktur dan dinamika masyarakat agama.


Agama di sini adalah landasan dari terbentuknya suatu komunitas kognitif.
Artinya bahwa agama merupakan awal dari terbentuknya komunitas atau
kesatuan hidup yang diikat oleh keyakinan akan kebenaran hakiki yang
sama, yang memungkinkan berlakunya suatu patokan pengetahan yang
sama pula.
Kategori ketiga adalah berusaha mengungkap sikap anggota
masyarakat terhadap agama yang dianutnya. Jika kategori pertama
mempersoalkan substansi ajaran, dengan segala refleksi terhadap ajaran,
sedangkan kategori ketiga adalah usaha untuk mengetahui corak
pemahaman masyarakat terhadap simbol dan ajaran agama.
Jika dilihat dari dua kategori terakhir ini, maka dapat dipahami
bahwa penelitian sosial dan agama memiliki hubungan yang sangat erat
dan tak dapat dipisahkan satu sama lain. Sebab, ketika melakukan
penelitian terhadap agama, maka hampir tidak terlepas dari penggunaan
pendekatan-pendekatan atau pun kerangka metodologis ilmu-ilmu sosial.
Dalam konteks ini, secara sosiologis misalnya, agama dianggap sebagai
bagian dari konstruksi realitas sosial. Dengan demikian, penelitian sosial
jika dihubungkan dengan penelitian agama semuanya dapat dikatakan
merupakan paradigma penelitian yang bersifat empiris.10
Penelitian sosial dan agama semakin terlihat hubungannya yang
erat dengan melihat faktor sosial dalam agama terdiri dari berbagai
pengaruh terhadap keyakinan dan perilaku keagamaan. Sehingga ketika
seorang peneliti ingin mengetahui tingkat keberagamaan seseorang atau
suatu kelompok masyarakat, maka ia juga harus meneliti perilaku
seseorang atau masyarakat tersebut. Sebab, tingkat keberagamaan
seseorang lebih banyak nampak pada perilakunya dalam bermasyarakat.
Dalam hal ini, agama dianggap sebagai bagian dari konstruksi realitas
sosial. Dengan demikian, apabila dilihat dari sisi tersebut, maka dapat

10
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, h. 14
12

dikatakan bahwa penelitian sosial merupakan paradigma penelitian agama


yang bersifat empiris.

C. Persamaan dan Perbedaan Penelitian Sosial dan Penelitian Agama


Telah banyak dikemukakan bahwa objek penelitian sosial adalah
manusia dan segala sesuatu yang dipengaruhi dan mempengaruhi manusia.
Oleh karena itu, sumber data dalam penelitian bidang sosial akan selalu
berhubungan dan dipengaruhi oleh keunikan manusia. Keunikan itu
berasal dari individualitas manusia sebagai perpaduan/kesatuan unsur fisik
dan psikis yang tidak sama satu sama lain. Sehingga dalam hal ini, objek
dalam penelitian sosial tentunya manusia dengan segala perilakunya dalam
kehidupannya.11
Di satu sisi, kenyataan telah membuktikan bahwa manusia sangat
membutuhkan agama, di mana harapan untuk mendapatkan keamanan
dengan menggunakan kekuatan-kekuatan spiritual yang dianggap sebagai
salah satu sumber sikap keagamaan. Karena itu, masalah keagamaan
adalah masalah yang senantiasa menyertai kehidupan ummat manusia
sepanjang sejarahnya sebagaimana masalah sosial lainnya. Sikap
keberagamaan kini telah menjadi bagian dari kebudayaan manusia yang
telah dikembangkan sedemikian rupa, baik berupa ritus, pranata sosial,
maupun perilaku dalam berbagai dimensinya.
Ilmu pengetahuan sosial dengan berbagai paradigma dan
metodenya, dikembangkan dalam rangka mengkaji perilaku manusia,
termasuk dalam perilaku beragama. Karena itu, sebuah penelitian disebut
sebagai penelitian agama atau penelitian sosial didasarkan pada objek
yang dikaji, bukan karena metodologinya. Objek studilah yang akan
menentukan metode, bukan sebaliknya. Misalnya, perilaku poligami
masyarakat pengusaha dikatakan sebagai penelitian agama ketika
dihubungkan dengan keberagamaannya. Tetapi dikatakan sebagai
penelitian sosial apabila dihubungkan dengan misalnya, kondisi ekonomi
Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, (Cet. V; Jakarta: PT. Raja
11

