Anda di halaman 1dari 93

AZHARA,

Perempuan Bercadar Mawar

*) Kris Bheda Somerpes

Serupa luka yang tak sembuh, kenangan itu terus


menyentuh ruang kalbu. Antara trauma dan suara
panggil yang selalu kembali, Sarah, si gadis senja,
mencoba untuk berperang melawan rasa. Akankah
kenangan itu lupa lalu. Atau justru kembali
menghampiri kesendirian yang setia menanti di sepi.

Tiada kata di pusaran hari selain bersujud penuh


sembah, memohon ridhoi Allah, untuk melupakan
segala kenangan dengan penuh ikhlas. Walau terasa
berat, Sarah sudah sedang selalu memberi, bahwa ia
percaya hanya kepada-Nya cinta selalu kembali.

Pada saat tertentu, kenangan itu menyembul


senyum. Melejit mimpi-mimpi indah. Melesat harap-
harap terang benderang. Namun pada saat yang
lain. Air mata tumpah. Jatuh membasahi mimpi
indah, menghanyutkan segala harap. Mencerabutkan
akar-akar. Jadi lunglai, pun pula gugur tanpa rupa.
2
Mengenang kisah itu, Sarah serupa berada pada
senja yang mendung. Warna jingga yang selalu
menghiasi wajah laut terasa berat mengurai benang-
benang biasnya. Matahari yang setengah tenggelam
tampak seperti menunggu. Langit menghitam serupa
malam dan hujan.

Antara masih siang dan atau akan malam, semua


terceritakan pada senja. Wajah Sarah terlukis di
sana, di ufuk barat, di kaki senja. Dengan air mata
jatuh dalam tempo perlahan. Serupa mengiringi
suara Adzan yang dikumandangkan dengan elok
ustadz Azam.

***

Antara Sarah dan Azam masih ada rasa. Ada suara-


suara malam yang terus memanggil, tentang cinta
dan kebahagiaan. Namun, untuk sementara mereka
hidup dalam diam. Dalam sepi yang panjang, yang
berujung jua.

Sarah mengadu kepada senja, tentang semua


kisahnya. Azam memendamkan wajahnya pada
sajadah. Memohon petunjuk pada Allah, sehingga
pada setiap saat ketika cinta menghampirinya, Azam
akan selalu berujar “Hanya alam dan Tuhan yang
tahu”.

Ya..hanya Alam dan Tuhan yang tahu. Alam begitu


dekat dengan Sarah, sedangkan Azam memanjatkan
penatnya kepada Allah. Jika saja, antara Azam dan
3
sarah bersama melantunkan madah yang sama,
keduanya akan menjadi sempurna. Sempurna dalam
duka dan cita. Dalam cinta.

Tetapi, manusia tidak bisa memastikan


kemahakuasaan Allah. Semuanya berpasrah kepada-
Nya. Dalam doa yang terus dipanjatkan. Sarah, gadis
senja yang selalu menanti cinta sejati. Azam, lelaki
penyayang yang selalu setia berharap pada
keajaiban. Antara Sarah dan Azam masih ada rasa
yang semuanya belum tertumpah, tentang semua
„Hanya Alam dan Allah yang tahu”

***

Suara adzan berkumandang, Sarah belum juga


beranjak. Sementara senja kian pelan membenam.
Rambutnya masih tergerai basah. Pada ujung-
ujungnya menetes air mata. Jilbab jingganya, ia
simbakkan. Seakan-akan ingin memaklumkan
tentang fajar, tentang pagi yang senantiasa
merekah. Ia ingin berteriak, meronta kepada alam.
Tetapi tiada jua yang mendengar, selain sepi yang
kian menyengat.

Dalam bayangnya berkelebat tentang sebuah heran.


Mengapa aku tidak bisa melupakan Azam? Mengapa
suara adzan yang dikumandangkannya seperti
mengetuk-ngetuk ruang dada? Mengapa wajahnya
begitu membekas dalam ingatan? Mengapa
senyumnya masih saja seperti menyapa? Mengapa

4
tutur kata lembutnya masih saja menghujam
kesendirian?

Sarah melemparkan semua dan segala tanya itu


pada alam. kepada bilah-bilah sinar. Mungkin dari
kilatan sinarnya menyembul kegembiraan, yang
walau entah sesaat. Kepada burung-burung yang
kembali darat. Mungkin kepakan sayapnya menetas
kesejukan, yang walau entah sebentar.

Kepada setengah matahari yang tampak. Mungkin


akan melepaskan senyum kenang, yang walau entah
tak lama. Tapi, hanya alam dan Tuhan yang tahu,
Sarah berpasrah. Sarah tidak menemukan apa-apa,
selain rasa yang senyap. Suara adzan merendah
kemudian menghilang. Terkabar pada angin-angin
ke langit lepas. Bersama doa-doa segenap ummat.

Sarah tak panjatkan doa di senja hari itu. Karena dia


yakin, air mata kesetiaannya sudah mengungkapkan
semuanya. Tuhan Maha Segala, Maha Semua, Maha
Tahu. Segala gundah pasti akan terbang bersama
adzan ke peraduan-Nya.

Sebelum beranjak dari tepi karang yang indah,


kepada jilbab jingga yang setengah basah, yang
melintang di pangkuannya, Sarah melepaskan
kesahnya “Bagaimana aku bisa membuktikan
semuanya. Segala gundah sudah kupanjatkan.
Segala rasa sudah kuungkapkan. Kepada-Mu Ya
Allah, dalam warna jingga penuh air mata, aku
berpasrah…Amin”
5
Sarah menitihkan air mata. Langkahnya gontai.
Rambutnya dibiarkan jatuh terurai. Pulangnya tak
berarah. Sinar wajahnya redup. Kecantikannya
padam serupa ditikam bertubi gelap yang senyap. Ia
menjadi sendiri. Yang ada hanya dirinya sendiri.
Seonggok tubuh yang linglung. Ditampar-tampar
angin gulita. Diolok-olok burung malam. Disinis
bintang redup. Ditertawai mendung menggelantung.

Air matanya ingin tumpah lebih banyak. Tapi rasa itu


dipendamnya. Ia mendiamkannya rapat-rapat pada
rahasia yang amat dalam. Yang hanya dapat dibuka
dengan air mata. Tetapi sesungguhnya hanya Alam
dan Tuhan yang tahu. Sarah sendiri pun tak tahu
apa-apa. Dia menyadari sungguh dia manusia
lunglai. Senyumnya pudar, cantiknya padam, dan
keelokan katanya menjadi hambar.

“Ugfh…” Hanya sepatah kata kesal itu. Wajahnya


hampir ditampar pintu rumah.

Di depan rumah, ia melepaskan butur-butir pasir


yang masih melekat pada tapaknya. Ia tak ingin
derita itu menghampiri kamarnya. Ruang dimana
segala keindahan dikisahkan. Segala cerita
ditumpahkan ke dalam catatan harian. Segala air
mata bahagia dilimpahkan ke dalam mahligai Ilahi.
kamarnya adalah tubuhnya. Dirinya. Pribadinya.
Segalanya mengisahkan dan diskisahkan tentang
hidupnya.

***
6
Belum juga lelah itu lepas, telephone genggam
Sarah memanggil. Terbaca pesan tentang kisah
cinta. Cinta yang seharunya lupa lalu. Cinta yang
seharusnya pergi lenyap. Tetapi semakin ia diusir
pergi, bagai dipanggil, ia kian mendekat ” Jelita mata
bulan, merindu apa tatapanmu? apakah jelita
tatapmu menatapku? kepada malam kutitipkan
pesan, katakan kepadanya, aku merindukan Sarah”

Air mata Sarah pun tumpah. Sebuah pesan tanpa


alamat, tanpa nama. Tetapi kata-kata itu terasa
menyayat rasa. Menyentak-nyentak ruang dada.
“Azam, kaukah itu, mengapa kau membuatku
menjadi sebatang kara, pada malam-malam lelah?
pada malam-malam sendiri, engkau menghampiri
dalam bayang. Dalam rindu yang kau ungkap, selalu
kau selipkan misteri yang tak terpecahkan. Apa yang
aku sampaikan? aku hanya dapat membalasnya
dengan air mata.”

Dalam diam, kata-kata itu meletup-letup.


Melapangkan rongga dada. “Azam, kaukah di sana?
yang selalu menyapaku dalam diam? jika kau
merindu, mengapa kau harus pergi? Jika kau ingin
menyapaku, mengapa harus selalu dalam gulita?”
Keluh itu melepaskan Sarah ke luar jendela. Matanya
melayang jauh ke gelap malam. Angin kecil
menampar ari langsatnya.

“Bulan” Ya…bulan. Saksi tentang cinta yang selalu


jujur menghadirkan kisah. Azam tidak dapat
mengelabui kisah cinta yang pernah dibangun. Bulan
7
menuturkan itu. malam menyaksikan semuanya. Dan
pada lembaran catatan harian sudah dicatat
semuanya. Pada halaman empat belas catatan
harian, di ujung tinta jingga, tertulis sepenggal
kalimat “Hanya Alam dan Tuhan yang tahu”

Namun, pada pusaran rasa, Sarah melinglung.


Hingga ia benamkan tubuh pada guyuran air
mandian. Sarah masih membayangkan cerita bulan,
tentang kejujuran cinta. malam tak pernah berdusta,
walau dia gulita. Bulan tak pernah berbohong, walau
diselimuti mendung.

***

Rambutnya jatuh. Masih basah. Wajahnya berbinar.


Seperti pagi. Bibirnya merekah. Bagai kembang. Di
balik meja belajarnya, Sarah melepas senyum.
Wangi rasanya terbang keluar melalui celah jendela
dilepas kibasan furing putih kapas. Bulan setengah
merekah menyambut senyum itu dalam paduan
malam.

Walau malam akan larut, Sarah tampak lebih cerah


dari biasanya. Segala keluh dan kesah bagai lupa
lalu. Sarah hendak bercerita, meminta kejujuran
bulan. Semuanya tertumpah ke dalam catatan
hariannya. Ia bentangkan lembar demi lembar
catatan cokelat tuanya, dan ujung penanya pun
menetaskan kisah.

8
Malam hari itu Sarah kisahkan tentang „Bunga-Bunga
Impian‟ seperti yang disyairkan May Ziadah, wanita
cantik dan cerdas, sastrawati Lebanon yang menjadi
besar di Kairo. Seorang wanita yang berharap pada
cinta dan Tuhan sebagai muara. Kepada Tuhan ia
selalu pinta kekuatan. Kepada cinta ia berpasrah.

Tentang cinta yang membuatnya berpasrah. Sarah


menjadi seperti May Ziadah, mempelai kekasih di
ruang jiwa yang tidak terjumpa. Namun demikian,
Sarah menjadi perempuan kuat dan berdaya, karena
cinta. Seperti May Ziadah yang mengharapkan cinta
Kahlil Gibran, walau dalam sebatas surat yang
menggambarkan ketegaran, demikian pula Sarah
berpinta cinta Azam pada catatan harian.

Pada selembar catatan harian, pada malam hari itu,


Sarah menetaskan sebuah rasa. Bukan tentang sakit
yang derita. Bukan tentang air mata-air mata. Tetapi
tentang dirinya sendiri yang tegar. Tentang
kekuatan-kekuatan jiwa. Tentang optimisme jejak-
jekaknya.

“Mulanya aku berada pada garis yang tak tersentuh


oleh rasa” Demikian Sarah menuliskan kisah pada
catatan hariannya. “Jika ada, aku hanya berada pada
lingkaran rasa yang hambar” Demikian Sarah
melanjutkan.

“Namun, ketika aku berjumpa Azam segalanya


menjadi berubah. Aku berlari mendekat pada garis
cinta. Hidupku jadi penuh warna bagai bunga.
9
Kakiku menjadi tegar melangkah. Jari-jariku menjadi
tak lelah mengisahkan kata. Senyumku menjadi
selalu merekah. Aku menjadi berbahagia”

“Ya…aku menemukan cintaku yang sesungguhnya.


Pada wajahnya yang teduh aku temukan kesejukan.
Pada senyumnya yang menawan, aku temukan
keelokan. Pada tuturnya yang terukur aku temukan
kebijaksanaan. Pada dadanya aku temukan
kenyamanan. Pada lengan dan tangannya aku
temukan lindungan. Pada kakinya aku temukan
kekuatan”

“Azam menjadikan hidupku kian hari kian hari jadi


sempurna. Kecerdasan dan kesantunannya
membuatku menjadi wanita yang sangat berbahagia
untuk bersanding dengannya. Pada dan melalui
Azam, aku menemukan sejatinya cinta. Cinta yang
tak pudar dan hambar”

Tiba-tiba, air mata Sarah jatuh. Menetas bagai tinta


pena membasahi catatan hariannya. Penanya
tergeletak di samping catatan cokelat tua itu yang
kian lama kian jadi genangan air mata. Celah jendela
melebar, langit tampak pekat. Tiada berbintang,
bulan pun tenggelam.

Pekat, gulita. Hawa dingin malam itu menampar-


nampar wajahnya. Sebelum menutup cerah
lembabnya malam hari itu, kembali Sarah bangkitkan
pena. Pada catatan cokelat tua yang nyaris tak
terbaca, Sarah menuliskan kembali kisah May Ziadah
10
dalam tanya “Apakah ini bunga-bunga impian?….ya
hanya alam dan Tuhan yang tahu”.

Sarah meneteskan air mata. Malam kian larut. Ia


beranjak dari tempat duduknya, merapatkan pintu.
Mengusir malam itu dengan gulana. Jilbab jingga
yang ia kenakan ditanggalkan perlahan.
Kecantikannya melekat pada wajahnya yang
sembab. Tampak ia berduka, tapi sesungguhnya ia
begitu tegar.

Malam hari itu, ia menjadi wanita yang sadar bahwa


kehidupan dan cinta adalah pergulatan yang tak
berkesudahan. Semakin ia bergulat dengan
keduanya, semakin ia menemukan bahwa dirinya
menjadi bermakna dalam kehidupan.

Sebelum terlelap dalam tidur yang panjang. Dalam


mimpi-mimpi yang selalu diselimuti terang cinta.
Sebentar, Sarah melayangkan ekor matanya pada
wajah bingkai perak. Lukisan Azam. Selalu setiap
malam, Sarah melakukan itu. Untuk sekedar
mengingat dan memanggil Azam hadir dalam mimpi-
mimpinya. Sebuah kebiasaan yang selalu pula
diizinkan malam. Dan malam pun merestuinya dalam
mimpi-mimpi indah. Tentang perjumpaan. Tentang
cinta. Dan tentang keabadian.

Sementara itu, di Pasantren Al Hidayah, Azam masih


pejamkan mata. Biji tasbih masih mengalir dari jari-
jarinya. Wajahnya teduh. Ia tampak santun. Walau
dari hatinya yang paling dalam bergejolak tanya
11
yang tak pernah tuntas untuk dijawab. “Hanya Alam
dan Tuhan yang Tahu” selalu ia melepas jawaban
itu.

Sebuah jawaban yang sejatinya mengungkapkan


kepasrahan, ketidakberdayaan. Kepada bulan, pada
malam-malam panjang, ia benamkan kemelut
rasanya. Kepada Allah sang pemberi kehidupan, ia
pasrahkan segenap pergulatannya. Hanya kepada
alam dan Tuhan Azam mengungkapkan isi hatinya
secara terang dan jujur.

Dalam jam-jam yang panjang Azam melakukan itu.


Tanpa lelah, tanpa keluh kesah. Hingga tampak ia
menjadi lelaki dewasa yang matang bukan hanya
dalam penampilannya, tetapi juga dalam setiap
penggalan katanya. Tutur katanya terukur, di balik
setiap penampilannya yang bersahaja. Tetapi
sesungguhnya di balik rasanya yang paling dalam,
tersimpan kemelut yang tak terkira tentang cinta.

Tentang kejadian yang sudah-sudah, yang sengaja


selalu dilupakan, tetapi selalu pula menerjangnya.
Tentang Sarah. Sarah selalu hadir dalam bayang-
bayangnya. Pada senyumnya yang teduh, pada
wajahnya yang dingin, pada simpuhnya yang lunglai,
pada tuturnya yang santun, pada semua, pada
segala.

Azam, memikirkan semuanya tentang Sarah. Dan itu


mengalir bersama biji-biji tasbih pada jari-jarinya. Di
atas sajadah dia bersimpuh, Sarah pun duduk dalam
12
dasar hatinya. Hingga berdoa tanpa kata, berteriak
tanpa suara dan akhirnya berpasrah „Hanya alam
dan Tuhan yang tahu‟ Hanya kepada malam-malam
ia mengadu dan kepada Tuhan ia bersujud
memohon petunjuk.

