Anda di halaman 1dari 15

Ludruk adalah suatu kesenian drama tradisional dari Jawa Timur.

Ludruk merupakan suatu drama


tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang dipergelarkan di sebuah panggung
dengan mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan, dan sebagainya
yang diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai music

Dialog/monolog dalam ludruk bersifat menghibur dan membuat penontonnya tertawa, menggunakan
bahasa khas Surabaya, meski kadang-kadang ada bintang tamu dari daerah lain
seperti Jombang, Malang, Madura, Madiun dengan logat yang berbeda. Bahasa lugas yang
digunakan pada ludruk, membuat dia mudah diserap oleh kalangan nonintelek (tukang becak,
peronda, sopir angkutan umum, dan lain-lain).[4]
Sebuah pementasan ludruk biasa dimulai dengan Tari Remo dan diselingi dengan pementasan
seorang tokoh yang memerankan "Pak Sakera", seorang jagoan Madura.
Kartolo adalah seorang pelawak ludruk legendaris asal Surabaya, Jawa Timur. Ia sudah lebih dari
40 tahun hidup dalam dunia seni ludruk. Nama Kartolo dan suaranya yang khas, dengan banyolan
yang lugu dan cerdas, dikenal hampir di seluruh Jawa Timur, bahkan hingga Jawa Tengah.[5]
Ludruk berbeda dengan ketoprak dari Jawa Tengah. Cerita ketoprak sering diambil dari kisah
zaman dulu (sejarah maupun dongeng), dan bersifat menyampaikan pesan tertentu. Sementara
ludruk menceritakan cerita hidup sehari-hari (biasanya) kalangan wong cilik.
Pementasan ludruk dulu banyak dilakukan di atas panggung-panggung tradisional. Pementasan
yang dilakukan di dalam gedung memakan waktu 3 - 4 jam dan dipanggung terbuka memakan
waktu 5 - 7 jam. Sedangkan pementasan di televisi hanya berlangsung 30 - 60 menit. Suatu
pementasan ludruk terdiri dari tari ngremo, lawakan, kidungan, bedayan dan lakon cerita. Bahasa
yang digunakan ialah bahasa Jawa Suroboyoan (bahasa Jawa cara Surabaya). Di daerah timur
Jawa seperti Jember dan Lumajang, lebih banyak menggunakan bahasa Madura. Penggunaan
bahasa Jawa atau Madura juga disesuaikan denga lakon yang dipentaskan. Sedangkan
pementasan ludruk di Jepara oleh Ludruk PTPN menggunakan bahasa Jawa Timuran yang lebih
halus.

Tari ngremo gaya putra dan gaya putri merupakan pembukaan suatu pementasan ludruk. Tarian
ini berupa gerakan yang indah dan menggambarkan seorang yang gagah dan tampan dengan tat
arias wajah dan busana yang menarik. Penampilan tari ngremo diiringi gamelan yang sesuai.
Untuk pementasan ludruk cara Malang, ditambahkan dengan tarian Beskalan Putri.

Lawakan atau dagelan dilakukan oleh dua, tiga atau lima pelawak, baik dalam peran laki laki
semua atau peran wanita. Adegan lawak diawali dengan seorang pelawak yang menampilkan
kidungan, kemudian disusul beberapa pelawak lain. Setelah itu mereka berdialog dengan materi
humor yang lucu. Lawakan diwujudkan dalam bentuk perpaduan kata dan gerakan pelawak yang
menarik dan humoris. Hal ini ditunjang dengan busana yang dikenakan.
Kidungan dilakukan oleh beberapa lelaki yang berdandan seperti wanita. Kidungan diiringi
gamelan yang sesuai dengan tarian yang dilakukan oleh orang yang ngidung. Dandanannya
cenderung berlebihan untuk menunjukkan segi keindahan secara menonjol, baik yang dilakukan
oleh travesty maupun wanita asli. Kidungan diambil dari pantun atau syair dengan tema
kehidupan sehari hari.

Bedayan menampilkan beberapa travesty (sedikitnya lima orang) yang berjoget ringan sambil
melantunkan kidungan jula juli. Pada pementasan ludruk di Jepara, Jawa Tengah tidak ada
bagian bedayan. Pementasan diawali dengan tari remong, disusul tari putri, diisi oleh pelawak,
baru cerita utama dimana didalamnya juga terdapat banyolan (lawakan).

Lakon atau cerita terbagi dalam beberapa babak, serta diselingi dengan kidungan. Dalam bagian
ini dapat dilihat bagaimana acting, suara, gaya bicara, tata panggung dan gaya busana dalam
perannya untuk mengikuti alur cerita. Tata panggungnya dapat berupa situasi rumah tangga,
pegunungan, kuburan untuk cerita horror, alam pedesaan dan resepsi pernikahan. Panggung
berupa geber (kain ukuran besar yang dipasang berdiri) dengan dekorasi perabotan rumah untuk
situasi rumah tangga.

Cerita pakem yang ditampilkan bersumber dari dongeng, kehidupan sehari hari, cerita hiburan,
cerita yang diadaptasi dari novel dan cerita mengenai kepahlawanan jaman Belanda. Cerita yang
bersumber dari dongeng seperti Ciung Wanara, Damar Wulan, Lutung Kasarung, Pangeran
Diponegoro, Sawunggaling dan Untung Suropati. Cerita yang bersumber dari kehidupan sehari
hari seperti Dukun Tiban, Lenga Debas Kesturi, Segara Madu dan Sopir Kembar. Cerita hiburan
seperti Lahar Blitar, Peningset, Poniran Edan dan Selor Lanairan Mergosono. Cerita yang
diadaptasi dari novel seperti Alap-Alap Lingawati, Nyai Dasimah, Pendekar Wanita dan Salah
Asuhan. Cerita yang berasal dari kepahlawanan jaman Belanda seperti Pak Sakerah dan Sarib
Tambak Yoso. Selain itu dapat juga menampilkan cerita fantasi seperti cerita horror atau drama
rumah tangga.

