Anda di halaman 1dari 5

Pengertian Ludruk

Ludruk sebagai sebuah nama dapat dicari makna etimologisnya yang diperoleh dari berbagai
informasi yang relevan. Informasi ini diperoleh dari tokoh seniman dan budayawan ludruk.
Secara etimologis, kata ludruk berasal dari kata molo-molo dan gedrak-gedruk. Molo-molo
berarti mulutnya penuh dengan tembakau sugi (dan kata-kata, yang pada saat keluar
tembakau sugi) tersebut hendak dimuntahkan dan keluarlah kata-kata yang membawakan
kidung, dan dialog. Sedangkan gedrak-gedruk berarti kakinya menghentak-hentak pada saat
menari di pentas (Ahmadi, 1987:7). Pendapat lain mengatakan bahwa ludruk berasal dari
kata-kata gela-gelo dan gedrak-gedruk. Gela-gelo berarti menggeleng-nggelengkan kepala
pada saat menari, dan gedrak-gedruk berarti menghentakkan kaki di pentas pada saat menari.
Apabila disesuaikan, kedua pendapat tersebut memiliki pengertian yang sama, yaitu
verbalisasi kata-kata dan visualisasi gerak. Dengan kata lain, terdapat unsur nyanyian
(kidung) dan unsur tari atau unsur bahasa dan gerak. Unsur bahasa atau verbal dalam ludruk
terdiri atas dua macam bentuk verbal, yaitu nyanyian (kidungan) dan dialog (narasi).
Sedangkan unsur gerak dapat berupa tarian pada saat mengidung dan lakuan (action) pada
saat memainkan peran di pentas.
Lakuan di pentas ludruk dapat disamakan dengan lakuan dalam drama atau teater secara
umum. Gerak atau lakuan yang dapat disaksikan pada saat pementasan ludruk bukan hanya
dilakukan pada saat pentas cerita berlangsung, tetapi juga pada saat kidungan sebelum
pertunjukan cerita dimulai. Gerak-gerik khas pada saat itu justru muncul secara artistik
sebagai gayatampil pemain, di samping ditemukan pada saat adegan dagelan sebagai
rangkaian kidungan.
Sejarah Perkembangan Ludruk
Era perkembangan ludruk dapat diklasifikasikan melalui beberapa tahapan genre (bentuk)
(Ahmadi, 1987). Secara historis perkembangan ludruk bermula dari ludruk Bandhan yang
muncul dan berkembang sekitar abad XII-XV. Ludruk Bandhan ini mempertunjukkan sejenis
pameran kekuatan dan kekebalan yang bersifat magis dengan menitikberatkan pada kekuatan
batin. Sekitar abad XVI hingga XVII muncullah lerok yang dipelopori oleh Pak Santik dari
Jombang. Kata lerok yang diambil dari kata lira, yaitu alat musik yang berbentuk seperti
kecapi (cimplung siter) yang dipetik sambil bersenandung mengungkapkan isi hati. Pada saat
itu, Pak Santik menghias dirinya dengan cara mencoret-coret mukanya, memakai ikat kepala,
bertelanjang dada, mengenakan celana berwama hitam, dan mengenakan selendang sebagai
sampur.
Dalam pementasan lerok itu Pak Santik memanfaatkan suara-suara dari mulutnya sebagai
iringan musik. Lambat laun pementasan lerok memanfaatkan gendhang yang digunakan
sebagai cimplung (semacam ketipung) dan jidhor (tambur besar). Pementasan semacam ini
dimulai sekitar tahun 1915. Kemudian, terjadi penambahan pemain, menjadi tiga orang dan
timbullah nama baru, yaitu besutan. Nama ini diambil dari nama tokoh pemeran utama, yaitu
Pak Besut. Pemain lainnya bernama Asmonah (isteri Besut) dan Paman Jamino (Ahmadi,
1987).
