Anda di halaman 1dari 34

Strukturalisme Lévi-Strauss

Mitos dan Karya Sastra


Oleh Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, M.A., M.Phil

Review oleh Merry Andriani – 13/357453/SSA/904


Sebagai tugas ke-4 mata kuliah Filsafat dan Paradigma Ilmu Budaya
Program Studi S3 Ilmu-Ilmu Humaniora, Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada – November 2013

Buku yang berjudul ‘Strukturalisme Lévi-Strauss Mitos dan Karya Sastra’ setebal
493 halaman ini dapat dikatakan merupakan karya monumental terkait Lévi-
Strauss sebagai tokoh antropologi struktural yang pernah dituliskan dalam
bahasa Indonesia, bagi publik Indonesia secara luas. Sebagai penulis Prof.
Ahimsa-Putra sangat berhasil menuliskan kembali ide-ide dan pemikiran
strukturalisme Lévi-Strauss yang rumit, serta memberikan contoh aplikasinya
dalam beberapa analisis mitos & karya sastra indonesia, dengan narasi bahasa
yang jernih, teliti, mengasyikkan dan relatif mudah dicerna. Kemampuan menulis
ilmiah yang luar biasa ini mungkin cukup langka di kalangan peneliti dan ilmuwan
kita di Indonesia. Karya tulis atau buku acuan ilmiah yang ditulis oleh para
ilmuwan pada umumnya dianggap tidak menarik, kadang cenderung dijauhi
publik umum, karena bahasanya yang ‘njelimet’, sulit dipahami, dan penuh
kosakata ilmiah yang penggunaannya kadang masih perlu dipertanyakan
ketepatannya. Hal ini membuat buku-buku hasil penelitian hanya dibaca oleh
mahasiswa atau pelajar yang diharuskan mempelajarinya, disamping memang
mungkin kebiasaan membaca yang tidak begitu populer dalam masyarakat kita.

Sungguh merupakan kejutan yang menyenangkan, dapat membaca buku teori ini
seperti layaknya membaca sebuah novel. Gaya penulisan Lévi-Strauss dalam
karya-karyanya juga dikenal dengan gaya penulisan romantisisme bagi kalangan
ilmuwan yang diinspirasi oleh Jean-Jacques Rousseau di Prancis. Karya-karya
pemikiran besar para filsuf semacam ini dapat menjangkau masyarakat luas

1|Merry Andriani – T.4


dengan lebih luwes. (Marcel Hénaff – Claude Lévi-Strauss et l’anthropologie
structurale, Belfond 1991).

Halaman awal buku ini dimulai dengan “Ucapan Terimakasih” sebagai


penghargaan kepada berbagai pihak yang telah membantu terwujudnya buku
tersebut. Prof. Ahimsa-Putra juga memaparkan perbedaan edisi baru dan edisi
lama penerbitan buku ini, yang salah satunya adalah munculnya konsep
‘ceriteme’. Konsep ini muncul sebagai jalan keluar dari Prof. Ahimsa-Putra untuk
mengatasi kesulitan mengidentifikasi ‘miteme’ sebagaimana yang dipaparkan
Lévi-Strauss dalam konsep ‘Mytheme’. Hal ini menurut saya sebetulnya tidak
diperlukan, karena perbedaan konsep ceriteme & miteme pada akhirnya tidak
menimbulkan perubahan pada analisis dan hasilnya. Definisi konsep miteme &
ceriteme menurut Prof. Ahimsa-Putra (2006 : 206) adalah:
“Rangkaian kalimat-kalimat di atas saya sebut ceriteme untuk
membedakannya dengan miteme, yang berupa kalimat-kalimat. Ceriteme
adalah sebuah unit yang mengandung pengertian tertentu yang –seperti
halnya miteme- hanya dapat diketahui maknanya atau ‘pengertiannya’
setelah ditempatkan dalam hubungan dengan ceriteme-ceriteme yang
lain.”
Sementara itu konsep mytheme yang dimaksudkan oleh Lévi-Strauss adalah
sebagai berikut (Hénaff, 1991 : 224) :
“Lévi-Strauss propose d’appeler mythème cette unite narrative minimale
qui définit le niveau auquel les autres niveaux peuvent se réduire. Le
mytheme ne s’identifie donc pas plus à la phrase qu’au mot ; il n’est pas
une entité linguistique mais il en a, comme elle, la forme logique ; il n’est
pas un signifié ou un theme ; mais il n’est pas separable des figures qui
peuplent le recit. … Son existence est plutot logique que thématique,…”

Terjemahannya :
Lévi-Strauss mengusulkan untuk menyebut unit narasi minimal yang menentukan
tingkatan yang mereduksi tingkatan narasi lainnya sebagai miteme. Jadi miteme
ini tidak cukup diidentifikasikan pada kalimat ataupun kata ; miteme bukanlah
sebuah entitas linguistik tapi seperti layaknya linguistik, ia memiliki bentuk logis ;
ia bukanlah sebuah petanda atau sebuah tema ; tapi tak terpisahkan dari bentuk-
bentuk yang memenuhi cerita. … Keberadaannya lebih bersifat logika daripada
tematis. …”
Dari penjelasan tentang maksud konsep ‘Mytheme’ oleh Lévi-Strauss tersebut,
kita dapat menarik kesimpulan bahwa miteme itu tidak diidentifikasikan melalui

2|Merry Andriani – T.4


bentuk linguistiknya yang berupa rangkaian kalimat, kalimat, ataupun kata.
Miteme ditentukan dari unit narasi terkecil yang merupakan logika pembentuk
cerita. Secara metodologis miteme dianalogikan juga seperti fonem dalam
bahasa, sebagai bunyi, bukan huruf (Hénaff, 1991 : 225). Namun hal yang
disayangkan oleh para pengkritik Lévi-Strauss adalah ketidakkonsistenannya
dalam menerapkan konsep ini dalam analisis mitos. Lévi-Strauss sendiri tidak
mencoba untuk mengisolasi miteme-miteme ini dan kemudian menunjukkan
kombinasi-kombinasinya dalam mitos yang dianalisis.

Pada bab I yang merupakan ‘Pendahuluan’ buku ini Prof. Ahimsa-Putra


memaparkan tentang kiprah paradigma struktural yang berasal dari disiplin
linguistik dan kemudian dikembangkan sebagai epistemologi baru dalam ilmu
sosial-budaya oleh Claude Lévi-Strauss. Pada bagian pendahuluan ini Prof.
Ahimsa-Putra juga memberikan latar belakang riwayat hidup dan perjalanan karir
Lévi-Strauss sebagai seorang ahli antropologi yang berasal dari Prancis. Hal
menarik yang terlewatkan dari paparan riwayat hidup ini adalah terkait evolusi
filsafat dan paradigma ilmu sosial-budaya, sebetulnya riwayat pendidikan dan
karir Lévi-Strauss ini sangat menarik. Lévi-Strauss tidak pernah mengenyam
pendidikan formal antropologi, ia lulus dari fakultas hukum Université Paris
Panthéon pada tahun 1927 dan fakultas filsafat Sorbonne pada tahun 1931.
Teman-teman kuliahnya di filsafat adalah Maurice Merleau-Ponty (tokoh
fenomenologis), Simone Weil (tokoh filsafat) dan Simone de Beauvoir (tokoh
feminisme) yang dekat dengan Jean-Paul Sartre (tokoh existensialisme) yang
juga ditemuinya kembali semasa pengungsian di New York di tahun 1945, selain
Roman Jakobson (tokoh linguistik stuktural) yang banyak memberinya
‘pencerahan’ tentang fonem.

Bab-bab berikutnya akan disajikan dalam bentuk ringkasan ide-ide pokok dan
beberapa ulasannya, dengan alur mengikuti struktur penyajian buku yang kita
ulas kali ini.

Bab II Strukturalisme Lévi-Strauss


1. Lévi-Strauss, Bahasa dan Kebudayaan
Hubungan bahasa dan budaya sejak lama menjadi perdebatan tanpa
ujung di kalangan ilmuwan sosial-budaya seperti perdebatan ayam dan

3|Merry Andriani – T.4


telur. (Namun perdebatan ayam dan telur ini pun akhirnya sudah
ditemukan jawabannya: ilmuwan menemukan bahwa protein pembentuk
cangkang telur ternyata hanya dapat diproduksi oleh ayam betina). Pada
bagian ini Prof. Ahimsa-Putra memaparkan 3 kelompok pandangan-
pandangan para ahli antropologi terkait hubungan antara bahasa dan
kebudayaan dan pilihan pandangan Lévi-Strauss yang memilih
pandangan bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. (2006 :
25-26) Perspektif yang tepat menurutnya adalah memandang bahasa dan
kebudayaan sebagai hasil dari aneka aktivitas yang pada dasarnya mirip
atau sama. Aktivitas ini berasal dari nalar manusia. Jadi korelasi antara
bahasa dan budaya bukanlah karena hubungan kausal, melainkan karena
keduanya merupakan hasil aktivitas nalar manusia. Maka dengan
pandangan ini dimungkinkan untuk melihat korelasi sejajar antara bahasa
dan budaya pada tataran-tataran tertentu.

Setelah buku karya Ferdinand de Saussure yang berjudul ‘Cours de


Linguistique Générale terbit pertama kalinya tahun 1916, linguistik
struktural berkembang dengan pesat. Keberhasilan para ahli bahasa
untuk merumuskan hukum-hukum untuk memahami fenomena bahasa
yang kompleks pada jaman itu sangat berkesan bagi Lévi-Strauss. Ia pun
kemudian menggunakan analisis linguistik sebagai model bagi
analisisnya.

Strukturalisme Lévi-Strauss secara implisit menganggap teks naratif,


seperti misalnya mitos, sejajar atau mirip dengan kalimat berdasarkan :
teks sebagai kesatuan yang bermakna dan teks diartikulasikan oleh kata-
kata pembentuk kalimat.

