Anda di halaman 1dari 3

KESENIAN LUDRUK

Indonesia memiliki beragam pertunjukan seni teater. Salah satunya adalah kesenian Ludruk. Ludruk
berasal dari Jawa Timur, khususnya Surabaya. Namun ada pula yang menyebut cikal bakal Ludruk
berasal dari Jombang.

Ludruk dipahami sebagai pertunjukan seni drama yang dimainkan oleh sekelompok orang, dengan
iringan musik tertentu.

Cerita yang diangkat dalam pertunjukan Ludruk umumnya berkaitan dengan persoalan sosial
masyarakat, kisah-kisah inspiratif yang dikemas dengan lawakan para pemainnya.

Dalam perkembangannya, Ludruk tidak hanya berfungsi sebagai hiburan rakyat, tapi juga berfungsi
sebagai media perjuangan.

Melalui Ludruk, para pemain biasa melontarkan kritik secara halus kepada penguasa yang tidak berpihak
pada rakyat.
Ludruk merupakan salah satu jenis teater tradisi. Artinya ludruk tumbuh dari ekspresi rakyat kebanyakan.
Tema-tema ceritanya muncul dari permasalahan keseharian rakyat. Dipentaskan dengan bahasa sehari-hari
yang digunakan masyarakat kalangan bawah. Karena itu pula ludruk dinilai sebagai teater rakyat.

Dalam pertunjukan ludruk biasanya terdapat unsur tari remo, dagelan, selingan, dan cerita (lakon). James L.
Peacock dalam Ritus Modernisasi: Aspek Sosial & Simbolik Teater Rakyat Indonesia, menulis bahwa isi dari
tarian remo, dagelan, selingan, dan cerita bervariasi dari satu pertunjukan ke pertunjukan lain, serta isi dan
elemen-elemen lain bervariasi secara hampir bebas dari isi dari elemen-elemen lain. “Sebuah rombongan
ludruk katakan saja biasa menampilkan enam dagelan yang berbeda, enam cerita yang berbeda, dan tiga
jenis ngremo selama 20 pertunjukannya berturut-turut,” tulis Peacock.

Tak ada pakem yang pasti terhadap pertunjukan ludruk, seperti jumlah pemain dan jumlah babak. Para
pemain ludruk dituntut berimprovisasi dan mengembangkan jalan cerita yang sudah dibuat terlebih dahulu.

Pertunjukan ludruk diawali dengan tari remo yang dibawakan oleh seorang penari. Pada pertengahan tarian
biasanya penari akan membawakan sebuah lagu berbahasa Jawa yang disebut nggandang. Tari remo ini
menggambarkan seorang yang gagah dan tampan dengan rias wajah dan busana yang menarik. Ciri khasnya
adalah penari memakai gelang kaki yang disebut gongseng. Jika kakinya dihentakkan akan berbunyi cring-
cring.

Pemain ludruk dalam pementasan tidak menggunakan naskah, karena itu mereka harus pandai
berimprovisasi dan mengembangkan jalan cerita yang sudah dibuat. Biasanya ludruk terdiri dari tiga babak
yaitu remo, dagelan dan cerita. Ciri khas ludruk yaitu jula-juli, lagu berbahasa jawa yang berisi nasihat,
guyonan dan diakiri dengan parikan atau pantun berbahasa Jawa. Selain hiburan ludruk juga sebagai sarana
penerangan untuk masyarakat.

Pada masa penjajahan pemain ludruk memanfaatkan pertunjukan sebagai alat penerangan masyarakat untuk
mempersiapkan kemerdekaan. Bahkan pemerintah Jepang menangkap Cak Durasim dan memasukkannya ke
dalam penjara hingga meninggal karena tembang jula-julinya yang terkenal, Bekupon omahe doro, melok
nipon tambah soro (Bekupon rumahnya burung dara, ikut Jepang tambah sengsara)

Ludruk sendiri berasal dari kata gela-gelo dan gedrak-gedruk. Seperti tari remo pada awal pertunjukan,
kepalanya gela-gelo atau menggeleng-geleng dan kakinya gedrak-gedruk atau menghentak-hentak. Kesenian
ludruk ini lahir sekitar tahun 1907 – 1915 di daerah Jombang dan berkembang di seluruh daerah Jawa Timur.

