Anda di halaman 1dari 6

Longser dan Kesenian Jawa Barat

Kategori: Esai Indonesia| Dibaca: 882 kali | 06-03-2008 | 05:51:38


Dari: http://daluang.com/tag/kesenian_jawa_barat.html

Di Jawa Barat terdapat beragam kebudayaan Sunda. Menurut Dana Setia yang pernah
menjabat Kepala Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Barat, sedikitnya
terdapat 300 jenis kesenian yang pernah hidup di masyarakat. Seiring perkembangan
sosial masyarakat Sunda, terutama sejak masuknya beragam budaya lain, kesenian
tersebut mulai berguguran, bahkan sudah ada yang hilang sama sekali. Banyak faktor,
baik internal maupun eksternal, yang menyebabkan hilangnya kesenian tersebut.
Terbukanya kehidupan masyarakat dengan dunia luar yang dicirikan dengan kemajuan
dalam bidang transportasi dan komunikasi seperti internet, telah menjadikan dunia tanpa
batas budaya. Budaya global yang mampu menggerus kelokalan yang dimiliki setiap
etnik, di manapun. Berbagai nilai baru pun merembes sampai ke daerah-daerah
terpencil. Padahal semua tahu, bahwa tidak semua nilai baru tersebut bersifat positif.
Kalaulah masyarakat tidak mempunyai filteryang kuat, maka nilai-nilai baru yang
bersifat negatif tersebut tentunya dapat memporakporandakan nilai-nilai lama yang
positif dan telah ada. Oleh karena itu apabila disebutkan bahwa pedokumentasian,
pengembangan dan pembinaan kesenian, salah satunya bertujuan untuk melestarikan
nilai budaya bangsa, maka dalam bentuk yang lain, kesenian dapat dijadikan sebagai
alat ketahanan budaya (Deskripsi Kesenian Jawa Barat, Dibudpar & PDP).
Berdasarkan catatan terbaru dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, saat ini
terdapat sekitar 34 jenis kesenian yang masih terpelihara dan hidup di tengah-tengah
masyarakat. Di antaranya, terdapat kesenian Longsér, sebuah teater rakyat yang hidup
dan berkembang di Bandung.
Selain Longsér, di Jawa Barat pun terdapat beberapa jenis teater tradisional lainnya,
seperti Uyeg dari Sukabumi, Ubrug dari Banten, Matres dari Cirebon, Tarling dari
Cirebon, Topeng Banjet dari Karawang, dan sebagainya. Tiap-tiap jenis kesenian
tersebut mempunyai ciri tersendiri, baik dari cara pementasan maupun peralatan yang
digunakan.

Salah satu adegan dalam pertujukan longser.


Jika dibandingkan dengan daerah lain, Longsér mempunyai kemiripan dengan Lenong
dan Srimulat. Perbedaannya, sampai saat ini Longsér menggunakan bahasa Sunda untuk
berkomunikasi dengan penonton. Salah satu ciri khasnya adalah dengan hadirnya
Ronggéng, penari merangkap penyanyi yang mampu menarik perhatian penonton.
Ronggéng biasa menari dengan iringan lagu-lagu Sunda jenis ketuk tilu.
Longsér dan Perkembangannya
Belum ada catatan yang akurat, sejak kapan sebenarnya Longsér menjadi bagian dari
kesenian di Tatar Sunda. Bahkan kata Longsér tidak menpunyai definisi yang jelas. Ada
yang menggangap bahwa kata Longsér kependekan dari “long” (melihat, memandang)
dan “ser” (kata untuk menunjukkan suatu hasrat atau gairah seksual). Namun anggapan
tersebut bukanlah satu-satunya definisi yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya.
Bentuk pergelaran Longsér, seperti halnya Lenong Betawi, dibangun dari beberapa
bagian penting yang menjadi ciri khas kesenian tersebut. Sebuah pergelaran Longsér
biasanya dilengkapi oleh nayaga (penabuh musik), pemain, bodor (pelawak), dan
ronggéng (penari merangkap penyanyi) yang berfungsi daya tarik tersendiri bagi
penonton. Pada saat pementasan, para pemain membangun cerita untuk disuguhkan
kepada penonton. Pada mulanya, cerita dalam Longsér disusun sesaat sebelum
permainan dimulai. Artinya, tanpa skenario yang jelas, sehingga kadang-kadang isi
cerita menjadi kurang fokus dan lebih cenderung humoristik.
