Review Buku
Strukturalisme Levi Strauss
Mitos dan Karya Sastra
Karya Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra
NIM: 420185
Sekolah Pascasarjana
2017
Judul : Strukturalisme Levi Strauss, Mitos dan Karya Sastra
ISBN : 979-96230-6-5
Cetakan : 2006
Buku yang berjudul Strukturalisme Levi Strauss Mitos dan Karya Sastra ini ditulis oleh
Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, dengan tebal 493 halaman yang didalamnya dibagi
menjadi 10 bab. Pada Bab 1 diuraikan mengenai sejarah hidup Levi Strauss dan proses
pengalaman akademisnya yang membawa nama Levi Strauss kepuncak tokoh strukturalisme.
Pada bab 1 Prof Heddy menguraikan bagaimana perjalanan hidup Levi Strauss baik
dari sisi indualnya sampai proses akademisnya yang membawa nama Levi Strauss ke puncak
tokoh strukturalisme. Prof Heddy menguraikan bahwa Levi Strauss adalah antropologi
berkebangsaan Perancis, keturunan Yahudi. Dia lahir di Brussles Belgia pada tanggal 28
November 1905, dari ayah bernama Raymond Levi-Strauss dan ibu emma Levy (Ahimsa-
Putra 2006:8).
Levi Strauss menikah pada tahun 1932 dengan Dina Dreyfus (Ahimsa-Putra 2006:9).
Didalam buku di halaman 10 diuraikan bahwa karir Levi Strauss dalam dunia antropologi
bermula pada musim gugur tahun 1934, pada saat itu Levi Strauss di hubungi oleh Celestin
Bougle (pembimbing tesis master filsafat Levi Strauss), agar melamar menjadi staf pengajar
dalam bidang Sosiologi di Universitas Sao Paulo-Brazilo. Dari situlah Levi Strauss kemudian
melakukan penelitian lapangan pada suku-suku Indian yang akhirnya melahirkan karya
berupa laporan perjalanan dan autobiografi berjudul Tristes Tropique. Buku ini menjadi
semacam ethnographic baptism bagi Levi Strauss (Ahimsa-Putra 2006:11). Puncak karir Levi
Strauss dalam bidang antropologi bermula ketika Levi Strauss diminta untuk memanfaatkan
rencana Yayasan Rockefeller untuk menyelamatkan pemikir Eropa berdarah Yahudi dari
kekejaman Nazi (Ahimsa-Putra 2006:13). Di Amerika Levi Strauss akhirnya tinggal di New
York sekaligus mengajar di New School for Social Research dan mengajar etnologi di New
York Ecole Libre des Hautes Etudes. Levi Strauss akhirnya berhasil menulis disertasi
Structures of Kinship) (Ahimsa-Putra 2006:14). Karya Monumental Levi Strauss adalah buku
struktural, yaitu: The Raw and The Cooked, From Honey to Ashes, The Origin of Table
Manner, dan The Naked Man. Pada uraian bab 1 terlihat bahwa lika liku kehidupan
seseorang ilmuan memang tidak mudah untuk mencapai puncak karir nya, yang terlihat dari
jalan kehidupan Levi Strauss yang di ceritakan oleh Prof Heddy adalah langkah awal sangat
momentum yang kadang tidak dapat diulang dua kali. Begitu yang tercermin dalam
kehidupan Levi Strauss. Selain itu keluarbiasaan Levi Strauss dalam bidang antropologi tidak
diraihnya daribidang pendidikan sarjananya, tapi berawal dari pertemanan dengan beberapa
ahli bahasa (Jakobson), ahli filsafat dan psikoanalisa (Lacan) dan beberapa ahli lain
khususnya pada bidang antropologi. Baru dari momentum pergaulan tersebut Levi Strauss
menyusun teori strukturalnya secara luar biasa. Disini dapat dilihat bahwa kondisi ini
mungkin kurang lebih sama dengan yang ada di indonesia, yaitu realita bahwa realitas
pergaulan sebenarnya lebih menentukan untuk mencapai kesuksesan dalam suatu bidang, dari
pada pendidikan jika dilihat dari strata sarjana S1. Hal tersebut terbukti bahwa banyak lulusan
S1 kita yang tidak linier antara pekerjaan dan pendidikan sarjananya. Tentu saya tidak
menggeneralisir semuanya seperti itu, akan tetapi dapat dilihat bersama sebagaian besar
sarjana kita melenceng dari pendidikan sarjananya. Maka saya pun bertanya, sebenarnya apa
Selanjutnya pada bab 2 buku ini terbagi menjadi 4 sub bab yaitu: (1) Levi Strauss,
Bahasa dan Kebudayaan, (2) Levi Strauss dan Linguistik Struktural, (3) Makna, Struktur dan
Tranformasi, (4) Beberapa Asumsi Dasar. Pada awal dari bab 2 disampakai alasan Levi
Strauss memilih model dari linguistik dalam pendekatan strukturalnya. Ada tiga pandangan
para ahli antropologi termasuk pandangan Levi Strauss, mengenai hubungan kebudayaan
dengan bahasa, yaitu: bahasa yang digunakans suatu masyrakat dipandang sebagai
refleksidari keseluruhan kebudayaan masyarakat, bahasa adalah bagian dari kebudayaan dan
merupakan unsur dari kebudayaan yang universal, bahasa merupakan kondisi bagi
kebudayaan. Pandangan ketiga dapat berarti dua hal yaitu bahasa merupakan kondisi
kebudayaan dalam arti diakronis, bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan karena material
yang digunakan untuk membangun bahasa pada dasarnya adalah material yang sama tipe/
jenisnya dengan material yang membentuk kebudayaan itu sendiri. Dari ketiga pandangan
tersebut Levi Strauss memilih pandangan yang terakhir (Ahimsa-Putra 2006:24-25). Levi
Strauss memandang fenomena kebudayaan sama seperti gejala kebahasaan yaitu kalimat dan
teks, alasannya adalah fenemena atau gejala kebudayaan mempunyai makna tertentu yang
menunjukan adanya pemikiran tertentu, dan mereka menghasilkan makna ini lewat semacam
pemikiran struktural Levi Strauss, yaitu: Ferdinand de Saussure, Roman Jakobson, dan