2. Lévi-Strauss dan Linguistik Struktural


Berikut ini tiga tokoh linguistik struktural yang berpengaruh pada Lévi-
Strauss :
a. Ferdinand de Saussure dan Bahasa
Ada hal menarik ketika membandingkan Ferdinand de Saussure &
Claude Lévi-Strauss namun tidak ditemukan dalam buku ini.
Ferdinand de Saussure yang lahir di Jenewa pada tanggal 26

4|Merry Andriani – T.4


november 1857, secara kebetulan tanggal lahirnya dekat sekali
dengan Lévi-Strauss yang lahir 48 tahun kemudian di tahun 1905
pada tanggal 28 november. Bukan tidak mungkin kedua orang ini
memiliki karakter kecerdasan yang mirip dan menimbulkan
ketertarikan idealisme. Walaupun dikenal sebagai ahli linguistik yang
jenius, semasa hidupnya de Saussure tidak menerbitkan satu pun
buku dari sekian banyak tulisan manuskripnya yang hanya beredar di
kalangan terbatas. Setelah de Saussure meninggal, murid-muridnya
kemudian berinisiatif menerbitkan kumpulan tulisannya dalam buku
“Cours de Linguistique Générale” (CLG) yang terbit pertama kali
tahun 1916. Jadi buku ini merupakan satu-satunya buku hasil karya
de Saussure yang pernah terbit. Beberapa manuskrip lainnya
diserahkan keluarga de Saussure kepada universitas Oxford, dan
belum diterbitkan.

Dari CLG lahirlah apa yang kita kenal dengan linguistik struktural,
seperti yang dipaparkan oleh Prof. Ahimsa-Putra pada halaman 34-
52, ide-ide pokok de Saussure yang menjadi dasar strukturalisme
Lévi-Strauss sebagai berikut :
1. Signifiant (Penanda) >< Signifié (Tertanda)
2. Forme (Bentuk) >< Contenu (Isi)
3. Langue (Bahasa) >< Parole (Ujaran)
4. Synchronie (Sinkronis) >< Diachronie (Diakronis)
5. Syntagmatique (Sintagmatik) >< Paradigmatique (Paradigmatik)

Mengingat linguistik struktural ini lahir dalam bahasa Prancis, saya


memilih untuk menggunakan istilah ide-ide pokok tersebut dalam
bahasa Prancis dan memberikan terjemahannya dalam tanda kurung,
dalam bahasa Indonesia. Ada hal menarik yang diutarakan Prof.
Ahimsa-Putra di sini yaitu dalam menerjemahkan istilah signifié,
beliau menemukan istilah ‘tinanda’. Kata ‘tinanda’ sendiri merupakan
kata bentukan yang berasal dari kata ‘tanda’ yang mendapatkan
sisipan atau infiks ‘-in-’. Hal ini menarik dikupas secara tata bahasa
Indonesia, karena sisipan atau infiks ‘–in-‘ seperti –em-, -el-, -er-, ini
sendiri oleh pakar bahasa Indonesia seperti Alwi dkk dalam buku

5|Merry Andriani – T.4


“Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia” (2003 : 235), dianggap
sebagai prosedur sudah tidak produktif, karena jarang digunakan,
disamping kajian semantiknya yang belum mapan. Tidak banyak kata
yang dikenal dari bentukan ini, namun beberapa di antaranya oleh
Harimurti Kridalaksana (2007 : 62 & 76) dikelompokkan sebagai
berikut :
1. –em- : maknanya frekuentatif (berulang-ulang)
Contoh : getar -> gemetar
2. –in- : maknanya duratif, atau membentuk kata benda
Contoh : sambung -> sinambung, kerja -> kinerja
3. –el- : maknanya alat, kumpulan, benda yang…
Contoh : tunjuk -> telunjuk
4. –er- : maknanya alat, yang ber…
Contoh : suling -> seruling

Kata signifié sendiri dalam bahasa Prancis merupakan kata benda


hasil bentukan dari konjugasi kala lampau kata kerja signifier
(menandai), yang jadi bermakna pasif. Jadi signifié artinya adalah
yang ditandai (tertanda). Dalam terjemahan buku CLG ke dalam
bahasa Indonesia pada tahun 1988, bapak Harimurti Kridalaksana
sebagai editor telah memilih kata ‘petanda’ sebagai padanan kata
signifié. Istilah ‘petanda’ ini telah dikonvensikan dan digunakan di
kalangan ahli bahasa di Indonesia sejak 25 tahun yang lalu.

Pemilihan kata ‘tinanda’ oleh Prof. Ahimsa-Putra untuk menggantikan


istilah ‘petanda’ yang sudah mapan, saya kira perlu penelitian
linguistik bahasa Indonesia yang lebih jauh. Terutama resistensi
sisipan ‘–in-‘ dalam pembentukan kata yang bermakna pasif.
Mengingat prosedur sisipan ini belum dapat digeneralisasi, contohnya
pada kata kerja -> kinerja. Tidak terdapat makna pasif.

Terkait tentang hubungan antara ‘Signifiant’ dan ‘Signifié’ yang


arbitraire menurut de Saussure, Prof. Ahimsa-Putra tidak
menyandingkannya dengan konsep hubungan ‘Signifiant’ dan
‘Signifié’ yang necessaire menurut Benveniste. Pandangan

6|Merry Andriani – T.4


Benveniste ini menganggap bahwa hubungan antara ‘penanda’ dan
‘yang ditandai’ itu bukanlah arbitraire (manasuka), melainkan
necessaire (yang hadir tanpa sebab ataupun syarat), melekat dan
dikonvensikan dalam masyarakat. Contohnya, jika ada yang
menyebut [batu] maka yang mendengarnya tidak mungkin
membayangkan seekor kuda, karena kata ‘batu’ telah melekat dan
dikonvensikan dengan konsep batu.

b. Roman Jakobson dan Fonem


Pengaruh Jakobson pada Strukturalisme Lévi-Strauss adalah konsep
tentang fonem sebagai hasil kombinasi dari sejumlah oposisi-oposisi
berpasangan. Fonem terbentuk karena adanya relasi-relasi, dan
relasi-relasi ini muncul karena adanya oposisi. Jadi ‘isi’ di sini tidak
ada, yang ada hanyalah ‘relasi’. Prinsip inilah yang kemudian
mengilhami cara analisis Lévi-Strauss atas berbagai macam
fenomena budaya. Fonem sebagai satuan terkecil pembeda makna
memiliki sifat-sifat : Oppositive (berlawanan), Relative (relatif), dan
Negative (negatif).

c. Nikolai Troubetzkoy dan Analisis Struktural


Beberapa konsep pemikiran Troubetzkoy yang mempengaruhi Lévi-
Strauss adalah :
1. Analisis struktural perlu beralih dari tataran yang disadari ke
tataran ‘nirsadar’.
2. Ahli fonologi harus memperhatikan relasi-relasi antar-istilah atau
antar-fonem dan menjadikannya dasar analisis.
3. Selanjutnya perlu diperhatikan sistem-sistem fonemis dan
menampilkan struktur dari sistem tersebut.
4. Ahli linguistik juga harus berupaya merumuskan hokum-hukum
tentang gejala kebahasaan yang mereka teliti.

3. Makna, Struktur dan Transformasi


Beberapa konsep penting untuk memahami cara analisis dalam
Strukturalisme Lévi-Strauss menurut Prof. Ahimsa-Putra adalah :
a. Konsep Struktur

7|Merry Andriani – T.4


Struktur adalah model yang dibuat oleh ahli antropologi untuk
memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya.
Model ini merupakan relasi-relasi yang berhubungan satu sama lain
atau saling mempengaruhi. Terdapat dua jenis struktur yaitu : struktur
lahir/struktur luar (surface structure) dan struktur batin/struktur dalam
(deep structure).
b. Konsep Transformasi
Dalam konteks ini transformasi diartikan sebagai alih-rupa dalam
bahasa Indonesia, artinya perubahan yang terjadi pada tataran
permukaan, sedang pada tataran yang lebih dalam tidak terjadi
perubahan.
Analisis struktural memusatkan perhatiannya pada keberadaan struktur,
bukan pada proses perubahannya.

4. Beberapa Asumsi Dasar


Beberapa asumsi-asumsi dasar dalam paradigma strukturalisme Lévi-
Strauss yang dipaparkan oleh Prof. Ahimsa-Putra adalah :
a. Berbagai aktivitas sosial dan hasilnya dapat dikatakan sebagai
bahasa-bahasa atau perangkat tanda dan symbol yang
menyampaikan pesan tertentu. Oleh karena itu terdapat ketertataan
(order) dan keterulangan (regularities) pada berbagai fenomena
tersebut. Sebagai kode, berbagai fenomena sosial tersebut juga
memiliki elemen-elemen seperti dalam bahasa : kosakata dan
tatabahasa.
b. Manusia normal secara alami memiliki kemampuan untuk melihat dan
menyusun struktur atas berbagai gejala-gejala yang dihadapinya.
c. Berdasarkan pendapat de Saussure bahwa sebuah istilah ditentukan
maknanya oleh relasi-relasinya pada suatu titik waktu tertentu atau
secara sinkronis, dengan istilah-istilah yang lain. Para penganut
strukturalisme berpendapat bahwa relasi-relasi suatu fenomena
budaya dengan fenomena lainnya pada titik waktu tertentu yang
menentukan makna fenomena tersebut. Dan untuk menjelaskan suatu
gejala, acuan yang digunakan adalah sinkronis dan menggunakan
hukum transformasi.

8|Merry Andriani – T.4


d. Relasi-relasi yang ada pada struktur dapat disederhanakan lagi
menjadi oposisi berpasangan (binary opposition) yang dibedakan
dalam dua jenis : eksklusif dan tidak ekslusif

Bab III Lévi-Strauss dan Mitos


1. Mitos dan Nalar Manusia
Ketertarikan Lévi-Strauss terhadap kajian tentang mitos berangkat dari
keingintahuannya terhadap prinsip-prinsip universal nalar manusia. Pada
masyarakat primitif, salah satu cara untuk mengetahui bagaimana mereka
bernalar terhadap berbagai gejala adalah dengan mempelajari mitos.
Suatu hal yang menarik dalam mitos bagi Lévi-Strauss adalah seringnya
ditemukan kemiripan antara satu mitos atau dongeng dengan yang lain,
baik pada beberapa unsurnya maupun pada beberapa episodenya.
Selain itu, ada juga kemiripan antara berbagai mitos pada banyak suku
bangsa di dunia yang kadang tidak saling mengenal dan seringkali begitu
jauh jarak tempat tinggalnya. Menurut Lévi-Strauss, mitos pada dasarnya
adalah ekspresi atau perwujudan dari unconscious wishes, keinginan-
keinginan yang tak disadari, yang sedikit banyak tidak konsisten, tidak
sesuai dengan kenyataan sehari-hari.