Gamelan untuk mengiringi tari ngeremo, kidungan dan bedayan menggunakan gamelan berlaras
slendro, pelog, laras slendro dan pelog. Perangkat gamelan yang sederhana terdiri dari kienengan
gong kecil, yang terdiri dari saron dan demung, peking, penerus, kendang dan gong kecil.
Penabuh gamelan terdiri dari empat orang, dimana masing masing memegang peralatan rangkap.
Ada yang memegang saron dan demung, peking dan penerus. Kendang dan gong kecil masing
masing dipegang oleh satu orang.
Pada tahun 1980an pementasan kesenian ludruk juga direkam diatas kaset kemudian dipasarkan
atau disiarkan melalui radio dengan bantuan sponsor perusahaan. Judul dan temanya amat
beragam. Pada bagian tari ngremo dihilangkan karena penggemar ludruk tidak dapat menikmati
keindahan gerakan tari ngremo, melainkan hanya mendengarkan kidungan gamelan saja. Pada
bagian lawakan dan cerita disisipkan pesan-pesan dari perusahaan sponsor. Dulu hampir semua
stasiun radio menyiarkan ludruk. Sekarang ada beberapa pertunjukan ludruk yang direkam diatas
CD tetapi jumlahnya tidak banyak.

Sumber: dikumpulkan dari berbagai media masa seperti harian Kompas, Jawa Pos, Surabaya Pos
dan sumber lainnya.

