Anda di halaman 1dari 23

Tugas III

Review Buku
Strukturalisme Levi Strauss
Mitos dan Karya Sastra
Karya Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra

Oleh : Asep Zery Kusmaya

NIM: 420185

Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa

Sekolah Pascasarjana

Universitas Gajah Mada

2017
Judul : Strukturalisme Levi Strauss, Mitos dan Karya Sastra

Judul Sampul : Geliat dan Nuansa Struktur

Penulis : Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra

Ide Desain Sampul : Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra

Realisasi Ide : Pang Warman

Setting & Layout :Ijus

Penerbit : Kepel Press

ISBN : 979-96230-6-5

Cetakan : 2006

Ringkasan Materi Buku

Buku yang berjudul Strukturalisme Levi Strauss Mitos dan Karya Sastra ini ditulis oleh

Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, dengan tebal 493 halaman yang didalamnya dibagi

menjadi 10 bab. Pada Bab 1 diuraikan mengenai sejarah hidup Levi Strauss dan proses

pengalaman akademisnya yang membawa nama Levi Strauss kepuncak tokoh strukturalisme.

Pada bab 1 Prof Heddy menguraikan bagaimana perjalanan hidup Levi Strauss baik

dari sisi indualnya sampai proses akademisnya yang membawa nama Levi Strauss ke puncak

tokoh strukturalisme. Prof Heddy menguraikan bahwa Levi Strauss adalah antropologi

berkebangsaan Perancis, keturunan Yahudi. Dia lahir di Brussles Belgia pada tanggal 28

November 1905, dari ayah bernama Raymond Levi-Strauss dan ibu emma Levy (Ahimsa-

Putra 2006:8).

Levi Strauss menikah pada tahun 1932 dengan Dina Dreyfus (Ahimsa-Putra 2006:9).

Didalam buku di halaman 10 diuraikan bahwa karir Levi Strauss dalam dunia antropologi

bermula pada musim gugur tahun 1934, pada saat itu Levi Strauss di hubungi oleh Celestin
Bougle (pembimbing tesis master filsafat Levi Strauss), agar melamar menjadi staf pengajar

dalam bidang Sosiologi di Universitas Sao Paulo-Brazilo. Dari situlah Levi Strauss kemudian

melakukan penelitian lapangan pada suku-suku Indian yang akhirnya melahirkan karya

berupa laporan perjalanan dan autobiografi berjudul Tristes Tropique. Buku ini menjadi

semacam ethnographic baptism bagi Levi Strauss (Ahimsa-Putra 2006:11). Puncak karir Levi

Strauss dalam bidang antropologi bermula ketika Levi Strauss diminta untuk memanfaatkan

rencana Yayasan Rockefeller untuk menyelamatkan pemikir Eropa berdarah Yahudi dari

kekejaman Nazi (Ahimsa-Putra 2006:13). Di Amerika Levi Strauss akhirnya tinggal di New

York sekaligus mengajar di New School for Social Research dan mengajar etnologi di New

York Ecole Libre des Hautes Etudes. Levi Strauss akhirnya berhasil menulis disertasi

doktoralnya yang berjudul Les Structures Elementaries de la Perente (The Elementaries

Structures of Kinship) (Ahimsa-Putra 2006:14). Karya Monumental Levi Strauss adalah buku

tetralogi mengenai mitos-mitos orang Indian di Amerika dengan menggunakan analisis

struktural, yaitu: The Raw and The Cooked, From Honey to Ashes, The Origin of Table

Manner, dan The Naked Man. Pada uraian bab 1 terlihat bahwa lika liku kehidupan

seseorang ilmuan memang tidak mudah untuk mencapai puncak karir nya, yang terlihat dari

jalan kehidupan Levi Strauss yang di ceritakan oleh Prof Heddy adalah langkah awal sangat

menentukan dalam menentukan langkah selanjutnya, karena langkah awal merupakan

momentum yang kadang tidak dapat diulang dua kali. Begitu yang tercermin dalam

kehidupan Levi Strauss. Selain itu keluarbiasaan Levi Strauss dalam bidang antropologi tidak

diraihnya daribidang pendidikan sarjananya, tapi berawal dari pertemanan dengan beberapa

ahli bahasa (Jakobson), ahli filsafat dan psikoanalisa (Lacan) dan beberapa ahli lain

khususnya pada bidang antropologi. Baru dari momentum pergaulan tersebut Levi Strauss

menyusun teori strukturalnya secara luar biasa. Disini dapat dilihat bahwa kondisi ini

mungkin kurang lebih sama dengan yang ada di indonesia, yaitu realita bahwa realitas
pergaulan sebenarnya lebih menentukan untuk mencapai kesuksesan dalam suatu bidang, dari

pada pendidikan jika dilihat dari strata sarjana S1. Hal tersebut terbukti bahwa banyak lulusan

S1 kita yang tidak linier antara pekerjaan dan pendidikan sarjananya. Tentu saya tidak

menggeneralisir semuanya seperti itu, akan tetapi dapat dilihat bersama sebagaian besar

sarjana kita melenceng dari pendidikan sarjananya. Maka saya pun bertanya, sebenarnya apa

fungsi dari pendidikan S1 di Indonesia selama ini?

Selanjutnya pada bab 2 buku ini terbagi menjadi 4 sub bab yaitu: (1) Levi Strauss,

Bahasa dan Kebudayaan, (2) Levi Strauss dan Linguistik Struktural, (3) Makna, Struktur dan

Tranformasi, (4) Beberapa Asumsi Dasar. Pada awal dari bab 2 disampakai alasan Levi

Strauss memilih model dari linguistik dalam pendekatan strukturalnya. Ada tiga pandangan

para ahli antropologi termasuk pandangan Levi Strauss, mengenai hubungan kebudayaan

dengan bahasa, yaitu: bahasa yang digunakans suatu masyrakat dipandang sebagai

refleksidari keseluruhan kebudayaan masyarakat, bahasa adalah bagian dari kebudayaan dan

merupakan unsur dari kebudayaan yang universal, bahasa merupakan kondisi bagi

kebudayaan. Pandangan ketiga dapat berarti dua hal yaitu bahasa merupakan kondisi

kebudayaan dalam arti diakronis, bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan karena material

yang digunakan untuk membangun bahasa pada dasarnya adalah material yang sama tipe/

jenisnya dengan material yang membentuk kebudayaan itu sendiri. Dari ketiga pandangan

tersebut Levi Strauss memilih pandangan yang terakhir (Ahimsa-Putra 2006:24-25). Levi

Strauss memandang fenomena kebudayaan sama seperti gejala kebahasaan yaitu kalimat dan

teks, alasannya adalah fenemena atau gejala kebudayaan mempunyai makna tertentu yang

menunjukan adanya pemikiran tertentu, dan mereka menghasilkan makna ini lewat semacam

mekanisme artikulasi (Ahimsa-Putra 2006:30-31). Artinya bahwa gejala kebahasaan

mempunyai kesamaan dengan gejala kebudayaan, yaitu sama-sama mempunyai makna


tertentu dan mempunyai sebuah mekanisme artikulasi dari bagian-bagian yang membentuk

fenomena, seperti kata dalam sebuah kalimat.