2. Mitos dan Bahasa


Persamaan dan perbedaan mitos dan bahasa menurut Lévi-Strauss
adalah sebagai berikut :
a. Sebagaimana halnya bahasa sebagai media komunikasi untuk
menyampaikan pesan-pesan, mitos disampaikan melalui bahasa dan
juga mengandung pesan-pesan.
b. Bahasa memiliki aspek ‘langue’ yang berada dalam konteks reversible
time dan ‘parole’ yang berada pada konteks non-reversible time,
demikian juga dengan mitos. Namun bedanya dengan bahasa, Mitos
dapat berada dalam dua konteks reversible time dan non-reversible
time sekaligus. Hal ini sekaligus membedakan Mitos dan Bahasa,
yaitu sifatnya yang pankronis, struktur ganda yang historis dan
sekaligus ahistoris.
c. Mitos adalah gejala seperti halnya bahasa. Lévi-Strausse mencoba
memperlihatkan kesamaan identitas yang penting antara bahasa dan

9|Merry Andriani – T.4


mitos, contohnya dengan kajian fonem yang ditemukan maknanya
dari kombinasi fonem-fonem tersebut. Demikian halnya dengan mitos,
maknanya akan dapat ditemukan dari kombinasi dan posisi tokoh-
tokoh dalam mitos tersebut.
d. Unit terkecil mitos disebut dengan miteme, yaitu kalimat-kalimat atau
kata-kata yang menunjukkan relasi tertentu atau mempunyai makna
tertentu. Ini berbeda dengan fonem sebagai unit terkecil bahasa yang
tidak memiliki makna, namun bernilai. Oleh karena itu miteme dapat
dikatakan sebagai symbol, namun juga sekaligus tanda yang memiliki
nilai pada konteks tertentu. (hal. 86).

Pemahaman tentang konsep miteme yang disampaikan Prof. Ahimsa-


Putra ini berbeda dengan pemahaman Marcel Hénaff (1991 : 225-226).
Menurut Hénaff, Lévi-Strauss justru menganalogikan miteme sebagai
fonem seperti yang ditemukan dalam bukunya Le Regard éloigné (1983 :
199) / The View From A far (1985) :
“En toute hypothèse, on se tromperait gravement si l’on croyait que,
pour nous, le mythème soit de l’ordre du mot ou de la phrase : entités
don’t on puisse definer le ou les sens, fût –ce de manière idéale (car
même le sens d’un mythe varie en function du context) et ranger ces
sens dans un dictionnaire. Les unites élémentaires du discours
mythique consistent, certes, en mots et en phrases, mais qui, dans
cet usage particulier et sans vouloir pousser trop loin l’analogie,
seraient plutôt de l’ordre du phoneme : unites dépourvues de
signification proper, mais permettant de produire des significations
dans un système où elles s’opposent entre ells, et du fait meme de
cette opposition”.

Terjemahannya :
Kesimpulannya, kita akan sangat keliru jika menganggap bahwa, miteme
adalah susunan kata atau kalimat : entitas yang dapat ditentukan maknanya
–secara ideal (karena makna mitos itu bervariasi tergantung konteksnya) dan
menyusun makna-makna tersebut dalam kamus. Unit dasar dari wacana
mitos tentu saja terdiri atas kata-kata dan kalimat-kalimat, tapi dalam
penggunaannya secara khusus dan tanpa perlu ditelaah lebih jauh,
analoginya adalah cenderung seperti susunan fonem : unit yang terbebas
dari maknanya sendiri, tapi memungkinkan untuk memberikan makna-makna
dalam sebuah sistem di mana fonem-fonem tersebut saling berlawanan
antara mereka, dan kelanjutan dari oposisi tersebut.

10 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
Lebih lanjut Lévi-Strauss memberikan contoh kalimat-kalimat : “kepalanya
menggelinding dan menjadi sebuah komet”, atau “sang pahlawan naik ke
pohon dan tidak bisa turun kembali”. Segmen naratif atau kalimat-kalimat
dalam sebuah mitos seperti ini tidak memberikan informasi makna di luar
sistem tempatnya berada dan di luar hubungan transformasi yang
menggunakan kalimat tersebut. Dalam pandangan seperti ini, maka miteme
merupakan analogi fonem.

Pandangan inilah menurut Hénaff yang membedakan metode analisis mitos


secara struktural dengan pendekatan-pendekatan formalis yang sudah ada
sebelumnya. Jadi status analogi miteme dengan fonem ini berada pada
tataran metodologi : membuat sebuah unit terkecil yang benar-benar
différentielle (membedakan), oppositionnelle (berlawanan), dan kosong
secara semantik.

3. Mitos dan Musik


Prof. Ahimsa-Putra memaparkan bahwa bagi Lévi-Strauss mitos juga
sama seperti musik. Dan dalam tetraloginya tentang mitos, banyak
ditemukan istilah-istilah dari dunia musik seperti : Ouverture, Finale,
Fugue, dsb. Namun penjelasan mitos dengan logika musikal ini tidak
semuanya dapat dipahami dengan mudah bagi orang awam yang tidak
memahami musik.
Untuk mengenali prinsip dasar musik yang digunakan oleh Lévi-Strauss,
berikut ini analogi-analogi musik yang digunakan oleh Lévi-Strauss dalam
mitos, menurut Hénaff adalah bahwa cerita mitos adalah sebuah alunan
polyphonie, harus dibaca secara linear terlebih dahulu, maka rangkaian
episode naratif sebuah mitos = jalinan melodi sebuah musik. Kemudian
dibaca dari atas ke bawah, maka strata semantik dalam mitos = tingkat
harmoni dalam komposisi musikal.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa Lévi-Strauss tertarik
menggunakan analogi musik ini dalam menganalisis mitos. Setelah
ditelusuri, kemungkinan latar belakang keluarganya yang memberikan
pengaruh ini. Kakek buyut Lévi-Strauss adalah Isaac Strauss, kompositor,
konduktor musik Prancis ternama di Prancis pada jaman Duke Louis-
Philippe dan Napoleon III.

11 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
4. Analisis Struktural Mitos : Metode dan Prosedur
Landasan analisis stuktural terhadap mitos menurut Lévi-Strauss yang
dicuplik oleh Prof Ahimsa-Putra dari buku Structural Anthropology (1963 :
211) adalah sebagai berikut :
- Jika memang mitos dipandang sebagai sesuatu yang bermakna,
maka makna ini tidaklah terdapat pada unsur-unsurnya yang berdiri
sendri, yang terpisah satu dengan yang lain, tetapi pada cara unsure-
unsur tersebut dikombinasikan satu dengan yang lain.
- Walaupun mitos termasuk dalam kategori ‘bahasa’, namun mitos
bukanlah sekedar bahasa. Artinya, hanya ciri-ciri tertentu saja dari
mitos yang bertemu dengan ciri-ciri bahasa.
- Ciri-ciri ini dapat kita temukan bukan pada tingkat bahasa itu sendiri
tapi di atasnya. Ciri-ciri ini juga lebih kompleks, lebih rumit, daripada
cirri-ciri bahasa ataupun ciri-ciri yang ada pada wujud kebahasaan
lainnya.

a. Mencari Miteme (Mytheme)


Pada bagian ini Prof. Ahimsa-Putra memaparkan definisi miteme
menurut Lévi-Strauss yang sama dengan apa yang disampaikan oleh
Marcel Hénaff di atas. Miteme adalah unsur-unsur dalam konstruksi
wacana mitos, yang juga merupakan satuan-satuan yang bersifat
oppositional, relatif dan negatif, seperti halnya karakter fonem!

b. Menyusun Miteme : Sintagmatis dan Paradigmatis


Menurut Prof. Ahimsa-Putra pada halaman 96, untuk dapat
memahami mitos yang kita analisis, kita harus membaca teks baru
yang muncul di hadapan kita dari kiri ke kanan, dan dari atas ke
bawah, kolom demi kolom, seperti halnya kalau kita membaca partitur
musik.

Bab IV Lévi-Strauss dan Analisis Struktural


1. Lévi-Strauss dan Kisah Oedipus
Rangkuman kisah Oedipus mungkin tidak perlu lagi disampaikan dalam
tulisan review ini, namun hal yang menarik yang perlu kita perhatikan

12 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
adalah bagaimana Lévi-Strauss mengidentifikasi miteme-miteme dalam
mitos ini dan kemudian menganalisisnya. Seperti yang dipaparkan oleh
Prof. Ahimsa-Putra, miteme-miteme yang diisolasi oleh Lévi-Strauss dari
kisah Oedipus adalah :
1. Kadmos mencari Eropa, saudara perempuannya, yang dilarikan oleh
Zeus.
2. Kadmos membunuh naga.
3. Orang-orang Spartoi yang muncul dari bumi, (sebagai hasil Kadmos
menabur gigi-gigi naga) dan saling membunuh.
4. Oedipus membunuh ayahnya, Laios.
5. Oedipus membunuh Sphinx (sebenarnya Sphinx bunuh diri, karena
Oedipus berhasil menjawab teka-tekinya).
6. Oedipus mengawini Jokaste, ibunya sendiri.
7. Eteokles membunuh Polyneikes, saudara laki-lakinya.
8. Antigone mengubur Polyneikes, saudara laki-lakinya, meskipun
dilarang.
Miteme-miteme yang telah ditemukan ini kemudian disusun oleh Lévi-
Strauss secara sintagmatis dan paradigmatis. Strategi ini merupakan
pengaruh Saussure yang menemukakan bahwa makna tanda ditentukan
oleh relasinya dengan tanda-tanda yang lain. Tabel sintagmatis dan
paradigmatis dan uraian analisis dari mitos Oedipus ini dapat kita lihat
pada halaman 105-109 buku Prof. Ahimsa-Putra ini.