Ludruk termasuk jenis teater tradisional Jawa yang lahir dan berkembang di
tengah-tengah rakyat dan bersumber pada spontanitas kehidupan rakyat.
Ludruk disampaikan dengan penampilan dan bahasa yang mudah dicerna
masyarakat. Selain berfungsi sebagai hiburan, seni pertunjukan ini juga
berfungsi sebagai pengungkapan suasana kehidupan masyarakat
pendukungnya. Di samping itu, kesenian ini juga sering dimanfaatkan
sebagai penyaluran kritik sosial.
Hingga sekarangbelam didapat kepastian mengenai tempat asal kelahiran
ludruk. Usaha untuk menentukannya biasanya selalu terbentur pada dua
pendapat yang berbeda. Pendapat pertama mengatakan bahwa kesenian ini
berasal dari Surabaya, sedang pendapat yang ke dua menganggap bahwa
ludruk berasal dari Jombang. Kedua pendapat ini sama-sama kuat
argumentasinya.
Menurut penuturan beberapa narasumber dan kalangan seniman ludruk,
embrio kesenian ludruk pertama kali muncul sekitar tahun 1890. Pemulanya
adalah Gangsar, seorang tokoh yang berasal dan desa Pandan, Jombang.
Gangsar pertama kali mencetuskan kesenian ini dalam bentuk ngamen dan
jogetan. Ia mengembara dan rumah ke rumah. Dalam pengembaraannya ini
Gangsar kemudian melihat seorang lelaki sedang menggendong anaknya
yang sedang menangis. Lelaki itu berpakaian perempuan, dan ini dianggap
Gangsar lucu dan menarik, sehingga dia terdorong menanyakan alasan
pemakaian baju perempuan tersebut. Menurut si lelaki, ia memakai baju
perempuan tersebut untuk mengelabui anaknya, untuk membuat anaknya
merasa bahwa dia digendong oleh ibunya.
Menurut nara sumber ini, peristiwa itulah yang menjadi asal munculnya laki-
laki yang berperan sebagai wanita dalam kesenian ludruk.
Narasumber lain menuturkan bahwa hal terakhir ini bermula dari
pengembaraan seorang pengamen yang bernama Alim.
Seperti halnya Gangsar, dalam pengembaraannya, Alim berjumpa dengan
seorang lelaki yang sedang menghibur anaknya. Laki-laki itu mengenakan
pakaian wanita. Diceriterakan bahwa Alim berasal dari daerah Kriyan yang
kemudian mengembara sampai ke Jombang dan Surabaya.
Dalam pengembaraannya Alim disertai oleh beberapa orang temannya.
Mereka bersama sama memperkenalkan bentuk seni ngamen dan jogetan.
Kemudian kelompok Alim ini mengembangkan bentuk tersebut menjadi
bentuk seni yang berisi parikan dan dialog. Oleh karena tarian yang
dibawakan selalu menghentakkan (gedruk-gedruk) kaki, seni itu kemudian
diberi nama "ludruk".
Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, ludruk dikenal sebagai media
penyalur kritik sosial kepada pemerintah. Kritik sosial ini ditampilkan melalui
parikan (pantun), yang berisi sindiran terselubung, yang disebut besutan.
Oleh karena itu ludruk yang mengandungnya disebut ludruk besutan. Dalam
ludruk besutan yang disamarkan tidak hanya kritik sosial, tetapi juga nama
para pemain seperti Jumino, Ruswini, Singogambar dan sebagainya.
Permainan ludruk besutan tersusun dari tandakan (mena
ri bebas), dagelan (lawak), dan besutan. Dalam ludruk ini belum dikenal
cerita yang utuh. Yang ada hanya dialog yang dikembangkan secara
spontan.
Dari tahun 1922 sampai dengan tahun 1930, ludruk mengalami
perkembangan dengan masuknya secara berangsur-angsur unsur-unsur
cerita di dalamnya.
Perkembangan ini banyak dipengaruhi oleh peredaran film bisu di Indonesia.
Ludruk yang telah memasukkan unsur cerita disebut ludruk sandiwara. Jenis
ludruk ini menampilkan adegan-adegan cerita yang mencerminkan situasi
kehidupan masyarakat dan lingkungannya.
Ludruk sandiwara secara realistis berani mengungkapkan keprihatinan
masyarakat yang sedang terjajah. Di samping itu, bentuk seni ini
mengandung unsur-unsur yang mendorong perjuangan. Kostum ludruk
sendiri terdiri dari warna merah dan putih yang mencerminkan bendera
kebangsaan Indonesia.
Pada zaman Jepang kesenian ludruk berfungsi sebagai media kritik terhadap
pemerintah. Ini tampak terutama dalam ludruk Cak Durasirn yang terkenal
dengan parikan "Pagupon omahe dara, melok Nippon tambah sengsara".
Dengan parikan serupa itu Cak Durasim ternyata berhasil membangkitkan
rasa tidak senang rakyat terhadap Jepang. Cak Durasim akhirnya ditangkap
dan meninggal dalam tahanan Jepang.
Pada zaman Republik Indonesia, seni ludruk masih hidup dan berkembang
sebagai kesenian rakyat tradisional yang berbentuk teater. Hanya saja, kalau
pada masa sebeluninya kesenian ini berfungsi sebagai penyalur kritik sosial,
pada masa yang kemudian fungsinya bergeser menjadi penyampai
kebijaksanaan pemerintah.
Selain itu, ludruk juga digunakan sebagai media promosi barang dagangan
tertentu oleh Sponsor tertentu.
Menurut Sensus Kesenian yang dilakukan oleh Kanwil P dan K Jawa Timur,
sampai tahun 1985 terdapat 58 perkumpulan ludruk dengan 1530 orang
pemain. Jumlah ini dapat dikatakan cukup banyak dan menunjukkan bahwa
minat masyarakat Jawa Timur (Surabaya) terhadap bentuk kesenian ini
masih cukup besar.
Beberapa warga masyarakat yang ditemui dan diwawancarai secara acak,
seperti misalnya pengemudi becak, pegawai sebuah toko fotocopy, masih
dapat menceritakan dengan baik berbagai cerita ludruk, tokoh-tokoh
ceritanya, perkumpulan, serta pemain pemain ludruk yang terkemuka.
Catatan sensus tersebut tidak memberikan gambaran mengenai jenis
perkumpulan ludruk. Darinya tidak dapat diketahui perbedaan atau
persamaan antara jumlah perkumpulan ludruk amatir, semi-profesional dan
profesional.
Untuk dapat mengetahui kehidupan sebuah perkumpulan kesenian ludruk,
sebuah perkumpulan ludruk profesional bemama "Bintang Jaya" dilukiskan
di sini secara etnografis.
Pertunjukan ludruk mempunyai ciri khusus sebagai berikut. Pemain ludruk
semuanya terdiri dari laki-laki, baik untuk peran laki-laki sendiri maupun
untuk peran wanita.
Oleh karena biasa memainkan peran wanita, para pemain ludruk cenderung
terbentuk menjadi kelompok travesti. Bahasa yang digunakan dalam ludruk
adalah bahasa yang mudah dicerna masyarakat, yakni bahasa Jawa logat
Surabaya. Selain itu, sesuai dengan tuntutan cenita, di dalam bentuk seni ini
sering pula digunakan kata-kata Cina, Belanda, Inggris dan Jepang. Selain
dalam hal pemain dan bahasa, kekhasan ludruk juga terdapat dalam
ceritera, dekorasi, kostum dan urutan pementasan.
Cerita ludruk dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni cerita pakem dan
cerita fantasi. Cerita pakem adalah cerita mengenai tokoh-tokoh terkemuka
dari wilayah Jawa Timur, seperti Cak Sakera dan Sarif Tambak Yoso.
Cerita fantasi adalah cerita karangan individu tertentu yang biasanya
berkaitan dengan kehidupan masyarakat sehari hari.
Lakon yang dipentaskan oleh Ludruk Bintang Jaya terdiri dari dua macam,
yaitu lakon pakem dan lakon fantasi. Lakon fantasi meliputi lakon horor,
drama rumah tangga. Lakon ini banyak dipentaskan karena para penonton
cenderung menyenanginya.
Menurut Mamat, penonton Girilaya menyenangi lakon fantasi yang berupa
drama kehidupan rumah-tangga sehari-hari.Cerita dalam ludruk biasanya
diselingi dengan adegan tragedi dan humor.
Dekorasi ludruk amat terbatas. Di antaranya adalah dekorasi interior rumah,
alam pedesaan dan pegunungan, kuburan, dan resepsi perkawinan.
Panggung ditampilkan dengan geber, dekorasi dan peralatan panggung
lainnya seperti meja, kursi tamu, bufet, kursi pengantin, dan sebagainya.
Kostum yang dikenakan disesuaikan dengan tuntutan cerita. Oleh karena itu,
setiap kelompok kesenian ludruk paling sedikit memiliki kostum pakaian
harian, pakaian penganten, seragam tentara dan sebagainya.
Perkumpulan ludruk Bintang Jaya mempunyai kostum sendiri yang dibuat
menurut kreasi majikan. Kostum ini digunakan sesuai dengan cerita yang
ditampilkan. Kostum yang mereka miliki telah cukup lengkap, telah mampu
melayani berbagai lakon-lakon ludruk. Mereka mempunyai kostum prajurit
untuk cerita perjuangan atau lakon pakem, kostum hantu untuk lakon horor,
kostum pengantin untuk cerita drama rumah-tangga.
Selain kostum, Bintang Jaya juga memiliki perangkat gamelan yang
sederhana. Perangkat gamelan mi disebut sengganen, yaitu kienengan gong
kecil yang terdiri saron dan demung, peking, penerus, kendang dan gong
kecil.
Penabuh gamelan terdiri dan empat orang, masing-masing memegang
peralatan rangkap. Ada yang menangani saron dan demung, peking dan
penerus. Kendang dan gong kecil masing-masing dipegang oleh satu orang.
Urutan adegan ludruk mempunyai kekhasan. Pentas biasanya dimulai
dengan ngremo. Kidungan (pembawaan tembang), bedayan (tari-tarian
umum), dan cerita inti, berturut-turut mengikuti adegan ngremo tersebut.
Dalam adegan cerita inti terdapat penggantian babakan yang biasanya
diselingi dengan humor. Bintang Jaya melakukan semua ini. Namun
demikian perkumpulan ini menambahkan pula beberapa hal lain. Salah
satunya adalah kontes pakaian daerah seluruh Nusantara yang dibawakan
oleh para travesti.
Penyutradaraan pertunjukan dilakukan secara longgar dan spontan. Sekitar
satu jam sebelum main, sutradara terlebih dahulu mengumpulkan para
pemain yang ada.
Kemudian ia menjelaskan lakon yang akan dimainkan. Setelah itu satu-
persatu pemain didatangi dan ditunjuk sebagai pemeran tokoh tertentu.
Selanjutnya sutradara memberikan petunjuk niengenai acting dan garis
besar serta pola dialog yang harus dibawakan oleh pemain tersebut. Apabila
waktu tidak mencukupi, adegan tertentu diatur pada waktu adegan
sebelumnya sedang berlangsung. Apabila ada pemain yang semula ditunjuk,
tetapi tidak dapat melaksanakan tugasnya karena berbagai alasan, pemain
itu dapat dengan mudah diganti oleh pemain lainnya.

