muda itu terbuka bagian atasnya dan mempertegas celah sempit di tengahnya. Ah,
betapa, semakin berdenyar nadi-nadinya.
Maka, dengan gerakan merayap serupa kepinding yang menyuruk ke ceruk-ceruk
kasur lapuk, ia mendekatinya dan bersembunyi di balik batu besar di samping kiri
perempuan hujan. Dan setelah merasa aman-nyaman mendekap dingin batu kali,
kemilau matanya berlesatan menujahi sekujur tubuh perempuan itu. Matanya dapat
merasai hangat yang meruap dari setiap juring, lekuk, ceruk, tepi, gigir, gunduk, tubuh
perempuan yang kini menjadi semestanya. Menjadi keseluruhan hidupnya. Dalam jarak
tujuh depa, segala yang masih melekat dan yang tanggal dari tubuh perempuan itu
tampak sempurna. Dan entah mengapa, tanpa alasan-alasan yang bisa dialamatkan ke
ruang sadarnya, ia mulai menggambar. Mengabadikan setiap detail perempuannya ke
atas batu yang tadi didekapnya itu. Mula-mula adalah sepasang mata yang cerlang.
Lelatu bepercikan dari dalamnya. Lalu batang hidung yang luncung. Kemudian bibir
yang merekah mawar. Dan terus saja ia goreskan kerakal bersudut banyak itu ke atas
batu yang sebetulnya tak rata, hingga sempurna membentuk seraut durja yang
memesona seolah pernah surga.
Namun pertemuannya harus tandas ke dalam bebulir air yang menetes dari tubuh
kuyup perempuan itu, menetes dari rambutnya yang merumbai-rumbai seperti akar
beringin di tepi makam. Ia memandang lanskap. Menyudahi guratan-guratan. Lalu
mendesah-resah sebab si perempuan tinggal punggung dan menghilang di sebalik
belukar. Sementara, senja yang ringan dan mengambang nyaris rampung ditingkahi
gerimis.
Hari meloncat-loncat. Waktu melaju tanpa tahu siapa yang memacu atau memicu.
Kali lain, di bawah awan pekat yang berbeda, pada senja berbeda, namun masih di
bawah langit jelita yang sama, di atas batu yang sama, di sekitar lanskap yang sama, dan
dengan kerakal yang sama, ia menambahi guratan demi guratan putih dengan kesabaran
supara petapadalam rentang lima musim panenlengkap-utuhlah sosok perempuan
hujan dalam gambarnya. Ia pun merayakan dirinya. Menari dan berjingkrak-jingkrak.
Melompat dari satu batu ke batu lain. Lalu menceburkan diri ke sungai yang airnya
selalu tampak bening-segar itu. Setelah tubuhnya kuyup dan senyumnya mekar serupa
musim bunga yang tengah kembang, ditiupnya toleat hingga melengking meliuk-liuk
meningkahi kecipak air yang masih saja dipermainkan jari-jemari perempuan hujan.
Sesekali, diciuminya paras perempuan pada batu itu. Dan entah mengapa, ia birahi.
Barangkali, ketika bibirnya memagut bibir yang merekah mawar pada batu dingin itu, ia
merasakan hangat menjalar di dalam darahnya. Menyusuri urat-urat sarafnya. Ia
mendesah. Dan lemah....
Sementara perempuan hujan menatapnya geli sebab hanya melihat seorang bujang
bermata tajam, menciumi batu kali di senja hari. Tapi sekali-kali, perempuan hujan
merekahkan juga senyumnya yang merona mawar. Maka merebaklah bau reroncean dari
senyumnya yang sanggup menunda gerak daun kering yang melayang-layang itu.
Ahai, matanya yang memercikkan lelatu, bersirobok juga dengan mata bujang yang
kilau-kemilau dan melesatkan cahaya-cahaya bening itu. Dan waktu, ah, waktu yang
melingkar-lingkar dan melingkungi mereka seolah istirah beberapa jenak. Segala
menjadi kaku. Angin mati. Semesta berhenti. Barangkali, pada saat seperti ini, tuhan
sekali pun tak sanggup ambil bagian. Ini semesta kita, bisik lelaki bujang dari jarak
tujuh depa, namun meremangkan bulu leher perempuannya.
