Anda di halaman 1dari 237

𝓐𝓻𝓲𝓼𝓼𝓪

𝓾𝓷𝓽𝓾𝓴
𝓜𝓪𝓻𝓲𝓼𝓼𝓪

𝑬𝒍𝒇𝒂𝒏𝒐 𝑨𝒓𝒔𝒂𝒚𝒓𝒂 𝑺𝒊𝒅𝒊𝒌


𝐊𝐀𝐓𝐀 𝐏𝐄𝐍𝐆𝐀𝐍𝐓𝐀𝐑

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Berkat
limpahan karunia-Nya, saya dapat menyelesaikan penulisan novel Arissa Untuk Marissa.
Dalam penyusunan Arissa Untuk Marissa, penulis telah berusaha semaksimal mungkin
sesuai dengan kemampuan penulis. Namun sebagai manusia biasa, penulis tidak luput dari
kesalahan dan kekhilafan baik dari segi teknik penulisan maupun tata Bahasa.

Kami menyadari tanpa arahan dari guru pembimbing, Pak Fajar Sidik, serta
masukan-masukan dari berbagai pihak tidak mungkin kami bisa menyelesaikan novel ini.
Novel Arissa Untuk Marissa dibuat sedemikian rupa semata-mata untuk persembahan
kepada semua warga sekolah SMP NEGERI 2 BUDURAN tahun 2019 dan sebagai sarana
untuk menyampaikan gagasan dengan pesan secara tersirat maupun tersurat. Untuk itu
penulis hanya bisa menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat,
terutama dari Pak Fajar Sidik yang menjadi sumber inspirasi terbesar pembuatan novel ini.

Demikian novel ini dapat bermanfat bagi penulis khususnya dan para
pembaca pada umumnya.

Sidoarjo, 10 Desember 2019

Penulis
𝐃𝐀𝐅𝐓𝐀𝐑 𝐈𝐒𝐈

Halaman Judul……………………………………………………………………………………… i
Kata Pengantar…………………………………………………………………………………….. ii
Daftar Isi……………………………………………………………………………………………… iii
Mimpi Itu Lagi

“Jangan, jangan bawa aku pergi Paman. Kakak tolong aku Kak, aku nggak mau
pergi!” tangan mungilnya berusaha menggapai sosok anak laki-laki berumur 8 tahun,
dengan air mata yang bercucuran.
Dengan sekuat tenaga anak laki-laki itu berusaha mencapai seorang gadis kecil
yang menangis sesenggukan dalam gendongan pria bertubuh kekar, menggunakan
penutup muka berwarna hitam. Beberapa langkah lagi sebelum ia menggapai tangan
mungil itu, sebuah peluru bersarang tepat didadanya.
Dor..
Dor..
“KAKAK!”
Sekuat tenaga ia mencoba melepaskan diri dari gendongan pria itu, mencoba
peruntungan dengan menggigit tangan yang masih menggenggam pistol dengan siaga.
Dan, yah, akhirnya dia berhasil terlepas dari gendongan pria itu dengan bantuan
seorang anak laki-laki berbaju biru.
“Dasar anak sialan!” matanya perih akibat kelakuan anak kecil berbaju biru yang
sengaja menyiratkan pasir ke matanya.
“Ayo pergi, cepatlah sebelum paman itu menangkapmu lagi,” gadis kecil itu tetap
berdiri ditempatnya, tidak menghiraukan apa yang dikatakan anak lelaki itu.
“Tapi bagaimana dengan kakak?” telunjuknya mengarah ke tubuh anak laki-laki
yang kini tubuhnya bersimbah darah.
“Nanti saja, cepatlah sebelum penculik itu menangkapmu lagi,” tangannya
berusaha menarik gadis kecil itu agar mau meninggal tempat ini, tapi tak ada yang
dilakukan gadis kecil itu kecuali tetap bergeming dengan air mata yang masih tetap
mengalir.

