Anda di halaman 1dari 26

“Primitive Monotheism” [Bagian 1]

Konon, circa 200.000 tahun silam, Homo Sapiens berjalan di tengah


padang rumput mencari hewan buruan. Ia mendengar gemuruh guntur dan
kilatan halilintar di langit, merasakan hembusan angin yang menggerakkan
pepohonan dan rerumputan. Hujan, menghilangnya matahari berganti
gemintang, gempa dan gerhana; Homo Sapiens semakin takjub sekaligus
takut. Dengan keterbatasan nalarnya, semua tayangan fenomena alam di
sekitarnya menjadi misteri besar dan imbasnya bagi keselamatan dirinya. Ia
mulai menciptakan konsep metafisik dengan meyakini adanya kekuatan lain
di luar dirinya, di luar dari apa yang tampak oleh indrawi. Kemudian
mulailah ia mengasosiasikan segala fenomena alam dengan apa yang kita
kenal dengan kekuatan supernatural, ide mengenai kekuatan yang “tak
terlihat”. Ketakutan membawa Homo Sapiens ber-taqarrub kepada
kekuatan eksternal itu.

Seiring berjalannya waktu, berkembanglah penalaran Homo Sapiens.


Ia menjadi, lebih logis, lebih empirik. Alhasil, konsep supernaturalnya juga
berevolusi, dari penyembahan terhadap benda alam menjadi keyakinan
adanya kekuatan-kekuatan berjumlah banyak. Tidak lagi seperti pohon,
sungai, air terjun, bulan, bintang, matahari, dan batu besar, melainkan ia
menemukan konsep ruh. Lalu ia menciptakan konsep tuhan, sesuatu yang
bagi mereka lebih kuat dibanding ruh. Di fase ini, terdapat banyak tuhan
yang masing-masing memiliki kekuatan dan kekuasaan unik dalam di alam
dunia dan juga alam setelah mati nanti.
Selanjutnya, evolusi Homo Sapiens membawa mereka pada keyakinan
adanya satu tuhan yang paling kuat di antara tuhan-tuhan yang banyak itu.
Lalu puncaknya, bagi evolusionis, mereka tiba pada penyembahan satu
tuhan (monoteisme). Judaisme, Nasrani, dan Islam berada di tahap ini.
Tuhan tunggal yang “unik” ini ada di atas langit dengan kekuasaan tak
terbatas. Dengan monoteisme primitif ini Homo Sapiens telah sampai pada
sebuah konsep agama yang “modern” dan “luhur”, sebuah konsep agama
yang berada pada puncak dari sebuah garis lurus evolusi yang bermula dari
bawah ke atas; dari primitif semakin modern.
Charles Darwin memang tidak menulis bab khusus mengenai evolusi
agama, namun bukunya The Origin of Species mendorong hipotesa bahwa
agama merangkak melalui proses evolusi. Perjalanan spiritual homo sapiens
di atas juga mewakili teori kelahiran agama manusia dalam pandangan
Immanuel Kant. Ia berkata, “Agama adalah produk dari penalaran empiris
yang terbatas[1].” Ketidakmampuan Homo Sapiens dalam menalar
fenomena alam yang terjadi berujung pada ketakutan yang menyebabkan
“kerinduan” akan figur pelindung yang dapat menjaga mereka dari
ketidakpastian alam. Figur ini secara simplistik dipersepsikan sebagai figur
seorang “ayah” dan Sigmund Freud meyakini bahwa tuhan berasal dari
kebutuhan dasar manusia akan sosok “ayah” ini
Max Muller menyimpulkan, agama berkembang seiring pengamatan
kumpulan orang-orang primitif terhadap benda-benda langit semisal
matahari, bulan, dan bintang. Kemudian manusia primitif mulai
mempersonifikasi benda-benda tersebut dan berbuntut pada penyembahan
kepada celestial bodies (benda-benda langit). Berdasarkan teori Muller ini
kita dapat menelusuri asal-muasal istilah mother nature.
E. B. Tylor pun angkat suara. Bagi Tylor, konsep agama dan tuhan
berasal dari mimpi. Bukanlah mimpi sebagai sepertiga kenabian dalam
perspektif Islam atau seperenam dari kenabian seperti tertera dalam
Talmud (Brachot 57b), namun mimpi memperkenalkan manusia akan
konsep kekuatan di luar dirinya melalui penampakkan sosok-sosok tertentu.
Melalui mimpi pula manusia menciptakan konsep adanya hari dimana
manusia dibalas atas perbuatannya. Menurut Tylor lagi, keadaan manusia
yang mendorong munculnya konsep agama adalah penderitaan saat sakit
dan kematian
James George Frazer tidak ketinggalan. Ia mengatakan bahwa agama
adalah upaya manusia untuk mengendalikan alam. Upaya untuk
mengendalikan alam ini ditengarai oleh ketidakpastian alam. Sebab, bagi
mereka sesuatu yang tak terkendali membuahkan hilangnya rasa aman dan
kenyamanan bagi keberlangsungan hidup Homo Sapiens. Teori ini juga
Frazer tuangkan dalam bukunya The Golden Bough. Frazer memandang
upaya manusia primitif ini di kemudian hari mendorong kemunculan praktek
sihir di kemudian hari.
Memang, sejak Darwin mempublikasikan bukunya berjudul The Origin
of Species, bermunculan pula beragam pandangan bahwa segala sesuatu itu
selalu dalam fase perkembangan yakni dari fase rendah ke fase lebih tinggi;
bermula dari yang bentuknya yang terendah lalu berangsur-angsur menjadi
baik dalam semua aspek, baik anatomi maupun intelektual, termasuk
konsepnya tentang agama, dus, tuhan. Seiring ide-ide manusia yang
semakin tinggi dan luhur, manusia menjadi semakin produktif sehingga hal
itu turut mendorong lahirnya konsep agama yang semakin baik.
[4] Paradigma ini merambah juga ke cabang ilmu sejarah, sosiologi, dan
antropologi. Teori evolusi, singkatnya, menganggap manusia itu bermula
dari bentuk yang “mentah” dan rendah, primitif, kemudian secara gradual
menjadi bentuk yang lebih baik dalam segala aspek melalui tahapan yang
panjang dan kompleks.
Di tahun 1955, Majalah TIME dalam edisi 12 Desember 1955 yang
berjudul Dawn of Religion menulis: Manusia purba hanya dapat
membayangkan tentang adanya kekuatan supernatural di belakang
fenomena-fenomena alam yang bergulir secara teratur. Seiring terbit dan
terbenamnya matahari yang berlangsung di setiap harinya, serta siklus
pergantian musim dan rotasi bintang-bintang di malam hari, manusia purba
hanya bisa merasakan takut sembari bertanya-tanya tentang kemungkinan
hal tak terduga seperti apa yang mungkin akan terjadi pada alam; seperti
retakan tanah akibat gempa dan kilat yang menyambar secara tiba-tiba
dari langit. Di sinilah asal-muasal kepercayaan akan kekuatan supernatural
itu muncul.
Spencer menulis dalam bukunya berjudul How It Began bahwa
penyembahan kepada orang yang telah mati, termasuk kepada nenek
moyang, adalah pijakan awal agama manusia. Ketakutan yang berbuah
ketuhanan ini diafirmasi Samuel Zwemer dalam bukunya In The Origin of
Religion dimana ia mengutip perkataan Lewis Browne bahwa pada awalnya,
hati manusia dipenuhi oleh ketakutan yang intensif hingga ia mengendalikan
tindak-tanduk manusia primitif, dan ketakutan terus-menerus akan
fenomena alam ini membuat manusia purba tinggal di gua-gua
Senada dengannya, Loyal Rue memandang bahwa pada awalnya
sekelompok kecil manusia purba yang memiliki kemiripan dengan simpanse
melakukan aktivitas survival dengan menjadi pemburu dan mengumpulkan
hasil buruan demi menyambung hidup mereka (hunter-gatherer). Setelah
itu intelektual mereka berkembang hingga mereka berkumpul bersama di
dalam unit sosial dengan jumlah yang semakin membesar. Menurut Rue,
saat manusia berkumpul kala itu, mereka sangat membutuhkan kisah yang
dapat memberi mereka jawaban tentang asal-usul mereka, darimana
mereka datang, dan seluk-beluk keberadaan mereka lainnya. Dari sanalah
ide tentang agama berasal, yakni dari dongengan yang terus menerus
dikisahkan sebagai kebutuhan manusia untuk menemukan jati diri mereka.
Agama dan tuhan bagi Rue adalah dongeng.
Lain halnya bagi Nietzsche, filosof pencetus nihilisme, ia mengatakan
tuhan itu hanyalah ide manusia yang subyektif dalam alam pikir manusia
dan tidak ada dalam realitas obyektif[3]. Berbeda lagi teori asal muasal
agama dari filsuf Jerman Karl Marx. Marx menyimpulkan bahwa doktrin
agama yang menyeru kepada kepatuhan pada otoritas, kebangsawanan,
nilai kerendahan hati, dan hal-hal semisalnya merupakan manipulasi yang
dilakukan oleh kalangan kelas sosial yang lebih tinggi agar membuat rakyat
dan kelas sosial yang lebih rendah untuk terus-menerus patuh kepada
otoritas, yang bagi Marx merkea adalah kaum penindas yang serakah. Oleh
sebab itu, agama bagi Marx adalah instrumen untuk mendominasi massa.
Bagi Mark, agama adalah candu masyarakat (opium of the mass)[4] agar
manusia dapat keluar dari ketidakberdayaannya dan dapat menalar segala
bentuk ketidakadilan yang mereka alami.

