Anda di halaman 1dari 12

JULIA KRISTEVA TENTANG SEKSUALITAS: KEMBALINYA

EKSISTENSI PEREMPUAN SEBAGAI SUBJEK

Bagi Freud, perempuan sebagai ibu adalah objek hasratnya anak laki-laki, dan sebagai anak
perempuan dia menerima penghiburan paternal. Bagi Winnicott, perempuan adalah ‘good
enough mother’, cermin perkembangan subjektivitas bayi. Bagi Julia Kristeva, “perempuan tidak
bisa didefinisikan. Jika kita membuat satu penjelasan tentang perempuan, tidak mungkin tidak di
dalam definisi itu akan nada resiko menghapuskan kekhasannya. Kekhasan itu mungkin terkait
dengan keibuan mengingat itu merupakan satu-satunya fungsi yang membedakan dari eksistensi
jenis kelamin lain.
Kristeva menerima konsep teori Lacan dan menyarikan bahwa wanita memang tidak punya akses
ke bahasa. Bahasa telah membuang perbedaan jender melalui korelasi nama jender yang hanya
mempertimbangkan ada atau tidaknya penis. Ketika anak berumur 3-6 tahun dimana dia ada
dalam fase phallic dengan ciri-ciri genital infantil meskipun pada faktanya ada kedua jenis seks,
tetapi hanya ada satu genital yang diakui yaitu male.Artinya hanya ada phallus primer dan bukan
genital primer (Freud dalam Kristeva, 2004). Dengan kata lain, jika berbicara secara fisik ada
maskulinitas yang melekat dalam diri anak yang tidak mengindahkan anatomi seks sehingga
“little girls is little man”.
Jika wacana tentang identitas seksual hanya mempertimbangkan ada/tidaknya penis maka
wacana tentang perempuan, tubuh perempuan dan semua atribut yang melekat padanya menjadi
hilang.Dengan demikian, wanita tidak pernah punya akses ke bahasa, kekhasannya dihapuskan,
fungsi keibuan tidak diperhitungkan dan perempuan sebagai subjek aktif tidak pernah dianggap
ada.Oleh karena itu, kita tidak memiliki wacana yang cukup tentang keibuan.Agama, khususnya
Katolik (yang menganggap ibu suci), dan ilmu pengetahuan (yang mereduksi ibu sebagai alam)
adalah satu-satunya wacana tentang ibu yang tersedia dalam budaya Barat.
Julia Kristeva adalah salah satu penulis utama di Perancis, dan satu-satunya penulis wanita yang
kontribusinya penting dicatat karena telah menantang tradisi Barat yang didominasi oleh
pemikiran pria yang mengenyahkan wacana tentang perempuan.Kristeva justru mengembalikan
pentingnya tubuh (khususnya tubuh maternal) sebagai sumber makna (Roudiez, 1984).Jika Freud
dan Lacan mempertahankan pendapat mereka bahwa anak memasuki kehidupan sosial dengan
memenuhi fungsi ayah, khususnya ancaman ayah tentang pengebirian, Kristeva mempertanyakan
mengapa, jika motivasi kita untuk memasuki kehidupan sosial, kenapa kebanyakan dari kita
tidak menjadi psikotik?Dia juga mempertanyakan ide Freudian-Lacanian bahwa ancaman ayah
menyebabkan anak untuk meninggalkan tubuh ibu yang aman dan nyaman.
Kristeva berargumen bahwa pintu masuk ke dalam bahasa dan ke dalam kehidupan sosial bukan
akibat dari kekurangan dan pengebirian.Sebaliknya kesenangan dan kelebihan memotivasi anak
untuk masuk ke dalam bahasa, ke dalam kehidupan sosial.Kristeva juga berpendapat kalau
peraturan ibu adalah hokum sebelum hukum ayah.Dengan pemikirannya ini, Kristeva
menumbangkan ide Lacan tentang fungsi paternal.Dia menantang ide Lacanian tentang hukum
ayah (yang melakukan fungsi pihak ketiga paternal) yang mendorong anak bergerak dari tubuh
maternal ke dalam Simbolik.Kristeva tidak sependapat dengan pemikiran Lacan yang
mengatakan bahwa ketidaksadaran terstruktur seperti bahasa sebagai hasil dari hukum ayah. Bagi
Kristeva, ketidaksadaran itu sebagian besar adalah semiotik yang terdiri dari sensualitas diri pra-
verbal yang terbangun oleh hukum ibu (Oliver, 1991). Ketidaksadaran terstruktur seperti alteritas
yang sudah ada dalam tubuh maternal dan fungsinya.Dia menuntut wacana baru tentang keibuan
yang mengakui kepentingan fungsi ibu dalam pengembangan subjektivitas dan dalam budaya.
