Buku yang berjudul ‘Strukturalisme Lévi-Strauss Mitos dan Karya Sastra’ setebal
493 halaman ini dapat dikatakan merupakan karya monumental terkait Lévi-
Strauss sebagai tokoh antropologi struktural yang pernah dituliskan dalam
bahasa Indonesia, bagi publik Indonesia secara luas. Sebagai penulis Prof.
Ahimsa-Putra sangat berhasil menuliskan kembali ide-ide dan pemikiran
strukturalisme Lévi-Strauss yang rumit, serta memberikan contoh aplikasinya
dalam beberapa analisis mitos & karya sastra indonesia, dengan narasi bahasa
yang jernih, teliti, mengasyikkan dan relatif mudah dicerna. Kemampuan menulis
ilmiah yang luar biasa ini mungkin cukup langka di kalangan peneliti dan ilmuwan
kita di Indonesia. Karya tulis atau buku acuan ilmiah yang ditulis oleh para
ilmuwan pada umumnya dianggap tidak menarik, kadang cenderung dijauhi
publik umum, karena bahasanya yang ‘njelimet’, sulit dipahami, dan penuh
kosakata ilmiah yang penggunaannya kadang masih perlu dipertanyakan
ketepatannya. Hal ini membuat buku-buku hasil penelitian hanya dibaca oleh
mahasiswa atau pelajar yang diharuskan mempelajarinya, disamping memang
mungkin kebiasaan membaca yang tidak begitu populer dalam masyarakat kita.
Sungguh merupakan kejutan yang menyenangkan, dapat membaca buku teori ini
seperti layaknya membaca sebuah novel. Gaya penulisan Lévi-Strauss dalam
karya-karyanya juga dikenal dengan gaya penulisan romantisisme bagi kalangan
ilmuwan yang diinspirasi oleh Jean-Jacques Rousseau di Prancis. Karya-karya
pemikiran besar para filsuf semacam ini dapat menjangkau masyarakat luas
Terjemahannya :
Lévi-Strauss mengusulkan untuk menyebut unit narasi minimal yang menentukan
tingkatan yang mereduksi tingkatan narasi lainnya sebagai miteme. Jadi miteme
ini tidak cukup diidentifikasikan pada kalimat ataupun kata ; miteme bukanlah
sebuah entitas linguistik tapi seperti layaknya linguistik, ia memiliki bentuk logis ;
ia bukanlah sebuah petanda atau sebuah tema ; tapi tak terpisahkan dari bentuk-
bentuk yang memenuhi cerita. … Keberadaannya lebih bersifat logika daripada
tematis. …”
Dari penjelasan tentang maksud konsep ‘Mytheme’ oleh Lévi-Strauss tersebut,
kita dapat menarik kesimpulan bahwa miteme itu tidak diidentifikasikan melalui
Bab-bab berikutnya akan disajikan dalam bentuk ringkasan ide-ide pokok dan
beberapa ulasannya, dengan alur mengikuti struktur penyajian buku yang kita
ulas kali ini.
Dari CLG lahirlah apa yang kita kenal dengan linguistik struktural,
seperti yang dipaparkan oleh Prof. Ahimsa-Putra pada halaman 34-
52, ide-ide pokok de Saussure yang menjadi dasar strukturalisme
Lévi-Strauss sebagai berikut :
1. Signifiant (Penanda) >< Signifié (Tertanda)
2. Forme (Bentuk) >< Contenu (Isi)
3. Langue (Bahasa) >< Parole (Ujaran)
4. Synchronie (Sinkronis) >< Diachronie (Diakronis)
5. Syntagmatique (Sintagmatik) >< Paradigmatique (Paradigmatik)
Terjemahannya :
Kesimpulannya, kita akan sangat keliru jika menganggap bahwa, miteme
adalah susunan kata atau kalimat : entitas yang dapat ditentukan maknanya
–secara ideal (karena makna mitos itu bervariasi tergantung konteksnya) dan
menyusun makna-makna tersebut dalam kamus. Unit dasar dari wacana
mitos tentu saja terdiri atas kata-kata dan kalimat-kalimat, tapi dalam
penggunaannya secara khusus dan tanpa perlu ditelaah lebih jauh,
analoginya adalah cenderung seperti susunan fonem : unit yang terbebas
dari maknanya sendiri, tapi memungkinkan untuk memberikan makna-makna
dalam sebuah sistem di mana fonem-fonem tersebut saling berlawanan
antara mereka, dan kelanjutan dari oposisi tersebut.
