Anda di halaman 1dari 16

PENELITIAN SOSIAL DAN PENELITIAN AGAMA

Makalah

Dipresentasikan dalam Seminar Mata Kuliah Metodologi Penelitian Sosial dan Agama
Program Studi Dirasah Islamiyah/Konsentrasi Syariah-Hukum Islam
Pascasarjana UIN Alauddin Makassar

Oleh:

Ma’adul Yaqien Makkarateng


NIM. 8010121407

Dosen Pemandu:

Prof. Dr. H. Musafir Pababbari, M.Si


Dr. Syarifuddin Jurdi, M.Si

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2015
2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dunia saat ini tengah memasuki era globalisasi dengan dampak negatif

dan positifnya, di antara dampak negatif tersebut misalnya terjadi dislokasi,

dehumanisasi, sekularisasi, dan sebagainya. Sedangkan dampak positifnya antara

lain semakin terbukanya berbagai kemudahan dan kenyamanan, baik dalam

lingkungan ekonomi, informasi, teknologi, sosial maupun psikologi.

Semua orang mungkin sepakat bahwa dalam era globalisasi tersebut

keutuhan manusia ingin tetap terpelihara dengan baik, dan ilmu pengetahuan

sosial diharapkan dapat menjadi salah satu alternative yang strategis bagi

pengembangan manusia Indonesia seutuhnya pada era globalisasi tersebut. Namun

demikian, ilmu pengetahuan sosial yang ada sekarang ini dinilai sudah mulai

kewalahan dan hampir gagal dalam ikut serta memeberikan kerangka pemecahan

sosial yangtimbul dalam era globalisasi tersebut, hal demikian antara lain

disebabkan karena dasar-dasar dan prinsip-prinsip yang dijadikan landasan dalam

ilmu pengetahuan sosial tersebut berasal dari filsafat barat yang bertumpu pada

logika rasional dan cara berpikir empirik.1

Agama merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah swt. untuk manusia.

Fungsi dasar agama adalah memberikan orientasi, motivasi dan membantu

manusia untuk mengenal dan menghayati sesuatu yang sakral. Lewat pengalaman

1
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA, Metodologi Studi Islam, (cet. II; Jakarta: Rajawali
Press, 2008), h. 53
3

beragama (religion experience), yaitu penghayatan kepada Tuhan, manusia

menjadi memiliki kesanggupan, kemampuan dan kepekaan rasa untuk mengenal

dan memahami eksistensi Sang Ilahi. Ini membuktikan bahwa manusia meyakini

akan adanya kekuatan supranatural yang berada di luar dirinya yang mampu

menjadi sumber kekuatan dan motivasi bagi dirinya.2

Agama sebagai refleksi atas cara beragama tidak hanya terbatas pada

kepercayaan saja, tetapi juga merefleksi dalam perwujudan-perwujudan tindakan

kolektivitas ummat. Perwujudan-perwujudan tersebut keluar sebagai bentuk

pengungkapan cara beragama, sehingga agama dalam arti umum dapat diuraikan

menjadi beberapa unsur atau dimensi religiositas, yaitu emosi keagamaan, sistem

kepercayaan, sistem upacara keagamaan dan ummat atau kelompok keagamaan.

Dipandang dari sudut sosiologis, agama merupakan kategori sosial dan

tidak empiris. Dalam konteks ini, agama dirumuskan dengan ditandai oleh tiga

corak pengungkapan universal, yaitu pengungkapan teoritis berwujud

kepercayaan (belief system), pengungkapan praktis sebagai sistem persembahan

(system of worship), dan pengungkapan sosiologis sebagai sistem hubungan

masyarakat (system of social relation). Di sini, agama secara teoritis merupakan

sistem yang mempunyai daya bentuk sangat kuat untuk membangun ikatan sosial

religius masyarakat. Bahkan agama mampu membentuk kategori sosial yang

terorganisasi sedemikian rupa atas dasar ikatan psikoreligius, dogma, atau tata

nilai spiritual yang diyakini bersama.3

2
H. M. Sayuthi Ali, Metodologi Studi Islam, (Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2002), h. 1
3
Drs. H. Muhammad Sayuthi Ali, Metode Peneltian Agama: Pendekatan Teori dan
Praktek, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h.8
4

Agama memiliki daya konstruktif membangun tatanan hidup masyarakat.