Mencari asal usul ludruk


Ludruk adalah kesenian drama tradisional dari Jawa Timur. Ludruk merupakan suatu drama tradisional
yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang di gelarkan disebuah panggung dengan mengambil
cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan dan lain sebagainya yang diselingi dengan
lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik. Dialog/monolog dalam ludruk bersifat menghibur
dan membuat penontonnya tertawa, menggunakan bahasa khas Surabaya, meski terkadang ada bintang
tamu dari daerah lain seperti Jombang, Malang, Madura, Madiun, Kediri dengan logat yang berbeda.
Bahasa lugas yang digunakan pada ludruk, membuatnya mudah diserap oleh kalangan non intelek
(tukang becak, peronda, sopir angkotan, dll).
Ludruk juga termasuk jenis teater tradisional Jawa yang lahir dan berkembang di tengah-tengah rakyat
dan bersumber pada spontanitas kehidupan rakyat. Ludruk disampaikan dengan penampilan dan bahasa
yang mudah dicerna masyarakat. Selain berfungsi sebagai hiburan, seni pertunjukan ini juga berfungsi
sebagai pengungkapan suasana kehidupan masyarakat pendukungnya. Di samping itu, kesenian ini juga
sering dimanfaatkan sebagai penyaluran kritik sosial.

Ludruk mempunyai ciri khusus sebagai berikut. Pemain ludruk semuanya terdiri dari laki-laki, baik
untuk peran laki-laki sendiri maupun untuk peran wanita. Oleh karena biasa memainkan peran
wanita, para pemain ludruk cenderung terbentuk menjadi kelompok travesti. Bahasa yang digunakan
dalam ludruk adalah bahasa yang mudah dicerna masyarakat, yakni bahasa Jawa logat Surabaya.
Selain itu, sesuai dengan tuntutan cerita, di dalam bentuk seni ini sering pula digunakan kata-kata
Cina, Belanda, Inggris dan Jepang. Selain dalam hal pemain dan bahasa, kekhasan ludruk juga
terdapat dalam cerita, dekorasi, kostum dan urutan pementasan.
Cerita ludruk dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni cerita pakem dan cerita fantasi. Cerita pakem
adalah cerita mengenai tokoh-tokoh terkemuka dari wilayah Jawa Timur, seperti Cak Sakera dan Sarif
Tambak Yoso. Cerita fantasi adalah cerita karangan individu tertentu yang biasanya berkaitan dengan
kehidupan masyarakat sehari hari.

Hasil penelitian Suripan Sadi Hutomo, menurut kamus javanansch Nederduitssch Woordenboek karya
Gencke dan T Roorda (1847), Ludruk artinya Grappermaker (badutan). Sumber lain menyatakan ludruk
artinya penari wanita dan badhut artinya pelawak di dalam karya WJS Poerwadarminta, Bpe Sastra
(1930). Sedangkan menurut S.Wojowasito (1984) bahwa kata badhut sudah dikenal oleh masyarakat
Jawa Timur sejak tahun 760 masehi di masa kerajaan Kanyuruhan Malang dengan rajanya Gajayana,
seorang seniman tari yang meninggalkan kenangan berupa candi Badhut.

Hingga sekarang belum didapat kepastian mengenai tempat asal kelahiran ludruk. Usaha untuk
menentukannya biasanya selalu terbentur pada dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama
mengatakan bahwa kesenian ini berasal dari Surabaya, sedang pendapat yang ke dua menganggap
bahwa ludruk berasal dari Jombang. Kedua pendapat ini sama-sama kuat argumentasinya.

Menurut penuturan beberapa narasumber dan kalangan seniman ludruk, embrio kesenian ludruk
pertama kali muncul sekitar tahun 1890. Pemulanya adalah Gangsar, seorang tokoh yang berasal dan
desa Pandan, Jombang. Gangsar pertama kali mencetuskan kesenian ini dalam bentuk ngamen dan
jogetan. Ia mengembara dan rumah ke rumah. Dalam pengembaraannya ini Gangsar kemudian melihat
seorang lelaki sedang menggendong anaknya yang sedang menangis. Lelaki itu berpakaian perempuan,
dan ini dianggap Gangsar lucu dan menarik, sehingga dia terdorong menanyakan alasan pemakaian baju
perempuan tersebut. Menurut si lelaki, ia memakai baju perempuan tersebut untuk mengelabui
anaknya, untuk membuat anaknya merasa bahwa dia digendong oleh ibunya. Menurut narasumber ini,
peristiwa itulah yang menjadi asal munculnya laki-laki yang berperan sebagai wanita dalam kesenian
ludruk.

Narasumber lain menuturkan bahwa bermula dari pengembaraan seorang pengamen yang bernama
Alim. Seperti halnya Gangsar, dalam pengembaraannya, Alim berjumpa dengan seorang lelaki yang
sedang menghibur anaknya. Laki-laki itu mengenakan pakaian wanita. Diceritakan bahwa Alim berasal
dari daerah Kriyan yang kemudian mengembara sampai ke Jombang dan Surabaya.
Dalam pengembaraannya Alim disertai oleh beberapa orang temannya. Mereka bersama-sama
memperkenalkan bentuk seni ngamen dan jogetan. Kemudian kelompok Alim ini mengembangkan
bentuk tersebut menjadi bentuk seni yang berisi parikan dan dialog. Oleh karena tarian yang dibawakan
selalu menghentakkan (gedruk-gedruk) kaki, seni itu kemudian diberi nama “ludruk”.