10 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
Lebih lanjut Lévi-Strauss memberikan contoh kalimat-kalimat : “kepalanya
menggelinding dan menjadi sebuah komet”, atau “sang pahlawan naik ke
pohon dan tidak bisa turun kembali”. Segmen naratif atau kalimat-kalimat
dalam sebuah mitos seperti ini tidak memberikan informasi makna di luar
sistem tempatnya berada dan di luar hubungan transformasi yang
menggunakan kalimat tersebut. Dalam pandangan seperti ini, maka miteme
merupakan analogi fonem.
11 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
4. Analisis Struktural Mitos : Metode dan Prosedur
Landasan analisis stuktural terhadap mitos menurut Lévi-Strauss yang
dicuplik oleh Prof Ahimsa-Putra dari buku Structural Anthropology (1963 :
211) adalah sebagai berikut :
- Jika memang mitos dipandang sebagai sesuatu yang bermakna,
maka makna ini tidaklah terdapat pada unsur-unsurnya yang berdiri
sendri, yang terpisah satu dengan yang lain, tetapi pada cara unsure-
unsur tersebut dikombinasikan satu dengan yang lain.
- Walaupun mitos termasuk dalam kategori ‘bahasa’, namun mitos
bukanlah sekedar bahasa. Artinya, hanya ciri-ciri tertentu saja dari
mitos yang bertemu dengan ciri-ciri bahasa.
- Ciri-ciri ini dapat kita temukan bukan pada tingkat bahasa itu sendiri
tapi di atasnya. Ciri-ciri ini juga lebih kompleks, lebih rumit, daripada
cirri-ciri bahasa ataupun ciri-ciri yang ada pada wujud kebahasaan
lainnya.
12 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
adalah bagaimana Lévi-Strauss mengidentifikasi miteme-miteme dalam
mitos ini dan kemudian menganalisisnya. Seperti yang dipaparkan oleh
Prof. Ahimsa-Putra, miteme-miteme yang diisolasi oleh Lévi-Strauss dari
kisah Oedipus adalah :
1. Kadmos mencari Eropa, saudara perempuannya, yang dilarikan oleh
Zeus.
2. Kadmos membunuh naga.
3. Orang-orang Spartoi yang muncul dari bumi, (sebagai hasil Kadmos
menabur gigi-gigi naga) dan saling membunuh.
4. Oedipus membunuh ayahnya, Laios.
5. Oedipus membunuh Sphinx (sebenarnya Sphinx bunuh diri, karena
Oedipus berhasil menjawab teka-tekinya).
6. Oedipus mengawini Jokaste, ibunya sendiri.
7. Eteokles membunuh Polyneikes, saudara laki-lakinya.
8. Antigone mengubur Polyneikes, saudara laki-lakinya, meskipun
dilarang.
Miteme-miteme yang telah ditemukan ini kemudian disusun oleh Lévi-
Strauss secara sintagmatis dan paradigmatis. Strategi ini merupakan
pengaruh Saussure yang menemukakan bahwa makna tanda ditentukan
oleh relasinya dengan tanda-tanda yang lain. Tabel sintagmatis dan
paradigmatis dan uraian analisis dari mitos Oedipus ini dapat kita lihat
pada halaman 105-109 buku Prof. Ahimsa-Putra ini.
13 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
- Oraganisasi-organisasi social dan keluarga, karena di situ terdapat
kisah tentang perkawinan, perceraian, status janda, hubungan antara
seseorang dengan ipar-iparnya, dan peristiwa yang berkaitan dengan
hal tersebut, seperti perburuan, persaingan, dan tolong menolong.