Arissa untuk Marissa | 1


“Hei, kau anak kecil, jangan coba-coba lari kau!” teriak pria itu setelah
membersihkan debu yang masuk matanya.
“Elin cepatlah pergi, jangan pikirkan kakakmu, selamatkan nyawamu sendiri.
Cepatlah!” kesabaran anak laki-laki itu sudah habis, dengan kasar anak laki-laki berbaju
biru mendorong gadis kecil itu sampai terjatuh.
“Tapi, hikss.. tapi kakak bagaimana?” tanya gadis itu.
“Sudahlah cepat pergi, kakak akan baik-baik saja. Jangan khawatirkan kakak,
kakak kan kuat,” anak laki-laki berbaju biru tersenyum sambil menghapus air mata
gadis kecil itu.
“Pergilah, kakak baik-baik saja, jaga Ayah sama Bunda untuk kakak, oke?”
mungkin jika kalian mendengarnya, kalian pasti berfikir yang mengucapkannya adalah
seseorang yang sudah dewasa. Kalian salah besar, yang mengucapkan itu hanyalah
seorang anak laki-laki yang masih menginjak bangku sekolah dasar.
“Kakak janji akan kembali, kan?” anak laki-laki berbaju biru bhanya mengangguk
sebelum berjalan menuju pria berbadan kekar.
Melihat sang kakak berlari menghalangi penculik untuknya, dia hanya bisa
menangis dan berbalik pergi meninggalkan sesosok anak yang masih terbujur kaku
bersimbah darah.
***
Huh… huh… huh…
Napasnya memburu seiring keringat yang mengalir deras dipelipisnya, sudah
makanannya sehari-hari saat dia mengalami mimpi buruk seperti itu. Berulang kali ia
mencoba melupakan kejadian yang menjadi mimpi buruknya setiap hari, dia tak pernah
bisa melupakannya. Seakan-akan sudah menjadi takdirnya untuk mengingat mimpi itu.
“Huh, mimpi itu lagi,” menegakkan punggungnya dia sudah siap menjalani
hukuman yang menanti, tinggal menghitung waktu saja.
1..
2..
3..
Arissa untuk Marissa | 2

“ARISSA KEMARI KAMU!” teriakan itu menggema di ruang kelas X MIPA 1.


“Iya bu,” dengan muka bantal namun masih mempertahankan kecantikan
alaminya, Arissa berjalan dengan malas ke depan kelas.
“Kamu tidur di kelas lagi?” Arissa hanya mengangguk.
“Alasannya masih tetap sama, tadi malam mengerjakan tugas saya?” masih tetap
sama, Arissa hanya mengangguk.
“Sekarang kamu kerjakan soal dipapan dalam waktu sepuluh menit. Kalau kamu
tidak bisa, silahkan keluar kelas dan jangan ikut pelajaran saya selama seminggu.” Kata
seorang guru wanita paruh baya dengan name tag Arisandi.
“Iya bu Ari.” melihat empat soal fisika dipapan, Arissa hanya tersenyum simpul
sebelum menulis rumus dan mengerjakannya hanya dalam waktu sepuluh menit. Semua
murid sudah terbiasa melihat pemandangan seorang Arissa mengerjakan semua soal
yang diberikan guru kurang dari tenggat waktu yang sudah ditentukan.
Tersenyum puas wanita paruh baya yang suka dipanggil bu Ari berdiri dari kursi
dengan suara tepuk tangan menggema di kelas, “Arissa memang kamu tidak pernah
mengecewakan semua guru di sekolah ini. Ibu bangga padamu, tapi ibu mohon sama
kamu kurangi kebiasan burukmu tidur di ruang kelas, itu sama sekali tidak baik. Kamu
mengerti yang ibu ucapkan?”
“Mengerti bu,” ucapan ini sudah seringkali ia dengar, dan sudah seringkali ia
hanya men-iya-kan tanpa mempraktekkan.
“Yaudah sekarang kamu duduk kembali ke bangkumu,” bu Ari hanya tersenyum
dan melihat gerak-gerik Arissa sebelum beliau mengingat sesuatu,
“Oh ya Arissa,” mendengar namanya dipanggil, ia refleks berbalik menghadap bu
Ari dan bertanya,
“Iya ada apa bu?”
Arissa untuk Marissa | 3
“Kamu mau kan ikut lomba olimpiade fisika mewakili sekolah kita? Ibu sendiri
yang akan menjadi guru pembimbingmu, bagaimana?” tanya beliau dengan senyum
merekah, berharap sang bintang sekolah menyetujui. Tapi, meski beliau tidak
menunjukkan senyumnya beliau masih tahu bahwa bintang sekolah itu akan menyetujui
tanpa pikir panjang.
“Arissa menerimanya asalkan setelah olimpiade itu Arissa izin dua hari tidak
masuk, apakah ibu setuju?” semua murid di kelas menahan napas untuk kesekian
kalinya saat mendengar kalimat itu. Hanya seorang Arissa yang bisa dengan lantang
menyuarakan keinginan nyeleneh, bahkan bisa dianggap sebagai tantangan kepada
setiap guru yang menginginkannya mewakili sekolah dalam setiap olimpiade.
“Baiklah ibu setuju, setelah bel pulang sekolah temui ibu di perpustakaan,” bu Ari
dengan gampang setuju mengikuti keinginan Arissa, karena beliau sudah tahu keinginan
nyeleneh sang murid dari semua guru yang memintanya ikut olimpiade.
“Baiklah Arissa juga setuju mengikuti olimpiade,” setelah mengatakan itu, Arissa
langsung berbalik dan duduk ditempatnya sediakala.
Tanpa memikirkan kelakuan siswi uniknya, bu Ari menuliskan pekerjaan rumah
yang harus diselesaikan besok dan keluar, karena jam mata pelajarannya sudah habis.
“Gila juga kamu Sa, berani-beraninya nantangin salah satu guru killer,” itulah kata
yang dikeluarkan Mira dibangku belakangnya.
“Iya tuh Sa, emang kamu temenku yang paling the best,” Nesa teman
sebangkunya yang terkenal pendiam lebih darinya pun ikut bersuara.
“Kan itu sudah biasa, siapa yang nyuruh Arissa ikut olimpiade, orang itu harus
ngasih keringanan liburan,” katanya dengan senyum yang salah satu sudutnya lebih
tinggi.
“Apasih yang nggak buat Arissa?” goda Mira.
“Yang nggak buat Arissa Cuma satu, diucapin selamat ulang tahun sama kang mas
Alan Walker,”kata Arissa sambil menjawil hidung bangir Mira.
“Ngarepnya dirimu Arissa, hanya si cantik Casimira yang dapat kata itu, wleeee”
menjulurkan lidahnya Mira langsung berlari ke luar kelas, namun naasnya dia malah
menabrak guru mata pelajaran berikutnya.