* * *
Amben berderit. Ia terduduk dan memandang lanskap lengang. Angin bergemuh
lintang-pukang. Daun-daun kering berhamburan. Debu-debu beterbangan tak tentu tuju
tak pasti laju. Tanah gersang dan retak-retak. Udara gerah menguar di sekujur punggung
kampung. Dan langit yang dulu melulu jelita, kini melulu menampakkan borok pada
wajahnya. Ah, sudah berapa dalam dan masih berapa panjangkah kampung ini kuruskering-kerontang? Ia tak lupa. Tak mungkin bisa melupa sebab terik yang merajalela di
kampung ini, konon, terkait-hubung dangan perempuan hujan yang memesonanya.
Perempuan yang hingga kinisetelah tujuh puluh dua purnama melintas di atas
bantaran sungai yang dahagamasih saja mengandung kemarau dalam rahimnya.
Ya, ia masih mengingatnya dengan jelas. Seolah ingatan itu terajah lebih tegas dan
tajam di dalam tempurung kepalanya. Betapa, setelah lewat dua kuartal sejak
perempuan hujan tersenyum kepadanya dan menghentikan gerak daun yang melayanglayang pada senja itu, ia yang tengah meniup toleat di atas batu yang sama, mendapati
perut perempuan hujan keras membukit. Duh, apakah yang menusuk-merasuk ke dalam
perut itu? Mungkinkah seorang ular telah membuat perut perempuanyang selalu
mengikatkan kain sedada hingga bagian atas sepasang payudaranya mempertegas celah
sempit di tengahnyaitu membuncit? Adakah mata seorang ular itu dirasuki mambang
bermata tolol? Entahlah. Ia tak tahu. Tak pernah tahu siapa yang telah menanam benih
kemarau di dalam rahim perempuan itu, yang hingga kini, setelah tujuh puluh dua
purnama, belum juga melahirkan.
Hanya saja, pada sebuah malam ketika udara lembap menggenapkan segala, ketika
angin berembun memesrai daun-daun, dan udara dingin terasa hambar di pucuk hidung,
ia-lah yang telah bermimpi menyenggamai batu kali bergambar perempuan hujan.
Hingga ia terbangun dengan kelamin sekeras batu, setegak turus, sebecek kubangan.
Tapi itu cuma mimpi sebagai penglepasan hasrat atas tubuhnya, setelah seharian
tubuhku lelah memanggul ber-cayut-cayut padi, sergahnya pada diri sendiri.
Perempuan hujan tersenyum kepadanyamasih dengan senyum yang menaburkan
reroncean yang ditangkap hidung lelaki bujang itusembari mengusap-usap perutnya
yang mengembung. Bujang, itu setubuh kita yang diberkati semesta, diberkati debudebu yang beterbangan tak tentu tuju tak pasti laju, bisik perempuan hujan yang
terbawa angin dan menyentuh daun telinganya.
Namun lelaki bujang sungguh kecewa. Di matanya menggenang bebulir hujan yang
lantas mengering direguk jiwanya yang terbakar. Dilemparkannya toleat yang barusan
ditiupnya itu tinggi-tinggi. Hingga melayang dan ditopang bilah-bilah angin. Di
kejauhan, perempuan hujan masih melihat toleat itu melambung, membumbung. Dan
masih didengarnya suara yang meliuk-liuk dari toleat itu, meski tiada lagi lelaki bujang.
Seolah, toleat itu terus saja bernyanyi dan terus saja meninggi. Meninggi. Meninggi.
Dan suaranya tak hilang dari ingatan perempuan hujan.
* * *
Muka para tetua kampung pun merah padam karena amarah yang meluap-luap dan
membakar kepala mereka. Ah, tetua kampung mana yang tak resah dan marah
mendapati anak gadis mereka yang berparas ayu rupawan elok menawan seolah pernah
surga, bertubuh sintal dengan dada molek dan pinggul bahenol macam padi berisi itu
bunting tanpa suami? Tanpa lelaki yang jelas dan sah meminangnya dengan setampin
sirih dan seperanggu mas kawin.