Menurut Hendricus Supriyanto, dosen Universitas Negeri Surabaya dan juga peniliti ludruk, bahwa
ludruk sebagai teater rakyat dimulai tahun 1907 oleh Pak Santik dari Desa Ceweng, Kecamatan Diwek
Kabupaten Jombang. Diwek adalah kampung kelahiran Asmuni anggota Srimulat, dan Kholik pelawak
anggota Depot Jamu Kirun. Awalnya, ludruk dimulai dari kesenian ngamen yang berisi syair-syair dan
iringan musik sederhana, Pak Santik berteman dengan Pak Pono dan Pak Amir berkeliling dari desa ke
desa. Pak Pono mengenakan pakaian wanita dan wajahnya dirias coret-coretan agar tampak lucu. Dari
sinilah penonton melahirkan kata “Wong Lorek”. Akibat variasi dalam bahasa, maka kata “Lorek”
berubah menjadi kata “Lerok”. ludruk sudah mengalami metamorfosa yang cukup panjang. kalau di
ibaratkan sebuah perjalanan, ludruk sudah sangat jauh berjalan, sudah sangat melelahkan. kalaupun
dipaksa untuk berjalan, pasti jalannya pun akan terseok-seok. Dibutuhkan energi baru untuk
membuatnya hidup lagi. butuh kreasi dan inovasi yang lebih segar, dan mengemasnya menjadi sesuatu
yang lebih ngepop, lebih kekinian.

Ludruk dari masa ke masa


Ditengarai, ludruk merupakan budaya rakyat yang lahir untuk “memberontak” model kesenian keraton
dan istana semacam wayang dan ketoprak yang ceritanya terlalu elit dan tak menyentuh rakyat. Cerita-
cerita ludruk umumnya mengangkat masalah kehidupan orang kecil sehari-hari dengan penggunaan
bahasa yang lebih egaliter dan terkesan “kasar” tanpa unggah-ungguh bila dibandingkan dengan bahasa
yang digunakan dalam pewayangan ataupun ketoprak.

Pada jaman revolusi, ludruk bukan hanya berfungsi sebagai sarana hiburan saja melainkan juga sarana
komunikasi antara pejuang bawah tanah dengan rakyat yang menyaksikannya. Pakem- pakem yang
terbentuk dalam aktivitas ludruk menyimpulkan keadaan tersebut :
1. Tarian Ngeremo menyimpulkan ejekan terhadap pria yang tidak ikut berjuang, pakaian dan dandanan
perempuan tetapi dimainkan oleh laki laki.
2. Weloed (wedo’ane loedroek) membawakan lagu lagu pembuka yang akan memberikan gambaran
tentang situasi yang seharusnya dicita-citakan dalam kehidupan dimainkan oleh banci-banci.
3. Ngidung membawakan syair-syair yang intinya melambangkan apa yang seharusnya diperjuangkan
oleh rakyat dalam situasi dan kondisi yang ada saat ini. Ada empat alur yaitu :
a. Guyonan untuk mengesankan bahwa syair ini tidak serius
b. Serius, dimana menceritakan misi dan cerita sandiwara yang akan dibawakan
c. Guyonan yang sangat lucu, untuk menghapus kesan serius sebelumnya
d. Penutup dengan kesan permintaan maaf apabila ada pihak pihak yang tersinggung dengan apa yang
telah dibawakan.
4. Sandiwara, yang merupakan sebuah drama yang menyimpulkan keadaan yang terjadi pada saat ini.

Ludruk sandiwara secara realistis berani mengungkapkan keprihatinan masyarakat yang sedang terjajah.
Di samping itu, bentuk seni ini mengandung unsur-unsur yang mendorong perjuangan. Kostum ludruk
sendiri terdiri dari warna merah dan putih yang mencerminkan bendera kebangsaan Indonesia.

Pada zaman Jepang kesenian ludruk berfungsi sebagai media kritik terhadap pemerintah. Ini tampak
terutama dalam ludruk Cak Durasim yang terkenal dengan parikan “Pagupon omahe dara, melok Nippon
tambah sengsara”. Dengan parikan serupa itu Cak Durasim ternyata berhasil membangkitkan rasa tidak
senang rakyat terhadap Jepang. Cak Durasim akhirnya ditangkap dan meninggal dalam tahanan Jepang.

Pada zaman Republik Indonesia, seni ludruk masih hidup dan berkembang sebagai kesenian rakyat
tradisional yang berbentuk teater. Hanya saja, kalau pada masa sebeluninya kesenian ini berfungsi
sebagai penyalur kritik sosial, pada masa yang kemudian fungsinya bergeser menjadi penyampai
kebijaksanaan pemerintah. Selain itu, ludruk juga digunakan sebagai media promosi barang dagangan
tertentu oleh Sponsor tertentu. Menurut Sensus Kesenian yang dilakukan oleh Kanwil P dan K Jawa
Timur, sampai tahun 1985 terdapat 58 perkumpulan ludruk dengan 1530 orang pemain. Jumlah ini
dapat dikatakan cukup banyak dan menunjukkan bahwa minat masyarakat Jawa Timur (Surabaya)
terhadap bentuk kesenian ini masih cukup besar.

