Anda di halaman 1dari 28

TEORI STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS

Diposting oleh Anthares Rydha on Selasa, 12 November 2013


Label: sastra

Zakridatul Agusmaniar Rane


13/351684/PSA/07465
Program Pascasarjana Ilmu Sastra
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
2013

1. PENDAHULUAN
Bahasa memiliki tempat yang istimewa dalam ilmu sosial. Sebagai alat berkomunikasi
bahasa merupakan unsur yang sangat pentng dalam kebudayaan manusia. Oleh karena itu
bahasa dan sosiologi merupakan dua hala tak terpisahkan. Marcel Mauss (via Allen, 1968)
menuliskan bahwa “Sociology would certainly have progressed much further if it had
everywhere followed the lead of the linguists…”. Dengan kata lain sosiologi akan semakin
berkembang jika diinspirasi oleh para ahli bahasa.
Keterkaitan antara ilmu sosial dan ilmu bahasa telah melahirkan perspektif baru bagi
perkembangan kedua bidang ilmu tersebut. Penemuan di bidang antropologi telah membantu
perkembangan ilmu bahasa. Begitu juga perkembangan ilmu sosial tau antrolopogi dipengaruhi
oleh pakar-pakar linguistik. Hubungan inilah yang pada akhirnya melahirkan teori
strukturalisme Levi-Strauss.
Teori ini dirasa menarik untuk dibahas karena dianggap baru dalam dunia antropologi.
Selain itu, strukturalisme memberikan perspektif baru dalam melihat fenomena budaya. Teori
ini menunjukkan bahwa hal-hal yang dianggap sepele justru memiliki peran yang samngat
penting dalam menemukan gejala sosial budaya. Untuk itu, dalam makalah ini akan dibahas
beberapa hal penting berhubungan dengan teori strukturalisme Levi-Strauss dimulai dari
sejarah hidup Levi-strauss, konsep strukturalisme yang ditawarkan oleh Levi-Strauss, dan
asumsi dasar dari teori strukturalisme ini.

2. SEJARAH HIDUP LEVI-STRAUSS


Claude Levi-Strauss dilahirkan di Brussles, Belgia pada tanggal 28 November 1908
dan merupakan keturunan Yahudi, anak seorang pelukis sekaligus cucu dari seorang rabi. Pada
tahun 1927 ia masuk ke Fakultas Hukum Paris dan pada saat yang sama ia juga belajar filsafat
di Universitas Sorbone. Di tahun 1935 Strauss mendapat kesempatan untuk menjadi pengajar
di Sao Paulo Brazil dan melakukan ekspedisi ke daerah-daerah pedalaman Brazil yang
memberinya kesempatan untuk mempelajari orang-orang Indian, Caduvo, dan Bororo. Dari
ekspedisi itu ia akhirnya menghasilkan sebuah buku yang menjadi sangat penting di bidang
antropologi ‘Tristes Tropique’ dan pada akhirnya mengangkat namanya.
Pada tahun 1940, tepatnya saat perang dunia II meletus, Levi-Strauss pindah ke New
York dan bertemu dengan seorang ahli bahasa asal Rusia, Roman Jackobson dan mengajar
di The new school social research. Pertemuannya dengan Jackobson telah mengenalkannya
pada linguistik modern yang kemudaian ia terapkan dalam bidang antropologi budaya. Strauss
kemudian menerbitkan sebuah artikel “Analisis Struktural dalam Linguistik dan Antropologi”
dalam jurnal World yang merupakan cabang dari The Linguistic Circle of New York yang
dipimpin oleh Jackobson.
Tahun 1947 Levi-Strauss pulang ke Prancis dan mengajar di College pratique des
hautes etudes dan tahun 1959 dia diangkat menjadi profesor dalam bidang antropologi
diCollege de france. Karya-karya Levi-Strauss antara lain adalah Vie familiale et sociale des
Indies Nambikwara (1948), Les structures elementaries de la parante (1949,
1959),Antropologie structural (1958) Mythologiques (1964), dan lain-lain. Levi-Strauss telah
mendapat penghargaan tertinggi dalam bidang ilmu pengetahuan di Prancis dari Centre
national de la recherché scientifique (1968) dan menjadi anggota Academie Francaise.