Pada tahun 1931, bentuk besutan berubah lagi menjadi ludruk yang berbentuk sandiwara
dengan tokoh yang semakin bertambah jumlahnya. Bentuk ini tetap mempertahankan ciri
khas ludruk seperti tarian ngremo, kidungan, dagelan, dan cerita (lakon). Pada tahun 1937
dengan munculnya tokoh baru dari Surabaya, yaitu Cak Durasim, ludruk mulai menggunakan
cerita legenda dan berubah menjadi semacam drama (Andria dalam Ahmadi, 1987:7-8).
Ludruk sebagai seni pertunjukan telah tercatat sejak tahun 1822 yang menampilkan dua
pelaku laki-laki, yang seorang menjadi pelawak yang membawakan cerita dan seorang lagi
sebagai penari yang berdandan wanita (Pigenud dalam Ahmadi, 1987:6). Pada tahun 1942
tentara pendudukan Jepang menggunakan ludruk sebagai alat propaganda. Pada suatu ketika
di bawah pengawasan Jepang, Cak Durasim menampilkan permainannya dengan kidungan
pagupon omahe dara, melok Nipon tambah sengsara. Kidungan ini menyebabkan Durasim
ditangkap dan dipenjarakan Jepang dan meninggal pada tahun 1944.
Berdasarkan pertumbuhan dan perkembangan ludruk, dapat diketahui bahwa pertunjukan
ludruk merupakan keutuhan dari tiga genre: ngremo (tari kepahlawanan), dagelan (lawakan,
dan cerita (Peacock, 1968:29-32). Berbagai cerita yang diangkat dalam pentasludruk banyak
bersumber dari cerita rakyat. Oleh sebab itu, sebagai salah satu teater rakyat, ludruk banyak
membawakan cerita yang berakar dari folklore dan folktale (Oemarjati, 1971 dan Danandjaja,
1983). Di samping itu, dalam perkembangan ludruk juga dapat dikatakan sebagai sandiwara
yang memiliki beberapa orang sebagai pelaku dalam ceritanya.
Dalam penelitian perkembangan satu bentuk kesenian, aspek historis menjadi sangat penting
untuk diketahui dan dipergunakan sebagai pijakkan penyusunan kriteria.
Tanpa melihat secara historis perkembangan ludruk tidak akan dapat diperoleh informasi
yang objektif tentang aspek-aspek yang berkembang dalam kesenian tersebut. Sejarah ludruk
yang dapat dipaparkan merupakan fakta sinkronik yang sangat berguna untuk menentukan
lingkup kajian sebuah penelitian perkembangan. Oleh sebab itu, setiap penelitian
perkembangan yang mengambil subjek penelitian tertentu, seperti halnya ludruk ini tentu
tidak bisa mengabaikan fakta historisnya.

Artikel di atas dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit
Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur : Perkembangan Ludruk di Jawa
Timur, Kajian Analisis Wacana, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Dep.
Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1997. Hlm. 6-9.
MARI MENGENAL LUDRUK (1): SEJARAH LUDRUK 0leh: Eveline Y. Bayu Ludruk
sejak lama tumbuh, berkembang dan dikenal oleh masyarakat di Jawa Timur, terutama di
daerah Surabaya, Jombang, Malang dan sekitarnya. Sebagai kesenian asal Jawa Timur,
keberadaan ludruk ditinggalkan penggemarnya karena masuknya hiburan modern dan
kurangnya upaya pelestarian dari Pemerintah terkait. Dulu kesenian ludruk sangat melekat di
hati masyarakat. Sekarang jumlah penggemarnya menurun drastis. Hal ini dapat dilihat dari
jumlah penonton ludruk pada saat pementasan umumnya sepi pengunjung. Dalam data
Statistik Van Grisse Van 1822 dikatakan bahwa ludruk adalah tari tarian yang dilengkapi
dengan cerita lucu yang diperankan oleh pelawak dan travesty atau lelaki yang merias diri
sebagai wanita. Ludurk mempunyai unsur tarian, cerita lucu, pelawak dan pemain yang
terdiri dari pria semua, meskipun yang diperankan ada peran wanitanya. Seiring
berkembangnya ludruk, masuk juga pemain wanita. Dalam kamus Javanansch Nederduitssch
Woordenboekv karya Gencke dan T Roorda (1847), ludruk artinya Grappermaker (badutan).
