Anda di halaman 1dari 6

Definisi Teori Budaya Lokal Wawasan dan Dialog Ludruk

Kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu “buddayah”, yang merupakan bentuk jamak
dari buddhi, yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan berarti hal-hal yang
bersangkutan dengan akal. Adapun ahli antropologi yang merumuskan definisi tentang
kebudayaan secara sistematis dan ilmiah adalah Taylor, yang menulis dalam bukunya:
“Primitive Culture”, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang di
dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat,
dan kemampuan lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat
(Ranjabar, 2006: 43). Kalangie (1994: 12) mengemukakan, bahwa kebudayaan adalah suatu
sistem kognitif, yaitu suatu sistem yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai yang
berada dalam pikiran anggota-anggota individual masyarakat. Kata lain, kebudayaan berada
dalam tatanan kenyataan yang ideasional. Kebudayaan merupakan perlengkapan mental yang
oleh anggota anggota masyarakat dipergunakan dalam proses orientasi, transaksi, pertemuan,
perumusan, gagasan, penggolongan, dan penafsiran perilaku sosial nyata dalam masyarakat
mereka.
Pengertian Budaya Lokal
Menurut Mitchel, budaya lokal merupakan seperangkat kepercayaan, nilai-nilai inti, standar,
moral hukum, pengetahuan, serta perilaku yang disampaikan individu dan masyarakat yang
menentukan cara seseorang berperasaan, bertindak, dan memberi penilaian pada dirinya
maupun orang lain.
Objek dari budaya lokal dapat berupa material dan non material. Objek material adalah
benda, seperti pakaian daerah atau senjata tradisional. Sedangkan, objek non material,
misalnya mitos, tarian, upacara, hingga simbol dan cerita rakyat.
Setiap manusia yang lahir ke dunia ini hidup dan dibesarkan dalam budaya tertentu.
Demikian pula dalam proses internalisasi budaya. Seseorang bisa mempelajari (diajari)
disuruh menjalankan hal-hal yang baik dan menghindari hal yang dianggap buruk karena
proses internalisasi dalam budaya masyarakat yang sudah meresap dan menjadi bagian dari
hidup seseorang tersebut serta menjadi acuan dalam berpikir dan berperilaku. Sehingga,
seseorang akan berperilaku serta bertindak karena pengaruh dari perilaku sesuai dengan
kaidah-kaidah yang berlaku. Misalnya jika ia dibesarkan dalam budaya Jawa maka ia akan
bertingkah laku sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada di dalam budaya tersebut. Seseorang
dianggap harus bisa memahami budaya yang ada di sekitarnya, maka dia pun harus bisa
mengetahui bagaimana kaidah-kaidah yang ada dalam budaya tersebut. Ketika dia bisa
mempelajari kaidah budaya yang ada dalam masyarakat, maka dalam bertindak dan
berperilaku pasti akan mengacu pada kaidah budaya yang ada. Begitupula jika ingin
mengembangkan potensi budaya lokal peran komunikasi antar budaya harus dapat
memahami adat istiadat, norma, yang berlaku dalam budaya tersebut. Pengertian Budaya
lokal yaitu meliputi kebiasaan dan nilai bersama yang dianut masyarakat tertentu. Pengertian
budaya lokal sering dihubungkan dengan kebudayaan suku bangsa. Konsep suku bangsa
sendiri sering dipersamakan dengan konsep kelompok etnik. Suku bangsa hendaknya dilihat
sebagai golongan yang khusus. Kekhususan suku bangsa diperoleh secara turun-temurun dan
melalui interaksi antar budaya. Budaya Lokal atau dalam hal ini budaya suku bangsa ini
menjadi identitas pribadi ataupun kelompok masyarakat.
Contoh budaya lokal yang ada di indonesia :
1. Rumah Adat
Salah satu contoh budaya lokal adalah rumah adat. Rumah adat adalah rumah yang
pembangunannya menggunakan cara yang sama dari generasi ke generasi berikutnya tanpa
mengalami perubahan.
Arti lain dari rumah adat adalah rumah yang pembangunannya berdasarkan kegunaan, fungsi
budaya sosial, dan arti budaya yang dapat terlihat dari gaya maupun corak bangunannya.
Setiap daerah mempunyai rumah adat yang berbeda dengan daerah lainnya. Adapun contoh
dari rumah adat adalah rumah joglo, rumah honai, dan rumah gadang.
2. Lagu Daerah
Contoh budaya lokal berikutnya adalah lagu daerah. Lagu daerah berasal dari sebuah daerah
yang dinyanyikan dan dipopulerkan oleh masyarakat yang berada di daerah tersebut.
Sebenarnya, lagu daerah sama dengan lagu kebangsaan namun sifatnya kedaerahan. Lirik dan
bahasa yang digunakan pun sesuai dengan asal daerahnya.
Di Indonesia terdapat banyak sekali lagu daerah mengingat daerah yang ada di tanah air juga
sangat banyak. Contoh dari lagu daerah adalah Injit-Injit Semut, Bungong Jeumpa, dan
Ampar-Ampar Pisang.
3. Kesenian Tradisional
Contoh berikutnya adalah kesenian tradisional yang merupakan bagian hidup dari sebuah
suku atau kaum tertentu di Indonesia. Terdapat berbagai kesenian tradisional di Indonesia,
contohnya tari jaipong, ludruk, hingga wayang golek.