3. KONSEP STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS


Levi-Strauss melahirkan konsep Strukturalismenya sendiri akibat ketidakpuasanya
terhadap fenomenologi dan eksistensialisme. Pasalnya para ahli antropologi pada saat itu tidak
pernah mempertimbangkan peranan bahasa yang sebenarnya sangat dekat dengan kebudayaan
manusia itu sendiri. Dalam bukunya yang berjudul Trites Tropique (1955) ia menyatakan
bahwa penelaahan budaya perlu dilakukan dengan model linguistik. Ia tidak setuju dengan
Bergson yang menganggap tanda linguistik dianggap sebagai hambatan yang merusak impresi
kesadaran individual yang halus, cepat berlalu, dan mudah rusak (Fokkema via Wajiran 2008).
Menurut Levi-Strauss bahasa yang digunakan merefleksikan budaya atau perilaku manusia
tersebut. Oleh karena itu ada kesamaan konsep antara bahasa dan budaya manusia. Ia
berpendapat bahwa bahasa dapat digunakan untuk mempelajari kebudayaan atau perilaku suatu
masyarakat.
Ahimsa (2006: 24-25) menyebutkan bahwa ada beberapa pemahaman hubungan antara
bahasa dan budaya menurut Levi-Strauss yaitu: 1) bahasa yang digunakan oleh suatu
masyarakat merupakan refleksi dari keseluruhan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.
2) bahasa merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri. 3) bahasa adalah kondisi untuk
untukkebudayaan, sebab ada kesamaan tipe antara apa yang ada pada kebudayaan itu dengan
material yang digunakan untuk membangun bahasa.
Hal yang perlu diperhatikan dalam strukturalisme adalah adanya perubahan pada
struktur suatu benda atau aktivitas. Namun, perubahan tersebut bukanlah perubahan yang
sepenuhnya atau biasa diistilahkan sebagai proses transformasi. Dalam proses ini hanya
bagian-bagian tertentu saja dari suatu struktur yang berubah sementara elemen-elemen yang
lama masih dipertahankan. Prinsip dasar struktur dalam teori Levi-Strauss adalah bahwa
struktur sosial tidak berkaitan dengan realitas empiris, melainkan dengan model-model yang
dibangun menurut realitas empiris tersebut (Levi-Strauss, 2007: 378). Menurut Levi-Strauss,
ada empat syarat model agar terbentuk sebuah struktur sosial yaitu:
1. Sebuah struktur menawarkan sebuah karakter sistem. Struktur terdiri atas elemen-elemen yang
salah satunya akan menyeret modifikasi seluruh elemen lainnya.
2. Seluruh model termasuk dalam sebuah kelompok transformasi, di mana masing-masing
berhubungan dengan sebuah model dari keluarga y ang sama, sehingga seluruh transformasi
ini membentuk sekelompok model.
3. Sifat-sifat yang telah ditunjukan sebelumnya tadi memungkinkan kita untuk memprakirakan
dengan cara apa model akan beraksi menyangkut modifikasi salah satu dari sekian elemennya.
4. Model itu harus dibangun dengan cara sedemikian rupa sehingga keberfungsiannya bisa
bertanggung jawab atas semua kejadian yang diobservasi.
Strukturalisme Levi-Strauss bertolak dari linguistik dan konsep oposisi biner. walaupun
bertolak dari linguistik, fokus dari teori ini bukan pada makna kata melainkan fokus pada
bentuk (pattern) dari kata. Menurut Levi-Strauss bentuk-bentuk kata memiliki kaitan erat
dengan bentuk atau susunan sosial masyarakat. Sementara itu, oposisi biner dianggap sebagai
konsep yang sama dengan organisasi pemikiran manusia dan kebudayaan. Misalnya kata
‘hitam-putih’ yang biasa dikaitkan dengan hitam sebagai kejahatan, kegelapan, keburukan dan
putih sebagai kesucian, kebenaran, kebersihan, ketulusan, dan sebagainya. Atau kata rasional
yang dianggap lebih istimewa dari kata emosional. Kata rasional dianggap superior dan
diasosiasikan dengan laki-laki dan emosional sebagai inferior dan diasosiasikan dengan
perempuan.
Levi-Strauss mengambil beberapa konsep Ferdinan de Saussure dalam menerapkan
strukturalisme di bidang antropologi budaya. Hal yang utama adalah konsep tanda bahasa yang
terdiri dari signifier (penanda) yang berwujud bunyi dan signified(petanda/ yang ditandai)
yaitu satu konsep atau pemikiran. Hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer atau
semena yang didasarkan pada hubungan konvensional satu masyarakat (Susanto, 2012: 98).
Selain itu, Levi-Strauss juga menerapkan konsep languedan parole. Langue merupakan satu
sistem atau struktur yang sering disebut kaidah kebahasaan, sedangkan parole dapat diartikan
sebagai pemakaian bahasa aktual sehari-hari.
Kurzweil dalam Barkah (2013) menerangkan Levi-Strauss memandang kajian bahasa
Saussure sebagai sebuah system mandiri yang mengendalikan adanya suatu hubungan dinamis
antara komponen setiap tanda lnguistik, yaitu system bahasa (langue) dan tututran individu
(parole), serta antara citra bunyi (signifier) dan konsep (signified). Berdasarkan atas dualism
tersebut, Levi-Strauss menerapkan model analisis fonemik yang dalam linguistic struktural
bertujuan untuk membuktikan bahwa struktur semua bahasa selalu mengikuti garis biner
konstruksi paralel.
Barkah (2013) menjelaskan bahwa menurut Levi-Strauss, sama halnya dengan
fenomena bahasa, fenomena sosial budaya juga memiliki aspek bahasa (langue) dan tuturan
individu (parole). Langue adalah aspek sosial atau struktural dari bahasa. Aspek inilah yang
memungkinkan kita menggunakan bahasa dalam komunikasi kita dengan orang lain yang
mengenal bahasa yang sama. Aspek dari bahasa, dengan demikian tidak lain adalah tatabahasa
atau aturan-aturan yang ada pada ranah fonologis, morfemis, sintaksis dan simantis, yang pada
umumnya bersifat tidak disadari atau tidak diketahui oleh pemakai bahasa itu sendiri. Walau
tidak disadari bukan berarti aturan-aturan dari bahasa itu tidak ada. Parole atau tuturan
merupakan aspek individual atau statistikal dari bahasa. Setiap orang akan
memiliki parole yang berbedabeda. Parole dapat dikatakan sebagai gaya atau style seseorang
individu dalam menggunakan suatu bahasa.
Susanto (2012: 89) menambahkan bahwa bahasa sendiri pada dasarnya berkaitan
dengan kewaktuan dalam kajiannya yang diungkapkan melalui konsep singkronik dan
diakronik. Diakronik maksudnya bahasa mendahului kebudayaan karena melalui bahasalah
manusia mengetahui budaya masyarakat, dan singkronik maksudnya bahasa merupakan
kondisi bagi kebudayaan karena material yang digunakan untuk membangun bahasa pada
dasarnya adalah material yang sama tipe/jenisnya dengan materi yang membentuk kebudayaan
itu sendiri.
Selain itu aspek sintagmatik dan paradigmatik juga menjadi perhatian Levi-Strauss.
Hubungan sintagmatik adalah relasi yang menunjukkan unsur-unsur kebahasaan yang saling
berkaitan secara linear pada tataran tertentu. Hubungan paradigmatik memperlihatkan
hubungan yang terdapat antara unsur-unsur kebahasaan pada tingkat tertentu yang saling
menggantikan atau substitusi (Susanto, 2012: 98).
Kata-kata diucapkan tidak pernah bersama-sama dan tidak pernah ada dua kata
diucapkan sekaligus. Aspek bertutur secara linier dalam bahasa inilah yang disebut dengan
sintagmatik. Aturan-aturan yang mengendalikan dalam aspek ini merupakan sesuatu yang nir
sadar. Aspek paradikmatik terdapat dalam hubungan asosiatif antara kata-kata yang ada dalam
suatu kalimat atau tuturan dengan kata lain yang ada di luar kalimat tersebut. Dicontohkan oleh
Ahimsa dengan kata ‘desa’. Dalam kalimat ‘saya tinggal di desa’, kata desa dapat digantikan
dengan kata kota, kampung dan lain sebagainya. Dengan contoh itu dapat dipahami bahwa
pada dasarnya bahasa mengandung aspek sintagmatik dan paradikmatik sekaligus. Dasar teori
ini juga dapat dipergunakan dalam melihat fenomena budaya yang lain, contohnya karya seni.
Lebih lanjut Susanto (2012: 99) menjelaskan, Levi-Strauss juga dibayangi oleh
pemikiran N. Trubetzkoy yang mengungkapkan konsep linguistik atau bahasa ternyata mampu
mengalihkan dari gejala yang hanya bersifat kebahasaan, yang bersifatcounscious atau sadar,
ke dalam gejala yang bersifat kebahasaan yang unconscious atau ketidaksadaran. Hal ini tidak
ditemukan dalam term-term (satuan lingual) yang berdiri sendiri, tetapi dalam basis analisis
antara term tersebut. Hubungan atau relasi dalam term-term tersebut menunjukkan satu system
tertentu. Strukturalisme yang dikembangkan Levi-Strauss ini pada akhirnya memfokuskan diri
pada konteks yang lebih luas yaitu melihat konteks relasi antara sintagmatis dan paradigmatik
atau asosiatif.
Menurut Lévi-Strauss fenomena kebudayaan dapat dilihat sebagai suatu fenomena
kebahasaan. Alasan yang paling mendasari kenapa model pendekatan linguistik dapat
digunakan untuk melihat fenomena kebudayaan, adalah karena: 1) bahasa yang digunakan oleh
suatu masyarakat dianggap sebagai refleksi dari keseluruhan kebudayaan masyarakat yang
bersangkutan. 2) karena bahasa bagian dari kebudayaan, atau bahasa merupakan salah satu
unsur dari kebudayaan, dan 3) bahwa bahasa merupakan kondisi dari kebudayaan.
Dengan dasar teori struktural bahasa itulah Lévi-Strauss berhasil melihat sesuatu di
balik penampakan karya manusia. Sesuatu di balik benda (wujud karya) tersebut bukan lagi
berupa visi atau misi, melainkan berupa nilai atau makna yang secara tidak sadar telah
membentuk ide, gagasan, atau pemikiran seseorang. Dengan dimikian dapat dikatakan apapun
yang ada di dunia ini, menurut pandangan Lévi-Strauss merupakan sistem yang memiliki
struktur-struktur yang mengaturnya. Dijelaskan bahwa, arti timbul dari keadaan tanpa arti, dan
arti itu sekedar hasil sekunder dari permainan diferensial tanda-tanda dan penanda-penanda
(signifiant). Dalam Strukturalisme tatanan signifiant atau penanda mendahului makna, dengan
kata lain bahwa berbicara tentang adanya manusia sebenarnya bukanlah sebagai subjek,
sebaliknya adanya struktur itu sendiri berbicara tentang dirinya melalui pembicaraan manusia
tentang adanya.
Dalam analisis struktural itu, Lévi-Strauss membedakan struktur menjadi dua macam;
struktur luar (surface structure) dan struktur dalam (deep structure). Struktur luar adalah relasi-
relasi antar unsur yang dapat kita buat atau bangun berdasar atas ciri-ciri luar atau ciri-ciri
empiris dari relasi-relasi tersebut, sedangkan struktur dalam adalah susunan tertentu yang kita
bangun berdasarkan atas struktur lahir yang telah berhasil kita buat, namun tidak selalu tampak
pada sisi empiris dari fonomena yang kita pelajari. Struktur dalam ini dapat disusun dengan
menganalisis dan membandingkan berbagai struktur luar yang berhasil diketemukan atau
dibangun. Lebih jauh dijelaskan bahwa struktur dalam inilah yang lebih tepat dipakai sebagai
model memahami fenomena yang diteliti, karena melalui struktur inilah peneliti kemudian
dapat memahami berbagai fenomena budaya yang dipelajarinya.
Selain konsep strukutur, Lévi-Strauss juga memakai konsep transformasi. Transformasi
yang dimaksud disini perlu dibedakan dengan pengertian transformasi sebagaimana umumnya
diketahui. Secara umum dikenal pengertian transformasi sebagai perubahan, sedangkan
transformasi yang dimaksud Lévi- Strauss adalah ‘alih rupa’. Perbedaan yang paling nyata
antara keduanya adalah bahwa dalam konsep perubahan terkandung pengertian proses
berubahnya sesuatu ke sesuatu dalam ruang dan waktu tertentu. Adapun ‘alih rupa’ adalah
suatu perubahan yang terjadi pada tataran muka, sedangkan pada tataran yang lebih dalam
perubahan tersebut tidak terjadi.
Levi-Strauss mengembangkan teorinya dalam analisis mitos. Ia menggabungkan
fungsi-fungsi secara vertikal dan menerangkan paradigmatik yang tumpang tindih
menggunakan varian-varian mitos dengan model struktural yang tidak linear. Susanto (2012:
100) menjelaskan, Levi-Strauss menarik sebuah kesimpulan bahwa mitos-mitos yang ada di
seluruh dunia tersebut pada hakikatnya bersifat semena atau arbitrer. Makna dalam satu mitos
itu terletak dalam relasi-relasi atau keterkaitan antara elemen-elemen dalam mitos dengan
mengombinasikan elemen-elemennya. Mitos dapat dikategorikan seperti dalam bahasa. Mitos
bersifat seperti bahasa yang tersusun atas satuan-satuan unit yang serupa dengan elemen-
elemen lingual dalam bahasa.
Namun, mitos tidak dapat sepenuhnya disamakan dengan bahasa bila dilihat dari faktor
waktu. Bahasa memang dapat diteliti pada faktor maktu tertentu atau pada waktu yang sama
atau yang diistilahkan dengan sifat singkronik dan diakronik sesuai pada
konsep langue dan parole. Mitos ternyata memiliki sifat kombinasi antara reversible
timedan non reversible time. Hal ini berarti bahwa mitos sepanjang sejarah akan selalu sama
meskipun dari waktu ke waktu penampilannya berbeda (Susanto, 2012:101)
.
4. ASUMSI DASAR STRUKTURALISME
Ahimsa (2006 : 66-71) menyebutkan bahwa strukturalisme memiliki beberapa asumsi
dasar yang berbeda dengan konsep pendekatan lain. Beberapa asumsi dasar tersebut antara:
1. Dalam strukturalisme ada angapan bahwa upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan dan
perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan sebagianya, secara formal semuanya dapat
dikatakan sebagai bahasa-bahasa.
2. Para penganut strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri semua manusia terdapat
kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis yaitu kemampuan structuring. Ini adalah
kemampuan untuk menstruktur, menyususun suatu struktur, atau menempelkan suatu struktur
tertentu pada gejala-gejala yang dihadapinya. Dalam kehidupan sehari-hari apa yang kita
dengar dan saksikan adalah perwujudan dari adanya struktur dalam tadi. Akan tetapi
perwujudan ini tidak pernah komplit. Suatu struktur hanya mewujud secara parsial (partial)
pada suatu gejala, seperti halnya suatu kalimat dalam bahasa Indonesia hanyalah wujud dari
secuil struktur bahasa Indonesia.
3. Mengikuti pandangan de Saussure bahwa suatu istilah ditentukan maknanya oleh relasi-
relasinya pada suatu titik waktu tertentu, yaitu secara sinkronis, dengan istilah-istilah yang lain,
para penganut strukturalisme berpendapat bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan
fenomena-fenomena yang lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna
fenomena tersebut. Hukum transformasi adalah keterulangan-keterulangan (regularities) yang
tampak, melalui suatu konfigurasi struktural berganti menjadi konfigurasi struktural yang lain.
4. Relasi-relasi yang ada pada struktur dalam dapat disederhanakan lagi menjadi oposisi
berpasangan (binary opposition). Sebagai serangkaian tanda-tanda dan simbol-simbol,
fenomena budaya pada dasarnya juga dapat ditangapi dengan cara seperti di atas. Dengan
metode analisis struktural makna-makna yang ditampilkan dari berbagai fenomena budaya
diharapakan akan dapat menjadi lebih utuh.
Keempat asumsi dasar ini merupakan ciri utama dalam pendekatan strukturalisme.
Dengan demikian dapat kita pahami juga bahwa strukturalisme Levi-Strauss menekankan pada
aspek bahasa. Struktur bahasa mencerminkan struktur sosial masyarakat. Disamping itu
kebudayaan juga diyakini memiliki struktur sebagaimana yang terdapat dalam bahasa yang
digunakan dalam suatu masyarakat.