ketiga ahli linguitik tersebut secara garis besar. Ferdenand de Saussure adalah seorang ahli
linguitik berkebangsaan Swiss. Menurut Saussure bahasa pada dasarnya merupakan sebuah
sistem tanda (sign). Tanda adalah juga kesatuan bentuk penanda yang disebut signfier,
dengan sebuah ide atau tinanda, yang disebut signified. Suara yang muncul dari sebuah kata
yang diucapkan atau bisa juga tulisan (aspek material) itu yang dimaksud dengan penanda
(signfier), sedangkan konsep atau idenya atau apa yang dimaksudkan tanda itu yang
dimaksud dengan tinanda (signfied). Hubungan antara petanda dan tinanda bersifat arbitrer,
artinya semena-mena. Tidak ada hubungan atau relasi alami dari kedua unsur tersebut
bentuk, wadah (form) bukan isi (subtance). Wadah disini merupakan kerangkat konseptual
dari sistem bahasa, sedangkan isi adalah wujud dari kerangka konseptual tersebut. Selain itu
dalam bahasa menurut Saussure, bahasa memiliki dua aspek yaitu langue dan parole. Langue
adalah sebuah sistem, sebuah fakta sosial, atau aturan-aturan, norma-norma, antarperson
(interpersonal rules and norms) yang bersifat tidak disadari (Ahimsa-Putra 2006:43). Langue
dapat dilekatkan atau merupakan bentuk besar atau sistem dari wadah (form) tadi. Sedangkan
parole adalah wujud atau aktualisasi dari langue dalam rupa lisan maupun tulisan (Ahimsa-
Putra 2006:43). Begitu pula parole merupakan sebuah sistem dari isi (content) tadi. Saussure
juga menjalskan bahwa dalam bahasa ada hubungan atau relasi-relasi yang yang bersifat
(suatu kata) dengan kata-kata yang dapat berada didepannya atau dibelakangnya dalam
sebuah kalimat (Ahimsa-Putra 2006:47). Hubungan tersebut tentunya merupakan hubungan
yang bersifat logis atau mempunyai makna. Sedangkan hubungan paradigmatik adalah
hubungan asosiatif atau hubungan pengertian antara suatu kata dalam tuturan dengan kata-
Tokoh selanjutnya yang mempengaruhi Levi Strauss dalam hal linguistik strukturalnya
adalah Roman Jakobson. Menurut Jakobson unsur bahasa yang paling dasar adalah bunyi
atau fonem. Fonem adalah satuan bunyi terkecil dan berbeda yang tidak dapat bervariasi
tanpa mengubah kata dimana fonem itu berada. Jakobson juga yakin bahwa fungsi utama dari
suara dalam bahasa adalah untuk memungkinkan manusia membedakan unit-unit semantis,
unit-unit bermakna, dan ini dilakukan dengan mengetahui ciri-ciri pembeda (distinctive
features) dari suatu suara yang memisahkan dengan ciri-ciri yang (Ahimsa-Putra 2006:55).
Tokoh ketiga yang mempengaruhi Levi Strauss adalah Nikolai Troubetzkoy, adalah
menyatakan bahwa fonem merupak konsep linguistik bukan konsep psikologi. Keberadaan
fonem dalam bahasa bersifat tidak disadari atau nirsadar. Ahli fonologi seharusnya menurut
Untuk memehami strukturalisme Levi Strauss kita harus memahami konsep struktur
dari Levi Strauss. Struktur adalah model yang dibuat oleh ahli antropologi untuk memahami
atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya, yang tidak ada kaitannya dengan
fenomena empiris kebudayaan itu sendiri. Model ini merupakan relasi-relasi yang
berhubungan satu sama lain saling mempengaruhi, dengan kata lain struktur adalah relation
of relation. Struktur dibagi menjadi dua yaitu struktur luar (surface structure) dan Struktur
dalam (deep structure). Struktur luar adalah relasi-relasi antarunsur yang dapat kita buat atau
kita bangun berdasarkan atas ciri-ciri luar atau ciri-ciri empiris dari relasi-relasi tersebut.
Struktur dalam adalah susunan tertentu yang kita bangun berdasarkan atas struktur lahir atau
struktur luar tadi yang telah berhasil kita buat namun tidak selalu tampak pada sisi empiris
dari fenomena yang kita pelajari atau amati(Ahimsa-Putra 2006:61). Selain itu kita juga harus
memahami konsep transformasi Levi Strauss, yang sedikit berbeda dengan istilah
transformasi pada umumnya yang sering dilekatkan pada perubahan (change). Sedangkan
transformasi menurut Levi Strauss adalah alih rupa setiap unit gejala kebudayaan ke unit
gejala kebudayaan pada tingkat struktur luar bahkan sampai struktur dalam. Transformasi
disini juga berarti merupakn alih kode. Dalam perspektif struktural kebudayaan pada
dasarnya rangkaian tranformasi dari struktur tertentu yang ada dibaliknya, yang akhirnya
akan melihat fenomena yang kita teliti memperlihatkan struktur tertentu yang bersifat tetap,
tidak berubah sama sekali, dan struktur ini yang kemudian disebut sebagai struktur dalam
(Ahimsa-Putra 2006:61-63). Dari sana terlihat bahwa tujuan utama dari strukturalisme Levi
Strauss dalam mendapat struktur fenomena kebudayaan yang yang bersifat ajeg yang
kemudian disebut sebagai deep structure atau struktur dalam. Akan tetapi saya mulai
bertanya bagaimana kita dapat melihat struktur luar jangan dulu melihat struktur dalam-
dengan tepat, jika pendekatan empiris saja sudah memuat distorsi atau bias? Dalam arti
bahwa kemampuan indra kita memang dapat menipu, bagaimana cara memastikan struktur
luar agar terhindar dari bias atau distorsi indra tersebut, terlepas dari pendekatannya
dan hasrat manusia yang didalamnya termuat relasi begitu acak didalamnya? Bukankah akan
sangat sulit untuk membuat model-model universal yang tetap tidak berubah.
