Anda di halaman 1dari 4

Kesenian Ebeg : Seni Tari Kuda lumping dari Kebumen

Kesenian kuda lumping atau jaran kepang mungkin sudah sering kita dengar, atau bahkan
pernah menyaksikan. Bagi yang hidup di jawa tengah, kesenian kuda lumping dalam setiap
pementasannya selalu menarik banyak penonton karena hiburan yang ditampilkan.

Di tempat tinggal saya di kota Kebumen, sebuah kabupaten di pesisir selatan pulau jawa,
pertunjukan kesenian kuda lumping lebih dikenal dengan pertunjukan ebleg atau ebeg jika di
daerah saya tinggal. Pada tahun 2008, Kebumen bahkan memecahkan rekor MURI dengan
Kuda lumping terbesar di Indonesia.

Kini pertunjukan jaran kepang atau ebeg memang jarang kita temui. padahal dulu ketika
saya kecil, pertunjukan ebeg masih cukup sering tampil mengisi acara hajatan-hajatan di
kampung. Dan setiap ada pertunjukan ebeg, pasti banyak penonton yang menyaksikannya,
bahkan penonton juga datang dari desa lain.

Ebeg adalah kesenian tari yang dimainkan dengan menggunakan kuda tiruan yang terbuat
dari anyaman bambu. Ebeg biasanya diiringi dengan alat musik yang terdiri dari kendang,
gamelan pelog, gong, kenong, dan terompet khas kuda lumping.

Dalam setiap pertunjukan ebeg, ada beberapa karakter yang biasanya ditampilkan,
diantaranya seperti para penari yang menunggang kuda lumping dengan warna hitam putih,
konon ini adalah simbol pasukan berkuda mataram yang gagah berani. Selain itu adapula
barongan sebagai simbol Sultan Agung yang terkenal dengan julukan Singa Mataram dan
penthul sebagai simbol penasihat raja sekaligus penasehat peperangan.

Dalam rombongan ebeg, selain penari ebeg, barongan dan penthul, adapula penabuh
gamelan dan penimbul ebeg. Penimbul ebeg adalah pawang yang bertugas memanggil dan
memulangkan arwah dan penanggung jawab pertunjukan Ebeg. Penimbul ebeg
menggunakan sajen (sesaji) sebagai sarana atau media untuk memanggil roh para leluhur.
Sesajen biasanya berupa bunga, kemenyan, kelapa muda dan lain-lain. Penimbul Ebeg juga
harus mampu dalam mengendalikan dan mengembalikan kesadaran para pemain yang
kerasukan.

Gerakan seni tari dalam ebeg atau jaran kepang yang dinamis dan agresif menggambarkan
gerakan pasukan kavaleri berkuda kerajaan Mataram yang berada ditengah medan
peperangan. Salah satu hal yang menarik bagi penonton untuk datang menyaksikan
pertunjukan ebeg adalah adanya atraksi kekuatan magis yang ditampilkan para penari ebeg.

Pada awal pertunjukan, para penari akan unjuk kebolehan menari dengan mengikuti alunan
irama gending. Namun menjelang puncak tarian, para penari akan mempercepat tariannya
dan kemudian mulai bertingkah aneh seperti kejang dan tarian mulai tidak beraturan dan
tidak terkontrol.
Pada saat seperti ini, mereka telah kehilangan kesadarannya. Mereka telah kerasukan
arwah-arwah yang dipanggil penimbul. Mereka juga tidak sadar sama sekali sehingga tidak
mengingat apa yang dilakukan.

Semakin banyak arwah yang datang dan merasuki para penari, suasana akan menjadi
semakin kacau dan tidak terkendali. Bahkan adakalanya kerasukan juga bisa menimpa
penonton yang menyaksikan. Pada saat seperti ini tugas penimbul Ebeg akan menjadi
semakin berat, namun justru inilah yang menjadi puncak kemeriahan pertunjukan ebeg.
Para penari yang kerasukan ini biasa disebut dengan istilah mendem.

Pada saat mendem, para penari juga akan melakukan atraksi-atraksi di luar nalar seperti
berjalan diatas pecahan beling dan bara api, makan kaca dan bara api, disayat pisau,
dibacok dengan golok dan lain-lain. Ketika pertunjukan Ebeg telah usai, penimbul akan
menyadarkan para penari yang kerasukan dan memulangkan arwah-arwah kembali ke
tempat dimana mereka tinggal.