2. Lévi-Strauss dan Kisah Asdiwal


a. Kisah Si Asdiwal
Untuk menganalisis mitos Asdiwal ini, Lévi-Strauss membedakan
empat tataran fakta :
- Peta fisik dan politik negeri Tsimshian, karena di dalam kisah ini
disebutkan nama tempat-tempat dan kota-kota yang memang nyata
ada.
- Kehidupan ekonomi atau mata pencarian orang-orang Tsimshian,
yang menentukan pola migrasi-migrasi besar musiman mereka di
antara lembah Skeena dan sungai Nass, serta merupakan konteks
dari berbagai peristiwa yang dialami oleh Asdiwal.

13 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
- Oraganisasi-organisasi social dan keluarga, karena di situ terdapat
kisah tentang perkawinan, perceraian, status janda, hubungan antara
seseorang dengan ipar-iparnya, dan peristiwa yang berkaitan dengan
hal tersebut, seperti perburuan, persaingan, dan tolong menolong.
- Kosmologi orang Tsimshian, yang tampak pada peristiwa kunjungan
Asdiwal ke langit dan ke dunia bawah tanah, yang semuanya
merupakan kisah mitologis, bukan pengalaman nyata.

b. Kisah Si Waux
Kisah si Waux, adalah kisah tentang anak laki-laki Asdiwal dari
perkawinannya yang kedua dan tampaknya merupakan tiruan dari
ayahnya. Secara kronologis, apa yang dialami Waux merupakan
peristiwa-peristiwa yang melengkapi pengalaman-pengalaman
Asdiwal. Pengalaman Waux terorganisir dalam schemata yang selain
bersifat homologous dengan schemata dalam kisah Asdiwal, juga
lebih eksplisit sifatnya. Lebih lanjut tentang analisis mitos si Waux ini
dapat dilihat pada halaman 128-135.

3. Lévi-Strauss dan Mitos-mitos Indian Amerika


Lévi-Strauss menganalisis ratusan mitos dari kalangan orang Indian
Amerika Selatan, yang dimulai dari sebuah mitos orang Indian Bororo di
Brazil Tengah. Mitos Bororo ini merupakan mitos kunci, awal perjalanan
besar Lévi-Strauss. Pada bagian ini Prof. Ahimsa-Putra memberikan
beberapa mitos Indian Amerika Selatan yang dianalisis oleh Lévi-Strauss,
seperti :
- M-1. Bororo. “Burung-burung Nuri dan sarang mereka”
- M-2. Bororo. “Asal-muasal air, perhiasan, dan ritus penguburan”
- M-5. Bororo. “Asal-muasal penyakit”
- M-304. Tucuna. “Keluarga yang berubah menjadi harimau-harimau”
- M-310. Tucuna. “Harimau yang memakan anak-anaknya”

Analisis dan uraian Lévi-Strauss terhadap begitu banyak mitos ini


bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana logika manusia bekerja,
ketika manusia belum mengenal kategori-kategori abstrak seperti dalam
aljabar. Lévi-Strauss mengatakan bahwa setiap mitos pada dasarnya
berhadapan dengan sebuah masalah. Untuk memecahkan masalah ini,

14 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
nalar mitis (Mythical thought) kemudian menyandingkannya atau
menyejajarkannya dengan masalah-masalah yang lain sekaligus, dan
kemudian menunjukkan bahwa masalah-masalah tersebut analogous
atau mirip satu sama lain. Nalar mitis juga bekerja dengan cara yang
khas, unik, yaitu menggunakan beberapa kode atau sistem kode secara
bersamaan untuk memecahkan berbagai persoalan.

4. Kritik dan Komentar


Setelah keberhasilan Lévi-Strauss dalam mengumpulkan dan
menganalisis begitu banyak mitos-mitos dari suku bangsa di Amerika,
dan menghubungkannya satu sama lain melalui relasi homologi, oposisi,
transformasi dan sebagainya, berbagai kritik, komentar dan pujianpun
mucul. Beberapa kritik terhadap Lévi-Strauss dari para ahli antropologi
dikelompokkan oleh Prof. Ahimsa Putra dalam tiga kategori (hal. 161-
174). Dan pada bagian akhir bab ini di halaman 175-178 Prof Ahimsa-
Putra juga memaparkan kelebihan analisis struktural dalam menganalisis
mitos-mitos :
a. Kritik terhadap Perangkat dan Metode Analisis
b. Kritik terhadap Interpretasi Data Etnografi
c. Kritik terhadap Hasil Analisis
d. Kelebihan Analisis Struktural

Bab V Analisis Struktural Dongeng Bajo


1. Mitologi di Indonesia
Kajian mitos di Indonesia menurut Prof. Ahimsa-Putra belum begitu
berkembang. Penelitian-penelitian yang dilakukan baru sebatas inventaris
mitos-mitos yang ada, dan kalaupun ada yang menganalisisnya, itupun
masih dengan paradigma fungsionalisme yang mengungkapkan fungsi
sosial mitos dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya. Untuk itu Prof.
Ahimsa-Putra mencoba untuk menerapkan cara analisis struktural Lévi-
Strauss supaya memahami makna atau menyodorkan makna baru dari
mitos, yang diambil di sini adalah sebuah mitos yang berasal dari
kalangan orang Bajo.

15 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
2. Selayang Pandang Orang Bajo di Indonesia
Menurut Prof. Ahimsa-Putra orang Bajo sangat unik dan khas dari sisi
etnis dan geografi. Komunitas yang dikenal juga dengan sebutan orang
laut ini tidak menduduki wilayah geografis yang tetap. Mereka hidup
tersebar dan mengembara di lautan luas, tidak hanya di wilayah
Indonesia tapi juga di perairan Asia Tenggara. Tempat-tempat
persinggahan mereka biasanya disebut dengan Labuan Bajo, sepanjang
kepulauan dari kepulauan selat Sunda di Indonesia Timur sampai pantai
Sumatera di Indonesia bagian Barat, dapat ditemukan nama-nama
tempat seperti Labuan Bajo. Namun seiring waktu, makin banyak
ditemukan kelompok orang Bajo yang semula mengembara di laut, mulai
menetap tinggal mengelompok di pinggir pantai. Perubahan pola hidup ini
membuat kontak mereka dengan orang darat semakin sering dan
kemudian menimbulkan beberapa perubahan dalam kehidupan sosial-
budaya mereka.

3. Pitoto’ Si Muhamma’ : Sebuah Dongeng Bajo


Kisah Pitoto’ Si Muhamma’ ini disajikan oleh Prof. Ahimsa-Putra dalam 34
bagian atau episode. Dongeng ini diperoleh dari I.B. Darmasuta (1994)
dalam bentuk teks yang sudah diketik. Namun tidak ada informasi dari
kalangan orang Bajo yang mana cerita ini berasal. Dari telaah isi cerita
dan nama-nama tokohnya, Prof. Ahimsa-Putra menyimpulkan bahwa
mitos ini diambil dari orang-orang Bajo yang berhubungan dekat dengan
masyarakat Sulawesi Selatan (terutama Bugis-Makassar). Kisah
selengkapnya dapat dilihat dalam buku ini pada halaman 189-203.

4. Strategi Analisis Struktural


Untuk mengurai mitos orang Bajo ini, Prof. Ahimsa-Putra membagi kisah
yang cukup panjang ini ke dalam beberapa episode. Strategi ini agak
sedikit berbeda dengan strategi yang digunakan Lévi-Strauss dalam
menganalisis kisah Asdiwal yang juga cukup panjang itu, namun tidak
membaginya ke dalam episode-episode. Kendala berikutnya yang terlihat
dalam memetakan kisah orang Bajo ini adalah dalam penentuan miteme,
yang seharusnya menjadi differential unit dalam analisis ini. Prof. Ahimsa-
Putra terlihat masih sangat terikat dengan rangkaian kalimat-kalimat yang

16 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
tersurat dalam dongeng tersebut, dan tidak menghadirkan nalar narasi
yang tersirat dalam cerita.

Untuk mengatasi kendala tersebut, Prof. Ahimsa-Putra membuat konsep


ceriteme, yang merupakan rangkaian kalimat-kalimat yang berbeda
dengan miteme, yang berupa kalimat (hal. 206). Menurut hemat saya
konsep ini sudah berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Lévi-
Strauss, seperti yang saya kutip pada halaman 10 tulisan review ini.

5. Analisis Struktural Pitoto’ Si Muhamma’


Walaupun telah membagi kisah orang Bajo ini ke dalam empat ceriteme
yang mempunyai relasi oposisi, namun dalam analisis Prof. Ahimsa-Putra
tidak melibatkan elemen-elemen ceriteme tersebut, tapi beliau bertumpu
pada relasi-relasi oposisi yang muncul. Analisis struktural Pitoto’ Si
Muhamma’ bergulir dengan menyandingkan episode-episode dan tokoh-
tokoh dalam kisah tersebut dan memberikan tafsiran yang berlandaskan
data etnografi-etnografi tentang orang Bajo. Terdapat 7 episode yang
dikelompokkan dan diuraikan oleh Prof. Ahimsa-Putra.

Dalam analisis episode pertama ada bagian yang menarik buat saya yaitu
uraian tentang makna sumur bagi masyarakat Bajo, yang merupakan
sumber air tawar, salah satu dari dua hal penting dalam pola hidup
mereka selain mencari ikan di laut. Kalau menggunakan dialektika Hegel
seperti yang diterapkan oleh Prof. Ahimsa-Putra dalam memetakan tokoh
Priyayi dalam bab VII buku ini, maka sumur akan terlihat sebagai sintesis
dari tesis dan antisesis, laut dan darat.
Laut --------------------------------------------------- Darat

Sumur

Menariknya lagi, dalam mitos orang Bajo ini pergerakan narasi kisahnya
diawali dari pencarian ‘sumur’ dan juga diakhiri di sebuah ‘sumur’. Sumur
seperti mediasi dalam konflik pentingnya ‘laut’ dan ‘darat’ dalam nalar
orang Bajo.