Ada beberapa asumsi dasar dari strukturalisme yang mungkin dapat membantu kita
untuk memahami jalan pemikiran dari aliran strukturalisme Levi Strauss. Dalam Ahimsa-
Putra (2006:66-69) disampaikan beberapa asumsi dasar strukturalisme Levi Strauss adalah
sebagai berikut:
1. Bebagai aktifitas sosial dan hasilnya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai
bahasa-bahasa, atau lebih tepatnya merupakan perangkat tanda dan simbol yang
2. Dalam diri manusia terdapat kemampuan genetis, yaitu kemampuan structuring untuk
menstruktur, menyusun suatu struktur atau menempelkan suatu struktur tertentu pada
3. Relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena yang lainnya pada titik waktu
4. Relasi-relasi yang ada pada struktur dapat diperas dan disederhanakan lagi menjadi
Selanjutnya pada bab 3 disampaikan mengenai kajian mitos yang dilakukan oleh Levi
Strauss. Alasan Levi Strauss mengapa tertarik untuk menganalisi mitos karena mitos
berususan dengan nalar manusia, yang notabene nalar tersebut bersifat nirsadar dalam gejala
sosial (Ahimsa-Putra 2006:75). Mitos dalam strukturalisme Levi Strauss tidak dipahami
sebagaimana dalam kajian mitologi. Mitos dalam konteks strukturalisme Levi Strauss tidak
lain adalah dongeng (Ahimsa-Putra 2006:77). Mengapa sebuah dongeng berususan dengan
nalar manusia, karena dongeng merupakan sebuah kisah atau ceritera yang lahir dari hasil
imajinasi manusia, dari khayalan manusia walaupun unsur-unsur khayalan tersebut berasal
dari apa yang ada dalam kehidupan sehari-hari (Ahimsa-Putra 2006:77). Jadi dalam dapat
dilihat bahwa dalam sebuah dongeng memang unsur pembentuknya adalah nalar yang sudah
berbekal modal sejarah (kehidupan yang sudah dilewati). Cara Levi Strauss menganalisis
mitos dari berbagai daerah terutama benua Amerika, dengan menggunakan pendekatan
linguistik. Pendekatan itu didasarkan pada persamaan-persamaan yang tampak antara mitos
dan bahasa (Ahimsa-Putra 2006:79). Persamaan antara mitos dan bahasa adalah sama-sama
sebagai alat komunikasi, dan sama-sama mempunyai dua aspek yaitu lingue dan parole,.
Akan tetapi bukan berarti mitos dan bahasa tidak mempunyai perbadaan, akan tetapi
perbedaan tersebut juga digunakan oleh Levi Strauss sebagai daya guna dalam analisisnya.
Salah satu perbedaannya adalah jika mitos berada pada reversible time dan non-reversible
time sekalisgus, berbeda halnya dengan bahasa. Selain itu jika bahasa memiliki sisi sinkronis
dan diakronis yang terpisah, dalam mitos terdapat sisi sinkronis, diakronis yang menyatu
(pankronis) (Ahimsa-Putra 2006:82) . Metode analisis struktural Levi Strauss diinspirasi oleh
metode analisis linguistik struktural dari Jakobson tentang sistem fonem dalam bahasa.
Dalam analisis struktural Levi Strauss mengenai mitos khususnya muncul istilah miteme,
yang terinspirasi dari istilah fonem dari Jakobson. Mitheme menurut Levi Strauss merupakan
unsur-unsur dalam kontruksi wacana mitis (mythical discourse), yang merupakan yang
Levi Strauss juga melihat persamaan mitos dengan musik, hal tersebut dapat dilihat dari
dalam pembuka buku The Raw and The Cooked, Strauss memakai istilah overture. Levi
Strauss ingin memperlakukan rangkaian-rangkainan mitos dan mitos itu sendiri (yang
memperlihatkan hubungan timbal balik), seperti memperlakukan bagian dari suatu karya
musik (Ahimsa-Putra 2006:87-88). Baik mitos maupun musik bekerja melalui dua jenis kisi
yaitu kisi internal dan kisi eksternal (Ahimsa-Putra 2006:87-88). Artinya baik mitos maupun
musik bekerja dua sisi yang satu bagian internal atau kisi dalam musik atau mitos itu sendiri,
sedangkan kisi eksternal lebih bersifat kultural, atau pengaruh luar. Selain pada akhir dari bab
3 dibahas juga mengenai analisis struktural dari kajian mitos Levi Strauss. Analisis struktural
Levi Strauss atas mitos sebenarnya diilhami oleh teori informasi (Leach, 1974), atau lebih
tepatnya mungkin teori komunikasi (Ahimsa-Putra 2006:87-92). Dongeng dalam kajian mitos
Levi Strauss dipahami sebagai pesan atau memuat pesan-pesan. Dongeng tersebut tidak
diketahui dengan jelas siapa yang menyampaikan akan tetapi jelas siapa yang menerimanya
mungkin dapat disebut generasi leluhur (generasi penerima pesan mitos/generasi sekarang).