Selanjutnya dipaparkan tentang ahli-ahli linguitik struktural yang berpengaruh pada

pemikiran struktural Levi Strauss, yaitu: Ferdinand de Saussure, Roman Jakobson, dan

Nikolai Troubetzkoy (Ahimsa-Putra 2006:33). Berikut diuraikan sekitas tentang pemikiran

ketiga ahli linguitik tersebut secara garis besar. Ferdenand de Saussure adalah seorang ahli

linguitik berkebangsaan Swiss. Menurut Saussure bahasa pada dasarnya merupakan sebuah

sistem tanda (sign). Tanda adalah juga kesatuan bentuk penanda yang disebut signfier,

dengan sebuah ide atau tinanda, yang disebut signified. Suara yang muncul dari sebuah kata

yang diucapkan atau bisa juga tulisan (aspek material) itu yang dimaksud dengan penanda

(signfier), sedangkan konsep atau idenya atau apa yang dimaksudkan tanda itu yang

dimaksud dengan tinanda (signfied). Hubungan antara petanda dan tinanda bersifat arbitrer,

artinya semena-mena. Tidak ada hubungan atau relasi alami dari kedua unsur tersebut

(Ahimsa-Putra 2006:34-36). Saussure juga menjelaskan bahwa unit kebahasaan adalah

bentuk, wadah (form) bukan isi (subtance). Wadah disini merupakan kerangkat konseptual

dari sistem bahasa, sedangkan isi adalah wujud dari kerangka konseptual tersebut. Selain itu

dalam bahasa menurut Saussure, bahasa memiliki dua aspek yaitu langue dan parole. Langue

adalah sebuah sistem, sebuah fakta sosial, atau aturan-aturan, norma-norma, antarperson

(interpersonal rules and norms) yang bersifat tidak disadari (Ahimsa-Putra 2006:43). Langue

dapat dilekatkan atau merupakan bentuk besar atau sistem dari wadah (form) tadi. Sedangkan

parole adalah wujud atau aktualisasi dari langue dalam rupa lisan maupun tulisan (Ahimsa-

Putra 2006:43). Begitu pula parole merupakan sebuah sistem dari isi (content) tadi. Saussure

juga menjalskan bahwa dalam bahasa ada hubungan atau relasi-relasi yang yang bersifat

sintagmatik dan paradigmatik. Hubungan sintagmatik adalah hubungan yang dimilikinya

(suatu kata) dengan kata-kata yang dapat berada didepannya atau dibelakangnya dalam
sebuah kalimat (Ahimsa-Putra 2006:47). Hubungan tersebut tentunya merupakan hubungan

yang bersifat logis atau mempunyai makna. Sedangkan hubungan paradigmatik adalah

hubungan asosiatif atau hubungan pengertian antara suatu kata dalam tuturan dengan kata-

kata yang lain (Ahimsa-Putra 2006:48).

Tokoh selanjutnya yang mempengaruhi Levi Strauss dalam hal linguistik strukturalnya

adalah Roman Jakobson. Menurut Jakobson unsur bahasa yang paling dasar adalah bunyi

atau fonem. Fonem adalah satuan bunyi terkecil dan berbeda yang tidak dapat bervariasi

tanpa mengubah kata dimana fonem itu berada. Jakobson juga yakin bahwa fungsi utama dari

suara dalam bahasa adalah untuk memungkinkan manusia membedakan unit-unit semantis,

unit-unit bermakna, dan ini dilakukan dengan mengetahui ciri-ciri pembeda (distinctive

features) dari suatu suara yang memisahkan dengan ciri-ciri yang (Ahimsa-Putra 2006:55).

Tokoh ketiga yang mempengaruhi Levi Strauss adalah Nikolai Troubetzkoy, adalah

seotah ahli fonologi berkebangsaan Rusia (Ahimsa-Putra 2006:58). Pendapat Troubetzkoy

menyatakan bahwa fonem merupak konsep linguistik bukan konsep psikologi. Keberadaan

fonem dalam bahasa bersifat tidak disadari atau nirsadar. Ahli fonologi seharusnya menurut

Troubetzkoy mengarahkan perhatian pada distinctive features, ciri-ciri pembeda yang

mempunyai fungsi operasional dalam suatu bahasa (Ahimsa-Putra 2006:59).

Untuk memehami strukturalisme Levi Strauss kita harus memahami konsep struktur

dari Levi Strauss. Struktur adalah model yang dibuat oleh ahli antropologi untuk memahami

atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya, yang tidak ada kaitannya dengan

fenomena empiris kebudayaan itu sendiri. Model ini merupakan relasi-relasi yang

berhubungan satu sama lain saling mempengaruhi, dengan kata lain struktur adalah relation

of relation. Struktur dibagi menjadi dua yaitu struktur luar (surface structure) dan Struktur

dalam (deep structure). Struktur luar adalah relasi-relasi antarunsur yang dapat kita buat atau

kita bangun berdasarkan atas ciri-ciri luar atau ciri-ciri empiris dari relasi-relasi tersebut.
Struktur dalam adalah susunan tertentu yang kita bangun berdasarkan atas struktur lahir atau

struktur luar tadi yang telah berhasil kita buat namun tidak selalu tampak pada sisi empiris

dari fenomena yang kita pelajari atau amati(Ahimsa-Putra 2006:61). Selain itu kita juga harus

memahami konsep transformasi Levi Strauss, yang sedikit berbeda dengan istilah

transformasi pada umumnya yang sering dilekatkan pada perubahan (change). Sedangkan

transformasi menurut Levi Strauss adalah alih rupa setiap unit gejala kebudayaan ke unit

gejala kebudayaan pada tingkat struktur luar bahkan sampai struktur dalam. Transformasi

disini juga berarti merupakn alih kode. Dalam perspektif struktural kebudayaan pada

dasarnya rangkaian tranformasi dari struktur tertentu yang ada dibaliknya, yang akhirnya

akan melihat fenomena yang kita teliti memperlihatkan struktur tertentu yang bersifat tetap,

tidak berubah sama sekali, dan struktur ini yang kemudian disebut sebagai struktur dalam