Sejarah Ludruk

Seni drama Ludruk sudah dikenal masyarakat Jawa Timur, khususnya Bumi Majapahit (sekitar
Mojokerto-Surabaya) sejak abad ke-12 Masehi. Menurut Sunaryo dkk (1997), Ludruk pada abad ke-12 ini
dikenal dengan nama Ludruk Bandhan. Ludruk Bandhan digambarkan sebagai pertunjukan atau
pameran kekuatan dan kekebalan. Hal ini berkaitan dengan ilmu kanuragan yang dimiliki oleh para
pemainnya. Pertunjukan Ludruk Bandhan ini akan diiringi oleh alat musik kendang dan jidor, serta
digelar di tanah lapang. Pada abad ke-17 sampai 18, Ludruk Bandhan ini berkembang menjadi
pertunjukan Lerok Pak Santik.
Lerok merupakan alat musik yang dipetik seperti kecapi, sementara Pak Santik merujuk pada tokoh yang
memperbarui Ludruk. Dalam pertunjukan, Pak Santik akan dirias sedemikian rupa, menggunakan ikat
kepala, dan membiarkan dadanya terbuka. Selama pertunjukan itu dia akan bercerita menumpahkan isi
hatinya. Sesekali juga menirukan bunyi alat musik, dan kakinya dihentakkan hingga menimbulkan bunyi
“gedrak-gedruk”. Dari sinilah kemudian Lerok ini menjelma menjadi Ludruk, yang diambil dari bunyi
hentakan kaki pemain Lerok.

Perkembangan berikutnya, Lerok ini lebih dikenal dengan nama Besutan. Besut berasal dari bahasa Jawa
yang berarti mbesut atau membersihkan kotoran, menghaluskan, atau mengulas. Dari Besutan itu
kemudian berkembang menjadi Ludruk seperti yang dikenal hingga saat ini. Adapun perkembangan
Ludruk sebagai kesenian seperti saat ini tidak lepas dari sosok yang bernama Cak Durasim. Pada masa
pendudukan Jepang, Cak Durasim memperkenalkan seni pertunjukan yang mirip dengan Besutan.
Pertunjukan Cak Durasim itu digelar di daerah Genteng Kali, Surabaya. Pertunjukan itu kemudian diberi
nama Ludruk.

Fungsi Ludruk

Ludruk bukan semata sebagai hiburan rakyat. Lebih dari itu, Ludruk juga berfungsi sebagai pemberi
pesan kepada para penonton, serta kritik pada penguasa. Setidaknya ludruk memiliki dua fungsi, yaitu
primer dan sekunder. Fungsi primer Ludruk bersifat ritual, estetis, dan sebagai hiburan. Sementara dari
sisi sekunder Ludruk memiliki beberapa fungsi, yaitu sebagai sarana pendidikan, penebal solidaritas,
menumbuhkan kebijaksanaan, dan sebagainya. Sejak awal, Ludruk maupun nama-nama yang
disematkan sebelumnya juga berfungsi sebagai alat perjuangan. Pada masa penjajahan Beanda, Ludruk
digunakan sebagai media kritik sosial kepada pemerintah Hindia Belanda.

Kritik itu disampaikan melalui parikan, atau pantun yang dikemas secara halus. Selain parikan, kritik juga
disampaikan melalui guyonan yang dilontarkan para pemainnya. Fungsi Ludruk sebagai kritik terhadap
penguasa terus berlanjut pada masa Cak Durasim, saat Jepang berkuasa. Suatu kali, Cak Durasi
mengucapkan parikan yang berbunyi: “Bekupon omahe doro, melok Nippon tambah sengsoro”. Artinya:
Bekupon rumah burung dara, ikut Nippon (Jepang) lebih sengsara. Namun pantun atau parikan Cak
Durasim ini kemudian dilaporkan oleh seorang pribumi yang menjadi mata-mata Jepang. Jepang
kemudian menangkap Cak Durasim dan menjebloskannya ke dalam penjara di Genteng Kali. Di tempat
inilah Cak Durasim meninggal dunia.

Anda mungkin juga menyukai