Kekuatan mistis memang menjadi daya tarik kesenian ebeg ini. Meski demikian hal seperti
inilah yang dirasa sebagian penonton menjadikan seni ebeg unik dan berbeda dengan seni
pertunjukan yang lain.

Kini, kesenian ebeg khususnya di Kabupaten Kebumen memang masih hidup dan
dilestarikan di pelosok-pelosok desa. Namun sebagai warisan budaya nenek moyang, sudah
menjadi keharusan bagi kita sebagai generasi penerus untuk ikut menjaga dan
melestarikannya.
Informasi budaya tentang kesenian Ebeg. Kesenian ebeg adalah kesenian rakyat yang
memang mirip dengan jaran kepang atau kuda lumping atau jathilan. Kesenian ebeg
atau kuda lumping adalah kekayaan budaya Indonesia terutama untuk masyarakat di
Jawa, yiatu Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kuda lumping atau ebeg adalah seni tari
yang dimainkan dengan properti berupa kuda tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu
atau kepang. Tidak satupun catatan sejarah yang mampu dengan tepat untuk
menjelaskan asal mula ebeg atau asal usul kuda lumping ini, hanya riwayat verbal yang
diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Antara hidup segan mati tak mau
Ebeg adalah salah satu kesenian tradisional yang gaungnya sudah tidak lagi nyaring
terdengar. Namun di beberapa tempat seperti di Desa Kalirancang kecamatan Alian,
kabupaten Kebumen, Jawa Tengah dan di desa lain, masih ada mayarakat Kebumen
yang peduli dan melestarikan seni tarian rakyat ini. Grup kesenian ebeg yang bertahan
dan tetap setia menghibur penggemarnya. Ebeg sangat kental dengan alam gaib.
Sebuah bagian yang penting yang membuat kesenian ebeg ini bisa bertahan.
Bagi sebagian masyarakat Kebumen dan kota lain di Jawa Tengah, kesenian ebeg ini
sangat terkenal dan setiap pementasannya selalu menarik banyak penonton. Biasanya
mereka tampil dalam acara-acara seperti sedekah bumi, dan acara memperingati
kemerdekaan Republik Indonesia. Ada juga yang mengundang kelompok kesenian
ebeg ini di acara hajatan. Sekali pentas mereka mendapat bayaran antara satu hingga
satu setengah juta rupiah. Tidak terlalu mahal, untuk menyemarakkan hajatan di
kampung-kampung. Kesenian ebeg (kuda lumping) ini kabarnya sudah ada sejak jaman
Pangeran Diponegoro, sekitar abad ke 18, atau ada juga yang mriwayatkan sudah ada
sejak jaman Raden Patah di Demak. Para pemain Ebeg begitu bangga disebut pasukan
penunggang kuda, kendati kuda yang mereka tunggangi hanya terbuat dari anyaman
bambu. Satu grup ebeg biasanya terdiri dari dua puluh orang. Selain ketua
rombonganEbeg, ada pemain, penabuh gamelan dan penimbul ebeg. Yang menarik
adalah penimbul (atau dukun Ebeg), dialah yang bertugas memanggil dan
memulangkan arwah atau indang, dan menjadi penanggung jawab proses pertunjukan
Ebeg. Penimbul Ebeg juga harus pandai mengendalikan para pemain yang sudah
kerasukan hebat. Selain itu, dia juga harus bisa melindungi seluruh anggota tim dan
penonton, bila ada seseorang yang jahil sengaja mengacaukan pertunjukan Ebeg atau
sekedar menjajal ilmu-nya. Bila terjadi, biasanya sang penari tidak mampu bergerak.
Oleh karena itu, penimbul atau dukun Ebeg ini benar benar harus orang yang memiliki
ilmu yang mumpuni untuk memanggil roh.
Ebeg adalah pestanya para arwah atau indang, sehingga indang selalu meminta
suguhan layaknya manusia. Asap kemenyan yang diumpamakan sebagai nasi dan
bunga sebagai sayuran. Berbeda dengan mantra jaelangkung yang datang tak diundang
pulang tak diantar. Maka indang, pulang harus diantar. Ada puluhan gending yang
biasanya mengiringi pertunjukan ebeg. Empat diantaranya sangat berpengaruh
mengundang indang. Mereka adalah cempo, eling eling, kembang jeruk dan ricik-ricik.
Para penikmat dan pemerhati kesenian ebeg / kuda lumping biasanya sudah memahami
