1. PENDAHULUAN
Bahasa memiliki tempat yang istimewa dalam ilmu sosial. Sebagai alat berkomunikasi
bahasa merupakan unsur yang sangat pentng dalam kebudayaan manusia. Oleh karena itu
bahasa dan sosiologi merupakan dua hala tak terpisahkan. Marcel Mauss (via Allen, 1968)
menuliskan bahwa “Sociology would certainly have progressed much further if it had
everywhere followed the lead of the linguists…”. Dengan kata lain sosiologi akan semakin
berkembang jika diinspirasi oleh para ahli bahasa.
Keterkaitan antara ilmu sosial dan ilmu bahasa telah melahirkan perspektif baru bagi
perkembangan kedua bidang ilmu tersebut. Penemuan di bidang antropologi telah membantu
perkembangan ilmu bahasa. Begitu juga perkembangan ilmu sosial tau antrolopogi dipengaruhi
oleh pakar-pakar linguistik. Hubungan inilah yang pada akhirnya melahirkan teori
strukturalisme Levi-Strauss.
Teori ini dirasa menarik untuk dibahas karena dianggap baru dalam dunia antropologi.
Selain itu, strukturalisme memberikan perspektif baru dalam melihat fenomena budaya. Teori
ini menunjukkan bahwa hal-hal yang dianggap sepele justru memiliki peran yang samngat
penting dalam menemukan gejala sosial budaya. Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahas
beberapa hal penting berhubungan dengan teori strukturalisme Levi-Strauss dimulai dari
sejarah hidup Levi-strauss, konsep strukturalisme yang ditawarkan oleh Levi-Strauss, dan
asumsi dasar dari teori strukturalisme ini.
5. KESIMPULAN
Uraian di atas menunjukan pada kita bahwa latar belakang pendidikan dan sejarah
hidup Lev i-Strauss telah memberikan warna pada pemikirannya. Lahirnya konsep
Strukturalisme yang dikembangkanny a sesungguhnya banyak dipengaruhi oleh pengalaman
lapangan dan juga dari hubungannya dengan para ahli linguistik yang secara langsung telah
mempengaruhi pemikirannya mengenai budaya.
Ada beberapa poin penting dari apa yang sudah kita bahas dalam paparan tulisan ini.
Poin pertama adalah pemahaman kita secara umum akan pentingnya memahami kebudayaan
melalui bahasa. Bahasa bukan sekedar alat komunikasi, tetapi juga sebagai cermin dari
masyarakat itu sendiri. Kedua, penggunaan istilah-istilah atau tata bahasa dalam suatu
masyarakat merupakan gambaran adanya struktur. Dalam istilah-istilah bahasa terdapat
susunan yang mengandung arti bukan sekedar makna etimologis tetapi juga psikologis dan
sosiologis. Dengan demikian kata-kata atau secara umum bahasa merupakan gambaran dari
masyarakat penuturnya. Ketiga, karena adanya kesamaan struktur maka untuk mengungkap
fenomena budaya dapat dilakukan dengan model seperti yang terdapat dalam bahasa.
Penggunaan istilah-istilah dalam bahasa bisa menjadi lambang budaya. Oleh karena itu Lev i-
Strauss menyarankan agar para ahli antropologi bekerja sama dengan para ahli linguistik dalam
mempelajari fenomena-fenomena budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, Shri, H. 2006. Strukturalisme Lev i-Strauss Mitos dan Kary a Sastra. kepel Press:
Yogyakarta.
Barkah, Hendri Jihadul. 2013. Claude Levi-Strauss: Si Empu Strukturalisme. Tersedia
dihttp://Fauziteater76.blogspot.com/2013/07/claude-levi-strauss-si-empu.html. Diakses
tanggal 01 November 2013.
Levi-Strauss, Claude. 2007. Antropologi Struktural. Kreasi Wacana: Yogyakarta.
Susanto, Dwi. 2012. Pengantar Teori Sastra. CAPS: Yogyakarta.
Wajiran.net
ASSALAMU'ALAIKUM... PARA PEMBACA YANG BUDIMAN. SEBENARNYA TULISAN
INI DIPUBLIKASIKAN SEKEDAR UPAYA MENYIMPAN DATA AGAR TIDAK
TERMAKAN VIRUS ATAU HILANG. TENTUNYA MASIH BANYAK KEKURANGAN
DALAM TULISAN INI. SAYA BERHARAP MUDAH-MUDAHAN TULISAN INI
BERMANFAAT BUKAN SEKEDAR BUAT PENULIS TETAPI PARA PEMBACA
SEKALIAN. SEMOGA ALLAH MEMBIMBING KITA UNTUK TERUS BERSEMANGAT
DALAM BELAJAR. TERUTAMA BELAJAR UNTUK MEMAHAMI TUJUAN HIDUP
KITA. AMIN.. SELAMAT MEMBACA..
SPONSOR LINKS
STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS
Oleh
Wajiran, S.S.