Mengenai asal usul kata ludruk terdapat beberapa pendapat. Cak Markaban, tokoh Ludruk
Triprasetya RRI Surabaya mengatakan bahwa ludruk berasal dari kata gela-gelo dan gedrak-
gedruk. Jadi yang membawakan ludrukan itu, kepalanya menggeleng-geleng (gela-gelo) dan
kakinya gedrak-gedruk (menghentak lantai) seperti penari Ngremo. Sedangkan menurut Cak
Kibat, tokoh Ludruk Besutan bahwa ludruk itu berasal dari kata molo-molo lan gedrak-
gedruk. Artinya seorang peludruk itu mulutnya bicara dengan kidungan dan kakinya
menghentak lantai gedrak - gedruk. Menurut Dukut Imam Widodo pada bukunya Soerabaia
Tempo Doeloe, ludruk berasal dari bahasa Belanda. Pada masa itu banyak anak-anak Belanda
muda yang senang menonton. Mereka berkata kepada teman-temanya,Mari kita leuk en
druk. Artinya yang penting enjoy, happy sambil nonton pertunjukan yang lucunya luar biasa
ini, begitu kira-kira maksudnya. Kalau demikian halnya, kesenian itu sudah ada sebelumnya,
tetapi belum punya nama baku. Lalu lahirlah ucapan bahasa Belanda Leuk en Druk itu.
Lama kelamaan, leuk en druk diadopsi menjadi bahasa sini ludruk. Sejarah perkembangan
ludruk sebenarnya masih belum dapat dipastikan karena ada beberapa pendapat. Tahun 1890
Gangsar, yang berasal dari desa Pandan, kabupaten Jombang, yang pertama kali mencetuskan
kesenian ini dalam bentuk ngamen (berkeliling dari rumah ke rumah) dan tarian. Bentuk
inilah yang menjadi cikal bakal kesenian ludruk. Periode Ludruk Ngamen atau Lerok Lerok
merupakan bentuk permulaan kesenian ludruk yang berlangsung pada tahun1907 1915 di
daerah Jombang, Jawa Timur. Pelopornya adalah Pak Santik yang berasal dari desa Ceweng,
kecamatan Goda, kabupaten Jombang dan temannya, Pak Amir yang berasal dari desa Lendi.
Istilah Lerok sebenarnya berasal dari kata lorek yang artinya penuh coretan. Dimana wajah
pemain lerok penuh dengan coretan. Lerok disebut juga kledek lanang yaitu suatu seni
pertunjukan yang mengutamakan nyanyi-nyanyian dalam bentuk kidungan dan pantun
(parikan) yang mempunyai tema sindiran. Lerok yang dipelopori oleh Pak Santik dan Pak
Amir memulai pekerjaannya ngamen dengan menggunakan peralatan kendang, berkeliling
dari desa ke desa. Kemudian Pak Santik mengajak Pak Pono untuk mengenakan busana
wanita dengan sebutan wedokan, agar pertunjukan menarik dan lucu. Secara teoritis
dimulailah tradisi travesty pada grup ngamen tersebut. Jumlah pemain lerok ini beranggota
tiga orang. Periode Ludruk Besut Ludruk besut berkembang pada tahun 1915 1920an
dengan jumlah pemain telah menjadi empat, yaitu Pak Santik, Pak Amir, Pak Pono dan
Marpuah. Pelaku utama selalu mengenakan kain panjang (bebed putih) yang menjadi
lambang kesucian dan bertugas menyampaikan maksud (bahasa Jawa: mbekta maksud atau
pembawa maksud). Pelaku utamanya disebut besut. Inilah yang merubah sebutan lerok
menjadi besut. Pementasan ludruk besutan diawali dengan upacara pembukan berupa saji-
sajian atau persembahan. Persembahan itu berupa penghormatan kepada empat penjuru mata
angin. Kemudian baru pertunjukan yang menampilkan sindiran, lawakan, kidungan dan
pantun-pantun yang disusun dalam suatu kerangkan cerita yag telah ditentukan dan tetap. Di