Jika Marx menganggap agama adalah buah dari respon manusia


terhadap keadaan ekonomi, maka Robert Wright dalam bukunya The
Evolution of God mengatakan bahwa agama itu selalu bernuansa politis. Bagi
Wright, agama lahir dari respon manusia terhadap perubahan ekonomi,
politik, dan peperangan.

Tren ini juga menular ke cabang ilmu lainnya seperti antopologi.


Dalam diskursus asal-muasal agama manusia, para sosiolog juga
menggunakan teori evolusi Darwin untuk menjustifikasi perubahan agama.
[5]. Emile Durkheim misalnya, ia mengatakan bahwa masyarakat itu sendiri
sudah cukup sebagai faktor penting bagi lahirnya rasa berketuhanan dalam
jiwa[6]. Artinya, kumpulan dari manusia-lah yang menicaptakan tuhan,
bukan sebaliknya.

Kesimpulannya, bagi evolusionis, mustahil monoteisme adalah agama


awal manusia sebab konsep agama monoteisme yang luhur ini membutuhkan
intelektual yang matang dan maju, sesuatu yang mustahil dimiliki oleh
manusia purba di fase awal evolusi. Ini dikarenakan pandangan bahwa
pencipta alam semesta yang satu, memiliki kekuatan tak terbatas, memiliki
wujud yang berbeda dari ciptaanya, dan tidak dapat digapai oleh indera
manusia adalah konsep yang terlampau “canggih” bagi manusia primitif.

Di tengah euforia evolusi, Wilhelm Schmidt muncul dengan magnum


opus-nya berjudul The Origin and Growth of Religion: Facts and
Theories. Schmidt menentang keras teori evolusi dalam proses kelahiran
monoteisme, bahwa Monoteisme datang melalui proses garis lurus dari
bawah ke atas, bahwa segala sesuatu bergerak
dari simplicity menuju complexity, dari kekurangan sempurnaan menuju
kesempurnaan, dari yang primitif menuju peradaban maju[1]. William
Schmidt berkata, “Seluruh pengusung teori fetishisme, penyembah ruh,
animisme, totemisme, dan magisme [semuanya sejalan dengan evolusionis
– pen] bersepakat bahwa “figur” tuhan yang di atas langit ini harus
dihilangkan dari fase awal agama manusia. Sebab [bagi pandangan
evolusionis-pen], konsep tuhan yang satu di atas langit terlalu “tinggi” dan
sulit dijangkau [oleh manusia purba]. Bagi mereka, di fase-fase awal ini
mestinya konsep agama sangat rendah, yang tidak terlampau berbeda seperti
hewan buas. Oleh sebab itu, tuhan di langit harus dianggap ada di fase-fase
belakangan.” Maksud Schimdt, kubu evolusionis memandang tidaklah logis
jika kemunculan konsep monoteisme yang “luhur” ini bermula dari suatu
kumpulan manusia primitif yang tidak mengenal sistem pemerintahan yang
terogranisir, masih mengenakan celana dalam, dan tidak memiliki
kemampuan berhitung melampaui angka tujuh.”[2] Presuposisi inilah yang
menurut Schmidt menghambat kajian sejarah manusia primitif.

Pandangan Schmidt ini tenntu berseberangan dengan Neale Donald


Walsch dalam bukunya Tomorrow’s God yang mengatakan bahwa tuhan dari
agama-agama yang ada pada saat ini tidak lagi cocok untuk zaman sekarang,
sebab tuhan bagi orang modern haruslah seperti apa yang digambarkan
manusia modern. Manusia makhluk berakal (rational animal) harus lebih
dominan daripada makhluk tuhan. Pada puncaknya nanti, manusialah yang
menciptakan tuhan dengan akalnya.
Wilhelm Schmidt tidak sendiri. Di antara peneliti barat yang paling
awal mengidentifikasi adanya kecenderunan degenerasi agama manusia dari
monoteisme ke politeisme adalah Stephen Langdon dari Oxford, Inggris.
Langdon berpendapat bahwa di peradaban Sumeria di Mesopotamia, sebuah
peradaban yang disebut tertua di dunia, telah terjadi penurunan spiritualitas
manusia dari monoteisme ke politeisme serta merebaknya praktek
penyembahan arwah-arwah orang mati. Langdon menyebut pola degradasi
ini sebagai sejarah keterpurukan umat manusia – the history the fall of man.
[4] Langdon membalikkan garis lurus dari bawah ke atas menjadi garis
vertikal dengan anak panah ke bawah.