Agar pesan dari mitos tersebut sampai secara utuh pada generasi sekarang (yang menerima
pesan tersebut tersebut), perlu dilakukan komunikasi yang berulang-ulang, karena dalam
penyampaian pesan sangat banyak sekali faktor yang menghalangi pesan tersebut sampai
pada penerima. Hasilnya adalah sebuah indeks data pesan yang kemudian disusun secara
vertikal dan horizontal. Horizontal mewakili deret pesan yang sampai pada penerima, vertikal
mewakili jumlah penyampaian pesan, sehingga akhirnya akan terlihat seperti partitur musik
solo), vertikal (harmoni/ bersama). Dari pembacaan tersebut makan ada dua dimensi yaitu
Selanjutnya pada bab 4 dalam buku ini dibahas tentang analisis mitos Levi Strauss pada
dongeng Oedipus, yang merupakan penjelajahan awal Levi Strauss pada bidang
strukturalisme. Dalam menganalisis kisah Oedipus Levi Strauss beranggapan bahwa setiap
mitos dapat dipenggal menjadi segmen-segmen atau peristiwa-peristiwa. Setiap segmen harus
atau menunjuk pada status-status dari individu-individu disitu. Segmen inilah yang kemudian
ditafsirkan dengan menempelkan atribut atau makna dari masing-masing segmen tersebut.
Kemudian menurut Levi Strauss miteme-miteme (yang telah diberi atribut) tersebut disusun
dalam sebuah tabul secara sintagmatis dan paradigmatis (hal ini memperlihatkan pengaruh
pandangan Saussure pada Levi Strauss), yang akhirnya dapat dilihat seperti pembacaan pada
alat kita untuk menganalisis berbagai relasi-relasi dalam kolom tersebut, yang kemudian
Menurut levi Strauss logika mitos yang ingin diungkapkannya adalah logika mitos yang
mencerminkan cara kerja nalar manusia. Levi Strauss juga berpendapat bahwa dengan
menganalisis mitos-mitos yang seperti itu akan lebih mampu memperlihatkan bahwa berbagai
bentuk simbolisasi yang ada dalam mitos-mitos tersebut memang mengalami transformasi-
transformasi dan transformasi ini mengikuti aturan-aturan logika tertentu (logical rules)
mengenai kisah si Asdiwal., yang menurut saya dongeng tersebut diuraikan untuk memahami
bagaimana sebuah kisah atau mitos dapat dicerap saripati dari mitema-miteme yang telah
dipenggal-penggal yang akhirnya kita dapat melihat tataran-tataran dari kisah tersebut.
Tataran dimaksudkan disini adalah sudut pandang-sudut pandang yang ada dalam kisah
tersebut. Contohnya dalam analisis Levi Strauss tentang kisah si Asdiwal, terbagi menjadi
tataran yaitu (1) tataran geografis, (2) tataran tecno-economy, (3) tataran sosiologis, dan (4)
tataran kosmologis (Ahimsa-Putra 2006:121). Dalam dongeng tersebut juga Levi Strauss juga
melihat ada dua aspek yaitu aspek urutan yang terdapat dalam jalan cerita secara kronologi,
dan aspek skemata yaitu aspek dimana beberapa skema muncul secara tumpang tindih
Amerika Selatan, dengan analisis yang kurang lebih sama dengan analisis sebelumnya, yaitu
atau penafsiran yang kemudian di tarik kesimpilan dengan menghadirkan skema-skema yang
ada pada kisah mitos tersebut. Dari uraian mitos-mitos tersebut disimpulakan bahwa nalar
mitis bekerja dengan cara yang khas dan unik, yaitu menggunakan beberap kode dan sistem
kode secara bersamaan untuk memecahkan beberapa persoalan. Masing-masing sistem kode
suatu bidang pengalaman tertentu, yang kemudia memungkan dibandingkan dengan properti,
ciri dan sifat yang ada pada bidang lain, disini terjadi semacam penerjemahan properti, ciri,
terhadap strukturalisme Levi Strauss. Kritik tersebut dikelompokan menjadi tiga kategori
yaitu: (1) kritik terhadap perangkat dan metode analisis; (2) kritik terhadap data etnografi dan
interpretasinya; dan (3) kritik terhdap hasil analisa atau kesimpulannya. Kritik menganai
perangkat dan metode analisis juga dapat kita bagi menjadi tiga yaitu: (1) cara menggunakan
konsep-konsep analisis (2) konsistensi atau keajegan dalam menggunkan prosedur analisis;
dan (3) reduksi yang terjadi dalam proses analisis (Ahimsa-Putra 2006:161).Kritik mengenai
penggunaan konsep analisis strukturalisme Levi Strauss datang Mary Douglas, seorang ahli
antropologi inggris. Menurut Douglas Levi Strauss tidak selalu menggunkan konsep analisis
dengan baik dan tepat, hal tersebut terlihat dari penyamakan istilah perbedaan dengan
opsional, alasannya adalah tidak setiap perbedaan adalah opsional. Gara-gara hal tersebut
Levi Strauss lantas sering membuat kesimpulan terlalu jauh dan sering memanfaatkan data
tersebut untuk mendukung apa yang sudah diduga atau dirumuskan terlebih dahulu. Kritik
kedua menganai kurang konsistennya Levi Strauss dalam analisis nya datang dari Yalman.