tahun 20-an, istilah Ludruk Besutan yang terkenal ada tiga lakon judul cerita, yaitu Kakang
Besut, Paman Jamino, dan Bojoe Besut, Asmunah (ada yang menyebutnya Asmunah atau
Rusmini). Periode Ludruk Lerok Besut Periode ini berlangsung tahun 1920 1930 dengan
masih mempertahankan model besut. Setelah upacara persembahan, dilanjutkan dengan
tarian yang bertujuan mengahturkan perasaan kepada Tuhan. Dimana penarinya digambarkan
sebagai seorang satria dengan gerakan yang bermacam macam sehingga disebut tari reno-
reno. Penarinya menggunakan sampur dipundaknya, maka disebutlah penari ngremo
(tembang kriyo atau kata kerja). Seiring perkembangan kesenian lerok di berbagai daerah,
maka munculah versi tari remo Jombangan (gaya Jombang) dan tari remo Suroboyoan (gaya
Surabaya). Pada masa itu penari remo telah memiliki ciri khas tersendiri pada tata busananya
yaitu mengenakan topi hitam, baju putih (kadang kadang dengan dasi hitam), kaki kanan
mengenakan gongseng (pengatur irama gending) dan pada telinga kirinya dipasang anting-
anting. Gerakan tariannya dengan menggerakan kepala (dalam bahasa Jawa disebut gela gelo)
dan gerakan kaki yang dinamis dihentak-hentakkan (dalam bahasa Jawa disebut gedrag-
gedrug). Inti dari tarian ini ialah sirah gela gelo, sikil gedrag gedrug atau kepala digerakkan,
kaki dihentakkan, maka lahirlah istilah ludruk. Pementasan ludruk besutan terdiri dari
tandhakan (tarian), dagelan (lawakan) dan besutan. Dalam pementasannya belum
menampilkan cerita secara utuh, melainkan dialog yang dikembangkan secara spontan. Pada
tahun 1922 1930 dalam pementasan ludruk mulai dimasukkan cerita didalamnya. Ludruk
yang memasukkan unsur cerita didalamnya disebut ludruk sandiwara. Periode Lerok dan
Ludruk. Periode ini berlangsung tahun 1930 1945 dengan bermunculan ludruk di berbagai
daerah di Jawa Timur. Nama lerok dan ludruk tetap berdampingan sampai tahun 1955,
selanjutnya masyarakat menggunakan nama ludurk. Tahun 1933 Cak Durasim mendirikan
Ludruk Oraganizatie (LO). Ludruk ini terkenal dengan jula julinya yang menentang
pemerintahan Belanda dan Jepang. Pada masa penjajahan Jepang, ludruk berfungsi sebagai
sarana perjuangan. Pemain ludruk memanfaatkan pertunjukan sebagai alat penerangan
kepada rakyat untuk mempersiapkan kemerdekaan. Bahkan pemerintah Jepang menangkap
Cak Durasim ke dalam penjara hingga meninggal, karena tembang jula julinya yang terkenal:
Bekupon omahe doro, melok Nippon soyo soro (Bekupon rumahnya burung dara, ikut Jepang
tambah sengsara) Periode setelah Proklamasi Periode ini berlangsung tahun 1945- 1965
dimana mulai muncul seniman urban (dari desa pindah ke kota). Pelawak Astari Wibowo dan
Samjudin mendirikan ludruk Marhaen pada tanggal 19 Juni 1949. Setelah berdirinya ludruk
Marhaen di Surabaya, muncul perkumpulan ludruk lain, seperti ludruk Tresna Tunggal,
Ludruk Sari Rukun, Ludruk Panca Bakti, Ludruk Irama Tunggal, ludruk Masa Rukun, ludruk
Marikaton dan ludruk Massa. Tahun 1958 RRI Surabaya secara teknik menggunakan peran
wanita yang dibawakan oleh wanita sungguhan karena dipentingkan suaranya saja.