Terutama dalam masyarakat di mana nilai dan norma diterima dan diakui

keberadaannya. Oleh karena itu, pembangunan agama, pembinaan,

pengembangan, dan pelestarian menjadi agenda yang penting dan niscaya. Ini

berarti agama diakui memiliki peran transformatif dan motivator bagi proses

sosial kultural dalam masyarakat.4

Dengan demikian, dalam penelitian sosial dan penelitian agama tidak

selalu mesti dipisahkan karena ketika meneliti agama, maka yang diteliti adalah

bentuk pengalaman dari ajaran agama tersebut, atau agama yang nampak dalam

perilaku penganutnya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang masalah mengenai penelitian sosial dan agama

(merumuskan realitas sebagai medan penelitian sosial dan agama), maka penulis

merumuskan beberapa permasalahan yang akan menjadi fokus pembahasan dalam

makalah ini, yaitu :

1) Bagaimana merumuskan realitas sebagai medan penelitian sosial dan

agama?

2) Bagaimana hubungan penelitian sosial dan agama?

3) Bagaimana persamaan dan perbedaan penelitian sosial dan penelitian

agama?

4
Drs. H. Muhammad Sayuthi Ali, Metode Peneltian Agama: Pendekatan Teori dan
Praktek, h.9
5

BAB II

PEMBAHASAN

A. Merumuskan Realitas sebagai Medan Penelitian Sosial dan Agama

Realitas berupa fakta dan fenomena. Fakta adalah kejadian yang muncul

dalam kontak budaya di masyarakat. Fakta ada yang dapat diamati dan ada yang

hanya dapat dirasakan. Fakta adalah realitas yang benar-benar terjadinya atau ada.

Fakta dapat diamati dan mendukung hadirnya realitas. Sedangkan teralitas dapat

benar-benar terjadi, akan dan sedang terjadi. Realitas ini bersifat alamiah sehingga

wujudnya pun apa adanya. Realitas dan fakta tersebut akan memunculkan sebuah

fenomena. Maka tugas penelitian adalah mengolah fenomena tersebut agar

menjadi sebuah data yang akurat.

Realitas sosial dapat dibedakan dalam dua kategori yaitu: Pertama, realitas

dalam alam kodrat/alam anogranik (fisika/ilmu kealaman) dan realitas dalam alam

organik/alam hayat (biologi). Realitas dalam kedua alam ini bersifat empiris,

kuantitatif, materialistik, dan rasionalistik. Kedua, realitas dalam gejala-gejala

sosial budaya (termasuk gejala keberagaman). Ini merupakan gejala serupa

organik yang bersifat abstrak dan tak teraba. Lebih-lebih gejala sosial agama yang

berkaitan dengan keyakinan terhadap yang adikodrat (beyond be life).5

Gejala-gejala sosial-agama seperti budaya manusia dalam bertuhan, kohesi

kelompok dalam oraganisasi keagamaan, perilaku ritus dan sebagainya. Sungguh

merupakan gejala yang abstrak dan verbalisme. Gejala-gejala sosial-agama itu

dapat berupa tindakan-tindakan, ucapan-ucapan/ungkapan-ungkapan, sikap-sikap,

5
Prof. Dr. Imam Suprayogo dkk, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Cet. I; Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h. 24
6

simbol-simbol yang dihargai, cita-cita, emosi-emosi dan pikiran-pikiran yang oleh

pelakuya dianggap memiliki keterkaitan dengan hidup keberagamaannya atau

merupakan perwujudan dari ajaran atau doktrin agama yang diyakini.

Semua gejala keagamaan itu tidak sekedar dilihat bentuk, frekuensi

(intensitas), pola, melainkan (yang lebih penting) adalah pemaknaannya. Oleh

karena itu, realitas sosial dalam studi-studi sosial pada galibnya lebih banyak

bergumul dengan konsep-konsep atau konstruksi sosial (social construction).6

Persoalan yang muncul adalah bagaimana cara mendefinisikan realitas

sosial ke dalam suatu konsep, padahal realitas sosial itu bersifat kompleks dan

multidimensional. Maka seorang peneliti harus mengenali seluruh aspek yang

menjadi indikator dari realitas itu lalu melakukan imajinasi dan abstraksi yang

kemudian diformulasikan secara verbal menjadi rational construction yang disebut

konsep. Permbuatan konsep (konseptualisasi) ini sangat penting, karena

perbedaan konsep akan menghasilkan perbedaan temuan data, dan perbedaan

temuan data akan mengakibatkan perbedaan hasil analisis yang disebut

kesimpulan.