Wilhelm Schmidt mengklaim telah menemukan adanya keyakinan


monoteisme pada kebudayaan-kebudayaan primitif. Ketika dahulu mereka
masih berada pada fase-fase terendah dari sisi kebudayaan, mereka memiliki
konsep murni akan satu tuhan. Suku-suku di Afrika Tengah, suku-suku
Aborigin di sebelah tenggara Australia, suku asli Indian di Kalifornia
terindikasi memiliki konsep monoteisme dalam ajaran agama mereka.
[5] Menariknya, para penganut teori evolusi pun mengakui bahwa memang
ada kecenderungan penurunan konsep agama yang “murni” menjadi praktek
politeisme. Andrew Lang misalnya, ia mengatakan bahwa para penduduk
Kepulauan Andaman, yang berada pada level kebudayaan yang sama dengan
suku-suku Aborigin Australia, pada awalnya meyakini adanya satu tuhan.
Mereka mendeskripsikan satu tuhan itu sebagai tuhan yang abadi, pencipta
segala sesuatu, mengetahui apa yang di hati dan pikiran, tuhan yang murka
karena kedustaan dan kejahatan manusia, tuhan yang menjadi penolong bagi
mereka yang mengalami kesakitan dan kesedihan, konsep tuhan yang selaras
dengan monoteisme. Lebih jauh lagi, tuhan itu adalah hakim bagi jiwa-jiwa
dan di kemudian hari nanti dimana tuhan itu akan menghakimi sebuah sidang
yang besar[6]. Andrew Lang sendiri menurut Wilhelm Schmidt adalah
penganut evolusi yang moderat yang berarti masih membuka diri dengan
teori monoteisme.
Sementara bagi Sir Flanders dalam The Religion of Ancient
Egypt[7]yang dipublikasikan tahun 1908 menyatakan bahwa pada agama-
agama purba terdapat “kelas-kelas” tuhan. Sejumlah ras, sebagaimana pada
Hindu modern, menjadikan banyak tuhan-tuhan dan tingkatan-
tingkatannya. Ini berarti jika konsepsi akan tuhan adalah berevolusi dari
penyembahan ruh mendahului monoteisme, menurut Flanders harusnya
kita menemukan bukti itu, namun justru bukti yang ditemukan adalah
sebaliknya; monoteisme adalah teologi pertama manusia.[8] Maskud
Flanders adalah politeisme merupakan “kombinasi” dari monoteisme
sebelum menjadi politeisme. Ini juga berarti bagi Flanders adanya kreasi
tuhan-tuhan yang banyak itu menandakan dahulunya hanya ada satu tuhan.
Sehingga, klasifikasi dan hirarki tuhan-tuhan yang banyak menunjukkan
bahwa pada awalnya konsep tentang tuhan di zaman purba itu berada pada
satu level saja.
Kesimpulannya, Sanggahan pengusung evolusionis cenderung
menyanggah argumentasi monoteisme dengan self-evident; “Karena saya
meyakini hal itu mustahil terjadi, maka hal itu tidaklah dapat terjadi”.
[9] Dalam kata lain, letak fallacy argumentasi evolusionis dapat dibingkai
semisal ini: karena tuhan itu tidak ada, maka konsep monoteisme dari
tuhan di fase awal tidaklah mungkin terjadi. Karena tuhan itu tidak ada,
maka mustahil konsep tentang tuhan yang kompleks seperti monoteisme
lahir dari manusia primitif, dan ia pasti hasil dari proses evolusi. Karena
pada dasarnya menolak semua sumber ilmu yang berasal dari “Kitab Suci”,
para ilmuwan barat sekular menumpukkan pencarian asal-usul alam
semesta dan manusia semata-mata berdasarkan sumber “indra”
(positivisme) dan sumber akal (rasionalisme)[10].
Sanggahan kepada evolusionis juga datang dari kalangan terpelajar
muslim. Dr Abdullah Umar Farooq, seorang mualaf di AS yang mendirikan
Nawawi Foundation dan penulis buku biografi berjudul Muhammad
Webb berkata mengenai teori asal-muasal agama manusia, “Politeisme
adalah realitas masa lalu, namun ia bukanlah tipikal agama purba. Dan
antropologis yang menganggap agama awal mansuia di zaman kuno adalah
politeisme tidak menegtahui apa-apa tentang duduk perkaranya.”[11] Hal
ini senada dengan perkataan Wilhelm Schmidt dimana ia mengatakan
seorang misionaris jika dilengkapi dengan informasi yang memadai akan
memiliki kemampuan meneliti agama-agama kuno, maka ia akan memiliki
kemampuan yang jauh lebih baik dari para antropolog dan etnolog[12].
Bangsa Sumeria, pionir peradaban Mesopotamia, dalam satu waktu
sempat menyembah 5000 sesembahan. Ada tuhan khusus untuk pengatur
cuaca, ada tuhan yang mengurus sapi, ada tuhan yang otoritasnya hanya
sebatas berkuasa pada aspek agrikultur, dan ada juga tuhan yang mengurus
gandum. Konsekuensi dari banyaknya tuhan-tuhan itu adalah klasifikasi
tuhan berdasarkan fungsi dan otoritas serta klasifikasi. Beberapa tuhan
terkadang dianggap memiliki kekuasaan lebih dari satu, semisal Enki, yang
berkuasa atas kesuburan bumi, sihir, dan air segar. Tidak hanya tuhan,
konsep dewi (goddess) pun masyhur di kalangan bangsa Sumeria. Nammu
adalah dewi dari semua dewi. Inanna adalah dewi cinta dan perang,
sedangkan Ninshubur adalah dewi bintang pagi. Benda-benda langit pun
mereka sembah. Nanna (Sin) adalah tuhan bulan, Utu (Shamash) adalah
tuhan matahari, dan Ishkur (adad) adalah tuhan bintang-bintang.
Tidak hanya itu, terkadang perkawinan terjadi di antara para dewa-
dewi. Dalam satu waktu sebelum punah dan tergantikan oleh peradaban
Babilonia Kuno, sesembahan bangsa Sumeria dapat mencapai 5000 tuhan.
[1] Tuhan-tuhan itu juga memilih teritori, setiap negara-kota (city-state)
memiliki tuhan sendiri, setiap pantheon, atau kuil peribadatan, memiliki
tuhan-tuhan sendiri. Masing-masing kuil memiliki pemuka agamanya
sendiri, semacam kuncenpantheon
Terlepas dari data di atas, peneliti bernama Stephen Langdon justru
berpendapat sebaliknya. Dalam bukunya berjudul Semitic Mythology of All
Races ia berkata: Menurut pendapat saya, sejarah dari peradaban tertua
manusia adalah sejarah tentang penurunan drastis dari agama monoteisme
menjadi politeisme yang ekstrem dan penyembahan ruh-ruh jahat. Ini
adalah sebenar-benarnya kejatuhan umat manusia.[2] Lima tahun
kemudian Langdon menulis dalam sebuah artikel dalam karya-nya The
Scotsman dimana ia menulis: Sejarah dari agama bangsa Sumeria, bangsa
dengan pengaruh budaya terkuat di peradaban manusia kuno, dapat
ditelurusri melalui ukiran-ukiran piktograf yang dapat membawa ke konsep
manusia akan manusia di era-era awal. Bukti-bukti tanpa diragukan lagi
mengarah kepada “original monotheism”, atau “monoteisme murni[3].
Langdon melanjutkan, memang pada masa-masa sebelum
kehancurannya, bangsa Sumeria menyembah 5000 tuhan bahkan lebih.
Namun jika menelusuri ke zaman sebelumnya, ukiran yang ditemukan dari
era 3.000-4.000 SM menunjukkan bahwa bangsa Sumeria menyembah
sebanyak 750 tuhan. Bahkan terdapat 300 tablet yang berisi aksara paku
yang ditemukan di wilayah Jamdet Nasr pada tahun 1928 “hanya” terdapat
tiga tuhan saja, yakni tuhan langit bernama Enlil, tuhan bumi bernama Enki,
dan Babbar sebagai tuhan matahari. Kemudian sebanyak 575 tablet aksara
paku yang diterjemahkan pada tahun 1936 dan diduga berasal dar era 3.500
SM “hanya” ditemukan dua tuhan saja. Keduanya yakni An sebagai tuhan
langit (sky god), dan dewi seluruh dewi, Innana, yang kemudian nanti
dikenal dengan nama Ishtar oleh bangsa semit. Pengerucutan kuantitas
tuhan-tuhan ini jika ditelusuri semakin ke belakang menunjukkan bahwa
politeisme itu bermula dari monoteisme sebagaimana terjadi pada
peradaban Lembah Indus, bukan sebaliknya.
Dalam ensiklopedi al I’jaz al ‘Ilmi fi Al Quran wa al Sunnah terbitan
Kairo Mesir[4] disebutkan bahwa konsep Allah Yang Mahaluhur hampir
ditemukan pada semua suku. Bahkan, konsep Zat yang selalu cukup dan
menyeluruh kekuasaannya, bisa kita temukan di tengah-tengah banyak suku
seperti Zulu di Afrika Selatan dan Rwanda, Ashanti di Pantai Gading, Akan di
Ghana, Yoruba di Negria, Bakongo di Angola, dan M’Bochi di Kongo.

Dr Abdullah Hakim juga menyebutkan bahwa terdapat tanda-tanda adanya


ajaran tauhid yang tampak pada suku Burundi. Di kalangan mereka, dikenal
beberapa kata sifat yang disematkan pada tuhan.

Bisabwe, “dia saja yang layak diembah.”

Habimana, yang berarti “hanya dia yang ada.”

Hazikimana, yang artinya “hanya dia yang menyelamatkan.”

Habonimana, “Hanya dia yang melakukan apa yang dikhenendakinya.

Birori, yang berarti “hanya dia yang mengawasi segala sesuatu.”

Suku Akan di Afrika Barat mengenal tuhan yang mereka sebut sebagai
“dia yang melihat segala sesuatu.” Sedangkan suku Yoruba mengenal tuhan
yang “maha bijaksana“ dan juga “dia yang mengetahui hati”. Suku
Banyawarda sebagaimana suku Zulu di Afrika bagian selatan mengenal tuhan
yang “bijaksana”, sedangkan suku Bacongo meyakini tuhan yang “dia tidak
diciptakan oleh apapun dan siapapun dan tidak ada siapapun selain dia.”Suku
Zulu juga menggunakan atribut ”Umdali” yang berarti “sang pencipta”.
Canon Titcomb berkata, “Zulu tidak memiliki berhala melainkan mengenal
satu kekuatan yang “maha berkuasa” atau disebut juga “yang ada pertama
kali” dan “pencipta segala sesuatu dan segala manusia”[5]. Dalam grup
bahasa di belahan selatan benua Afrika, terdapat nama tradisional untuk
tuhan yaitu “Ramasedi” yang berarti “dia yang darinya dating cahaya.”[6]
Sementara Canon Titcomb dalam Prehistoric Monotehism juga mengutip
sebuah bait syair penduduk asli Madagaskar yang ia sinyalir sebagai jejak
ajaran monoteisme.