Asal-usul Ludruk
Menurut penuturan beberapa narasumber dan kalangan seniman ludruk, embrio kesenian
ludruk pertama kali muncul sekitar tahun 1890. Pemulanya adalah Gangsar, seorang tokoh yang
berasal dari desa Pandan, Jombang. Gangsar pertama kali mencetuskan kesenian ini dalam bentuk
ngamen dan jogetan. Ia mengembara dari rumah ke rumah. Dalam pengembaraannya ini, Gangsar
kemudian melihat seorang lelaki sedang menggendong anaknya yang sedang menangis. Lelaki itu
berpakaian perempuan, dan ini dianggap lucu dan menarik oleh Gangsar, sehingga dia terdorong
untuk menanyakan alasan pemakaian baju perempuan tersebut. Menurut si lelaki, ia memakai
baju perempuan tersebut untuk mengelabui anaknya, untuk membuat anaknya merasa bahwa dia
digendong oleh ibunya.
Menurut narasumber ini, peristiwa itulah yang menjadi asal munculnya laki-laki yang
berperan sebagai wanita dalam kesenian ludruk.
Narasumber lain menuturkan bahwa ludruk bermula dari pengembaraan seorang pengamen
yang bernama Alim. Seperti halnya Gangsar, dalam pengembaraannya, Alim berjumpa dengan
seorang lelaki yang sedang menghibur anaknya. Laki-laki itu mengenakan pakaian wanita.
Diceritakan bahwa Alim berasal dari daerah Krian yang kemudian mengembara sampai ke
Jombang dan Surabaya. Dalam pengembaraannya, Alim disertai oleh beberapa orang temannya.
Mereka bersama-sama memperkenalkan bentuk seni ngamen dan jogetan. Kemudian kelompok
Alim ini mengembangkan bentuk tersebut menjadi bentuk seni yang berisi parikan dan dialog.
Oleh karena tarian yang dibawakan selalu menghentakkan (gedruk-gedruk) kaki, seni itu
kemudian diberi nama “ludruk”.

Fungsi Ludruk Dari Masa Ke Masa


Ditengarai, ludruk merupakan budaya rakyat yang lahir untuk “memberontak” model
kesenian keraton dan istana semacam wayang dan ketoprak yang ceritanya terlalu elit dan tak
menyentuh rakyat. Cerita-cerita ludruk umumnya mengangkat masalah kehidupan orang kecil
sehari-hari dengan penggunaan bahasa yang lebih egaliter dan terkesan “kasar” tanpa unggah-
ungguh bila dibandingkan dengan bahasa yang digunakan dalam pewayangan ataupun ketoprak.
Pada zaman revolusi, ludruk bukan hanya berfungsi sebagai sarana hiburan saja, melainkan
juga sebagai sarana komunikasi antara pejuang bawah tanah dengan rakyat yang menyaksikannya.
Pada zaman Jepang, kesenian ludruk berfungsi sebagai media kritik terhadap pemerintah. Ini
tampak terutama dalam ludruk Cak Durasim yang terkenal dengan parikan “Pagupon omahe dara,
melok Nippon tambah sengsara”. Dengan parikan serupa itu, Cak Durasim ternyata berhasil
membangkitkan rasa tidak senang rakyat terhadap Jepang. Cak Durasim akhirnya ditangkap dan
meninggal dalam tahanan Jepang.
Pada zaman Republik Indonesia, seni ludruk masih hidup dan berkembang sebagai kesenian
rakyat tradisional yang berbentuk teater. Hanya saja, kalau pada masa sebelumnya kesenian ini
berfungsi sebagai penyalur kritik sosial, pada masa yang kemudian fungsinya bergeser menjadi
penyampai kebijaksanaan pemerintah. Selain itu, ludruk juga digunakan sebagai media promosi
barang dagangan tertentu oleh Sponsor tertentu.
Dinamika Perkembangan Ludruk
Sewaktu James L Peacok (1963-1964) mengadakan penelitian ludruk di Surabaya tercatat
sebanyak 594 grup.
Menurut Sensus Kesenian yang dilakukan oleh Kanwil P dan K Jawa Timur, sampai tahun
1985 terdapat 58 perkumpulan ludruk dengan 1530 orang pemain. Jumlah ini dapat dikatakan
cukup banyak dan menunjukkan bahwa minat masyarakat Jawa Timur (Surabaya) terhadap
bentuk kesenian ini masih cukup besar.
Menurut Depdikbud provinsi Jatim, sesudah tahun 1980 meningkat menjadi 789 grup (84/85),
771 group (85/86), 621 grup (86/87) dan 525 (87/88). Suwito HS, seniman ludruk asal Malang
mengatakan tidak lebih dari 500 grup karena banyak anggota group yang memiliki keanggotaan
sampai lima grup
Pada tahun 1994 , grup ludruk keliling tinggal 14 grup saja. Mereka main di desa-desa yang
belum mempunyai listrik dengan tarif Rp 350. Grup ini didukung oleh 50- 60 orang pemain.
Penghasilan mereka sangat minim yaitu : Rp 1500 s/d 2500 per malam. Bila pertunjukan sepi,
terpaksa mengambil uang kas untuk bisa makan.
Diberbagai daerah, ludruk-ludruk dibina oleh ABRI, sampai tahun 1975. Sesudah itu mereka
kembali ke grup seniman ludruk yang independen hingga kini. Dengan pengalaman pahit yang
pernah dirasakan akibat kesenian ini, Ludruk lama tidak muncul kepermukaan sebagai sosok
Kesenian yang menyeluruh. Pada masa ini ludruk benar- benar menjadi alat hiburan. Sehingga
generasi muda yang tidak mendalami sejarah akan mengenal ludruk sebagai grup sandiwara
Lawak.