Kristeva mementingkan fungsi ibu dan kepentingannya dalam pengembangan subjektivitas dan
akses pada budaya dan bahasa.
Tubuh Maternal: Model yang Memediasi Hukum Simbolik
Sejak awal tulisannya, Julia Kristeva berusaha untuk membawa tubuh semiotik, penuh dengan
drives, kembali ke strukturalisme. Usahanya juga ditandai dengan titik tolaknya dari teori
Lacanian. Dia setuju bahwa pengurungan Lacan terhadap drives ‘mengebiri’ penemuan Freud.
Kristeva, melindungi Father psikoanalisis dari ancaman pengebirian dengan menuliskan kembali
drives dalam bahasa. Strateginya adalah dengan mengembalikan bahasa dalam tubuh yang
artinya menyetujui bahwa dinamika yang mengoperasikan Simbolik telah bekerja dalam material
tubuh dan imajiner pra-simbolik.Dia menyimpulkan bahwa dinamika tersebut harus bersifat
material atau biologis sekaligus simbolik. Dengan kata lain, strateginya adalah melacak signifier
melalui tubuh untuk menuliskan kembali tubuh dalam bahasa pada saat yang sama.
Bagi Kristeva, tubuh yang meletakkan dan melabuhkan Simbolik (pada saatyang sama juga
mengancamnya) adalah tubuh maternal. Tubuh maternal digambarkan lebih dulu daripada
hukum Ayah dan merupakan permulaan dariSimbolik. Tulisan-tulisan awal Kristeva berkenaan
dengan penemuan tubuh maternal yang direpresi.Kemudian tulisan berikutnya berkenaan dengan
abjek tubuh maternal yang diasosiasikan dengan relasi anak dengan kelahirannya dan jenis
kelamin ibu.Tulisan baru-baru ini lebih berkenaan dengan ayah imajiner yang oleh Oliver (1991)
dibaca sebagai rahasia tentang cinta ibu yang diasosiasikan dengan hubungan anak dengan
konsepsinya dan rahim ibunya. Ayah imajinermenyediakan dukungan yang diperlukan bagi anak
untuk bergerak ke dalam Simbolik. Anak bergerak dari tubuh ibu ke hasrat ibu melalui cinta ibu
(ayah imajiner).Tubuh ibu memediasi hukum simbolik. Tubuh maternal menjadi model
yang menjembatani antara fondasi biologis dari fungsi penandaan dan determinasinya oleh
keluarga dan masyarakat. Proses penandaan material atau proses drive adalah biologis sekaligus
sosial. Tubuh maternal dengan penolakan dan reduplikasinya menjadi model untuk
ketidaksadaran dan untuk hubungan antara drives dan simbol. Dengan menegaskan pentingnya
tubuh maternal maka Kristeva mengubah psikoanalisa Lacan tentang tatanan imajiner dan
simbolik menjadi semiotik dan simbolik.
Semiotik: Fase CHORA
Jika dalam semiotik Lacanian-Freudian dinyatakan bahwa yang membentuk peran subjek dalam
bahasa adalah ada tidaknya penis pada diri seseorang.Kristeva mempertentangkan pendapat
Lacanian-Freudian dengan subjeknya yang terbentuk sebelum ‘fase kastrasi’. Penjelasan elemen
semiotik Kristeva menegaskan bahwa subjek terbentuk sebelum ‘fase kastrasi’ yaitu saat masih
berada dalam kontak dengan ibu dalam perkembangan anak yang sangat awal ketika ia masih
sangat tergantung dengan tubuh ibunya. Kristeva menggunakan istilah semiotik untuk hal yang
lebih spesifik yaitu susunan rangsangan yang terjadi saat anak masih sangat tergantung dengan
tubuh ibunya.Salah satu proposisi Kristeva yang paling penting adalah Semiotika (yang berbeda
dengan Semiotikanya Ferdinand De Saussure).Bagi Kristeva, semiotika berkaitan erat dengan
pre-Oedipal infantil yang mengacu pada pemikiran Freud, Otto Rank dan khususnya Melanie
Klein danpsikoanalis British Object Relation, dan Lacanian (pre-mirror stage).Semiotik
mempelajari tanda yang dikontraskan dengan Simbolik.Semiotikmencakup bahasa rangsangan,
impuls, erotik, ritme tubuh, gerakan-gerakan yang masih tersimpan dari tahapan anak-anak.