- Kosmologi orang Tsimshian, yang tampak pada peristiwa kunjungan
Asdiwal ke langit dan ke dunia bawah tanah, yang semuanya
merupakan kisah mitologis, bukan pengalaman nyata.
b. Kisah Si Waux
Kisah si Waux, adalah kisah tentang anak laki-laki Asdiwal dari
perkawinannya yang kedua dan tampaknya merupakan tiruan dari
ayahnya. Secara kronologis, apa yang dialami Waux merupakan
peristiwa-peristiwa yang melengkapi pengalaman-pengalaman
Asdiwal. Pengalaman Waux terorganisir dalam schemata yang selain
bersifat homologous dengan schemata dalam kisah Asdiwal, juga
lebih eksplisit sifatnya. Lebih lanjut tentang analisis mitos si Waux ini
dapat dilihat pada halaman 128-135.
14 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
nalar mitis (Mythical thought) kemudian menyandingkannya atau
menyejajarkannya dengan masalah-masalah yang lain sekaligus, dan
kemudian menunjukkan bahwa masalah-masalah tersebut analogous
atau mirip satu sama lain. Nalar mitis juga bekerja dengan cara yang
khas, unik, yaitu menggunakan beberapa kode atau sistem kode secara
bersamaan untuk memecahkan berbagai persoalan.
15 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
2. Selayang Pandang Orang Bajo di Indonesia
Menurut Prof. Ahimsa-Putra orang Bajo sangat unik dan khas dari sisi
etnis dan geografi. Komunitas yang dikenal juga dengan sebutan orang
laut ini tidak menduduki wilayah geografis yang tetap. Mereka hidup
tersebar dan mengembara di lautan luas, tidak hanya di wilayah
Indonesia tapi juga di perairan Asia Tenggara. Tempat-tempat
persinggahan mereka biasanya disebut dengan Labuan Bajo, sepanjang
kepulauan dari kepulauan selat Sunda di Indonesia Timur sampai pantai
Sumatera di Indonesia bagian Barat, dapat ditemukan nama-nama
tempat seperti Labuan Bajo. Namun seiring waktu, makin banyak
ditemukan kelompok orang Bajo yang semula mengembara di laut, mulai
menetap tinggal mengelompok di pinggir pantai. Perubahan pola hidup ini
membuat kontak mereka dengan orang darat semakin sering dan
kemudian menimbulkan beberapa perubahan dalam kehidupan sosial-
budaya mereka.
16 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
tersurat dalam dongeng tersebut, dan tidak menghadirkan nalar narasi
yang tersirat dalam cerita.
Dalam analisis episode pertama ada bagian yang menarik buat saya yaitu
uraian tentang makna sumur bagi masyarakat Bajo, yang merupakan
sumber air tawar, salah satu dari dua hal penting dalam pola hidup
mereka selain mencari ikan di laut. Kalau menggunakan dialektika Hegel
seperti yang diterapkan oleh Prof. Ahimsa-Putra dalam memetakan tokoh
Priyayi dalam bab VII buku ini, maka sumur akan terlihat sebagai sintesis
dari tesis dan antisesis, laut dan darat.
Laut --------------------------------------------------- Darat
Sumur
Menariknya lagi, dalam mitos orang Bajo ini pergerakan narasi kisahnya
diawali dari pencarian ‘sumur’ dan juga diakhiri di sebuah ‘sumur’. Sumur
seperti mediasi dalam konflik pentingnya ‘laut’ dan ‘darat’ dalam nalar
orang Bajo.
17 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
6. Pitoto’ Si Muhamma’ : Mengatasi Konflik Batin
Kisah Pitoto’ Si Muhamma’ seperti dikatakan oleh Prof. Ahimsa-Putra
merupakan wujud upaya orang Bajo untuk mengatasi teka-teki atau
masalah budaya yang mereka hadapi tanpa terselesaikan : mana yang
lebih superior kehidupan di Darat atau kehidupan di Laut? Jawaban yang
diberikan dalam kisah ini bukanlah salah satunya, melainkan dengan
menyodorkan nilai lain yang lebih tinggi yaitu ‘pengembaraan’. Menurut
Prof. Ahimsa-Putra inilah inti dari budaya Bajo, baik ditinjau dari perspektif
orang Darat maupun orang Bajo sendiri.