(Ahimsa-Putra 2006:61-63). Dari sana terlihat bahwa tujuan utama dari strukturalisme Levi

Strauss dalam mendapat struktur fenomena kebudayaan yang yang bersifat ajeg yang

kemudian disebut sebagai deep structure atau struktur dalam. Akan tetapi saya mulai

bertanya bagaimana kita dapat melihat struktur luar jangan dulu melihat struktur dalam-

dengan tepat, jika pendekatan empiris saja sudah memuat distorsi atau bias? Dalam arti

bahwa kemampuan indra kita memang dapat menipu, bagaimana cara memastikan struktur

luar agar terhindar dari bias atau distorsi indra tersebut, terlepas dari pendekatannya

strukturalnya? Atau bagaimana strukturalisme dapat membuat struktur tentang kepentingan

dan hasrat manusia yang didalamnya termuat relasi begitu acak didalamnya? Bukankah akan

sangat sulit untuk membuat model-model universal yang tetap tidak berubah.

Ada beberapa asumsi dasar dari strukturalisme yang mungkin dapat membantu kita

untuk memahami jalan pemikiran dari aliran strukturalisme Levi Strauss. Dalam Ahimsa-

Putra (2006:66-69) disampaikan beberapa asumsi dasar strukturalisme Levi Strauss adalah

sebagai berikut:
1. Bebagai aktifitas sosial dan hasilnya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai

bahasa-bahasa, atau lebih tepatnya merupakan perangkat tanda dan simbol yang

menyampaikan pesan tertentu.

2. Dalam diri manusia terdapat kemampuan genetis, yaitu kemampuan structuring untuk

menstruktur, menyusun suatu struktur atau menempelkan suatu struktur tertentu pada

gejala-gejala yang dihadapinya.

3. Relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena yang lainnya pada titik waktu

tertentu inilah yag menentukan makna fenomena tersebut.

4. Relasi-relasi yang ada pada struktur dapat diperas dan disederhanakan lagi menjadi

oposisi berpasangan (binary opposition).

Selanjutnya pada bab 3 disampaikan mengenai kajian mitos yang dilakukan oleh Levi

Strauss. Alasan Levi Strauss mengapa tertarik untuk menganalisi mitos karena mitos

berususan dengan nalar manusia, yang notabene nalar tersebut bersifat nirsadar dalam gejala

sosial (Ahimsa-Putra 2006:75). Mitos dalam strukturalisme Levi Strauss tidak dipahami

sebagaimana dalam kajian mitologi. Mitos dalam konteks strukturalisme Levi Strauss tidak

lain adalah dongeng (Ahimsa-Putra 2006:77). Mengapa sebuah dongeng berususan dengan

nalar manusia, karena dongeng merupakan sebuah kisah atau ceritera yang lahir dari hasil

imajinasi manusia, dari khayalan manusia walaupun unsur-unsur khayalan tersebut berasal

dari apa yang ada dalam kehidupan sehari-hari (Ahimsa-Putra 2006:77). Jadi dalam dapat

dilihat bahwa dalam sebuah dongeng memang unsur pembentuknya adalah nalar yang sudah

berbekal modal sejarah (kehidupan yang sudah dilewati). Cara Levi Strauss menganalisis

mitos dari berbagai daerah terutama benua Amerika, dengan menggunakan pendekatan

linguistik. Pendekatan itu didasarkan pada persamaan-persamaan yang tampak antara mitos

dan bahasa (Ahimsa-Putra 2006:79). Persamaan antara mitos dan bahasa adalah sama-sama

sebagai alat komunikasi, dan sama-sama mempunyai dua aspek yaitu lingue dan parole,.
Akan tetapi bukan berarti mitos dan bahasa tidak mempunyai perbadaan, akan tetapi

perbedaan tersebut juga digunakan oleh Levi Strauss sebagai daya guna dalam analisisnya.

Salah satu perbedaannya adalah jika mitos berada pada reversible time dan non-reversible

time sekalisgus, berbeda halnya dengan bahasa. Selain itu jika bahasa memiliki sisi sinkronis

dan diakronis yang terpisah, dalam mitos terdapat sisi sinkronis, diakronis yang menyatu

(pankronis) (Ahimsa-Putra 2006:82) . Metode analisis struktural Levi Strauss diinspirasi oleh

metode analisis linguistik struktural dari Jakobson tentang sistem fonem dalam bahasa.

Dalam analisis struktural Levi Strauss mengenai mitos khususnya muncul istilah miteme,

yang terinspirasi dari istilah fonem dari Jakobson. Mitheme menurut Levi Strauss merupakan

unsur-unsur dalam kontruksi wacana mitis (mythical discourse), yang merupakan yang

bersifat kosokbali/ berlawanan (oppositional), relatif dan negatif (Ahimsa-Putra 2006:94).

Levi Strauss juga melihat persamaan mitos dengan musik, hal tersebut dapat dilihat dari

dalam pembuka buku The Raw and The Cooked, Strauss memakai istilah overture. Levi

Strauss ingin memperlakukan rangkaian-rangkainan mitos dan mitos itu sendiri (yang

memperlihatkan hubungan timbal balik), seperti memperlakukan bagian dari suatu karya

musik (Ahimsa-Putra 2006:87-88). Baik mitos maupun musik bekerja melalui dua jenis kisi

yaitu kisi internal dan kisi eksternal (Ahimsa-Putra 2006:87-88). Artinya baik mitos maupun

musik bekerja dua sisi yang satu bagian internal atau kisi dalam musik atau mitos itu sendiri,

sedangkan kisi eksternal lebih bersifat kultural, atau pengaruh luar. Selain pada akhir dari bab

3 dibahas juga mengenai analisis struktural dari kajian mitos Levi Strauss. Analisis struktural

Levi Strauss atas mitos sebenarnya diilhami oleh teori informasi (Leach, 1974), atau lebih

tepatnya mungkin teori komunikasi (Ahimsa-Putra 2006:87-92). Dongeng dalam kajian mitos

Levi Strauss dipahami sebagai pesan atau memuat pesan-pesan. Dongeng tersebut tidak

diketahui dengan jelas siapa yang menyampaikan akan tetapi jelas siapa yang menerimanya

mungkin dapat disebut generasi leluhur (generasi penerima pesan mitos/generasi sekarang).
Agar pesan dari mitos tersebut sampai secara utuh pada generasi sekarang (yang menerima

pesan tersebut tersebut), perlu dilakukan komunikasi yang berulang-ulang, karena dalam

penyampaian pesan sangat banyak sekali faktor yang menghalangi pesan tersebut sampai

pada penerima. Hasilnya adalah sebuah indeks data pesan yang kemudian disusun secara

vertikal dan horizontal. Horizontal mewakili deret pesan yang sampai pada penerima, vertikal

mewakili jumlah penyampaian pesan, sehingga akhirnya akan terlihat seperti partitur musik

yang kemudian untuk memahaminya dibutuhkan pembacaan secara horizontal (melodius/

solo), vertikal (harmoni/ bersama). Dari pembacaan tersebut makan ada dua dimensi yaitu

horizontal dan vertikal, sintagmatis dan paradigmatis, diakronis dan sinkronis.