Persoalan berikutnya adalah siapakah yang membuat konsep, peneliti

(subjek peneliti) atau yang diteliti (subjek yang diteliti)? Paradigma kaum

strukturalis (paradigma makro) menyatakan bahwa peneliti yang berdasarkan

kepakaran atau berdasarkan teori-teori yang ada, mestinya harus mengenali,

mendefinisikan dan memformulasikan konsepnya. Realitas sosial tentang

kemiskinan misalnya, ditentukan oleh peneliti berdasarkan konsumsi kalori

perhari, keadaan fisik dan fasilitas yang dimiliki, dan sebagainya.7

6
Prof. Dr. Imam Suprayogo dkk, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, h. 24
7
Prof. Dr. Imam Suprayogo dkk, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, h. 25
7

Adapun paradigma kaum fenomenologis/interaksionis (mikro)

menyatakan bahwa konsep yang harus dipakai untuk menyatakan secara definitif

terhadap suatu objek harulah menurut pelaku sosial sebagai realitas.

Etos ilmu pengetahuan sosial adalah mencari kebenaran obyektif, yaitu

upaya untuk mencari kebenaran tentang realitas. Menurut kaum strukturalis,

realitas dan obyektifitas itu ditentukan oleh peneliti berdasarkan teori yang ada.

Karena itu, kebenaran bersifat subjectivied objectives atau objektif yang subjektif

menurut peneliti. Peneliti ibarat ahli biologi yang melihat bakteri melalui

mikroskop.

Sebaliknya, menurut kaum fenomenologis bahwa realitas sosial itu

sesungguhnya adalah struktur kognitif seseorang atau sejumlah orang dan berada

di alam imajinasi, pikiran, perasaan, dan cita. Hal inilah yang justru menjadi objek

kajian dalam ilmu-ilmu sosial yang utama dan pertama. Oleh karena itu,

subjektivitas awam itu justru merupakan objectivied subjectivies atau subjektif

yang objektif. Dalam hal ini, peneliti ibarat murid yang belajar dari masyarakat

yang diteliti.

B. Hubungan Penelitian Sosial dan Agama

Keterkaitan agama dengan masalah kemanusiaan sebagaimana tersebut

menjadi penting jika dikaitkan dengan situasi kemanusiaan di zaman modern ini.

Kita mengetahui bahwa dewasa ini manusia menghadapi berbagai macam

persoalan yang benar-benar membutuhkan pemecahan segera. Kadang-kadang

kita merasa bahwa situasi yang penuh dengan problematika di dunia modern
8

justru disebabkan oleh perkembangan pemikiran manusia itu sendiri. Di balik

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, dunia modern sesungguhnya

menyimpan suatu potensi yang dapat menghancurkan martabat manusia. Umat

manusia telah berhasil mengorganisasikan ekonomi, menata struktur politik, serta

membangun peradaban yang maju untuk dirinya sendiri, tetapi pada saat yang

sama, kita juga melihat bahwa umat manusia telah menjadi tawanan dari hasil

ciptaannya sendiri. Sejak manusia memasuki zaman modern mereka mampu

mengembangkan potensi-potensi rasionalnya, mereka memang telah

membebaskan diri dari belenggu pemikiran mistis yang irrasional dan belenggu

pemikiran hukum alam yang sangat mengikat kebebasan manusia. Tetapi ternyata

di dunia modern ini manusia tidak dapat melepaskan diri dari jenis belenggu yang

lain, yaitu penyembuhan kepada hasil ciptaan dirinya sendiri.

Dalam keadaan demikian, kita saat ini nampaknya sudah mendesak unutk

memiliki ilmu pengetahuan sosial yang mampu membebaskan manusia dari

berbagai problema tersebut. Ilmu pengetahuan sosial yang dimaksudkan adalah

ilmu pengetahuan yang digali dari nilai-nilai agama.8

Pada dasarnya, penelitian sosial merupakan penelitian pada keadaan-

keadaan yang dengan nyata terdapat dalam masyarakat atau masalah-masalah

kemasyarakatan. Sementara penelitian dalam bidang agama terkadang dipahami

dengan dua makna yang berbeda, yaitu penelitian agama dengan penelitian

keagamaan. Yang pertama lebih menekankan pada materi agama, sehingga

sasarannya adalah tiga elemen pusat, yaitu : ritus, mitos dan magik. Sedangkan

8
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA, Metodologi Studi Islam, h.54-55
9

yang kedua lebih menekankan kepada agama sebagai sistem atau sistem

keagamaan. Dengan demikian, sasaran penelitian agama adalah agama sebagai

doktrin, sedangkan sasaran penelitian keagamaan adalah agama sebagai gejala

sosial.9

Apabila penelitian keagamaan memandang agama sebagai gejala soaial,

maka tentu saja akan sangat erat hubungannya dengan penelitian sosial yang juga

meneliti berbagai keadaan dalam masyarakat. Penelitian agama sebagai usaha

akademis berarti menjadikan agama sebagai sasaran penelitian. Secara

metodologis, agama harus dijadikan sebagai suatu fenomena rill, meskipun agama

itu terasa abstrak.