(Mahasiswa Pasca Sarjaan Universitas Gadjah Mada)
A. Pendahuluan
Tulisan ini dimaksudkan untuk menjelaskan mengenai teori strukturalisme Levi-Strauss. Teori yang
dianggap baru dalam bidang antropologi ini sangat menarik untuk dibicarakan. Selain karena teori
baru, strukturalisme memberikan perspektif baru dalam memandang fenomena budaya. Hal-hal yang
tadinya dianggap sederhana dan tidak penting, jugstru memiliki peran yang sangat penting dalam
menemukan gejala sosial budaya.
Bahasa memiliki tempat yang istimewa dalam ilmu sosial. Sebagai alat berkomunikasi bahasa
merupakan unsur yang sangat penting dalam kebudayaan manusia. Oleh karena itu wajar jika untuk
mengungkap persolaan budaya dapat dilakukan melalui atau menconcoh metode bahasa (ilmu
bahasa). Marcel Mauss (via Allen Lane, 1968) menuliskan bahwa “Sociology would certeainly have
progressed much further if it had everywhere followed the lead of the linguists..”. Dengan kata lain
sosiologi akan semakin berkembang jika diinspirasi oleh para ahli bahasa.
Pergumulan antara ilmu sosial dan ilmu bahasa telah melahirkan perspektif baru yang membuka
jalan bagi perkembangan kedua bidang ilmu tersebut. Ilmu bahasa semakin berkembang berkat
penemuan-penemuan dalam bidang antropologi, demikian juga yang terjadi pada ilmu sosial atau
antropologi yang perkembangannya banyak dipengaruhi oleh apra ahli bidang linguistik. Proses inilah
yang kemudian melahirkan strukturalisme Levi-Strauss ini.
N. Troubetzkoy (dalam Alan Lane, 1968) menyatakan bahwa operasional dasar dari teori struktural
adalah: Pertama, linguistik struktural mengalami lompatan dari studi fenomena kesadaran linguistik
pada infra-struktur nir-sadar. Kedua, strukturalisme tidak menganggap istilah-istilah itu independen,
tetapi menganalisis hubungan antar istilah-istilah yang saling terikat. Ketiga, strukturalisme
mengenalkan sistem konsep. Dan yang terakhir, linguistik struktural ditujukan untuk menemukan
hukum umum (general laws) baik secara induksi maupun dengan deduksi.
Lahirnya teori strukturalisme dalam bidang antropologi telah melahirkan berbagai perspektif dalam
memandang fenomena budaya. Dengan teori ini, persoalan-persoalan tanda semakin mudah
dipahami. Hal ini dikarenakan setiap persoalan bisa diidentifikasi melalui struktur dari persolan
tersebut. Karena dalam konsep ini segala sesuatu yang berbentuk diyakini memiliki struktur. Susunan
unsur-unsur dapat dianalisis sehingga dapat diketahui asal-usul dan juga gejalanya. Dengan demikian
penjelasanya akan semakin mudah.
Pendapat Allen ini menunjukan adanya struktur dalam setiap persoalan. Adanya struktur ini
memungkinkan juga adanya persamaan-persamaan. Oleh karena itu pula pemahaman dasar dari teori
strukturalisme adalah mengacu pada model penelitian linguistik. Langkah ini dilakukan karena dalam
strukturalisme dipahami bahwa setiap benda yang berbentuk pasti memiliki struktur. Kroeber dalam
buku edisi kedua Anthropology menyebutkan bahwa:
“Structure” appears to be just a yielding to a word that has perfectly good meaning but suddenly
becomes fashionably attractive for a decade or so –like “streamlining”- and during its vogue tends to
be applied indiscriminately because of the pleasurable connotations of its sound. Of course a typical
personality can be viewed as having a structure. But so can a physiology, any organism, all societies
and all cultures, crystals, machines- machines- in fact everything that is not wholly amorphous has a
structure. So what “structure” adds to the meaning of our phrase seems to be nothing, except to
provoke a degree of pleasant puzzlement’.
Dalam konsep Strukturalisme Levi-Strauss struktur adalah model-model yang dibuat oleh ahli
antropologi untuk memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya. Yang tidak ada
kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri (Ahimsa, 2006; 60).
Meskipun bertolak pada linguistik, fokus strukturalisme Levi-Strauss sebenarnya bukan pada makna
kata, tetapi lebih menekankan pada bentuk (pattern) dari kata itu. Bentuk-bentuk kata ini menurut
Levi-Strauss berkaitan erat dengan bentuk atau susunan sosial masyarakat. Sarah Schmitt (1999)
menyatakan, “Levi-Strauss derived structuralism from school of linguistics whose focus was not on
the meaning of the word, but the patterns that the words form.”
Strukturalisme Levi-Strauss juga bertolak dari konsep oposisi biner (binary opposition). Konsep ini
dianggap sama dengan organisasi pemikiran manusia dan juga kebudyaannya. Seperti kata-kata
hitam dan putih. Hitam sering dikaitkan dengan kegelapan, keburukan, kejahatan, sedangkan putih
dihubungkan dengan kesucian, kebersihan, ketulusan dan lain-lain. Contoh lain adalah kata rasional
dan emosional. Rasional dianggap lebih istimewa dan diasosiasikan dengan laki-laki. Sementara
emosional dianggap inferior yang diasosiasikan dengan perempuan.