Semua ini berhubungan erat dengan tubuh maternal, sumber awal irama, nama dan gerak
manusia. Elemen semiotika adalah tindakan badaniah yang dilepaskan dalam proses signifikasi.
Semiotika diasosiasikan dengan ritme, nada, gesture, vokal dan tindakan berikut
pengulangannya.Seiring dengan pelepasan mekanisme, hal itu juga diasosiasikandengan tubuh
ibu, sumber pertama dari ritme, nada, dan gerakan untuk setiap manusia karena kita semua
bertempat di tubuh tersebut.
Semiotik adalah pra-simbolik dari kehidupan lisan yang muncul pada masaketika anak-anak
mempunyai hubungan dengan ibu yang dicapai melalui gerakan tangan, irama pendengaran dan
vokal serta pengulangannya.Hal ini mencakup pula bahasa rangsangan, impuls erotik, ritme
tubuh, gerakan-gerakan yang masih tersimpan di tahapan anak-anak.Pada fase ini, Kristeva
menyebutkan konsep yang sangat penting dalam hubungan tubuh maternal dan bayi yaitu
chora.Istilah chora dipinjam Kristeva dari istilah Filsuf Yunani Plato (427-347 SM). Dalam salah
satu
karyanya berjudul Timaeus, Plato memberikan penjelasan sendiri tentang bagaimana alam
semesta diciptakan. Dalam proses ini,ia menggunakan kata yang chora yang berarti wadah dan
perawat, yaitu wadah dan produsen dari alam semesta ini sebelum dan sebagai sesuatu yang ada.
Dengan istilah chora, Kristeva menjelaskan bagaimana lingkungan psikis bayi berorientasi ke
tubuh ibunya: Dalam Timaeus, Plato berbicara tentang chora sebagai wadah, tidak bernama,
mustahil, dan hibrid. Bagi Plato, chora merupakan ruang asli dan wadah alam semesta.
Chora adalah istilah yang digunakan Kristeva untuk menunjuk tempat(jurang, mangkuk, Rahim)
dari segala sesuatu lahir atau muncul: tempat yang tidak bernama untuk semiotik pra-simbolik.
Rahim dimana segala sesuatu, energi dan pribadi muncul (Crownfield, 2003).Wadah ini menjadi
sumber perlindungan, cinta, dan makanan bergizi bagi bayi (anak). Dalam “In the Beginning was
Love:Psychoanalysis and Faith” (1987) Kristeva menemukan bahwa masa Chora menjadi
sumber cinta, hubungan, dan iman dalam modalitas psikis yang logis dan kronologis sebelum
tanda, untuk makna dan untuk subjek. Fase yang secara metaforis 7 menyediakan segala sesuatu
yang maternal dan bergizi (banyak makanan).Kristeva menemukan afek, cinta, dan maternal
selalu ada dalam bahasa meskipun mendahului kata sebagaimana payu dara ibu selalu bermakna
sebagai melindungi, bergizi, dan cinta.Dalam ruang ini prinsip kesenangan tanpa batas dapat
diperoleh anak.Pada tahap awal pengembangan ini, individu didominasi oleh kekacauan
persepsi, perasaan, dan kebutuhan.Dia belum mampu membedakan dirinya sendiri dari ibu atau
bahkan dunia di sekitar.Sebaliknya, individu menghabiskan waktu untuk mempertimbangkan diri
sendiri bahwa hal yang menyenangkan bisa dialami tanpa batas.