Grapindo Persada, 2001), h. 17


13

atau pranata sosial. Oleh karena itu, penelitian tentang fenomena


keberagamaan oleh sebagian ahli dikatakan sebagai bagian dari penelitian
sosial atau penelitian sosial keagamaan.
Menurut Mattulada, bahwa untuk menentukan metode yang
relevan dalam mengkaji agama sebagai fenomena sosial-budaya, tidaklah
sulit. Menurutnya, ilmu pengetahuan sosial dengan cara, metode, teknik
dan peralatannya masing-masing dapat mengamati dengan cermat perilaku
manusia itu hingga menemukan segala unsur yang menjadi komponen
terjadinya perilaku itu.12
Sementara menurut Dhavamony, bahwa fokus penelitian agama
adalah fakta agama dan pengungkapannya.13 Untuk itu, dapat dilakukan
oleh berbagai disiplin ilmu, meskipun membahas pokok pembicaraan yang
sama, namun berbagai disiplin tersebut mengkajinya dalam perspektif
masing-masing sesuai dengan objek formalnya.
Metode ilmu sejarah menekankan proses terjadinya perilaku
manusia dalam masyarakat dan membaginya dalam tahap-tahap tertentu
(periodesasi) secara kronologis. Proses itu menjelaskan awal kejadian dan
faktor-faktor yang ikut berperan di dalamnya. Metode sejarah yang dengan
amat teliti mengamati suatu proses sosial budaya dapat digunakan untuk
memahami proses formasi sebuah agama, persebaran agama ke seluruh
perkumpulan hidup manusia. Dengan singkat, sejarah agama mengkaji
proses sebuah agama dari pertumbuhan, perkembangan dan
kehancurannya.
Metode antropologi mempelajari terbentuknya pola-pola perilaku
dalam tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan manusia; bagaimana
doktrin dan simbol-simbol agama dipahami, disosialisasikan dan
diinternalisasi dalam sistem budaya setempat. Melalui metode antropologi
ini, diketahui keragaman dan keunikan pola, corak, tingkat dan stereotype

12
Mattulada, Studi Islam Kontemporer : Sintesis Pendekatan Sejarah, Sosiologi
dan Antropologi dalam Mengkaji Fenomena Keagamaan, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1989), h. 3
13
Prof. Dr. Imam Suprayogo dkk, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, h. 26
14

keberagamaan suatu komunitas. Style keberagamaan dalam lingkungan


sekte maupun ormas-ormas dapat dikaji dalam perspektif antropologi ini.
Metode sosiologi mengkaji posisi dan peranan tertentu dari
seseorang atau sekelompok orang. Posisi dan peranan-peranan itu
menyatakan diri dalam kehidupan bersama, sehingga kehidupan sosial
dapat terselenggara melalui hubungan-hubungan fungsional dalam
masyarakat, yang bersumber dari kedudukan dan peranannya dalam
kehidupan ummat beragama. Dengan beberapa paradigma, teori dan
metode, dengan cermat sosiologi mengkaji perilaku beragama individu
dan kelompok, hubungan antar kelompok, dan hubungan antar masyarakat
(agama).
Metode psikologi agama mengkaji perilaku beragama dan
pengalaman beragama dalam hubungannya dengan kondisi kejiwaan
seseorang; bagaimana hubungan agama dengan kondisi kejiwaan
seseorang dalam berbagai peristiwa, seperti kematian, tertimpa bencana
dan sebagainya. Fenomena keagamaan seperti pelaksanaan ritus-ritus
maupun upacara-upacara keselamatan akan dapat dicermati dengan teliti
melalui psikologi agama.14
Setelah memperhatikan metode-metode tersebut, semuanya dapat
digunakan dalam penelitian agama. Dari sini dapat dipahami bahwa
metodologi penelitian sosial dan agama memiliki persamaan dan
perbedaan. Karena itu, sebagaimana telah dikemukakan di awal tadi
bahwa sebuah penelitian disebut penelitian agama bukan karena
metodenya, melainkan karena objek kajiannya. Dengan demikian, letak
persamaan dan perbedaan antara penelitian agama dan penelitian sosial
terdapat pada objeknya.
Dalam hal ini, objek penelitian agama terdiri dari dua kelompok:
pertama, agama sebagai norma yang lebih dominan watak teologisnya,
kedua, agama sebagai fenomena sosial yang bersifat historis. Dengan