Jangan kira lembah itu rahasia, karena tuhan ada di atas kita

Keinginan seseorang dapat terwujud oleh pencipta, karena tuhan sendiri-lah


yang mengatur

Lebih baik bersalah kepada manusia ketimbang bersalah kepada tuhan.

Suku-suku primitif terisolasi dari dunia luar sehingga ia bagaikan mesin


waktu oleh karena keadaan mereka tidaklah banyak berubah dari ribuan
tahun silamm termasuk keagamaan mereka.
Penelitian terhadap bangsa Indian di Amerika adalah di antara bukti
bahwa teori evolusi agama adalah kekeliruan. Goerge Bird Grinnell menulis
tentang suku Pawnee dalam bukunya The Pawnee Mythology: Tirawa
melampaui inderawi, berkuasa mutlak, pemurah. Ia adalah pencipta
semesta dan penguasa tertinggi. Dalam kehendaknya-lah segala sesuatu
terjadi. Dia dapat membawa kebaikan dan keburukan dan kesuksesan serta
kegagalan. Segala sesuatu bersandar kepadanya…”[1]
Dalam The Soul of Indian (1911), disebutkan bahwa sebagian orang
menganggap bangsa Indian menyembah matahari, namun bagi mereka,
matahari tidaklah lebih dari bagaimana Nasrani menghormati salib. Suku-
suku Indian memiliki dan meyakini konsep satu tuhan. Bangsa Indian,
berdasarkan kesaksian peneliti barat sendiri, adalah bangsa yang setidaknya
mayoritasnya penganut agama monoteistik dan indikasi bahwa agama
monoteistik telah ada sejak zaman kuno di benua tersebut begitu kuat.
George Catlin dalam bukunya Manners, Customs, and Conditions of
The North American Indians[2] menulis bahwa bangsa Indian Amerika Utara
sama sekali bukan penyembah berhala – mereka menyembah ke satu
sesembahan tanpa mediator, baik itu personal atau simbolik. Orang-orang
Indian juga menyerukan toleransi dalam kehidupan beragama. Toleransi
bagi pemuka agama Indian bukanlah menyatukan keyakinan dengan
mencampurnya dengan keyakinan lain, toleransi bagi mereka adalah tidak
memaksakan agama kita kepada orang lain dan menghormati keyakinan
agama suku lain dengan tidak mengganggunya,
Sebelum pendatang kulit putih tiba, bangsa Indian telah memiliki
keyakinan yang matang. Bahkan bangsa Indian adalah banga yang religius
dan memiliki konsep agama yang kental dengan unsur-unsur monoteisme.
Di antara ajaran-ajaran suku-suku Indian adalah[3]:
 Hanya ada satu tuhan, dia abadi, maha kuasa, tak terlihat, pencipta
dan pengatur segala sesuatu. Kepadanya kita mempertanggung-
jawabkan [melalui perbuatan kita].
 Di bumi, seseorang harus mencapai kesempurnaan dalam seluruh
dimensi manusia: tubuh, pikiran, jiwa, dan pelayanan kepada orang
lain.
 Sihir adalah kejahatan. Banyak orang menyangka Shaman adalah
dukun di kalangan suku Indian yang menunjukkan budaya sihir di
antara mereka. Padahal Shaman adalah semacam tabib yang
mengobati penyakit dengan jalur spiritual sebagaimana karakter
orang Indian yang religius. Shaman menggunakan metode
pengobatan empiris juga. Mereka menggunakan tanaman herbal
dan elemen alam seperti sinar matahari dan tentunya doa-doa
menurut keyakinan mereka, sehingga berbeda seperti yang
digambarkan Hollywood.
 Mencapai kesempurnaan manusia dengan melayani sesama.
 Ruh manusia abadi. Setelah mati, ruh akan ke alam selanjutnya,
sebuah keyakinan yang dijumpai pada agama monoteistik.
 Tidak boleh menyerupai pencipta dengan sesuatu melalui benda
sebagaimana agama-agama monoteistik lainnya.
 Dilarang berdusta.
 Menjaga hari raya agama, mempelajari tarian ibadah, menjaga hal-
hal tabu, dan mempelajari adat-istiadat suku mereka sendiri.
 “Hormati ayah dan ibu kalian.”
 “Tidak boleh membunuh.”
 “Murnikan pikiran dan perilakumu.”
 “Tidak boleh mencuri.”
 “Tidak boleh serakah dengan kekayaan.”
 “Jauhi alkhohol karena ia akan membuat orang bijak jadi bodoh.
Ini jelas menyelisihi kebiasaan orang barat yang sebagian besarnya
beragama Nasrani.”
 “Cintai hidupmu, sempurnakan, dan perindahlah.”
 “Jika engkau hendak memurnikan hatimu agar dapat melihat jelas
jalan tuhan, jangan sentuh makanan selama dua hari atau lebih
sesuai kesanggupanmu. Sehingga tubuhmu suci dan hatimu
menguasai tubuhmu.” Ritual yang mirip seperti puasa ini juga
lazim didapati dalam Yahudi dan Nasrani, terlebih dalam Islam.
 Dengan berdoa, berpuasa, dan membenahi tujuanmu, engkau akan
mampu mengatur ruh-mu, dan memberimu kekuatan.
 Hanya ada satu kewajiban yang diharapkan, yakni berdoa setiap
hari, pengakuan terhadap tuhan yang tak terlihat dan abadi.
Pengabdian harian ini lebih penting baginya dari makanan harian.
Asupan jiwa melalui ritual melebihi pentingnya asupan makanan
bagi tubuh. Hal ini memiliki kemiripan dengan nilai Islam
sebaiamana perkataan ulama yang menekankan pentingnya
mengingat Allah lebih dari memakan makanan.
 Setiap pagi, mereka menuju sumber air untuk mengusap wajah
dengan air dingin atau menceburkan seluruh tubuhnya ke sungai
atau danau. Setelah itu, ia berdiri menghadap mentari fajar yang
menyingsing kemudian berdoa. Terkadang yang lain turut
bergabung dengannya.
 “Bersyukurlah atas cahaya pagi, atas hidup dan kekuatan, makanan
dan kesenangan hidupmu. Jika engkau tidak menemukan alasan
untuk bersyukur, ketahuilah, kesalahan itu ada pada dirimu.
Konsep syukur ini nyaris ditemui di seluruh agama besar.”

Adapun untaian kata dalam ritual doa suku Indian adalah sebagai berikut:

O tuhan para leluhurku. Inilah doaku.

Tolonglah aku untuk mengetahui kewajiban dan pesanmu.

Tolonglah aku agar adil bahkan terhadap mereka yang membenciku, dan
bantulah aku untuk berlaku baik setiap saat.

Jika musuhku lemah, tolonglah aku untuk memaafkannya.

Jika dia menyerah maka tolonglah aku agar aku memperlakukannya sebagai
saudara yang lemah dan membutuhkan pertolongan.
Begitu banyak contoh serupa yang ditemui di Benua Australia, Eropa,
Tiongkok, bahkan dalam tradisi nusantara yang menunjukkan agama manusia
tidak mengikuti garis vertikal evolusi, bahkan sebaliknya.

Penulis tidak hendak menyimpulkan dahulu bangsa “Indian” menganut


monoteisme, terlebih tauhid, bukan itu, melainkan memaparkan bahwa
politeisme dan paganisme itu tidak merata di seluruh peradaban sebagai
agama origin.
Teori evolusi dan seluruh pengetahuan yang sampai pada kita melalui
testimoni. Dapat dipastikan, sebagian besar dari kita tidak pernah benar-
benar melakukan uji coba, penelitian, dan penggalian untuk
membuktikannya mandiri. Bahkan sebagian besar ilmuwan dan akademisi
pun bergantung kepada testimoni. Transmisi testimoni begitu vital dalam
sains.