Dalam pemikiran Kristeva, air susu ibu, tubuh ibu, tubuh maternal bukanobjek untuk bayi
melainkan lebih sebagai model. Identifikasi bayi terhadap model bukan dengan imitasi tetapi
dengan reduplikasi model melalui penggandaan,pengulangan dan reproduksi gerak, gesture,
suara ibu.Melalui kemampuan bayi untuk melakukan asimilasi, pengulangan dan reproduksi
kata, gerakan ibu maka bayi menjadi seperti ‘the other’ atau mulai menjadi subjek.Dengan
demikian dalam konsep Kristeva, bukan hukum ayah yang memaksa anak masuk ke dalam
bahasa dan sosialitas tetapi justru hukum ibu yang meregulasi dorongan oral dan anal si
anak.Bagi Kristeva tampaknya chora menunjuk pada ketika seseorang memiliki sesuatu
khususnya sebelum dia mengembangkan batas-batas yang jelas tentang identitas pribadi, antara
inside dan outside.Dalam ruang psikis awal ini, bayi mengalami rangsangan yang kaya
(perasaan, naluri dll) dalam hubungannya dengan ibu.Sebuah hubungan bayi dengan tubuh
ibunya memberikan orientasi bagi bayi.Kristeva sering menggunakan chora dalam hubungannya
dengan istilah semiotik: frase-nya "the semantic chora" mengingatkan makna yang dihasilkan
adalah semiotik: yang berupa irama dan intonasi untuk bayi yang belum tahu bagaimana
menggunakan bahasa untuk mengacu pada objek. Kristeva menekankan aspek yang diatur chora:
vokal dan organisasi gestur yang bisa disebut sebagai an objectiveordering yang ditentukan oleh
batasan alam dan sosial-historis meliputi perbedaan biologis antar jenis kelamin atau struktur
keluarga. Drive melibatkan fungsi semiotic pra-Oedipal dan pelepasan energinya berhubungan
dengan dan berorientasi pada tubuh ibu. Tubuh ibu kemudian memediasi hukum simbolik yang
mengorganisir relasi sosial dan menjadi prinsip ordering dari the semiotik chora.Gerakan dari
prasimbolik ke simbolik tidak dimotivasi oleh ancaman kastrasi atau perasaan
kekurangan.Dalam konsep Kristeva, anak harus memutuskan identifikasinya dengan payu dara
ibu melalui abjection.
JACQUES LACAN
Teoritisi Prancis yang berpengaruh, Lacan, dididik sebagai seorang psikiater. Tesis doktoralnya
pada 1932 mengenai paranoia dan bahasa menarik perhatian para surealis yang tinggal di
Prancis, termasuk Salvador Dali (Sarup,1992:21). Sejak 1953, selama dua puluh enam tahun
kemudian, Lacan mengadakan seminar umum mengenai pelbagai tulisan Freud tentang teknik-
teknik psikoanalisis.Dan pada tahun 1964, setelah dikeluarkan dari pelbagai lembaga yang lebih
ortodoks, Lacan mendirikan mazhabnya sendiri, L’Ecole Freudienne de Paris (EFP-Mazhab
Freudian Paris).Ia meninggal pada 1981, setelah membubarkan EFP setahun sebelumnya.
Lacan menyerukan “kembali kepada freud” dalam pelbagai seminar dan tulisannya, membawa
teori bahasa strukturalis dan postrukturalis untuk membahas konsep utama Freud mengenai
ketidaksadaran, konstruksi gender, dan model perkembangan subjeknya. Inovasi terbesar LAcan
adalah penekanannnya pada keserentakan memperoleh bahasa dan konsep diri yang terjadi pada
saat krisis Oedipus. Sang anak dilemparkan saat itu juga ke dalam simbolis bahasa , hokum, dan
perbedaan seksual. Lacan mengatakan bahwa pelontaran tersebut bukan tanpa akibat; penyesalan
yang dirasakan oleh setiap subjek saat hilangnya kesatuan dengan ibu di dunia imajinatif pra-
Oedipus adalah apa yang membentuk ketidaksadaran (Lacan, 1977). Dalam slogan terkenalnya,
Lacan mengklaim bahwa ketidaksadaran terstruktur seperti halnya bahasa, meskipun banyak
pihak yang memandang hal ini sebenarnya terlalu menyederhanakan persoalan (Benveniste,
1971:136). Menurutnya, sebagaimana bahasa bekerja dengan sistem yang didasarkan atas
kekurangann (setiap kata, atau penanda, menggantikan benda yang tidak ada atau penanda),
demikian juga ketidaksadaran subjek: keberadaannya memperingati “ketiadaan” sang ibu.