Prof. Dr. Imam Suprayogo dkk, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Cet. I;


14

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h. 18-19


15

objek tersebut, berarti penelitian agama memiliki dua pendekatan, yaitu


normativitas dan historitas.
16

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Realitas dalam medan penelitian merupakan kejadian yang muncul dan
benar-benar terjadi dalam kontak budaya di masyarakat. Dalam hal ini,
fakta ada yang dapat diamati dan ada yang hanya dapat dirasakan. Gejala-
gejala sosial-agama seperti budaya manusia dalam bertuhan, kohesi
kelompok dalam organisasi keagamaan, perilaku ritus dan sebagainya.
Sungguh merupakan gejala yang abstrak dan verbalisme. Gejala-gejala
sosial-agama itu dapat berupa tindakan-tindakan,
ucapan-ucapan/ungkapan-ungkapan, sikap-sikap, simbol-simbol yang
dihargai, cita-cita, emosi-emosi dan pikiran-pikiran yang oleh pelakunya
dianggap memiliki keterkaitan dengan hidup keberagamaannya atau
merupakan perwujudan dari ajaran atau doktrin agama yang diyakini.
Perilaku inilah yang akan menjadi objek kajian pada penelitian sosial dan
agama. 
2. Penelitian sosial dan agama memiliki hubungan yang sangat erat dan tak
dapat dipisahkan satu sama lain. Sebab, ketika melakukan penelitian
terhadap agama, maka hampir tidak terlepas dari penggunaan pendekatan-
pendekatan atau pun kerangka metodologis ilmu-ilmu sosial. Dalam
konteks ini, secara sosiologis misalnya, agama dianggap sebagai bagian
dari konstruksi realitas sosial. Dengan demikian, penelitian sosial jika
dihubungkan dengan penelitian agama semuanya dapat dikatakan
merupakan paradigma penelitian yang bersifat empiris.
3. Setelah memperhatikan metode-metode yang digunakan dalam penelitian
sosial, semuanya dapat digunakan dalam penelitian agama. Dari sini dapat
dipahami bahwa metodologi penelitian sosial dan agama memiliki
persamaan dan perbedaan. Karena itu, sebagaimana telah dikemukakan di
awal tadi bahwa sebuah penelitian disebut penelitian agama bukan karena
metodenya, melainkan karena objek kajiannya. Dengan demikian, letak
17

persamaan dan perbedaan antara penelitian agama dan penelitian sosial


terdapat pada objeknya. 

DAFTAR PUSTAKA
Ali, H. M. Sayuthi, Metodologi Studi Islam, Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002.
______, Drs. H. Muhammad Sayuthi, Metode Peneltian Agama: Pendekatan
Teori dan Praktek, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Faisal, Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial, Cet. V; Jakarta: PT. Raja
Grapindo Persada, 2001.
Mattulada, Studi Islam Kontemporer : Sintesis Pendekatan Sejarah, Sosiologi dan
Antropologi dalam Mengkaji Fenomena Keagamaan, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1989.
Nata, Prof. Dr. H. Abuddin, MA, Metodologi Studi Islam, Cet. II; Jakarta:
Rajawali Press, 2008.
Suprayogo, Prof. Dr. Imam, dkk, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Cet. I;
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001.
Mudzhar, Atho, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, Cet. VIII;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Anda mungkin juga menyukai