Bagaimanakah kita mengetahui bahwa ibu kita yang kita kenal


sepanjang hidup kita itulah yang melahirkan kita? Jawabannya adalah
testimoni, kita mengetahui beliau adalah ibunda kita dari kesaksian orang
lain yang kita percayai kebenarannya dan disepakati otoritasnya. Akte lahir,
kesaksian ayah kita, mereka yang hadir saat proses persalinan, atau bukti
album foto, atau melalui penuturan para bidan, maka semua itu testimoni
yang kita yakini kebenarannya dan verifikasi otoritasnya. Ini berarti ada
orang lain yang mengatakan kepada kita bahwa akte lahir tersebut benar
sebagaipenanda administratif kelahiran kita, ada orang lain yang
mengatakan pada kita bahwa bahwa benar foto tersebut adalah proses
persalinan kelahiran kita. Semua itu adalah testimoni yang disampaikan
kepada kita dan kita yakini kebenarannya. Kita tidak ada di sana saat
peristiwa itu terjadi.

Bulatnya bumi kita yakini sebagai kebenaran melalui foto satelit,


artikel ensiklopedia, atau menukil para guru dan dosen yang mereka dapat
juga dari kesaksian orang lain melalui transimisi para pakar. Tatkala kita
terbang di ketinggian jelajah 40.000 kaki sekalipun, kita belum sepenuhnya
membuktikan secara empirik. Sebab, di ketinggian itu kita
melihat curvature, atau bentuk yang melengkung, bukan bulat utuh meski ia
menjadi petunjuk bagi rasionalitas terhadap bulatnya bumi. Namun kurva
bukanlah bentuk bulat sempurna. Sehingga, kita tetap melengkapi
kesimpulan rasionalitas kita dengan otoritas dan ini membawa kita kembali
kepada testimoni. Sebuah testimoni haruslah datang dari pembawa
transmisi yang kredibel, otoritatif, dan terverifikasi.

Ibadah shalat lima waktu pun berdasarkan testimoni guru kita yang
didapat dari guru para guru kita hingga terus bermuara pada Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam. Jika kita hendak memeriksa langsung ke sumber
primer pun kita tidak bisa terlepas dari testimoni. Para sahabat, para tabiin,
para imam mazhab, ulama hadis, fikih, adalah para transmitor yang
otoritatif. Begitu juga sirkulasi darah kita yang mengalir, tekanan darah kita,
kadar gula darah dan kolesterol kita, serta seluruh pengetahuan di buku-
buku sekolah dan kampus, semua didapat dari transmisi testimoni dimana
kita nyaris tidak pernah menelusurinya sendiri, melihat, atau melakukan uji
coba sendiri untuk membuktikan informasi-informasi yang kita benarkan.

Transmisi testimoni tidak bertentangan dengan sains. Islam tidak anti


sains namun mendudukan sains itu dengan proporsional, di antaranya
berhenti ketika sains bertentangan dengan testimoni Al Quran dan hadis
Nabi. Justru kebangkitan peradaban ilmu barat didorong oleh masa
keemasan keilmuan peradaban Islam. Franz Rosenthal, penterjemah
kitab Tarikh Al Rusul Wal Muluk karya Imam At Tabari dan
kitab Muqoddimah karya Ibnu Khaldun ke dalam bahasa Inggris, pernah
berkata bahwa peradaban Islam adalah peradaban dimana ilmu berjaya.
Islam adalah satu-satunya agama yang meletakkan menuntut ilmu sebagai
kewajiban individu.

Sumber primer ilmu dalam epistemologi Islam adalah wahyu yang


diterima Rasulullah yang berasal dari Allah Azza wa Jalla, karena Allah
adalah sumber segala sesuatu. Setelah itu adalah hadis Nabi, kemudian akal,
kalbu, dan indra. Objek ilmu dalam epistemologi Islam tidak semata
menjangkau realitas fisik seperti tengkorak, fosil, atau batu-batu, melainkan
mencakup aspek metafisik sebagai hal yang mungkin diketahui manusia.[1]

Kesimpulannya, manusia semakin berdevolusi seiring berjalannya


waktu, dari monoteisme menjadi isme-isme lain. Sejak awal, manusia
menyembah Tuhan Yang Ahad sebagai innatism.

Sejak “Day 1”, manusia bukanlah tabulae kosong tanpa rasa. Innate
disposition ini ada dalam setiap manusia dan bersemayam di dalam diri kita
sebagai default setting, sebagai fitrah manusia untuk menyembah Tuhan
Yang Ahad dan meniadakan penyembahan kepada selainnya:
Allah Berfirman, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini
Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. [QS. Al A’raf: 172].

Peradaban bangsa Tiongkok telah berdiri lebih dari 5500 tahun lalu,
sebuah bangsa yang besar dengan kemunculan kekaisaran-kekaisaran silih
berganti dari zaman ke zaman. Tiongkok merupakan umat manusia yang
besar di antara umat-umat manusia lainnya seperti Mesopotamia, Mesir,
Romawi, dan Indian Amerika.

Para sejarawan Tiongkok membagi peradaban kuno Tiongkok menjadi


tiga fase, yakni primal ancient, middle ancient, dan near ancient. Fase awal
peradaban tertua Tiongkok berada pada rentang waktu 21-12 SM (primal
ancient). Menurut Ron Williams dalam makalahnya berjudul Early Chinese
Monotheism yang ia presentasikan di Kelvin Institute, Toronto, mengatakan
bahwa masing-masing ketiga fase peradaban kuno itu memiliki karakteristik
agama yang khas.

Fase pertama peradaban kuno Tiongkok memiliki keyakinan dan praktek


penyembahan kepada satu tuhan.

Fase kedua yakni middle ancient; keagamaan masyarakat Tiongkok


menganut deiteisme dengan kecenderungan materialistik yang kental meski
masih ada di sana nilai-nilai monoteisme kuno.

Terakhir, keyakinan dominan masyarakat Tiongkok adalah


materialsime.Selaras dengan Ron Williams, Edward Schafer mengatakan
bahwa salah satu dari sesembahan tertua bangsa China adalah tuhan yang
berada di langit, Ti’en.
Dalam periode awal sejarah Tiongkok ini, menurut Williams,
masyarakat Tiongkok meyakini adanya pengatur mutlak alam semesta
adalah tuhan yang satu dan tidak terbagi-bagi menjadi tuhan-tuhan lain,
tidak berubah, tidak ada tandingan, mengatur dengan mutlak sendirian apa
yang di atas langit dan di bawah bumi. Dia melakukan apa yang ia inginkan
dan tidak ada kekuatan apapun yang menghalanginya dan
keinginannyaadalah kebenaran. Di zaman kuno bangsa Tiongkok, Ti’en
adalah raja teragung di langit. Ia lebih agung dari apapun yang ada di
bumi [1].

Jauh sebelum era Konfusius, Budisme, dan Taoisme, bangsa Tiongkok


menyembah Shang Ti (Ti’en). Mereka memahami Shang Ti sebagai pencipta
dan pembuat hukum. Mereka meyakini Shang Ti adalah penggerak segala
sesuatu dan tidak boleh diwakilkan melalui berhala. Ketika dinasti Zhou
memerintah Tiongkok di era 1066-770 SM, penyembahan kepada Shang Ti
tergantikan oleh penyembaha langit sebelum akhirnya tiga agama lain
muncul di Tiongkok. Namun demikian, meski telah lewat ribuan tahun,
masyarakat Tiongkok masih menyebut-nyebut Shang Ti, sesembahan kuno
mereka.[2]

Sebagaimana di peradaban-peradaban lainnya di masa lampau,


degenerasi keyakinan monoteisme kepada bentuk keyakinan agama
selainnya pun berjalan di Tiongkok. Teori para peneliti barat ini
menunjukkan bahwa spiritualitas manusia itu berubah dari bentuk yang
luhur (monoteisme) kepada keyakinan yang lebih rendah sebagaimana
pandangan Wilhelm Schmidt dan Andrew Lang. Ini berarti dalam pandangan
penganut toeri monoteisme sebagai asal-muasal agama manusia, seiring
bergantinya zaman, manusia mengalamai degradasi spiritual. Sebaliknya,
bagi penganut teori non-monoteisme, konsep manusia akan agama dan
tuhan berangsur-angsur menemukan bentuknya yang paling luhur; semakin
lama manusia semakin mengetahui tentang konsep agama dan tuhan.