Semua konsep mengenai struktur bahasa tersebut di atas, dikaitkan dengan persoalan-persoalan yang
ada dalam kehidupan sosial. Untuk membuktikan adanya keterkaitan atau beberapa kesamaan antara
bahasa dan budaya, Levi-Strauss mengembangkan teorinya dalam analisis mitos. Levi-Strauss sangat
tertarik pada logika mitologi. Itu sebabnya ia mulai dengan mitos, menggabungkan fungsi-fungsi
hanya secara vertikal, dan mencoba menerangkan paradigmatik mereka yang tumpah-tindih dengan
varian-varian mitos. Model strukturalnya tidak linier (Meletinskij, 1969 via Fokkema, 1978).
Untuk mengetahui makna struktur dalam bidang antropologi Levi-Strauss, perlu diketahui terlebih
dahulu prinsip dasar dari struktur itu sendiri. Prinsip dasar struktur yang dimaksud disini adalah
bahwa struktur sosial tidak berkaitan dengan realitas empiris, melainkan dengan model-model yang
dibangun menurut realitas empiris tersebut (Levi-Strauss, 1958; 378). Bangunan dari model-model
itu yang akan membentuk struktur sosial.
Menurut Levi-Strauss (1958) ada empat syarat model agar terbentuk struktur sosial;
1. Sebuah struktur menawarkan sebuah karakter sistem. Struktur terdiri atas elemen-elemen seperti
sebuah modifikasi apa saja, yang salah satunya akan menyeret modifikasi seluruh elemen lainnya.
2. Seluruh model termasuk dalam sebuah kelompok transformasi, di mana masing-masing
berhubungan dengan sebuah model dari keluarga yang sama, sehingga seluruh transformasi ini
membentuk sekelompok model.
3. Sifat-sifat yang telah ditunjukan sebelumnya tadi memungkinkan kita untuk memprakirakan
dengan cara apa model akan beraksi menyangkut modifikasi salah satu dari sekian elemennya.
4. Model itu harus dibangun dengan cara sedemikian rupa sehingga keberfungsiannya bisa
bertanggung jawab atas semua kejadian yang diobservasi.
Ahimsa (2006: 24-25) menyebutkan bahwa ada beberapa pemahaman mengenai keterkaitan bahasa
dan budaya menurut Levi-Strauss. Pertama, bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat
merupakan refleksi dari keseluruhan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.
Kedua, menyadari bahwa bahasa merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Karena bahasa
merupakan unsur dari kebudayaan maka bahasa adalah bagian dari kebudayaan itu sendiri. Hal ini
dapat kita lihat juga pendapat para pakar kebudayaan yang selalu menyertakan bahasa sebagai unsur
budaya yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Untuk itu jika kita membahas mengenai
kebudayaan kita tidak pernah bisa lepas dari pembahasan bahasa (lihat, Koentjara Ningrat; 1987).
Ketiga, menyatakan bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Dengan kata lain melalui
bahasa manusia mengetahui kebudayaan suatu masyarakat yang sering disebut dengan kebudayaan
dalam arti diakronis. Dengan bahasa manusia menjadi makhluk sosial yang berbudaya. Yang kedua,
bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan karena material yang digunakan untuk membangun
bahasa pada dasarnya memiliki kesamaan jenis atau tipe dengan apa yang ada pada kebudayaan itu
sendiri.
Hubungan atau korelasi bahasa dan budaya terjadi pada tingkat struktur (mathematical models) dan
bukan pada statistical models (Ahimsa, 2006). Model-model matematis pada bahasa dapat berbeda
pada tingkatan dengan model matematis yang ada pada kebudayaan. Seperti yang disebutkan oleh
Levi-Strauss (1963), korelasi sistem kekerabatan orang-orang Indian di Amerika Utara dengan mitos-
mitos mereka, dan dalam cara orang Indian mengekspresikan konsep waktu mereka. Korelasi
semacam ini sangat mungkin terdapat pada kebudayaan lain.
Antropologi mengalami perkembangan pesat setelah dikembangkan dengan model linguistik,
terutama setelah diakuinya bidang fonologi (Fokkema, 1978). Namun demikian, perlu juga
diperhatikan beberapa perbedaan mendasar antara sifat keilmuan fonologi dengan apa yang ada
dalam antropologi. Levi-strauss mengakui bahwa analisis yang benar-benar ilmiah harus nyata,
sederhana, dan bersifat menjelaskan (Levi-Strauss, 1972, via Fokkema, 1978).
Tetapi hal itu agak berbeda dengan apa yang ada dalam antropologi. Antropologi bukan bergerak dari
hal-hal yang kongkret, analisis antropolgi justru maju ke arah yang berlawanan, manjauhi yang
kongkret, sistemnya lebih rumit daripada data observasi dan akhirnya hipotesisnya tidak
menawarkan penjelasan bagi fenomena maupun asal-usul sistem itu sendiri. Antropologi berurusan
dengan sistem kekerabatan pada titik persilangan dua tatanan realitas yang berbeda, sistem
“terminologi” dan sistem “sikap”. Fonologi bisa diterangkan secara ekskulsif dalam sistem
persitilahan; ia tidak perlu memperhitungkan segala “sikap” sumber sosial atau sumber psikologis.