***

Kesengajaan Azam untuk melupakan cinta Sarah


adalah pergulatannya yang tak pernah tuntas di Al
Hidayah. Dan kehadiran Nurillah, santriwati cantik
dalam kehidupannya menjadi hambar. Pada setiap
saat, Azam seperti selalu berada di ujung senja.
Kepada Sarah atau Nurilah. Sarah hadir begitu
melekat dalam ingatannya. Dan itu sengaja
dilupakannya. Namun, kehadiran Nurillah rupa-
rupanya tidak cukup untuk menuntaskan segala
rasa.

Sarah menjadi begitu kuat dalam ingatan Azam,


bukan hanya karena kecantikan dan kecerdasannya,
tetapi juga karena kesetiaan dan ketulusan dalam
mencinta dan memberi kehidupan. Azam bagai
terpenjara. Hendak ia meronta tetapi tiada yang
melepaskannya. Hendak berteriak tetapi tiada yang
mendengar. Hingga selalu Azam pasrahkan „Hanya
Alam dan Tuhan Yang Tahu‟

Biji-biji tasbih mengalir dari jari-jarinya. Tanpa lelah.


Seperti tak berkesudahan. Walau malam kian pekat.
Bulan beringsut padam. Dan kantuk menerjang

13
matanya. Azam tetap bersimpuh diam, dengan mata
terpejam mematung bagai khubah.

Di balik diam dan sunyinya malam. Di balik


kekhusukannya. Terpancar darinya bayang-bayang
surga. Tentang sebuah perjumpaan dengan
keindahan surga yang tak terlukiskan dengan kata.
Yang hanya dapat dikisahkan dari butir-butir tasbih.
Bahwa Allah hadir begitu dekat, begitu nyata.

Bagi Azam, berdzikir kepada Allah di setiap saat


merupakan sifat seorang mukmin. la bisa berdzikir,
baik ketika berdiri maupun duduk, ketika tidur
maupun terjaga, ketika sedang sibuk maupun di
waktu luang dan dalam berbagai kesempatan
lainnya.

Inilah zikir yang dilakukan secara mutlak, demikian


Azam meyakini, yaitu dzikir yang diperintahkan
tanpa ada ikatan waktu, tempat, atau jumlah
tertentu. Azam menjadi begitu taat karena di balik
dadanya berdengung firman-Nya. ”Hai orang-orang
yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama)
Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya” (QS. al-Ahzab
[33]: 41).

Dan lantaran itu Azam meyakini sungguh. Setelah


melewati zikir yang panjang. Azam menyudahinya
dengan sepenggal istiqfar. Sebuah ungkapan maaf
kepada Allah SWT, akan gundah yang selama ini
dipendamnya. Ketika itu, mendung menggelantung
dan malam memanggilnya tidur. Namun, matanya
14
tiba-tiba berkaca. Air matanya seperti hendak
menetas duka.

Wajah Sarah yang sejuk dan ketusan senyumnya


tiba-tiba berkelebat menyelimuti malam Azam.
Datang menerjang, menyengat ruang rasanya.
Memanggil-manggilnya untuk mengingat-ngingat
tentang sesuatu peristiwa di silam.

Tentang tasbih. Tasbih yang memperjumpakannya


dengan Allah pada setiap saat dan pada segala
tempat. Sebab, tasbih pada jari-jarinya adalah tasbih
pemberian Sarah. Perempuan yang ditinggalkannya
tanpa alasan jelas. Entah karena ketakutan yang
mendalam, kebimbangan yang besar dan atau
ketaksanggupannya mengatasi masalah. Namun,
semuanya itu menjadi alasan yang tidak masuk akal.
Sebab dari balik dadanya, Sarah masih tetap menjadi
wanita terindah.

Dengan mata yang berkaca, seperti melantunkan


istiqfar, Azam melepaskan kata-kata gundah penuh
harap: “Sarah…ketulusan cintamu membuat aku
selalu berkaca bahwa kehidupan ini nyata indahnya”
demikian Azam berujar. “Tasbih yang kau berikan di
bawah bulan, mengingatku pada kejujuran cinta
yang pernah kusampaikan kepadamu. Aku sungguh
mencintaimu”

“Ketika aku berkata hanya alam dan Tuhan yang


tahu, sebenarnya aku sedang memberikan ruang
refleksi untuk kita masing-masing akan makna cinta
15
yang sesungguhnya. Apa sejatinya cinta di antara
perbedaan yang sedang kita hadapi”

“Dan tasbih yang kau berikan, membuatku perlahan


sadar bahwa sejatinya engkau benar-benar beranjak
mendekatiku. Engkau benar-benar ingin masuk ke
dalam ruang rasaku. Engkau ingin memberikan
segalanya, bukan hanya indah tubuh duniamu, tetapi
juga jiwa surgamu”

“Namun, aku belum meyakini itu sungguh. Bukan


karena aku tidak mempercayaimu. Tetapi karena aku
menjadi sangat takut dengan diriku sendiri. Aku
belum menemukan keputusan yang pasti. Sehingga
pada setiap siang maupun malam, aku selalu
berpasrah kepada sumber segala pengetahuan yakni
Allah”

Biji tasbih mengalir dari jari-jarinya. Namun sampai


diujung malam itu, walaupun ketika sudah beranjak
ke kamarnya di Al Hidayah, Azam tak dapat
pejamkan mata. Mengingat biji tasbih itu, Azam
mengingat Sarah. Seakan-akan ia sudah sedang
bezikir bersama Sarah. Seakan-akan Sarah menjadi
dekat dan nyata bersamanya berjumpa Allah.
Seakan-akan tangannya sudah sedang merangkul
dan memeluk Sarah menuju gerbang surga.

***

Empat bulan sudah Azam mencoba melupakan


Sarah. Melepaskan segala kenangan indah pada
16
malam-malam panjang. Melupakan segala
cengkerama, termasuk sebekas ciuman lembut pada
kening di hari ulang tahun Sarah. Melupakan segala
pemberian dan kado-kado indah, yang selalu mereka
tukarkan pada setiap akhir pekan, entah sekuntum
mawar, entah sepasang boneka, entah sebuah buku
bacaan atau pun penggalan-penggalan kisah yang
mereka kisahkan bersama di bawah purnama.

Azam mencoba untuk yakin dengan dirinya sendiri,


untuk membiarkan Sarah berjalan sendiri dalam
ketidakpastian. Membiarkan Sarah menjadi sebatang
kara, tanpa pelukan cinta. Membiarkan Sarah
menyepi di kesendirian, bagai merpati putih yang
terbang dengan sayap-sayap patah. Kepada Sarah,
Azam tak meninggalkan apa-apa, selain hanya
sebuah kesan penasaran yang mendalam. Yang
membuat Sarah selalu merindu dalam linangan air
mata. Membuat Sarah tak dapat pulihkan pikiran,
karena selalu terbayang-bayang masa depan yang
terpangkas dengan tiba-tiba oleh cinta yang
timpang.

Di bawah sinar purnama, empat bulan silam, Azam


menjatuhkan pilihan yang berat. Ia, bukan hanya
meninggalkan ketulusan cinta Sarah, dan
membiarkan Sarah linglung dalam ketidakpastian.
Tetapi juga membohongi dirinya sendiri, seolah-olah
ia tidak pernah mengenal dan mencintai Sarah.
Azam bahkan memenjarakan dirinya sendiri dalam
rasa yang terluka. Membuatnya juga linglung
dibebani rasa yang tak tuntas.
17
Hari-harinya hanya berparsah, kepada alam yang
selalu memberi kesejukan dan keindahan, dan
kepada Tuhan yang memberikan kebahagiaan yang
tak terhingga. Hanya kepada alam dan Tuhan, Azam
berpasrah. Namun demikian bukan tanpa alasan
Azam menjatuhkan pilihan yang sulit lupa itu. Ia
menyadari sungguh bahwa antara dirinya dan Sarah
terdapat perbedaan yang besar.

Keduanya tidak hanya lahir dari rahim budaya yang


berbeda, tetapi juga dari keyakinan yang juga tidak
sama. Azam, dididik dan dibesarkan dalam tradisi
islami yang ketat dan taat. Pasantren Al Hidayah
yang diasuh ayahnya menjadi simbol bahwa
keluarganya adalah mukmin sejati. Setiap saat dan
pada setiap kesempatan ia diajarkan untuk selalu
memperkaya diri dengan aqidah. Mengaji, berzikir
dan melakukan amal sholeh adalah kewajiban yang
hampir tak pernah alpa dilakukannya.

“Sarah…perbedaan antara kita terlampau jauh. Kita


tidak hanya dilahirkan dari rahim kebiasaan yang
berbeda, tetapi juga oleh budaya dan agama yang
hampir tak dapat diperjumpakan” demikian Azam
berujar empat bulan silam.

“Aku adalah seorang muslim, dan kau Sarah,


seoarang Kong Fu Chu yang berkepribadian lembut.
Sulit bagiku untuk masuk lebih dekat dalam
kehidupan dan kebiasaanmu. Demikian pula
sebaliknya, kau Sarah, amat beresiko untuk selalu
ada di sampingku. Oleh karena itu. Bukan aku tidak
18
mencintaimu, tetapi karena aku mencintaimu dengan
tulus, dan menghargai siapa dirimu, maka aku
putuskan supaya kita kembali ke jalan masing-
masing. Seperti dulu, ketika engkau tidak
mengenalku dan ketika aku tidak mengenalmu”

Ketika itu empat bulan lalu, Azam menuturkan itu


masih dengan ragu menggelantung di dadanya.
Sesungguhnya ia tidak yakin betul akan
keputusannya. Apakah keputusannya itu baik atau
buruk pada ketika itu. Namun yang pasti, hingga
empat bulan berlalu, ia bagai berkaca pada wajah
Sarah. Sarah selalu datang membayangi malam-
malamnya. Memanggil-manggilnya kembali.
Berharap cinta itu kembali.

Melekat dalam ingatannya, pada empat bulan silam,


wajah Sarah yang sembab karena duka. Yang tak
dapat melontarkan kata-kata, selain menampakkan
wajah seperti ditampar tiba-tiba. Wajah yang
linglung tanpa rupa. Seonggok tubuh yang serupa
dikhianati, dengan hati yang tercabik-cabik. Yang
menatap ke arahnya penuh pasrah “Azam…suatu
saat aku akan berada di sampingmu, dengan jilbab
jingga menyapamu pada pagi-pagi merekah dan
senja-senja berpulang”

Tapi ketika itu, Azam bagai tak peduli. Keputusannya


seakan-akan bulat. Namun setelah empat bulan
sudah, Sarah hadir menjadi semakin tampak. Sebab,
jauh sebelum duka itu merundung datang, Sarah
sudah berjanji akan mengucapkan syahadat. Dan
19
ketika Azam hadir dalam kehidupannya, moment
pembuktian itu menjadi semakin nyata. Sarah
berkeinginan menjadi seorang mualaf.

Dalam ketidakmenentuan, Azam menjadi perenung


penuh tanya. Wajahnya menjadi tampak lebih
dewasa. Tutur katanya menjadi lebih bijaksana.
Namun dalam kesendiriaan, bathinnya meronta. Ia
selalu merenungi kesendirian Sarah. Dan karena
keputusannya, kadang ia merasa menjadi lelaki
yang berdosa. Bersalah.

“Mengapa aku harus melepaskan ketulusan cinta.


Bukankah cinta melampaui agama, suku dan budaya
mana pun. Ya Allah…hanya kepada-Mu aku
berpasrah. Alam mendengar keluh kesah ini. Dan
kepada-Mu aku pinta pengharapan” Selalu seperti itu
Azam melantunkan doa yang serupa keluh.

Dalam kesendirian pada hari-hari sepinya di Al


Hidayah. Dalam lantunan madah-madah syahdu.
Kian hari kian sepi. Ia berzikir kian khusuk. Ia
mengaji kian rutin. Sembahyang menjadi tiang
utama. Tetapi perlahan-lahan rasa itu menjadi
bermakna. Ia seakan-akan kembali menjadi lelaki
yang menawan. Penuh kejutan dan keajaiban.
Pancaran matanya kian cerah. Senyumnya tampak
setengah mekar.

Semuanya menjadi berubah karena Nurillah. Nurillah


adalah salah seorang santriwati pindahan dari
pasantren Al Mukmin. Nurillah dipindahkan dari Al
20
Mukmin atas permintaan Habib Zukri, ayah Azam
untuk membantu Azam mengajarkan shallat kepada
anak-anak di lingkungan pasantren yang kian hari
kian banyak jumlahnya.

Kehadiran Nurillah serupa penyejuk rasa bagi Azam,


sedang bagi Nurillah perjumpaannya dengan Azam
seperti mimpi menjadi kenyataan. Lantaran itu
dengan senang hati Nurillah menerima tawaran itu.
Namun bukan karena pertama-tama untuk
membangi ilmu pengetahuan, tetapi lebih karena
sudah sejak lama ia memendam rasa cintanya
kepada Azam.

“Bang Azam, semoga Nurillah dapat memberikan


yang terbaik kepada anak-anak. Dan semoga pula
bang Azam dapat membimbing Nurillah” pinta
Nurillah di awal perjumpaan.

“Ya Nurillah, Abang juga merasa sangat


berbahagia…kehadiran Nurillah semoga dapat
mengurangi beban abang” jawab Azam memberi
kepastian.

Dari hati kecil Nurillah yang paling dalam, Azam


adalah sosok lelaki idaman. Dan Nurillah berharap
semoga dengan perjumpaan itu, cintanya kepda
Azam menjadi nyata. Kecantikannya, dengan
parasnya yang elok, senyumnya yang menawan,
tutur katanya yang lembut, serta penampilannya
yang santun bukankah dapat membuat Azam jatuh
hati? Nurillah kadang melepas impian itu.
21
Gayung bersabut, karena kedekatan itu, Azam pun
mulai membalas senyum manis Nurillah. Kadang,
wajah-wajah mereka berdekatan dalam senyum
yang akrab. Mereka membenturkan padangan-
padangan mereka, melepas senyum-senyum manja.
Melepas tawa-tawa gembira dalam aneka kisah dan
cerita.

Azam seperti sudah mulai bangkit dari murungnya.


Kehadiran Nurillah dalam kehidupannya
membuatnya menjadi lelaki periang.

“Bang Azam, mengapa bang Azam begitu


berbahagia?” selidik Nurillah suatu ketika. Para santri
memperhatikan mereka dengan saksama. Nurillah
seperti meminta jawaban tulus dan sungguh dari
Azam. Tapi Azam tak pernah memberikan jawaban
yang tuntas “Hanya alam dan Tuhan yang tahu”
hanya sepenggall itu.

Namun, Nurillah tidak patah semangat, jawaban


Azam adalah kekuatan baginya untuk terus
berharap. Terus berusaha untuk menjadi yang
terindah di hati Azam. Walau sejatinya kegembiaraan
Azam hanya sebuah pelarian yang sebentar. Karena
sesungguhnya di hatinya yang paling dalam masih
ada Sarah yang di seberang tempat terus menitihkan
air mata dalam penantian yang panjang.

Lima kilo meter dari Al Hidayah, tepatnya di jantung


kota Malabiah, di bawah rumah beratap megah
dalam kamar penuh boneka, dihiasi dinding penuh
22
taburan bunga marun, Sarah menjadi perempuan
yang menderita. Hari-harinya kian hampa, bergulat
dengan rasa yang sesak. Jiwanya berontak hebat
mencoba untuk keluar dari keputusannya sendiri
yang hampir menetas.

“Aku harus segera mengucapkan syahadat, bukan


hanya karena Azam, tetapi lebih dari itu karena Allah
dan Muhammad rasul-Nya”

Pergulatan itu kian memuncak. Tampak mau


meledak pada hari puasa ke 21, 1431 Hijriah, ketika
malam penuh bintang turunkan hidayah atas
ummatnya. Tetapi tiada siapa yang mendengar,
semua bagai tak bertelinga.

“Berdosakah aku jika aku harus meninggalkan


semua, melepaskan segala, karena kebutuhan akan
pemenuhan makna jiwa?…” Sarah pinta dengan
meronta.

“Tidak..tidak… aku tidak mengkhianati Rujiao atau


Konfusius. Rujiao atau Konfusius sudah
mengantarkanku menjadi orang-orang yang lembut
hati, terpelajar dan berbudi luhur…namun aku belum
menemukan sejatinya kebenaran. Akan kelak, dalam
Islam aku menemukan itu”

Sarah terus bergulat. Dalam kesendirian tubuhnya


menggigil. Jiwanya bagai melayang lepas entah ke
entah. Peluh mengalir dari keningnya yang bening.
Rambutnya pecah pada bantal yang lembab. Di
23
wajah kaca lemari baca, pribadinya serupa retak,
pecah berantakan.