Sebagai teater rakyat, Longsér dipentaskan di tengah-tengah penonton. Bahkan, pada
awal perkembangannya, Longsér hampir tidak pernah dipentaskan di sebuah panggung
yang ditata sedemikan rupa. Di mana terdapat penonton, di sana Longsér digelar;
apakah tempat ini alun-alun, terminal, stasiun, atau bahkan di pinggir jalan.
Menelusuri sejarah Longsér, tidak akan terlepas dari nama Bang Tilil (nama aslinya
Akil), yang dikenal sebagai tokoh Longsér. Dalam kurun waktu 1920-1960, Longsér
Bang Tilil mencapai puncak kejayaannya. Longsér Bang Tilil hadir sebagai media
hiburan rakyat yang komunikatif. Ketenaran Longsér Bang Tilil, telah memicu seniman
lainnya untuk mendirikan grup tersendiri; di antaranya Longsér Bang Soang, Bang
Timbel, Bang Cineur, Bang Kayu, dan sebagainya. Selain Longsér Bang Tilil, salah satu
kelompok Longsér yang cukup terkenal adalah Longsér Pancawarna yang dipimpin oleh
Aténg Japar (pernah berguru kepada Bang Tilil). Pancawarna didirikan tahun 1939, dan
masih eksis sampai sekarang walaupun produktivitasnya menurun.
Terdapat pembagian wilayah pertunjukan antara Bang Tilil dengan Ateng Japar. Bang
Tilil menguasai wilayah pertunjukan kota Bandung (Stasiun, Alun-alun, Tegal Lega,
Cicadas, Andir, Cikawao dan wilayah lain di kota Bandung). Sementara Longsér Ateng
Japar menguasai wilayah luar kota Bandung (Pangalengan, Cililin, Banjaran, Soreang,
dan lain-lain). Akibat penjajahan Jepang, banyak seniman Longsér mengungsi. Praktis
kegiatan berkesenian mereka surut sejak itu. Baru pada tahun 1952, ketika Ateng Japar
kembali ke Bandung dari pengungsiannya di Garut, Longsér kembali mengisi ruang
hiburan bagi masyarakat Bandung dan sekitarnya.
Kesulitan kesenian Longsér untuk bertahan pun masih terus dialaminya. Ini disebabkan
oleh kebijakan penataan tata ruang kota Bandung, termasuk pemekarannya. Akibatnya,
beberapa genre seni pertunjukan rakyat yang pada saat itu menjadi bagian dari
masyarakatnya juga mengalami kesulitan untuk hidup. Perlahan-lahan wilayah
pertunjukan Longsér Bang Tilil pun menciut dan akhirnya surut. Apalagi setelah Bang
Tilil meninggal, punahlah Longsér yang dipimpinnya.
Sementara itu, Longsér Ateng Japar tetap eksis berkeliling di wilayah pertunjukannya,
walaupun tidak lagi seperti pada masa kejayaannya dahulu. Dewasa ini, Longsér Ateng
Japar tidak lagi memiliki wilayah pertunjukan yang pasti. Bahkan dari hari ke hari
semakin surut, walaupun belum dapat dikatakan punah sama sekali. Longsér Ateng
Japar tidak lagi melakukan pertunjukan keliling, dan hanya memenuhi panggilan untuk
menumbuhkan apresiasi para mahasiswa kesenian atau untuk hiburan bagi instansi yang
menganggap Longsér masih layak dijadikan materi hiburan. Belakangan Longsér Ateng
Japar mempreteli keutuhan pertunjukan dan bersedia memenuhi panggilan untuk
hajatan. Longser itu hanya memiliki tarian jenis ketuk tilu dan jaipongan, dimainkan di
sebuah panggung dengan perlengkapan bodor alakadarnya. Padahal, umumnya Longsér
dimainkan di aréna terbuka, menyatu jeung penonton. Memang belakangan ini, Longsér
sering dimainkan di sebuah panggung, baik di luar bangunan maupun di dalam gedung
kesenian.
Namun menurut Wa Kabul, pemimpin Longsér Ringkang Gumiwang, persoalan tempat
tergantung pada kondisi. Sah-sah saja Longsér dimainkan di atas panggung, seperti seni
teater lainnya.
