Anda di halaman 1dari 7

Rasa Tanpa Asa

Langit Bandung pagi ini sedang memamerkan warna birunya.


Cuaca sedang berusaha untuk tetap sejuk diantara awan mendung
yang ada di langit sebelah selatan.
Hari Senin dan Matematika, menjadi hari dan mata pelajaran
paling dihindari oleh hampir seluruh siswa. Tapi, jadwal
menyebalkan ini sekarang jatuh pada kelas XII MIPA 5, yang baru
saja selesai dengan kewajiban upacara bendera.
***
Rajendra Bumi Sagara, laki-laki yang sedari tadi masuk kelas
sudah menelungkupkan kepalanya untuk tidur. Sampai-sampai
dirinya tak tahu, kalau guru mata pelajaran jam pertama sudah
datang dan memulai kelasnya. Agaknya laki-laki ini terlalu malas
untuk sekedar membuka mata, apalagi harus mengikuti pelajaran
Matematika. Ah, ini sungguh musuh bebuyutannya.
“Selalu aja kaya gitu. Dasar Jendra, nggak pernah berubah.”
Itu adalah monolog dari perempuan yang sedari tadi mengamati
Rajendra dari kejauhan. Sabila Kaleisha Anaya.
Memang, sudah menjadi rutinitas tersendiri bagi Sabila untuk
diam-diam mengawasi setiap pergerakan yang dilakukan oleh
Rajendra. Sabila senang dengan laki-laki yang ia jumpai saat
pertemuan pertamanya di kelas X MIPA 5 dulu. Kalau kata orang,
“jatuh cinta pada pandangan pertama”. Dan Sabila benar-benar
mengalaminya.
Entah, Sabila merasa laki-laki ini cukup beda dan ada keunikan
yang menarik perhatiannya. Matanya jauh lebih jujur saat
menghargai lawan bicaranya. Mimik wajahnya, cara tuturnya, dan
semua yang ada pada Rajendra, Sabila suka.
Intinya, Rajendra Bumi Sagara ini, menarik. Lebih menarik dari
pelangi yang memamerkan tujuh warnanya, lebih menarik dari cerah
setelah hujan, dan lebih menarik dari senja yang menyanjung warna
jingganya.
***
Sore ini, senja telah muncul bersama dengan arakan awan oranye
kemerahan yang semakin bergerombol. Angin bertiup sepoi-sepoi,
menghempas tiap-tiap helai rambut. Di sinilah Sabila, duduk di atas
rooftop sekolah sambil sibuk dengan kertas dan pena yang ada di
hadapannya.
Lima belas menit berlalu, dan Asha, sahabat Sabila masih setia
berada di samping wanita itu. Ia lebih memilih untuk menikmati dan
mengagumi keindahan kota Bandung yang disuguhkan dari atas
rooftop ini. Membiarkan Sabila bergumul dengan urusannya.
Asha tentu sudah paham betul, inilah kebiasaan Sabila selama
hampir 3 tahun mengagumi sosok Rajendra. Wanita ini selalu
menuangkan segala perasaannya lewat surat dan karangan puisi,
yang ia sendiri tahu akan mustahil untuk sampai kepada pemilik
seharusnya.
“Lo nggak mau ngasih surat-surat dan puisi ini ke Jendra, Sab?
Nggak capek apa terus-terusan kaya gini? Sini deh gue bantu, biar
setidaknya orangnya tau kalo lo suka sama dia,” tanya Asha
membuka perbincangan.
“Nggak, ah. Cinta itu nggak berisik, Sha,” tolak Sabila pelan.
Menurut Sabila, soal perasaan baginya adalah sebuah rahasia.
Biar ia simpan sendiri katanya, biar ia yang merasakan bagaimana
jalan Tuhan dalam skenario jatuh cintanya, biar semesta yang
bertindak. Ia tidak mau ikut campur tangan meski hanya ingin
sekedar tersampaikan. Biar orangnya yang tahu sendiri melalui
perantara alam raya. Biar perasaan itu yang sampai sendiri kepada
tujuannya, tanpa usaha keras yang sering gagal paham karena
berubah jadi paksaan.