Sarah sadar betul, konfusianisme tidak


mengajarkannya tentang dosa. Konfusianisme
mementingkan akhlak yang mulia dengan menjaga
hubungan antara manusia di langit dengan manusia
di bumi dengan baik. Sarah dan Penganutnya yang
lain diajar supaya tetap mengingat nenek moyang
seolah-olah roh mereka hadir di dunia ini.

“Apakah aku berkhianat terhadap segala tali sejarah


nenek moyang. Terhadap ayah dan bunda. Mereka
pasti akan menolakku, mengusirku dan
menganggapku sebagai pecundang” Sarah
mengumpat dirinya sendiri.

“Aku pecundang, pengkhianat…..tapi aku tidak


berdosa..tidak bersalah…..Aku sudah menemukan
kebenaran dalam Islam, segala yang kualami selama
ini adalah falsafah dan pandangan moral” kta-kata
itu melepas terbata-bata, tak berarah.

Namun demikian Sarah sadar, bahwa ajaran


konfusius atau Rujiao yang diyakininya merupakan
susunan falsafah dan etika yang mengajar
bagaimana manusia bertingkah laku. Dan, jika ia
harus berpindah menjadi muslimah, ia yakin segala
moral dan akhlak justru menjadi lebih diperkuat
dalam landasan iman dan keyakinan kepada Allah.

24
“Hufz….hufz…hufz….Zzz..z” mendesis keras tak
berupa kata, tak berbentuk kalimat. Lepasan kata
tak bermakna melejit-lejit dari dua belah bibirnya
yang gigil. Hendak ia berteriak keras. Hendak ia
koyakan jiwa. Hendak ia runtuhkan tubuhnya. Tapi
ia bagai tak berdaya.

“Hufz….hufz…hufz…. Zzz..z” suara tanpa rupa kata


itu kembali lepas. Sembari tangannya mencengkram
ujung piyama. Ia mencaik-cabiknya, hingga nyaris
menelanjangi dirinya. Setengah lengannya terlepas.
Rambutnya gugur terurai. Menutupi separuh
wajahnya yang tertelungkup.

Jilbab jingganya terlempar di sisi sebelah kanan.


Sebuah guling melayang ke atas meja belajarnya,
memecahkan tempat pena, menjatuhkan catatan
harian. Segalanya porak poranda. Seperti hatinya
yang tak berbentuk rupa. Seperti jiwanya yang
remuk redam. Sarah seperti gila.

Ia benar-benar jatuh terjerembab dalam


pengalaman yang tak terlukiskan dengan kata. Ia
memasuki momen perbatasan yang tak pernah
dialami dan dilalui oleh manusia kebanyakan.
Sebuah momen „antara‟. Antara kepasrahan yang
total yang berujung pada kematian dan kehendak
untuk melakukan pemberontakan yang tuntas
hingga hidup tercerahkan.

Sarah memasuki momen dan wilayah itu. Ia


memasuki sebuah wilayah di mana ia harus
25
menjatuhkan keputusan. Yang jawabannya masih di
entah. Entah berbuah duka atau cita. Berbuah derita
atau bahagia. Sarah benar-benar berpasrah. Benar-
benar melepas segala jawaban kepada alam dan
Tuhan Sang Maha Tahu.

Dalam keputusan yang belum terjawab tuntas, Sarah


merebahkan diri dalam kelelahan yang panjang.
Tubuhkan direntangkan tak berarah, dengan kaki
dan tangan dibiarkan melempang. Segala sendinya
bagai lepas. Peluhnya masih terus jatuh mengalir.
Antara sadar dan tidak, Sarah perlahan pejamkan
mata. Terkulai lemah dalam lelap yang kian dekat
menerjangnya.

Tidak berapa lama, di bawah temaran lampu kamar


merah jingga, Sarah melepaskan raganya dalam
tidur yang panjang. Di luar jendela, purnama
beranjak tinggi. Cerah. Secerah wajah Sarah yang
pulas. Angin kecil menepi berlari-lari mengepak-
ngepak furing jendela. Melepas kesejukan. Di bawah
malam purnama itu Sarah mekarkan bunga
mimpinya.

Mimpi tentang keabadian. Mimpi yang selanjutnya


menjadi kekuatan baginya untuk semakin
membulatkan pilihan dan keputusannya kelak. Mimpi
yang baginya adalah petunjuk dan hidayah dari
Allah.

Sebuah peristiwa rasa tanpa dosa, tanpa salah, tiada


sesal, tiada pula pengampunan. Segalanya putih suci
26
mempesona. Disaksikan malam dengan purnama
dan kerlap-kerlib bintang. Serupa dimaklumi alam
semesta, bahwa keduanya adalah pangeran dan
puteri alam semesta.

Mimpi itu pun mekar. Sarah. Tubuhnya dibalut kain


putih bagai jubah. Tak sedikitpun kulit tubuhnya
tampak ke permukaan pandangan mata. Wajahnya
bercadar, hanya setengah mata memekar pancarkan
cahaya. Dari balik cadar, ia tak lelah melepas
senyum cerah. Jiwanya menjadi sangat berbahagia
di balik raga yang menawan.

Keanggunan yang tak terlukiskan dengan kata,


menjadikan Sarah serupa permaisuri alam raya.
Jumbai cadarnya melayang-layang ke udara.
Menyapa sinar-sinar bintang, menyapu-nyapu terang
rembulan. Ujung-ujungnya terbetang antara utara
dan selatan. Ujung-ujungnya yang lain jatuh di timur
dan barat.

Singgasana yang megah. Semilir angin timur


menyapu wajahnya. Desirnya bagai nafiri. Ia tegak
mematung penuh anggun, seperti sedang menunggu
titah khalik. Kemegahan, kanggunan, dan
kecantikannya, membuat Sarah menjadi serupa ratu
semesta.

Dalam menunggu. Dari kejauhan, dari arah matahari


merekah, di batas pandangan matanya terjauh,
muncul bayangan putih yang melezat kian
mendekat. Seorang pria tampan tiba-tiba muncul
27
dihadapannya dengan mengendarai kuda berpelana
emas, berpakaian bagai raja dengan kopiah dari
anyaman sutra emas. Tangan kirinya memegang tali
kekang. Sedang pada tangan kanannya
menggenggam biji-biji tasbih.

Wajahnya teduh, berwibawa. Pandangan matanya


berkharisma. Senyumnya elok menebar harum
semerbak. Dengan gagahnya sang pria menunduk
menyapa penuh mesra menggenggam tangan Sarah
menuju ke arah matahari merekah.

Sarah menyambutnya dengan hangat. Alam raya


menjadi latar terindah, dan sabana menjadi pijakan
permadani cinta. Langit menjadi atap, dengan bulan
yang setia melepaskan wajah cerah, kerlap-kerlip
bintang menambah malam jadi temaran. Tiada
derita, tiada air mata. Yang ada hanya damai dan
kehangatan.

“Sarah” suara itu menggetarkan Sarah. “Ya, Aku”


jawab Sarah penuh bahagia. “Azam” Sarah balik
menyapa. “Ya, Aku” jawab Azam pun pula penuh
bahagia. “Allah hu akbar” keduanya sama-sama
melepas pujian. Entah siapa yang mendesak,
semuanya bagai se-ia sekata.

Tanpa ragu Sarah menjatuhkan diri dalam pelukan


Azam, Sarah melepaskan segala resah. Wajahnya
menengadah, dengan mata setengah terpejam. Ke
dalam pangkuan Azam, Sarah melepaskan semua,

28
menyerahkan segala. Bagai doa, bagai sembahyang,
Sarah berpasrah.

Azam terpesona. Ia terkesima. Dadanya bergetar,


menatap rekah bibir indah di balik cadar yang
setengah terbuka. Tapi, Azam tak menyentuhnya
sedikit pun. Keindahan bibir yang tak pantas untuk
disentuh dengan hasrat, tetapi oleh cinta. Dan itu
bukan sekarang.

Hanya pada bening kening Sarah, Azam melepaskan


cintanya. Sebuah penghargaan atas ketulusan yang
tak terlukiskan dengan kata. Dua belah bibirnya
menyapa lembut. Seakan mengatakan, semuanya
akan menjadi nyata dan bukan hanya sebatas
angan.

Sarah menutup cadarnya dan menitihkan air mata.


Cinta. Terlukis sebuah peristiwa rasa tanpa dosa,
tanpa salah, tiada sesal, tiada pula pengampunan.
Segalanya putih suci mempesona.

Disaksikan malam dengan purnama dan kerlap-kerlib


bintang. Serupa dimaklumi alam semesta, Sarah
memandang lekat wajah Azam, seakan menagih
kepastian. Tetapi ia tak mengucapkan apa-apa.
Hingga Azam memapahnya penuh sayang menuju
pelana cinta. Bersama kuda, keduanya pergi bagai
terbang. Entah ke mana.

Hingga Fajar pagi merekah, mambangunkan Sarah


yang pada kedua belah bibirnya masih
29
menggelantung rembulan. Senyum purnama. Ia
seperti lupa akan segala duka. Hilang akan segala air
mata. Mimpi telah mengusir kegundahannya, walau
belum benar-benar tuntas.

***

Tidak seperti hari-hari kemarin, yang pada setiap


datang pagi menggelantung beban di bibirnya.
Selalu menopang mendung di kedua bola matanya.
Bahkan kadang jatuh air mata. Menyepi dan
menyendiri di sudut perpustakaan yang sepi. Bukan
untuk membaca, tetapi merenung tentang sesuatu
yang tidak menentu. Sesuatu yang selalu
membuatnya cemas.

Namun, pagi itu wajah Sarah cerah ceria. Ia bangun


lebih awal, segala keperluan kuliah pun ia persiapkan
dengan cepat. Ke kampus pun ia berangkat lebih
awal. Tak lagi menyudut di sudut ruang buku. Tak
lagi merenung dan membuat puisi. Coretan-
coretannya yang penuh umpat seperti lenyap. Ia
menulis puisi dengan lepas. Sangat indah.

Wajahnya yang berpendaran bias ceria tak dia


sembunyikan. Ia terbitkan dengan sengaja. Seperti
hendak menunjukkan kepada alam, bahwa ia tidak
tunduk di bawah duka dan air mata. Di bawah
rindang cemara, pada taman depan perpustakaan ia
diam melumat kata dari Rubaiyat Umar Khayam.

30
Perubahan itu tentu saja mengejutkan Dinda dan
Dewi. Dua sahabat setianya.

“Hy…hy…Sar, mimpi apa kamu semalam. Tidak


seperti biasanya, wajah kamu sebegitu cerah pagi
ini. Jangan-jangan mimpi bertemu pangeran,
kemudian berkenalan, berjalan berdua, dan
ah………..” Dinda yang spontan, datang mendekat
sambil melepas duga dengan ceplas-ceplos bertubi-
tubi.

Seperti biasa ia selalu melepas kata dengan penuh


semangat, tanpa melupakan ekspresi teatrikalnya.
Namun, gurat wajahnya yang heran tidak dapat
disembunyikan.

“Wow….apa yang membuatmu tiba-tiba berubah


Sar…..pagi ini kau tampak lebih cerah dari biasanya,
lebih cantik dan nyaris sempurna” Dody muncul
tiba-tiba. Melepas pujian itu kemudian menghilang di
balik pintu perpustakaan.

“Sst….brisik, pagi-pagi dah gombal…pergi sana!”


Dody mengangkat kedua tangganya. Mulutnya
dikatup rapat. Diam. Kemudian menghilang. Dinda
membentaknya.

Dewi yang sedari awal tak mengeluarkan kata.


Seperti ragu mencoba menyapa.

“Sar…” Dewi ingin tahu.

31
“Ya..” Sarah menjawab sambil melepas senyum.

“Bolehkah Sar menceritakan kepada kami, tentang


apa yang membuat Sar bahagia. Apa yang membuat
Sar tiba-tiba berubah?” Dewi meminta.

Sarah hanya tersenyum. Dia menatap wajah dua


sahabatnya yang mematung bagai boneka dengan
saksama. Sarah yakin, kehadirannya yang lebih
ceriah dan penampilannya yang berbeda akan
membuat kepanikan di antara sahabatnya. Sahabat-
sahabatnya pasti akan bertanya-tanya.

Dengan gaya yang sama, penuh ekspresi dengan


gerakan teatrikalnya yang kadang-kadang membuat
tempat apa pun berubah jadi panggung
pementasan, Dinda kembali melepas tanya
“Kemarin, dan kemarin-kemarin di sini, di tempat ini
kau melepas tubuhmu yang lelah…kau menyiram
semua cerita dengan air mata. Kau memupukinya
dengan duka…tetapi pagi ini….ya pagi ini, kau
mengenanakan jilbab jingga, melepas senyum tampa
lelah, membaca Rubaiyat…ada apa gerangan?”

“Ya..ya..sebenarnya ada mimpi apa kamu semalam


Sar” Dewi menimpal penuh tanda tanya.

Sarah kembali membalas dengan senyum. Tiba-tiba


ia membuka suara. Dari kedua belah bibirnya
meluncur sekuplet sajak dari Umar Khayam yang
dibacanya dari Rubaiyat:

32
“Bangkitlah dan tinggalkan sesal dunia yang telah
lalu,

Bergiranglah, dan biarkan dalam kegembiraan saat


berlalu,

Jika watak dunia punya sesayup kesetiaan,

Giliranmu takkan datang samasekali, seperti yang


lazim berlaku”

Dewi dan Dinda ternganga. Kata-kata Sarah


membuat dahi keduanya bergelombang. Tetapi
Sarah tetap tenang. Sarah sadar betul. Ia tak akan
menceritakan keindahan mimpinya semalam. Karena
itu adalah pengalamannya yang terindah. Kepada
sahabatnya, Dinda dan Dewi, ia cukup memberikan
maknanya. Bahwa cinta itu sejatinya indah. Sangat
indah, walau harus dilalui dengan luka.

Sarah melanjutkan sekuplet dari Umar Khayam:

“Mari kawan, mari kita lepaskan kesedihan esok hari,

Dan tangkap kesempatan hidup saat ini; esok,


penginapan kuno ini

Bakal ditinggalkan, dan kita akan sama dengan


mereka yang lahir tujuh ribu tahun yang silam di
sini”

33
Dewi dan Dinda mengangguk. Seperti memahami
maksud Sarah keduanya saling pandang dan
mengangguk. Sarah memperhatikan tingkah
sahabatnya dengan Senyum. Sarah tahu betul
keduanya sahabatnya mengangguk tidak tahu. Tapi
Sarah membiarkan itu.

“Sar…sebenarnya apa yang kau bicarakan?” Dewi


ingin tahu

“Sar…apakah Sar tidak sedang bermimpi…atau tidak


sedang mati suri…atau tidak sedang mengigau?”

Sarah tersenyum. Hanya itu. Kemudian ketiganya


larut dalam sepi. Dinda dan Dewi memperhatikan
Sarah dengan saksama. Memperhatikan Rubaiyat
Umar Khayam yang bersampul senja. Keduanya
bingung tidak kepalang. Ingin meminta dari Sarah
untuk membaca walau sepenggal. Tapi keduanya
tidak sempat. Sarah pergi meninggalkan mereka
menuju perpustakaan

Dewi dan Dinda menggeleng-gelengkan kepala.


Menyusul Sarah menuju perpustakaan dengan
menggelantung sejuta tanya. Entah.

***

Di tempat yang biasa di sudut perpustakaan itu


Sarah menarik kursi lalu duduk. Ia meninggalkan
Dewi dan Dinda yang jalan perlahan menyisir rak-
rak buku kemudian menjauh. Dinda dan Dewi tahu
34
betul itu, keduanya tak hendak mengusik. Karena
jika Sarah sudah mengambil tempat dan duduk,
maka segala usik tak akan digubrisnya.

Dari sudut ruangan itu, Sarah mengeluarkan catatan


hariannya. Sebuah buku catatan dengan sampul
berwarna marun, pada lembaran-lembaran kuning
tua terekam catatan-catatan harian entah dalam
rupa sajak-sajak rindu, puisi-puisi syahdu dan atau
barisan kata tanpa rupa, yang lebih tepat disebut
sebagai coretan yang berisi kegundahan dan
kekesalan.

Tetapi pagi itu, Sarah bukan menulis sajak, bukan


menulis puisi, pun pula bukan coretan-coretan tanpa
rupa. Pada lembaran kuning tua itu, Sarah
melukiskan tentang dirinya yang setia, sebagai
wanita yang tegar menanti. Wanita yang tak tunduk
di bawah duka. Yang tak tergerus dihanyut air mata
haru. Yang tak tercerabut dari dirinya sendiri untuk
menjadi pribadi yang lain. Tetapi semakin menjadi
dirinya sendiri.