Sedangkan dalam pengembangannya, pemeran wanita juga tampil di panggung dan RRI
Surabaya mendapat banyak ejekan dan cemooh dari para pendukung ludruk. Lama kelamaan
cemooh, ejekan dan kritikan dari pendukung ludruk mereda. Ludruk pada masa itu
merupakan alat bagi PKI untuk menggalang massa. PKI memanfaatkan ludruk untuk
menanamkan pengaruhnya di masyarakat. Pada tahun 1963 tercatat ada 549 perkumpulan
ludruk di Jawa Timur dan banyak diantaranya yang berhaluan kiri. Periode Orde Baru
Periode ini dimulai tahun 1965 sampai sekarang, dimana sempat terjadi kevakuman pada
tahun1965 1968. Kevakuman tersebut disebabkan karena ludruk menjadi organisasi
terlarang Lekra. Perkumpulan ludruk yang berhaluan kiri bubar, sedangkan perkumpulan
ludruk yang tidak terlibat dengan PKI tidak berani melakukan pementasan. Tahun 1967
Pemerintah Orde Baru berusaha membangkitkan kembali perkumpulan ludruk. Perkumpulan
ludruk yang telah diseleksi dari pengaruh Lekra dibina oleh KODAM BRAWIJAYA. Tahun
1968- 1970 terjadi peleburan ludruk yang dikoordinasi oleh DAM Brawijaya. Perkumpulan
ludruk di berbagai daerah dibina oleh ABRI hingga tahun 1975. Pembinaan tersebut mampu
mengembalikan kepercayaan masyarakat Jawa Timur dan Indonesia bahwa ludruk adalah
teater tradisional khas Jawa Timur yang harus dilestarikan kehadirannya. Perkembangan
kesenian ludruk tidak hanya terbatas di Jawa Timur, melainkan sampai di Jepara, Jawa
Tengah. Kesenian ludruk dibawa oleh para pekerja PTPN IX Balong yang berasal dari Jawa
Timur dan mulai melakukan pementasan sejak tahun 1969. Bahkan di tahun 1980an 1990an
Ludruk PTPN rutin mengadakan pementasan di halaman RRI Semarang. Setelah tahun
1990an, keberadaan ludruk PTPN mulai tenggelam. Untuk itu para pemain ludruk PTPN
mencoba menyelamatkan keberadaan ludruk di Jepara dengan mendirikan perkumpulan
ludruk Kembang Budoyo. Pada tahun 1980 1990 tercatat 104 perkumpulan ludruk di
Surabaya, diantaranya ludruk RRI Surabaya, ludruk Susana, ludruk Sidik CS, ludruk
Mandala dan ludruk Bakotas Surabaya. Seniman ludruk yang dikenal masyarakat seperti Cak
Kartolo, Cak Markeso, Cak Baseman Pak Kadham (yang pada pada tahun 1960-an menjadi
favorit Presiden Soekarno) dan Marlena. Sayangnya tidak ada catatan berapa jumlah
perkumpulan ludruk saat ini. Sebenarnya penulis juga merasa bingung dengan literature
sejarah ludruk, karena istilah ludruk sudah ada di kamus bahasa Belanda terbitan tahun
1800an, tetapi munculnya istilah ludruk juga disebutkan baru muncul tahun 1907. Terlepas
dari kapan persisnya muncul istilah ludruk, yang paling penting ialah bagaimana nasib
kesenian ludruk di masa yang akan datang. Baca bagaimana pementasan kesenian ludruk
dilaksanakan ini pada tulisan saya berikutnya. Sumber: dikumpulkan dari berbagai media
masa seperti harian Kompas, Jawa Pos, Surabaya Pos dan sumber lainnya.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/eveline/mari-mengenal-ludruk-1-sejarah-
ludruk_5517e32fa333117707b6633f

Anda mungkin juga menyukai