5. KESIMPULAN
Uraian di atas menunjukan pada kita bahwa latar belakang pendidikan dan sejarah
hidup Lev i-Strauss telah memberikan warna pada pemikirannya. Lahirnya konsep
Strukturalisme yang dikembangkanny a sesungguhnya banyak dipengaruhi oleh pengalaman
lapangan dan juga dari hubungannya dengan para ahli linguistik yang secara langsung telah
mempengaruhi pemikirannya mengenai budaya.
Ada beberapa poin penting dari apa yang sudah kita bahas dalam paparan tulisan ini.
Poin pertama adalah pemahaman kita secara umum akan pentingnya memahami kebudayaan
melalui bahasa. Bahasa bukan sekedar alat komunikasi, tetapi juga sebagai cermin dari
masyarakat itu sendiri. Kedua, penggunaan istilah-istilah atau tata bahasa dalam suatu
masyarakat merupakan gambaran adanya struktur. Dalam istilah-istilah bahasa terdapat
susunan yang mengandung arti bukan sekedar makna etimologis tetapi juga psikologis dan
sosiologis. Dengan demikian kata-kata atau secara umum bahasa merupakan gambaran dari
masyarakat penuturnya. Ketiga, karena adanya kesamaan struktur maka untuk mengungkap
fenomena budaya dapat dilakukan dengan model seperti yang terdapat dalam bahasa.
Penggunaan istilah-istilah dalam bahasa bisa menjadi lambang budaya. Oleh karena itu Lev i-
Strauss menyarankan agar para ahli antropologi bekerja sama dengan para ahli linguistik dalam
mempelajari fenomena-fenomena budaya.

DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, Shri, H. 2006. Strukturalisme Lev i-Strauss Mitos dan Kary a Sastra. kepel Press:
Yogyakarta.
Barkah, Hendri Jihadul. 2013. Claude Levi-Strauss: Si Empu Strukturalisme. Tersedia
dihttp://Fauziteater76.blogspot.com/2013/07/claude-levi-strauss-si-empu.html. Diakses
tanggal 01 November 2013.
Levi-Strauss, Claude. 2007. Antropologi Struktural. Kreasi Wacana: Yogyakarta.
Susanto, Dwi. 2012. Pengantar Teori Sastra. CAPS: Yogyakarta.

Wajiran. 2008. Strukturalisme Levi-Strauss. Tersedia


dihttp://wajirannet.blogspot.com/2008/01/strukturalisme-levi-strauss.html. Diakses tanggal
01 November 2013.

Wajiran.net
ASSALAMU'ALAIKUM... PARA PEMBACA YANG BUDIMAN. SEBENARNYA TULISAN
INI DIPUBLIKASIKAN SEKEDAR UPAYA MENYIMPAN DATA AGAR TIDAK
TERMAKAN VIRUS ATAU HILANG. TENTUNYA MASIH BANYAK KEKURANGAN
DALAM TULISAN INI. SAYA BERHARAP MUDAH-MUDAHAN TULISAN INI
BERMANFAAT BUKAN SEKEDAR BUAT PENULIS TETAPI PARA PEMBACA
SEKALIAN. SEMOGA ALLAH MEMBIMBING KITA UNTUK TERUS BERSEMANGAT
DALAM BELAJAR. TERUTAMA BELAJAR UNTUK MEMAHAMI TUJUAN HIDUP
KITA. AMIN.. SELAMAT MEMBACA..

SPONSOR LINKS

SUNDAY, JANUARY 13, 2008

STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS

Oleh
Wajiran, S.S.
(Mahasiswa Pasca Sarjaan Universitas Gadjah Mada)

A. Pendahuluan
Tulisan ini dimaksudkan untuk menjelaskan mengenai teori strukturalisme Levi-Strauss. Teori yang
dianggap baru dalam bidang antropologi ini sangat menarik untuk dibicarakan. Selain karena teori
baru, strukturalisme memberikan perspektif baru dalam memandang fenomena budaya. Hal-hal yang
tadinya dianggap sederhana dan tidak penting, jugstru memiliki peran yang sangat penting dalam
menemukan gejala sosial budaya.
Bahasa memiliki tempat yang istimewa dalam ilmu sosial. Sebagai alat berkomunikasi bahasa
merupakan unsur yang sangat penting dalam kebudayaan manusia. Oleh karena itu wajar jika untuk
mengungkap persolaan budaya dapat dilakukan melalui atau menconcoh metode bahasa (ilmu
bahasa). Marcel Mauss (via Allen Lane, 1968) menuliskan bahwa “Sociology would certeainly have
progressed much further if it had everywhere followed the lead of the linguists..”. Dengan kata lain
sosiologi akan semakin berkembang jika diinspirasi oleh para ahli bahasa.
Pergumulan antara ilmu sosial dan ilmu bahasa telah melahirkan perspektif baru yang membuka
jalan bagi perkembangan kedua bidang ilmu tersebut. Ilmu bahasa semakin berkembang berkat
penemuan-penemuan dalam bidang antropologi, demikian juga yang terjadi pada ilmu sosial atau
antropologi yang perkembangannya banyak dipengaruhi oleh apra ahli bidang linguistik. Proses inilah
yang kemudian melahirkan strukturalisme Levi-Strauss ini.
N. Troubetzkoy (dalam Alan Lane, 1968) menyatakan bahwa operasional dasar dari teori struktural
adalah: Pertama, linguistik struktural mengalami lompatan dari studi fenomena kesadaran linguistik
pada infra-struktur nir-sadar. Kedua, strukturalisme tidak menganggap istilah-istilah itu independen,
tetapi menganalisis hubungan antar istilah-istilah yang saling terikat. Ketiga, strukturalisme
mengenalkan sistem konsep. Dan yang terakhir, linguistik struktural ditujukan untuk menemukan
hukum umum (general laws) baik secara induksi maupun dengan deduksi.
Lahirnya teori strukturalisme dalam bidang antropologi telah melahirkan berbagai perspektif dalam
memandang fenomena budaya. Dengan teori ini, persoalan-persoalan tanda semakin mudah
dipahami. Hal ini dikarenakan setiap persoalan bisa diidentifikasi melalui struktur dari persolan
tersebut. Karena dalam konsep ini segala sesuatu yang berbentuk diyakini memiliki struktur. Susunan
unsur-unsur dapat dianalisis sehingga dapat diketahui asal-usul dan juga gejalanya. Dengan demikian
penjelasanya akan semakin mudah.