Levi Strauss pernah mengatakan bahwa untuk memahami sebuah mitos peneliti harus
memperhatikan strukturnya dari isi ceritanya, hal ini yang dikritik Yalman dengan melihat
bahwa dalam keempat bukunya Levi Strauss tidak hanya melakukan telaah pada tataran
sintaksis, tetapi juga pada tataran semantis atau isi, dan ini tampaknya dilakukan dengan
sadar, sebab Levi Strauss juga pernah menyatakan dalam mitos bentuk dan isi tidak
sepenuhnya dapat dipisahkan. Kritik ketiga menganai cara analisis Levi Strauss yang
reduksionisme disitu terjadi karena dua hal yakni: (a) model komputer yang dipakainya, dan
(2) adanya dua tujuan dalam analisis wacana. Menurut Douglas dalam mitos dan puisi kata-
kata terbaik adalah kata-kata yang ambigu, yang maknanya tidak sangat jelas atau bisa
banyak makna (Ahimsa-Putra 2006:164). Selanjutnya Levi Strauss membantah pernyataan
dari Douglas, dengan menganggap bahwa makna kata-kata dalam mitos sudah sangat jelas,
sehingga mudah dipotong-potong menjadi unit-unit yang dapat dikenali dan ditentukan secara
objektif (Ahimsa-Putra 2006:162). Akan tetapi bagaimana bisa kata-kata dalam sebuah mitos
bagi orang yang notabene asing dari kebudayaan mitos tersebut terlihat dengan jelas, belum
lagi masalah distorsi pemahaman akan kebenaran simbolik dari bahasa yang digunakan
sebagai pengantar mitos tersebut jika kita ingin melakukan analisis isi mitos tersebut. Saya
sendiri akan setuju jika pendekatan linguistik digunakan hanya sebagai salah satu cara untuk
mengungkap struktur pola-pola dalam sebuah fenomena, tidak dengan struktur isi/ makna
dari fenomena.
Kritik terhadap interpretasi data etnografi dari analisis strukturalisme Levi Strauss
dilontarkan oleh Alice Kassakof dan John W. Adams. Kassakof menyatakan bahwa paparan
Levi Strauss menganai hal-hal yang berkaitan dengan sistem kekerabatan ternyata malah
serva to maks the reality of kinship artinya menutupi realitas kekerabatan itu sendiri
sebagaimana Levi Strauss tafsirkan, Levi Strauss sendiri sebanarnya terlalu mengada-adakan
masalah tersebut , agar hasil analisis dan tafsirnya atas kisah si Asdiwal tampak masuk akal.
Selain itu menurut Douglas dalam Ahimsa-Putra (2006: 169), bagaimanapun juga
analsis struktural Levi Strauss, karena ada teme-tema lain dalam mitos positif (tidak negatif)
tentang kenyataan sosial, dan tema-tema ini rupanya kurang berhasil diungkapkan. Namun
bagaimanapun juga kita patut berterima kasih pada Levi Strauss, karena dengan cara
analisisnya ini kita menjadi mengenal struktur fenomena yang didekati menggunakan
tataran tertentu Levi Strauss telah berhasil menunjukan pada publik bahwa terdapat kohesi
logis, keutuhan logis tertentu; bahwa elemen-elemen dari sebuah mitos yang tidak dapat
dijelaskan akan menjadi jelas ketika dianalisis bersama mitos lain yang berlawanan, yang
berasal dari sukubangsa tetangga (Ahimsa-Putra 2006:176). Jadi menurut saya sangat tidak
adil dan keterlaluan jika menyatakan bahwa analisis struktural Levi Strauss tidak ada
gunanya jika digunakan sebagai pendekatan untuk membedah sebuah fenomena sosial. Untuk
lebih memehami bagaimana sebenarnya analisis strukturalisme ini bekerja khususnya dalam
kajian mitos, Prof Heddy kemudian menyajikan beberapa contoh analisis menganai mitos-
Analisis struktural pertama yang ditawarkan Prof Heddy adalah analisis struktural
dongeng Bajo. Sebelumnya diuraikan mengenai beberapa hal penting mengenai fungsi mitos-
mitos diwilayah indonesia yang kemudian juga dapat digunakan sebagai alat pembenaran
atau sumber dari suatu peristiwa atau kejadian tertentu dan menjadi alat legitimasi kekuasaan
lebih tepat digunakan sebagai analisis mitos, hal tersebut karena kita selalu berhadapan
dengan kenyataan bahwasebuah mitos atau dongen sampai ke tangan peneliti dalam bentuk
sebuah teks yang tidak disertai informasi lain mengenai masyarakat pemilik mitos tersebut.