Persoalan besar bagi pendekatan feminis terhadap Lacan adalah peranan yang disebut “phalus”
dalam teori bahasa dan subjek. Lacan mengklaim bahwa hal ini merupakan “istilah ketiga” yang
netral, sebuah penanda bagi kekurangan : anak dipisahkan dari ibunya dengan campur tanggan
sang ayah, yang merupakan “pemilik Phalus”yang hukumnya harus dipatuhi. Maka, Phalus
mengingatkan anak akan kehilangan sang ibu; si anak juga melihat bahwa sang ibu
menginginkan ayahnya, dan membayangkan ia memiliki phallus, yaitu lambing kekuasaan, ia
kan mendapatkan cinta ibunya secara utuh. Para kritikus feminis terhadap Lacan menunjukkan
betapa sulitnya memisahkan phallus dari organ harfiah, yaitu penis, walaupun hanya melalui
kebetulan yang bersifat visual dan verbal (Brennan, 1989:4). Jika phallus menyimbolkan
perbedaan dan kekurangan yang membuat penggunaan bahasa menjadi mungkin, barangkali ada
bahaya berupa pergeseran kembali pada gagasan Freudian, yang menyatakan bahawa perempuan
hanya ada sebagai laki-lakiyang tidak sempurna, dan bahwa mereka tidak semampu laki-laki
dalam menggunakan bahasa. Kalangan feminis yang mendukung Lacan menjelaskan bahwa
teorinya bersifat nonbiologis dan nonesensialis, karena posisi feminine terbuka bagi laki-laki dan
perempuan, meski Brennan menyatakan bahwa meski demikian, hal tersebut tetap
“mengimplikasikan” biologi (1989:7).
TEORI FEMINIS PRANCIS : IRIGARAY DAN KRISTEVA
Daya tarik teori psikoanalisis feminis prancis adalah pada usahanya untuk membuat femininitas
sebagai pembahasan utama, ditunjukan melawan persepsi bahwa tatanan simbolis merupakan
suatu keseragaman patriarchal, meskipun banyak feminis Prancis yang menulis ini, seperti yang
dinyatakan Nancy Fraser, di dunia Bahasa Inggris, teori ini telah diindentikan secara eksklusif
dengan Julia Kristeva, Irigaray, dan Helene Cixous (Faser dan Bartky, 1992: 1) pandangan
sekilas, Kristeva dan Irigaray dapat dibedakan berdasarkan :esensialisme”,yaitu doktrin yang
menyatakaan bahwa sifat merupakan bawaan sejak lahir, yang bersifat biologis dan definisional,
serta tidak dapat berubah seiring sejarah (Lihat Wright, 1992:77-83). Sementara Kristeva
mendukung konsepsi gender yang bersifat posisional ataupun nominal (Alcof, 1998), yang tidak
didasarkan pada perbedaan biologis, ketertarikan Irigaray pada pembalikan pandangan
psikoanalisis tradisional mengenai yang feminine yang telah mengarahkannya dituduh menganut
biologisme ini.Meskipun demikian, kedua perkiraan tersebutdapat dibalikkan.Penekanan
Kristeva pada keibuan dan penempatannya terhadap lesbianism dalam dunia psikotis, telah
mengarahkan kritikus untuk melihat karyanya sebagai dukungan pada “kewajiban sebagai ibu”
(Judith Butler, dalam Fraser dan Barky, 1992).Sebaliknya, penghargaan terhadap
ketergantunggan Irigaray pada metafora, seperti hanya pada realitas tubuh, semakin dikenal luas
(Whitford, 1991). Metafora khusus yang diadofsi Irigaray sebagai landasan sistem
representasionalnya adalah bahwa kedua bibir berbicara pada saat bersamaan (Irigaray,1985).
Hal ini berperan sebagai perlawanan terhadap metafora phallus yang kaku dan padu dalam
psikoanalisis Lacan, jika bibir dibaca sebagai vagina, maupun gambaran hubungan perempuan
dengan bahasa dan pengucapan, jika keduanya dianggap sebagai bersifat oral.
Mereka yang mendukung proyek Irigaray melihat tuduhan esensialisme sebagai akibat dari
penyederhanaan yang berlebihan. Diana J. Fuss menyatakan ketergantungan Irigaray pada
bentuk tubuh perempuan adalah cara retoris, sembari bertanya “ Apa yang dipertaruhkan dalam
penggunaan esensialisme untuk tujuan strategis?” (dalam Fraser dan Bartky, 1992:94) Elizabeth
Grosz (1989) menyatakan bahwa : Dua bibir bukanlah citra yang sesungguhnya dari anatomi
perempuan, namun sebuah emblem baru yang mewakili seksualitas perempuan secara positif”
(1989:111,116).
