Suku Akan di Afrika Barat mengenal tuhan yang mereka sebut sebagai
“dia yang melihat segala sesuatu.” Sedangkan suku Yoruba mengenal tuhan
yang “maha bijaksana“ dan juga “dia yang mengetahui hati”. Suku
Banyawarda sebagaimana suku Zulu di Afrika bagian selatan mengenal tuhan
yang “bijaksana”, sedangkan suku Bacongo meyakini tuhan yang “dia tidak
diciptakan oleh apapun dan siapapun dan tidak ada siapapun selain dia.”Suku
Zulu juga menggunakan atribut ”Umdali” yang berarti “sang pencipta”.
Canon Titcomb berkata, “Zulu tidak memiliki berhala melainkan mengenal
satu kekuatan yang “maha berkuasa” atau disebut juga “yang ada pertama
kali” dan “pencipta segala sesuatu dan segala manusia”[5]. Dalam grup
bahasa di belahan selatan benua Afrika, terdapat nama tradisional untuk
tuhan yaitu “Ramasedi” yang berarti “dia yang darinya dating cahaya.”[6]
Sementara Canon Titcomb dalam Prehistoric Monotehism juga mengutip
sebuah bait syair penduduk asli Madagaskar yang ia sinyalir sebagai jejak
ajaran monoteisme.
Jangan kira lembah itu rahasia, karena tuhan ada di atas kita
Adapun untaian kata dalam ritual doa suku Indian adalah sebagai berikut:
Tolonglah aku agar adil bahkan terhadap mereka yang membenciku, dan
bantulah aku untuk berlaku baik setiap saat.
Jika dia menyerah maka tolonglah aku agar aku memperlakukannya sebagai
saudara yang lemah dan membutuhkan pertolongan.
Begitu banyak contoh serupa yang ditemui di Benua Australia, Eropa,
Tiongkok, bahkan dalam tradisi nusantara yang menunjukkan agama manusia
tidak mengikuti garis vertikal evolusi, bahkan sebaliknya.
Ibadah shalat lima waktu pun berdasarkan testimoni guru kita yang
didapat dari guru para guru kita hingga terus bermuara pada Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam. Jika kita hendak memeriksa langsung ke sumber
primer pun kita tidak bisa terlepas dari testimoni. Para sahabat, para tabiin,
para imam mazhab, ulama hadis, fikih, adalah para transmitor yang
otoritatif. Begitu juga sirkulasi darah kita yang mengalir, tekanan darah kita,
kadar gula darah dan kolesterol kita, serta seluruh pengetahuan di buku-
buku sekolah dan kampus, semua didapat dari transmisi testimoni dimana
kita nyaris tidak pernah menelusurinya sendiri, melihat, atau melakukan uji
coba sendiri untuk membuktikan informasi-informasi yang kita benarkan.
Sejak “Day 1”, manusia bukanlah tabulae kosong tanpa rasa. Innate
disposition ini ada dalam setiap manusia dan bersemayam di dalam diri kita
sebagai default setting, sebagai fitrah manusia untuk menyembah Tuhan
Yang Ahad dan meniadakan penyembahan kepada selainnya:
Allah Berfirman, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini
Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. [QS. Al A’raf: 172].
Peradaban bangsa Tiongkok telah berdiri lebih dari 5500 tahun lalu,
sebuah bangsa yang besar dengan kemunculan kekaisaran-kekaisaran silih
berganti dari zaman ke zaman. Tiongkok merupakan umat manusia yang
besar di antara umat-umat manusia lainnya seperti Mesopotamia, Mesir,
Romawi, dan Indian Amerika.
Di era dinasti Yao dan Shun, 18 abad sebelum era Konfusius dan
Laotze, terdapat suatu masa keemasan bagi orang-orang bijak di Tiongkok,
yakni orang-orang yang menyeru pada penyembahan satu tuhan. Konfusius
masih mencatat upacara sakral koronasi kaisar-kaisar Shou dan di dalam
catatanya itu terdapat ritual adat penyembahan kepada satu tuhan yang
termasuk ke dalam upacara koronasi tersebut. Menurut Frank Ellinwood
lagi, Konfusius adalah seseorang yang mengumpulkan hikmah-hikmah dari
masa dinasti-dinasti Tiongok kuno sebagaimana tertulis dalam Analek-nya.
Meski dianggap sebagai nabi oleh para pengikutnya, Konfusius menolak
dengan tegas. Ia berkata, “bahwa andaikata saya dijuluki sebagai seorang
nabi atau seorang bijak, saya tidak berani menerimanya (若圣与仁;则吾
岂敢《论语:述而》- ruo sheng yu ren, ze wu qi gan)”.[3]
Fitrah untuk mengenal dan menyembah Allah ini berjalan di setiap diri
manusia, salah satunya melalui standar baik dan buruk yang objektif.
Leibnniz dan Locke merupakan dua pemikir yang diasosiasikan
dengan innatism Vs. empiricism. Bagi kubu innatism 1+1= 2 merupakan
kebenaran yang tidak memerlukan pembuktian empiris. Terlepas apapun
perasaan serta keadaan emosional kita, maka penjumlahan itu akan
menghasilkan nominal yang sama, disepakati.