Dari sudut pandang ini, dapat dibedakan tiga kategori agama sebagai

fenomena yang menjadi subject metter peneliti, yaitu agama sebagai doktrin,

dinamika dan struktur masyarakat dibentuk oleh agama, dan sikap masyarakat

pemeluk agama terhadap doktrin.

Kategori pertama bertolak dari keinginan untuk mengetahui dan

memahami esensi agama itu sendiri. Penelitian atau kajian yang banyak dilakukan

umumnya bercorak sejarah intelektual dan biografi tokoh agama. Teks-teks

keagamaan, tradisi dan catatan sejarah merupakan bahan-bahan utama yang harus

digali.

Kategori kedua adalah struktur dan dinamika masyarakat agama. Agama

di sini adalah landasan dari terbentuknya suatu komunitas kognitif. Artinya bahwa

agama merupakan awal dari terbentuknya komunitas atau kesatuan hidup yang

9
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, (Cet. VIII;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 13
10

diikat oleh keyakinan akan kebenaran hakiki yang sama, yang memungkinkan

berlakunya suatu patokan pengetahan yang sama pula.

Kategori ketiga adalah berusaha mengungkap sikap anggota masyarakat

terhadap agama yang dianutnya. Jika kategori pertama mempersoalkan substansi

ajaran, dengan segala refleksi terhadap ajaran, sedangkan kategori ketiga adalah

usaha untuk mengetahui corak pemahaman masyarakat terhadap simbol dan

ajaran agama.

Jika dilihat dari dua kategori terakhir ini, maka dapat dipahami bahwa

penelitian sosial dan agama memiliki hubungan yang sangat erat dan tak dapat

dipisahkan satu sama lain. Sebab, ketika melakukan penelitian terhadap agama,

maka hampir tidak terlepas dari penggunaan pendekatan-pendekatan atau pun

kerangka metodologis ilmu-ilmu sosial. Dalam konteks ini, secara sosiologis

misalnya, agama dianggap sebagai bagian dari konstruksi realitas sosial. Dengan

demikian, penelitian sosial jika dihubungkan dengan penelitian agama semuanya

dapat dikatakan merupakan paradigma penelitian yang bersifat empiris.10

Penelitian sosial dan agama semakin terlihat hubungannya yang erat

dengan melihat faktor sosial dalam agama terdiri dari berbagai pengaruh terhadap

keyakinan dan perilaku keagamaan. Sehingga ketika seorang peneliti ingin

mengetahui tingkat keberagamaan seseorang atau suatu kelompok masyarakat,

maka ia juga harus meneliti perilaku seseorang atau masyarakat tersebut. Sebab,

tingkat keberagamaan seseorang lebih banyak nampak pada perilakunya dalam

bermasyarakat. Dalam hal ini, agama dianggap sebagai bagian dari konstruksi

10
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, h. 14
11

realitas sosial. Dengan demikian, apabila dilihat dari sisi tersebut, maka dapat

dikatakan bahwa penelitian sosial merupakan paradigma penelitian agama yang

bersifat empiris.

C. Persamaan dan Perbedaan Penelitian Sosial dan Penelitian Agama

Telah banyak dikemukakan bahwa objek penelitian sosial adalah manusia

dan segala sesuatu yang dipengaruhi dan mempengaruhi manusia. Oleh karena itu,

sumber data dalam penelitian bidang sosial akan selalu berhubungan dan

dipengaruhi oleh keunikan manusia. Keunikan itu berasal dari individualitas

manusia sebagai perpaduan/kesatuan unsur fisik dan psikis yang tidak sama satu

sama lain. Sehingga dalam hal ini, objek dalam penelitian sosial tentunya manusia

dengan segala perilakunya dalam kehidupannya.11

Di satu sisi, kenyataan telah membuktikan bahwa manusia sangat

membutuhkan agama, di mana harapan untuk mendapatkan keamanan dengan

menggunakan kekuatan-kekuatan spiritual yang dianggap sebagai salah satu

sumber sikap keagamaan. Karena itu, masalah keagamaan adalah masalah yang

senantiasa menyertai kehidupan ummat manusia sepanjang sejarahnya

sebagaimana masalah sosial lainnya. Sikap keberagamaan kini telah menjadi

bagian dari kebudayaan manusia yang telah dikembangkan sedemikian rupa, baik

berupa ritus, pranata sosial, maupun perilaku dalam berbagai dimensinya.