Di era dinasti Yao dan Shun, 18 abad sebelum era Konfusius dan
Laotze, terdapat suatu masa keemasan bagi orang-orang bijak di Tiongkok,
yakni orang-orang yang menyeru pada penyembahan satu tuhan. Konfusius
masih mencatat upacara sakral koronasi kaisar-kaisar Shou dan di dalam
catatanya itu terdapat ritual adat penyembahan kepada satu tuhan yang
termasuk ke dalam upacara koronasi tersebut. Menurut Frank Ellinwood
lagi, Konfusius adalah seseorang yang mengumpulkan hikmah-hikmah dari
masa dinasti-dinasti Tiongok kuno sebagaimana tertulis dalam Analek-nya.
Meski dianggap sebagai nabi oleh para pengikutnya, Konfusius menolak
dengan tegas. Ia berkata, “bahwa andaikata saya dijuluki sebagai seorang
nabi atau seorang bijak, saya tidak berani menerimanya (若圣与仁;则吾
岂敢《论语:述而》- ruo sheng yu ren, ze wu qi gan)”.[3]

Professor Legge dari Oxford dalam bukunya The Religion of


China mengklaim bahwa melalui bukti linguistik yang ia
pandang shahih, jauh sebelum era dinasti Yao dan Shun, terdapat praktek
penyembahan kepada satu tuhan. Legge berkata, “Limaribu tahun silam,
terdapat agama monoteisme [di Tiongkok], bukan henoteisme melainkan
monoteisme.” Ia menamabahkan, ketika itu sudah ada perlawanan dari
kubu politeisme terhadap doktrin monoteisme. Hingga era dinasti Ming
(1538 M), di tengah tersebarnya agnositisme, Shang Ti masih disembah oleh
sebagian rakyat Tiongkok meski di sana ada sesembahan-sesembahan lain
yang “otoritasnya” di bawah Shang Ti. Jika melihat ke belakang, kita
mendapati ini sebagaimana terjadi di Makkah pra Islam.

Beberapa abad berlalu, penyembahan kepada Shang Ti kemudian


bergeser ke ide-ide Konfusius, Taoisme, dan Budha. Budha menekankan
pendekatan filosofis, fisiologis, dan psikoterapis ketimbang konsep agama
yang familiar dikenal kebanyakan orang[6]. Budhisme adalah the way of life
– pandangan dan cara menjalani hidup. Professor Liu Wu-chi menganggap
bahwa nilai-nilai ajaran Budha bersifat universal dan pada dasarnya
kompatibel dengan proses sinkretisme. Sama halnya dengan Konfusianisme,
ajaran Budhabernuansa filosofis dan non-religius, ia adalah sistem moral
tanpa ada jejak metafisik atau supernatural[7]. Namun demikian Howard
Smith dari University of Manchester menyanggah anggapan Profesor Liu
Wu-chi dari Yale University di atas. Menurut Howard, Konfusius memiliki
pehamaman agama yang mendalam sebagai jejak sisa-sisa konsep adanya
tuhan tertinggi di Tiongkok kuo meski pada zaman Konfusius hidup,
politeisme adalah doktrin dominan.

Keyakinan eksistensi tuhan yang berada di langit dalam masyarakat


Tiongkok terdapat di buku-buku sastra kuno dimana tuhan dideskripsikan
dengan kualitas yang bertentangan, tuhan yang memberi kehidupan
sekaligus kematian. Selain keyakinan adanya kekuatan besar tuhan, mereka
juga meyakini adanya ruh-ruh yang juga memiliki kekuatan untuk bertindak
setelah mereka pindah ke alam ruh setelah kematian. Ruh-ruh itupun juga
disembah di Tiongkok dan pada setiap keluarga memiliki sesembahan ruh
masing-masing sehingga terdapat tuhan lokal pada masing-masing wilayah.

Namun demikian keyakinan terhadap tuhan yang di langit tetap


lestaru meski kemudian tercampur dengan penyembahan ruh leluhur
sebagai perantara untuk menggapai tuhan di langit[10]. Lao-Tzo kemudian
datang dan mengajarkan doktrin mistisme di Tiongkok.
Manusia telah memiliki kecenderungan kepada tauhid sejak lahir. Di
mana seorang bayi terlahir, di tempat itu pula ia membawa fitrahnya untuk
bertauhid. Tidak ada seorang bayi terlahir dengan tabiat kesyirikan dari
“default”-nya. Manusia, di manapun mereka berada, apakah itu di Afrika,
Asia, Eropa, Tiongkok, Amerika, Nusantara, di zaman apapun mereka
terlahir apakah itu ribuan tahun sebelum masehi atau pada hari ini, mereka
terlahir dengan membawa fitrah Islam. Sebelum mereka terlahir ke dunia,
Allah telah mengambil perjanjian dan kesaksian dari seluruh manusia. Dan
tidak ada satupun anak Adam yang terhapus ingatannya dari perjanjian ini.
Perjanjian itu mengendap menjadi naluri paling dasar, tabiat fundamental,
dan kecenderungan kuat setiap manusia untuk beriman kepad Allah dan
ingin mengenal-Nya.

Naluri ini begitu kuat sehingga membuat dorongan kuat bagi


seseorang untuk sadar akan keberadaan-Nya baik secara naluri maupun
rasional. Bahkan jika memang ada yang namanya manusia primitif menurut
sangkaan evolusionis, atau ada seorang ateis yang paling fanatic sekalipun,
ketika ia dalam keadaan terdesak oleh mara bahaya, maka ia akan meminta
perlindungan kepada Allah yang satu dan memurnikan doa meminta
pertolongan hanya kepada-Nya.

Allah berfirman, “Dan ingatlah ketika Rabbmu mengeluarkan


keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini
Rabbmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul, kami menjadi saksi,’” [QS Al A’raf: 172]

Fitrah untuk mengenal dan menyembah Allah ini berjalan di setiap diri
manusia, salah satunya melalui standar baik dan buruk yang objektif.
Leibnniz dan Locke merupakan dua pemikir yang diasosiasikan
dengan innatism Vs. empiricism. Bagi kubu innatism 1+1= 2 merupakan
kebenaran yang tidak memerlukan pembuktian empiris. Terlepas apapun
perasaan serta keadaan emosional kita, maka penjumlahan itu akan
menghasilkan nominal yang sama, disepakati.

Setiap manusia memiliki naluri untuk condong pada kebaikan dan


membenci keburukan dan kebaikan bawaan manusia yang terbesar adalah
fitrah untuk bertauhid. Contoh lainnya, meski seluruh kota, atau negara,
seluruh manusia di dunia menetapkan bahwa gay dan lesbi adalah legal dan
sah, maka tetap saja manusia akan merasa bersalah dan menganggap hal itu
adalah keburukan. Ini semua berasal dari dalam hati yang telah ditetapkan
fitrahnya. Kemudian jika ada suatu negara yang membolehkan untuk
membunuh seorang anak kecil berusia 3 tahun dan menetapkan hal itu
bukanlah pelanggaran hukum menurut undang-undang setempat, maka
tetaplah nurani manusia akan mengatakan hal itu salah dan buruk. Kembali
kepada penambahan, jika seluruh ilmuwan sepakat bahwa 1+1= 3, maka ini
tetaplah akan dipandang sebagai kesalahan berdasarkan nalar sederhana
dan alur berpikir yang lurus. Dan jika seluruh manusia di bumi sepakat untuk
menjadi ateis, maka di saat itu pula manusia bahwa mereka telah keliru.
Tidak ada yang bisa menjelaskan dari mana manusia mengenal baik dan
buruk dari dalam hatinya dalam bingkai objektivitas.

Meski standar baik dan buruk setiap suku, kota, negara, atau
peradaban itu berbeda, namun jika mereka berkumpul di dalam satu unit
sosial, mereka akan menyepakati bahwa membunuh ayah dan ibu kandung
sendiri adalah salah. Meski di beberapa negeri tindakan seperti itu
merajalela sekalipun, namun di benak-benak mereka hal itu merupakan
kesalahan dan bertentangan dengan kebaikan. Objektivitas moralitas ini,
yakni kebaikan dan keburukan yang disepakati di antara kalbu-kalbu
manusia menandakan adanya Allah Azza wa Jalla, dan Allah telah
menetapkan nilai-nilai moral objektivitas ini dan di atas semua itu, Allah
telah menetapkan fitrah manusia untuk mengenal, meyakini, dan
menyembah-Nya. Konvensi sosial serta peruabahan gradual biologis melalui
teori evolusi tidak akan dapat menjelaskan bagaimana objektivitas moral
ada pada setiap manusia. Jika moral berevolusi sebagaimana evolusi biologis
dalam anggapan evolusionis, maka faktanya kebaikan dan keburukan
tetaplah sama sejak dahulu kala. Jika objektivitas moralitas ini adalah hasil
dari proses sosial, maka sosial itu adalah sesuatu yang berubah, namun kita
masih dapati objektivitas moral itu tetap hingga hari ini.