Meski standar baik dan buruk setiap suku, kota, negara, atau
peradaban itu berbeda, namun jika mereka berkumpul di dalam satu unit
sosial, mereka akan menyepakati bahwa membunuh ayah dan ibu kandung
sendiri adalah salah. Meski di beberapa negeri tindakan seperti itu
merajalela sekalipun, namun di benak-benak mereka hal itu merupakan
kesalahan dan bertentangan dengan kebaikan. Objektivitas moralitas ini,
yakni kebaikan dan keburukan yang disepakati di antara kalbu-kalbu
manusia menandakan adanya Allah Azza wa Jalla, dan Allah telah
menetapkan nilai-nilai moral objektivitas ini dan di atas semua itu, Allah
telah menetapkan fitrah manusia untuk mengenal, meyakini, dan
menyembah-Nya. Konvensi sosial serta peruabahan gradual biologis melalui
teori evolusi tidak akan dapat menjelaskan bagaimana objektivitas moral
ada pada setiap manusia. Jika moral berevolusi sebagaimana evolusi biologis
dalam anggapan evolusionis, maka faktanya kebaikan dan keburukan
tetaplah sama sejak dahulu kala. Jika objektivitas moralitas ini adalah hasil
dari proses sosial, maka sosial itu adalah sesuatu yang berubah, namun kita
masih dapati objektivitas moral itu tetap hingga hari ini.
Pelaku syirik di Makkah pra-Islam pun ketika ditanya siapakah Rabb mereka,
jawaban mereka adalah “Allah.”
“Kami pernah berlayar di atas sebuah kapal. Lalu angin laut menghempaskan
kami ke sebuah pulau. Kemudian kami turun. Tiba tiba ada seseorang yang
sedang beribadah kepada sebuah patung. Kami pun menemuinya dan berkata
kepadanya, ‘Wahai pemuda, siapakah yang sedang kamu sembah?’ Lalu dia
menunjuk kepada sebuah patung berhala.
‘Lalu bagaimana Dia memberitahu kalian akan hal itu?’ Tanya dia.
Kami menjawab, ‘Rabb Yang Maha Merajai lagi Maha Agung, Maha
Pencipta yang Mulia menganugerahkan kepada kami seorang Rasul yang
mulia, dan Rasul itulah yang mengabarkan kepada kami.’
Kami menjawab, ‘Beliau meninggalkan untuk kami sebuah kita suci dari
Rabb Yang Maha Memiliki.’
‘Tunjukkan kepadaku kitab dari Rabb kalian itu.’ Pintanya. ‘Biasanya kitab-
kitab nya para Raja itu bagus-bagus.’ Timpalnya lagi.
Lalu kami membacakan kepadanya sebuah surat dari Al-Qur’an. Ketika kami
sedang membacanya tiba tiba dia menangis dan terus menangis sampai kami
selesai membaca hingga akhir surat.
Dia berkata, ‘Pemilik perkataan ini seharusnya tidak boleh ditentang dan
dimaksiati.’
Kemudian dia masuk Islam lalu kami mengajarkan syariat-syariat Islam dan
surat-surat dari Al-Qur’an.
Lalu kami pun membawanya ke atas kapal kami untuk melakukan pelayaran
lagi. Ketika kami sedang dalam pelayaran dan malam yang gelap telah
menyelimuti dan kami telah bersiap-siap untuk tidur, dia berkata, ‘Wahai
kaum, Sesembahan yang kalian tunjukkan kepadaku apakah Dia tidur ketika
gelap di malam hari?’
Kami menjawab, ‘Tidak wahai hamba Allah. Dia Maha Hidup Maha
bersendiri dan maha Agung yang tidak pernah tidur.’
Lalu dia pun beribadah dan meninggalkan kami tidur.Ketika kami sudah tiba
di negeri kami maka aku berkata kepada teman-temanku, ‘Ini adalah orang
yang baru masuk Islam dan orang yang asing di negeri kita.’
Lalu kami mengumpulkan dinar dan dirham untuknya dan kami berikan
kepadanya. Dia berkata ‘Untuk apa ini?’
Kami berkata, ‘Ini adalah harta yang dapat engkau gunakan untuk memenuhi
kebutuhanmu.’
Dia menjawab, ‘Laa ilaha illallah, dahulu aku tinggal di sebuah pulau di
tengah lautan dan menyembah selain-Nya namun Dia tidak membuat
hidupku sengsara. Apakah Allah akan membuat hidupku menjadi sengsara
setelah aku mengenal-Nya!?’
Lalu dia pergi dan mencari nafkah untuk dirinya sendiri. Setelah itu dia
menjadi orang shaleh yang terkenal sampai dia wafat.[3]’”
Laki-laki di pulau itu pada awalnya berada pada fitrah Islam-nya ketika
terlahir sebelum kemudian ia mendapat pengaruh dari lingkungannya
mengenai konsepsesembahan. Penyembahan berhala itu sendiri bukanlah
fitrah laki-laki itu jika memang benar pulau tempatnya bermukin belum
melakukan kontak dengan dunia luar. Indikasi hal ini adalah ketika salah satu
penumpang kapal berkata kepada laki-laki di pulau itu:
“Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang
terang.” (Al-Ma`idah: 48)
Rasulullah bersabda, “Para nabi itu saudara seayah, ibu-ibu mereka berbeda
dan agama mereka adalah satu.” (Muttafaq ‘alaihi dari hadits sahabat Abu
Hurairah)