“Aku perempuan bercadar”

Demikian Sarah menulis mula-mula pada lembaran


baru catatan hariannya. Kemudian ia lanjut
menetaskan tinta:

“Cadar jingga yang kukenakan bukan untuk


menyebut diriku seorang yang berduka. Pun bukan
menyebut diriku sebagai sumber segala air mata.
35
Sejujurnya aku mau mengatakan kalau aku adalah
perempaun yang berbahagia…”

Sarah merenung sejenak, seakan-akan mengingat


segala kisah. Melayangkan mata jauh ke depan,
kemudian kembali menyelam ke dalam lembaran
catatan hariannya.

“Aku teringat keagungan cadar merah pada masa


Lima Dinasti, Later Jin. Merah melambangkan
kebahagiaan. Dan setiap pengantin perempuan wajib
mengenakan cadar merah untuk menunjukkan
keanggunan, kejelitaan dan juga kerahasiaan agar
tak terjamah siapa pun selain kepada dan hanya
untuk pasangan pencintanya”

“Sekarang, jika aku berjilbab jingga, aku pun mau


mengatakan bahwa aku berbahagia. Hari-hari penuh
derita yang kulalui, air mata yang kuseberangi, duka
yang kupijaki adalah sesungguhnya peristiwa
terindah yang kualami sebagai pemaknaan atas
cinta”

Sarah meletakkan pena. Memejamkan mata. Seperti


sedang kembali ke masa silam, bergulat dengan
derita. Terbayang dalam benaknya, Azam yang pergi
meninggalkannya. Pergi dengan ketidakpastian.
Pergi tanpa tinggalkan catatan. Selain hanya
sepenggal jawaban yang membingungkan „hanya
alam dan Tuhan yang tahu‟

36
“Azam….jika kau dengar jeritan hati ini. Kau pasti
tahu, bahwa semua luka yang kuderita berawal dari
cinta yang pernah kita bangun di bawah purnama.
Andai kau tak memberi harap, andai kau tak
memberi janji, aku tak mungkin menanti dengan
sakit” Sarah menuliskan itu dengan sepenuh hati. Ia
menumpahkan semua gundah, melepaskan semua
gerahnya.

“Kepada siapa aku menagih, jika kau tak peduli.


Kepada angin aku menuai janji, kepada mimpi aku
mengadu isi hati….aku merasakan sebagai peristiwa
pedih yang tak terperi”

“Tapi kini, setelah sedih perlahan-lahan pergi. Aku


menjadi yakin, semua kenangan yang membekas
dalam hati menjadi momen yang berarti.
Kemarahanku, kegundahanku, menjadi sebuah
ucapan terima kasih. Aku berterima kasih atas
seluruh kisah masa lalu kita”

“Dalam masa menunggu ini, aku mengucap syukur.


Aku tak hendak menyebut kau pengkhianat cinta.
Karena sesungguhnya dalam sakit yang diderita, kau
masih yang terindah”

“Aku hanya memanjat dalam doa-doa yang tak lelah.


Walau aku bersimpuh dengan tubuh setengah kaku.
Aku berharap kau kembali. Sebab cadar yang
kukenakan ini, hanya kau yang boleh
melepaskannya. Aku mau menjadi perempuan

37
terindah dalam hidupmu.” Demikian Sarah menutup
kisahnya.

Catatan harian itu ditutupnya dengan sepenggal


kalimat “Aku perempuan bercadar”.

Ia menenangkan segala pikirannya. Membereskan


catatannya. Kemudian beranjak ke luar
perpustakaan, hendak menjumpai Dinda dan Dewi,
tetapi keduanya tidak tampak. Tanpa menunggu
lama, karena hari telah beranjak siang, ia
memutuskan untuk pulang ke rumah.

Di Al Hidayah, sejak pagi hingga hari beranjak siang,


Azam dan Nurillah tampak sedang mengajarkan
shalat kepada anak-anak. Azam dan Nurillah
mendampingi mereka dengan setia. Keduanya
tampak begitu serius. Sahut menyahut anak-anak
terdengar berganti-ganti. Seperti itu setiap pagi
Azam dan Nurillah menjalankan aktivitasnya.

Sebuah aktivitas rutin yang menjadi roh utama Al


Hidayah. Habib Ridzki sangat menekankan itu,
bahwa shallat harus ditanamamkan sejak dini
kepada segenap kaum mukmin. ”Pangkal segala hal
ialah Islam. Sedangkan tiangnya adalah sholat dan
puncaknya adalah berjuang di jalan Allah” (Riwayat
Tarmizi) Demikian Habib Rizdki selalu mengutip.

Baginya, dan bagi segenap mukmin shalat adalah


amalan yang paling besar dan agung selepas iman.
Tiada amalan yang lebih besar dan agung selepas
38
iman yang dapat menandingi shalat. Karena itulah di
dalam Islam, shalat adalah menjadi tiang agama
Islam. Tapaknya atau pondasinya adalah iman. Ia
merupakan ibu segala ibadah di dalam Islam.

Rasul SAW bersabda: ”Amalan yang pertama dihisab


dari seorang hamba pada hari kiamat ialah sholat.
Jika sholatnya baik, maka baiklah seluruh amalnya,
sebaliknya jika sholatnya jelek, maka jeleklah
seluruh amalnya” (HR Tabrani)

Inilah alasan utama mengapa Al-Hidayah menjadi


pasantren yang diminati. Keutamaan islami yang
ditanamkan kepada para santri menjadi kewajiban
utama. Hal itu tampak dalam keseriusan Al Hidayah
mengajarkan segala keutamaan itu, bukan hanya
dalam konsep-konsepnya, tetapi juga dalam pola
laku dan akhlak.

Namun, terlepas dari segala konsep utama di atas,


yang diyakini sungguh Azam dari ayahnya, baginya,
kesempatan mengajar di Al Hidayah adalah untuk
menambah pengelaman, sebelum, tiga bulan
kemudian berangkat ke Cairo untuk meneruskan
studi.

Azam selain menjadi santri teladan di Al Hidayah,


meruakan satu-satunya putra Habib Ridzki yang
cerdas. Lantaran itu, Habib menaruh harapan besar
kepada putranya itu, agar kelak dapat meneruskan
Al Hidayah.

39
Sedangkan bagi Nurillah mengajar di Al Hidayah
adalah kesempatan untuk mengenal Azam secara
lebih dekat. Ia menjadi santriwati yang berbahagia,
karena selain menuntut ilmu, juga menjadi bagian
dari keluarga besar Habib Ridzki. Karena keluarga
Habib sudah menganggapnya sebagai anaknya
sendiri. Dengan demikian, kedekatan antara Nurillah
dan Azam pada hari-hari di Al Hidayah, bagi Habib
Ridzki adalah sesuatu yang wajar, layaknya sebagai
sahabat dan saudara.

Namun, bagi Nurillah, Azam bukan hanya sahabat


dan kakak. Nurillah berharap lebih. Baginya Azam
adalah kekasihnya. Lantaran itu ia berusaha untuk
selalu memberikan yang terbaik bukan hanya kepada
anak-anak asuhnya ketika mengajar, tetapi juga
kepada keluarga Habib Rizki. Agar dengan semakin
ia diterima, semakin ia dicintai.

Azam, menyadari itu. Ia paham betul segala upaya


Nurillah. Sehingga, tanpa Nurillah mengerahkan
seluruh ekspresi rasa untuk selalu tampil sempurna
di hadapannya, sebenarnya Azam sudah menaruh
hati sejak pertama memandang Nurillah. Baginya,
Nurillah bukan hanya perempuan yang cantik jelita,
tetapi juga cerdas dan solehah.

Namun, keinginan untuk mengatakan cinta selalu


terpendam dalam dada, karena Sarah masih
memanggilnya pada malam-malam sembahyang.
Sarah masih mengisi ruang hatinya, bagai pelita.
Kendati ia mencoba mengusirnya, tetapi kisahnya
40
bersama Sarah begitu membekas dalam ingatannya.
Biji-biji tasbih di tangan kanannya seperti selalu
memancarkan rindu. Rindu Sarah.

Tetapi hari itu, Azam menjadi pribadi munafik. Ia


mencoba untuk membohongi dirinya sendiri. Ia tak
bisa menyembunyikan ketertarikannya kepada
Nurillah. Keselaluan mereka berjumpa, keseringan
mereka menegur sapa, membuat perjumpaan antara
keduanya menjadi bernyawa. Ada cinta di antara
mereka yang tak dapat lagi dipendam. Segala rasa,
semua ingin segera tertumpah.

“Nurillah,…tolong ambilkan buku catatan saya di laci


meja perpustakaan” Pinta Azam kepada Nurillah
yang datang mendekatinya, seusai mengajar anak-
anak. Azam berharap Nurillah bisa memakluminya
karena dia belum selesai mengajar. Tanpa
menunggu Nurillah pun bergegas menuju
perpustakaan.

Sebelum Nurillah menarik laci meja, ia


memperhatikan catatan-catatan tangan Azam yang
bertebaran di atas meja. Ia beniat untuk
merapikannya. Ia menemukan banyak catatan yang
sulit dibaca, karena huruf Azam tak seindah
wajahnya.

Nurillah tersenyum sambil menggeleng-geleng


kepala. Namun ada satu lembaran catatan yang
cukup menyita pandangannya, ditulis dengan huruf-
huruf besar dan jelas terbaca. Pada kata-kata
41
tertentu diberi warna merah. Simbol kebahagiaan.
Sementara pada kata-kata yang lain diberi garis
bawah, seperti hendak memberi penegasan.

“Nurillah…Andai kau tahu, kalau di dasar hatiku, kau


hadir menjadi semakin nyata. Aku yang sedianya
terluka karena kebimbangan dan ketidakpastian, kini
menjadi berbahagia karena kehadiranmu. Aku tak
tahu, apakah ini yang disebut jatuh cinta. Tetapi jika
aku mau jujur, dan jika aku menanyakan ini
kepadamu, aku dan juga kau akan menjawab „ya, ini
jatuh cinta. Kita sedang saling jatuh cinta‟. Tapi
entah kapan aku harus jujur mengatakan ini
kepadamu. Namun yang pasti, semoga dengan
membaca catatan ini, kau menjadi tahu, kalau
sebenarnya aku mencintaimu”

Nurillah terperanjat. Bibirnya setengah merekah. Ia


hendak berteriak. Ia begitu gembira. Dadanya
terasa sesak. Hendak ia melompat, hendak ia
menari, hendak ia memeluk, hendak ia menangis.
Segala rasa haru dan gembira membaur melebur jadi
satu. Tak terlukiskan dengan kata.

Lembaran catatan itu bagai mukjizat. Berulang ia


menatap. Antara percaya dan tidak. Jika benar,
maka akan menjadi seperti pucuk dicinta ulam pun
tiba, harapan akan cintanya menjadi nyata. Jika
tidak, ia sudah sedang memasuki wilayah setengah
waras. Lama ia terpesona, serupa patung yang
sedang membaca sesuatu.

42
“Nurillah…”

Nurillah tersintak, ia menjadi sangat malu. Ia tak


menyangka kalau Azam sudah berada di
belakangnya dan memperhatikan segala ekspresi
rasanya.

“Nurillah…”

Azam kembali memanggilnya. Sarah membalikkan


badan perlahan. Tak mengucapkan sepatah kata. Ia
terpaku ditelan rasa. Mulutnya terkatub rapat. Di
tangannya masih tergenggam catatan cokelat tua
berisi kata rasa. Di hadapannya tampak Azam
melepas senyum seakan-akan meminta kepastian.

“Ya…ya…Zam…Azam…Bang…bang Azam” Nurillah


melepas kata patah-patah. “Nurillah tidak temukan
buku catatan itu bang..di mana abang
meletakkannya” Nurillah mencoba mengalihkan rasa.
Tetapi justru membuat Azam tertawa.

“Catatan yang saya maksud ada di tanganmu…”


jawab Azam tenang. “Sudah Nurillah baca catatan
itu?” lanjutnya. “Ya…ya..sudah” Jawab Nurillah
gugup. “Bagaimana?” Pinta Azam. Nurillah
mengangkat wajahnya perlahan. Matanya berkaca-
kaca. Tanpa kata, ia mengangguk, memberi
kepastian.

Azam mendekat, hendak ia memeluk dan memberi


kecupan terindah pada kening Nurillah. Tetapi Azam
43
mengurungkan niatnya. Azam sadar betul bahwa
antara keduanya belum terikat tali kasih sebagai
suami dan istri. Kedua bukan mukhrim. Keduanya
masih sepasang kekasih, ada jarak yang masih
memisahkan mereka, yakni keyakinannya mereka
pada norma-norma agama.

Keduanya hanya melepaskan pandangan bahagia.


Melepaskan senyum terindah. Tanpa kata. Dalam
senyum dan pandang keduanya melepaskan rasa.
Rasa yang sudah lama terpendam. Dan sekarang
menjadi nyata. Bahwa keduanya saling jatuh cinta.

Nurillah tak dapat melukiskan dengan kata atas


semua peristiwa yang dialaminya. Semuanya bagai
kejutan. Semua bagai anugerah. Semua bagai
hidayah. Sudah sejak cintanya diterima Azam, hari-
harinya di Al Hidayah menjadi kian sempurna. Di
sana ia belajar menjadi mukmin sejati. Di sana ia
dicintai oleh anak didik dan keluarga Habib Rizdki.
Dan di sana pulalah cinta yang dinanti hadir menjadi
nyata dalam diri seorang Azam.

“Subhanaallah”

Hari-harinya menjadi penuh makna. Cintanya yang


tulus kepada Azam menjadikannya perempuan yang
sangat berbahagia. Pada setiap pagi, siang dan
malam, tak lelah ia panjatkan puji dan syukur
kepada Allah SWT. Karena ia yakin bahwa cintanya
kepada Azam adalah atas ridho-Nya.

44
Sebagaimana Firman Allah Subhanallohu wa Ta‟ala:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah
Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya , dan dijadikan-Nya di antara
kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar- benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir” (QS. Ar Rum: 21)

Nurillah meyakini itu. Cinta yang dibangunnya


bersama Azam adalah cinta yang tulus dan suci.
Walau untuk menjadi istri belum terpikir. Tetapi
kebahagiaan itu sudah dialaminya menjadi kian
dekat, kian nyata. Apalagi Habib Rizdki sudah
mengetahui itu, kalau antara putranya, Azam dan
Nurillah sudah menjalin kasih.

Tapi Habib Rizdki tak hendak mengusiknya, sejauh


cinta yang dibangun berjalan sesuai nilai-nilai dan
norma islami. Dan cinta itulah yang sudah sedang
dijaga Nurillah. Sebagai manusia biasa, Nurillah pun
sadar bahwa apa yang sudah ia berikan kepada
Azam dalam cinta adalah tindakan yang manusiawi.
Dan oleh karena itu, Nurillah tetap mempertahankan
cinta itu agar tetap berjalan dalam bingkai dan
norma agama.

Sebab, seperti yang dikatakan Habib Ridzki, bagi


seorang muslim dan beriman, cinta yang hakiki
adalah cinta kepada Allah. Segala bentuk dan rupa
cinta walau tanpa batas ruang dan waktu, pun pula
kepada siapa dan apa pun. Namun yang pasti bahwa
45
semuanya harus bersumber dari dan kepada cinta
Allah.

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang


menyembah tandingan-tandingan selain Allah;
mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman
amat sangat cintanya kepada Allah. (Al-Baqarah:
165). Demikianlah Habib Rizdki selalu mengutip
sebagai pengingat pada setiap nasehat.

Inilah kekuatan bagi Nurillah dalam menjalankan


cintanya bersama Azam. Ia menjadikan ungkapan
cinta itu sebagai ibadah. Ia tidak hendak
mencemarinya dengan hasrat manusiawi dan apalagi
kenikmatan sesaat. Bagi Nurillah cinta itu suci dan
tulus. Cinta adalah fitrah dalam peristiwa manusiawi
manusia. Cinta adalah satu hubungan suci antara
dua hati. Ia adalah anugerah Allah, sebab itu ia
sangat bermartabat.

Cinta yang tulus dan murni adalah kurnia Allah. Ia


tidak datang menyembah dengan percuma. Allah
akan menganugerah rasa cinta dan kasih pada
mereka yang bersungguh berusaha mencarinya,
tetapi tidak boleh melebihi cintanya kepada sang
pemberi cinta yaitu Allah SWT.