Pemahaman kita akan adanya struktur dalam setiap benda atau aktivitas manusia memudahkan
identivikasi benda atau aktivitas tersebut. Hal yang perlu diperhatikan dalam strukturalisme adalah
adanya perubahan pada struktur tersebut. Perubahan yang terjadi dalam suatu struktur disebut
dengan transformasi (transformation). Transformasi harus dibedakan dari kata perubahan yang
berarti change. Karena dalam proses transformasi tidak sepenuhnya berubah. Hanya bagian-bagian
tertentu saja dari suatu struktur yang mengalami perubahan sedangkan elemen-elemen yang lama
masih ada.
Sebagaimana sudah disebutkan di atas bahwa terbentuknya struktur meruakan akibat dari adanya
relasi-relasi dari beberapa elemen. Oleh karena itu struktur juga oleh Levi-Strauss diartikan sebagai
relations of relations atau system of relation.
Ahimsa (2006; 61) menyebutkan struktur dapat dibedakan menjadi dua. Struktur luar atau struktur
lahir (surface structure) dan struktur dalam atau deep strucutre. Struktur luar adalah relasi-relasi
antar unsur yang dapat kita buat atau bangun berdasarkan atas ciri-ciri luar atau ciri-ciri empiris dari
relasi-relasi tersebut. Sedangkan struktur dalam adalah susunan tertentu yang kita bangun berdasar
atas ciri-ciri struktur lahir yang sudah kita buat namun tidak selalu nampak.
Agar pemahaman mengenai teori strukturalisme Levi-Strauss lebih baik, perlu disampaikan konsep
bahasa menurut para ahli linguistik yang mempengaruhi lahirnya teori ini. Diantara mereka yang
sangat berpengaruh terhadap pandangan Levi-Strauss adalah; Ferdinan de Saussure, Roman
Jakobson dan Nikolay Trobetzkoy. Dari ketiga pemikir linguistik ini, Levi-Strauss memiliki keyakinan
bahwa studi sosial bisa dilakukan dengan model linguistik yaitu yang bersifat struktural. (Levi-
Strauss, 1978 via Ahimsa 2006).
Berikut ini penulis sampaikan secara ringkas mengenai konsep bahasa menurut masing-masing ahli
bahasa tersebut di atas. Dengan ini juga bisa kita ketahui berbagai sudut pandang yang berbeda dari
setiap ahli bahasa yang sangat penting bagi perkembagnan antropologi.
a. Ferdinand de Saussure
Ferdinand de Saussure (1857-1913) merupakan penemu linguistik modern (Modern Linguistics).
Gagasan terbesar de Saussure adalah pada teori umum sistem tanda (general theory of sign system)
yang disebutnya dengan ilmu Semiologi (Semiology) (Winfried Noth, 1995; 56). Sebagai penemu
konsep linguistik modern, wajar jika de Saussure dianggap sebagai orang yang paling berpengaruh
terhadap teori Strukturalisme.
Terobosan pemikiran de Saussure dimulai pada pemikirannya mengenai hakekat gejala bahasa.
Pemikiran ini kemudian melahirkan konsep struktural dalam bahasa dan juga semiologi atau yang
sekarang disebut dengan semiotik (Ahimsa, 2006).
Ada lima pandangan de Saussure yang mempengaruhi Levi-Strauss dalam memandang bahasa. Yaitu;
1. signifier dan signified,
2. form (bentuk) dan content (isi),
3. langue (bahasa) dan parole (ujaran, tuturan),
4. sinkronis dan diakronis,
5. sintagmatik dan paradigmatik.
Bagi Saussure ide-ide tidak ada sebelum kata-kata, dan menurut dia secara psikologis pikiran kita
terlepas dari perwudjudannya dalam kata-kata sebenarnya hanyalah “Shapeless and indistinct mass”,
sesuatu yang tak berbentuk dan tak mengenal perbedaan-perbedaan atau tak bisa dibeda-bedakan.
Tanda adalah juga kesatuan dari suatu bentuk penanda yang disebut signifier, dengan sebuah ide atau
tinanda yang disebut signified, walaupun penanda dan tinanda tampak sebagai entitas yang terpisah-
pisah namun keduanya hanya ada sebagai komponen dari tanda. Tandalah yang merupakan fakta
dasar dari bahasa (Culler; 1976, 19 via Ahimsya, 2006 h. 35).
Setiap tanda kebahasaan pada dasarnya menyatukan sebuah konsep (concept) dan suatu citra suara
(sound image), bukan menyatukan sesuatu dengan sebuah nama. Suara yang muncul dari sebuah kata
yang diucapkan merupakan penanda (signifier), sedang konsepnya adalah tinanda (signified).
Disisi lain parole merupakan tuturan yang bersifat individu, ia bisa mencerminkan kebebasan pribadi
seseorang. Tuturan ini marupakan apa yang terwujud ketika kita mengucapkan kata-kata dalam
bahasa yang kita pergunakan. Dengan kata lain tuturan yang membedakan kita dengan orang lain
melalui gaya bahasa.