B. Sejarah Hidup Levi-Strauss


Sebelum membicarakan teori strukturalisme Levi-Strauss, akan lebih baik jika kita membicarakan
sejarah hidup Levi-Strauss secara singkat. Hal ini penting mengingat perjalanan hidup penggagas
teori antropologi struktural ini sangat dinamis. Latar belakang pendidikan, pengalaman kerja dan
tentunya pola pikirnya sangat menentukan dalam apa yang dicetuskan dalam teori strukturalnya.
Selain itu, yang juga sangat menentukan dalam pandangan-pandangan Levi-Strauss adalah
hubungannya dengan para pakar berbagai bidang di Brazil, Perancis maupun saat ia berada di New
York. Pertemuannya dengan para pakar dari berbagai bidang ilmu itu telah melahirkan berbagai
konsep yang sangat penting dalam membentuk teori budaya yang sangat unik itu. Dikatakan sangat
unik karena memang belum terpikirkan oleh para pakar di bidang antropolgi sebelumnya.
Levi-Strauss dilahirkan pada 28 November 1905 di Brussles, Belgia. Ia adalah keturunan Yahudi.
Ayahnya bernama Raymond Levi-Strauss seorang artis dan juga anttota keluarga intelektual Yahudi
Perancis (Intelectual French Jewish familily). Sedangkan ibunya bernama Emma Levy.
Minat utama Levi-Strauss sebenarnya adalah ilmu hukum. Ia mempelajari hukum di fakultas hukum
Paris pada tahun 1927. Di tahun yang sama ia juga mempelajari filsafat di universitas Sorbonne. Ia
pernah sukses dalam bidang hukum ketika ia telah mendapatkan licence dalam bidang hukum.
Penguasaan dalam bidang hukum mengenai aliran-aliran filsafat materialisme historis ini turut
mendorong kesuksesannya dalam bidang antropologi.
Hal yang paling penting dan sangat berpengaruh terhadap loyalitasnya di bidang antropologi adalah
ketika ia membaca buku Primitive Society yang ditulis oleh Robert Lowie. Buku itu cukup
mengesankan bagi Levi-Strauss dan mendorongnya untuk mengadakan beberapa studi mengenai
masyarakat primitif. Bahkan ia menjadi bosan mengajar di Mont de-Marsan lycee dan berkeinginan
untuk mengadakan perjalanan keliling dunia.
Apa yang diharapkan oleh Levi-Strauss ini akhirnya terkabulkan setelah ia berkesempatan menjadi
pengajar di Universtias Sao Paulo, Brazil. Di universitas ini ia memiliki sempatan untuk keliling ke
daerah-daerah pedalaman Brazil, serta mengunjungi berbagai suku Indian yang selama itu boleh
dikatakan belum terjamah oleh peradaban Barat. Dari ekpedisi yang di dukung oleh Musee de
1’Hummed dan musium di kota Sao Paulo ini memberi kesempatan kepadanya untuk mempelajari
orang-orang IndianCaduveo dan Bororo.
Pengalaman perjalanannya menjelajah daerah-daerah terpencil itu ditulisnya dalam sebuah buku
yang berjudul Tristes Tropique. Buku ini bercerita tentang penderitaan orang-orang Indian di
belantara Amazone. Berawal dari buku inilah yang menjadikan Levi-Strauss terkenal sampai kenegara
asalnya yakni Prancis. Ia bahkan telah menghasilkan suatu karya yang sangat penting di bidang
antropologi yang sesungguhnya sangat jauh dari studi formal yang dimilikinya.
Karir Levi-Strauss sempat mengalami halangan saat ia diberi kewajiban militer. Ia ditugaskan
dibagian pos telekomunikasi di bidang sensor telegram. Sampai akhirnya ia diangkat menjadi liaison
officer, yaitu petugas penghubung. Namun dalam situasi yang seperti itu tetap tidak menghalangi
dirinya untuk menjadikannya seorang professor. Ia pun akhirnya dibebaskan dari kewajiban militer
setelah menjadi seorang professor. Halangan tidak hanya sempai disitu, ia juga mengalami
diskriminasi ras. Ia dipecat dari jabatannya karena ia adalah seorang Yahudi. Akhirnya Levi-Strauss
diselamat oleh program Yayasan Rockefeller yang memiliki program menyelamatkan ilmuwan dan
pemikir-pemikir Eropa berdarah Yahudi di Amerika Serikat. Dari program ini Levi-Strauss berhasil
datang ke New York dan selamat dari pembantaian tentara Nazi yang anti terhadap orang-orang
Yahudi.
Di daerah Greenwich Village Levi-Strauss tinggal. Di kota New York inilah Levi-Strauss semakin
banyak memiliki peluang mengembangkan keilmuannya. Ia banyak berkomunikasi dengan para
ilmuan buangan dari Prancis, seperti Maz Ernst, Franz Boas, Ruth Benedict, A.L. Kroever dan Ralph
Linton. Ia pun berkesempatan mengajar mata kuliah etnologi di New York Ecole Libre des Hautes
Etudes, yang didirikan oleh para intelektual pelarian dari Prancis.
Kita sangat menghargai perjuangan Levi-Strauss dalam menemukan teori (konsep) strukturalisme
ini. dengan ketekunan, kesabaran, dan ketelitian yang luar biasa Levi-Strausss mampu melahirkan
karya yang sangat bermanfaat. Berkat jasanya, ribuan bahkan jutaan mitos kini memiliki arti yang
sangat penting bagi kehidupan kita. Mitos-mitos itu sebelumnya tak seorang pun yang
memperhatikan, bahkan masih sangat sedikit orang yang mendokumentasikan mitos-mitos tersebut.
Selama hidupnya Levi-Strauss pernah menduki jabatan-jabatan setrategis terutama di bidang
pendidikan. Pada tahun 1935 sampai 1939 ia diangkat sebagai seorang Professor di Universitas Sao
Paolo yang kemudian melakukan beberapa ekspedisi ke Brazil. Pada tahun 1942 sampai 1945 ia
diangkat sebagai professor di New School for Social Reseach. Pada tahun 1959 ia menjadi direktu The
Ecole Practique des Hautes Etude, yang bersamaan pula dengan kedudukannya sebagai pimpinan
Sicial Antropology pada College de France.
Beberapa penghargaan yang pernah diterimanya diantaranya; the wenner-Gren Foundation’s Viking
Fund Medal dan Erasmus Prize pada tahun 1975. Ia juga dianugrahi empat gelar kehormatan oleh
Oxford, Yale, Harvard dan Columbia university.

C. Konsep Strukturalisme Levi-Strauss


Cakupan ilmu sosial sangat luas. Hal ini disebabkan banyaknya persoalan yang timbul dalam aktivitas
manusia baik secara individu maupun dalam kaitannya dengan masyarakat. Oleh karena begitu
kompleknya persolan itu, sangat tidak mungkin bisa memahami fenomena sosial tampa mengaitkan
dengan fenomena-fenomena lain. Inilah yang menjadikan salah satu alasan kenapa dalam ilmu sosial
kita harus meniru metode ilmu-ilmu di luar ilmu sosial; seperti ilmu eksata dan pengetahuan alam
(exact and natural Sciences). Dari rangkaian persoalan manusia itu terdapat beberapa kesamaan yang
bisa dijadikan model dalam sebuah penelitian. Allen Lane (1968; 8) menyatakan sebagai berikut;
On the other hand, studies in social structure have to do with the formal aspects of social phenomena;
they are therefore difficult to define, and still more difficult to discuss, without overlapping other
fields pertaining to the exact and natural sciences, where problems are similarly set in formal terms
or, rather, where the formal expression of different problems admits of the same kind of treatment.

Pendapat Allen ini menunjukan adanya struktur dalam setiap persoalan. Adanya struktur ini
memungkinkan juga adanya persamaan-persamaan. Oleh karena itu pula pemahaman dasar dari teori
strukturalisme adalah mengacu pada model penelitian linguistik. Langkah ini dilakukan karena dalam
strukturalisme dipahami bahwa setiap benda yang berbentuk pasti memiliki struktur. Kroeber dalam
buku edisi kedua Anthropology menyebutkan bahwa:
“Structure” appears to be just a yielding to a word that has perfectly good meaning but suddenly
becomes fashionably attractive for a decade or so –like “streamlining”- and during its vogue tends to
be applied indiscriminately because of the pleasurable connotations of its sound. Of course a typical
personality can be viewed as having a structure. But so can a physiology, any organism, all societies
and all cultures, crystals, machines- machines- in fact everything that is not wholly amorphous has a
structure. So what “structure” adds to the meaning of our phrase seems to be nothing, except to
provoke a degree of pleasant puzzlement’.

Dalam konsep Strukturalisme Levi-Strauss struktur adalah model-model yang dibuat oleh ahli
antropologi untuk memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya. Yang tidak ada
kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri (Ahimsa, 2006; 60).
Meskipun bertolak pada linguistik, fokus strukturalisme Levi-Strauss sebenarnya bukan pada makna
kata, tetapi lebih menekankan pada bentuk (pattern) dari kata itu. Bentuk-bentuk kata ini menurut
Levi-Strauss berkaitan erat dengan bentuk atau susunan sosial masyarakat. Sarah Schmitt (1999)
menyatakan, “Levi-Strauss derived structuralism from school of linguistics whose focus was not on
the meaning of the word, but the patterns that the words form.”
Strukturalisme Levi-Strauss juga bertolak dari konsep oposisi biner (binary opposition). Konsep ini
dianggap sama dengan organisasi pemikiran manusia dan juga kebudyaannya. Seperti kata-kata
hitam dan putih. Hitam sering dikaitkan dengan kegelapan, keburukan, kejahatan, sedangkan putih
dihubungkan dengan kesucian, kebersihan, ketulusan dan lain-lain. Contoh lain adalah kata rasional
dan emosional. Rasional dianggap lebih istimewa dan diasosiasikan dengan laki-laki. Sementara
emosional dianggap inferior yang diasosiasikan dengan perempuan.
Semua konsep mengenai struktur bahasa tersebut di atas, dikaitkan dengan persoalan-persoalan yang
ada dalam kehidupan sosial. Untuk membuktikan adanya keterkaitan atau beberapa kesamaan antara
bahasa dan budaya, Levi-Strauss mengembangkan teorinya dalam analisis mitos. Levi-Strauss sangat
tertarik pada logika mitologi. Itu sebabnya ia mulai dengan mitos, menggabungkan fungsi-fungsi
hanya secara vertikal, dan mencoba menerangkan paradigmatik mereka yang tumpah-tindih dengan
varian-varian mitos. Model strukturalnya tidak linier (Meletinskij, 1969 via Fokkema, 1978).
Untuk mengetahui makna struktur dalam bidang antropologi Levi-Strauss, perlu diketahui terlebih
dahulu prinsip dasar dari struktur itu sendiri. Prinsip dasar struktur yang dimaksud disini adalah
bahwa struktur sosial tidak berkaitan dengan realitas empiris, melainkan dengan model-model yang
dibangun menurut realitas empiris tersebut (Levi-Strauss, 1958; 378). Bangunan dari model-model
itu yang akan membentuk struktur sosial.
Menurut Levi-Strauss (1958) ada empat syarat model agar terbentuk struktur sosial;
1. Sebuah struktur menawarkan sebuah karakter sistem. Struktur terdiri atas elemen-elemen seperti
sebuah modifikasi apa saja, yang salah satunya akan menyeret modifikasi seluruh elemen lainnya.
2. Seluruh model termasuk dalam sebuah kelompok transformasi, di mana masing-masing
berhubungan dengan sebuah model dari keluarga yang sama, sehingga seluruh transformasi ini
membentuk sekelompok model.
3. Sifat-sifat yang telah ditunjukan sebelumnya tadi memungkinkan kita untuk memprakirakan
dengan cara apa model akan beraksi menyangkut modifikasi salah satu dari sekian elemennya.
4. Model itu harus dibangun dengan cara sedemikian rupa sehingga keberfungsiannya bisa
bertanggung jawab atas semua kejadian yang diobservasi.