Pada tahun 1994 , grup ludruk keliling tinggal 14 grup saja. Mereka main di desa-desa yang belum
mempunyai listrik dengan tarif Rp 350. Grup ini didukung oleh 50- 60 orang pemain. Penghasilan mereka
sangat minim yaitu : Rp 1500 s/d 2500 per malam. Bila pertunjukan sepi, terpaksa mengambil uang kas
untuk bisa makan.
Sewaktu James L Peacok (1963-1964) mengadakan penelitian ludruk di Surabaya tercatat sebanyak 594
grup. Menurut Depdikbud propinsi jatim, sesudah tahun 1980 meningkat menjadi 789 grup (84/85), 771
group (85/86), 621 grup (86/87) dan 525 (8788). Suwito HS, seniman ludruk asal Malang mengatakan
tidak lebih dari 500 grup karena banyak anggota group yang memiliki keanggotaan sampai lima grup.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh komunitas loedroek ITB, perkembangan kesenian ludruk dibagi
menjadi beberapa periode:

Periode Lerok Besud (1920-1930)


Kesenian yang berasal dari ngamen tersebut mendapat sambutan penonton. Dalam perkembangannya
yang sering diundang untuk mengisi acara pesta pernikahan dan pesta rakyat yang lain.
Pertunjukkan selanjutnya ada perubahan terutama pada acara yang disuguhkan. Pada awal acara
diadakan upacara persembahan. Persembahan itu berupa penghormatan ke empat arah angin atau
empat kiblat, kemudian baru diadakan pertunjukkan. Pemain utama memakai topi merah Turki, tanpa
atau memakai baju putih lengan panjang dan celana stelan warna hitam. Dari sini berkembanglah
akronim Mbekta Maksud artinya membawa maksud, yang akhirnya mengubah sebutan lerok menjadi
lerok besutan.
Dalam ludruk besutan yang disamarkan tidak hanya kritik sosial, tetapi juga nama para pemain seperti
Jumino, Rusmini, Singogambar dan sebagainya. Permainan ludruk besutan tersusun dari tandakan
(menari bebas), dagelan (lawak), dan besutan. Dalam ludruk ini belum dikenal cerita yang utuh. Yang
ada hanya dialog yang dikembangkan secara spontan.
Dari tahun 1922 sampai dengan tahun 1930, ludruk mengalami perkembangan dengan masuknya secara
berangsur-angsur unsur-unsur cerita di dalamnya. Perkembangan ini banyak dipengaruhi oleh
peredaran film bisu di Indonesia. Ludruk yang telah memasukkan unsur cerita disebut ludruk sandiwara.
Jenis ludruk ini menampilkan adegan-adegan cerita yang mencerminkan situasi kehidupan masyarakat
dan lingkungannya.

Periode Lerok dan Ludruk (1930-1945)


Periode lerok besut tumbuh subur pada 1920-1930, setelah masa itu banyak bermunculan ludruk di
daerah Jawa Timur. Istilah ludruk sendiri lebih banyak ditentukan oleh masyarakat yang telah memecah
istilah lerok. Nama lerok dan ludruk terus berdampingan sejak kemunculan sampai tahun 1955,
selanjutnya masyarakat dan seniman pendukungnya cenderung memilih ludruk.
Sejaman dengan masa perjuangan dr. Soetomo di bidang politik yang mendirikan Partai Indonesia Raya,
pada tahun 1933 cak Durasim mendirikan Ludruk Organizatie (LO). Ludruk inilah yang merintis
pementasan ludruk berlakon dan amat terkenal keberaniannya dalam mengkritik pemerintahan baik
Belanda maupun Jepang.
Ludruk pada masa ini berfungsi sebagai hiburan dan alat penerangan kepada rakyat, oleh pemain
pemain ludruk digunakan untuk menyampaikan pesan pesan persiapan Kemerdekaan, dengan
puncaknya peristiwa akibat kidungan Jula Juli yang menjadi legenda di seluruh grup Ludruk di Indonesia
yaitu:
”Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro”.

Periode Ludruk Kemerdekaan (1945-1965)


Ludruk pada masa ini berfungsi sebagai hiburan dan alat penerangan kepada rakyat, untuk
menyampaikan pesan pesan pembangunan. Pada masa in Ludruk yang terkenal adalah “Marhaen” milik
“Partai Komunis Indonesia”. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika PKI saat itu dengan mudah
mempengaruhi rakyat, dimana ludruk digunakan sebagai corong PKI untuk melakukan penggalangan
masa untuk tujuan pembrontakan. Peristiwa madiun 1948 dan
G-30 S 1965 merupakan puncak kemunafikan PKI.
Ludruk benar-benar mendapatkan tempat di rakyat Jawa Timur. Ada dua grup ludruk yang sangat
terkenal yaitu : Ludruk Marhaen dan Ludruk tresna Enggal.
Ludruk Marhaen pernah main di Istana Negara sampai 16 kali, hal ini menunjukkan betapa dekatnya
para seniman ludruk dengan para pengambil keputusan di negeri ini. Ludruk ini juga berkesempatan
menghibur para pejuang untuk merebut kembali Irian Jaya, TRIKORA II B yang memperoleh penghargaan
dari panglima Mandala (saat itu dijabat oleh Soeharto). Ludruk ini lebih condong “ke kiri”, sehingga
ketika terjadi peristiwa G 30 S PKI Ludruk ini bubar.

Periode Ludruk Pasca G 30 S PKI ( 1965 saat ini)


Peristiwa G30S PKI benar benar memporak- porandakan grup- grup Ludruk terutama yang berafiliasi
kepada Lembaga Kebudayaan Rakyat (lekra) milik PKI. Terjadi kevakuman antara 1965-1968. Sesudah itu
muncullah kebijaksanaan baru menyangkut grup-grup ludruk di Jawa Timur.
Peleburan ludruk dikoordinir oleh ABRI, dalam hal ini DAM VIII Brawijaya. Proses peleburan ini terjadi
antara tahun 1968-1970.
1. Eks-Ludruk marhaen di Surabaya dilebur menjadi ludruk Wijaya Kusuma unit
2. Eks-Ludruk Anogara Malang dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma Unit II
3. Eks-Ludruk Uril A Malang dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma unit III,
dibina Korem 083 Baladika Jaya Malang
4. Eks-Ludruk Tresna Enggal Surabaya dilebur menjadi ludruk Wijaya Kusuma unit IV
5. Eks-Ludruk kartika di Kediri dilebur menjadi Ludruk Kusuma unit V

Diberbagai daerah ludruk-ludruk dibina oleh ABRI, sampai tahun 1975. Sesudah itu mereka kembali ke
grup seniman ludruk yang independen hingga kini. Dengan pengalaman pahit yang pernah dirasakan
akibat kesenian ini, Ludruk lama tidak muncul kepermukaan sebagai sosok Kesenian yang menyeluruh.
Pada masa ini ludruk benar- benar menjadi alat hiburan. Sehingga generasi muda yang tidak mendalami
sejarah akan mengenal ludruk sebagai grup sandiwara Lawak.