“Terus lo mau sampai kapan nyimpen perasaan lo ini? Nggak
mau apa coba dulu untuk berjuang? Atau sekedar menyampaikan
rasa yang udah bersarang lama. Barangkali, Rajendra juga cinta
sama lo,” ujar Asha.
“Emang harus ya, Sha, orang yang kita cintai itu mencintai kita
balik?” tanya Sabila yang tertarik dengan ucapan Asha.
“Harus,” jawab Asha dengan cepat.
“Agaknya sia-sia sebuah rasa jika tidak punya balasannya. Agak
menyedihkan juga,” tukas Asha sambil tersenyum kecil di akhir
kalimatnya.
“Tapi, bukannya cinta itu nggak harus memiliki?” sangkal Sabila
atas jawaban Asha.
“Itu untuk mereka yang sedang kalah. Untuk mereka yang
sengaja memenangkan orang lain. Mencintai tanpa memiliki
sebenarnya adalah paragraf paling menyakitkan dalam sebuah buku
yang di tulis. Namun, kalimatnya sengaja diindahkan agar sakitnya
tersamarkan. Agar terlihat kuat juga di mata mereka yang bernasib
sama. Realitanya, lukanya berdarah-darah. Banyak waras yang
hampir hilang karena itu,” jelas Asha yang mampu membuat Sabila
berpikir.
“Rasa itu kemerdekaan bagi setiap yang berhati, Sab. Sorakkan!”
tambah Asha yang sekaligus menjadi penutup perbincangan antara
dirinya dengan Sabila.
Selama beberapa detik, keheningan kembali tumpah di antara
dua manusia ini. Di antara suara angin yang mengisi itu, pikiran
Sabila melayang pada segala kemungkinan pahit yang terjadi.
Banyak perdebatan di benaknya, banyak riuh di kepala
cantiknya, banyak sakit yang ada di hatinya. Semua masih terasa
rumit bagi Sabila. Semua masih menjadi pertimbangan tersendiri
bagi wanita ini, mengenai perasaan yang harus segera terungkapkan.
“Sepertinya memang benar, jika urusannya melawan hati, kita
tidak pernah betul-betul jadi pemenang. Selalu gagal menepis rasa.
Selalu jatuh tanpa rencana. Hingga akhirnya kita tersadar,
mengalah pada hati justrulah bentuk kalah paling semarak.”
****
Tepat hari ini, acara kelulusan untuk kelas XII angkatan 78
digelar. Ada rasa bahagia, haru, sedih, bangga, dan rasa lainnya yang
tidak bisa disebutkan. Campur aduk. Itu yang mungkin bisa
menggambarkan perasaan Sabila sekarang.
Ia senang, karena sudah berhasil menamatkan seperempat dari
pendidikannya. Ia senang, karena sudah berhasil diterima di
pendidikan lebih tinggi sesuai dengan apa yang diharapkannya
selama ini—Fakultas Kedokteran UI.
Namun, dibalik rasa senang yang sedang dialami Sabila, rasa
sedihnya ternyata jauh lebih besar. Ia sedih harus meninggalkan kota
yang selama ini menjadi saksi tumbuh besarnya. Kota yang di setiap
sudutnya penuh ukir kenangan untuk Sabila. Tentang keluarganya,
tentang sahabatnya, tentang teman-temannya, dan tentang Rajendra.
Semuanya ada di sini. Di Bandung. Dan setelah ini, Sabila tidak lagi
bisa bertemu mereka sesering biasanya.
Sepertinya memang benar apa yang dikatakan oleh Pidi Baiq,
“Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih
jauh dari itu melibatkan perasaan yang bersamaku ketika sunyi.”
***
Sebelum pergi meninggalkan Bandung dan seisinya, Sabila ingin
berpamitan dengan Rajendra untuk yang paling pertama. Sabila
ingin menyuarakan apa yang sudah lama ia pendam—perasaannya
terhadap Rajendra. Agar jika nanti Sabila sudah tidak lagi berada di
Bandung, ia bisa merasakan sedikit lega atas perasaan yang telah
tersampaikan pada sang tuan.
Wanita itu kini berjalan menyusuri setiap sisi sekolah sambil
membawa surat yang akan ia berikan pada Rajendra nanti.
Menerobos tidak peduli pada tiap-tiap orang yang sibuk dengan
perpisahan. Mencari keberadaan laki-laki yang sudah sangat ingin ia
temui.