Warna hidup Nurillah, kian hari kian berwarna.


Keindahan kepribadiannya terpancar dari senyumnya
yang selalu merekah. Terbit dari ketekunannya
dalam menjalankan ibadah. Tampak dari
46
semangatnya mengajarkan shalat kepada anak-anak.
Nyata dari kecintaannya kepada keluarga Habib
Ridzki. Juga hadir dalam ketulusan perhatian dan
kasih sayangnya kepada Azam.

Semuanya menjadi begitu mempesona. Begitu


indah. Untuk dan dalam semuanya, Ia melakukannya
dengan tulus dan ikhlas. Ia memberikan apa yang
menjadi kewajibannya, ketika ia harus mencintai. Ia
tidak menuntut lebih karena ia tahu batas-batas
haknya. Ia menyerahkan semuanya, segalanya,
karena ia yakin cinta pada hakikatnya adalah
memberi sebagai mana Allah memberikan cinta-Nya
kepada manusia.

Berbeda dengan Nurillah, Azam justru menjadi


pribadi yang lelah. Rapuh. Hari-harinya kian sepi.
Sunyi. Menyendiri adalah pelarian. Perpustakaan
menjadi ruang pelepasan. Segala buku dilumatnya.
Segala kertas dicoretnya. Namun semuanya tanpa
bentuk dan rupa. Semuanya tanpa arah. Terobang-
abing. Linglung.

Diamnya tampak bagai sembahyang. Sendirinya


seperti doa. Namun sesungguhnya ia tidak punya
apa-apa selain setumpuk daging berisi kecemasan
yang mendalam atas keputusannya yang akhirnya
membuatnya menjadi pribadi yang kesal. Biji-biji
tasbih yang mengalir dari jari-jarinya adalah susunan
kepingan-kepingan cintanya bersama Sarah. Allah
bagai terabaikan dalam kecemasan dan
kebimbangannya yang mendalam.
47
“Astaqfirullahalazim…. Astaqfirullahalazim…
Astaqfirullahalazim”

Azam menengadah. Memohon pegampunan Allah


atas keputusannya sesalnya. Ia merasa sangat
berdosa karena telah mengungkapkan cinta kepada
Nurillah, karena ternyata dari hati kecilnya yang
paling dalam sebenarnya ia mengatakan tidak. Tidak
hanya itu, salahnya bagai berlipat ganda, setelah ia
membayangkan Sarah yang terjebak dalam duka.
Juga karena salahnya.

Cintanya kepada Nurillah hanyalah pelariannya atas


penyesalan dan kegundahannya ketika ia tidak dapat
memberikan kepastian cintanya atas Sarah. Cinta
yang dibangungnya bersama Nurillah bagai
sandiwara. Segala senyum yang ditebar, sikap dan
penampilannya yang menawan serta keelokan tutur
katanya kepada Nurillah kian hari menjadi kian
hambar.

Ia tidak hanya menjadi pecundang bagi Sarah, tetapi


juga bagi Nurillah. Lebih dari itu sebenarnya ia telah
mempermainkan ketulusan dan kesucian cinta. Ia
telah menjadikan cinta sebagai duri. Kelopak cinta
luluh dan jatuh berguguran jadi sampah, yang
berdiri tegak adalah duri-durinya pada carang-carang
yang pongah. Dia menyadari dirinya sebagai carang
yang pongah.

“Astaqfirullahalazim…. Astaqfirullahalazim…
Astaqfirullahalazim” Azam kembali melepaskan
48
istiqfar. Ia menitihkan air mata. Dalam sujud yang
khusuk Azam melantunkan taubat dan petunjuk.

.
.

‫ل‬ .

.
“Aku menghadap kepada Tuhan Pencipta langit dan
bumi, dengan me-megang agama yang lurus dan
aku tidak tergolong orang-orang yang mus-yrik.
Sesungguhnya shalat, ibadah dan hidup serta matiku
adalah untuk Allah. Tuhan seru sekalian alam, tiada
sekutu bagiNya, dan karena itu, aku diperintah dan
aku termasuk orang-orang muslim. Ya Allah, Engkau
adalah Raja, tiada Tuhan (yang berhak disembah)
kecuali Engkau, engkau Tuhanku dan aku ada-lah
hambaMu. Aku menganiaya diriku, aku mengakui
dosaku (yang telah kula-kukan). Oleh karena itu
ampunilah selu-ruh dosaku, sesungguhnya tidak
akan ada yang mengampuni dosa-dosa, ke-cuali
Engkau. Tunjukkan aku pada akhlak yang terbaik,
tidak akan menunjukkan kepadanya kecuali Engkau.
Hindarkan aku dari akhlak yang jahat, tidak akan
ada yang bisa menjauhkan aku daripada-nya, kecuali
Engkau. Aku penuhi pang-gilanMu dengan
kegembiraan, seluruh kebaikan di kedua tanganMu,
49
kejelekan tidak dinisbahkan kepadaMu. Aku hidup
dengan pertolongan dan rahmatMu, dan kepadaMu
(aku kembali). Maha Suci Engkau dan Maha Tinggi.
Aku minta ampun dan bertaubat kepadaMu”.

Semuanya bermula dari perjumpaannya dengan


Azam dalam mimpi yang meneguhkan. Mimpi itulah
yang membayanginya. Yang membuatnya berubah
begitu cepat. Dukacitanya memancarkan
kegembiraan. Derai air mata menyemburkan senyum
dan tawa.

Mimpi itulah yang menerbitkan keyakinan akan


pilihan yang segera ia putuskan. Ke mana ia harus
melangkah.

“Besok, Jumad, sehari sebelum 1 Syahwal 1431


Hijriah”

Keputusan Sarah sudah bulat. Ia telah melewati


pergulatan yang panjang. Bukan tentang resiko baik
atau buruk yang secara jasmani akan diterimanya.
Tetapi kebahagiaan yang nantinya akan diraihnya
secara rohani.

“Mimpi itu akan menjadi nyata esok hari tepat pukul


10 pagi”

Sarah merebahkan raganya yang lelah di atas kasur


yang berantakan. Kesadarannya untuk
menjadikannya perempuan yang tegar, telah
memberikannya kepuasan tersendiri.
50
Kegundahannya melayang, kecemasannya terbang,
yang tertinggal adalah dinya yang diliputi
kebahagiaan.

“Ya Allah…ini ridho-Mu‟

Ia mengambil ponselnya. Mengirimkan pesan singkat


untuk Dewi dan Dinda agar datang menjumpainya.
Ia menarik napas panjang kemudian membanting
tubuhnya, di antara boneka-boneka. Tubuhnya jatuh
telentang.

Matanya kemudian menerawang menatap langit-


langit kamar. Menyapu dinding-dinding yang
bertaburan bunga dan pigura. Kemudian ke kiri dan
kanan, pada sisi-sisi tubuhnya. Boneka-boneka pun
tertidur jenaka. Sarah tersenyum.

Pandangannya pun membentur meja belajar di mana


foto Azam bersamanya terpajang dalam bingkai
perak. Sarah mengenang kisah itu, ketika sedang
merindu di bawah purnama. Dia tersenyum.

Perlahan pandanganya bergerak ke sisi sebelah


kanan. Matanya menumbuk lemari kaca. Di balik
pintu kaca tergantung sepasang cheongsam ukuran
kecil pemberian orang tuanya sebagai kado ulang
tahunnya yang ke-10.

Cheongsam yang cantik. Lehernya tinggi, lengkung


leher baju tertutup, dan lengannya yang panjang.
Memiliki kancing di sisi kanan, bagian dada longgar,
51
selayak di pinggang, dan dibelah dari sisi, yang
kesemuanya semakin menonjolkan kecantikan dari
wanita yang mengenakannya. Termasuk Sarah.

Hanya sekali itu ia mengenakan cheongsam itu,


persis ketika hari ulang tahunnya yang ke-10,
kemudian ia menggantungnya sebagai kenangan
terindah. Itu, kado terindah yang diberikan orang
tuanya sebelum ia pindah ke Malabiah beberapa
tahun silam mengikuti kakek dan neneknya.

“Papa…Mama…andai papa dan mama tahu isi hatiku


yang paling dalam…” Sarah tak kuasa menahan
haru. Membyangkan wajah ayah dan ibunya.
Ayahnya yang pengertian dan ibunya yang
penyayang. Ayah dan ibunya mencurahkan segala
untuknya, karena dia adalah putri semata wayang di
antara dua sadara laki-lakinya.

“Bukan aku hendak meninggalkan papa dan mama.


Bukan pula aku mengkhianati kasih sayang dan
perhatian. Tetapi ini adalah pilihan hidup. Dan
tentang semuanya itu hanya aku yang tahu…” Sarah
seperti mengadu. Matanya terus melekat menatap
cheongsam itu. Seperti sebuah pengakuan di
hadapan ayah dan ibunya.

“Sarah, ini adalah Cheongsam. Kado dari papa dan


mama buatmu” Sarah mengenang kata-kata
ayahnya. Ketika itu ayahnya memberikan dengan
senyum disaksikan ibunya.

52
“Nak…ini salah satu jati diri kita bangsa Tionghoa.
Pakaian Cheongsam cocok dengan bentuk tubuh
wanita bangsa Tionghoa. Semoga dengan ini, kamu
tetap menjaga kesederhanaan dan keanggunan,
juga kemewahan dan kerapian…kami mencintaimu
nak!!” Mengenang itu Sarah menitihkan air mata.

Matanya kembali menerawang. Sarah menyapu air


matanya dengan tepi seprei marun.

“Papa…mama…maafkan aku, bukan aku yang


memilih jalan ini, tetapi Allah yang memberikan aku
jalan…aku temukan hidayahnya…di sini..di Malabiah”

“Hy…hy…hy…bangun……………………….” Sarah bagai


dicekik. Dadanya sesak. Mukanya pucat pasi.
Lamunannya terbang. Suara Dinda dan Dewi yang
tiba-tiba menyeruak dari balik pintu kamarnya
membuatnya terperanjat.

“Iihh…..kagetin aja….ketok pintunya,


alasamualaikum dulu” umpat Sarah sambil
membenarkan posisi duduknya.

“Ya..ya..ya…maaf” Dinda merengek.

“Asalamualaikum Sar….” Dinda memberi salam.

“Ya…udah…duduk sini” Sarah meminta dua


sahabatnya agar mendekat.

53
“Ada apa sih Sar…sms kita-kita, pake penting segala,
darurat, gawat…kayak ada gempa bumi aja” ceplos
Dewi.

“Kau pun membuatku terperanjat. Membuat dadaku


sesak. Kau tertidur karena lelah. Ataukah karena
jiwamu yang terkulai. Aku datang sekarang.
Memberikanmu jawaban-jawaban. Memberikanmu
cerita tentang cinta. Mengajakmu mengisahkan
tentang kehidupan…Sarah ada apa??” Dewi
melepaskan cerewetnya. Di kamar itu dia pentaskan
teater. Membaca sajak.

“Ah….apa sih Wi…teater melulu…ne gawat ne” tegur


Sarah.

“Ya ne bocah…gak tau tempat…emang di sini


sanggar teater apa???” Dewi mengekor.

“Oke..maaf…ya udah…sebenarnya ada apa sih Sar”


Dinda melembut.

“Sarah mau minta bantuin lo berdua….mau kan?”

“Bantuan…bantuan apa yang tak dapat kami berikan


untukmu sahabatku…apa pun tawaranmu akan kami
laksanakan, yang penting bukan ke kubur…” Lagi-
lagi Dinda.

“Woi..apa-apaan sih lo, serius ne. Mau ke


kuburan..pentas teater di sana aja” Dewi benar-
benar marah.
54
“Hehe…Nda, senang dech punya sahabat kayak
lo…menghibur banget” Sarah tidak dapat menahan
tawanya, melihat sahabatnya Dinda yang selalu
pancarkan kecerahan dari wajahnya. Dinda tersnyum
mendengar pujian itu. Dia mendekat dan duduk di
samping Dewi.

“Sar minta tolong ke kalian berdua untuk pergi ke


pasantren Al Hidayah…jumpai Azam, sampaikan ke
Azam kalau besok jam 10 pagi damingi Sarah di
masjid Al Hidayah”

“Untuk apa Sar…??” Dinda dan Dewi mengejarnya


ingin tahu.

“Besok jam 10 pagi, Sarah mau bersyahadat”

“Apa…serius Sar?” Dewi ternganga.

“Hehehehe…….” Dinda terkekeh.

“Gila lo Sar….apa gue gak salah dengar?” Tanya


Dewi. “Becanda kan Sar?…lo dah gak gila kan?…lo
masih waras kan? Normal kan?” Sedertan
pertanyaan itu meletup-letup dari dari mulutnya.
Dari hatinya yang paling dalam, Dewi masih belum
percaya.

“Sar…Sekarang Sar bicara yang serius, sebenarnya


untuk apa kami diajak ke sini…apa untuk mendengar
yang lebay kayak gini? Dinda menyusul dengan
tanya.
55
“Ya untuk itu. Untuk itu Sarah ajak kalian dua ke
sini…dan hanya kalian berdua Sarah bisa percaya.
Sarah juga yakin, kalian berdua bisa bantu Sarah”

Sarah menatap lekat wajah kedua sahabatnya. Dewi


dan Dinda tak dapat menahan haru. Antara gembira
dan tidak percaya, marah dan bahagia, keduanya
terdiam. Keduanya pun memandang lekat wajah
Sarah, seakan-akan meminta kepastian. Menagih
kebenaran.

“Wi…Nda…dah lama Sarah memikirkan ini. Bergulat


dengan ini. Sarah memutuskan jalan ini dengan
menangis. Maafin Sarah, kalau selama ini Sarah gak
jujur dan menyembunyikan semuanya ini. Karena
Sarah gak mau kalau Wi dan Nda terlibat. Karena
resikonya akan lebih besar” jelas Sarah.

“Ya..ya..kami paham itu”

“Ya..”

Dewi dan Dinda memakluminya. Karena keputusan


untuk bersyahadat dan memilih Islam menjadi
agama adalah pilihan pribadi. Mereka pun sadar, jika
mereka mengetahui ini sejak awal, maka mereka
bisa diseret, suatu saat, sebagai penghasut.

“Subahanaallah”

“Alahu akbar”

56
Dewi dan Dinda menengadah. Mereka benar-benar
tidak menyangka kalau Sarah akhirnya memilih
menjadi penganut islam. Namun demikian, dari hati
mereka yang paling dalam, masih terganjal
pertanyaan yang belum tuntas dijawab.

“Tapi bukan karena Azam kan Sar?”

“Ya..ya, bukan karena dia maka Zar mau bermualaf


kan?”

Dewi dan Dinda kembali mengejar dengan tanya.


Bagi keduanya ini bisa menjadi soal di kemudian
hari.

“Sarah mengenal Islam karena Azam…cintanya,


kelembutan, perhatian dan kasih sayangnya kepada
Sarah membuat Sarah berubah. Tetapi ketika Sarah
ditinggalkan Azam, Sarah menjadi tak berdaya.
Sarah menjadi benar-benar sebatang kara” Suara
Sarah tampak kian berat.

“Tapi, ketika Sarah memikirkan dengan


matang…Sarah menjadi semakin yakin bahwa
pengalaman perjumpaan dengan Azam hanyalah
awal dari semuanya. Sarah perlahan-lahan mencoba
meninggalkan cinta Sarah kepada Azam. Sarah
menemukan keindahan cinta dan kebahagiaan dalam
Islam. Sarah mencintai Allah dan Nabi-Nya
Muhammad” Sarah menitihkan air mata. Ia benar-
benar melepaskan semua rasanya.

57
Dewi dan Dinda pun tak dapat menahan keharuan
yang sama. Keduanya pun menjatuhkan air mata.

“Subahanaallah…Subahanaallah…Subahanaallah”
Dewi dan Dinda melantunkan itu dengan gembira.

“Wi..Nda…jangan tinggalin Sarah…Sarah mohon,


tuntunlah dan dampingi Sarah…Sarah pasti akan
mengalami banyak tantangan ke depan, tetapi Sarah
harus memilih ini, sekarang…segala rahasia hidup
Sarah hanya alam dan Tuhan yang tahu”

“Amin…”

“amin”

Dewi dan Dinda bersahut-sahutan.

Keduanya menenangkan Sarah beberapa saat. Hari


sudah beranjak senja. Sebentar lagi waktunya
berbuka. Dengan dada yang masih menggelantung
tanya. Dengan rasa yang masih meletup-letup
bimbang, keduanya pergi meninggalkan Sarah untuk
segera menjumpai Azam.