Lahirnya konsep Strukturalisme Levi-Strauss merupakan akibat dari ketidakpuasan Levi-Strauss


terhadap fenomenologi dan eksistensialisme (Fokkema, 1978). Pasalnya para ahli antropologi pada
saat ini tidak pernah mempertimbangkan peranan bahasa yang sesungguhnya sangat dekat dengan
kebudayaan manusia itu sendiri. Dalam bukunya yang berjudul Trites Tropique (1955) ia menyatakan
bahwa penelaahan budaya perlu dilakukan dengan model linguistik seperti yang dikembangkan oleh
Ferdinand de Saussure, bukan seperti yang dikembangkan oleh Bergson. Karena bagi Bergson tanda
linguistik dianggap sebagai hambatan, yaitu sesuatu yang merusak impresi kesadaran individual yang
halus, cepat berlalu, dan mudah rusak (Fokkema, 1978).
Bagi Levi-Strauss telaah antropologi harus meniru apa yang dilakukan oleh para ahli linguistik. Levi-
Strauss memandang bahwa apa yang ada di dalam kebudayaan atau perilaku manusia tidak pernah
lepas dari apa yang terefleksikan dalam bahasa yang digunakan. Oleh karena itu akan terdapat
kesamaan konsep antara bahasa dan budaya manusia. Singkatnya Levi-Strauss berkeyakinan bahwa
untuk mempelajari kebudayaan atau perilaku suatu masyarakat dapat dilakukan melalui bahasa.
Istilah kekerabatan, seperti halnya fonem, merupakan unsur makna; dan seperti fonem, kekerabatan
memperoleh maknanya hanya dari posisi yang mereka tempati dalam suatu sistem. Kesimpulannya
adalah bahwa “meskipun mereka berasal dari tatanan relitas yang lain, fenomena kekerabatan
merupakan tipe yang sama dengan fenomena linguistik (Levi-Strauss, 1972, via Fokkema, 1978).

Ahimsa (2006: 24-25) menyebutkan bahwa ada beberapa pemahaman mengenai keterkaitan bahasa
dan budaya menurut Levi-Strauss. Pertama, bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat
merupakan refleksi dari keseluruhan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.
Kedua, menyadari bahwa bahasa merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Karena bahasa
merupakan unsur dari kebudayaan maka bahasa adalah bagian dari kebudayaan itu sendiri. Hal ini
dapat kita lihat juga pendapat para pakar kebudayaan yang selalu menyertakan bahasa sebagai unsur
budaya yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Untuk itu jika kita membahas mengenai
kebudayaan kita tidak pernah bisa lepas dari pembahasan bahasa (lihat, Koentjara Ningrat; 1987).
Ketiga, menyatakan bahwa bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Dengan kata lain melalui
bahasa manusia mengetahui kebudayaan suatu masyarakat yang sering disebut dengan kebudayaan
dalam arti diakronis. Dengan bahasa manusia menjadi makhluk sosial yang berbudaya. Yang kedua,
bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan karena material yang digunakan untuk membangun
bahasa pada dasarnya memiliki kesamaan jenis atau tipe dengan apa yang ada pada kebudayaan itu
sendiri.
Hubungan atau korelasi bahasa dan budaya terjadi pada tingkat struktur (mathematical models) dan
bukan pada statistical models (Ahimsa, 2006). Model-model matematis pada bahasa dapat berbeda
pada tingkatan dengan model matematis yang ada pada kebudayaan. Seperti yang disebutkan oleh
Levi-Strauss (1963), korelasi sistem kekerabatan orang-orang Indian di Amerika Utara dengan mitos-
mitos mereka, dan dalam cara orang Indian mengekspresikan konsep waktu mereka. Korelasi
semacam ini sangat mungkin terdapat pada kebudayaan lain.
Antropologi mengalami perkembangan pesat setelah dikembangkan dengan model linguistik,
terutama setelah diakuinya bidang fonologi (Fokkema, 1978). Namun demikian, perlu juga
diperhatikan beberapa perbedaan mendasar antara sifat keilmuan fonologi dengan apa yang ada
dalam antropologi. Levi-strauss mengakui bahwa analisis yang benar-benar ilmiah harus nyata,
sederhana, dan bersifat menjelaskan (Levi-Strauss, 1972, via Fokkema, 1978).
Tetapi hal itu agak berbeda dengan apa yang ada dalam antropologi. Antropologi bukan bergerak dari
hal-hal yang kongkret, analisis antropolgi justru maju ke arah yang berlawanan, manjauhi yang
kongkret, sistemnya lebih rumit daripada data observasi dan akhirnya hipotesisnya tidak
menawarkan penjelasan bagi fenomena maupun asal-usul sistem itu sendiri. Antropologi berurusan
dengan sistem kekerabatan pada titik persilangan dua tatanan realitas yang berbeda, sistem
“terminologi” dan sistem “sikap”. Fonologi bisa diterangkan secara ekskulsif dalam sistem
persitilahan; ia tidak perlu memperhitungkan segala “sikap” sumber sosial atau sumber psikologis.

Pemahaman kita akan adanya struktur dalam setiap benda atau aktivitas manusia memudahkan
identivikasi benda atau aktivitas tersebut. Hal yang perlu diperhatikan dalam strukturalisme adalah
adanya perubahan pada struktur tersebut. Perubahan yang terjadi dalam suatu struktur disebut
dengan transformasi (transformation). Transformasi harus dibedakan dari kata perubahan yang
berarti change. Karena dalam proses transformasi tidak sepenuhnya berubah. Hanya bagian-bagian
tertentu saja dari suatu struktur yang mengalami perubahan sedangkan elemen-elemen yang lama
masih ada.
Sebagaimana sudah disebutkan di atas bahwa terbentuknya struktur meruakan akibat dari adanya
relasi-relasi dari beberapa elemen. Oleh karena itu struktur juga oleh Levi-Strauss diartikan sebagai
relations of relations atau system of relation.
Ahimsa (2006; 61) menyebutkan struktur dapat dibedakan menjadi dua. Struktur luar atau struktur
lahir (surface structure) dan struktur dalam atau deep strucutre. Struktur luar adalah relasi-relasi
antar unsur yang dapat kita buat atau bangun berdasarkan atas ciri-ciri luar atau ciri-ciri empiris dari
relasi-relasi tersebut. Sedangkan struktur dalam adalah susunan tertentu yang kita bangun berdasar
atas ciri-ciri struktur lahir yang sudah kita buat namun tidak selalu nampak.
Agar pemahaman mengenai teori strukturalisme Levi-Strauss lebih baik, perlu disampaikan konsep
bahasa menurut para ahli linguistik yang mempengaruhi lahirnya teori ini. Diantara mereka yang
sangat berpengaruh terhadap pandangan Levi-Strauss adalah; Ferdinan de Saussure, Roman
Jakobson dan Nikolay Trobetzkoy. Dari ketiga pemikir linguistik ini, Levi-Strauss memiliki keyakinan
bahwa studi sosial bisa dilakukan dengan model linguistik yaitu yang bersifat struktural. (Levi-
Strauss, 1978 via Ahimsa 2006).
Berikut ini penulis sampaikan secara ringkas mengenai konsep bahasa menurut masing-masing ahli
bahasa tersebut di atas. Dengan ini juga bisa kita ketahui berbagai sudut pandang yang berbeda dari
setiap ahli bahasa yang sangat penting bagi perkembagnan antropologi.

a. Ferdinand de Saussure
Ferdinand de Saussure (1857-1913) merupakan penemu linguistik modern (Modern Linguistics).
Gagasan terbesar de Saussure adalah pada teori umum sistem tanda (general theory of sign system)
yang disebutnya dengan ilmu Semiologi (Semiology) (Winfried Noth, 1995; 56). Sebagai penemu
konsep linguistik modern, wajar jika de Saussure dianggap sebagai orang yang paling berpengaruh
terhadap teori Strukturalisme.
Terobosan pemikiran de Saussure dimulai pada pemikirannya mengenai hakekat gejala bahasa.
Pemikiran ini kemudian melahirkan konsep struktural dalam bahasa dan juga semiologi atau yang
sekarang disebut dengan semiotik (Ahimsa, 2006).
Ada lima pandangan de Saussure yang mempengaruhi Levi-Strauss dalam memandang bahasa. Yaitu;
1. signifier dan signified,
2. form (bentuk) dan content (isi),
3. langue (bahasa) dan parole (ujaran, tuturan),
4. sinkronis dan diakronis,
5. sintagmatik dan paradigmatik.

1. Signified (tinanda) dan signifier (penanda);


Bahasa adalah suatu sistem tanda (sign). De Saussure berpendapat bahwa elemen dasar bahasa
adalah tanda-tanda linguistik atau tanda kebahasaan (linguistic sign), yang wujudnya tidak lain
adalah kata-kata.