Namun, saat netranya sudah menemukan sosok yang sedari tadi
ia cari, rasanya Sabila ingin mengulang waktu saja, agar ia tidak
sama sekali memiliki niatan untuk mencari Rajendra.
Sabila mematung saat ini. Menahan sesak yang perlahan
membuncah di dadanya. Dari jarak jauh, Sabila melihat dengan
mata kepalanya sendiri, Rajendra berlutut membawa seikat bunga di
depan perempuan, yang bisa Sabila tebak, dua manusia itu sedang
terlibat dalam adegan romansa berbahagia.
Lalu Sabila pun membalikkan badannya, berlari sekencang
mungkin tanpa tau arah. Meremas surat dalam genggamannya untuk
kemudian dibuangnya secara asal. Nyatanya, realita menyakitkan
yang tidak pernah terlintas sedikitpun dalam benak Sabila baru saja
terjadi.
Runtuh. Pertahanan Sabila untuk tidak menangis sejauh ini
ternyata sia-sia. Air matanya lolos begitu saja dari netra indah
wanita itu. Mengalir deras tanpa henti, membasahi pipi Sabila.
Wanita itu masih terus berlari, tak peduli seperti apa kondisinya
sekarang. Yang jelas, Sabila berantakan. Make up nya kini sudah
luntur terkena lelehan air matanya. Membuat wajah sang puan
terlihat sedikit mengenaskan.
***
Maka Sabila menghentikan langkahnya di rooftop sekolah,
tempat andalan wanita ini karena memang selalu sepi. Di atas sini,
ia berteriak dan menangis sejadi-jadinya. Menumpahkan segala
kecewa atas harapan yang sedang melukainya. Berbicara dengan
dirinya sendiri, membiarkan sahutan alam yang menemaninya kali
ini.
“Kayaknya, emang dari awal gue nggak seharusnya nyimpen
perasaan ke lo, Je,” ucapnya sambil masih sesegukan.
“Ah! 3 tahun gue, begini ternyata ujungnya.”
Sabila tertawa miris, merutuki dirinya sendiri atas kisah yang
selalu tak sejalan dengan harapannya. Dan setelah berperang lama
dengan pikirannya, mencoba untuk menguatkan kembali dirinya,
Sabila pun menghela napas berat, lalu bermonolog bersama angin
yang sedari tadi menemani,
“Tapi, makasih untuk semuanya, Jendra. Makasih untuk sedikit
momen indahnya. Makasih karena udah pernah buat gue jatuh cinta.
Sekarang, biar gue akhiri perasaan ini, perasaan yang sampai kapan
pun sepertinya nggak akan tersampaikan. Selamat berbahagia, Je,
semoga gue juga.” Sabila akhirnya menutup monolog dirinya,
mencoba mengikhlaskan dan merelakan segalanya tentang Rajendra.
***
Biar Sabila akhiri di sini saja perasaannya. Biar ia relakan lelaki
ini menemui bahagianya. Biar segala tentang Rajendra akan melebur
bersama kisah-kisah lainnya, di Kota Bandung tercintanya.
Katanya, “setiap orang ada masanya”. Maka biar Sabila susun
tiap keping kenangan ini di Bandung. Kemudian akan ia letakkan di
sebuah sudut bernama “sudut nostalgia”. Dan jika benar masa itu
telah habis nantinya, akan ia datangi sudut itu untuk menikmati
kesedihan yang sudah pasti menyerang.
Sungguh, akan ia simpan sang tuan lebih lama lagi walau sudah
dalam bentuk kenangan. Agar saat rindu datang, ia tak perlu
mengemis pada waktu untuk meminta sosoknya kembali.
Biar saja ia peluk kenangan itu. Untuk setidaknya
menghangatkan dinginnya rindu yang merasuk kalbu. Walau
masanya tak abadi, tapi hal-hal manis ini biarlah melekat selamanya
di dalam pikiran dan hati.
Bandung, terima kasih, pun Rajendra Bumi Sagara.
***
“Sewajarnya perasaan, jangan lupa sisakan sedikit ruang untuk
kecewa. juga bagian lainnya untuk luapan tangis, dan sisanya untuk
bahagia.”

Anda mungkin juga menyukai