7. Kesimpulan
Dari analisis mitos ini Prof. Ahimsa-Putra berharap dapat memperlihatkan
bahwa mitos bisa menjadi model of dan model for realitas yang dihadapi
manusia. Hasil analisis yang disajikan di sini juga memperlihatkan bahwa
sebuah mitos dapat digunakan sebagai salah satu pintu untuk memahami
budaya masyarakat pemilik mitos tersebut. Proses interpretasi mitos
adalah sebuah gerak dialektis, yaitu dari data kebudayaan ke mitos itu
sendiri, dan dari bagian ke keseluruhan.
Bab VI Sri Sumarah, Bawuk dan Para Priyayi : Sebuah Analisis Struktural –
Hermeneutik
Dalam bagian ini Prof. Ahimsa-Putra mencoba menunjukkan bagaimana
penerapan analisis struktural Lévi-Strauss pada tiga karya sastra Umar Kayam :
Sri Sumarah, Bawuk, dan Para Priyayi. Perbedaannya dalam analisis kali ini,
Prof. Ahimsa-Putra mencoba menggabungkan analisis struktural Lévi-Strauss
dengan pendekatan hermeneutic yang ditunjukkan oleh Clifford Geertz (1973).
Maka dari itu, Prof. Ahimsa-Putra menyebut perspektif yang digunakannya di sini
sebagai struktural-hermeneutik.
18 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
situasi tahun 1960an, banyak berpengaruh terhadap analisis Prof.
Ahimsa-Putra terhadap tiga karya Umar Kayam tersebut. Karya-karya
sastra Umar Kayam ini dapat dikategorikan sebagai mitos berdasarkan
kriteria yang disampaikan oleh Lévi-Strauss, bahwa kehadiran mitos
dalam kehidupan manusia adalah untuk mengatasi atau memecahkan
berbagai kontradiksi empiris yang tidak terpahami oleh nalar manusia.
Untuk memahami kontradiksi tersebut, nalar manusia kemudian
memindahkan kontradiksi ini ke tataran simbolis dengan cara yang
sedemikian rupa, sehingga elemen-elemen yang kontradiktif kemudian
dapat diothak-athik istilahnya Prof. Ahimsa-Putra, dan terciptalah
kemudian sebuah sistem symbol yang tertata apik dan rapi.
19 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
3. Struktur Dongeng Umar Kayam
Berdasarkan kategori pengelompokan ceriteme-ceriteme ke dalam lima
episode yang dipaparkan oleh Prof. Ahimsa-Putra dengan analisis
struktural, dapat diperoleh beberapa kesimpulan terkait tokoh-tokoh
dalam ketiga karya sastra tersebut yang dituliskan dengan inisial T, B dan
H. Beberapa kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut :
a. T, B, dan H adalah anak-anak yang cerdas, yang memiliki tempat
khusus dalam keluarga mereka yang tergolong keluarga priyayi jawa.
b. Tokoh-tokoh tersebut juga merupakan individu-individu yang berada
dalam kawasan liminal dari dua dunia yang berbeda, baik dunia
kultural maupun dunia sosial mereka.
c. Secara sosial-politik, tokoh-tokoh T, B dan H adalah juga individu-
individu yang berada di dunia luminal, dunia betwixt and between (hal.
281).
20 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
4. Nilai Jawa, Nalar Jawa, dan Umar Kayam
Pada bagian ini Prof. Ahimsa-Putra kembali menguraikan nilai-nilai yang
penting bagi orang Jawa dari sisi Umar Kayam orang jawa sebagai
penulis karya sastra yang menuliskan karya yang kental dengan nuansa
kebudayaan Jawa. Pentingnya posisi liminal yang teridentifikasi dalam
karya Umar Kayam, ternyata juga dapat dikenali dalam sosok pribadi
beliau sendiri sebagai orang Jawa yang telah mengenyam pendidikan
Barat yang modern. Sosok Umar Kayam ini juga dianalogikan dengan
tokoh Semar dalam pewayangan Jawa, yang juga merupakan sosok yang
ambiguous, sosok dewa dalam tubuh seorang batur yang sederhana.