Ilmu pengetahuan sosial dengan berbagai paradigma dan metodenya,

dikembangkan dalam rangka mengkaji perilaku manusia, termasuk dalam perilaku

11
Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, (Cet. V; Jakarta: PT. Raja Grapindo
Persada, 2001), h. 17
12

beragama. Karena itu, sebuah penelitian disebut sebagai penelitian agama atau

penelitian sosial didasarkan pada objek yang dikaji, bukan karena metodologinya.

Objek studilah yang akan menentukan metode, bukan sebaliknya. Misalnya,

perilaku poligami masyarakat pengusaha dikatakan sebagai penelitian agama

ketika dihubungkan dengan keberagamaannya. Tetapi dikatakan sebagai

penelitian sosial apabila dihubungkan dengan misalnya, kondisi ekonomi atau

pranata sosial. Oleh karena itu, penelitian tentang fenomena keberagamaan oleh

sebagian ahli dikatakan sebagai bagian dari penelitian sosial atau penelitian sosial

keagamaan.

Menurut Mattulada, bahwa untuk menentukan metode yang relevan dalam

mengkaji agama sebagai fenomena sosial-budaya, tidaklah sulit. Menurutnya,

ilmu pengetahuan sosial dengan cara, metode, teknik dan peralatannya masing-

masing dapat mengamati dengan cermat perilaku manusia itu hingga menemukan

segala unsur yang menjadi komponen terjadinya perilaku itu.12

Sementara menurut Dhavamony, bahwa fokus penelitian agama adalah

fakta agama dan pengungkapannya.13 Untuk itu, dapat dilakukan oleh berbagai

disiplin ilmu, meskipun membahas pokok pembicaraan yang sama, namun

berbagai disiplin tersebut mengkajinya dalam perspektif masing-masing sesuai

dengan objek formalnya.

Metode ilmu sejarah menekankan proses terjadinya perilaku manusia

dalam masyarakat dan membaginya dalam tahap-tahap tertentu (periodesasi)

secara kronologis. Proses itu menjelaskan awal kejadian dan faktor-faktor yang
12
Mattulada, Studi Islam Kontemporer : Sintesis Pendekatan Sejarah, Sosiologi dan
Antropologi dalam Mengkaji Fenomena Keagamaan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), h. 3
13
Prof. Dr. Imam Suprayogo dkk, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, h. 26
13

ikut berperan di dalamnya. Metode sejarah yang dengan amat teliti mengamati

suatu proses sosial budaya dapat digunakan untuk memahami proses formasi

sebuah agama, persebaran agama ke seluruh perkumpulan hidup manusia. Dengan

singkat, sejarah agama mengkaji proses sebuah agama dari pertumbuhan,

perkembangan dan kehancurannya.

Metode antropologi mempelajari terbentuknya pola-pola perilaku dalam

tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan manusia; bagaimana doktrin dan

simbol-simbol agama dipahami, disosialisasikan dan diinternalisasi dalam sistem

budaya setempat. Melalui metode antropologi ini, diketahui keragaman dan

keunikan pola, corak, tingkat dan stereotype keberagamaan suatu komunitas. Style

keberagamaan dalam lingkungan sekte maupun ormas-ormas dapat dikaji dalam

perspektif antropologi ini.

Metode sosiologi mengkaji posisi dan peranan tertentu dari seseorang atau

sekelompok orang. Posisi dan peranan-peranan itu menyatakan diri dalam

kehidupan bersama, sehingga kehidupan sosial dapat terselenggara melalui

hubungan-hubungan fungsional dalam masyarakat, yang bersumber dari

kedudukan dan peranannya dalam kehidupan ummat beragama. Dengan beberapa

paradigma, teori dan metode, dengan cermat sosiologi mengkaji perilaku

beragama individu dan kelompok, hubungan antar kelompok, dan hubungan antar

masyarakat (agama).