17 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
6. Pitoto’ Si Muhamma’ : Mengatasi Konflik Batin
Kisah Pitoto’ Si Muhamma’ seperti dikatakan oleh Prof. Ahimsa-Putra
merupakan wujud upaya orang Bajo untuk mengatasi teka-teki atau
masalah budaya yang mereka hadapi tanpa terselesaikan : mana yang
lebih superior kehidupan di Darat atau kehidupan di Laut? Jawaban yang
diberikan dalam kisah ini bukanlah salah satunya, melainkan dengan
menyodorkan nilai lain yang lebih tinggi yaitu ‘pengembaraan’. Menurut
Prof. Ahimsa-Putra inilah inti dari budaya Bajo, baik ditinjau dari perspektif
orang Darat maupun orang Bajo sendiri.

7. Kesimpulan
Dari analisis mitos ini Prof. Ahimsa-Putra berharap dapat memperlihatkan
bahwa mitos bisa menjadi model of dan model for realitas yang dihadapi
manusia. Hasil analisis yang disajikan di sini juga memperlihatkan bahwa
sebuah mitos dapat digunakan sebagai salah satu pintu untuk memahami
budaya masyarakat pemilik mitos tersebut. Proses interpretasi mitos
adalah sebuah gerak dialektis, yaitu dari data kebudayaan ke mitos itu
sendiri, dan dari bagian ke keseluruhan.

Bab VI Sri Sumarah, Bawuk dan Para Priyayi : Sebuah Analisis Struktural –
Hermeneutik
Dalam bagian ini Prof. Ahimsa-Putra mencoba menunjukkan bagaimana
penerapan analisis struktural Lévi-Strauss pada tiga karya sastra Umar Kayam :
Sri Sumarah, Bawuk, dan Para Priyayi. Perbedaannya dalam analisis kali ini,
Prof. Ahimsa-Putra mencoba menggabungkan analisis struktural Lévi-Strauss
dengan pendekatan hermeneutic yang ditunjukkan oleh Clifford Geertz (1973).
Maka dari itu, Prof. Ahimsa-Putra menyebut perspektif yang digunakannya di sini
sebagai struktural-hermeneutik.

1. Dongeng dari Umar Kayam sebagai Mitos


Dalam kajiannya terhadap karya-karya Umar Kayam, Prof. Ahimsa-Putra
memiliki bekal yang menarik yaitu, teks tentang proses penulisan cerita-
cerita Umar Kayam tersebut. Situasi dan latar belakang penulisan karya
yang merupakan perwujudan dari kebingungan Umar Kayam menghadapi

18 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
situasi tahun 1960an, banyak berpengaruh terhadap analisis Prof.
Ahimsa-Putra terhadap tiga karya Umar Kayam tersebut. Karya-karya
sastra Umar Kayam ini dapat dikategorikan sebagai mitos berdasarkan
kriteria yang disampaikan oleh Lévi-Strauss, bahwa kehadiran mitos
dalam kehidupan manusia adalah untuk mengatasi atau memecahkan
berbagai kontradiksi empiris yang tidak terpahami oleh nalar manusia.
Untuk memahami kontradiksi tersebut, nalar manusia kemudian
memindahkan kontradiksi ini ke tataran simbolis dengan cara yang
sedemikian rupa, sehingga elemen-elemen yang kontradiktif kemudian
dapat diothak-athik istilahnya Prof. Ahimsa-Putra, dan terciptalah
kemudian sebuah sistem symbol yang tertata apik dan rapi.

Jika Umar Kayam berupaya memahami peristiwa sejarah tahun 1965 di


Indonesia, yang melahirkan mereka yang “harus” dan “tidak harus”
menjadi korban, dengan cara menulis empat cerita tersebut, maka cerita-
cerita itu tentunya dapat kita anggap sebagai mitos-mitos yang diciptakan
oleh Umar Kayam untuk membuat dirinya dapat mengerti, memahami,
peristiwa Gestapu di Indonesia yang menelan ratusan ribu korban jiwa.

2. Analisis Struktural Dongeng Umar Kayam


Dalam menganalisis tiga karya Umar Kayam ini : Sri Sumarah, Bawuk
dan Para Priyayi, Prof. Ahimsa-Putra menemukan persamaan-persamaan
dan perbedaan tertentu yang berpola. Prof. Ahimsa-Putra kembali
menggunakan konsep ceriteme yang menurutnya mirip dengan mytheme
dalam analisis Lévi-Strauss, tetapi lebih mirip lagi dengan pengertian lexia
yang disodorkan oleh Barthes. Ceriteme-ceriteme ini kemudian akan
disusun secara sintagmatis dan paradigmatis sehingga menampakkan
makna-makna tertentu. Uraian dan analisis ceriteme-ceriteme dalam
ketiga karya sastra ini disandingkan dan ditampilkan dalam lima episode
sebagai berikut (halaman 264-276) :
a. Episode “Latar belakang Tokoh”
b. Episode “Kehidupan Remaja”
c. Episode “Kehidupan Keluarga dan Politik”
d. Episode “Pelarian”
e. Episode “Akhir Kisah”

19 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
3. Struktur Dongeng Umar Kayam
Berdasarkan kategori pengelompokan ceriteme-ceriteme ke dalam lima
episode yang dipaparkan oleh Prof. Ahimsa-Putra dengan analisis
struktural, dapat diperoleh beberapa kesimpulan terkait tokoh-tokoh
dalam ketiga karya sastra tersebut yang dituliskan dengan inisial T, B dan
H. Beberapa kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut :
a. T, B, dan H adalah anak-anak yang cerdas, yang memiliki tempat
khusus dalam keluarga mereka yang tergolong keluarga priyayi jawa.
b. Tokoh-tokoh tersebut juga merupakan individu-individu yang berada
dalam kawasan liminal dari dua dunia yang berbeda, baik dunia
kultural maupun dunia sosial mereka.
c. Secara sosial-politik, tokoh-tokoh T, B dan H adalah juga individu-
individu yang berada di dunia luminal, dunia betwixt and between (hal.
281).

Selanjutnya Prof. Ahimsa-Putra memberikan beberapa diagram yang


menunjukkan elemen-elemen dan situasi dunia liminal dari tokoh-tokoh
dalam ketiga karya sastra Umar Kayam ini. Dalam analisisnya lebih jauh
Prof. Ahimsa Putra memperlihatkan stuktur-struktur yang terbangun
dalam tiga kisah yang memberikan akhir cerita yang sama ini. Salah satu
struktur beliau namai struktur segitiga tegak yang sekaligus
menggambarkan konsepsi atau cara nalar orang Jawa dalam
menampilkan keteraturan, tatanan, serta pandangan bahwa segala
sesuatunya harus temata (tertata). Konsepsi ketertataan ini dalam nalar
orang Jawa memiliki tiga komponen (hal. 286) : kesatuan (unity),
kesinambungan (continuity) dan keselarasan (harmony). Dapat dilihat
dalam struktur segitiga tegak yang dipaparkan oleh Prof. Ahimsa-Putra,
oposisi-oposisi binair yang muncul, ditengahi oleh elemen yang lain, yang
kemudian membentuk oposisi binaire dengan oposisi binair sebelumnya.
Elemen yang menjembatani ini atau elemen perantara ini memungkinkan
terbentuknya sebuah kesinambungan dan kesatuan, hingga terciptalah
keselarasan atau harmoni antara satu komponen dengan yang lain.

20 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
4. Nilai Jawa, Nalar Jawa, dan Umar Kayam
Pada bagian ini Prof. Ahimsa-Putra kembali menguraikan nilai-nilai yang
penting bagi orang Jawa dari sisi Umar Kayam orang jawa sebagai
penulis karya sastra yang menuliskan karya yang kental dengan nuansa
kebudayaan Jawa. Pentingnya posisi liminal yang teridentifikasi dalam
karya Umar Kayam, ternyata juga dapat dikenali dalam sosok pribadi
beliau sendiri sebagai orang Jawa yang telah mengenyam pendidikan
Barat yang modern. Sosok Umar Kayam ini juga dianalogikan dengan
tokoh Semar dalam pewayangan Jawa, yang juga merupakan sosok yang
ambiguous, sosok dewa dalam tubuh seorang batur yang sederhana.

Kedudukan di tengah, di antara dua hal yang saling bertentangan ini


merupakan perwujudan nilai yang dianggap sangat pending oleh orang
Jawa yaitu sak madya, yang berarti sedang-sedang saja. Lebih jauh Prof.
Ahimsa-Putra menjelaskan posisi tengah yang sangat penting ini bagi
orang Jawa. Ini merupakan posisi yang menyatu, menyelaraskan,
menjaga kesinambungan dan menyeimbangkan, sekaligus juga
merupakan sebuah posisi yang anti-konflik, anti-perubahan, dan anti-
struktur. Posisi di tengah, di pusat adalah sebuah posisi yang tenang,
diam, hening, dan juga abadi.

5. Kesimpulan
Beberapa poin penting yang perlu digarisbawahi dalam analisis tiga karya
sastra Umar Kayam tersebut menurut Prof. Ahimsa-Putra adalah :
a. Karya-karya Umar Kayam yang dibahas pada bab ini ternyata
memiliki benang-benang ceriteme yang terjalin satu sama lain
sedemikian rupa, sehingga karya-karya tersebut tampak sebagai
sejumlah variasi yang bergerak di sekitar sebuah tema tentang
anggota keluarga-keluarga priyayi Jawa yang terlibat PKI.
b. Terdapat dua struktur penting dalam beberapa karya Umar Kayam
yang dapat menjelaskan mengapa tokoh-tokoh cerita jatuh ke dalam
lubang nasib mereka : struktur “sejarah kehidupan” dan struktur
“segitiga tegak” dari tokoh-tokoh tersebut. Kedua struktur ini
mencerminkan prinsip-prinsip nalar Jawa dalam memandang,
menafsirkan dan memahami dunia seputar mereka.