5. Kesimpulan
Beberapa poin penting yang perlu digarisbawahi dalam analisis tiga karya
sastra Umar Kayam tersebut menurut Prof. Ahimsa-Putra adalah :
a. Karya-karya Umar Kayam yang dibahas pada bab ini ternyata
memiliki benang-benang ceriteme yang terjalin satu sama lain
sedemikian rupa, sehingga karya-karya tersebut tampak sebagai
sejumlah variasi yang bergerak di sekitar sebuah tema tentang
anggota keluarga-keluarga priyayi Jawa yang terlibat PKI.
b. Terdapat dua struktur penting dalam beberapa karya Umar Kayam
yang dapat menjelaskan mengapa tokoh-tokoh cerita jatuh ke dalam
lubang nasib mereka : struktur “sejarah kehidupan” dan struktur
“segitiga tegak” dari tokoh-tokoh tersebut. Kedua struktur ini
mencerminkan prinsip-prinsip nalar Jawa dalam memandang,
menafsirkan dan memahami dunia seputar mereka.
21 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
c. Kebebasan pengarang ternyata berada dalam suatu bingkai tertentu,
suatu struktur nalar tertentu yang bersifat “nirsadar”. Struktur tersebut
tanpa disadari membatasi gerak kreativitas.
d. Nilai Jawa sak madya, tokoh mitis Semar, sosok nyata Umar Kayam,
dan tokoh dongeng etnografis Tun, Bawuk dan Hari, dapat ditafsirkan
sebagai perwujudan prinsip dasar nalar Jawa.
22 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
Sastrodarsono dan Lantip, sehingga masing-masing tokoh ini dapat
dilihat sebagai transformasi dari yang lainnya.
- Persamaan antara tokoh Sastrodarsono dengan Lantip mestinya tidak
hanya terdapat pada struktur “sejarah kehidupan” mereka tetapi juga
pada struktur “segitiga posisi” mereka.
23 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
pada pemahaman yang lebih baik tentang tokoh Lantip dan
kepriyayiannya.
24 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
manusia, yakni sinkretisasi. Pada bagian ini teks yang dianalisis adalah
karya sastra klasik Jawa, Babad Tanah Jawi.
25 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
tradisi lisan dan langkanya penelitian dan pendokumentasian mengenai
proses itu sendiri. Proses sinkretisasi yang telah berlangsung mulus
antara budaya Jawa dan budaya Islam hingga saat ini adalah karena
proses itu berlangsung pada tataran simbolis. Implikasi dari pandangan
ini adalah bahwa relasi-relasi logis-transformasional antar-elemen dari
sistem prinsip Jawa, Islam ataupun sistem prinsip yang lain, perlu
diciptakan terus-menerus, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Sunan
Kalijaga dan ulama-ulama Islam di masa lampau.
4. Penutup
Asumsi analisis yang telah dipaparkan oleh Prof. Ahimsa-Putra dalam
berbagai episode cerita Babad Tanah Jawi tersebut memungkinkan kita
menemukan struktur berpikir orang Jawa untuk menyelaraskan dan
menggabungkan berbagai elemen dari budaya pra-Islam, budaya Jawa
dengan elemen budaya Islam, dalam sebuah kerangka simbolis.
Sinkretisasi budaya pra-Islam dengan Islam dalam kerangka budaya
Jawa berhasil dicapai oleh orang Jawa dengan membangun relasi-relasi
simbolis antar unsur-unsur dari sistem-sistem prinsip yang ada, yang
diwujudkan menjadi :
a. Relasi genealogis
b. Relasi analogis
c. Relasi historis
d. Relasi profesis
e. Relasi kooperatif
Bab IX Sawerigading, Dewi Sri, Larangan Incest dan Kekuasaan : Tafsir atas
Mitos dan Budaya Bugis-Makassar dan Jawa
Analisis ini dibuat untuk mengetahui efektifitas analisis struktural jika diterapkan
pada cerita-cerita yang berasal dari dua sukubangsa yang berbeda. Di sini Prof.
Ahimsa-Putra mencoba menampilkan analisisnya atas dua mitos yaitu mitos
Sawerigading yang berasal dari kalangan orang Bugis-Makassar dan mitos Dewi
Sri dari kalangan orang Jawa dengan menggunakan analisis struktural Lévi-
Strauss. Dimulai dengan adanya kesamaan-kesamaan atau kemiripan-kemiripan
pada episode-episode tertentu dari kedua mitos tersebut. Dari sini akan dapat
diungkapkan struktur budaya masyarakat pemilik mitos tersebut, sehingga mitos
26 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
di sini dapat menjadi sebuah jendela yang bukan hanya untuk melihat ‘batin
sosial’ suatu masyarakat, tapi juga untuk menelaah ke dalam ‘struktur dalam’
(deep structure) suatu masyarakat.