Namun demikian, de Saussure masih saja menekankan bahasa pada proses sinkronis. Karena tida
semua fakta-fakta kebahasaan itu memiliki sejarah. Hal ini dikarenakan tanda itu sebagi suatu entitas
yang bersifat relasional atau dalam relasi-relasi dengan tanda-tanda lain. kesimpulannya bahasa
diartikan sebagai “a system of pure values whcih are determined by nothing except the momentary
arrangement of its terms” (Ferdinand de Saussure, 1966, via Ahimsa, 2006; 47). Dari pengertian
inilah akhirnya dapat dipahami bahwa untuk mempelalajari bahasa diperlukan pemahaman terhadap
relasi-relasi atas elemen-elemen yang bersifat sinkronis.
Hubungan sintagmatik dan paradigmatik terdapat dalam kata-kata sebagai rangkaian bunyi-bunyi
maupun kata-kata sebagai konsep (Ahimsa, 2006; 47). Hubungan sintagmatik adalah hubungan yang
dimiliki sebuah kata dengan kata-kata yang dapat berada di depannya atau di belakangnya dalam
sebuah kalimat. Sepeti kata yang terdapat dalam kata “saya”, “memetik” dan “bunga”. Ketiga kata ini
bisa digabung menjadi kalimat “saya memetik bunga”. Gabungan kata yang sesuai itu memiliki
makna. Penggabungan kata ini tidak terjadi begitu saja, tetapi dipertimbangkan konvensi bahasa yang
sudah ada. Karena seperti kata “memetik” tentu tidak bisa digabungkan dengan kata “mengalir”. Atau
gabungan kata “bunga mengalir” gabungan ini tidak memiliki makna karena tidak sesuai tata bahasa
yang umum atau standar.
b. Roman Jakobson
Meskipun Jakobson terlahir setelah de Saussure, ia dikenal sebagai pengembang Semiotika Klasik.
Konsep yang ditawarkan oleh Roman Jakobson (1896-1982) lebih condong pada para ahli bahasa dari
Rusia (Rusian Linguist). Koch (1981; via Noth, 1995; 74) membedakan empat periode perkembangan
penelitian mengenai karya-karya Jakobson;
Pertama, periode formalist, yaitu antara tahun 1914 sampai 1920. Pada periode ini Jakobson dikenal
sebagai pendiri Moscow Linguistic Circle dan juga sebagai anggota kelompok Opoyaz yang sangat
berpengaruh.
Kedua, periode stucturalist, yaitu antara tahun 1920 sampai 1939. Jakobson merupakan figur yang
paling mendominasi dalam Prague School of Linguistics and Aesthetics.
Ketiga, periode Semiotic, antara tahun 1939 sampai 1949.. Pada periode ini Jakobson bergabung
dalam Copenhagen Linguistic Circle (Brondal, Hjelmslev) dan aktif dalam Linguistic Circle of New
York.
Keempat, periode interdisciplinary yang dimulai pada 1949 yaitu saat ia mulai bekerja di Harvard dan
juga MIT mengenai teori informasi dan komunikasi (Informatioan and Comunicatioan Theory),
matematika dan juga fisika (1982).
Pemikiran Jakobson berpengaruh besar pada diri Levi-Strauss pada konsepnya mengenai fenomena
budaya. Jakobson memberikan pandangan kepada Levi-Strauss tentang bagaimana memahami atau
menangkap tatanan yang ada di balik fenomena budaya yang sangat variatif tersebut (Ahimsa, 2006;
52). Pengaruh yang besar Romand Jakobson disampaikannya sendiri oleh Levi-Strauss sebagaimana
dikutib oleh Ahimsa (2006; 52) berikut ini:
“...His (Jacobson’s) lectures, however, gave me something very different and, need I add, a great deal
more than I had bargained for. This was the revelation of structural linguistics, which provided me
with a body of coherent ideas where I could crystallize my reveries about the wild flowers I had gazed
at somewhere along the Luxembourg border early in May 1940..” (1985:139)
Dalam pemikiran Jakobson unsur terkecil dari bahasa adalah bunyi. Dengan demikian kata diartikan
sebagai satuan bunyi yang terkecil dan berbeda. Fonem sebagai unsur bahasa terkecil yang
membedakan makna, meskipun fonem itu sendiri tidak bermakna. Contoh kasus yang menujukan
peranan penting fonem dapat kita lihat dalam dua kata antara “kutuk” dan “kuthuk” (basa Jawa).
Perbedaan tulisan antar /t/ dan /th/ mengakibatkan sedikit perbedaan pengucapan tetapi memiliki
makna yang jauh berbeda. “Kutuk” mengacu pada nama sejenis ikan gabus sedangkan “kuthuk”
adalah anak ayam (Ahimsa; 2006).
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa fonem terbentuk karena adanya relasi-relasi, dan
realsi-relasi ini muncul karean adanya oposisi. Jadi sebenarnya fonem tidak akan bermakna atau
tidak memiliki isi. yang hakiki dari sebuah fonem adalah relasi karena dengan begitu sebuah fonem
baru memiliki fungsi yang jelas.
Jakobson yakin bahwa fungsi utama dari suara dalam bahasa adalah untuk memungkinkan manusia
membedakan unit-unit semantis, unit-unit yang bermakna, dan ini dilakukan dengan mengetahui
ciri-ciri pembeda (distinctive features) dari suatu suara yang memisahkannya dengan ciri-ciri suara
yang lain.