Ciri Khusus Ludruk


 Ludruk sebagai Teater

Sedyawati menyatakan bahwa ludruk sebagai teater tradisional, memiliki ciri khas antara
lain:
1. Pertunjukan ludruk dilakukan secara 12 improvisatoris, tanpa persiapan naskah.

2. Bahasa yang digunakan dalam ludruk adalah bahasa yang mudah dicerna masyarakat,

yakni bahasa Jawa logat Surabaya. Selain itu, sesuai dengan tuntutan cerita, di dalam

bentuk seni ini sering pula digunakan kata-kata Cina, Belanda, Inggris dan Jepang.

3. Memiliki tradisi:

a) Pemain ludruk semuanya terdiri dari laki-laki, baik untuk peran laki-laki sendiri

maupun untuk peran wanita.

b) Terdapat tembang khas, yakni Kidungan Jula-juli

c) Iringan musik berupa gamelan berlaras slendro, pelog, laras slendro dan pelog

d) Pertunjukan dibuka dengan tari ngremo

e) Terdapat adegan bedayan

f) Terdapat sajian/adegan lawak/dagelan

g) Terdapat selingan travesti

h) Lakon diambil dari cerita rakyat

 Struktur Pementasan

Kasemin (1999:19-20) menyatakan bahwa struktur pementasan ludruk dari zaman awal
kemerdekaan sampai sekarang tidak mengalami perubahan yang signifikan. Lebih jelas
struktur pementasan ludruk tersebut adalah sebagai berikut:
a) Pembukaan, diisi dengan atraksi tari ngrema.

b) 13 Atraksi bedhayan, berupa tampilan beberapa travesti dengan berjoged ringan sambil

melantunkan Kidungan Jula-juli.


c) Adegan lawak (dagelan), berupa tampilan seorang lawak yang menyajikan satu kidungan

disusul oleh beberapa pelawak lain. Mereka kemudian berdialog dengan materi humor

yang lucu.

d) Penyajian lakon atau cerita.

 Corak Penggarapan

Corak penggarapan pada proses pementasan harus disesuaikan dengan selera atau
kehendak dan perkembangan masyarakat. Supriyanto (dalam Sudikan, 2002: 3) menyodorkan
tiga model penggarapan ludruk yakni:
1. Model garapan dengan memperhatikan ciri khas ludruk

2. Model garapan dengan pengembangan dan pembaruan, ciri khas tetap, tetapi ada upaya

pembaruan tata panggung, tata kostum, dan pemilahan garapan lakon

3. Pentingnya ludruk eksperimen atau ludruk alternatif.

 Kesuksesan Pertunjukan Ludruk

Kesuksesan pertunjukan ludruk dilihat dari tiga hal penting, seperti yang dikemukakan
Retno Maruti (dalam Sutarto, 2002:5), antara lain:
1. Prinsip “apik kanggo awake dhewe, bagus untuk diri sendiri

2. Prinsip apik kanggo wong liyo, bagus untuk orang lain, dan

3. Prinsip apik ing apik, bagus dari mutu pertunjukan.

Pertunjukan ludruk yang tidak bagus, hanya akan menguras stamina, waktu, dan tidak
terkecuali adalah dana. Untuk itu, ketiga hal tersebut, dapat menjadi prinsip dan pegangan
bagi pelaku seni tradisional ludruk.
Bagus,I. 2016. Kearifan Budaya Lokal Perekat Identitas Bangsa. Jurnal Bakti Saraswati
Vol.05. no 01
Purwanto, J. 2012. Beberapa unsur Pembentukan Estetika Karawitan Jawa Gaya Surakarta.
Jurnal Seni Budaya Vol 10
Kasemin, Kasiyanto. 1996. Ludruk Sebagai Teater Sosial: Kajian Kritis Terhadap
Kehidupan, Peran dan Fungsi Ludruk Sebagai Media Komunikasi, Surabaya: Airlangga
University Press

Anda mungkin juga menyukai