Bagi Saussure ide-ide tidak ada sebelum kata-kata, dan menurut dia secara psikologis pikiran kita
terlepas dari perwudjudannya dalam kata-kata sebenarnya hanyalah “Shapeless and indistinct mass”,
sesuatu yang tak berbentuk dan tak mengenal perbedaan-perbedaan atau tak bisa dibeda-bedakan.

Tanda adalah juga kesatuan dari suatu bentuk penanda yang disebut signifier, dengan sebuah ide atau
tinanda yang disebut signified, walaupun penanda dan tinanda tampak sebagai entitas yang terpisah-
pisah namun keduanya hanya ada sebagai komponen dari tanda. Tandalah yang merupakan fakta
dasar dari bahasa (Culler; 1976, 19 via Ahimsya, 2006 h. 35).
Setiap tanda kebahasaan pada dasarnya menyatukan sebuah konsep (concept) dan suatu citra suara
(sound image), bukan menyatukan sesuatu dengan sebuah nama. Suara yang muncul dari sebuah kata
yang diucapkan merupakan penanda (signifier), sedang konsepnya adalah tinanda (signified).

2. Form (wadah) dan content (isi)


Wadah atau form adalah sesuatu yang tidak berubah. Dalam konsep ini, isi boleh saja berganti tetapi
makna dari wadah masih tetap berfungsi. Untuk menjelaskan konsep ini memang agak sulit. Kiasan
yang sering digunakan untuk menggambarkan kedudukan wadah (form) dan isi adalah pergantian
salah satu fungsi dari komponen permainan catur. Meskipun komponen “kuda” hilang seumpamanya.
Fungsi “kuda” ini masih bisa digantukan dengan benda lain yang mirip atau tidak sama sekali dengan
bentuk asli “kuda” yang digantikan. Suatu benda yang ditempatkan pada posisi “kuda”, akan tetap
memiliki fungsi dan kedudukan yang sama dengan “kuda” yang hilang itu. Jadi benda apapun selama
kita tempatkan dam posisi “kuda”, meskipun dengan bentuk yang lain dari kuda itu tetap bisa
menggantikan fungsi kuda yang digantikan tersebut.

3. Bahasa (Langue) dan Tuturan (Parole)


Pembahasan de Saussure bukan hanya fokus pada aspek bahasa semata tetapi juga aspek sosial dari
bahasa. Komsep langue merupakan aspek yang memungkinan manusia berkomunikasi dengan
sesama. Inilah kenapa langue membicarakan juga aspek sosial dalam linguistik. Dalam langue
terdapat norma-norma, aturan-aturan antarperson yang tidak disadari tetapi ada pada setiap pemakai
bahasa.

Disisi lain parole merupakan tuturan yang bersifat individu, ia bisa mencerminkan kebebasan pribadi
seseorang. Tuturan ini marupakan apa yang terwujud ketika kita mengucapkan kata-kata dalam
bahasa yang kita pergunakan. Dengan kata lain tuturan yang membedakan kita dengan orang lain
melalui gaya bahasa.

4. Sinkronis (Synchronic) dan Diakronis (Diachronic)


De Saussure meyakini akan adanya proses perubahan bahasa. Oleh karena itu keadaan ini menuntut
adanya perbedaan yang jelas antara fakta-fakta kebahasasan sebagai sebuah sistem, dan fakta-fakta
kebahsaan yang mengalami evolosi (Culler, 1976, via Ahimsa, 2006; 46). Karena sifatnya yang evolutif
maka tanda kebahasaan sepenuhnya tunduk pada proses sejarah.

Namun demikian, de Saussure masih saja menekankan bahasa pada proses sinkronis. Karena tida
semua fakta-fakta kebahasaan itu memiliki sejarah. Hal ini dikarenakan tanda itu sebagi suatu entitas
yang bersifat relasional atau dalam relasi-relasi dengan tanda-tanda lain. kesimpulannya bahasa
diartikan sebagai “a system of pure values whcih are determined by nothing except the momentary
arrangement of its terms” (Ferdinand de Saussure, 1966, via Ahimsa, 2006; 47). Dari pengertian
inilah akhirnya dapat dipahami bahwa untuk mempelalajari bahasa diperlukan pemahaman terhadap
relasi-relasi atas elemen-elemen yang bersifat sinkronis.

5. Sintagmatik dan Paradigmatik


Dalam kontek ini de Saussure menyatakan bahwa manusia menggunakan kata-kata dalam
komunikasi bukan begitu saja terjadi. Tetapi menggunakan pertimbangan-pertimbangan akan kata
yang akan digunakan. Kita memiliki kata yang mau kita gunakan sebagaimana penguasaan bahasa
yang kita miliki. Disinilah hubungan sintagmatik dan paradigmatik itu berperan.

Hubungan sintagmatik dan paradigmatik terdapat dalam kata-kata sebagai rangkaian bunyi-bunyi
maupun kata-kata sebagai konsep (Ahimsa, 2006; 47). Hubungan sintagmatik adalah hubungan yang
dimiliki sebuah kata dengan kata-kata yang dapat berada di depannya atau di belakangnya dalam
sebuah kalimat. Sepeti kata yang terdapat dalam kata “saya”, “memetik” dan “bunga”. Ketiga kata ini
bisa digabung menjadi kalimat “saya memetik bunga”. Gabungan kata yang sesuai itu memiliki
makna. Penggabungan kata ini tidak terjadi begitu saja, tetapi dipertimbangkan konvensi bahasa yang
sudah ada. Karena seperti kata “memetik” tentu tidak bisa digabungkan dengan kata “mengalir”. Atau
gabungan kata “bunga mengalir” gabungan ini tidak memiliki makna karena tidak sesuai tata bahasa
yang umum atau standar.

b. Roman Jakobson
Meskipun Jakobson terlahir setelah de Saussure, ia dikenal sebagai pengembang Semiotika Klasik.
Konsep yang ditawarkan oleh Roman Jakobson (1896-1982) lebih condong pada para ahli bahasa dari
Rusia (Rusian Linguist). Koch (1981; via Noth, 1995; 74) membedakan empat periode perkembangan
penelitian mengenai karya-karya Jakobson;
Pertama, periode formalist, yaitu antara tahun 1914 sampai 1920. Pada periode ini Jakobson dikenal
sebagai pendiri Moscow Linguistic Circle dan juga sebagai anggota kelompok Opoyaz yang sangat
berpengaruh.
Kedua, periode stucturalist, yaitu antara tahun 1920 sampai 1939. Jakobson merupakan figur yang
paling mendominasi dalam Prague School of Linguistics and Aesthetics.
Ketiga, periode Semiotic, antara tahun 1939 sampai 1949.. Pada periode ini Jakobson bergabung
dalam Copenhagen Linguistic Circle (Brondal, Hjelmslev) dan aktif dalam Linguistic Circle of New
York.
Keempat, periode interdisciplinary yang dimulai pada 1949 yaitu saat ia mulai bekerja di Harvard dan
juga MIT mengenai teori informasi dan komunikasi (Informatioan and Comunicatioan Theory),
matematika dan juga fisika (1982).
Pemikiran Jakobson berpengaruh besar pada diri Levi-Strauss pada konsepnya mengenai fenomena
budaya. Jakobson memberikan pandangan kepada Levi-Strauss tentang bagaimana memahami atau
menangkap tatanan yang ada di balik fenomena budaya yang sangat variatif tersebut (Ahimsa, 2006;
52). Pengaruh yang besar Romand Jakobson disampaikannya sendiri oleh Levi-Strauss sebagaimana
dikutib oleh Ahimsa (2006; 52) berikut ini:
“...His (Jacobson’s) lectures, however, gave me something very different and, need I add, a great deal
more than I had bargained for. This was the revelation of structural linguistics, which provided me
with a body of coherent ideas where I could crystallize my reveries about the wild flowers I had gazed
at somewhere along the Luxembourg border early in May 1940..” (1985:139)

Dalam pemikiran Jakobson unsur terkecil dari bahasa adalah bunyi. Dengan demikian kata diartikan
sebagai satuan bunyi yang terkecil dan berbeda. Fonem sebagai unsur bahasa terkecil yang
membedakan makna, meskipun fonem itu sendiri tidak bermakna. Contoh kasus yang menujukan
peranan penting fonem dapat kita lihat dalam dua kata antara “kutuk” dan “kuthuk” (basa Jawa).
Perbedaan tulisan antar /t/ dan /th/ mengakibatkan sedikit perbedaan pengucapan tetapi memiliki
makna yang jauh berbeda. “Kutuk” mengacu pada nama sejenis ikan gabus sedangkan “kuthuk”
adalah anak ayam (Ahimsa; 2006).
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa fonem terbentuk karena adanya relasi-relasi, dan
realsi-relasi ini muncul karean adanya oposisi. Jadi sebenarnya fonem tidak akan bermakna atau
tidak memiliki isi. yang hakiki dari sebuah fonem adalah relasi karena dengan begitu sebuah fonem
baru memiliki fungsi yang jelas.
Jakobson yakin bahwa fungsi utama dari suara dalam bahasa adalah untuk memungkinkan manusia
membedakan unit-unit semantis, unit-unit yang bermakna, dan ini dilakukan dengan mengetahui
ciri-ciri pembeda (distinctive features) dari suatu suara yang memisahkannya dengan ciri-ciri suara
yang lain.
Langkah-langkah struktural terhadap fonem yang dilakukan oleh Jakobson adalah;
a. Mencari distinctive feature (ciri pembeda) yang membedakan tanda-tanda kebahasaan satu dengan
yang lain. Tanda-tanda ini harus berbeda seiring dengan ada tidaknya ciri pembeda dalam tanda-
tanda tersebut;
b. Meberikan suatu ciri menurut features tersebut pada masing-masing istilah, sehingga tanda-tanda
ini cukup berbeda satu dengan yang lian;
c. Merumuskan dalil-dalil sintagmatis mengenai istilah-istilah kebahasaan mana dengan distinctive
features yang mana yang dapat berkombinasi dengan tanda-tanda kebahasaan tertentu lainya;
d. Menentukan perbedaan- perbedaan antartanda yang penting secara paradigmatis, yakni
perbedaan-perbedaan antartanda yang masih dapat saling menggantikan(Pettit, 1977, 11; Ahimsya; h.
55).