21 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
c. Kebebasan pengarang ternyata berada dalam suatu bingkai tertentu,
suatu struktur nalar tertentu yang bersifat “nirsadar”. Struktur tersebut
tanpa disadari membatasi gerak kreativitas.
d. Nilai Jawa sak madya, tokoh mitis Semar, sosok nyata Umar Kayam,
dan tokoh dongeng etnografis Tun, Bawuk dan Hari, dapat ditafsirkan
sebagai perwujudan prinsip dasar nalar Jawa.

Bab VII Priyayi dalam Para Priyayi


Bab ini menyajikan analisis atas karya Umar Kayam yang berjudul Para Priyayi,
khususnya untuk menganalisis secara stuktural kedudukan tokoh Lantip dalam
cerita tersebut yang diangkat menjadi juru bicara keluarga priyayi pada upacara
pemakaman tokoh priyayi Sastrodarsono. Hal ini agak janggal dari kacamata
nalar budaya Jawa, mengingat Lantip bukanlah keturunan langsung dari
keluarga priyayi tersebut. Untuk mengungkapkan posisi tokoh Lantip dan
menjawab pertanyaan “mengapa Lantip” dalam cerita Para Priyayi ini, Prof.
Ahimsa-Putra menggunakan analisis stuktural Lévi-Strauss.

1. Struktur dalam Para Priyayi


Untuk menjawab pertanyaan “mengapa Lantip?” Prof. Ahimsa-Putra
memulai analisisnya dengan dasar beberapa asumsi dan temuan dalam
analisis pada bab sebelumnya, yaitu :
- Setelah membaca novel Para Priyayi, para pembaca umumnya setuju
bahwa tokoh priyayi di situ adalah Sastrodarsono, yang merupakan
tokoh priyayi tulen dalam novel tersebut.
- Salah satu struktur yang ada dalam beberapa karya Umar Kayam,
yang kemudian memperlihatkan kesamaan anatara individu satu
dengan lain adalah struktur “sejarah kehidupan” yang berlangsung di
atas rantai sintagmatis.
- Struktur lain yang ada dalam cerita adalah struktur “segitiga tegak”.

Dari tiga temuan ini, Prof Ahimsa-Putra mengidentifikasi dua hipotesa


pengarah analisis lebih lanjut :
- Jika tokoh Sastrodarsono dapat kita anggap sebagai ‘priyayi tulen’
dan Lantip dinobatkan sebagai ‘priyayi tulen’, maka tentunya akan
ada persamaan-persamaan dalam struktur ‘sejarah kehidupan’ tokoh

22 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
Sastrodarsono dan Lantip, sehingga masing-masing tokoh ini dapat
dilihat sebagai transformasi dari yang lainnya.
- Persamaan antara tokoh Sastrodarsono dengan Lantip mestinya tidak
hanya terdapat pada struktur “sejarah kehidupan” mereka tetapi juga
pada struktur “segitiga posisi” mereka.

a. Sejarah Kehidupan Sastrodarsono dan Lantip


Dari analisis struktur “sejarah kehidupan” ternyata dalam rangkaian
ceriteme-ceriteme memang ditemukan banyak kesamaan antara
Sastrodarsono dan Lantip dalam perjalanan mereka menuju status
Priyayi. Keduanya sama-sama berasal dari latar belakang keluar yang
bukan Priyayi atau dari keluarga wong cilik, dan kemudian berkat
kemurahan hati seorang Priyayi mereka dibantu untuk menjadi priyayi
dan bahkan diangkat menjadi bagian dari keluarga Priyayi.
b. Relasi-relasi Sosial Sastrodarsono dan Lantip
Relasi-relasi yang terbangun antara Seten Kedungsimo, priyayi yang
membantu keluarga Atmokasan bapaknya Sastrodarsono
digambarkan oleh Prof. Ahimsa-Putra dalam struktur “segitiga
condong” seperti yang dapat dilihat pada halaman 316. Relasi seperti
dalam struktur “segitiga condong” ini juga dialami oleh Lantip dalam
hubungannya dengan Ibunya Ngadiyem dan Sastrodarsono sebagai
priyayi yang menolongnya.

2. Struktur dan Dialektika Para Priyayi


Dari struktur yang terbentuk oleh relasi-relasi antara tokoh-tokoh tertentu
dalam Para Priyayi membuat kita dapat mengerti mengapa Lantip yang
akhirnya diakui sebagai priyayi tulen dalam kisah tersebut. Struktur relasi
ini tergambar dalam bentuk “segitiga condong” seperti yang dipaparkan
oleh Prof. Ahimsa-Putra pada halaman 322. Segitiga ini juga merupakan
hasil dari sebuah dialektis yang mengikuti logika tersendiri. Logika ini
mengikuti apa yang disebut oleh Hegel sebagai tesis, antithesis dan
sintesis, yang bergerak dalam lingkaran-lingkaran yang kompleks. Lebih
lanjut Prof Ahimsa-Putra menggambarkan dialektika yang berkembang
dalam Para Priyayi pada halaman 325 buku ini hingga menuntun kita

23 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
pada pemahaman yang lebih baik tentang tokoh Lantip dan
kepriyayiannya.

3. Priyayi Jawa : Pandangan Struktural


Dari hasil analisis stukturalnya Prof. Ahimsa-Putra memaparkan konsepsi
priyayi yang implisit dan sekaligus lebih bersifat struktural :
a. Status Priyayi bukanlah status yang diperoleh hanya lewat keturunan,
karena keturunan seorang priyayi bias saja tidak menjadi priyayi sama
sekali. Priyayi merupakan status sosial yang dicapai melalui proses
tertentu, yaitu sosialisasi tertentu. Keturunan priyayi yang tidak pernah
mengalami sosialisasi sebagai wong cilik atau rakyat kecil, tidak akan
dapat dikatakan sebagai priyayi tulen.
b. Priyayi sebagai kategori sosial dengan cirri-ciri atau atribut tertentu
sebenarnya tidak akan merupakan sebuah kategori jika tidak
disandingkan dengan oposisinya yakni wong cilik.
c. Konsep priyayi dalam Para Priyayi tampak mengalami perubahan.
Relasi patron-klien dan setengah ketergantungan pada tanah tidak
lagi ditemui pada tokoh Lantip.

4. Struktur, Pengarang dan Realitas


Setelah pemaparan analisis struktural karya sastra Umar Kayam di atas,
sebuah pertanyaanpun muncul, apakah pengarangnya sendiri menyadari
sepenuhnya keberadaan struktur tersebut sewaktu menulis karya sastra
ini? Menurut Prof. Ahimsa-Putra struktur tersebut berada di tataran
nirsadar sang pengarang. Dalam konteks analisis di sini dapat dikatakan
bahwa realitas sosial-budaya, karya sastra, dan pemikiran Umar Kayam
adalah sistem-sistem kode yang menjadi sarana sang struktur untuk
mengejawantahkan dirinya.

Bab VIII Mitos dan Sinkretisasi Islam di Jawa : Sebuah Pemikiran


1. Mitos dan Sinkretisasi Agama
Pada bab ini Prof. Ahimsa-Putra tidak melakukan analisis struktural untuk
mengungkapkan struktur yang ada dalam sebuah teks, tetapi mencoba
memanfaatkan relasi-relasi tertentu atau struktur tertentu yang ada dalam
teks untuk memperlihatkan sebuah proses yang terjadi dalam pemikiran

24 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
manusia, yakni sinkretisasi. Pada bagian ini teks yang dianalisis adalah
karya sastra klasik Jawa, Babad Tanah Jawi.

Sinkretisasi yang dimaksud oleh Prof. Ahimsa-Putra di sini menyangkut


dua sistem prinsip yang berbeda, yakni Islam dan Jawa pra-Islam. Yang
dimaksud dengan Jawa pra-Islam di sini adalah keseluruhan perangkat
nilai, pandangan hidup, aturan dan pengetahuan yang dianut oleh orang
Jawa sebelum diterimanya prinsip-prinsip ajaran Islam sebagai pedoman
bagi kehidupan sebagian besar orang Jawa.

2. Relasi dan Sinkretisasi dalam Mitos Jawa


Dari berbagai mitos yang ditampilkan, akan dilihat bahwa upaya
sinkretisasi elemen-elemen ajaran pra-Islam dengan elemen-elemen
Islam dilakukan oleh orang Jawa dengan cara menggabungkan elemen-
elemen tersebut sedemikian rupa, sehingga Islam yang dating di Jawa
tampak sebagai sebuah sistem yang telah mempunyai akar pada zaman
sebelum kedatangan Islam itu sendiri di Jawa. Penggabungan ini
diwujudkan dalam bentuk berbagai cerita yang oleh orang Jawa diyakini
kebenarannya, yaitu cerita-cerita yang berkaitan dengan pusat
penerimaan agama Islam itu sendiri, yaitu Kraton. Bebrapa cerita yang
dianalisis oleh Prof. Ahimsa-Putra menunjukkan jenis-jenis relasi yang
berbeda sebagai berikut (uraian selengkapnya ada di halaman 345-367) :
a. Nabi Islam, Batara Hindu, dan Raja Jawa : Relasi Genealogis
b. Bima : Dewaruci :: Sn. Kalijaga : Nabi Khidir : Relasi Analogis
c. Sunan Kalijaga dan Prabu Yudhistira : Relasi Historis
d. Ratu Kidul, Raja Mataram dan Islam : Relasi Profesis
e. Ratu Kidul, Raja Jawa dan Sunan Kalijaga : Relasi Kooperatif

3. Islam Jawa di Masa Depan


Dilihat dari perspektif Jawa dan Indonesia, menurut Prof. Ahimsa-Putra
Islam akan terus-menerus mengalami proses penJawaan, artinya
berbagai idiom, prinsip, nilai dan norma Islam akan ditafsirkan oleh orang
Jawa dalam kerangka berpikir mereka yang nJawani, menJawa, tetapi
sekaligus juga mengIndonesia. Sebagian besar proses ini menurut Prof
Ahimsa-Putra sulit diketahui detilnya mengingat semua berlangsung lewat

25 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
tradisi lisan dan langkanya penelitian dan pendokumentasian mengenai
proses itu sendiri. Proses sinkretisasi yang telah berlangsung mulus
antara budaya Jawa dan budaya Islam hingga saat ini adalah karena
proses itu berlangsung pada tataran simbolis. Implikasi dari pandangan
ini adalah bahwa relasi-relasi logis-transformasional antar-elemen dari
sistem prinsip Jawa, Islam ataupun sistem prinsip yang lain, perlu
diciptakan terus-menerus, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Sunan
Kalijaga dan ulama-ulama Islam di masa lampau.