Selanjutnya pada bab 4 dalam buku ini dibahas tentang analisis mitos Levi Strauss pada

dongeng Oedipus, yang merupakan penjelajahan awal Levi Strauss pada bidang

strukturalisme. Dalam menganalisis kisah Oedipus Levi Strauss beranggapan bahwa setiap

mitos dapat dipenggal menjadi segmen-segmen atau peristiwa-peristiwa. Setiap segmen harus

memperlihatkan relasi antarindividu yang merupakan tokoh-tokoh dalam peristiwa tersebut,

atau menunjuk pada status-status dari individu-individu disitu. Segmen inilah yang kemudian

disebut mytheme (miteme) (Ahimsa-Putra 2006:102). Kemudian segmen-segmen tersebut

ditafsirkan dengan menempelkan atribut atau makna dari masing-masing segmen tersebut.

Kemudian menurut Levi Strauss miteme-miteme (yang telah diberi atribut) tersebut disusun

dalam sebuah tabul secara sintagmatis dan paradigmatis (hal ini memperlihatkan pengaruh

pandangan Saussure pada Levi Strauss), yang akhirnya dapat dilihat seperti pembacaan pada

partitur musik(Ahimsa-Putra 2006:104). Kemudian didapatlah sebuah kolom yang menjadi

alat kita untuk menganalisis berbagai relasi-relasi dalam kolom tersebut, yang kemudian

memunculkan sebuah logika.

Menurut levi Strauss logika mitos yang ingin diungkapkannya adalah logika mitos yang

mencerminkan cara kerja nalar manusia. Levi Strauss juga berpendapat bahwa dengan
menganalisis mitos-mitos yang seperti itu akan lebih mampu memperlihatkan bahwa berbagai

bentuk simbolisasi yang ada dalam mitos-mitos tersebut memang mengalami transformasi-

transformasi dan transformasi ini mengikuti aturan-aturan logika tertentu (logical rules)

secara ketat (Ahimsa-Putra 2006:106-109). Kemudian dalam buku tersebut diuraikan

mengenai kisah si Asdiwal., yang menurut saya dongeng tersebut diuraikan untuk memahami

bagaimana sebuah kisah atau mitos dapat dicerap saripati dari mitema-miteme yang telah

dipenggal-penggal yang akhirnya kita dapat melihat tataran-tataran dari kisah tersebut.

Tataran dimaksudkan disini adalah sudut pandang-sudut pandang yang ada dalam kisah

tersebut. Contohnya dalam analisis Levi Strauss tentang kisah si Asdiwal, terbagi menjadi

tataran yaitu (1) tataran geografis, (2) tataran tecno-economy, (3) tataran sosiologis, dan (4)

tataran kosmologis (Ahimsa-Putra 2006:121). Dalam dongeng tersebut juga Levi Strauss juga

melihat ada dua aspek yaitu aspek urutan yang terdapat dalam jalan cerita secara kronologi,

dan aspek skemata yaitu aspek dimana beberapa skema muncul secara tumpang tindih

(Ahimsa-Putra 2006:124). Selanjutnya diuraikan menganai mitos-mitos dari wilayah

Amerika Selatan, dengan analisis yang kurang lebih sama dengan analisis sebelumnya, yaitu

dengan memilah mitema-miteme yang kemudian dilanjutkan dengan menempelkan atribut

atau penafsiran yang kemudian di tarik kesimpilan dengan menghadirkan skema-skema yang

ada pada kisah mitos tersebut. Dari uraian mitos-mitos tersebut disimpulakan bahwa nalar

mitis bekerja dengan cara yang khas dan unik, yaitu menggunakan beberap kode dan sistem

kode secara bersamaan untuk memecahkan beberapa persoalan. Masing-masing sistem kode

menggunakan mengungkapkan properti-properti, ciri-ciri, sifat-sifat yang tersembunyi dari

suatu bidang pengalaman tertentu, yang kemudia memungkan dibandingkan dengan properti,

ciri dan sifat yang ada pada bidang lain, disini terjadi semacam penerjemahan properti, ciri,

dan sifat suatu bidang ke bidang yang lain (Ahimsa-Putra 2006:158-159).


Selanjutnya disampaikan tentang kritik dan komentar ahli-ahli antropologi dunia

terhadap strukturalisme Levi Strauss. Kritik tersebut dikelompokan menjadi tiga kategori

yaitu: (1) kritik terhadap perangkat dan metode analisis; (2) kritik terhadap data etnografi dan

interpretasinya; dan (3) kritik terhdap hasil analisa atau kesimpulannya. Kritik menganai

perangkat dan metode analisis juga dapat kita bagi menjadi tiga yaitu: (1) cara menggunakan

konsep-konsep analisis (2) konsistensi atau keajegan dalam menggunkan prosedur analisis;

dan (3) reduksi yang terjadi dalam proses analisis (Ahimsa-Putra 2006:161).Kritik mengenai

penggunaan konsep analisis strukturalisme Levi Strauss datang Mary Douglas, seorang ahli

antropologi inggris. Menurut Douglas Levi Strauss tidak selalu menggunkan konsep analisis

dengan baik dan tepat, hal tersebut terlihat dari penyamakan istilah perbedaan dengan

opsional, alasannya adalah tidak setiap perbedaan adalah opsional. Gara-gara hal tersebut

Levi Strauss lantas sering membuat kesimpulan terlalu jauh dan sering memanfaatkan data

tersebut untuk mendukung apa yang sudah diduga atau dirumuskan terlebih dahulu. Kritik

kedua menganai kurang konsistennya Levi Strauss dalam analisis nya datang dari Yalman.