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Jakobson mempengaruhi Levi-Strauss pada tataran
tatanan (susunan/order) yang ada di balik fenomena budaya (Ahimsa, 2006).

c. Nikolai Troubetzkoy
Nikolai mempengaruhi Levi-Strauss dalam hal strategi kajian bahasa yang berawal dari konsepsi
mengenai fonem. Nikolai berpendapat bahwa fonem adalah sebuah konsep linguistik, bukan konsep
psikologis. Artinya, fonem sebagai sebuah konsep atau ide berasal dari para ahli bahasa, dan bukan
ide yang diambil dari pengatahuan pemakai bahasa tertentu yang diteliti. Jadi fonem tidak dikenal
oleh pengguna suatu bahasa, kecuali ahli fonologi dari kalangan mereka atau mereka yang pernah
belajar lingusitik. (Ahimsa, 2006)

Toubetzkoy menyarankan agar perhatian pada fenomena fonem sebagai sebuah konsep linguistik.
Karena itu sebaiknya para peneliti memperhatikan distinctive feature, ciri-ciri pembeda, yang
memiliki fungsi atau operasional dalam satu bahasa. Dengan kata lain, strategi analisis dalam fonogi
haruslah struktural, karena relasi-relasi antar ciri-ciri pembeda dalam fonemlah yang menjadi pusat
perhatian (Ahimsa, 2006; 59).
Langkah analisis struktural dalam fonologi;
1. Beralih dari tataran yang disadari ke tataran nirsadar. Pada tataran ini seorang ahli fonologi tidak
lagi memperlakukan istilah-istilah (terms) atau fonem-fonem sebagai entitas yang berdiri sendiri,
tetapi dia harus;
2. Memperhatikan relasi-relasi antar istilah atau antar fonem tersebut, dan menjadikannya sebagai
dasar analisisnya. Selanjutnya dia perlu;
3. Memperlihatkan sistem-sisitem fonemis, dan menampilkan struktur dari sistem tersebut.
4. Harus berupaya merumuskan hukum-hukum tentang gejala kebahasaan yang mereka teliti.
D. Asumsi Dasar Strukturalisme
Dari pemahaman kita di atas, strukturalisme merupakan aliran baru bagi studi antropologi.
Strukturalisme bertolak dari studi linguistik (ilmu bahasa), berbeda dengan pendekatan yang ada
dalam fungsionalisme, Marxisme dan lain-lain. Ahimsa (2006; 66-71) menyebutkan bahwa
strukturalisme memiliki beberapa asumsi dasar yang berbeda dengan konsep pendekatan lain.
Beberapa asumsi dasar tersebut adalah sebagai berikut;

1. Dalam strukturalisme ada angapan bahwa upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan dan


perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan sebagianya, secara formal semuanya dapat dikatakan
sebagai bahasa-bahasa (Lane; 1970; 13-14 Ahimsya; 66).

2. Para penganut strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri manusia terdapat kemampuan dasar
yang diwariskan secara genetis sehingga kemampuan ini ada pada semua manusia yang normal. Yaitu
kemampuan untuk structuring, untuk menstruktur, menyususun suatu struktur, atau menempelkan
suatu struktur tertentu pada gejala-gejala yang dihadapinya.

Dalam kehidupan sehari-hari apa yang kita dengar dan saksikan adalah perwujudan dari adanya
struktur dalam tadi, akan tetapi perwujudan ini tidak pernah kompolit. Suatu struktur hanya
mewujud secara parsial (partial) pada suatu gejala, seperti halnya suatu kalimat dalam bahasa
Indonesia hanyalah wujud dari secuil struktur bahasa Indonesia. (Ahimsa, 2006; 68).

3. Mengikuti pandangan dari de Saussure yang berpendapat bahwa suatu istilah ditentukan
maknanya oleh relasi-relasinya pada suatu titik waktu tertentu, yaitu secara sinkronis, dengan istilah-
istilah yang lain, para penganut strukturalisme berpendapat bahwa relasi-relasi suatu fenomena
budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan
makna fenomena tersebut.

Hukum transformasi adalah keterulangan-keterulangan (regularities) yang tampak, melalui mana


suatu konfigurasi struktural berganti menjadi konfigurasi struktural yang lain.

4. Relasi-relasi yang ada pada struktur dalam dapat diperas atau disederhanakan lagi menjadi oposisi
berpasangan (binary opposition).

Sebagai serangkaian tanda-tanda dan simbol-simbol, fenomena budaya pada dasarnya juga dapat
ditangapi dengan cara seperti di atas. Dengan metode analisis struktural makna-makna yang
ditampilkan dari berbagai fenomena budaya diharapakan akan dapat menjadi lebih utuh.

Keempat asumsi dasar ini merupakan ciri utama dalam pendekatan strukturalisme. Dengan demikian
dapat kita pahami juga bahwa strukturalisme Levi-Strauss menekankan pada aspek bahasa. Struktur
bahasa mencerminkan struktur sosial masyarakat. Disamping itu juga Kebudayaan diyakini memiliki
struktur sebagaimana yang terdapat dalam bahasa yang digunakan dalam suatu masyarakat.

E. Kelemahan dan kelebihan Strukturalisme Levi-Strauss


Seberapapun sempurnanya suatu teori, pasti akan terdapat celah-celah kekurangan dan kelemahanya.
Demikian halnya dengan teori Strukturalisme Levi-Strauss ini. Strukturalisme ini mendapat kritik
terutama dari para ahli antroplogi itu sendiri. Kritik yang berkenaan dengan teori Strukturalisme
Levi-Strauss dapat dilihat pada persoalan perangkat dan metode analisis, data etnografi dan
interpretasi, serta hasil analisis dan kesimpulan dari hasil analisis teori tersebut.

a. Perangkat dan Metode Analisis


Ahimsa (2006; ) menyebutkan bahwa kritik terhadap perangkat dan metode analisis dapat dibedakan
menjadi tiga; a). Cara menggunakan konsep-konsep analisis. b). Konsistensi prosedur analisis dan c).
Reduksi dalam proses analisis.
DIPELAJARI OKE
Marry Douglas mengkritik mengenai cara penggunaan konsep-konsep analisis. menurutnya Levi-
Strauss tidak selalu menggunakan konsep analisisnya dengan tepat. Karena ketidaktepatan itu, Levi-
Strauss sering membuat kesimpulan-kesimpulan yang dianggap terlalu jauh. Douglas menyebutkan
bahwa Levi-Strauss sering memaksakan datanya agar sesuai dengan apa yang ada dalam pikirannya
(Ahimsa, 2006; 162).
Kedua, Levi-Strauss sering tidak konsisten dengan analisis yang dikembangkan. Levi-Strauss pernah
mengatakan bahwa untuk memahami sebuah mitos lebih penting memahami struktur daripada isi
cerita. Namun dalam prakteknya ia tidak melakukan analisis seperti yang digambarkan. Dalam
beberapa analisisnya ia tidak hanya menlaah pada tataran sintaksis, tetapi juga pada tataran semantis
yang berarti isinya juga. Disisi lain ia juga berpendapat bahwa dalam mitos isi dan bentuk tidak bisa
dipisahkan (Yalman, 1967 via Ahimsa, 2006).

Ketiga, Levi-Strauss menggunakan cara analisis reductionist (reduksionis). Cara ini sangat kurang
tepat untuk menganalisis mitos sebagai produk budaya manusia yang sangat kompolek. Cara analisis
menggunakan sistem ini akan mengurangi kesempurnaan analisis karena akan mengalami kelemahan
makna (a lesser meaning). Douglas menyebut dua reduksionisme yang dilakukan oleh Levi-Strauss
yaitu pada model komputer yang dipakainya dan adanya dua tujuan dalam analisis wacana (Ahimsa,
2006; 164).

b. Interpretasi Data Etnografi


Data etnografi sangat penting dalam menelaah mitos. Hal ini dikarenakan mitos tidak pernah lepas
dari kontek budaya masyarakat setempat dimana lahirnya mitos tersebut. Dalam persoalan ini,
Strukturalisme Levi-Strauss memiliki beberapa kelemahan. Menurut para antropolog, seperti Alice
Kassakoff dan John W. Adam keakuratan data etnografi yang disampaikan Levi-Strauss belum
seutuhnya mendukung dari apa yang disampaikan. Alice Kassakoff (1974) ahli antropologi ini
melakukan penelitian suku Indian Tsimshian yang telah dianalisis oleh teori Strukturalisme Levi-
Strauss ini. Ia menyatakan bahwa analisis Strauss justru menutupi realistas kekerabatan yang ada
pada suku Indian tersebut. (Ahimsa, 2006; 168).

