Puisi berjudul Takut 66, Takut 98 karya Chairil Anwar bertemakan tentang keadaan
sosial pada zaman tersebut. Pernyataan ini didukung dengan fakta bahwa puisi tersebut lahir
pada tahun 1998. Namun, kesederhanaan gaya penulisan yang digunakan oleh Chairil Anwar
dalam menciptakan puisi Takut 66, Takut 98 membuat karya sastra ini tidak tampak seperti
puisi pada periode sebelumnya. Jika dilihat lebih jauh, gaya penulisan puisi pada
perkembangan sastra Indonesia sebelumnya terlihat perbedaan yang signifikan. Angkatan
Chairil Anwar atau Angkatan 45 menjadi pelopor gaya tulisan yang lebih bebas dengan tidak
terlalu menggunakan bahasa arkais seperti gurindam, hikayat, dan syair.
Gaya penulisan yang diterapkan oleh Chairil Anwar sempat mendapat kritikan dari
Angkatan Pujangga Baru. Hal itu karena Angkatan Pujangga Baru memiliki pakem-pakem
tertentu dalam menulis puisi, seperti bersajak a-b-a-b, terdiri dari delapan hingga dua belas
suku kata, dan lain-lain. Namun, Chairil Anwar mengesampingkan pakem-pakem tersebut,
yang kemudian memunculkan tren baru dalam penulisan puisi, yaitu puisi modern. Pakem-
pakem yang digunakan oleh Angkatan Pujangga baru, hingga kini masih diajarkan kepada
siswa-siswa di sekolah sehingga terdoktrin bahwa puisi harus memiliki rima. Dengan kata
lain, puisi Takut 66, Takut 98 kehilangan estetika dalam aspek keindahan berdasarkan
kacamata seorang siswa karena terlalu menggunakan yang bahasa sederhana. Selain itu, tidak
adanya rima dalam satu bait tersebut.