Metode psikologi agama mengkaji perilaku beragama dan pengalaman

beragama dalam hubungannya dengan kondisi kejiwaan seseorang; bagaimana

hubungan agama dengan kondisi kejiwaan seseorang dalam berbagai peristiwa,


14

seperti kematian, tertimpa bencana dan sebagainya. Fenomena keagamaan seperti

pelaksanaan ritus-ritus maupun upacara-upacara keselamatan akan dapat dicermati

dengan teliti melalui psikologi agama.14

Setelah memperhatikan metode-metode tersebut, semuanya dapat

digunakan dalam penelitian agama. Dari sini dapat dipahami bahwa metodologi

penelitian sosial dan agama memiliki persamaan dan perbedaan. Karena itu,

sebagaimana telah dikemukakan di awal tadi bahwa sebuah penelitian disebut

penelitian agama bukan karena metodenya, melainkan karena objek kajiannya.

Dengan demikian, letak persamaan dan perbedaan antara penelitian agama dan

penelitian sosial terdapat pada objeknya.

Dalam hal ini, objek penelitian agama terdiri dari dua kelompok: pertama,

agama sebagai norma yang lebih dominan watak teologisnya, kedua, agama

sebagai fenomena sosial yang bersifat historis. Dengan objek tersebut, berarti

penelitian agama memiliki dua pendekatan, yaitu normativitas dan historitas.

14
Prof. Dr. Imam Suprayogo dkk, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Cet. I; Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h. 18-19
15

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Realitas dalam medan penelitian merupakan kejadian yang muncul dan

benar-benar terjadi dalam kontak budaya di masyarakat. Dalam hal ini,

fakta ada yang dapat diamati dan ada yang hanya dapat dirasakan. Gejala-

gejala sosial-agama seperti budaya manusia dalam bertuhan, kohesi

kelompok dalam organisasi keagamaan, perilaku ritus dan sebagainya.

Sungguh merupakan gejala yang abstrak dan verbalisme. Gejala-gejala

sosial-agama itu dapat berupa tindakan-tindakan, ucapan-

ucapan/ungkapan-ungkapan, sikap-sikap, simbol-simbol yang dihargai,

cita-cita, emosi-emosi dan pikiran-pikiran yang oleh pelakunya dianggap

memiliki keterkaitan dengan hidup keberagamaannya atau merupakan

perwujudan dari ajaran atau doktrin agama yang diyakini. Perilaku inilah

yang akan menjadi objek kajian pada penelitian sosial dan agama.

2. Penelitian sosial dan agama memiliki hubungan yang sangat erat dan tak

dapat dipisahkan satu sama lain. Sebab, ketika melakukan penelitian

terhadap agama, maka hampir tidak terlepas dari penggunaan pendekatan-

pendekatan atau pun kerangka metodologis ilmu-ilmu sosial. Dalam

konteks ini, secara sosiologis misalnya, agama dianggap sebagai bagian

dari konstruksi realitas sosial. Dengan demikian, penelitian sosial jika

dihubungkan dengan penelitian agama semuanya dapat dikatakan

merupakan paradigma penelitian yang bersifat empiris.


16

3. Setelah memperhatikan metode-metode yang digunakan dalam penelitian

sosial, semuanya dapat digunakan dalam penelitian agama. Dari sini dapat

dipahami bahwa metodologi penelitian sosial dan agama memiliki

persamaan dan perbedaan. Karena itu, sebagaimana telah dikemukakan di

awal tadi bahwa sebuah penelitian disebut penelitian agama bukan karena

metodenya, melainkan karena objek kajiannya. Dengan demikian, letak

persamaan dan perbedaan antara penelitian agama dan penelitian sosial

terdapat pada objeknya.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, H. M. Sayuthi, Metodologi Studi Islam, Cet. I; Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002.
______, Drs. H. Muhammad Sayuthi, Metode Peneltian Agama: Pendekatan
Teori dan Praktek, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Faisal, Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial, Cet. V; Jakarta: PT. Raja
Grapindo Persada, 2001.
Mattulada, Studi Islam Kontemporer : Sintesis Pendekatan Sejarah, Sosiologi dan
Antropologi dalam Mengkaji Fenomena Keagamaan, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1989.
Nata, Prof. Dr. H. Abuddin, MA, Metodologi Studi Islam, Cet. II; Jakarta:
Rajawali Press, 2008.
Suprayogo, Prof. Dr. Imam, dkk, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Cet. I;
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001.
Mudzhar, Atho, Pendekatan Studi Islam Dalam Teori dan Praktek, Cet. VIII;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Anda mungkin juga menyukai