Apa yang tanpaknya seperti ketergantungan berlebihan terhadap biologi dalam kasus Irigaray
merupaka desakan atas peran representasi bahkan dalam pembentukan “fenomenologi
pengalaman tubuh” (Grosz, 1989:111). Ini adalah alasan bagi pengabsahan Irigaray atas sifat
feminism, dalam buku terbarunya, je, tu, nous, dimana ia tanpak mengagumi kebaikan “alamiah”
yang mendahului: “pilihan (perempuan) cenderung lebih mementingkan kedamaian, lingkungan
bersih, kebaikan-kebaikan yang dibutuhkan dalam kehidupan, dan pelbagaii pilihan
humanitarian” (1993:12). Lagi-lagi, tanpaknya benar bahwa Irigaray menunjuk pada hasil
hubungan social patriarki, bukan pada sifat baik alamiah dalam watak perempuan yang hanya
perlu dibebaskan, atau disamakan statusnya dengan laki-laki, sehingga keuntungannya dapat
dinikmati bersama. Kesetaraan tidak ada dalam agenda Irigaray : “eksploitasi perempuan
didasarkan pada perbedaan jenis kelamin; jalan keluarnya akan dating melalui perbedaan jenis
kelamin”, tulisnya (1993:12,13)
Margaret Whitford menunjukan bawha Irigaray menyatakan bahwa perempuan disimbolkan
dalam budaya barat sebagai makhluk yang alamiah dantk bersejarah, justru untuk
melawanya;jadi, sangat ironis jika ia dituduh melakukan apa yang dikritikan (Whitford 1991:60).
Strategi Irigaray adalah sebuah “Kelicikan” untuk membuka esensialisme dalam filosofi, dan
feminine-keibuan yang merupakan tempatnya bergantung.
Kristeva juga memperhatikan sifat-sifat feminin agak kerap dikritik karena pernyataan
polemisnya seperti yang terucap saat wawancara pada 1974: “Seseorang perempuan tidak
dapat”menjadi” (dalam Marks dan de Courtivron, 1985:137). Ini karena “perempuan” adalah
makhluk social dan bukan makhluk alamiah, dan perjuangan untuk melenyapkan konsepsi
humanis borjuis mengenai identitas harus melibatkan identitas seksual (ibid:138). Kristeva
menjaelaskan bahwa “perjuangan perempuan tidak dapat dipisahkan dari perjuangan
revolusioner, perjuangan kelas, atau antiimperialisme” (ibid: 140), yang merupakan pertanyaan
yang sudah lama diperdebatkan dikalangan feminis sosialis.
Seperti ditunjukkan Moi, keuntungan analissi Kristeva khususnya bagi feminism adalah bahwa ia
mendefinisikan yang feminine secara nonbiologistik, sebagai suatu marginal dalam tatanan
simbolik (Moi, 1985:166). Saat ini, perempuan marjinal dalam tatanan tersebut, seperti juga
bnyak kelompok lain, termasuk intelektual, kaum pekerja, dan orang-orang berkulit hitam
(mekipun ras bukanlah isu yang dibicarakan Kristeva secara langsung).Apa yang sama dalam
kelompok-kelompok marjinal ini adalah akses yang lebih besar pada semiotika, yang juga
marginaldalam tatanan simbolik. Ingatan yang ditindas mengenai semiotika keibuan memberikan
tekanan yang merusak terhadap tatanan simbolik.Dalam kerangka politis, marginalitas seperti itu
membekali kelompok tersebut dengan potensi revolusioner. Moi menunjukan bahwa pengamatan
ini menampilkan penggabungan yang tidak akurat atas pelbagai kelompok yang memiliki
hubungan yang berbeda-beada dengan mode produksi patriarki; sementara pekerja dan
perempuan memiliki peranan penting dalam (re) repoduksi yang dapat mereka eksploitasi
dengan cara revolusioner, hal ini yang tidak dimiliki oleh intelektual. (Moi, 1985:171)
Nancy Fraser dengan menarik menunjukkan bahwa pandangan yang dimiliki semua penulis
dalam Revaluing French Feminism adalah penolakan terhadap kewajiaban menjadi ibu (Fraser
dan Barky, 1992:18). Seperti yang kita lihat dalam hubungannya dengan Klien, Dinnerstein,
Chodorow, Irigaray dan Kristeva, keibuan membentuk titik tekanana dalam teori-teori mereka,
menyatukan peranyaan mengenai tubuh, biologi, bahasa, dan identitas feminin.