Ah, maka tak bisa lagi dielak, tak mungkin lagi ditolak, desas-desus, sumpah
serapah, dan ceracau parau pun menyebar di seantero kampung. Terpelanting dari satu
mulut ke mulut lain. Membentur dinding-dinding bata dan merembesi dinding-dinding
gedek. Berleleran di jalan-jalan setapak, di pematang-pematang sawah. Berhamburan
dari dapur, sawah, sungai, sumur. Membumbung tinggi dan melubagi awan, menembusi
tujuh lapis langit layaknya doa-doa panjang, doa-doa pendek, doa-doa keselamatan,
doa-doa pengampunan. Kampung geger dan bising. Gempar dengan segala macam
tudingan yang mengarah pada perempuan hujan yang dulu melulu dipuja.
Sementara, ibu si perempuan hanya bisa menangis dan meratap-ratap, sembari
mengelus dadanya sendiri. Barangkali, sekadar melapangkan sesak beronak yang
mencucuk-cucuk hatinya. Tapi aneh, si perempuan hujan masih saja tampak tenang,
masih kerap tersenyum ringan, dan seolah tak pernah terjadi badai yang mengamuk dan
meluluh-lantakkan rumahnya, meremuk-redamkan hati ibunya.
Di senja yang gamang, berkali ibunya menanyai perempuan hujan tentang lelaki
yang telah merayu dan memesrainya sedemikian rupa. Namun, sembari tersenyum
hangat dengan mata berbinar-binar, perempuan hujan selalu menjawabnya dengan
gelengan kepala.
Di tempat lain, para tetua kampungbaik di senja yang muram maupun di pagi
yang gersangberkali pula menanyai berpuluh bujang, beratus lelaki, demi beroleh
jawaban. Namun, lagi-lagi hanya gelengan kepala demi gelengan kepala. Barangkali,
sudah sejak lama orang-orang di kampung itu hanya bisa menggeleng, tanpa bisa lagi
menunduk atau mengangguk. Entahlah. Hingga sebuah simpulan terletup bahwa siapa
pun layak dicurigai. Layak dijadikan sasaran atas pertanyaan-pertanyaan. Dari lelaki
yang baru kali pertama mengalami cinta, baru pertama kali menghasrati tubuh wanita,
baru pertama kali memimpikan senggamaentah dengan perempuan mana, hingga
lelaki bangka yang nyaris berkalang tanah, dan tak terkecuali para tetua kampung
sendiri.
Kita kawinkan saja dia dengan sembarang bujang, kata salah seorang tetua
kampung yang seluruh anak-anak rambutnya telah memutih sempurna.
Barangkali, memang sudah menjadi kaprah jika tiada pejantan yang mengakui
penyatuan tubuhnya dengan betina, maka celayang kini telah mencederai sekujur
tubuh kampungharus tetap dibebat rapat-rapat. Ditutupi rapi-rapi. Dikubur dalamdalam. Jangan biarkan angin lintang-pukang membawanya ke kampung lain, atau
menyapukannya ke kota-kota. Karena leluri kita tak mengenal rajam, pengasingan, atau
menceburkan perempuan cemar ke dalam sungai setelah sebelumnya tubuhnya diikat
dan dimasukkan ke dalam bubu, maka mengawinkan perempuan hujan dengan lelaki
semakin benderang seperti pagi cerah selepas hujan. Namun hujan, barangkali telah
melupa alamat kampung mereka.
Sementara itu, di dapur, di atas ranjang bambu yang satu kakinya tidak sama tinggi,
perempuan hujan tampak berpeluh dan mengaduh. Sesekali matanya menerawang ke
awang-awang, dan mendapati toleat yang dulu dilemparkan lelaki bujang itu
melengking-kering menyayat-sayat semestanya. Uh, suaranya masih merdu dan meliukliuk manja. Seperti bayi kemarau yang menggeliang-geliut dalam rahimnya. Kalau
memang sudah waktunya, sayang, keluarlah pelan-pelan, sayang.... Pelan-pelan,
sayang.... Perutnya yang menggunung tampak berkeringat dan berkilat-kilat tertimpa
cahaya dari banyak cempor yang bergoyang-goyang.