“Sar…kami berangkat sekarang ya? Keduanya pamit,


kemudia bergegas tergesa-gesa membiarkan Sarah
dalam kesendirian. Sarah mengangguk. Melepas
senyum penuh haru.

disampaikan Dewi dan Dinda tentu saja mengejutkan


Azam. Dadanya bergetar. Jiwanya berontak. Hendak
58
ia menolak keputusan Sarah, dan mengatakan tidak
atau jangan, tapi ia tidak kuasa. Ia tak dapat
mengelaknya bukan hanya karena keputusan Sarah
sudah bulat. Tetapi juga karena ia turut berperan
dalam skenario kehidupan Sarah.

“Ya Allah, ke dalam tangan-Mu kupasrahkan


semuanya…sebab segalanya hanya Engkau yang
tahu ya Allah”

Sepanjang malam itu, Azam tak dapat memejamkan


matanya. Bathinnya bergejolak. Bertubi-tubi datang
pertanyaan yang tak tuntas dijawabnya.

“Sarah…apakah engkau yakin dengan keputusanmu?


Sudahkah engkau perimbangkan segala resiko yang
akan mendera hari-harimu? Apakah sudah engkau
katakan tentang maksud dan tujuanmu kepada
kedua orang tuamu? Jika hanya karena aku engkau
mengucapkan syahadat, maka segalanya akan
menjadi sia-sia. Sarah, aku berharap bukan karena
aku, engkau menjatuhkan keputusan ini”

Pertanyaan-pertanyaan itu datang silih berganti.


Membentur-bentur ruang kepalanya. Mencabik-cabik
hatinya. Hendak ia bertafakur dalam khusuk, tetapi
bathinnya meronta. Hendak ia pejamkan mata,
tetapi kegelisahan itu membangunkannya.

“Ya Allah…ya Rabb” Azam berpasrah. Di kamarnya,


ia berjalan bagai mengelilingi kabah. Tasbih di
tangannya tak ia lepaskan, walau bukan untuk apa-
59
apa, selain menjadi pelepas kesal. Sesekali ia
memandang keluar jendela. Tak ada siapa, tak ada
apa. Gelap.

“Sarah…seharusnya bukan sekarang….bukan


sekarang…bukan sekarang… Aku tahu kau akan
melakukan itu. Dari hati kecilku yang paling dalam
aku tahu kau akan memilih jalan ini. Aku pun tahu
kalau kau tak akan pernah ingkar janji. Tetapi….
tetapi mengapa engkau melakukannya begitu cepat?

“Dari hati kecilku yang paling dalam, aku berjanji


bahwa aku tak akan pernah meninggalkamu.
Tentang itu aku bersumpah…namun demikian aku
berharap, semoga bukan karena aku, engkau
mengambil keputusan ini. Sebab itu akan menjadi
penghalang bagimu”

“Ya Allah…ya Rabb…. ke dalam tangan-Mu


kupasrahkan semuanya…sebab segalanya hanya
Engkau yang tahu ya Allah”

Gelisah Azam kian memuncak. Kescemasan kian


mendera jiwanya. Ia benar-benar tak kuasa atas
semua tanya yang menerjangnya. Segala sendi pada
raganya bagai terlepas. Kepalanya berdenyut.

Namun ia berusaha untuk tetap tenang. Beberapa


saat ia terdiam. Mengosongkan segala tanya dari
ruang kepalanya. Ia menyudahi perjalannya
mengelilingi kamar. Menarik kursi dan menjejakkan
duduknya. Azam mencoba menenangkan jiwanya.
60
Melepaskan kecemasannya perlahan. Ia pejamkan
mata, menarik napas panjang.

“Ya Allah….ya Allah…ya Allah” Kemudia Azam


kembali diam. Larut dalam sepi malam.

“Sarah…engkau pasti sudah sangat membenciku.


Dan oleh karena itu bukan karena aku, engkau
memutuskan ini. Tetapi mengapa engkau memintaku
untuk menjadi pendampingmu. Ya…ya…aku yakin,
engkau mau mengatakan kepadaku bahwa bukan
karena aku. Ya, aku meyakini itu” Keraguan masih
menyembul dari ruang kepalanya.

“Sarah…menjadi seorang muslim berarti hanya


mempercayai Allâh sebagai satu-satunya Allah.
Itulah hakikat syahadat yang sesungguhnya dan
utama. Allah adalah Tuhan dalam arti sesuatu yang
menjadi motivasi atau menjadi tujuan seseorang.
Jadi dengan mengikrarkan syahadat, seorang muslim
memantapkan diri untuk menjadikan hanya Allah
sebagai tujuan, motivasi, dan jalan hidup”

“Sarah…syahadat juga merupakan pengakuan


bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allâh.
Dengan mengikrarkan kalimat ini seorang muslim
memantapkan diri untuk meyakini ajaran Allâh
seperti yang disampaikan melalui Muhammad saw,
seperti misalnya meyakini hadits-hadits Muhammad
saw. Termasuk di dalamnya adalah tidak
mempercayai nabi siapa pun setelah Muhammad
saw”
61
Azam mencoba menguraikan sejatinya maksud
syahadat. Sekedar untuk menenangkan jiwanya
yang resah. Dan membangun keyakinan kalau-kalau,
Sarah memutuskan untuk mengucakan syahadat
adalah karena alasan seperti yang dimaksud
kebanyakan mukmin.

“Sarah…bukan karena aku, bukan? Karena demi


Allah dan Nabi-Nya, maka besok, sehari sebelum 1
Syahwal 1431 H, tepat jam 10, seperti yang kau
sampaikan, aku akan mendampingimu”

Dari tempat duduknya, Azam menengadah.


Memanjatkan doa. Memohon pertolongan dan
petunjuk Allah. Kemudian, dengan gontai ia
pindahkan tubuhnya yang lelah ke atas ranjang.
Bukan untuk pejamkan mata. Karena subuh sebentar
lagi datang. Azam hanya melepaskan lelahnya.
Setelah sepanjang malam bergulat dengan
kecemasan, dan sekian pertanyaan yang tak tuntas
dijawab.

Tepat pukul 10 pagi, sehari sebelum 1 Syahwal 1431


Hijriyah, Sarah mengikrarkan syahadatnya,
disaksikan Azam dan dua sahabatnya Dinda dan
Dewi, serta keluarga besar pasantren Al Hidayah,
Habib Ridzki, Umi Umayah, Nurillah, para pengasuh
yang lain dan beberapa orang santri.

Di hadapan ustazd Zainudin dengan wajah tenang


dan hati yang rela, Sarah menyatukan dirinya dalam
agama Allah lewat dua kalimat syahadat.
62
Asyhadu An-Laa Ilâha Illallâh

Saya bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah

wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullâh

dan saya bersaksi bahwa Muhammad saw adalah


Rasul/utusan Allah

“Allahuakbar…” kata Sarah dalam hati. Beberapa


menit setelah acara itu usai. Masjid Al Hidayah
menjadi tempat terindah baginya di pagi hari itu.
Pasantren keluarga Azam itu menjadi saksi bisu
keajaibannya, yang disaksikan puluhan pasang mata
penuh bahagia.

Tampak, wajah Dinda dan Dewi berkaca-kaca,


melepas senyum haru. Keterkejutan dan
ketakyakinan mereka terbasuh ketika itu. Habib
Ridzki, Umi Umayah dan Nurillah turut berbahagia.
Ustaz Zainudin, guru agama yang selama ramadhan
mengajarkannya tentang islam kepadanya, tampak
pula berbahagia.

Sementara Azam terpekur tunduk, larut dalam rasa


yang masih terbelenggu ragu. Antara sesal, malu
dan tak percaya melebur jadi satu.

“Sarah, aku turut berbahagia atas kebahagiaan yang


kau alami. Semoga Allah senantiasa memberimu
hidayah. Dan hari ini aku menjadi yakin, jika

63
keyakinanmu itu adalah karena Ridho-nya dan bukan
karena aku” Kata Azam dalam hatinya.

Di atas sajadah cinta dan totalitas penyerahan diri


yang tulus kepada Allah, Sarah tak lelah
memanjatkan terima kasihnya. Ia yakin dan percaya
bahwa Allah-lah yang telah membukakan pintu
baginya.

“Azam, segalanya telah berubah” kata hati Sarah


ketika pandangannya membentur wajah Azam. Azam
mencoba untuk menatapnya lekat, tapi Sarah segera
mengalihkan perhatiannya kepada sahabat dan
rekannya yang lain, yang sedang mengucapkan
salam. Tak kuasa Azam menahan malu dan haru. Ia
pun berlalu, dengan wajah lesu, kemudian
menghilang di balik pintu.

“Azam maafkah aku…ini bukan salahku. Aku dapat


merasakan kelembutan dan kebaikan di matamu.
Aku tahu semuanya adalah karenamu. Tapi tidak
untuk hari ini dan hari-hari setelah hari ini. Karena
sejatinya Allah adalah kekasihku”
Padangan Sarah mengantar kepergian Azam.
Hendak ia mengejar untuk mengatakan semuanya,
agar segala rasa itu tuntas tertumpah. Tapi hendak
itu mengurungnya. Azam telah menghilang dan dia
pun sudah dilingkari salam bahagia kawan dan
sahabatnya.

Sarah pun larut dalam kebahagiaan dan


kegembiraan itu, hingga hari meninggi, dan ketika ia
64
harus kembali ke kamarnya yang sepi. Namun dari
hati kecilnya yang paling dalam, Sarah masih
menyimpan janji.

“Azam, aku akan mengatakan tentang semuanya.


Mengapa aku menjadi berubah. Namun, perlu kau
tahu, semuanya bukan karena aku membencimu.
Tetapi justru, karena kau telah membuka mata
hatiku dan mempertemukanku dengan kekasihku
yang sungguh. Yaitu Allah saw”

Idul Fitri adalah momen istimewa dimana segenap


mukmin diajak kembali kepada dirinya sendiri,
membersihkan hati dan membiarkan dirinya dimiliki
Allah. Sarah meyakini itu sungguh. Penjelasan
Ustazd Zainudin pada hari-hari belajarnya
menguatkan keyakinan itu. Bahwa Idul Fitri adalah
peristiwa fitrah bagi seoarang mukmin untuk
bertemu dengan Allah. Sebuah momen perjumpaan
yang ditunggu-tunggu oleh setiap mukmin setelah
menjalankan puasa.

Seperti yang disimaknya dengan sungguh dari yang


dituturkan Ustaz Zainudin, bahwa Idul Fitri
mengandung tiga hal penting. Yakni pertama, bahwa
Idul Fitri merupakan peristiwa rasa penuh harap
kepada Allah. Harapan pada pengampunan dosa dan
salah.

Sarah sudah melakukan pesan itu dengan sungguh.


Puasa sudah dijalani dengan tekun dan serius. Ia
menjalankan itu dengan tanpa celah. Kendati ia
65
belum sepenuhnya menjadi muslimah, tetapi
sepanjang bulan suci ramadhan, kekhusukan itu
sudah dibuktikannya.

Momen Idul Fitri menjadi penting adalah juga


sebagai kesempatan untuk melakukan evaluasi diri
pada ibadah puasa yang telah dikerjakan. Apakah
puasa yang dilakukan telah sarat dengan makna,
atau hanya sekedar menahan lapar dan haus
semata.

Ustaz Zainudin selalu berpesan kepadanya “Di siang


bulan Ramadhan kita berpuasa, tetapi hati kita, lidah
kita tidak bisa ditahan dari perbuatan atau perkataan
yang menyakitkan orang lain. Kita harus terhindar
dari sabda Nabi SAW yang mengatakan banyak
orang yang hanya sekedar berpuasa saja: Banyak
sekali orang yang berpuasa, yang hanya puasanya
sekedar menahan lapar dan dahaga“.”

Sarah pun menyadari itu sungguh. Segala risau dan


kecemasan ia maklumi sebagai batu ujian Allah
atasnya. Ia tidak hanya memaafkan dirinya sendiri,
tetapi juga yang paling menyakitinya, yaitu Azam.
Kekecewaan dan sakit hatinya atas Azam pupus.
Dengan jiwa besar, Sarah memberikan pemaafan itu
dengan ikhlas.

Selanjutnya yang ketiga adalah, seperti yang


dipahami Sarah, momen Idul Fitri merupakan
kesempatan untuk mempertahankan nilai kesucian
yang sudah diraih. Ustaz Zainudin, guru agamanya
66
yang baik hati dan penuh perhatian menjelaskan
pula pesan itu kepadanya berulang:

“Kita diharapkan agar tidak kehilangan semangat


dalam ibadah karena lewatnya bulan Ramadhan,
ketaqwaan kepada Allah harus terus dilanjutkan
hingga akhir hayat”

Firman Allah SWT: “Hai orang yang beriman,


bertagwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa
kepada-Nya dan janganlah sekali-kati kamu mati
melainkan dalam keadaan ber-agama Islam ” (QS.
Ali Imran: 102). Demikian Ustaz Zainudin mengutip
ayat Quran, untuk menegaskan pesannya.

Namun bagi Sarah, Idul Fitri, 1 syahwal 1431 H,


menjadi moment yang paling berbahagia. Selain
ketiga pesan yang disampaikan Ustazd Zainudin
dijalani dengan sungguh sebagai ungkapan
penyerahan dirinya yang tulus kepada Allah.

Juga, hari-hari hidupnya menjadi lebih bermakna,


karena Idul Fitri pada 1431 Hijriah merupakan yang
pertama, terindah dan terbahagia. Menjadi yang
pertama karena pada ketika itu, Sarah masuk dalam
keluarga besar jemaat Islam, yang mengakui nabi
besar Muhammad saw sebagai Rasul Allah.

Menjadi yang terindah dan terbahagia karena ia


menjadi muslimah, persis pada bulan suci
Ramadhan. Bagi Sarah, itu adalah momen yang tak
terlukiskan dengan kata.
67
Sudah sejak ia menjadi muslimah, hari-hari hidunya
kian bergairah. Perpustakaan kampus tidak lagi
menjadi ruang samadi. Taman kampus tak lagi
menjadi tempat pelepasan gundah. Dewi dan Dinda,
dua sahabatnya, tak lagi menjadi pelimpah beban.
Kamarnya pun tidak lagi menjadi penjara.

Alam pun menjadi sahabat setia dimana segala


kebahagiaan dibagikan. Ketika langit cerah,
menggelantung penuh bintang, walau bulan redup,
ia tetap setia memandang. Dari balik jendela tak
jenuh ia menengadah melepaskan niat-niat. Ia
meyakini sungguh alam dan Tuhan mengetahui
segala rasa dan hasratnya.

Sepanjang hampir dua bulan itu, wajahnya kian


cerah. Senyumnya kian menawan. Jelitanya menjadi
kian tampak. Perubahan itu menjadikannya sebagai
wanita terindah dan penuh bahagia. Keindahan dan
kebahagiaan yang lahir dari jiwa yang ikhlas. Jiwa
yang senantiasa mensyukuri nikmat Allah dalam dan
untuk segala kehidupannya.

Demikianlah Sarah, kian hari hidupnya kian mekar


bagai bunga. Ia tumbuh dan berkembang menjadi
muslimah yang kian hari kian kaya dalam
pengetahuan dan iman. Ia tekun beribadah, rajin
menghafal dan melafalkan aya-ayat suci Al-Quran,
pun pula tidak mengeluh melaksanakan amal kasih.

Pada pergaulan ia semakin diterima, baik di kampus


maupun dalam lingkungan sosial masyarakat
68
Malabiah. Ia tidak hanya dikenal sebagai pribadi
yang cerdas, tetapi juga penyayang, ramah dan
murah senyum. Pribadi yang solehah. Ia dikagumi
setiap laki-laki, dicintai, tetapi juga disegani karena
keramahan dan penampilannya yang santun.

Semuanya benar-benar berubah. Siapa pun bagai


tak lagi mengenal sosok Sarah Ling. Bahkan, bukan
hanya dirinya sendiri yang hampir melupakan nama
itu. Nama Tionghoa yang diberikan orang tuanya 17
tahun silam. Tetapi juga, semua sahabat dan
kenalannya. Semuanya bagai pergikan masa lalu itu.

“Azzahara”

Itulah nama yang dipilihnya ketika menjadi seorang


muslimah. Dan sudah sejak itu pula ia dipanggil
Zahra. Sebuah nama, yang oleh Ustazd Zainudin,
guru agamanya, meramalkan akan menempatkannya
sebagai salah satu „anggota keluarga‟ kesayangan
Nabi Muhammad

“Aku ingin menjadi bagian dari keluarga Nabi.


Menjadi seperti Siti Fatimah Azzahara, putri bungsu
kesayangan Rasulallah s.a.w.” Tekad Sarah atas
plihan namanya itu.