Awalnya Longsér memiliki waktu pertunjukkan tertentu, yaitu pada malam hari, antara
pukul 20.00 sampai dan 22.00. Namun saat ini banyak juga seni Longsér yang
dimainkan pada siang hari.
Longsér yang Komunikatif
Malam itu, pada bulan September 2001, arena lapangan parkir Sekolah Tinggi Seni
Indonesia (STSI) Bandung disesaki penduduk. Masyarakat di sekitar kampus tersebut
berbondong-bondong menyaksikan pertunjukkan yang jarang sekali digelar. Dengan
tajuk Revitalisai Seni Tradisi, acara tersebut menampilkan seni Longsér setiap malam
selama 9 hari, 10-18 Sepetember 2001. Para penonton cukup antusias menyaksikan
acara tersebut. Pemainnya sebagian besar generasi muda. Mereka datang dari bebagai
grup Longsér yang ada di Bandung dan sekitarnya.
Berbeda dengan Longsér Bang Tilil atau Aténg Japar, seni Longsér yang ditampilkan di
STSI Bandung mengalami beberapa perubahan. Perubahan-perubahan tersebut,
merupakan perkembangan dari Longsér itu sendiri, dan pada dasarnya masih berpijak
pada tradisi terdahulu. Bahkan salahsatu grup Longsér sudah berani memodifikasi
keutuhan Longsér, menggabungkannya dengan musik dan teater modern.
Kostum dan tema cerita memang berbeda, merupakan penyesuaian dengan keadaan
sekarang. Menurut Wa Kabul, cerita dan bahasa yang digunakan pada Longsér hanyalah
sebuah fungsi untuk disampaikan kepada penonton. Saat ini para pemain Longsér masih
menggunakan bahasa Sunda yang komunikatif, walaupun pada beberapa pementasan
ada juga yang menggunakan bahasa Indonesia.
Longsér dibangun oleh para pemain yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Bahkan
pada Longsér Bang Tilil, para pemain Longsér banyak yang mempunyai “peran ganda”.
Suatu saat ia harus menjadi nayaga (penabuh musik), tapi tiba-tiba ia bergabung dengan
pemain lainnya dan ikut berakting.
Selain mengiringi jalannya pementasan, para nayaga pun bertugas untuk “tatalu”
(menabuh gamelan) agar mengundang perhatian penonton. Sebelum acara dimulai,
gamelan sudah ditabuh sambil menunggu para pemain mempersiapkan cerita yang akan
disajikan.
Ronggéng
Ronggéng dikenal sebagai penari merangkap penyanyi pada seni Longsér. Banyak yang
beranggapan miring pada tokoh yang satu ini, bahwa ronggéng adalah wanita perayu
dengan tarian érotis sebagai pemikatnya. Anggapan tersebut membuat beberapa penari
Longsér saat ini enggan disebut ronggéng.
Padahal ronggéng mempunyai peran yang sangat penting dalam seni Longsér. Ia
mempunyai daya tarik tersendiri, dan akan terasa hambar jika Longsér tidak dilengkapi
oleh ronggéng.
Setelah nayaga menabuh gamelan, dan penonton mulai datang, permainan pun dimulai.
Ronggéng bertugas membuka pementasan dengan sebuah tarian. Dilengkapi Kostum
dan tata rias yang cukup mencolok, ronggéng menari di tengah-tengah penonton dengan
berbagai jenis nuansa gamelan. Beberapa gerakan tari, seperti “éplok céndol” (tarian
dengan gerakan goyang pinggul yang cukup erotis), cukup membuat penonton
terkesima. Nah, daya tarik inilah yang kemudian membuat para penonton enggan
beranjak.
Selain ronggéng muda, dengan penampilan cantik dan menarik, juga ada ronggéng yang
sudah berumur. Ronggéng yang satu ini biasanya menampilkan tarian kocak yang
membuat penonton terbahak-bahak.
Dalam sebuah pementasan Longsér, ronggéng hadir beberapa kali. Apalagi banyak
ronggéng yang ikut berakting dengan pemain lainnya. Beberapa grup Longsér
mempunyai lebih dari satu rongéng. Mereka menari dan menyanyikan lagu-lagu Sunda
silih berganti. Ronggéng pun berperan pada saat “ngarayuda” (meminta sumbangan
alakadarnya kepada penonton sebagai imbalan pementasan). Ronggéng yang cukup
terkenal adalah Si Kucrit dari grup Longsér Bang Tilil.