Dalam arti cerita tersebut terlepas dari konteks sosial budayanya (Ahimsa-Putra 2006:182-
183). Prof Heddy menguraikan pertama-tama menganai analisis struktural mengenai mitos
dari orang bajo, yaitu mitos pitoto si Muhamma. Untuk menganalisis mitos tersebut langkah
analisis pertama ialah membaca keseluruhan ceritera terlebih dahulu, sehingga diperoleh
pengetahuan dan kesan mengenai isi ceritera, tokoh-tokohnya, berbagai tindakan yang
mereka lakukan dan berbagai peristiwa yang mereka alami. Kemudian mengingat panjangnya
ceritera, maka dibagi menjadi beberapa episode yang mungkin ada dalam cerita, yang
tertentu yang, sebagaimana miteme, hanya dapat diketahui maknanya setelah ditempatkan
kumpulan ceriteme tersebut dibentuk episode-episode yang hanya bisa dipahami setelah
disandingkan dengan episode lainnya. Selanjutnya dari pembacaan teks secara keseluruhan
didapatkan tujuh episode, yang didalamnya dijumpai suatu relasi oposisi (oppositional) yang
secara keseluruhan mencerminkan sebuah konflik batin yang dialami oleh orang Bajo yang
notabene sebagain besar aktifitasnya dilakukan dilaut, namun selalu tergantung pada orang
darat. Ketika melihat alam fikir dan dunia batin orang Bajo melaui berbagai data etnografi
dan ekologis yang di satu sisi mendukung atau menguatkan kesan akan superioritas mereka
sebagai orang Laut, akan tetapi di lain pihak juga memaksa mereka untuk melihat realitas
Melalui si Muhamma, orang Bajo telah memindahkan oposisi pada skema geografis,
ekonomi dan sosial ke tataran mitis menjadi hubungan sosial antara Daeng Manjari (DM),
Hajira (H) dan Muhamma (M) yang lebih kongkrit sifatnya. Dengan menampilkan akhir
cerita M meninggalkan H, orang Bajo dapat mengelak dari keharusan untuk memilih antara
Darat dan Laut (yang dalam hal ini dilambangkan oleh tokoh DM dan M) serta kembali ke
dunia orang Bajo, yaitu meninggalkan orang-orang Bajo tertentu (yang dilambangkan dengan
H) untuk mengunjungi orang-orang Bajo yang lain. Jadi kisah ini merupakan proyeksi dari
realitas sehari-hari yang penuh pertentangan dan teka-teki yang tidak terpecahkan. Proyeksi
ini disampaikan melalui struktur tertentu yang bersifat dialektis. Oleh karena itu, sebuah
mitos atau ceritera sebenarnya dapat menjadi model of (model dari) dan model for (model
untuk) realitas yang dihadapi manusia. Dalam interpretasi sebuah mitos yang terjadi adalah
sebuah gerak dialektis, yaitu dari data kebudayaan ke mitos itu, dari bagian ke keseluruhan,
Selanjutnya pada bab 6 buku ini disajikan sebuah analisis struktural mengenai dongeng
Sri Sumarah, Bawuk dan Para Priyayi yang ditulis oleh Umar Kayam. Analisis struktual
untuk menganalisis dongeng ini agak berbeda, karena Prof Heddy sendiri berusaha
penelaah untuk menemukan struk dalam fenomena maka sering melupakan tafsir-tafsir
simbolik non-struktural yang mungkin dapat diberikan pada elemen-elemen fenomena yang
dianalisis (Ahimsa-Putra 2006:254). Prof Heddy juga memberikan sejumlah alasan tentang
diangkatnya sebuah karya sastra dapat tergolong dalam sebuah mitos yang berangkat dari
pendat Levi Strauss dalam bukunya yang menyatakan bahwa kehadiran mitos dalam
kehidupan manusia adalah untuk mengatasi atau memecahkan berbagai kontradiksi empiris
yang tidak terpahamioleh nalar manusia (Ahimsa-Putra 2006:259). Dari pendapat tersebut
dapat ditarik beberapa alasan bagaimana sebuah karya sastra (disini karya umar kayam
dengan judul Sri Sumarah, Bawuk dan Para Priyayi) dapat dianggap sebagai mitos, berikut
asumsinya: (1) cerita tersebut ditulis oleh Umar Kayam dalam upaya memahami sebuah
peristiwa dahsyat yang secara pribadi sulit dipahami, (2) Umar Kayam menulis cerita tersebut
bukan sebagai pengarang biasa ataupun sebagai pengamat atau penulis reportase, tetapi
sebagai individu yang telah melibatkan diri ditengah peristiwa tersebut sebagai aktor yang
membuat interpretasi (Ahimsa-Putra 2006:260). Dari uraian diatas mari kita lihat bagaimana
episode kehidupan remaja, episode kehilangan keluarga dan politik, episode pelarian dan
episode akhir kisah. Hal tersebut dilakukan untuk mengatahui struktur homologi, oposisi,
inversi dan transformasi dari pengalaman-pengalaman tokoh-tokoh yang ada dalam cerita
yaitu Tun (T), Bawuk (B) dan Harimurti (H), serta pasangan mereka.
Atas dasar ceriteme dan episode, dapat dikemukakan bahwa T, B dan H adalah anak-
anak cerdas yang memiliki tempat khusus dalam keluarga priyayi Jawa, serta berada dalam
kawasan liminal ( dunia betwixt dan beetwin ) dari dua dunia yang berbeda-beda, yaitu antara
Jawa dan bukan Jawa, Islam dan kafir, priyayi dan wong cilik, serta PKI dan bukan PKI.
Tokoh-tokoh T, B dan H adalah individu yang tidak biasa dalam jagad budaya sosial mereka,
yakni jagad para priyayi (Ahimsa-Putra 2006:279-280). Dari sudut lain kita juga menemukan
kutub-kutub berlawanan, yakni antara yang terlibat PKI (Yos, Hassan, Gadis) dan yang tidak
terlibat PKI (Sri Sumarah, nyonya Soeryo, Lantip), serta antara struktur (Sri Sumarah,
nyonya Soeryo, Lantip, Yos, Hassan, Gadis) dan anti-struktur atau kutub betwixt and beetwin
(Tun, Bawuk, Hari). Model yang kemudian terbentuk dari penggabungan dua oposisi
berpasangan ini adalah segitiga tegak (upright triangle) (Ahimsa-Putra 2006:285). Apa
hubungan segitiga tegak yang dihubungkan dengan nalar orang Jawa (javanese mind).
Struktur segitiga tegak yang ada dibalik kisah diatas menggambarkan kosepsi atau cara nalar
orang Jawa menampilkan, tatanan (order), serta pandangan bahwa segala sesuatu harus
temata (tertata). Konsepsi ketertatan ini dalam nalar orang Jawa menurut Helman (1988)
memiliki tiga komponen yaitu: kesatuan (unity), kesinambungan (continuity), dan keselarasan
(harmony) (Ahimsa-Putra 2006:286). Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa inilah
strukturalismenya.