Ludruk dan Legendanya


Beberapa warga masyarakat yang ditemui dan diwawancarai secara acak, seperti misalnya pengemudi
becak, pegawai sebuah toko fotocopy, masih dapat menceritakan dengan baik berbagai cerita ludruk,
tokoh-tokoh ceritanya, perkumpulan, serta pemain pemain ludruk yang terkemuka.
Bicara soal ludruk, pasti yang terlintas di benak kita adalah Kartolo. Kartolo adalah seorang pelawak
ludruk legendaris asal Surabaya, Jawa Timur. Beliau sudah lebih dari 40 tahun hidup dalam dunia seni
ludruk. Nama Kartolo dan suaranya yang khas, dengan banyolan yang lugu dan cerdas, dikenal hampir di
seluruh Jawa Timur, bahkan hingga Jawa Tengah. Kartolo sudah aktif dalam dunia seni ludruk semenjak
era tahun 1960-an. Ia mendirikan grup ludruk Kartolo CS.

Kartolo CS terdiri dari Kartolo, Basman, Sapari, Sokran, Blonthang, Tini (istri Kartolo), tergabung dalam
kesenian karawitan Sawunggaling Surabaya. Masing-masing pemain punya karakter yang unik dan khas,
dan punya semacam ‘tata-bahasa’ sendiri. Misalnya Kartolo yang menjadi paling cerdas, sehingga sering
diceritakan ‘ngakali’ pemain lain, Basman yang punya suara besar dan omongan nyerocos, dan Sapari
yang sering nakal tapi malah jadi korban. Namun formasi emas ini tidak bertahan sampai sekarang. Yang
tersisa adalah Kartolo, Tini dan Sapari. Basman, Sokran dan Blonthang sudah meninggal dunia. Sampai
sekarang Kartolo dan Sapari masih sering tampil di JTV (TV-nya Jawapos) di Surabaya.

Tentunya bukan hanya Kartolo yang menjadi legenda ludruk. Ada nama-nama lain seperi Cak Durasimn,
Agus Kuprit, Sidik, Ning Lasiana, Markeso, Bawong SN dan Umi Kulsum. Bahkan nama yang terakhir ini
memperoleh penghargaan Khusus dari Imam Oetomo, Gubernur Jatim atas pengabdiannya di dunia
Ludruk. Nenek yang menginjak usia 85 tahun ini telah lebih dari 55 tahun mengabdikan diri sebagai
seniman ludruk. 46 tahun diantaranya dilewati bersama siaran ludruk RRI Surabaya. Meski tidak tamat
dari sekolah rakyat, atas kesetiannya bersama ludruk RRI, Umi Kulsum diangkat menjadi pegawai negeri
dengan pangkat golongan II A pada tahun 1981 oleh Ali Murtopo, Menteri Penerangan saat itu. Sampai
kini, meskipun jumlahnya relatif sedikit dan dalam kondisi yang cukup memprihatinkan, masih ada
beberapa kelompok ludruk yang berkembang di Surabaya, Malang, Jombang, dan sekitarnya, yang tetap
aktif mengadakan pertunjukan, termasuk grup Cak Kartolo Cs.
Saat ini kita masih menunggu munculnya grup-grup ludruk baru yang akan menghidupkan kembali
kejayaan kesenian ludruk. Atau setidaknya kita masih mengingat nama-nama legendaris seperti Ludruk
Brata, Ludruk Dradjit, Ludruk Budi Utama, Ludruk Tjoleke, Ludruk Kolekturan, Ludruk Budidojo, Ludruk
Karen, Ludruk Bakri, Ludruk Murba, Ludruk Drais Ludruk Banteng Marhaen, Ludruk Suluh Marhaen,
Ludruk Marhaen Muda, Ludruk Duta Masa, Ludruk Arum Dalu, Ludruk Putra Bahari, Ludruk Odadi Kari,
Ludruk Marhaen, Ludruk Tresna Enggal, Ludruk Mari Katon, Ludruk Massa, Ludruk Sari Rukun, Ludruk
Irama Enggal, Ludruk Massa Rukun, Ludruk Panca Bakti, Ludruk Djoko Muntjul, Ludruk Sido Dadi Slamet,
Ludruk Mulya Kuntjara, Ludruk Aliran Baru, Ludruk Nusantara, Ludruk Bond Malang Selatan, dsb. Yang
tersebar di Jombang, Malang, Surabaya dan sekitarnya.

Ludruk sebagai laboratorium kearifan


Proses hidup manusia sering diwarnai dengan serba kebetulan, aksidential, tidak selalu bisa
direncanakan dengan akal sehat sebagaimana ajaran kompetisi hidup dalam filosofi kapitalisme dan
modernisasi yang menggurita saat ini. Dan ajaran terbaik dari ludruk Kartolo adalah bagaimana
menyikapi hidup dengan kesederhanaan, bukan dengan pongah dan penuh nafsu. Contohnya adalah
dalam salah satu lakonnya, Ratu Cacing Anil, di mana Kartolo berperan sebagai Prabu Minohek. Sebagai
penguasa dan orang yang memiliki berbagai kasekten dan keistimewaan, ternyata Prabu Minohek
hanyalah mimpi. Prabu Minohek hanyalah dagelan, ia sering bukan merupakan realitas yang diperankan
manusia sesungguhnya. Prabu Minohek hanyalah segumpalan arogansi untuk menguasai segala sesuatu,
sementara dirinya sendiri tidak tahu bahwa itu semua hanyalah angan-angan. Ngglethek itu hanya
mimpi.