Langkah-langkah struktural terhadap fonem yang dilakukan oleh Jakobson adalah;
a. Mencari distinctive feature (ciri pembeda) yang membedakan tanda-tanda kebahasaan satu dengan
yang lain. Tanda-tanda ini harus berbeda seiring dengan ada tidaknya ciri pembeda dalam tanda-
tanda tersebut;
b. Meberikan suatu ciri menurut features tersebut pada masing-masing istilah, sehingga tanda-tanda
ini cukup berbeda satu dengan yang lian;
c. Merumuskan dalil-dalil sintagmatis mengenai istilah-istilah kebahasaan mana dengan distinctive
features yang mana yang dapat berkombinasi dengan tanda-tanda kebahasaan tertentu lainya;
d. Menentukan perbedaan- perbedaan antartanda yang penting secara paradigmatis, yakni
perbedaan-perbedaan antartanda yang masih dapat saling menggantikan(Pettit, 1977, 11; Ahimsya; h.
55).
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Jakobson mempengaruhi Levi-Strauss pada tataran
tatanan (susunan/order) yang ada di balik fenomena budaya (Ahimsa, 2006).
c. Nikolai Troubetzkoy
Nikolai mempengaruhi Levi-Strauss dalam hal strategi kajian bahasa yang berawal dari konsepsi
mengenai fonem. Nikolai berpendapat bahwa fonem adalah sebuah konsep linguistik, bukan konsep
psikologis. Artinya, fonem sebagai sebuah konsep atau ide berasal dari para ahli bahasa, dan bukan
ide yang diambil dari pengatahuan pemakai bahasa tertentu yang diteliti. Jadi fonem tidak dikenal
oleh pengguna suatu bahasa, kecuali ahli fonologi dari kalangan mereka atau mereka yang pernah
belajar lingusitik. (Ahimsa, 2006)
Toubetzkoy menyarankan agar perhatian pada fenomena fonem sebagai sebuah konsep linguistik.
Karena itu sebaiknya para peneliti memperhatikan distinctive feature, ciri-ciri pembeda, yang
memiliki fungsi atau operasional dalam satu bahasa. Dengan kata lain, strategi analisis dalam fonogi
haruslah struktural, karena relasi-relasi antar ciri-ciri pembeda dalam fonemlah yang menjadi pusat
perhatian (Ahimsa, 2006; 59).
Langkah analisis struktural dalam fonologi;
1. Beralih dari tataran yang disadari ke tataran nirsadar. Pada tataran ini seorang ahli fonologi tidak
lagi memperlakukan istilah-istilah (terms) atau fonem-fonem sebagai entitas yang berdiri sendiri,
tetapi dia harus;
2. Memperhatikan relasi-relasi antar istilah atau antar fonem tersebut, dan menjadikannya sebagai
dasar analisisnya. Selanjutnya dia perlu;
3. Memperlihatkan sistem-sisitem fonemis, dan menampilkan struktur dari sistem tersebut.
4. Harus berupaya merumuskan hukum-hukum tentang gejala kebahasaan yang mereka teliti.
D. Asumsi Dasar Strukturalisme
Dari pemahaman kita di atas, strukturalisme merupakan aliran baru bagi studi antropologi.
Strukturalisme bertolak dari studi linguistik (ilmu bahasa), berbeda dengan pendekatan yang ada
dalam fungsionalisme, Marxisme dan lain-lain. Ahimsa (2006; 66-71) menyebutkan bahwa
strukturalisme memiliki beberapa asumsi dasar yang berbeda dengan konsep pendekatan lain.
Beberapa asumsi dasar tersebut adalah sebagai berikut;
2. Para penganut strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri manusia terdapat kemampuan dasar
yang diwariskan secara genetis sehingga kemampuan ini ada pada semua manusia yang normal. Yaitu
kemampuan untuk structuring, untuk menstruktur, menyususun suatu struktur, atau menempelkan
suatu struktur tertentu pada gejala-gejala yang dihadapinya.
Dalam kehidupan sehari-hari apa yang kita dengar dan saksikan adalah perwujudan dari adanya
struktur dalam tadi, akan tetapi perwujudan ini tidak pernah kompolit. Suatu struktur hanya
mewujud secara parsial (partial) pada suatu gejala, seperti halnya suatu kalimat dalam bahasa
Indonesia hanyalah wujud dari secuil struktur bahasa Indonesia. (Ahimsa, 2006; 68).
3. Mengikuti pandangan dari de Saussure yang berpendapat bahwa suatu istilah ditentukan
maknanya oleh relasi-relasinya pada suatu titik waktu tertentu, yaitu secara sinkronis, dengan istilah-
istilah yang lain, para penganut strukturalisme berpendapat bahwa relasi-relasi suatu fenomena
budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan
makna fenomena tersebut.
4. Relasi-relasi yang ada pada struktur dalam dapat diperas atau disederhanakan lagi menjadi oposisi
berpasangan (binary opposition).