Lalu pendekatan heurmeuneutikanya dapat dilihat dari penafsiran terhadap posisi Umar
Kayam sebagai ilmuan sekaligus seniman, karena dalam cerita tersebut tidak hanya imajinasi
saja yang digunakan akan tetapi data-data otentik yang langsung dialami Umar Kayam, yang
menariknya di tuangkan dalam sebuah cerita. Posisi ini disebut sebagai posisi liminal, atau
posisi ditengah-tengah dua hal yang berbeda. Orang Jawa menyebut ini sebagai sak madya,
secukupnya saja. Posisi Umar Kayam juga dikaitkan dengan posisi semar yang notabene
cerminan seorang batur, tetapi dia juga seorang dewa. Posisi semar disini juga liminal. Dari
penafsiran heurmeuneutik diatas dapat dilihat bagaimana nalar orang Jawa (Ahimsa-Putra
2006:288-295).
pada bab 7 disajikan sebuah analisis struktural dengan karya yang sama yaitu karya Para
Priyayi, karya Umar Kayam. Dalam hal ini yang dianalisis adalah tokoh Lantip dalam cerita
tersebut. Diceritakan bahwa Lantip disebut sebagai priyayi yang sejati, selanjutnya timbul
lewat analisis struktural ini akan dapat ditampilkan berbagai relasi(relasi Lantip dengan
berbagai peristiwa, atau dengan tokoh lain) yang pada mulanya tidak begitu tampak, atau
masih tersembunyi di balik berbagai macam narasi cerita (Ahimsa-Putra 2006:303). Seperti
sesuai dengan kebutuhan untuk menganalisis tokoh Lantip ini, tentunya penggalan-penggalan
tersebut berhubungan dengan tokoh Lantip ini. Dari hasil analisis ditemukan bahwa tokoh
Lantip dilihat dari life history nya, mirip atau bahkan sama dengan tokoh Sastrodarsono, yang
merupakan tokoh utama dalam cerita ini. Maka dalam hasil analisis akhir terdapat relasi-
relasi antara Lantip, Ngadiyem (ibu Lantip), dan Sastrodatsono (priyayi/juragan dari
Ngadiyem) sama dengan relasi antara Soedarsono (nama kecil Sastrodarsono), Atmokasan
relasi tersebut mengahsilkan struktur segitiga condong, yang menunjukan bahwa relasi Seten
Kedungsimo dengan Atmokasan sama dengan relasi antara Soedarsono dengan Ngadiyem,
yaitu relasi patron-klien, relasi antara Atmokasan dengan Soedarsono sama dengan relasi
antara Ngadiyem dengan Lantip, yaitu relasi keturunan, sedangkan relasi Seten Kedungsimo
dengan Soedarsano sama dengan relasi antara Soedarsono dengan Lantip, yaitu relasi adopsi
(Ahimsa-Putra 2006:323). Jika dilihat relasi-relasi tersebut memang ada dalam cerita
walaupun tersembunyi, bahkan mungkin tidak disadari oleh penulisnya. Relasi-relasi tersebut
dihasilkan dari melihat relasi yang saling berlawanan yang kemudian di mediasi dengan
sebuah tafsir untuk menyelesaikannya. Disebutkan pula bahwa konsep dalam priyayi jawa
tidak hanya dilihat dari garis keturunannya saja, akan tetapi sebuah proses yang
priyayi (Ahimsa-Putra 2006:326). Dari uraian tersebut dapat dilihat ketajaman dari pisau
struktural sebagai suatu jalan untuk memahami fenomena secara lebih mendalam lagi.
Selanjutnya, pada bab 8 diuraikan menganai analisis struktural dari mitos dan
sinkretisasi Islam di Jawa, dengan media babad tanah Jawa. Membahas sinkretitasi berarti
(Ahimsa-Putra 2006:338). Sinkretisasi dalam buku ini mengambil dari definisi yang
dinyatakan oleh Beals (1953:630), yang menyatakan bahwa sinkretisasi adalah sebuah proses
combining original and foreign traits either in harmonious whole or with retention
Putra 2006:338). Analisis struktural yang diuraikan dalam bab ini adalah dengan melihat
relasi-relasi dalam proses sinkretisasi Islam di Jawa, tentunya denga melihat bagaimana relasi
masa pra Islam di Jawa dengan masa Islam di Jawa. Relasi-relasi tersebut diambil dari
beberapa peristiwa tertentu yang relevan dengan proses singkretisasi Islam di Jawa. Dapat
dilihat dari relasi geneaologis bahwa tokoh-tokoh pewayangan (budaya hindu) dan raja-raja
Jawa berasal dari silsilah keturanan yang sama yaitu keturanan sang manusia pertama yaitu
nabi Adam (budaya Islam). Relasi geneaologis tersebut mampu membangkitkan sebuah citra
sinkretis baru bahwa orang Jawa adalah juga orang Islam dan Hindu sekaligus (Ahimsa-Putra
2006:348). Jika dilihat relasi analogis, diambil dari tokoh-tokoh wayang Bima dalam cerita
Dewaruci dengan tokoh Sunan Kalijaga dengan Nabi Khidir. Jika dilihat bahwa antara tokoh
Bima dalam lakon Dewaruci (kisah pencarian Bima menemukan ngelmu jatining jejer ing
Pangeran, yang dalam kisahnya bertemu dengan dirinya sendiri akan tetapi dalam sosok
yang lebih kecil) dengan kisah kehidupan Sunan Kalijaga (yang dalam kepercayaan Jawa,
pernah bertemu nabi Khidir akan tetepi dalam sosok anak kecil dengan maksud untuk belajar)