Di bawah kakinya yang mengangkang, seorang paraji yang sesekali meludah ke
dalam ketur dan sesekali menyugi, tak kalah resah dengan si ibu perempuan hujan yang
terus mengusap-usap kening dan rambut anaknya. Tahan, Nak, bernapas, Nak....
Bernapas.... Barangkali, baik si ibu maupun si paraji belum pernah menangani kelahiran
bayi kemarau yang dikandung terlampau lama, terlampau nelangsa.
Di luar, orang-orang yang telah berkerumun tak kalah resah. Cemas berharap-harap.
Dari bibir-bibir mereka mengalir dan melambung doa-doasemoga mendung yang
bergulung dan awan pekat yang memikat, sungguh-sungguh menitikkan gerimis dan
mengucurkan hujan lebat. Hujan yang sudah sedemikian panjang dirindukan. Rindu
yang sudah sedemikian likat dan berkarat.
* * *
Amben berderit lagi. Ia masih terduduk sembari menggerak-gerakkan kaki, dan
masih memandang lanskap yang tak lagi lengang. Bau gaharu yang menguar di sekujur
tubuh kampung yang kini bercampur bau tembakau masih dihirupnya dalam-dalam. Di
kejauhan, api obor balarak dan cempor itu tampak temaram dan bergoyang-goyang. Ya,
ia, lelaki bujang itu, tak menyelip di antara kerumunan dan tak turut memanjatkan doadoa panjang, doa-doa pendek, atau doa-doa demi hujan kembali bertandang ke beranda
malam. Sebab ia tahu, resahnya lebih berkarat, lebih likat, lebih pekat. Dan barangkali,
dalam
pikirnya,
hujan
bakal
benar-benar
melupakannya,
melupakan
alamat
bujang-bujang di altar malam. Dan setebuh mereka, duh, senggama malam yang
diberkati debu-debu yang memedihkan mata....
***
Kelak, di masa yang akan datang, ketika ibu menyisir rambutmu yang dibiarkan
tergeraidi depan cermin datar yang mencitrakan betapa surga parasmu yang
meremajakamu akan tercengang cukup dalam cukup panjang. Hingga sesuatu yang
lembut-hangat menendang-tendang perutmu dari dalam.
Duh, ibu yang meragu di tingkap waktu, ayah yang terlecah di lapuk pintu,
mungkin, akulah perempuan hujan itu. Telah kubiarkan seekor ular menujahi liang
senggama dan menyemburkan bisa di kedalamannya. [*]
20 Agustus 5 November 2011
Catatan:
Cayut: keramba dari anyaman daun kelapa.
Balarak: daun kelapa kering.
Biodata Penulis:
Niduparas Erlang, lahir di Serang 11 Oktober 1986. Sedang belajar di Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Serang-Banten. Kumpulan cerpennya yang telah terbit
bertajuk La Rangku (Selasar Publishing & Yayasan Seni Surabaya 2011)dinobatkan
sebagai buku Cerpen Terbaik Festival Seni Surabaya 2011. Cerpen-cerpennya juga
terangkum dalam antologi Lelaki yang Dibeli (2011), Yang Muda Yang Kratif
(2010), Si Murai dan Orang Gila (2010), Rendezvous di Tepi Serayu (2009),
Antologi Cerpen Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan (2010); sementara
puisinya terangkum dalam antologi Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit
Trowulan (2010); Berjalan ke Utara (2010), Candu Rindu (2009), dan dari Batas
Waktu ke Perjalanan Kamar sampai Kabar dari Langit (2006). Aktif bergiat di UKM
Belistra (Bengkel Menulis dan Sastra) FKIP Untirta. Blog: niduparas.blogspot.com,
Pos-el: niduparas_erlang@yahoo.com. Nomor kontak: 085697088396.
10