Levi Strauss pernah mengatakan bahwa untuk memahami sebuah mitos peneliti harus

memperhatikan strukturnya dari isi ceritanya, hal ini yang dikritik Yalman dengan melihat

keempat buku karangan Levi Strauss. Dalam Ahimsa-Putra (2006:163)Yalman menyatakan

bahwa dalam keempat bukunya Levi Strauss tidak hanya melakukan telaah pada tataran

sintaksis, tetapi juga pada tataran semantis atau isi, dan ini tampaknya dilakukan dengan

sadar, sebab Levi Strauss juga pernah menyatakan dalam mitos bentuk dan isi tidak

sepenuhnya dapat dipisahkan. Kritik ketiga menganai cara analisis Levi Strauss yang

cenderung bersifat reduksionis disampaikan oleh Mary Douglas. Menurut Douglas

reduksionisme disitu terjadi karena dua hal yakni: (a) model komputer yang dipakainya, dan

(2) adanya dua tujuan dalam analisis wacana. Menurut Douglas dalam mitos dan puisi kata-

kata terbaik adalah kata-kata yang ambigu, yang maknanya tidak sangat jelas atau bisa
banyak makna (Ahimsa-Putra 2006:164). Selanjutnya Levi Strauss membantah pernyataan

dari Douglas, dengan menganggap bahwa makna kata-kata dalam mitos sudah sangat jelas,

sehingga mudah dipotong-potong menjadi unit-unit yang dapat dikenali dan ditentukan secara

objektif (Ahimsa-Putra 2006:162). Akan tetapi bagaimana bisa kata-kata dalam sebuah mitos

bagi orang yang notabene asing dari kebudayaan mitos tersebut terlihat dengan jelas, belum

lagi masalah distorsi pemahaman akan kebenaran simbolik dari bahasa yang digunakan

sebagai pengantar mitos tersebut jika kita ingin melakukan analisis isi mitos tersebut. Saya

sendiri akan setuju jika pendekatan linguistik digunakan hanya sebagai salah satu cara untuk

mengungkap struktur pola-pola dalam sebuah fenomena, tidak dengan struktur isi/ makna

dari fenomena.

Kritik terhadap interpretasi data etnografi dari analisis strukturalisme Levi Strauss

dilontarkan oleh Alice Kassakof dan John W. Adams. Kassakof menyatakan bahwa paparan

Levi Strauss menganai hal-hal yang berkaitan dengan sistem kekerabatan ternyata malah

serva to maks the reality of kinship artinya menutupi realitas kekerabatan itu sendiri

(Ahimsa-Putra 2006:168). Sedangkan Adams (1974) mengomentari analisis dari kisah si

Asdiwal, menurut Adams sebanarnya kisah si Asdiwal tidaklah mengingkari realitas

sebagaimana Levi Strauss tafsirkan, Levi Strauss sendiri sebanarnya terlalu mengada-adakan

masalah tersebut , agar hasil analisis dan tafsirnya atas kisah si Asdiwal tampak masuk akal.

Selain itu menurut Douglas dalam Ahimsa-Putra (2006: 169), bagaimanapun juga

analsis struktural Levi Strauss, karena ada teme-tema lain dalam mitos positif (tidak negatif)

tentang kenyataan sosial, dan tema-tema ini rupanya kurang berhasil diungkapkan. Namun

bagaimanapun juga kita patut berterima kasih pada Levi Strauss, karena dengan cara

analisisnya ini kita menjadi mengenal struktur fenomena yang didekati menggunakan

pendekatanh linguistik dalam membedahnya. Yalman (1967:74-75) menyatakan bahwa pada

tataran tertentu Levi Strauss telah berhasil menunjukan pada publik bahwa terdapat kohesi
logis, keutuhan logis tertentu; bahwa elemen-elemen dari sebuah mitos yang tidak dapat

dijelaskan akan menjadi jelas ketika dianalisis bersama mitos lain yang berlawanan, yang

berasal dari sukubangsa tetangga (Ahimsa-Putra 2006:176). Jadi menurut saya sangat tidak

adil dan keterlaluan jika menyatakan bahwa analisis struktural Levi Strauss tidak ada

gunanya jika digunakan sebagai pendekatan untuk membedah sebuah fenomena sosial. Untuk

lebih memehami bagaimana sebenarnya analisis strukturalisme ini bekerja khususnya dalam

kajian mitos, Prof Heddy kemudian menyajikan beberapa contoh analisis menganai mitos-

mitos lokal dari Indonesia yang terurai pada bab 5.

Analisis struktural pertama yang ditawarkan Prof Heddy adalah analisis struktural

dongeng Bajo. Sebelumnya diuraikan mengenai beberapa hal penting mengenai fungsi mitos-

mitos diwilayah indonesia yang kemudian juga dapat digunakan sebagai alat pembenaran

atau sumber dari suatu peristiwa atau kejadian tertentu dan menjadi alat legitimasi kekuasaan

pihak-pihak tertentu (Ahimsa-Putra 2006:182). Disebutkan juga mengapa analisis struktural

lebih tepat digunakan sebagai analisis mitos, hal tersebut karena kita selalu berhadapan

dengan kenyataan bahwasebuah mitos atau dongen sampai ke tangan peneliti dalam bentuk

sebuah teks yang tidak disertai informasi lain mengenai masyarakat pemilik mitos tersebut.

Dalam arti cerita tersebut terlepas dari konteks sosial budayanya (Ahimsa-Putra 2006:182-

183). Prof Heddy menguraikan pertama-tama menganai analisis struktural mengenai mitos

dari orang bajo, yaitu mitos pitoto si Muhamma. Untuk menganalisis mitos tersebut langkah

analisis pertama ialah membaca keseluruhan ceritera terlebih dahulu, sehingga diperoleh

pengetahuan dan kesan mengenai isi ceritera, tokoh-tokohnya, berbagai tindakan yang

mereka lakukan dan berbagai peristiwa yang mereka alami. Kemudian mengingat panjangnya

ceritera, maka dibagi menjadi beberapa episode yang mungkin ada dalam cerita, yang

kemuadian dijadikan dasar bagi analisis selanjutnya (Ahimsa-Putra 2006:204). Selanjutnya

perhatian ditujukan pada kalimat-kalimat yang memperlihatkan ide tertentu untuk


membentuk ceriteme-ceriteme. Ceriteme adalah sebuah unit yang mengandung pengertian

tertentu yang, sebagaimana miteme, hanya dapat diketahui maknanya setelah ditempatkan

dalam hubungan dengan ceriteme-ceriteme lainnya (Ahimsa-Putra 2006:206). Kemudian

kumpulan ceriteme tersebut dibentuk episode-episode yang hanya bisa dipahami setelah

disandingkan dengan episode lainnya. Selanjutnya dari pembacaan teks secara keseluruhan

didapatkan tujuh episode, yang didalamnya dijumpai suatu relasi oposisi (oppositional) yang

secara keseluruhan mencerminkan sebuah konflik batin yang dialami oleh orang Bajo yang

notabene sebagain besar aktifitasnya dilakukan dilaut, namun selalu tergantung pada orang

darat. Ketika melihat alam fikir dan dunia batin orang Bajo melaui berbagai data etnografi

mengenai mereka sebenarnya mereka menghadapi suatu masalah identitas kesukuan

(Ahimsa-Putra 2006:187-243). Mereka menghadapi realitas sosial, budaya, politis, ekonomis

dan ekologis yang di satu sisi mendukung atau menguatkan kesan akan superioritas mereka

sebagai orang Laut, akan tetapi di lain pihak juga memaksa mereka untuk melihat realitas

bahwa mereka inferior terhadap orang Darat (Ahimsa-Putra 2006:244-245).