Penyamaran dan Penampilan
Pemikiran feminis psikoanalisis juga mengikuti rute yang erbeda, mungkin lebih dekat dengan
“nominalisme” yang disebutkan diatas; rute ini memberikan pengaruh terbesar dalam wilayah
kritik budaya.Yang lebih baru, teori queer-yang memfokuskan diri pada identifikasi potensi
biseksual dan homoseksual untuk menghancurkan struktur bakudualisme tradisional-juga
mengikuti rute ini. Ini adalah wilayah penyamaran atau gender sebagai strategi perfomatif. Joan
Riviere adalah pengikut Ernest Jonea yang bermazhab Kleinian; dan esainya pada 1992,
“Womanliness as a Masquarade”, telah member pengaruh yang kuat pada penulis yang
meperhatikan watak femeninitas dan representasinya. Arti penting pada esai tersebut pada
penolakannya terhadap watak feminine apapun yang esensial dan tetap; esai itu juga cukup
berpengaruh terhadap penelitian mengenai transvestisme (perubahan kelamin), dandanan lawan
jenis, dan secara umum, pembalikan identitas gender yang ditandai oleh pakaian (lihat
Copjec,1989;Gaines dan Herzog, 1990).
Dalam esainya, Riviere membahas tiga studi kasus yang menurutnya memiliki kesamaan, yaitu
“perempuan yang menginginkan maskulinitas akan memasang penyamaran berupa
keperempuanan untuk menghindari ketidaknyamanan dan pembalasan yang ia khawatirkan dari
laki-laki” (Riviere, 1996:210).Kasus yang dijelaskan paling terperinci adalah kasus seorang
perempuan Amerika yang sukses, yang meski memiliki hubungan problematis dengan bahasa
dan berbicara didepan umum. Riviere menggambarkan kebiasaan sang perempuan setelah
sebuah kuliah umum untuk mencari dukungan dari “figus ayah yang tidak mungkin salah”,
sering kali melalui aktivitas menggoda yang diseksualkan, dalam sebuah tindakan “merebut “
yang sebenarnya sekedar aksi “penyamaran sebagai orang yang tidak bersalah dan polos’
(Riviere, 1996: 213). Perilaku ini menandai kegelisahan perempuan tersebut dalam hubungan
dengan orangtuanya: ia mengidentifikasikan diri dengan ayahnya dan “mengambil alih
tempatnya sehingga ia biasa “memperbaiki” sang ayah” (Riviere, 1996: 217) sebagai hadiah
yang menentramkan ibunya yang ditakuti dan sekaligus dibencinya. Sang ayah juga perlu
ditentramkan kalau-kalau ia mencoba memberikan hukuman atas kebencian (dan mungkin
perusakan) sang anak terhadp ibu, dengan menyamar, lagi-lagi, sebagai feminism.
Tulisan Riviere yang mencoba menjawab pertanyaan menganai apakah penyamaran dianggap
“normal” atau patologis sering dikutip sebagai nagaian terpenting dalam argumennya:
Karena itu, keperempuanan dapat dimiliki dan dikenalakan sebagai penyamaran, baik
untuk menyembunyikan kepemilikan maskulinitas maupun untuk menghindari pembalasan yang
didapat bila ia ditemukan memilikinya-seperti pencuri yang menunjukan kantongnya dan minta
digeledah untuk membuktikan bahwa ia tidak memiliki barang yang dicuri. Pembaca mungkin
bertanya bagaiamana saya mendefinisikan keperempuanan atau di mana say menarik garis batas
keperempuanan asli dan “penyamaran”. Betapun, saran saya adalah tak ada perbedaan apapun:
perbedaan yang mendasar maupun yang permukaan, kesuanya adalah sama. (Riviere 1996:213)
Pihak-pihak yang menentang klaim yang menyatakan bahwa gagasan mengenai penyamaran
adalah sesuatu yang membebaskan , menunjukan adanya implikasi apolitis dalam kliam tersebut.
Judith Butler mempertanyakan apakah penyamaran memang mengubah agresi dan ketakutan atas
pembalasan menjadi godaan dan kegenitasn, sperti yang tanpak disini (Butler 1990:48).