Lain lagi dengan pendapat Alice, Adam (1974) mengkritik mengenai hasil analisis Strukturalisme
Levi-Strauss terhadap suku Asdiwal. Menurut Adam gagasan Levi-Strauss terhadap suku ini terlalu
diada-adakan. Persoalan terhadap suku ini yang sebenarnya sederhana dan bahkan tidak ada, oleh
Strauss dipaksakan sesuai apa yang menjadi konsepsinya. Justru dengan tindakan seperti inilah teori
ini kridibilitasnya masih perlu untuk disangsikan. Pendapat ini juga didukung oleh tiga ahli
antropologi lain yakni; L.L. Thomas, JZ. Kronenfeld dan DB. Kronenfeld. Ketiganya menyimpulkan
bahwa analisis Strukturalisme Levi-Strauss dianggap penuh dengan generalisasi-generalisasi
etnografi yang sangat diragukan kebenarannya. Bahkan analsisnya dianggap mengalami ke-
salahrepresentasi-an. (misrepresentasions of story).

c. Hasil Analisis
Bukan sekedar metode dan data etnogarfi yang nampaknya dipersoalkan dalam Strukturalisme Levi-
Strauss. Hasil analisisnya pun masih banyak mendapat kritikan dari berbagai kalangan terutama para
ahli antropologi. Ahimsa (2006) menyatakan bahwa hasil analisis kritik dapat dibedakan dalam
beberapa hal; a). Kemampuan analisis struktural menuntaskan tafsir yang diberikan, b). Kebenaran
struktur mitos yang dikemukakan.

Pengertian mitos yang cenderung dianggap negatif oleh Levi-Strauss ditolak oleh Douglas. Douglas
beranggapan bahwa masih ada aspek-aspek positif mengenai makna mitos. Tema-tema mitos yang
terdapat dalam suatu masyarakat masih banyak yang mengungkap realitas sosial yang positif.
Selanjutnya Douglas menyatakan bahwa makna mengenai mitos yang dikemukakan oleh Levi-Strauss
dianggap biasa-biasa saja dengan istilah lain tidak begitu penting.

Metode analisis yang dilakukan oleh Levi-Strauss dalam analisis mitos menggunakan model analisis
puisi denganggap tidak tepat. Metoda ini justru dianggap mengalami kebocoran seperti yang
diistilahkan Ahimsa dalam tulisannya. Hal yang demikian ini terjadi karena Levi-Strauss terlalu
banyak mencontoh model yang diterapkan dalam ilmu bahasa (linguistik) yang menurut Douglas
tidak cocok jika diterapkan dalam analisis mitos.
“Instead of more and richer depths of understanding, we get a surprise, a totally new theme, and often
a paltry one at that”. ( Douglas, 1967 via Ahimsa, 20006; 170).

F. Beberapa Tanggapan
Betapapun banyaknya kekurangan dan kelemahan yang terdapat dalam Strukturalisme Levi-Strauss,
tentunya banyak hal yang dapat menjadi kelebihan dari teori ini. karena kita menyadari juga bahwa
teori ini masih baru dalam bidang antropologi, sehingga tentunya masih banyak penyesuaian dan
pendalaman (penyempurnaan). Maka wajar kiranya banyak yang menghujat sekaligus memuja teori
ini.
Banyak manfaat yang kita dapatkan dari teori Strukturalisme Levi-Strauss ini. Maybury-Lewis (1970)
menyatakan bahwa banyak hal yang berhasil membuka perspektif-perspektif baru dalam analisis
mitos yang telah dilakukan oleh Levi-Strauss. Douglas yang sebelumnya banyak melakukan kritik,
ternyata masih mengakui beberapa kemanfaatan dari Strukturalisme Levi-Strauss ini. Ia menyatakan
teori ini telah mampu mengungkapkan acuan-acuan tertentu, makna-makna yang sangat dalam, yang
tidak terduga dan menarik, dari serangkaian mitos-mitos tertentu (via Ahmisa; 2006; 176).
Yalman (1967) menyebutkan bahwa berkat jasa yang dilakukan oleh Levi-Strauss kita mengetahui
keterkaitan antara mitos yang satu dengan yang lain. Ada susunan, struktur dan koherensi logis
dalam mitos. Dan inilah yang menunjukan pada kita akan keterkaitan mitos dan budaya masyarakat
yang terdapat dalam mitos tersebut.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa meskipun para ahli antropologi melakukan kritik terhadap
teori Strukturalisme Levi-Strauss mereka masih mengakui beberapa keunggulan atau manfaat dari
jerih payah Levi-Strauss. Bahkan apa yang digagas oleh Levi-Strauss melalui metode struktural ini
dapat dikatakan banyak benarnya. Masuk akal, menarik dan mampu memberikan wawasan atau
wacana tentang mitos yang sangat penting itu.

G. Kesimpulan
Uraian di atas menunjukan pada kita bahwa latar belakang pendidikan dan sejarah hidup Levi-
Strauss telah memberikan warna pada pemikirannya. Lahirnya konsep Strukturalisme yang
dikembangkannya sesungguhnya banyak dipengaruhi oleh pengalaman lapangan dan juga dari
hubungannya dengan para ahli linguistik yang secara langsung telah mempengaruhi pemikirannya
mengenai budaya.
Ada beberapa poin penting dari apa yang sudah kita bahas dalam paparan tulisan ini. Poin pertama
adalah pemahaman kita secara umum akan pentingnya memahami kebudayaan melalui bahasa.
Bahasa bukan sekedar alat komunikasi, tetapi juga sebagai cermin dari masyarakat itu sendiri.
Kedua, penggunaan istilah-istilah atau tata bahasa dalam suatu masyarakat merupakan gambaran
adanya struktur. Dalam istilah-istilah bahasa terdapat susunan yang mengandung arti bukan sekedar
makna etimologis tetapi juga psikologis dan sosiologis. Dengan demikian kata-kata atau secara umum
bahasa merupakan gambaran dari masyarakat penuturnya.
Ketiga, karena adanya kesamaan struktur maka untuk mengungkap fenomena budaya dapat
dilakukan dengan model seperti yang terdapat dalam bahasa. Penggunaan istilah-istilah dalam
bahasa bisa menjadi lambang budaya. Oleh karena itu Levi-Strauss menyarankan agar para ahli
antropologi bekerja sama dengan para ahli linguistik dalam mempelajari fenomena-fenomena
budaya.
Terakhir, meskipun Strukturalisme Levi-Strauss banyak mendapatkan kritik, khususnya para ahli
antropologi. Teori ini telah berkembang dan menguasai pemikiran banyak ahli di bidang budaya di
Perancis. Bagaimanapun dengan lahirnya teori ini banyak perspektif baru yang sangat positif bagi
perkembangan ilmu budaya. Bahkan teori ini sering disebut sebagai tren kedua dalam penelitian
sastra strukturalis. (Fokkema, 1978).

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, Shri, H., 2006, Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra, kepel Press,
Yogyakarta.
Daiches, David, 1981, Critical Approaches to Literature, Longman, New York.
Fokkema, D.W., 1998, Teori Sastra Abad Kedua Puluh (Theories of Literature in the Twentieth
Century), Gramedia, Jakarta.
Lane, Allen, 1968, Structural Anthropology, The Penguin Press.
Noth, Winfried, 1995, Hand Book of Semiotics, Indiana university Press, Bloomington and
Indianapolis.
Selden, Raman, 1985, A Reader Guide to Contemporary Literary Work, The Harvester Press Limited,
Sussex.
Strauss, Levi, Claude, 1958, Anthropologie Structurale (Terj. Antropologi Struktural, 2007), Kreasi
Wacana, Yogyakarta.

POSTED BY WAJIRAN, S.S., M.A. AT 6:08 PM

0 COMMENTS:

Post a Comment

LINKS TO THIS POST

Create a Link

Newer PostOlder PostHome

Subscribe to: Post Comments (Atom)

SPONSOR LINK

PENGEN GABUNG?

SPONSOR LINK

Your Ad Here

TULISAN KU

 ► 2007 (16)

 ▼ 2008 (7)

o ► 01/06 - 01/13 (1)

o ▼ 01/13 - 01/20 (1)

 STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS

o ► 04/27 - 05/04 (1)

o ► 07/27 - 08/03 (2)

o ► 12/28 - 01/04 (2)

 ► 2010 (46)

Usai jadi moderator pertemuan Pengusaha Indonesia, Duta Besar Kwait dan Penasehat Presiden
Wiayah Timur Tengah (Dr. Alwi Shihab)
Saat jadi moderator Prof. Dr. C. Bakdi Soemanto

Jadi Pembicara dalam Diskusi Sastra


Mahasiswa sandwhich dan Darmasiswa China

Foto bersama Usai International Conference (TEFLIN)

Lembah Kawah Bromo

Saat Mendampingi Mahasiswa asing asal China, Philine, Bangladesh dan German di Candi Ratu Boko
TOKOH-KOKOH INSPIRATIF

 HAMKA
 Abdurrahman Wahid
 Soesilo Bambang Yudhoyono
 Andrea Hirata
 Mustofa Bisri

BELAJAR BAHASA INGGRIS

 Grammar and structure


 Paragraph
 Islamic short Story
 Grammar
 Menulis Esai
 Tenses
 Article Bahasa Inggris
 Writing
 Structure
 Pidato Bahasa Inggris

TEORY SASTRA

 Feminism
 Hegemony
 Marxisme
 Structuralism
 Modern Literary Theory
 http://www.contemporarywriters.com/

RADIO ONLINE

 American Radio Online


REVERERENSI KEAGAMAAN

 Motivasi Islami
 Hukum Islam
 Belajar Agama
 http://www.wisatahati.com/
 http://muslimah.or.id/
 http://www.eramuslim.com/
 http://www.dakwatuna.com/

PRANATA INGGRIS

 http://www.english.emory.edu/Bahri/hegemony.html
 http://www.britannia.com/history/euro/1/4_2.html

WOMAN IN LONDON

 woman suffrage in united kingdom


 woman and roman fiction
 feminist literary criticism
 woman, politic and fiction
 feminist approach to american fiction
 kronologi women suffrage in london
 woman suffrage movement in 1885
 WOMAN IN 1900-1950

Anda mungkin juga menyukai