Menurut Dr. Sindhunata, budayawan serba bisa kelahiran Kota Batu, dalam bukunya berjudul Ilmu
Ngglethek, Prabu Minohek. Mengupas kiprah dan sosok grup ludruk Kartolo Cs yang sudah tak asing lagi
di Jawa Timur, dari sudut pandang perjalanan kehidupannya dengan gaya features.
Ilmu ngglethek adalah kesimpulan Sindhunata setelah menafsir gagasan dan banyolan Kartolo Cs, baik
atas pencermatan lakon yang dipentaskan maupun dari jula-juli yang didendangkan. Ilmu ngglethek
merupakan cermin akhir segala perjalanan kehidupan manusia. Dalam berbagai cita-cita dan harapan,
manusia sering diperhadapkan dengan suatu kebetulan yang sering terjadi begitu saja. Proses hidup
manusia sering diwarnai dengan serba kebetulan, aksidential, tidak selalu bisa direncanakan dengan akal
sehat sebagaimana ajaran kompetisi hidup dalam filosofi kapitalisme dan modernisasi yang menggurita
saat ini. Dan ajaran terbaik dari ludruk Kartolo adalah bagaimana menyikapi hidup dengan
kesederhanaan, bukan dengan pongah dan penuh nafsu. Ilmu ngglethek merupakan cermin akhir segala
perjalanan kehidupan manusia. Dalam berbagai cita-cita dan harapan, manusia sering diperhadapkan
dengan suatu kebetulan yang sering terjadi begitu saja.
Ludruk memberikan pelajaran kepada kita mengenai bagaimana menjalani kehidupan dengan
sederhana, tidak neko-neko. Dan ini bukan bentuk eskapisme atas perjalanan hidup yang dirasakan
makin berat, sebuah eskapisme yang mengarah pada fatalisme dan hanya menunggu keajaiban dari
langit. Namun, memang itulah inti kehidupan, hidup sederhana bukan berarti hidup tanpa kerja keras,
tidak neko-neko juga bukan berarti hidup tanpa cita-cita. Ada saat-saat bagaimana kita harus arif
memperlakukan kehidupan secara wajar dan sesuai dengan kapabilitas dan kemampuan kita.
Bermain ludruk adalah media pembelajaran untuk memahami seandainya aku menjadi orang lain.
Menjadi orang lain hanya bisa dilakukan dengan bermain sandiwara. Sandiwara yang baik
membutuhkan penghayatan peran yang mendekati karakter yang diperankan, sehingga memahami
bahwa tidak mudah menjadi orang lain. Akhirnya sangat menyadari bahwa mengetahui diri sendiri dan
memainkan diri sendiri dengan baik adalah tujuan utama seorang manusia. Tetapi pernah menjadi orang
lain terutama yang kontroversial dengan watak asli tidak dapat diajarkan, tetapi harus dialami sendiri (di
lewati). Bermain ludruk merupakan sarana untuk itu.

Ludruk sebagai media bertutur sudah berhasil menempatkan posisinya dalam kehidupan masyarakat.
ludruk telah memperlihatkan peranan dalam membangun sebuah forum sosial politik yang penting dan
memberikan komentar atas isu-isu sosial, kekuasaan, otoritas, dan identitas lokal sebuah masyarakat
pada suatu periode tertentu. Ludruk dipandang sebagai dinamika yang secara efektif membangkitkan
anggapan-anggapan yang mendasar yang terdapat dalam pandangan dunia pendukungnya.
Berbagai ekspresi masyarakat yang dinyatakan dalam tradisi lisan memang tidak hanya berisi cerita
dongeng, mitologi, atau legenda seperti yang umumnya diartikan, tetapi juga mengenai sistem kognitif
masyarakat, sumber identitas, sarana ekspresi, sistem religi dan kepercayaan, pembentukan dan
peneguhan adat-istiadat, sejarah, hukum, pengobatan, keindahan, kreativitas, asal-usul masyarakat, dan
kearifan lokal mengenai ekologi dan lingkungannya. Pengungkapan kelisanan tersebut disampaikan
terutama dengan mengandalkan faktor ingatan.

Ludruk setidaknya dapat tersimpan dalam ingatan masyarakatnya dan menjadi tidak saja “living
memories”, tetapi juga “living traditions” yang dapat melintasi batas waktu melalui penuturan turun-
temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Lintas waktu dan lintas generasi ini menandakan
bahwa ingatan mampu merekam berbagai ekspresi. Dan akhirnya, ludruk harus segera berubah.
perubahan yang lebih maju, lebih kekinian, perubahan yang dapat merefleksikan dahulu dan kini. Karena
perubahan adalah bukti kehidupan. jadi tidak perlu takut dengan perubahan. Sebuah perubahan akan
terjadi kalau suatu komunitas menghendakinya. Kalau usul saya, pemerintah propinsi Jawa Timur harus
mengeluarkan keputusan bahwa di setiap SMA dan Perguruan TInggi di Jawa Timur diwajibkan
mempunyai kegiatan kesenian ludruk. Dan di setiap tahun di adakan Festival Ludruk se-Jatim, tentunya
harus di liput di semua media cetak dan televisi secara besar-besaran. Karena saat ini, media cetak dan
televisi sangat berperan dalam mempopulerkan sesuatu atau seseorang. Mengutip kata-kata seniman
popart Andy Warhol, “In the future everyone will be world-famous for 15 minutes”.
Dengan segala usaha dan doa kita semua berharap kesenian ludruk masih tetap ada dan mungkin suatu
saat nanti akan kembali besar. Semoga
…”yu..painten kleleken jendelo, cekap semanten gacoran kulo”…
(sonny bdoors, ludruk lovers)/artikel diambil dari berbagai sumbe

Anda mungkin juga menyukai