Femininitas Esensial
Topic mengenai penyamaran menimbulkan pertanyaan apakah yang dimaksud menjadi
perempuan; apakah merupakan pertanyaan mengnai esensi, yang bersifat biologis atau lainnya,
atau mengenai gagasan posisi nonesensial yang diajukan Kristeva-dalam hal ini posisionalitas
pemukaan? Sperti dinyatakan Majorie Garber dalam Vested Intersts, “jika perempuan dibentuk
secara cultural, dan jika peniru perempuan adalah pembentuk femininitas tiruan dan artifaktual
yang sadar, bagaimana membedakan “peniru perempuan” dari “ perempuan yang sebenarnya?”
(Garber,1993:354).
Potensi yang ditawarkan oleh penyamaran adalah pembongkaran terhadap gagasan determinisme
biologis, terhadap perempuan “yang sebenarnya” yang belum dikacaukan oleh relasi social
patriarchal (Doane, 1998: 219).Hal ini menyarankan bahwa perempuan dapat berperan sebagai
perempuan atau bukan sesuai keinginannya.
Jane Gaines megklaim bahwa kerancauan dalam ketaksaan gender adalah “bikinan perempuan
yang benar-benar menyulitkan bagi budaya partiarkal”(Gaines dan Herzog, 1990: 28). Persoalan
utamanya berkaitan dengan watak suatu yang ditutupi dibalik penyamaran: apakah ada
femininitas sebelum mimikri, atau malah berda diluar?Butler mengutipmdua posisi yang saling
bertentangan mengenai persoalan ini: irigaray berupaya menteorikan yang feminism di luar
ekonomi phallus, dan Jacqueline Rose mengandaikan pendirian Lacanian yang mengklaim
bahwa “tidak ada realitas mendahului wacana… tidak ada lokasi yang mendahului hokum yang
hadir dan dapat diselamatkan “ (Butler, 1990:55)
Konsep dan bahasa penyamaran kerap kali digunakan untuk mendiskusikan posisi perempuan
penonton film, yang menurut beberapa teoretisi, tatapannya tidak diakomodasikan dalam
film;film klasik. Esai berpengaruh karya Lura Mulvey yang memiliki landasan psikoanalisis,
:”Visual Pleasure and Narrative Cinema (1975), menunjukkan tiga tahapan-yaitu : penonton,
kamera, dan para pemain-dalam pemain adalah maskulin. Mulvey (1981) melanjutkan
pendapatnya dengan menyatakan bahwa, dengan demikian, satu-satunya posisi yang dapat
diambil oleh penonton perempuan adalah posisi masokis. Sebaliknya, beberapa kritikus
menyarakan bahwa pengkecualian tatapan perempuan berarti bahwa penonton perempuan
(yakni penonton dengan posisi feminin) memiliki mobilitas gender yang lebih besar ketimbang
penonton laki-laki (Penley,1989). Agar menjadi Voyerlayaknya penontor yang dibentuk film,
perempuan “mengenakan penyamaran laki-laki, dengan akibat memunculkan identifikasi trans-
jenis kelamin”.Demikian dituliskan Jane Gaines (Gaines dan Herzog, 1990:24); jadi ini adalah
kepenontonan yang masokis atau tak berwujud.
Penyamaran juga digunakan untuk menganailisis bukan hanya penonton perempuan, namun
juga kemungkinan representasi perempuan dilayar. Menggunakan teori Riviere, Irigaray, dan
Michele Montrelay Mary Ann Doane menunjukkan bahwa perempuan diusik baik dari film
maupun dari psikoanalisis, dua wancana yang “terutama mengenai perempuan”, dan yang
“secara historis, selalu ada tumpang tindih yang bertumpuk-tumpuk antara citra film dan
representasi perempuan” (Doane,1991:20).
Topeng, terutama dilayar, dapat membekali perempuan dengan jarak yang dibutuhkan-kesadaran
ironis mengenai pose dan pakian bagi adanya pemaknaan. Judith Butler menyatakan dalam esai
bahwa Riviere, gairah untuk mengakses produksi-tanda dapat mendasari fakta bahwa perempuan
dalam sejarah kasus tersebut mnegalami persainagan Oesipus dengan ayahnya, bukan
memperebutkan cinta sang ibu, melainkan dengan ayahnya sebagai pembicara di depan umum,
“yaitu sebagai pengguna tanda bukannya objek tanda, sebuah benda untuk dipertukarkan’
(Butler, 1990:51).

Anda mungkin juga menyukai