historis yang dilihat dari hubungan Sunan Kalijaga dengan Prabu Yudhistira, dari sudut
pandang lakon wayang jimat kalimasada. Kisah jimat kalimasada merupakan kisah
carangan, yaitu kisah yang dibuat oleh dalang sendiri dan tidak terdapat dalam cerita pakem
menerima jimat kalimasada dari Bathara Guru, tidak dapat meninggal atau moksa sebelum isi
jimat tersebut dapat dibaca, dan yang dapat membaca tersebut hanya seorang yang bernama
Seh Malaya atau Sunan Kalijaga sendiri. Dalam cerita tersebut dapat dilihat bahwa kisah
Jimat Kalimasada (terlepas dari kebenaran empirisnya) telah memungkinkan orang Jawa-
pada tataran kognitif- untuk (1) menghubungkan kehidupan masa pra Islam dengan
kehidupan di masa Islam, dan (2) memandang serta menafsirkan perpindahan agama non-
Islam ke agama Islam sebagai sesuatu yang sah dan dapat diterima. Selanjutnya relasi
profesis terdapat pada hubungan atau relasi antara Nyai Roro Kidul, raja Mataram
Panembahan Senopati dan budaya Islam, yakni ketika terdapat suatu ramalan darin raja
Sindula bahwa Ratu Kidul atau ratu Roro Kidul nakan menikah dengan raja Mataram yang
menguasai Jawa dan menetapkan Islam sebagai agama kerajaan. Jika dilihat, tokoh dari dunia
lelembut ini (yang merepresentasikan budaya pra-Islam) menjadi tidak lagi terlihat sebagai
kehadiran Sunan Kalijaga untuk mengingatkan agar tidak sombong jika sudah mempunyai
suatu daya kekuatan. Menariknya Sunan Kalijaga tidak melarang atau Panembahan Senopati
karena sudah melakukan hubungan dengan dunia gaib, tetapi karena laku sombong nyalah
sehingga pantas untuk ditegur. Dapat ditafsirkan bahwa relasi-relasi tersebut menyiratkan
bahwa budaya pra-Islam dengan budaya Islam dapat bersatu. Model tersebut oleh Gertz
dinamakan dengan model of, yaitu model untuk memahami dan menempatkan berbagai unsur
yang berasal dari sistem prinsip pra-Islam, Jawa, dan Islam, dalam sebuah kerangka
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa analisis struktur dapat menyajikan sebuah model
atau pola kebudayaan yang kadang-kadang sulit terlihat. Akan tetapi yang harus diperhatikan
dalam analisis tersebut menurut saya adalah bekal ilmu atau pengetahuan kebudayaan dari
mitos atau cerita tersebut berasal, karena jika miskin pengetahuan kebudayaan akan terjebak
dalam tafsir yang asal-asalan atau akan terjebak dalam etnosntrisme, hal tersebut dikarenakan
bahasa pengantar mitos merupakan bahasa dengan kebenaran simbolik bukan kebenaran
empiris.
Pada bab selanjutnya (bab 9), diuraikan kembali menganai analisis strukturalis tetapi
dengan cara berbeda dibandingkan dengan bab sebeblumnya, yaitu dengan membandingkan
dua mitos dari dua kebudayaan berbeda. Mitos yang dianalisis ana mitos Sawerigading dari
Bugis-Makasar dan mitos Dewi Sri dari Jawa. Dengan melihat hasil analisis komparatif
struktural kontekstual dari kedua mitos tersebut terdapat sebuah struktur tentang perkawinan
ideal, pelapisan sosial dan tentang kekuasaan (Ahimsa-Putra 2006:405-436). Selain itu juga
inti dari hasil analisis tersebut adalah larangan incest (perkawinan sedarah), yang merupakan
pesan utama dan sebab utama dari mitos tersebut. Selain itu juga dilihat bahwa mitos dapat
digunakan sebagai alat legitimasi untuk bentuk pernikahan tertentu, penentuan jodoh yang
ideal, serta pesan yang tersirat tentang pelestarian kekuasaan baik itu dari Bugis yang
menenkan pada kemurnian darah kebangsawanan dan dari yang menekankan pada
Dari hasil pembacaan terhadap buku Strukturalisme Levi Strauss, Mitos dan Karya
Sastra ini, yang ditulis oleh Prof. Dr Heddy Shri Ahimsa-Putra, menurut saya penulis telah
berhasil menjelas strukturalisme Levi Strauss dengan baik dan sangat rinci. Selain itu buku
ini juga menunjukan manfaat paradigma struktural dalam membedah fenomena sosial dan
budaya dengan cukup baik. Walaupun Prof Heddy sendiri berpendapat pada kesimpulan buku
ini bahwa paradigma strukturalisme bukanlah segala-galanya dan pasti tidak cocok
diterapkan pada semua bidang, aka n tetapi pada bidang-bidang tertentu saja, hal tersebut
sama seperti pendekatan analisis yang seperti fungsionalisme, evolusioneisme dsb. Ada
sedikit yang mungkin luput atau memang disengaja dilakukan oleh penulis yaitu penulisan
buku ini yang sangat bertele-tele dan tidak strukturalis (tidak menampilkan model-model agar
dapat dengan mudah dimengerti). Hal tersebut dikarenakan mungkin kerena buku ini bukan
sebuah pengantar strukturalisme akan tetapi sebuah buku wacana strukturalisme Levi Strauss,
yang menurut saya buku wacana seperti ini sangat langka di Indonesia, dan hal ini yang perlu
kita apresiasi.