27 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
dipandang sebagai dasar bagi terjadinya proses komunikasi, selayaknya
fonem dalam bahasa. Larangan incest menurut Lévi-Strauss telah
mendorong munculnya fenomena pertukaran wanita antar kelompok-
kelompok kekerabatan. Fungsi pertukaran inilah yang membuat larangan
incest dapat dipandang sebagai sisi lain dari fenomena eksogami.
Pertukaran adalah sebuah proses komunikasi, sehingga pernikahan pada
dasarnya adalah juga sebuah fenomena komunikasi, seperti halnya ketika
manusia melakukan komunikasi dengan sarana bahasa. Inti komunikasi
tidak lain adalah pertukaran, dan ini juga merupakan inti dari kehidupan
sosial. Menurut Lévi-Strauss kehidupan sosial pada dasarnya terbangun
dari tiga level komunikasi, yang berlangsung dengan menggunakan
sarana bahasa, barang dan jasa, dan wanita.
28 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
1. Dewi Sri dan Raden Sadana adalah dua orang yang berasal dari
dua buah telur yang ada dalam sebuah cupu atau dalam versi lain
dikatakan bahwa mereka adalah anak dari dua permaisuri
seorang raja, yang berarti mereka bersaudara satu ayah.
2. Dewi Sri dan Sadana tidak mau menikah kecuali dengan “orang
yang sama persis dengan saudaranya”
3. Dewi Sri dan Raden Sadana kemudian diusir pergi dari istana
4. Dewi Sri dikejar-kejar raksasa yang ingin menikahinya, tetapi
ditolak oleh Dewi Sri
5. Raden Sadana berhasil mengalahkan raksasa yang ingin
menikahi Dewi Sri
6. Raden Sadana dan Dewi Sri kembali ke istana
7. Raden Sadana berubah menjadi burung sriti dan Dewi Sri berubah
menjadi ular sawah.
29 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
larangan tidak disertai saran, bahkan membuat tokoh-tokoh ini
terpaksa pergi dari istana.
3. Upaya untuk mendapatkan pasangan pada kisah Sawerigading
berakhir dengan sukses, walaupun penuh rintangan. Sementara
dalam kisah Dewi Sri, kesuksesannya adalah menghindari
raksasa yang ingin menikahinya.
30 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
b. Pelapisan Sosial : Bugis-Makassar dan Jawa
Masyarakat Bugis-Makassar merupakan masyarakat dengan
pelapisan sosial yang jelas dan kaku. Mereka memiliki kriteria yang
nyata, untuk membedakan lapisan sosial seseorang dengan orang
lain. Pelapisan sosial tersebut juga kaku, karena tidak dapat ditembus
dengan upaya apapun, mengingat didasarkan “darah” atau keturunan.
31 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
melalui berbagai cara. Pandangan mengenai kekuasaan dan
kekuatan adiduniawi serta cara mendapatkannya dapat ditemukan
antara lain dalam mitos Mintaraga, sebuah gubahan karya sastra
Jawa Kuno, kakawin Arjunawiwaha. Lakon ini sangat popular di
kalangan masyarakat Jawa.
5. Kesimpulan
1. Atas dasar persamaannya mitos Sawerigading dan mitos Dewi Sri
dapat dikatakan sebagai mitos-mitos tentang larangan incest antara
saudara sekandung. Atas dasar perbedaannya, mitos Sawerigading
dapat dipandang sebagai inverse atau kebalikan dari mitos Dewi Sri,
atau sebaliknya.
2. Pada mitos Sawerigading kategori sosial individu yang disarankan
untuk diambil sebagai jodoh adalah kerabat, yaitu sepupu. Sedangkan
pada mitos Dewi Sri kategori sosial individu yang disarankan untuk
tidak diambil sebagai jodoh adalah “raksasa” atau bukan kerabat, atau
orang yang berasal dari latarbelakang sosial dan budaya yang
berbeda, yang dipandang kurang baik watak dan perilakunya.