Demikian kisah mula-mula Sarah memilih mengganti


namanya menjadi Azzhara. Nama itu tidak hanya
memberikannya motivasi untuk menjadi pribadi yang
tampil menawan dan jelita secara fisik, yang dalam

69
pergaulannya selalu hadir bagai bunga yang mekar
semerbak (az-zahara).

Tetapi juga menjadi pribadi yang selalu


memancarkan pula kesetiaan dan ketaqwaan kepada
Allah. Pribadi yang khusuk dan setia beribadah serta
tekun menjalankan nilai-nilai islami. Ia hendak
menjadi pribadi yang tulus berbagai kasih, pun pula
sederhana serta tetap sabar dan tegar walau diterpa
aneka badai masalah yang sudah dan mungkin bakal
terjadi.

“Aku mau menjadi seperti Siti Fatimah Azzahra yang


telah mengorbankan seluruh hayatnya untuk
kepentingan Islam dan Ummatnya, baik dalam suka
maupun dalam duka”

“Tidak hanya itu. Siti Fatimah digelari Al-Batuul,


yaitu yang memusatkan perhatiannya pada ibadah
atau tiada bandingnya dalam hal keutamaan, ilmu,
akhlaq, adab, hasab dan nasab…Aku mau belajar
menjadi seperti itu” Berulang Zahra memanjatkan
niatnya itu. Pada setiap saat dan kapan saja.

Kebahagiaan itu seperti akan segera sudah. Sesuatu


yang mengganjal ruang dadanya tiba-tiba
menyeruak ke permukaan. Hatinya gundah. Alur
duka sepertinya mulai datang menggelombang.
Zahra menyadari itu, bahwa segala duka akan
menghadangnya. Duri-duri kehidupan akan
dilaluinya.

70
“Ya Allah…hanya Engkau yang tahu tentang segala
rahasia hidupku” Zahra melepas keluh dengan
harap.

Di depan pintu gerbang Zahra termangu. Ia menatap


lekat rumahnya, sambil perlahan menanggalkan
jilbabnya. Selalu seperti itu, ia menyembunyikan
dirinya dari perhatian keluarganya. Ia tak hendak
kakek dan neneknya mengetahui statusnya. Bahwa
sudah hampir dua bulan ia menjadi muslimah.

“Di sini di rumah ini aku tak dapat menjalankan


semuanya. Aku mengalami secara perlahan kalau
rumah ini bagai penjara”

Ia melangkahkan kakinya perlahan. Tapaknya berat.


Ia seperti memasuki sebuah tempat yang tidak lagi
memberikan kebahagiaan. “Ya Allah…” Pintunya
dibukakan perlahan. Penuh hati-hati. Ia tidak
hendak mengagetkan kakek dan neneknya yang
sedang asyik bercengkarama di seberang taman.
Selalu seperti itu ketika hari menjelang senja. Jika
bukan mengisahkan tentang keagungan budaya
Tionghoa, maka yang diksahkan adalah tentang
masa lalu mereka.

“Opa, oma, maafkan Zahra”

Zahra menaiki tangga, menuju kamarnya. Di atas


tempat tidurnya yang rapi tertata, ia merebahkan
raganya yang lelah. Dalam dadanya masih
berkecamuk rasa yang belum tuntas dijawab.
71
“Ya Allah Ya Rabb…bagaimana aku harus jujur
mengatakan tentang semuanya ini. Bagaimana aku
harus jujur mengatakan kepada opa dan oma, juga
kepada papa dan mama yang berada nun jauh di
sana”

Zahra merenungkan semuanya. Ia berada dalam


saat yang berat. Hendak ia mengatakan dengan
terang kepada keluarganya, maka kehidupannya
akan berantakan. Ia tidak hanya diumpat, tetapi
juga dimarahai dan dibenci. Ia tidak hanya tidak
diakui sebagai anggota keluarga, tetapi akan diusir
dari keluarganya sebagai pecundang, pengkhianat
dan anak durhaka.

“Oma opa, mama papa, aku sayang kalian semua.


Aku mencintai kalian semua. Aku tak mau
ninggalkan kalian semua” Mata Zahra berkaca.

Dari hati kecilnya yang paling dalam. Zahra


sebenarnya takut. Rasanya ciut di hadapan
keluarganya. kakeknya adalah seorang yang
berpendirian keras. Biacaranya meledak-ledak.
Kesehariannya memang tampak tidak mempedulikan
keluarga. Kakeknya lebih setia mengurusi bunga dan
taman, tetapi sesungguhnya dia adalah seorang
kakek yang penyayang.

Kepada Zahra pun ia rela memberikan apa pun yang


diminta, jika itu bertujuan untuk kuliah dan masa
depan. Demikain juga dengan Neneknya. Neneknya
adalah pribadi sabar dan penuh perhatian. Tidak
72
banyak kata keluar dari mulutnya. Neneknya adalah
seorang yang tenang. Tetapi senyum dan matanya
memberikan kebahagiaan yang besar buat Zahra.

“Ya Allah….” Zahra benar-benar pasrah. Ia benar-


benar berada dalam situasi yang sulit. “Mengapa aku
harus melalui semuanya, ya Allah…berikan petunjuk-
Mu ya Allah agar aku dapat mengatakannya semua.
Ya Allah, apakah harus sekarang?”

Cemas, ragu dan takut kian berkecamuk. Kendatipun


ia menyadari bahwa mengatakan semuanya secara
jujur adalah tindakan yang berbahaya. Tetapi akan
lebih berbahaya jika harus berlarut-larut dalam
beban yang tak memberikannya jalan keluar.

“Ya Allah, aku tidak sanggup mengatakan semuanya


sekarang. Aku tidak sanggup. Aku tidak tahu
bagaimana harus mengatakan ini. Aku takut dengan
diriku sendiri…Ya Allah, berikan petunjuk-Mu”

Matanya menerawang ke langit-langit kamar.


Kemudian turun menyapu dinding-dindingnya.
Matanya menatap sekelilingnya. Tak ada tanda yang
memberikannya jalan keluar. Semuanya kaku, bisu
dan sepi. Ia pejamkan mata. Meresapi semua tanya,
menyelami segala segala cemas, mendalami seluruh
takut. Ia memaknai pilihanya.

“Ya Allah, Zahra yakin dan percaya bahwa Engkau


akan memberikan aku hidayah-Mu”

73
Sepenggal harap itu adalah doanya. Ia memanjatkan
itu dengan air mata. Dengan penuh pasrah dari balik
dada yang lapang dan tulus.

“Aku yakin Ya Allah, aku adalah Az-Zahra”

Perlahan ia membuka matanya. Kembali ia melepas


pandang menyapu sekitar. Matanya memandang
pigura-pigura dengan lukisan-lukisan masa lalunya
yang penuh kenangan. Di kamarnya ia menyaksikan
dunianya. Di kamarnya ia menuliskan sejarah
hidupnya. Dari dan dalam kamar segala cerita ada
setiap harinya bermula, tidak hanya tentang kisah-
kisah bahagia, tetai juga tentang cerita-cerita duka.

Pandangannya tiba-tiba berhenti di atas meja


belajarnya. “Azam”. Ia menatap lekat ke arah
bingkai perak itu. Senyum Azam seperti
memberikannya tanda. Memberikannya jalan keluar.
Memanggilnya untuk membagi beban.

“Assalamualaikum” ucapan salam Zahra


membuyarkan konsentrasi Azam dan Nurillah, yang
sedang serius mendengarkan nasehat Habib Ridzki.
Keduanya berpaling.

“Waallaikumsalam” jawab ketiganya serempak.

“Hy, Zahra…silahkan masuk” Sapa Nurillah ketika


membukakan pintu. Keduanya berpelukan bagai
kawan lama yang tak pernah bersua. Habib Ridzki

74
meyambutnya dengan senyum, sedang Azam
membisu dengan wajah bingung.

“Maaf Abi kalau kedatangan Zahra mengganggu,


karena sepertinya Abi, Azam dan Nurillah sedang
serius” Zahra memandangi Abi dengan memohon.

“Tidak apa-apa Zahra. Abi hanya memberikan


nasehat-nasehat kecil buat Azam dan Nurillah. Buat
anak-anak muda. Supaya mereka benar-benar setia
dan taqwa kepada Allah, bukan hanya dalam kata,
tetapi juga dalam tindakan, dalam pergaulan
keseharian hidup mereka” jelas Habib Ridzki.

“Amin” Zahra mengangguk sambil melepas senyum.

“Ya, termasuk Zahra juga. Tetapi, Abi pikir Ustaz


Zainudin sudah mengajarkan banyak hal kepada
Zahra, bukan begitu Zahra?”

“Alhamdulillah Abi. Tapi selama satu minggu ini


Ustaz Zainudin sedang ke Solo, jadi Zahra untuk
sementara tidak mendapat bimbingannya”

“Oh ya, tidak apa-apa, Zahra bisa datang ke sini


untuk sementara waktu, Abi bisa bantu. Tetapi kalau
Abi lagi sibuk atau keluar kota, kan masih ada Azam
atau Nurillah”

“Insyaallah” jawab Azam dan Nurillah serempak.

75
“Terima kasih banyak Abi, Azam dan Nurillah yang
mau menolong Zahra” puji Zahra tulus.

“Tetapi, sebenarnya kalau Abi mau tahu, sebenarnya


ada maksud apa Zahra datang kemari?” tanya Habib
Ridzi ingin tahu. “Karena sudah hampir dua bulan
kita tidak bertemu. Sepertinya ada sesuatu yang
penting” lanjutnya.

“Pertama-tama Zahra mau meminta maaf kepada


Abi, maksud kedatangan Zahra sebenarnya mau
bertemu dengan Azam, karena ada hal kecil yang
hendak Zahra sampaikan kepada Azam” jawab
Zahra. Zahra mencoba berbohong, karena ia tidak
mau merepotkan Habib Ridzki dengan masalahnya.

Habib Rizki mengangguk-angguk. Sementara Azam


tampak mengernyitkan dahinya. Nurillah yang persis
berada di samping Zahra hanya tersenyum.

“Jadi bukan dengan Abi ya? Ha..ha” Habib Ridzi


melepas canda. “Oke kalau begitu. Zahra, Abi tinggal
dulu ya. Sebentar lagi jam lima dan Abi harus
menjemput Umi di Al-Hikam…” Pamit Habib Ridzki.

Zahra berdiri memberikan salam. Mengangguk


sambil melepas senyum. Sedang Azam yang masih
duduk terpaku tampak bingung. Azam tidak mengira
jika kehadiran Zahra adalah ingin menjumpainya.
Nurillah yang duduk persis di samping Zahra tampak
sangat bahagia. Tidak ada kecemasan pada raut
wajahnya. Bahkan, ia pun sengaja pergi
76
meninggalkan Zahra dan Azam, agar keduanya
dapat dengan leluasa berbicara.

“Zahra” sapa Azam.

“Ya Azam” jawab Zahra.

Hanya itu. Tidak ada tanya, pun tidak ada jawaban


lagi. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Di
hadapan Azam, mulut Zahra bagai terkunci. Ia
duduk mematung. Walau pandangannya lekat
menatap Azam. Demikian juga dengan Azam.
Hendak ia menanyakan maksud dan tujuan
kedatangan Zahra. Tetapi kedua belah bibirnya
terasa berat. Ia tidak hanya terpaku oleh keraguan,
tetapi juga oleh rasa bersalahnya.

“Zahra…apakah ada yang dapat saya bantu?”

Azam mencoba memberanikan diri. Ia mencoba


berani mengalahkan tatapan mata Zahra. Sebab ia
tahu, di balik mata Zahra ada harapan. Tetapi
harapan itu jauh lebih besar dari sekedar harapan
akan cinta darinya.

“Ya Azam, Zahra mau Azam membantu memberi


solusi, walau untuk sekali ini saja” jawab Zahra.
Kemudian Zahra menjelaskan maksud dan tujuan
kedatangannya. Menjelaskan segala resiko dan
tantangan yang nantinya dihadapinya. Dan berharap
semoga Azam memberikan solusi dan dan jala keluar
untuk masalah yang dihadapinya.
77
“Maafkah Zahra, karena Zahra sudah memberikan
beban bagi Azam untuk berpikir”

“Astaqfirullahalazim…” Azam melepaskan istiqfar


setelah mendengar semua penjelasan Zahra. “Zahra,
Azam akan mencoba berusaha membantu Zahra
sejauh kemampuan Azam”

“Namun, jika Zahra tidak keberatan, besok kita bisa


bertemu lagi untuk mendiskusikan tentang hal ini.
Azam bukan tidak mau membantu Zahra sejarang,
tetapi sebentar lagi akan segera magrib”. Jelas
Azam.

Bagi Azam, permintaan Zahra adalah kesempatan


baginya untuk mengobati semua rasa bersalahnya
kepada Zahra. Ia menyambut permintaan Zahra
dengan antusias. Kecemasan di raut wajahnya tiba-
tiba menghilang. Ia tampak sangat berbahagia.
Walau sebenarnya dari hati kecilnya yang paling
dalam kembali terbersit api cinta. Namun, sengaja ia
sembunyikan itu dengan alasan yang masuk akal.
Agar Nurillah tidak curiga dan ia pun bisa membantu
Zahra dengan lebih leluasa.

“Alhamdulillah” Zarah memanjatkan syukur kepada


Allah “Terima kasih Azam, sudah mau mendengar
dan bersedia memembantu Zahra” kata Zahra lebih
lanjut. Kemudian ia mengucapkan salam dan pamit.

Dalam perjalanan pulang, Zahra tak henti melepas


senyum, seakan-akan segala beban hilang seketika.
78
Ia hanya berharap semoga Azam dapat mengurangi
beban yang akan dideritanya. Walau sebenarnya,
dari heti kecilnya yang paling dalam kembali terbersit
api cinta. Namun, sengaja ia sembunyikan itu
dengan alasan yang masuk akal. Agar Nurillah tidak
curiga dan ia pun bisa dengan lebih leluasa
berjumpa Azam.

Seusai jam kuliah, Zahra langsung menemui Azam di


Al Hidayah. Namun yang dijumpainya hanya Nurillah
yang baru saja membubarkan anak-anak seusai
belajar sore.

“Bang Azam, Abi dan Umi sedang dalam perjalanan


pulang dari Al Hikam” jelas Nurillah “Jadi, Zahra bisa
tunggu sebentar” lanjutnya

Zahra mengangguk. Kemudian mereka larut dalam


cerita, entah tentang keseharian Nurillah di Al
Hidayah, maupun tentang keseharian Zahra setelah
menjadi muslimah. Tidak luput pula keduanya
becerita tentang mimpi-mimpi mereka, termasuk
tentang sosok pendamping hidup yang mereka idam-
idamkan.

“Isnyaallah, sebelum Azam berangkat ke Cairo, kami


akan melangsungkan pernikahan” jelas Nurillah.
“Studi Azam ditunda sampai pertengahan tahun
depan, jadi mungkin nanti pada Maret atau April
kami melangsungkan pernikahan”

79
Wajah Zahra tiba-tiba berubah. Ia bagai disambar
petir. Rasanya menyengat-nyengat. Hendak
berteriak sekeras-kerasnya “Tidakkkkkkkk!!” tetapi ia
tak kuasa. Ia tidak hendak kebahagiaan Nurillah
pecah berantakan.

Ia tidak sudi Nurillah mengetahui segalanya.


Tentang masa lalunya bersama Azam, walau
sebenarnya dari hatinya yang paling dalam, hendak
ia mengatakan itu denga jujur, agar semuanya
menjadi lepas.

“Oh..” hanya sepatah kata itu yang terontar dari


kedua belah bibirnya. Bagai tak percaya, ia
melanjutkan dengan tanya.

“Mengapa harus Azam?”

“Bang Azam adalah segalanya bagi Nurillah. Dia


tidak hanya tampan dan cerdas. Tetapi juga penuh
perhatian dan kasih sayang. Tutur katanya lembuh,
itu meneduhkan buat Nurillah” Jelas Nurillah
memberi alasan.

“Bang Azam adalah juga pribadi yang ramah dan


soleh. Nurillah sangat berbahagia memiliki
pendamping seperti bang Azam” puji Nurillah
berulang.

Wajah Zahra memerah. Ia merasa kalah ditimpa-


timpa oleh rasa yang kian gundah. Matanya berkaca,
hendak ia menumpahkan air matanya. Namun, ia
80
mencoba memendamnya. Ia tidak hendak mengusik
senyum Nurillah.