Melalui si Muhamma, orang Bajo telah memindahkan oposisi pada skema geografis,

ekonomi dan sosial ke tataran mitis menjadi hubungan sosial antara Daeng Manjari (DM),

Hajira (H) dan Muhamma (M) yang lebih kongkrit sifatnya. Dengan menampilkan akhir

cerita M meninggalkan H, orang Bajo dapat mengelak dari keharusan untuk memilih antara

Darat dan Laut (yang dalam hal ini dilambangkan oleh tokoh DM dan M) serta kembali ke

dunia orang Bajo, yaitu meninggalkan orang-orang Bajo tertentu (yang dilambangkan dengan

H) untuk mengunjungi orang-orang Bajo yang lain. Jadi kisah ini merupakan proyeksi dari

realitas sehari-hari yang penuh pertentangan dan teka-teki yang tidak terpecahkan. Proyeksi

ini disampaikan melalui struktur tertentu yang bersifat dialektis. Oleh karena itu, sebuah

mitos atau ceritera sebenarnya dapat menjadi model of (model dari) dan model for (model

untuk) realitas yang dihadapi manusia. Dalam interpretasi sebuah mitos yang terjadi adalah
sebuah gerak dialektis, yaitu dari data kebudayaan ke mitos itu, dari bagian ke keseluruhan,

part to the whole dan whole to the part (Ahimsa-Putra 2006:247-249).

Selanjutnya pada bab 6 buku ini disajikan sebuah analisis struktural mengenai dongeng

Sri Sumarah, Bawuk dan Para Priyayi yang ditulis oleh Umar Kayam. Analisis struktual

untuk menganalisis dongeng ini agak berbeda, karena Prof Heddy sendiri berusaha

menggabungkan antara pendekatan struktural Levi Strauss dengan pendekatan

Heurmeuneutik Cliford Gertz, yang selanjutnya disebut sebagai analisis struktural-

heurmeuneutik (Ahimsa-Putra 2006:253). Penggabungan tersebut dilalukan untuk mengatasi

kelemahan-kelemahan masing-masing pendekatan. Heurmeuneutik yang cenderung subjektif,

karena mengandalkan kekuatan tafsir si penafsir, sedangkan struktural dekat kuatnya

penelaah untuk menemukan struk dalam fenomena maka sering melupakan tafsir-tafsir

simbolik non-struktural yang mungkin dapat diberikan pada elemen-elemen fenomena yang

dianalisis (Ahimsa-Putra 2006:254). Prof Heddy juga memberikan sejumlah alasan tentang

diangkatnya sebuah karya sastra dapat tergolong dalam sebuah mitos yang berangkat dari

pendat Levi Strauss dalam bukunya yang menyatakan bahwa kehadiran mitos dalam

kehidupan manusia adalah untuk mengatasi atau memecahkan berbagai kontradiksi empiris

yang tidak terpahamioleh nalar manusia (Ahimsa-Putra 2006:259). Dari pendapat tersebut

dapat ditarik beberapa alasan bagaimana sebuah karya sastra (disini karya umar kayam

dengan judul Sri Sumarah, Bawuk dan Para Priyayi) dapat dianggap sebagai mitos, berikut

asumsinya: (1) cerita tersebut ditulis oleh Umar Kayam dalam upaya memahami sebuah

peristiwa dahsyat yang secara pribadi sulit dipahami, (2) Umar Kayam menulis cerita tersebut

bukan sebagai pengarang biasa ataupun sebagai pengamat atau penulis reportase, tetapi

sebagai individu yang telah melibatkan diri ditengah peristiwa tersebut sebagai aktor yang

membuat interpretasi (Ahimsa-Putra 2006:260). Dari uraian diatas mari kita lihat bagaimana

cara analisisnya. Mula-mula cerita-cerita tersebut dipenggal-penggal menjadi bebrapa


episode, dalam hal ini dibagi menjadi lima episode yaitu episode latar belakang tokoh,

episode kehidupan remaja, episode kehilangan keluarga dan politik, episode pelarian dan

episode akhir kisah. Hal tersebut dilakukan untuk mengatahui struktur homologi, oposisi,

inversi dan transformasi dari pengalaman-pengalaman tokoh-tokoh yang ada dalam cerita

yaitu Tun (T), Bawuk (B) dan Harimurti (H), serta pasangan mereka.

Atas dasar ceriteme dan episode, dapat dikemukakan bahwa T, B dan H adalah anak-

anak cerdas yang memiliki tempat khusus dalam keluarga priyayi Jawa, serta berada dalam

kawasan liminal ( dunia betwixt dan beetwin ) dari dua dunia yang berbeda-beda, yaitu antara

Jawa dan bukan Jawa, Islam dan kafir, priyayi dan wong cilik, serta PKI dan bukan PKI.

Tokoh-tokoh T, B dan H adalah individu yang tidak biasa dalam jagad budaya sosial mereka,

yakni jagad para priyayi (Ahimsa-Putra 2006:279-280). Dari sudut lain kita juga menemukan

kutub-kutub berlawanan, yakni antara yang terlibat PKI (Yos, Hassan, Gadis) dan yang tidak

terlibat PKI (Sri Sumarah, nyonya Soeryo, Lantip), serta antara struktur (Sri Sumarah,

nyonya Soeryo, Lantip, Yos, Hassan, Gadis) dan anti-struktur atau kutub betwixt and beetwin

(Tun, Bawuk, Hari). Model yang kemudian terbentuk dari penggabungan dua oposisi

berpasangan ini adalah segitiga tegak (upright triangle) (Ahimsa-Putra 2006:285). Apa

hubungan segitiga tegak yang dihubungkan dengan nalar orang Jawa (javanese mind).