benar, apabila salah satu dari keempat gending itu dimainkan, maka sudah pasti para
indang akan segera datang dan merasuki para penari. Sulit mempercayainya, tetapi
itulah fakta yang ada bahwa sisi mistis dan aura magic Ebeg dan kuda lumping selalu
ada di setiap pertunjukan Ebeg digelar. Itulah ebeg, kesenian kita yang khas dan
mengakar, dimana estetika dan alam gaib tidak bisa dipisahkan. Sebelum Ebeg/kuda
lumping digelar, penimbul dan ketua grup memasang pagar gaib di setiap sudut
halaman dengan menebar bunga. Baik penimbul dan ketua indang harus membuat
semacam perjanjian dengan indang. Kapan pertunjukan dimulai dan kapan harus
berakhir. Mereka tidak berani mengingkari, karena bila batas waktu pertunjukan
dilampaui, indang bisa saja nyasar kemana mana dan bisa menimbulkan malapetaka
atau cidera baik para pemain maupun penonton di sekitar lokasi pertunjukan Ebeg.
Para pemain masih dalam tingkat
kesadaran yang penuh. Mereka mempertontonkan kebolehannya menari. Hingga tiba
saatnya janturan, yakni puncak dari pertunjukan Ebeg. Gending mulai berubah menjadi
gending eling-eling, dengan tempo yang cepat. Para penari mempercepat tarianya
mengikuti irama gending. Pengaruh magis semakin terasa, seolah-olah indang berada
di atas melayang- layang. Bau kemenyan menebar kemana-mana dan terasa sangat
menusuk hidung. Mereka yakin indang makin mendekat. Dan sebagian penari mulai
bertingkah aneh, ada yang agak kejang, ada juga yang mulai berjoget tak terkontrol
mengikuti alunan musik Ebeg. Pada saat seperti ini, orang akan kehilangan
kesadarannya. Namun mereka tetap harus segera disadarkan agar tetap bisa menari,
kendati masih dalam pengaruh indang. Namun gerakan sebenarnya sudah mulai
berubah. Patah-patah dan monoton. Menurut sang ketua Ebeg, indang sebenarnya
sudah masuk ke dalam tubuh dan berada di ruas-ruas tulang penari. Semakin banyak
indang atau arwah yang datang diundang, pesta akan semakin meriah, sehingga
biasanya penari bisa kesurupan lebih dari tiga kali. Sering terjadi, penari yang sudah
pulih, kembali hilang kesadarannya. Kalau sudah begini suasana ebeg memang kacau
dan tidak terkendali. Tugas penimbul Ebeg yang menjadi berat. Apabila jumlah indang
yang datang lebih banyak dari penari, maka penonton yang menjadi sasaran. Indang
menggunakan mereka sebagai perantara. masyarakat di Kenumen menyebutnya
dengan istilah mendem, kerasukan, kesurupan, atau kepranjingan. Ada juga orang yang
sengaja ingin mendem. Ketua rombongan atau penimbul Ebeg, akan memberikannya.
Ia memang meminta indang merasukinya, sehingga penonton spontan akan pandai
menari. Penonton yang sedang mendem atau kesurupan bisa juga menularkanya
kepada temannya. Caranya dengan menyemburkan air kembang atau memandang lalu
menjejakkan kakinya ke tanah sebanyak tiga kali.
Ketika pertunjukan Ebeg usai, penimbul harus menepati janji untuk memulangkan
arwah kembali ke tempat dimana mereka bermukim. Kalau sudah begini, biasanya
penimbul yang akan mengambil peran. Ia mengucapkan kata-kata yang ditakuti oleh
indang. Indang seharusnya dipulangkan dengan membuat dupa dan kemenyan, namun
cara ini sangat merepotkan. Penimbul memilih cara lain, yakni memasukkannya ke
dalam kendang, lalu dipulangkan secara bersamaan di halaman rumah yang punya
hajat/tempat pertunjukan Ebeg. Kekuatan mistis memang menjadi daya tarik ebeg ini.
Kebudayaan pop dan moderenisasi membuat kesenian ini menjadi tidak menarik lagi
bagi sebagian orang yang tinggal di kota besar maupun generasi muda yang sudah
tidak peduli dengan budaya nenek moyang. Namun di pedesaan di Kabupaten
Kebumen, kesenian ebeg masih hidup, eksis, tetap ada, dan menjadi aset budaya
Kebumen. Demikian informasi budaya tentang kesenian Ebeg dan cerita tentang Ebeg,
semoga bermanfaat. (/Setra)

Anda mungkin juga menyukai