4. Penutup
Asumsi analisis yang telah dipaparkan oleh Prof. Ahimsa-Putra dalam
berbagai episode cerita Babad Tanah Jawi tersebut memungkinkan kita
menemukan struktur berpikir orang Jawa untuk menyelaraskan dan
menggabungkan berbagai elemen dari budaya pra-Islam, budaya Jawa
dengan elemen budaya Islam, dalam sebuah kerangka simbolis.
Sinkretisasi budaya pra-Islam dengan Islam dalam kerangka budaya
Jawa berhasil dicapai oleh orang Jawa dengan membangun relasi-relasi
simbolis antar unsur-unsur dari sistem-sistem prinsip yang ada, yang
diwujudkan menjadi :
a. Relasi genealogis
b. Relasi analogis
c. Relasi historis
d. Relasi profesis
e. Relasi kooperatif

Bab IX Sawerigading, Dewi Sri, Larangan Incest dan Kekuasaan : Tafsir atas
Mitos dan Budaya Bugis-Makassar dan Jawa
Analisis ini dibuat untuk mengetahui efektifitas analisis struktural jika diterapkan
pada cerita-cerita yang berasal dari dua sukubangsa yang berbeda. Di sini Prof.
Ahimsa-Putra mencoba menampilkan analisisnya atas dua mitos yaitu mitos
Sawerigading yang berasal dari kalangan orang Bugis-Makassar dan mitos Dewi
Sri dari kalangan orang Jawa dengan menggunakan analisis struktural Lévi-
Strauss. Dimulai dengan adanya kesamaan-kesamaan atau kemiripan-kemiripan
pada episode-episode tertentu dari kedua mitos tersebut. Dari sini akan dapat
diungkapkan struktur budaya masyarakat pemilik mitos tersebut, sehingga mitos

26 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
di sini dapat menjadi sebuah jendela yang bukan hanya untuk melihat ‘batin
sosial’ suatu masyarakat, tapi juga untuk menelaah ke dalam ‘struktur dalam’
(deep structure) suatu masyarakat.

1. Sawerigading dan Dewi Sri


Pada bagian Prof. Ahimsa-Putra memaparkan latar belakang pemilihan
kedua mitos yang berasal dari dua budaya Bugis-Makassar dan Jawa
yang sangat berbeda ini. Latar belakang personal Prof. Ahimsa-Putra
yang berasal dari Jawa sebagai seorang ahli antropologi spesialis
sukubangsa Bugis-Makassar tidak terelakkan peranannya dalam hal ini.
Kedua mitos ini sangat popular di kalangan masyarakat pendukungnya.
Terlihat dengan ditemukannya berbagai versi mitos ini. Berbagai tafsir
yang telah dilakukan terhadap mitos-mitos ini sayangnya menurut Prof.
Ahimsa-Putra tidak begitu kuat kerangka teorinya, sehingga belum
ditemukan tafsir-tafsir yang lebih mendalam dan komprehensif terhadap
kedua mitos tersebut. Dan kendala yang ditemukan dalam menganalisis
mitos ini adalah kesulitan untuk menemukan versi yang ditulis secara
lengkap dan utuh serta memperlihatkan nuansa mitologisnya.

2. Lévi-Strauss, Mitos dan Larangan Incest


Fonem sebagai sebuah bunyi bergantung pada sistem bahasanya,
bergantung pada budayanya, maka sebuah fonem bersifat alami dan
budaya sekaligus, berada di ambang antara nature dan culture. Posisi
seperti ini menurut Lévi-Strauss mirip dengan posisi larangan incest
dalam kehidupan manusia. Bagi Lévi-Strauss larangan incest juga
merupakan ambang peralihan dari dunia alam dengan dunia budaya,
dunia universal dengan dunia kultural. Larangan incest adalah sebuah
aturan yang berada pada tataran alami, karena bersifat universal, artinya
ada dalam semua masyarakat atau kebudayaan.

Seperti yang dipaparkan oleh Prof. Ahimsa-Putra pada halaman 384-385,


pandangan Lévi-Strauss ini sangat menarik, dan ketertarikannya terhadap
larangan incest yang kemudian disandingkan dengan fonem juga
merupakan hal yang tak terpikirkan. Jika larangan incest adalah sebuah
gejala yang seperti fonem, maka larangan incest tentunya juga dapat

27 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
dipandang sebagai dasar bagi terjadinya proses komunikasi, selayaknya
fonem dalam bahasa. Larangan incest menurut Lévi-Strauss telah
mendorong munculnya fenomena pertukaran wanita antar kelompok-
kelompok kekerabatan. Fungsi pertukaran inilah yang membuat larangan
incest dapat dipandang sebagai sisi lain dari fenomena eksogami.
Pertukaran adalah sebuah proses komunikasi, sehingga pernikahan pada
dasarnya adalah juga sebuah fenomena komunikasi, seperti halnya ketika
manusia melakukan komunikasi dengan sarana bahasa. Inti komunikasi
tidak lain adalah pertukaran, dan ini juga merupakan inti dari kehidupan
sosial. Menurut Lévi-Strauss kehidupan sosial pada dasarnya terbangun
dari tiga level komunikasi, yang berlangsung dengan menggunakan
sarana bahasa, barang dan jasa, dan wanita.

3. Larangan Incest dan Pernikahan dalam Sawerigading dan Dewi Sri


a. Larangan Incest dan Pernikahan dalam Sawerigading
Menurut Prof. Ahimsa-Putra, unsur yang menggerakkan dan menjadi
pusat dari mitos Sawerigading adalah larangan incest. Dalam mitos
tersebut larangan ini berupa pencegahan pernikahan antara saudara
kembar di situ, yakni Sawerigading dengan adik perempuannya, We
Tenriabeng. Untuk menghindari pernikahan incest inilah muncul
kemudian episode-episode perjalanan pencarian Sawerigading yang
begitu popular dalam masyarakat Bugis-Makassar.

Dalam analisis struktural mitos ini, Prof. Ahimsa-Putra menggunakan


unit-unit miteme sebagai bahan analisis, bukan ceriteme seperti
dalam analisis mitos orang Bajo di atas. Pemilihan istilah ceriteme
atau miteme ini masih belum jelas apa kriterianya. Mitos
Sawerigading ini merupakan mitos dengan larangan incest yang
disertai dengan arahan pernikahan, siapa yang sebaiknya dinikahi.
Uraian analisis lengkap mitos Sawerigading ini dapat dilihat pada
halaman 388-394 buku ini.

b. Larangan Incest dan Pernikahan dalam Dewi Sri


Mitos Dewi Sri ini kembali diurai oleh Prof. Ahimsa-Putra menjadi
beberapa miteme :

28 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
1. Dewi Sri dan Raden Sadana adalah dua orang yang berasal dari
dua buah telur yang ada dalam sebuah cupu atau dalam versi lain
dikatakan bahwa mereka adalah anak dari dua permaisuri
seorang raja, yang berarti mereka bersaudara satu ayah.
2. Dewi Sri dan Sadana tidak mau menikah kecuali dengan “orang
yang sama persis dengan saudaranya”
3. Dewi Sri dan Raden Sadana kemudian diusir pergi dari istana
4. Dewi Sri dikejar-kejar raksasa yang ingin menikahinya, tetapi
ditolak oleh Dewi Sri
5. Raden Sadana berhasil mengalahkan raksasa yang ingin
menikahi Dewi Sri
6. Raden Sadana dan Dewi Sri kembali ke istana
7. Raden Sadana berubah menjadi burung sriti dan Dewi Sri berubah
menjadi ular sawah.

Mitos Dewi Sri merupakan mitos larangan incest tanpa disertai


dengan pengarahan siapa yang sebaiknya dinikahi. Analisis
selengkapnya dapat kita lihat pada halaman 394-401

c. Sawerigading dan Dewi Sri : Relasi Inversional (Pembalikan)


Dari analisis kedua mitos tersebut dapat dilihat persamaan-
persamaan dan juga perbedaaan-perbedaan yang kalau diurai
memperlihatkan sebuah jalinan unsur-unsur yang berlawanan :
1. Tokoh Sawerigading dan We Tenriabeng merupakan sarudara
kembar, seperti halnya tokoh Dewi Sri dan Raden Sadana. Tetapi
tokoh sentral dalam mitos Saweri gading adalah laki-laki,
sebaliknya dalam mitos Dewi Sri tokoh sentralnya adalah
perempuan.
2. Dalam kedua mitos ini tokoh-tokohnya ingin menikah satu sama
lain, tetapi dihalangi. Dalam kisah Sawerigading pihak yang
menghalangi adalah salah satu tokohnya yaitu We Tenriabeng,
sementara dalam kisah Dewi Sri yang menghalangi adalah
orangtua tokoh-tokoh tersebut yaitu raja Makukuhan. Pada kisah
Sawerigading, larangan disertai dengan saran untuk mendapatkan
jodoh lain yang serupa tapi tak sama. Tetapi dalam kisah Dewi Sri

29 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
larangan tidak disertai saran, bahkan membuat tokoh-tokoh ini
terpaksa pergi dari istana.
3. Upaya untuk mendapatkan pasangan pada kisah Sawerigading
berakhir dengan sukses, walaupun penuh rintangan. Sementara
dalam kisah Dewi Sri, kesuksesannya adalah menghindari
raksasa yang ingin menikahinya.