Nilai moralitas itu objektif. Jika seorang ateis misalnya menolak


objektivitas moral ini maka menurut Hamzah Tzortzis[1], para ateis
seharusnya tidak perlu membenci Hitler, mencaci maki ISIS, menyesalkan
kebijakan Korea Utara, menyayangkan penembakan di sekolah-sekolah di
AS, dan mengutuk para pelaku 9/11 pada tahun 2001. Sebab, konsekuensi
menolak objektivitas moral adalah meyakini subjektivitas moral, dimana apa
yang ia anggap salah belum tentu salah bagi lainnya. Artinya ketika ia
menganggap Hitler itu keji maka ia juga harus menerima jika ada yang
menganggap Hitler telah benar dalam tindakannya. Jika ia menilai
membunuh anak kecil tak berdosa adalah kejam maka ia harus menerima
lapang dada jika ada orang lain yang menilai sebaliknya. semua relatif dan
tidak ada yang pasti. Tentunya ini sesuatu yang tidak mungkin dicapai
melainkan impian-impian insan-insan postmodernisme. Objektivitas dalam
moralitas adalah bukti bahwa Allah telah memberikan fitrah kepada
manusia sejak awal untuk condong kepada kebaikan dan cenderung
mencintai hal-hal yang memberinya manfaat seperti wanita, anak, harta
berupa perhiasan termasuk uang, hewan ternak, dan lading sawah.

Kesimpulannya, membunuh seorang bayi yang baru lahir dengan


sengaja, bersenggama dengan sesama jenis, menjunjung Hitler, terjun ke api
yang menyala dengan sengaja, dan yang paling utama, menafikkan
eksistensi Sang Pencipta Yang Maha Esa merupakan keburukan, kesalahan,
kekeliruan, dan kesesatan yang disepakati oleh seluruh manusia di segala
zaman dan di segala penjuru benua meski dalam lisannya dan tindakannya
ia memperjuangkan paham ateismenya. Objektivitas moral yang berjalan
dalam dirinya tidak akan pernah hilang seluruhnya.

Pelaku syirik di Makkah pra-Islam pun ketika ditanya siapakah Rabb mereka,
jawaban mereka adalah “Allah.”

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang


menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka
bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” [QS.
Az-Zukhruf : 87].
Kemudian jika ditanyakan, lantas mengapa ada manusia yang
menyimpang dari fitrah ini, baik objektivitas moral maupun fitrah
bertauhid? Jawabannya adalah faktor keluarga, lingkungan, sosial dan
faktor-faktor eksternal lainnya sebagai sebab dari Kehendak-Nya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Setiap bayi dilahirkan di


atas dasar fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi,
Nasrani, atau Majusi [HR. Al Bukhari dan Muslim].

Setiap manusia, yang berarti konsekuensi logisnya, setiap umat sekaligus


peradabannya di kurun waktu manapu mereka hidup dan di belahan dunia
manapun mereka menetap, maka pada dasarnya mereka berada di atas fitrah
yang lurus. Penyimpangan dan kesesatan dalam akidah baru muncul setelah
berjalannya waktu.
Allah berfirman, “Aku ciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan lurus
bersih, maka setanlah yang memalingkan mereka.” [HR. Muslim dan
Ahmad].
Dr Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, semoga Allah menambah kemulian
beliau, mengatakan bahwa seandainya seorang manusia diasingkan dan
dibiarkan fitrahnya, pasti ia akan mengarah kepada tauhid dan menerima
dakwah yang dibawa oleh para rasul, yang disebutkan oleh kitab-kitab suci
dan ditunjukkan oleh alam[2].Jika seseorang itu hidup di sebuah pulau
seorang diri dan terasing dari pengaruh dunia luar, maka semakin ia tumbuh
besar maka fitrahnya akan condong kepada tauhid. Ia akan meyakini bahwa
Sang Pencipta adalah satu dan ia berada di atas. Orang tersebut tidak lantas
menghampiri batu besar atau pohon menjulang tinggi kemudian bersujud
dan meminta kepada keduanya. Tidak juga ia meminta kepada danau besar
atau kepada bulan bintang dan matahari. Itu semua bukanlah fitrah manusia
yang Allah tetapkan dalam keadaan lurus. Akan tetapi kemudian lingkungan,
termasuk keluarga, mempengaruhi perkembangan akidah seseorang hingga
kemudian ia menjadi pemeluk agama-agama atau kepercayaan tertentu. Ini
bertolak belakang dengan teori E.B. Tylor dan Herbert Spencer bahwa
manusia pada awalnya di tahap keprimitifannya menyembah benda-benda
alam, ruh, dan tuhan-tuhan yang banyak sebelum di kemudian hari akhirnya
mereka “menemukan” konsep monoteisme.

Sebagaimana kisah seorang laki-laki yang berada di pulau dan


melakukan kontak dari rombongan yang sedang terhempas oleh cuaca
buruk sehingga membawa kapal dan penumpangnya tersebut ke sebuah
pulau di tengah lautan.

Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan dalam kitab At-


Tawwaabun, dari Abdul Wahid bin Zaid, beliau berkata:

“Kami pernah berlayar di atas sebuah kapal. Lalu angin laut menghempaskan
kami ke sebuah pulau. Kemudian kami turun. Tiba tiba ada seseorang yang
sedang beribadah kepada sebuah patung. Kami pun menemuinya dan berkata
kepadanya, ‘Wahai pemuda, siapakah yang sedang kamu sembah?’ Lalu dia
menunjuk kepada sebuah patung berhala.

Kami pun mengatakan, ‘Ada di antara kami penumpang kapal yang


menyembah tuhan seperti itu. Namun ini bukan tuhan yang boleh disembah.’

Dia pun berkata, ‘Kalau kalian, siapa yang kalian sembah?’


Kami menjawab, ‘Kami menyembah Allah.’

Dia menjawab, ‘Apa itu Allah?’

Kami mengatakan, ‘Allah adalah yang Arsy-Nya ada di langit, Dia


menguasai bumi dan ketetapan-Nya berlaku bagi makhluk, baik yg hidup
ataupun yang mati.’

‘Lalu bagaimana Dia memberitahu kalian akan hal itu?’ Tanya dia.

Kami menjawab, ‘Rabb Yang Maha Merajai lagi Maha Agung, Maha
Pencipta yang Mulia menganugerahkan kepada kami seorang Rasul yang
mulia, dan Rasul itulah yang mengabarkan kepada kami.’

‘Lalu apa yang dilakukan Rasul tersebut?’ Tanyanya.

Kami menjawab, ‘Menyampaikan risalah (ajaran Allah). Lalu Allah


mewafatkannya.’

‘Apakah dia meninggalkan sebuah tanda untuk kalian?’ Tanyanya.

‘Ya.’ Jawab kami.

‘Apa yang dia tinggalkan?’ Tanyanya lagi.

Kami menjawab, ‘Beliau meninggalkan untuk kami sebuah kita suci dari
Rabb Yang Maha Memiliki.’

‘Tunjukkan kepadaku kitab dari Rabb kalian itu.’ Pintanya. ‘Biasanya kitab-
kitab nya para Raja itu bagus-bagus.’ Timpalnya lagi.

Lalu kami memberikan kepadanya mushaf Al-Qur’an.

Dia berkata, ‘Aku tidak tahu apa ini.’

Lalu kami membacakan kepadanya sebuah surat dari Al-Qur’an. Ketika kami
sedang membacanya tiba tiba dia menangis dan terus menangis sampai kami
selesai membaca hingga akhir surat.

Dia berkata, ‘Pemilik perkataan ini seharusnya tidak boleh ditentang dan
dimaksiati.’

Kemudian dia masuk Islam lalu kami mengajarkan syariat-syariat Islam dan
surat-surat dari Al-Qur’an.
Lalu kami pun membawanya ke atas kapal kami untuk melakukan pelayaran
lagi. Ketika kami sedang dalam pelayaran dan malam yang gelap telah
menyelimuti dan kami telah bersiap-siap untuk tidur, dia berkata, ‘Wahai
kaum, Sesembahan yang kalian tunjukkan kepadaku apakah Dia tidur ketika
gelap di malam hari?’