32 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
3. Mitos Sawerigading dapat dikatakan sebagai salah satu unsure
budaya yang menguatkan dan melegitimasi suatu bentuk pernikahan
dengan sepupu, bahkan dianggap sebagai pernikahan yang ideal
dalam masyarakat Bugis-Makassar. Demikian juga halnya dalam
mitos Dewi Sri, yang menguatkan dan melegitimasi jodoh yang harus
ditolak dalam pernikahan yaitu “raksasa”, karena itu dipandang sama
sekali tidak ideal dan harus dihindari.
4. Jodoh yang ideal dalam masyarakat Bugis-Makassar terkait dengan
konsepsi masyarakat ini tentang kekuasaan, sementara pandangan
tentang kekuasaan tidak dapat dilepaskan dari pandangan mereka
mengenai “darah” serta mitos To-manurung. Oleh karena itu
pemahaman tentang mitos Sawerigading tidak dapat dilepaskan dari
pemahaman atas mitos To-manurung. Seperti halnya mitos Dewi Sri
dengan mitos Mintaraga.
5. Bersama dengan mitos To-manurung secara disadari atau tidak oelh
masyarakat Bugis-Makassar, mitos Sawerigading merupakan mitos
politik, pelestarian kekuasaan dalam suatu lapisan masyarakat. Sama
halnya dengan mitos Mintaraga, mitos Dewi Sri ternyata juga
merupakan mitos politik, yaitu mengenai terlepasnya kekuasaan yang
mestinya jatuh ke tangan individu tertentu, yang telah berhasil
mengalahkan pesaingnya lewat kesaktiannya.
Bab X Penutup
Ada dua hal yang ditekankan oleh Prof. Ahimsa-Putra pada bagian penutup buku
ini terkait paradigma struktural dari Lévi-Strauss :
1. Lévi-Strauss menggunakan paradigma strukturalnya tidak hanya untuk
menganalisis mitos, tetapi juga untuk menganalisis gejala sosial-budaya
lainnya. Uraian mengenai paradigma struktural Lévi-Strauss ini belumlah
tuntas, masih banyak lagi yang lain, namun butir-butir penting pemikiran
Lévi-Strauss mengenai cara analisis mitos sudah cukup lengkap
dipaparkan dalam buku ini.
2. Paradigma Lévi-Strauss bukanlah segala-galanya. Seperti halnya
paradigma-paradigma lainnya dalam ilmu sosial-budaya, paradigma
strukturalisme Lévi-Strauss hanya cocok untuk menjawab persoalan-
persoalan tertentu.
33 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4
Strukturalisme dan Perubahan
Untuk menggunakan strukturalisme Lévi-Strauss dalam memahami perubahan-
perubahan dalam masyarakat, berikut uraian dari Prof. Ahimsa-Putra :
1. Penjelasan perubahan-perubahan dalam masyarakat tentu bisa
menggunakan paradigma struktural, namun dengan catatan bahwa
penjelasan tersebut tidak harus dengan cara mengacu pada prosesnya,
sebab menjelaskan suatu gejala dengan memaparkan proses terjadinya
adalah tugas para sejarahwan.
2. Apa yang kita katakana berubah tersebut juga merupakan kelanjutan dari
sesuatu tersebut pada masa yang sebelumnya. Jadi masyarakat yang
berubah sekarang merupakan kesinambungan atau kelanjutan dari
masyarakat di masa sebelumnya. Yang bisa dijelaskan di sini adalah
perbedaan-perbedaannya saja. Asumsi ini digunakan dalam konteks
penelitian sejarah. Namun ahli antropologi tidak mengasumsikan
demikian. Gejala sosial-budaya yang terjadi dalam masyarakat diaanggap
sebagai sebuah ketidaksinambungan, antara gejala satu dengan gejala
lainnya.
Buku ini diakhiri dengan bagian Daftar Pustaka yang berisi 197 judul, dan
halaman indeks dari halaman 475-490, serta biodata penulis yang cukup singkat
di halaman akhir buku 491-493.
34 | M e r r y A n d r i a n i – T . 4