4. Pernikahan Ideal, Pelapisan Sosial dan Kekuasaan


a. Pernikahan Ideal : Bugis-Makassar dan Jawa
Pernikahan ideal dengan kerabat dekat dalam masyarakat Bugis-
Makassar menurut Prof. Ahimsa-Putra dapat dipahami dengan baik
jika dikaitkan dengan konsepsi Bugis-Makassar tentang darah dan
kekuasaan. Seorang pria Bugis-Makassar diharapkan untuk dapat
menikah dengan wanita yang setingkat dalam hal kedudukan atau
lapisan sosialnya, sedangkan bagi wanita diharapkan supaya dapat
menikah dengan pria yang berasal dari lapisan sosial yang lebih
tinggi, atau paling tidak yang setingkat. Seorang bangsawan wanita
dilarang menikah dengan pria yang lebih rendah derajat atau lapisan
sosialnya, apalagi dengan budaknya. Jika hal ini terjadi dia akan
langsung dikeluarkan dari lingkungan keluarganya. Perkawinan idela
lainnya terkait dengan lapisan sosial dari pasangan yang dikenal
orang Bugi-Makassar adalh perkawinan yang menyangkut hubungan
kekerabatan.

Mengenai pernikahan dalam masyarakat Jawa, berdasarkan data dari


beberapa penelitian antropologi, menunjukkan dua pola yang
berbeda, yang berhubungan dengan kelas sosial. Pada golongan
priyayi, pernikahan yang banyak terjadi adalah antarindividu yang
masih ada hubungan kekerabatan yang cukup dekat. Dan dalam
perjodohan perlu memperhatikan tiga hal bobot, bebet, bibit.
Sementara di kalangan wong cilik tidak ada aturan tertentu dalam
pernikahan.

30 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
b. Pelapisan Sosial : Bugis-Makassar dan Jawa
Masyarakat Bugis-Makassar merupakan masyarakat dengan
pelapisan sosial yang jelas dan kaku. Mereka memiliki kriteria yang
nyata, untuk membedakan lapisan sosial seseorang dengan orang
lain. Pelapisan sosial tersebut juga kaku, karena tidak dapat ditembus
dengan upaya apapun, mengingat didasarkan “darah” atau keturunan.

Dalam masyarakat Jawa di masa lalu dikenal pembagian masyarakat


dalam dua golongan secara vertical : golongan priyayi dan wong cilik.
Priyayi tidak harus berasal dari kalangan raja dan keturunannya.
Mereka dapat juga berasal dari pejabat administrasi pemerintahan,
yang kemudian diberi hak oleh pemerintah colonial untuk
menggunakan gelar Raden atau Raden Mas. Faktor keturunan tidak
dianggap penting, yang lebih penting adalah fungsi seseorang dalam
administrasi pemerintahan. Golongan wong cilik adalah mereka yang
tidak menduduki jabatan tertentu dalam sistem pemerintahan, di
perkotaan umumnya mereka bekerja sebagai buruh atau pedagang
kecil. Mereka merupakan lapisan sosial yang terendah, sehingga
disebut wong cilik.

c. Mitos, Kekuasaan dan Kesejahteraan : Bugis-Makassar dan Jawa


To-manurung merupakan mitos penguasa pertama di berbagai
kerajaan di Sulawesi selatan. Raja-raja yang merupakan keturunan
langsung dari tokoh To-manurung ini dianggap memiliki darah dewa,
darah bangsawan yang putih warnanya. Kesaktian dan kesucian raja
dipercayai membawa kesejahteraan pada kehidupan rakyatnya, dan
ini berkaitan dengan kemurnian darahnya. Berdasarkan pandangan
ini kewajiban utam seorang raja dalam budaya Bugis-Makassar
adalah menjaga kemurnian darah bangsawannya, lantas menjadi
orang yang berhak mengatur jodoh-jodoh kerabat dan keturunan-
keturunannya.

Dalam budaya Jawa, kekuasaan dipandang tidak berkaitan denga


factor keturunan. Kekuasaan merupakan akibat dari adanya kekuatan
pada diri seseorang, dan kekuatan seseorang ini bias ditingkatkan

31 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
melalui berbagai cara. Pandangan mengenai kekuasaan dan
kekuatan adiduniawi serta cara mendapatkannya dapat ditemukan
antara lain dalam mitos Mintaraga, sebuah gubahan karya sastra
Jawa Kuno, kakawin Arjunawiwaha. Lakon ini sangat popular di
kalangan masyarakat Jawa.

d. To-Manurung : Sawerigading :: Mintaraga : Dewi Sri


Dari analisis dan perbandingan kedua mitos yang berasal dua budaya
yang berbeda ini Prof. Ahimsa-Putra memaparkan bahwa kita dapat
menafsirkan mitos Sawerigading pada dasarnya adalah mitos tentang
upaya menghindari perkawinan incest tanpa mengorbankan
kekuasaan yang berada di tangan lapisan sosial tertentu, atau
dengankata lain mitos ini merupakan mitos tentang upaya pelestarian
kemurnian darah, pelestarian kekuasaan oleh lapisan sosial
bangsawan.

Sementara itu mitos Dewi Sri adalah mitos tentang upaya


menghindari perkawinan incest tanpa upaya melestarikan kekuasaan
oleh individu tertentu, atau dengan kata lain, mitos Dewi Sri adalah
mitos tentang terlepasnya kekuasaan dari tang individu tertentu (Dewi
Sri dan Raden Sadana), karena harus menjaga larangan incest.

5. Kesimpulan
1. Atas dasar persamaannya mitos Sawerigading dan mitos Dewi Sri
dapat dikatakan sebagai mitos-mitos tentang larangan incest antara
saudara sekandung. Atas dasar perbedaannya, mitos Sawerigading
dapat dipandang sebagai inverse atau kebalikan dari mitos Dewi Sri,
atau sebaliknya.
2. Pada mitos Sawerigading kategori sosial individu yang disarankan
untuk diambil sebagai jodoh adalah kerabat, yaitu sepupu. Sedangkan
pada mitos Dewi Sri kategori sosial individu yang disarankan untuk
tidak diambil sebagai jodoh adalah “raksasa” atau bukan kerabat, atau
orang yang berasal dari latarbelakang sosial dan budaya yang
berbeda, yang dipandang kurang baik watak dan perilakunya.

32 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
3. Mitos Sawerigading dapat dikatakan sebagai salah satu unsure
budaya yang menguatkan dan melegitimasi suatu bentuk pernikahan
dengan sepupu, bahkan dianggap sebagai pernikahan yang ideal
dalam masyarakat Bugis-Makassar. Demikian juga halnya dalam
mitos Dewi Sri, yang menguatkan dan melegitimasi jodoh yang harus
ditolak dalam pernikahan yaitu “raksasa”, karena itu dipandang sama
sekali tidak ideal dan harus dihindari.
4. Jodoh yang ideal dalam masyarakat Bugis-Makassar terkait dengan
konsepsi masyarakat ini tentang kekuasaan, sementara pandangan
tentang kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari pandangan mereka
mengenai “darah” serta mitos To-manurung. Oleh karena itu
pemahaman tentang mitos Sawerigading tidak dapat dilepaskan dari
pemahaman atas mitos To-manurung. Seperti halnya mitos Dewi Sri
dengan mitos Mintaraga.
5. Bersama dengan mitos To-manurung secara disadari atau tidak oelh
masyarakat Bugis-Makassar, mitos Sawerigading merupakan mitos
politik, pelestarian kekuasaan dalam suatu lapisan masyarakat. Sama
halnya dengan mitos Mintaraga, mitos Dewi Sri ternyata juga
merupakan mitos politik, yaitu mengenai terlepasnya kekuasaan yang
mestinya jatuh ke tangan individu tertentu, yang telah berhasil
mengalahkan pesaingnya lewat kesaktiannya.

Bab X Penutup
Ada dua hal yang ditekankan oleh Prof. Ahimsa-Putra pada bagian penutup buku
ini terkait paradigma struktural dari Lévi-Strauss :
1. Lévi-Strauss menggunakan paradigma strukturalnya tidak hanya untuk
menganalisis mitos, tetapi juga untuk menganalisis gejala sosial-budaya
lainnya. Uraian mengenai paradigma struktural Lévi-Strauss ini belumlah
tuntas, masih banyak lagi yang lain, namun butir-butir penting pemikiran
Lévi-Strauss mengenai cara analisis mitos sudah cukup lengkap
dipaparkan dalam buku ini.
2. Paradigma Lévi-Strauss bukanlah segala-galanya. Seperti halnya
paradigma-paradigma lainnya dalam ilmu sosial-budaya, paradigma
strukturalisme Lévi-Strauss hanya cocok untuk menjawab persoalan-
persoalan tertentu.

33 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
Strukturalisme dan Perubahan
Untuk menggunakan strukturalisme Lévi-Strauss dalam memahami perubahan-
perubahan dalam masyarakat, berikut uraian dari Prof. Ahimsa-Putra :
1. Penjelasan perubahan-perubahan dalam masyarakat tentu bisa
menggunakan paradigma struktural, namun dengan catatan bahwa
penjelasan tersebut tidak harus dengan cara mengacu pada prosesnya,
sebab menjelaskan suatu gejala dengan memaparkan proses terjadinya
adalah tugas para sejarahwan.
2. Apa yang kita katakana berubah tersebut juga merupakan kelanjutan dari
sesuatu tersebut pada masa yang sebelumnya. Jadi masyarakat yang
berubah sekarang merupakan kesinambungan atau kelanjutan dari
masyarakat di masa sebelumnya. Yang bisa dijelaskan di sini adalah
perbedaan-perbedaannya saja. Asumsi ini digunakan dalam konteks
penelitian sejarah. Namun ahli antropologi tidak mengasumsikan
demikian. Gejala sosial-budaya yang terjadi dalam masyarakat diaanggap
sebagai sebuah ketidaksinambungan, antara gejala satu dengan gejala
lainnya.

Buku ini diakhiri dengan bagian Daftar Pustaka yang berisi 197 judul, dan
halaman indeks dari halaman 475-490, serta biodata penulis yang cukup singkat
di halaman akhir buku 491-493.

34 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4

Anda mungkin juga menyukai