Kami menjawab, ‘Tidak wahai hamba Allah. Dia Maha Hidup Maha
bersendiri dan maha Agung yang tidak pernah tidur.’

Dia mengatakan, ‘Kalau begitu kalian adalah hamba-hamba yang buruk.


Kalian tidur dalam keadaan Sesembahan kalian tidak tidur.’

Lalu dia pun beribadah dan meninggalkan kami tidur.Ketika kami sudah tiba
di negeri kami maka aku berkata kepada teman-temanku, ‘Ini adalah orang
yang baru masuk Islam dan orang yang asing di negeri kita.’

Lalu kami mengumpulkan dinar dan dirham untuknya dan kami berikan
kepadanya. Dia berkata ‘Untuk apa ini?’

Kami berkata, ‘Ini adalah harta yang dapat engkau gunakan untuk memenuhi
kebutuhanmu.’

Dia menjawab, ‘Laa ilaha illallah, dahulu aku tinggal di sebuah pulau di
tengah lautan dan menyembah selain-Nya namun Dia tidak membuat
hidupku sengsara. Apakah Allah akan membuat hidupku menjadi sengsara
setelah aku mengenal-Nya!?’

Lalu dia pergi dan mencari nafkah untuk dirinya sendiri. Setelah itu dia
menjadi orang shaleh yang terkenal sampai dia wafat.[3]’”

Laki-laki di pulau itu pada awalnya berada pada fitrah Islam-nya ketika
terlahir sebelum kemudian ia mendapat pengaruh dari lingkungannya
mengenai konsepsesembahan. Penyembahan berhala itu sendiri bukanlah
fitrah laki-laki itu jika memang benar pulau tempatnya bermukin belum
melakukan kontak dengan dunia luar. Indikasi hal ini adalah ketika salah satu
penumpang kapal berkata kepada laki-laki di pulau itu:

Ada di antara kami penumpang kapal yang menyembah tuhan seperti


itu. Namun ini bukan tuhan yang boleh disembah.

Adanya kesamaan sesembahan antara laki-laki di pulau tersebut


dengan penumpang kapal menunjukkan adanya keyakinan yang meluas
yang melampaui pulau itu. Namun demikian, fitrah manusia memang
condong kepada kebenaran sehingga laki-laki itu mudah menerima ajaran
tauhid setelah terisolir dari peradaban luar sekaligus menunjukkan bahwa
kesyirikan yang membelokkan fitrah manusia itu berasal dari faktor
lingkungan sekitar (peer pressure), termasuk lingkungan terdekat seperti
keluarga, sebagaimana hadis yang menyebutkan bahwa orang-tua dapat
menggiring seorang anak kepada agama Yahudi, Nasrani, dan Majusi.

Untuk mengembalikan manusia kepada fitrah lurusnya, para Rasul


diutus Allah kepada setiap umat dengan membawa dakwah tauhid. Tidak
seperti teori non-monoteisme yang mengatakan manusia pada awalnya
musyrik, atau seperti teori monoteisme yang mengatakan manusia selalu
dalam proses degenerasi dan degradasi spiritual secara mutlak, ketika
manusia menyimpang dari tauhid seiring bergantinya zaman, selalu ada
Rasul yang memberi peringatan dan menyeru kepada tauhid. Ketika kembali
menyimpang, diutus kembali pemberi peringatan sebelum datang azab.
Hingga kemudian diutuslah Muhammad shallallahu alaihi wasallam dengan
membawa petunjuk dan panduan yang paripurna. Setelah masa keemasan
manusia itu, zaman kembali bergulir dan hingga pada hari ini tauhid semakin
asing.

Setiap umat pasti memiliki Rasul yang membawa hujjah dan


peringatan serta kabar gembira. Pada setiap umat itu berbeda dalam syariat
namun esensinya sama, yakni tauhid. Allah berfirman,

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu,


melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada Ilah (yang haq)
melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian.” (Al-Anbiya: 25)

Perbedaan syari’at seperti tatacara shalat, ketentuan ukuran ibadah


seperti zakat, puasa dan waktunya, arah kiblat, dan tatacara haji, tidaklah
mengubah esensi ajaran inti para Nabi, yakni tauhid. Bekas-bekas tata cara
beribadah Yahudi kuno masih dapat kita saksikan pada hari ini yang
notabene dipraktekan oleh golongan Yahudi ultra-ortodoks. Mereka bersujud,
bersedekap, berdiri menghadap kiblat orang Yahudi, dan ruku. Kita
menyaksikan juga tata cara ibadah penganut Kristen Ortodoks Suriah.
Mereka memiliki ritual harian sebagaimana Yahudi Ortodoks. Tatacara taat
kepada Allah dan syariat berbeda-beda antara seorang rasul dengan rasul
lainnya. Adapun agama mereka tetap satu, yaitu Islam. Dasar tauhid yang
mereka serukan adalah baku, tidak pernah berubah antara seorang rasul
dengan rasul lainnya, antara satu masa dengan masa lainnya. Hal ini tidak
berarti praktek ibadah agama selain Islam pada hari ini adalah benar. Islam
adalah satu-satunya agama yang diterima di sisi Allah. Akan tetapi bekas-
bekas peribadatan ahlu kitab menunjukkan indikasi historis kepada kita
bahwa syariat di antara agama Samawi itu berbeda dan terkadang ada
sepintas kesamaan dalam segelintir hal.

“Untuk tiap-tiap umat di antara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang
terang.” (Al-Ma`idah: 48)

Imam Qatadah berkata dalam menafsirkan ayat syir’atan wa


minhajan [syariat dan jalan/manhaj-manhaj] adalah jalan dan metode sunnah.
Sunnah mereka berbeda-beda. Taurat memiliki sunnah sendiri, Injil memiliki
sunnah sendiri, Al-Qur`an juga memiliki sunnah sendiri. Allah menghalalkan
padanya apa yang Dia inginkan dan mengharamkan apa yang Dia inginkan
sebagai cobaan. Umat Yahudi mengikuti sunnah Nabi Musa. Umat Nasrani
mengikuti sunnah Nabi Isa. Umat Islam mengikuti sunnah Rasulullah.

Rasulullah bersabda, “Para nabi itu saudara seayah, ibu-ibu mereka berbeda
dan agama mereka adalah satu.” (Muttafaq ‘alaihi dari hadits sahabat Abu
Hurairah)

Al-Munawi berkata dalam Al-Faidhul Qadir (3/62): “Yaitu pokok


agama mereka satu yakni tauhid, dan cabang syariat mereka berbeda-beda.
Tujuan diutusnya para nabi yaitu membimbing seluruh makhluk diserupakan
dengan ayah yang satu, sedangkan syariat mereka yang berbeda bentuk dan
tingkatannya diserupakan dengan para ibu.

Al-Qadhi berkata bahwa tujuan utama dari sebab diutusnya mereka


semua adalah mengajak seluruh makhluk untuk mengenal kebenaran dan
membimbing mereka menuju sesuatu yang mengatur kehidupan dunianya,
serta memperbaiki hari di saat mereka kembali. Mereka sama dalam pokok
ajaran ini, meskipun berbeda-beda dalam cabang-cabang syariat. Allah
berfirman,

“Dan Kami tidak mengutusmu melainkan kepada umat manusia


seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Saba`: 28).

Untuk mengembalikan seluruh manusia kepada fitrahnya, kepada


agama Nabi Ibrahim dan agama nenek moyang manusia, Nabi Adam dan
Nabi Nuh, Allah mengutus Rasulullah kepada seluruh manusia, apakah di
Sabiin, Majusi, Yahudi, Nasrani, baik itu di ujung benua Amerika hingga di
ujung Benua Afrika.

Rasulullah bersabda, “Dan adalah nabi terdahulu diutus kepada


kaumnya secara khusus, sedangkan aku diutus kepada seluruh manusia.”
(Muttafaq ‘alaihi dari hadits sahabat Jabir).

Sementara itu syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Telah diketahui


secara pasti dari agama Rasul dan telah disepakati umat ini bahwa pokok
ajaran Islam, dan hal yang pertama kali diperintahkan kepada seseorang
adalah: syahadat La Ilaha illallah dan Muhammadur Rasulullah.”

Anda mungkin juga menyukai