Sebagai serangkaian tanda-tanda dan simbol-simbol, fenomena budaya pada dasarnya juga dapat
ditangapi dengan cara seperti di atas. Dengan metode analisis struktural makna-makna yang
ditampilkan dari berbagai fenomena budaya diharapakan akan dapat menjadi lebih utuh.
Keempat asumsi dasar ini merupakan ciri utama dalam pendekatan strukturalisme. Dengan demikian
dapat kita pahami juga bahwa strukturalisme Levi-Strauss menekankan pada aspek bahasa. Struktur
bahasa mencerminkan struktur sosial masyarakat. Disamping itu juga Kebudayaan diyakini memiliki
struktur sebagaimana yang terdapat dalam bahasa yang digunakan dalam suatu masyarakat.
Ketiga, Levi-Strauss menggunakan cara analisis reductionist (reduksionis). Cara ini sangat kurang
tepat untuk menganalisis mitos sebagai produk budaya manusia yang sangat kompolek. Cara analisis
menggunakan sistem ini akan mengurangi kesempurnaan analisis karena akan mengalami kelemahan
makna (a lesser meaning). Douglas menyebut dua reduksionisme yang dilakukan oleh Levi-Strauss
yaitu pada model komputer yang dipakainya dan adanya dua tujuan dalam analisis wacana (Ahimsa,
2006; 164).
Lain lagi dengan pendapat Alice, Adam (1974) mengkritik mengenai hasil analisis Strukturalisme
Levi-Strauss terhadap suku Asdiwal. Menurut Adam gagasan Levi-Strauss terhadap suku ini terlalu
diada-adakan. Persoalan terhadap suku ini yang sebenarnya sederhana dan bahkan tidak ada, oleh
Strauss dipaksakan sesuai apa yang menjadi konsepsinya. Justru dengan tindakan seperti inilah teori
ini kridibilitasnya masih perlu untuk disangsikan. Pendapat ini juga didukung oleh tiga ahli
antropologi lain yakni; L.L. Thomas, JZ. Kronenfeld dan DB. Kronenfeld. Ketiganya menyimpulkan
bahwa analisis Strukturalisme Levi-Strauss dianggap penuh dengan generalisasi-generalisasi
etnografi yang sangat diragukan kebenarannya. Bahkan analsisnya dianggap mengalami ke-
salahrepresentasi-an. (misrepresentasions of story).
c. Hasil Analisis
Bukan sekedar metode dan data etnogarfi yang nampaknya dipersoalkan dalam Strukturalisme Levi-
Strauss. Hasil analisisnya pun masih banyak mendapat kritikan dari berbagai kalangan terutama para
ahli antropologi. Ahimsa (2006) menyatakan bahwa hasil analisis kritik dapat dibedakan dalam
beberapa hal; a). Kemampuan analisis struktural menuntaskan tafsir yang diberikan, b). Kebenaran
struktur mitos yang dikemukakan.
Pengertian mitos yang cenderung dianggap negatif oleh Levi-Strauss ditolak oleh Douglas. Douglas
beranggapan bahwa masih ada aspek-aspek positif mengenai makna mitos. Tema-tema mitos yang
terdapat dalam suatu masyarakat masih banyak yang mengungkap realitas sosial yang positif.
Selanjutnya Douglas menyatakan bahwa makna mengenai mitos yang dikemukakan oleh Levi-Strauss
dianggap biasa-biasa saja dengan istilah lain tidak begitu penting.
Metode analisis yang dilakukan oleh Levi-Strauss dalam analisis mitos menggunakan model analisis
puisi denganggap tidak tepat. Metoda ini justru dianggap mengalami kebocoran seperti yang
diistilahkan Ahimsa dalam tulisannya. Hal yang demikian ini terjadi karena Levi-Strauss terlalu
banyak mencontoh model yang diterapkan dalam ilmu bahasa (linguistik) yang menurut Douglas
tidak cocok jika diterapkan dalam analisis mitos.
“Instead of more and richer depths of understanding, we get a surprise, a totally new theme, and often
a paltry one at that”. ( Douglas, 1967 via Ahimsa, 20006; 170).
F. Beberapa Tanggapan
Betapapun banyaknya kekurangan dan kelemahan yang terdapat dalam Strukturalisme Levi-Strauss,
tentunya banyak hal yang dapat menjadi kelebihan dari teori ini. karena kita menyadari juga bahwa
teori ini masih baru dalam bidang antropologi, sehingga tentunya masih banyak penyesuaian dan
pendalaman (penyempurnaan). Maka wajar kiranya banyak yang menghujat sekaligus memuja teori
ini.
Banyak manfaat yang kita dapatkan dari teori Strukturalisme Levi-Strauss ini. Maybury-Lewis (1970)
menyatakan bahwa banyak hal yang berhasil membuka perspektif-perspektif baru dalam analisis
mitos yang telah dilakukan oleh Levi-Strauss. Douglas yang sebelumnya banyak melakukan kritik,
ternyata masih mengakui beberapa kemanfaatan dari Strukturalisme Levi-Strauss ini. Ia menyatakan
teori ini telah mampu mengungkapkan acuan-acuan tertentu, makna-makna yang sangat dalam, yang
tidak terduga dan menarik, dari serangkaian mitos-mitos tertentu (via Ahmisa; 2006; 176).