Bodor
Salah satu ciri khas seni Longsér adalah dengan adanya bodor atau pelawak. Bodor
hadir setelah ronggéng menampilkan tarian pembuka. Ia kemudian menari meniru
ronggéng, dengan gerakan yang kocak dan mimik yang humoris. Bodor bertugas
memperkenalkan grup Longsér yang sedang pentas, menggunakan bahasa yang
komunikatif dan seringkali dibumbui dengan canda. Jika pementasan diadakan dalam
sebuah kariaan, maka bodor pun mengungkapan maksud dan tujuan penyelenggara
kariaan.
Setelah itu, bodor meminta menari bersama ronggéng. Nah, ketika itu, munculah bodor
lain dan ikut menari. Kemudian secara katikatural mereka berebut ronggéng. Ronggéng
kemudian meminta bayaran, dan karena bodor (pura-pura) tidak mempunyai uang,
maka mereka “ngarayuda”, meminta sumbangan kepada penonton. Namun ada juga
penonton yang spontan melemparkan uang ke arena pentas dengan menggunakan
saputangan atawa kain karémbong.
Setelah itu bodor pun mulai berdialog dengan mengangkat sebuah téma yang telah
dipersiapkan. Umumnya, tema yang diangkat adalah kehidupan sederhana masyarakat
Sunda. Beberapa pemain (selain bodor) menampilkan berbagai peran, dari ketua RT
sampai orang kaya yang kikir.
Dialog
Cerita dalam Longsér umumnya spontanitas, dan naskah, atau bahkan merupakan
pengulangan cerita lain yang pernah dipentaskan. Tema cerita pun bagian dari
kehidupan sehari-hari, umpamanya tentang “bobogohan” (kisah cinta) antara orang
miskin dengan orang kaya. Kisah sederhana ini, sering dilengkapi oleh konflik yang
lucu, dan selalu diakhiri dengan happy ending. Kadang-kadang, cerita pun tidak selesai
dipentaskan berhubung keadaan alam, misalnya turun hujan, atau karena sudah tidak
ada penonton.
Belakangan ini, cerita pada Longsér dipersiapkan dengan naskah skenario. Tetapi unsur
spontanitas serta komunikasi dengan penonton masih dipertahankan.
Longsér dan Peralatan Sederhana
Longsér adalah jenis kesenian yang sangat merakyat. Berbagai unsur seni bergabung
dalam Longsér, mulai dari seni akting, seni musik, dan seni tari. Peralatan yang
digunakan untuk pementasan pun cukup sederhana.
Kostum misalnya, tidak menggunakan kostum husus, namun menggunakan pakaian
sehar-hari. Dari mulai datang hingga pementasan, tidak pernah berganti pakaian
(kecuali ronggéng). Tidak seperti sekarang, kostum Longsér telah dipersiapkan, sesuai
dengan tokoh yang akan diperankan.
Ronggéng misalnya, hanya mengenakan kebaya dan samping dengan motif batik. Tata
riasnya pun sederhana, walaupun cukup “menor” (mencolok). Pada perkembangan
selanjutnya, busana ronggéng diseragamkan. Sedangkan busana bodor dan pemain
lainnya berupa baju kampret, celana sontog, kain sarung, kopiah atau ikat kepala.
Begitu juga peralatan lainnya, menggunakan barang-barang yang ada di sekitar
pementasan. Ketika sebuah cerita memerlukan peralatan kursi misalnya, maka gendang
pun dapat difungsikan sebagai kursi.
Ketika Longsér dipentaskan di aréna terbuka, penataan “panggung” dilaksanakan sesaat
sebelum acara dimulain. Artinya tidak ada persiapan yang panjang seperti layaknya
sebuah pementasan teater. Mengacu pada Longsér Bang Tilil, yang dipentaskan pada
tahun 1950-an, para pemain dan nayaga datang pada soré hari, sekitar pukul empat.
Mereka datang dengan menggunakan béca sebagai sarana pengangkut peralatan. Ada
juga grup Longsér yang tidak dilengkapi dengan kendaraan. Mereka datang sambil
memikul peralatan, dan disimpan di mana longsér akan digelar, misalnya di stasiun. Hal
ini untuk mengundang perhatian penonton, sebagai pertanda bahwa pada malam itu
akan dilaksanakan pertunjukan Longsér.