Struktur segitiga tegak yang ada dibalik kisah diatas menggambarkan kosepsi atau cara nalar

orang Jawa menampilkan, tatanan (order), serta pandangan bahwa segala sesuatu harus

temata (tertata). Konsepsi ketertatan ini dalam nalar orang Jawa menurut Helman (1988)

memiliki tiga komponen yaitu: kesatuan (unity), kesinambungan (continuity), dan keselarasan

(harmony) (Ahimsa-Putra 2006:286). Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa inilah

strukturalismenya.

Lalu pendekatan heurmeuneutikanya dapat dilihat dari penafsiran terhadap posisi Umar

Kayam sebagai ilmuan sekaligus seniman, karena dalam cerita tersebut tidak hanya imajinasi
saja yang digunakan akan tetapi data-data otentik yang langsung dialami Umar Kayam, yang

menariknya di tuangkan dalam sebuah cerita. Posisi ini disebut sebagai posisi liminal, atau

posisi ditengah-tengah dua hal yang berbeda. Orang Jawa menyebut ini sebagai sak madya,

secukupnya saja. Posisi Umar Kayam juga dikaitkan dengan posisi semar yang notabene

cerminan seorang batur, tetapi dia juga seorang dewa. Posisi semar disini juga liminal. Dari

penafsiran heurmeuneutik diatas dapat dilihat bagaimana nalar orang Jawa (Ahimsa-Putra

2006:288-295).

Selanjutnya untuk lebih meyakinkan ketajaman pisau analisis strukturalisme, maka

pada bab 7 disajikan sebuah analisis struktural dengan karya yang sama yaitu karya Para

Priyayi, karya Umar Kayam. Dalam hal ini yang dianalisis adalah tokoh Lantip dalam cerita

tersebut. Diceritakan bahwa Lantip disebut sebagai priyayi yang sejati, selanjutnya timbul

pertanyaan mengapa Lantip? (Ahimsa-Putra 2006:301). Sebelumnya perlu diketahui bahwa

lewat analisis struktural ini akan dapat ditampilkan berbagai relasi(relasi Lantip dengan

berbagai peristiwa, atau dengan tokoh lain) yang pada mulanya tidak begitu tampak, atau

masih tersembunyi di balik berbagai macam narasi cerita (Ahimsa-Putra 2006:303). Seperti

analisis struktural sebelumnya cerita tersebut dipenggal-penggal kedalam ceriteme-ceriteme

sesuai dengan kebutuhan untuk menganalisis tokoh Lantip ini, tentunya penggalan-penggalan

tersebut berhubungan dengan tokoh Lantip ini. Dari hasil analisis ditemukan bahwa tokoh

Lantip dilihat dari life history nya, mirip atau bahkan sama dengan tokoh Sastrodarsono, yang

merupakan tokoh utama dalam cerita ini. Maka dalam hasil analisis akhir terdapat relasi-

relasi antara Lantip, Ngadiyem (ibu Lantip), dan Sastrodatsono (priyayi/juragan dari

Ngadiyem) sama dengan relasi antara Soedarsono (nama kecil Sastrodarsono), Atmokasan

(bapaknya Soedarsono) dengan Seten Kedungsimo (priyayi/juragan dari Atmokasan). Relasi-

relasi tersebut mengahsilkan struktur segitiga condong, yang menunjukan bahwa relasi Seten

Kedungsimo dengan Atmokasan sama dengan relasi antara Soedarsono dengan Ngadiyem,
yaitu relasi patron-klien, relasi antara Atmokasan dengan Soedarsono sama dengan relasi

antara Ngadiyem dengan Lantip, yaitu relasi keturunan, sedangkan relasi Seten Kedungsimo

dengan Soedarsano sama dengan relasi antara Soedarsono dengan Lantip, yaitu relasi adopsi

(Ahimsa-Putra 2006:323). Jika dilihat relasi-relasi tersebut memang ada dalam cerita

walaupun tersembunyi, bahkan mungkin tidak disadari oleh penulisnya. Relasi-relasi tersebut

dihasilkan dari melihat relasi yang saling berlawanan yang kemudian di mediasi dengan

sebuah tafsir untuk menyelesaikannya. Disebutkan pula bahwa konsep dalam priyayi jawa

tidak hanya dilihat dari garis keturunannya saja, akan tetapi sebuah proses yang

menghasilkan kesuksesan dalam bidang tertentu juga mengantarkan seseorang menjadi

priyayi (Ahimsa-Putra 2006:326). Dari uraian tersebut dapat dilihat ketajaman dari pisau

struktural sebagai suatu jalan untuk memahami fenomena secara lebih mendalam lagi.

Selanjutnya, pada bab 8 diuraikan menganai analisis struktural dari mitos dan

sinkretisasi Islam di Jawa, dengan media babad tanah Jawa. Membahas sinkretitasi berarti

membahas tentang akulturasi (percampuran), difusi (penyebaran dan perubahan kebudayaan

(Ahimsa-Putra 2006:338). Sinkretisasi dalam buku ini mengambil dari definisi yang

dinyatakan oleh Beals (1953:630), yang menyatakan bahwa sinkretisasi adalah sebuah proses

combining original and foreign traits either in harmonious whole or with retention

attitudeswhich are reconciled in everyday behavior according to specifik occasion (Ahimsa-

Putra 2006:338). Analisis struktural yang diuraikan dalam bab ini adalah dengan melihat

relasi-relasi dalam proses sinkretisasi Islam di Jawa, tentunya denga melihat bagaimana relasi

masa pra Islam di Jawa dengan masa Islam di Jawa. Relasi-relasi tersebut diambil dari

beberapa peristiwa tertentu yang relevan dengan proses singkretisasi Islam di Jawa. Dapat

dilihat dari relasi geneaologis bahwa tokoh-tokoh pewayangan (budaya hindu) dan raja-raja

Jawa berasal dari silsilah keturanan yang sama yaitu keturanan sang manusia pertama yaitu

nabi Adam (budaya Islam). Relasi geneaologis tersebut mampu membangkitkan sebuah citra
sinkretis baru bahwa orang Jawa adalah juga orang Islam dan Hindu sekaligus (Ahimsa-Putra

2006:348). Jika dilihat relasi analogis, diambil dari tokoh-tokoh wayang Bima dalam cerita

Dewaruci dengan tokoh Sunan Kalijaga dengan Nabi Khidir. Jika dilihat bahwa antara tokoh

Bima dalam lakon Dewaruci (kisah pencarian Bima menemukan ngelmu jatining jejer ing