Yalman (1967) menyebutkan bahwa berkat jasa yang dilakukan oleh Levi-Strauss kita mengetahui
keterkaitan antara mitos yang satu dengan yang lain. Ada susunan, struktur dan koherensi logis
dalam mitos. Dan inilah yang menunjukan pada kita akan keterkaitan mitos dan budaya masyarakat
yang terdapat dalam mitos tersebut.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa meskipun para ahli antropologi melakukan kritik terhadap
teori Strukturalisme Levi-Strauss mereka masih mengakui beberapa keunggulan atau manfaat dari
jerih payah Levi-Strauss. Bahkan apa yang digagas oleh Levi-Strauss melalui metode struktural ini
dapat dikatakan banyak benarnya. Masuk akal, menarik dan mampu memberikan wawasan atau
wacana tentang mitos yang sangat penting itu.
G. Kesimpulan
Uraian di atas menunjukan pada kita bahwa latar belakang pendidikan dan sejarah hidup Levi-
Strauss telah memberikan warna pada pemikirannya. Lahirnya konsep Strukturalisme yang
dikembangkannya sesungguhnya banyak dipengaruhi oleh pengalaman lapangan dan juga dari
hubungannya dengan para ahli linguistik yang secara langsung telah mempengaruhi pemikirannya
mengenai budaya.
Ada beberapa poin penting dari apa yang sudah kita bahas dalam paparan tulisan ini. Poin pertama
adalah pemahaman kita secara umum akan pentingnya memahami kebudayaan melalui bahasa.
Bahasa bukan sekedar alat komunikasi, tetapi juga sebagai cermin dari masyarakat itu sendiri.
Kedua, penggunaan istilah-istilah atau tata bahasa dalam suatu masyarakat merupakan gambaran
adanya struktur. Dalam istilah-istilah bahasa terdapat susunan yang mengandung arti bukan sekedar
makna etimologis tetapi juga psikologis dan sosiologis. Dengan demikian kata-kata atau secara umum
bahasa merupakan gambaran dari masyarakat penuturnya.
Ketiga, karena adanya kesamaan struktur maka untuk mengungkap fenomena budaya dapat
dilakukan dengan model seperti yang terdapat dalam bahasa. Penggunaan istilah-istilah dalam
bahasa bisa menjadi lambang budaya. Oleh karena itu Levi-Strauss menyarankan agar para ahli
antropologi bekerja sama dengan para ahli linguistik dalam mempelajari fenomena-fenomena
budaya.
Terakhir, meskipun Strukturalisme Levi-Strauss banyak mendapatkan kritik, khususnya para ahli
antropologi. Teori ini telah berkembang dan menguasai pemikiran banyak ahli di bidang budaya di
Perancis. Bagaimanapun dengan lahirnya teori ini banyak perspektif baru yang sangat positif bagi
perkembangan ilmu budaya. Bahkan teori ini sering disebut sebagai tren kedua dalam penelitian
sastra strukturalis. (Fokkema, 1978).
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, Shri, H., 2006, Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra, kepel Press,
Yogyakarta.
Daiches, David, 1981, Critical Approaches to Literature, Longman, New York.
Fokkema, D.W., 1998, Teori Sastra Abad Kedua Puluh (Theories of Literature in the Twentieth
Century), Gramedia, Jakarta.
Lane, Allen, 1968, Structural Anthropology, The Penguin Press.
Noth, Winfried, 1995, Hand Book of Semiotics, Indiana university Press, Bloomington and
Indianapolis.
Selden, Raman, 1985, A Reader Guide to Contemporary Literary Work, The Harvester Press Limited,
Sussex.
Strauss, Levi, Claude, 1958, Anthropologie Structurale (Terj. Antropologi Struktural, 2007), Kreasi
Wacana, Yogyakarta.
0 COMMENTS:
Post a Comment
Create a Link
SPONSOR LINK
PENGEN GABUNG?
SPONSOR LINK
Your Ad Here
TULISAN KU
► 2007 (16)
▼ 2008 (7)
STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS
► 2010 (46)
Usai jadi moderator pertemuan Pengusaha Indonesia, Duta Besar Kwait dan Penasehat Presiden
Wiayah Timur Tengah (Dr. Alwi Shihab)
Saat jadi moderator Prof. Dr. C. Bakdi Soemanto
Saat Mendampingi Mahasiswa asing asal China, Philine, Bangladesh dan German di Candi Ratu Boko
TOKOH-KOKOH INSPIRATIF
HAMKA
Abdurrahman Wahid
Soesilo Bambang Yudhoyono
Andrea Hirata
Mustofa Bisri
TEORY SASTRA
Feminism
Hegemony
Marxisme
Structuralism
Modern Literary Theory
http://www.contemporarywriters.com/
RADIO ONLINE
Motivasi Islami
Hukum Islam
Belajar Agama
http://www.wisatahati.com/
http://muslimah.or.id/
http://www.eramuslim.com/
http://www.dakwatuna.com/
PRANATA INGGRIS
http://www.english.emory.edu/Bahri/hegemony.html
http://www.britannia.com/history/euro/1/4_2.html
WOMAN IN LONDON