Adapun jenis peralatannya adalah gamelan (musik pengiring); gendang, rebab, saron,
bonang, panerus, goong dan kecrek. Peralatan lainnya adalah lampu penerang, bisa
berupa patromak atau oncor/obor (sejenis). Sampai saat ini, beberapa grup Longsér
masih menggunakan obor, walaupun hanya sebagai simbol karena penerangan sudah
memakai listrik. Sebagai pengeras suara, mereka menggunakan spiker dan accu.
Perbatasan antara pemain dan penonton hanyalah menggunakan sebuah garis putih,
berupa serbuk kapur yang ditaburkan membentuk lingkaran.
Longsér dan Masa Depannya
Sesuai dengan perkembangannya, saat ini Longsér telah mengalami perubahan. Hal ini
merupakan bentuk kreatifitas untuk mengolah seni tradisi agar sesuai dengan kekinian.
Tempat pertunjukan, misalnya, saat ini sudah jarang menggunakan arena terbuka, tetapi
lebih cenderung di gedung kesenian. Kalaupun di arena terbuka, maka dibangun sebuah
panggung dan dipersiapkan beberapa hari segelumnya.
Tema cerita pun mengalami modifikasi, bahkan sudah difokuskan pada suatu kisah
yang mengalir dari awal sampai akhir. Modifikasi seni Longsér, seperti seni-seni
lainnya, merupakan bentuk perkembangan seni itu sendiri. Hal yang terpenting adalah
tidak menghilang bagian yang menjadi ciri seni tersebut.
Seperti seni tradisi lainnya, Longsér pun mengalami pasang-surut. Saat ini, sebagaimana
perkembangan sosial di masyarakat yang mengarah kepada kehidupan modern, orang-
orang sudah banyak enggan untuk menonton pertunjukan Longsér. Bahkan jenis
kesenian Longsér pun banyak yang tidak mengetahuinya, apalagi generasi muda.
Fenomena ini ditandai dengan matinya beberapa grup Longsér karena sudah memiliki
penonton. Kalaupun Longsér dipertunjukkan, hanya pada acara husus, bukan
berdasarkan tuntutan masyarakat untuk mendapat sarana hiburan. Padahal Longsér
mempunyai fungsi sosial yang mengetengahkan gambaran kehidupan masyarakat di
setiap jaman.
Upaya pelestarian pun terus dilakukan. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar)
Jawa Barat yang berkewajiban melestarikan seni tradisi telah melakukan pembenahan,
agar warisan leluhur ini tidak sampai punah. Misalnya, dengan menampilkan Longsér di
gedung-gedung kesenian, atau bahkan di layar kaca seperti TVRI Bandung. Disbudpar
pun telah memprioritaskan seni ini sebagai salah satu aset pariwisata di Jawa Barat.
Regenerasi pun merupakan bagian terpenting dalam upaya pelestarian. Ada
kecenderungan bahwa surutnya Longsér karena materinya tidak dapat menarik
perhatian generasi muda.
Sekolah seni pun, seperti STSI, mempunyai tugas yang sama. Bahkan beberapa
mahasiswa STSI membentuk grup Longsér Antar Pulau yang tumbuh dan berkembang
sebagai teater rakyat kota. Generasi muda lainnya, seperti Dhipa Galuh Purba,
membentuk grup Longsér Damar Citraloka yang anggotanya didominan para remaja.
Namun grup-grup tersebut belum dapat memotifasi generasi muda lainnya untuk ikut
mengembangkan seni Longsér. Keadaannya kini cukup memprihatikan, karena
pertujukan Longsér tidak lagi menjadi kegiatan yang rutin, hanya pada acara-acara
tertentu. Memandang masa depan, mengarah pada perkembangan yang lebih baik,
memerlukan peran serta dari berbagai pihak. Apalagi, di Jawa Barat, bukan hanya
Longsér yang memerlukan perhatian untuk diselamatkan dari kepunahan.
Saat ini, grup Longsér yang ada di Bandung, dapat dihitung dengan jari.
Produktifitasnya pun perlu dipertanyakan. Dan jika hal ini terus berlanjut, maka grup-
grup Longsér tersebut hanya untuk memperlambat proses kepunahan.***
Disarikan dari buku Déskripsi Kesenian Jawa Barat, serta sumber-sumber lainnya.

Anda mungkin juga menyukai