Dalam hati kecilnya yang paling dalam, Zahra hanya


dapat memanjatkan harap “Ya Allah, mengapa rasa
ini belum juga pergi. Haruskah aku terus menanti
tentang sesuatu yang sepertinya tidak pasti. Sesuatu
yang sudah menjadi milik orang lain”

Zahra melepaskan pandangannya jauh ke dalam


rasa. Ia melihat masa lalunya dengan layu. Tentang
kenangannya bersama Azam, entah ketika di bawah
purnama maupun ketika dalam cengkerama di
beranda rumahnya. Semuanya terekam jelas. Zahra
mengingat semuanya.Tapi semuanya bagai
melayang, ergi entah ke mana.

“Ya Allah, mengapa semuanya pergi begitu cepat,


dan mengapa pula aku harus menanti dalam
ketidakpastian. Azam…andai kau tahu rasa hati
ini…dan andai kau pun jujur dengan kata hatimu.
Semuanya menjadi sempurna. Antara kita tidak ada
jarak tersiksa. Kita tidak akan bergulat dengan duka.
Dan hari-hari hidup kita tidak melulu berlinang air
mata. Tapi…”

“Zahra” Lamunan Zahra buyar.

Nurillah memandangnya penuh tanya. Sembab mata


Zahra membuat Nurillah bertanya. Garis-garis wajah
Zahra, membuat Nurillah cemas. Ada sebuah rahasia
yang terekam di balik jilbab jingga Zahra.
81
Apakah tentang Azam? Mengapa wajah Zahra tiba-
tiba berubah ketika dirinya bercerita tentang Azam?
Mengapa Zahra terperanjat? Nurillah mencoba
menebak-nebak. Wajahnya pun tiba-tiba berubah.
Ada rahasia yang membuatnya tidak melanjutkan
cerita. Keduanya jatuh dalam diam yang sama.
Zahra menjadi tak berdaya. Sementara Nurillah
menjadi kian cemas.

“Zahra…mengapa ngelamun?” Nurillah mencoba


memberanikan diri.

“Tidak…tidak apa-apa” Jawab Zahra mengada-ada.


“Hanya kepalaku sedikit sakit..sepertinya migren”
Tambahnya memberi alasan.

Tapi Nurillah tidak lekas percaya. Nurillah


menyimpan semua rahasia itu dalam dadanya. Ia
memendamkan semuanya. Mungkin dia salah
menebak. Mungkin pula benar. Tetapi semuanya
dibiarkan, dilepaskan. Hanya dirinya sendiri yang
mengetahui kegundahan itu.

“Oh…itu mereka sudah datang” Kata Nurillah kepada


Zahra. Keduanya memandang ke arah pintu gerbang
Al Hidayah. Azam, Umi Umayah dan Habib Ridzki
mendekat, mengucapkan salam dengan senyum
tertebar.

Tetapi tidak bagi Azam. Dadanya bagai sesak.


Rasanya gundah. Ia terperanjat. Ada sesuatu yang
sudah terjadi antara Zahra dan Nurillah. Ia
82
memperhatikan keduanya dengan saksama. Wajah
Zahra yang sembab, seperti sedang menumpahkan
duka. Tatapan Nurillah yang cemas dan sinis, seperti
menagih kejujuran.

Tanpa kata terucap, Nurillah tiba-tiba meninggalkan


mereka. Azam mengikuti langkah Nurillah dengan
padangan yang cemas. “Ya Allah…apa yang sudah
terjadi. Apakah Zahra sudah menumpahkan semua
rasanya?” kata Azam dalam hatinya. Ia begitu cemas
dan gugup. Ia menjadi ciut.

“Abi..Umi…Zahra pamit, hari sudah sore” Zahra


mengucapkan salam dan pamit. Ia tampak tergesa-
gesa. Kepada Azam pun ia tidak tinggalkan pesan. Di
depan teras rumah Habib Ridzki, segala tanya
berkecamuk. Umi Umayah dan Habib Ridzky tampak
kebingungan. Azam sudah bisa menduga, jika
semuanya akan menjadi berantakan. Dadanya kian
sesak.

“Aku harus mengatakan semuanya…aku harus jujur


denga kata hatiku…Nurillah maafkan aku..” katanya
dalam hati, kemudian pergi meninggalkan teras
rumahnya yang sepi. Habib Rizky dan Umi Umayah
menyusulnya masih dengan segenggam tanya.
Keduanya berpandangan. Menggelengkan kepala.

“Mmmm…”

Malam tiba. Dengan tanya yang masih merasuk.


Azam, Zahra dan Nurillah jatuh dalam pelukan
83
malam dan berstereu dengan tanya-tanya itu. Tidak
tenang. Ketiganya bergulat dengan diri mereka
sendiri dalam sepi dan kesendirian. Ketiganya
bergulat dengan rasa, tentang satu soal, cinta. Azam
bergualat dengan ketakutan dan kecemasan. Nurillah
bergulat dengan penasaran. Sedang Zahra bergulat
dengan kenangan dan kepahitan. Malam itu ketiga
bersama berharap menemukan jalan.

***

Azam tak dapat lagi menyembunyikan rahasianya


yang terdalam. Bahwa ia masih mencintai Zahra.
Dan ia harus mengatakan itu dengan jujur kepada
Zahra, bukan cuma supaya segala rasa terpendam
itu lepas, tetapi juga supaya segala rahasia menjadi
nyata. Namun, pada saat yang sama, Nurillah adalah
kekasihnya. Dan tentang itu, ia tidak hanya telah
memberikan harapan yang besar kepada Nurillah,
tetapi karena relasi cinta yang sama, silatarim Al
Hidayah dan Al Hikam tetap terjaga.

Pergulatannya kian memuncak ketika ia harus


mengatakan semua rahasia ini kepda Zahra dan
Nurillah.

“Ya Allah…aku tidak tahu apa yang mesti aku


perbuat” Azam berpasrah. “Aku tidak akan melukai
Nurillah, dan aku pun tidak akan membuat Zahra
tetap menderita” lanjutnya.

84
“Nurillah sedang berbahagia. Kelompak cintanya
sedang mekar. Ia bagai bunga yang tumbuh segar
dalam taman yang tepat. Dan karenanya, aku tidak
hendak melukai kebagiaannya” Azam menimbang
dengan rasa.

“Dan kau Zahra…cintamu masih tetap menyala,


walau dalam ketidakpastian. Engkau telah melewati
dengan sabar, melampaui apa yang dipikirkan
manusia. Cintamu tulus, sayangmu lapang. Dan aku
tidak hendak membuatmu terus menderita. Karena
aku tahu semuanya adalah karena aku”

Nurillah dan Zahra, dua pribadi yang dengan caranya


masing-masing memberikan keajaiban bagi Azam.
Melukai dan atau menambah luka bagi salah seorang
dari keduanya, adalah dosa yang tak terampuni. Dia
bukan hanya disebut pecundang, tetapi juga lelaki
tidak berguna.

“Haruskah aku memilih?” Tanya Azam kepada dirinya


sendiri.

Tidak. Aku tidak sedang dihadapkan pada pilihan.


Aku sedang diuji untuk menjadi ribadi yang tegas.
Mengatakan tidak kepada yang satu, dan mengakui
cinta kepada yang lain. Cinta memang tidak untuk
dimiliki dan memiliki. Tetapi aku harus mengakui
bahwa dalam diri keduanya, baik Zahra maupun
Nurillah ada cinta yang menyala.

***
85
Di seberang kamar. Nurillah tampak murung. Ada
sebuah rahasia dalam dadanya yang belum tuntas
dijawab. Siapakah Zahra bagi Azam. Siapakah Azam
bagi Zahra. Mengapa antara keduanya begitu dekat.
Pandangan mata mereka begitu menyatu. Adakah
keduanya punya masa lalu yang indah kemudian
terluka.

Nurillah mencoba memutar kembali ingatannya. Ia


melepaskan semua ingatan itu dalam tanya.
Mengapa Zahra meminta Azam menjadi
pendampingnya ketika menjadi seorang muslimah.
Mengapa Zahra mengunjungi Al Hidayah dan ingin
menjumpai Azam. Mengapa, dalam saat-saat
tertentu sikap Azam begitu dingin terhadapnya.
Mengapa Azam selalu memancarkan wajah bersalah
ketika berjumpa Zahra. Mengapa Zahra memandang
Azam dengan begitu berharap.

“Astaqfirullahalazim” Nurillah beristiqfar.

Tidak. Nurillah mencoba mengusir semua


dugaannya. Ia merasa bersalah telah mencurigai
Zahra dan Azam, sebelum mengetahui segala
rahasia. Azam tidak mungkin melukainya, demikian
juga Zahra. Jika keduanya punya masa lalu yang
indah. Itu adalah masa lalu mereka.

“Ya, itu bukan menjadi urusanku. Jika mereka


pernah jatuh cinta. Itu adalah masa lalu mereka.
Sekarang adalah sekarang. Dan itu tak akan pernah
kembali” Nurillah mencoba menguatkan hatinya.
86
***

Malam yang kian larut, dari balik jendela kamar,


Zahra melepas pandang ke langit lepas. Dingin
gerimis menyapu wajahnya yang lunglai. Tapi ia
tidak beranjak. Bersama gerimis yang jatuh
perlahan, ia menitihkan air mata.

“Ya Allah..ya Rabb…terlalu sakit bagiku untuk melalui


semuanya ini. Kau mengujiku bertubi. Kau
mencobaiku berulang. Aku tahu itu. Aku meyakini itu
dengan sungguh. Dari karena aku percaya kepada-
Mu, bahwa Engkau pasti akan menolongku, maka
aku berani memilih jalan ini”

Zahra membayangkan semuanya. Masa lalunya


ketika kanak-kanak. Masa indahnya bersama Azam,
juga dukanya. Kegembiaraan dan kebahagiaanya
menjadi muslimah, juga air matanya melelwati
pilihannya itu. Semuanya melebur menjadi satu
dalam sakit.

“Ya Allah…Ya Rabb…bagaimana aku harus


melupakan semua kisah indahku bersama Azam.
Sudah kucoba untuk meninggalkannya dalam
malam-malamku. Tetapi dalam mimi-mimpiku ia
hadir menjadi nyata. Ia begitu dekat”

Wajah Zahra ian baswah, bukan hanya karena


gerimis yang diterpa angin malam, tetapi juga
karena air matanya yang berguguran. Hendak ia
melupakan semua, melenyapkan segala duka. Tetapi
87
duka itu serupa kian mendekat, menghujam-hujam
dadanya.

“Ya Allah..Ya Rabb…berikan aku keikhlasan dan


kerelaan untuk melupakan Azam. Biarkan Engkau
mengajariku bagaimana aku harus mencintai-Mu,
tanpa ia hadir mengganjal hari-hariku. Aku mau
mencintai-Mu dengan tulus hati, tanpa harus diintip
dengan masa lalu yang ngeri”

“Ya Allah…”

***

Malam itu, dalam kesendirian mereka. Ketiganya


berseteru dengan rasa. Masing-masing melukiskan
kisah mereka. Azam bergualat dengan ketakutan dan
kecemasan. Nurillah bergulat dengan penasaran.
Sedang Zahra bergulat dengan kenangan dan
kepahitan. Namun ketiganya punya jalan, ketiganya
berpasrah kepada Allah.

Tidak seperti biasa Nurillah terlambat memulai


aktivitas rutinnya. Para santriwati sudah berkumpul.
Dari ruangan terpisah Azam sesekali menyembulkan
kepalanya, mencoba memastikan Nurillah sudah
hadir atau belum. Namun, hingga tiga puluh menit
berlalu, Nurillah belum juga menunjukkan dirinya.

“Ya Allah, kemana Nurillah”

88
Azam mencoba menebak. Mungkin karena peristiwa
kemarin sore. Mungkin Nurillah sudah mengetahui
semuanya. Mungkin Nurillah kecewa. Sehingga
memutuskan untung mengurung diri di dalam
kamar, atau mungkin saja pergi ke Al Hikam.

“Asalamuallaikum adik-adik”

“Wallaiukum salam kakak”

Azam tersenyum. Nurillah akhirnya datang juga.


Tetapi tidak seperti biasanya. Wajah Nurillah pagi itu
tampak sembab, seperti baru saja menitihkan iar
mata. Penampilannya pun biasa, tidak secantik hari-
hari sebelumnya. Tampak seperti tidak berdandan.

Tetapi di hadapan santriwati, Nurillah tetap tampil


seperti biasa. Ia meminta maaf atas
keterlambatannya dan memberikan alasan yang
cukup masuk akal, bahwa ia sedang mencari buku
pelajaran yang entah di mana ia letakkan. Para
santriwati memaklumi itu.

Sedang, di sebelah ruangan, Azam menjadi tidak


tenang. Ia was-was. Hingga pelajaran pagi itu usai
30 puluh menit kemudian, Azam masih tampak
cemas. Pun ketika Nurillah pergi meninggalkan para
santriwati tanpa mengucapkan salam kepadanya,
hati Azam menjadi kian gundah.

Azam menyusulnya hingga ke perpustakaan.


Meminta Nurillah untuk mendengarkan duduk
89
masalah yang sebenarnya. Azam semakin yakin jika
karena peristiwa kemarin sore yang membuat
Nurillah tampak tidak ramah pagi hari itu.

“Nurillah” sapanya.

Namun Nurillah tidak menjawab. Ia berdiri


mematung. Matanya menatap lekat wajah Azam.
Tampak jelas kemarahan di matanya.

“Nurillah”

Nurillah berlalu, menyisir rak-rak buku. Mencai-cari.


Tidak peduli.

“Nurillah…Abang ingin mengatakan sesuatu tentang


kemarin sore”

Nurillah berhenti. Ia memalingkan wajah. Tetapi ia


mencoba mengelak.

“Sudah jelas bang…Nurillah tahu apa yang terjadi


antara bang Azam dan Zahra. Yang membuat
Nurillah ingin tahu adalah mengapa abang tidak
pernah jujur kepada Nurillah sebelumnya?”
wajahnya memerah. Kelembutannya seketika
hilang.

“Nurillah, Zahra adalah kisah masa lalu abang.


Sekarang antara abang dan Zahra sudah tidak ada
apa-apa lagi. Tetapi mengapa Nurillah menjadi
marah seperti ini?” Azam mencoba menjelaskan.
90
“Jika benar Zahra adalah masa lalu abang, mengapa
abang selalu cemas ketika berhadapan dengan
Zahra. Mengapa tingkah dan tutur kata abang
menjadi berbeda ketika berhadapan dengan Zahra.
Mengapa Zahra meneteskan air matanya ketika
Nurillah mengatakan akan menikah dengan
Abang…Nurillah mohon suapaya abang jujur,
sebelum semuanya terlanjur bang?” pinta Nurillah
memohon.

Azam terdiam beberapa saat. Mencoba untuk


tenang.

“Nurillah…dulu antara abang dan Zahra saling


mencintai. Tetapi kemudian karena alasan keyakinan
abang meninggalkannya. Nurillah tahu kan…kalau
Zahra bukan seorang muslimah. Tidak mungkin
abang memilihnya menjadi kekasih. Namun, yang
membuat abang selalu merasa cemas ketika
berhadapan dengan Zahra adalah karena abang
meninggalkan Zahra dalam ketidakpastian” Azam
mencoba menjelaskan semuanya.

“Jangan pernah membohongi hati seorang wanita


bang…Nurillah adalah juga seorang wanita. Nurillah
tahu kalau abang masih mencintai Zahra. Apalagi
sekarang Zahra sudah menjadi seorang muslimah.
Bukankah itu semua karena abang? Abang telah
memberi harapan yang besar kepadanya?”

Azam terdiam. Nurillah menghujamnya dengan


bertubi pertanyaan.
91
“Nur….”

“Cukup bang…penjelasan abang sudah cukup buat


Nurillah” Nurillah memotongnya

“Sekarang Nurillah minta kepada abang, supaya jujur


kepada Nurillah…apakah abang masih mencintai
Zahra atau tidak?” lanjutnya dengan tanya.

“Nur…”

“Jawab bang….ya atau tidak” kejar Nurillah.

Nurillah tampak tidak sabar. Ia begitu gusar.


Kelembutannya benar-benar hilang. Kecantikannya
tiba-tiba raib. Sifat asalinya sebagai wanita yang
keras tampak begitu nyata.

Azam menatapnya lekat. Bibirnya bergetar. Ada


kekesalan yang muncul dalam dadanya setelah
melihat ketidaksabaran Nurillah. Ia tidak menyangka,
kalau Nurillah begitu gusar. Karenanya, Azam
mengurungkan niatnya untuk menjawab pertanyaan
Nurillah.

Azam membalikkan badannya kemudian pergi.


Nurillah ditinggalkannya sendiri. Azam tidak peduli.

92
93

Anda mungkin juga menyukai