Pangeran, yang dalam kisahnya bertemu dengan dirinya sendiri akan tetapi dalam sosok

yang lebih kecil) dengan kisah kehidupan Sunan Kalijaga (yang dalam kepercayaan Jawa,

pernah bertemu nabi Khidir akan tetepi dalam sosok anak kecil dengan maksud untuk belajar)

terdapat suatu relasi logis-transformasional (Ahimsa-Putra 2006:349-253). Selanjutnya relasi

historis yang dilihat dari hubungan Sunan Kalijaga dengan Prabu Yudhistira, dari sudut

pandang lakon wayang jimat kalimasada. Kisah jimat kalimasada merupakan kisah

carangan, yaitu kisah yang dibuat oleh dalang sendiri dan tidak terdapat dalam cerita pakem

Mahabharata (Ahimsa-Putra 2006:354). Dikisahkan bahwa Prabu Yudhistira setelah

menerima jimat kalimasada dari Bathara Guru, tidak dapat meninggal atau moksa sebelum isi

jimat tersebut dapat dibaca, dan yang dapat membaca tersebut hanya seorang yang bernama

Seh Malaya atau Sunan Kalijaga sendiri. Dalam cerita tersebut dapat dilihat bahwa kisah

Jimat Kalimasada (terlepas dari kebenaran empirisnya) telah memungkinkan orang Jawa-

pada tataran kognitif- untuk (1) menghubungkan kehidupan masa pra Islam dengan

kehidupan di masa Islam, dan (2) memandang serta menafsirkan perpindahan agama non-

Islam ke agama Islam sebagai sesuatu yang sah dan dapat diterima. Selanjutnya relasi

profesis terdapat pada hubungan atau relasi antara Nyai Roro Kidul, raja Mataram

Panembahan Senopati dan budaya Islam, yakni ketika terdapat suatu ramalan darin raja

Sindula bahwa Ratu Kidul atau ratu Roro Kidul nakan menikah dengan raja Mataram yang

menguasai Jawa dan menetapkan Islam sebagai agama kerajaan. Jika dilihat, tokoh dari dunia

lelembut ini (yang merepresentasikan budaya pra-Islam) menjadi tidak lagi terlihat sebagai

sosok yang berlawanan dengan budaya Islam (Ahimsa-Putra 2006:358-362). Relasi


kooperatif tampak ketika raja Mataram berhubungan dengan Ratu Kidul dan kemudian

kehadiran Sunan Kalijaga untuk mengingatkan agar tidak sombong jika sudah mempunyai

suatu daya kekuatan. Menariknya Sunan Kalijaga tidak melarang atau Panembahan Senopati

karena sudah melakukan hubungan dengan dunia gaib, tetapi karena laku sombong nyalah

sehingga pantas untuk ditegur. Dapat ditafsirkan bahwa relasi-relasi tersebut menyiratkan

bahwa budaya pra-Islam dengan budaya Islam dapat bersatu. Model tersebut oleh Gertz

dinamakan dengan model of, yaitu model untuk memahami dan menempatkan berbagai unsur

yang berasal dari sistem prinsip pra-Islam, Jawa, dan Islam, dalam sebuah kerangka

pemikiran yang utuh dan harmonis (Ahimsa-Putra 2006:362:367).

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa analisis struktur dapat menyajikan sebuah model

atau pola kebudayaan yang kadang-kadang sulit terlihat. Akan tetapi yang harus diperhatikan

dalam analisis tersebut menurut saya adalah bekal ilmu atau pengetahuan kebudayaan dari

mitos atau cerita tersebut berasal, karena jika miskin pengetahuan kebudayaan akan terjebak

dalam tafsir yang asal-asalan atau akan terjebak dalam etnosntrisme, hal tersebut dikarenakan

bahasa pengantar mitos merupakan bahasa dengan kebenaran simbolik bukan kebenaran

empiris.

Pada bab selanjutnya (bab 9), diuraikan kembali menganai analisis strukturalis tetapi

dengan cara berbeda dibandingkan dengan bab sebeblumnya, yaitu dengan membandingkan

dua mitos dari dua kebudayaan berbeda. Mitos yang dianalisis ana mitos Sawerigading dari

Bugis-Makasar dan mitos Dewi Sri dari Jawa. Dengan melihat hasil analisis komparatif

struktural kontekstual dari kedua mitos tersebut terdapat sebuah struktur tentang perkawinan

ideal, pelapisan sosial dan tentang kekuasaan (Ahimsa-Putra 2006:405-436). Selain itu juga

inti dari hasil analisis tersebut adalah larangan incest (perkawinan sedarah), yang merupakan

pesan utama dan sebab utama dari mitos tersebut. Selain itu juga dilihat bahwa mitos dapat

digunakan sebagai alat legitimasi untuk bentuk pernikahan tertentu, penentuan jodoh yang
ideal, serta pesan yang tersirat tentang pelestarian kekuasaan baik itu dari Bugis yang

menenkan pada kemurnian darah kebangsawanan dan dari yang menekankan pada

kesaktian sebagai media pembentuk kekuasaan (Ahimsa-Putra 2006:436-499).

Dari hasil pembacaan terhadap buku Strukturalisme Levi Strauss, Mitos dan Karya

Sastra ini, yang ditulis oleh Prof. Dr Heddy Shri Ahimsa-Putra, menurut saya penulis telah

berhasil menjelas strukturalisme Levi Strauss dengan baik dan sangat rinci. Selain itu buku

ini juga menunjukan manfaat paradigma struktural dalam membedah fenomena sosial dan

budaya dengan cukup baik. Walaupun Prof Heddy sendiri berpendapat pada kesimpulan buku

ini bahwa paradigma strukturalisme bukanlah segala-galanya dan pasti tidak cocok

diterapkan pada semua bidang, aka n tetapi pada bidang-bidang tertentu saja, hal tersebut

sama seperti pendekatan analisis yang seperti fungsionalisme, evolusioneisme dsb. Ada

sedikit yang mungkin luput atau memang disengaja dilakukan oleh penulis yaitu penulisan

buku ini yang sangat bertele-tele dan tidak strukturalis (tidak menampilkan model-model agar

dapat dengan mudah dimengerti). Hal tersebut dikarenakan mungkin kerena buku ini bukan

sebuah pengantar strukturalisme akan tetapi sebuah buku wacana strukturalisme Levi Strauss,

yang menurut saya buku wacana seperti ini sangat langka di Indonesia, dan hal ini yang perlu

kita apresiasi.

Anda mungkin juga menyukai