Arissa untuk Marissa | 4


Bel jam pulang sekolah akhirnya berbunyi, dengan terburu-buru Arissa
memasukkan barang-barangnya ke tas sekolah warna biru muda, warna kesukaannya.
Warna yang menurutnya sangat indah, karena warna itu adalah warna dari sang langit.
Keindahan, kenyamanan, dan ketangguhan merupakan beberapa analogi dari sang
langit. Karena, sang langit sampai kini masih menaungi bumi yang setiap hari
mencemarinya dengan kepulan asap yang membumbung tinggi.
“Jangan terburu-buru nggak baik, lagian bu Ari juga gak bakalan marah sama
kamu, meski kata anak-anak bu Ari killer sebenarnya orangnya baik, anak kucing
ditengah jalan aja beliau pinggirin apalagi nungguin kamu,” Nesa mengatakan itu
dengan raut bercanda, tapi peringatannya kepada Arissa tidak bisa dianggap main-main.
Arissa adalah salah satu tipe orang yang jika ia mengerjakan sesuatu lalu terburu-
buru, dipastikan semua pekerjannya akan hancur berantakan, dan bisa dikatakan dia
masih lemah dalam berkonsentrasi saat bekerja. Namun begitu pihak sekolahnya masih
tetap mempercayakan beberapa olimpiade untuknya dengan hasil sebuah piala yang ia
bawa pulang atas nama sekolah.
“Masa’ sih Nes, yang bener aja kalau ngomong, seketika jiwa sosialku meronta-
ronta mendengarkan ceritamu yang sangat indah,” mengusap pipinya dengan dramatis
seakan-akan ada air mata yang mengalir, Nesa dan Arissa hanya menatapnya dengan
jijik.
“Ok, ok, Mira percaya sama ceritanya Nesa,” mengacungkan jari telunjuk dan
tengahnya membentuk huruf V sambil nyengir kuda.

***
“Assalamualaikum,” ucap Arissa saat masuk ke area perpustakaan.
“Waalaikumussalam, sini Rissa ayo masuk,” kata bu Ari yang sudah duduk manis
dipojok ruangan dengan seorang gadis berkacamata.
“Maaf telat bu, tadi ada hal penting,”
“Jadi, olimpiade ini bagimu nggak penting sama sekali?” tanya bu Ari dengan
wajah yang dibuat seserius mungkin.

Arissa untuk Marissa | 5


“Bukan gitu bu, tapi tadi Mira ngajak ribut saya,”
“Jadi, kamu lebih mentingin ribut kamu sama temenmu itu yang namanya siapa?
Rima? Mara? Rami?” kata bu Ari yang sedikit kesulitan mengucapkan nama sesederhana
Mira.
“Mira bu,” gadis berkacamata yang berada tepat didepan bu Ari berusaha sekuat
tenaga menahan tawanya.
“Nah, iya Mira, kamu lebih suka ribut daripada prestasi?” melepaskan kaca
matanya, bu Ari menatap Arissa lebih dekat dan lebih dekat lagi.
“Hahahaha, oh God, muridku yang terkenal cuek akhirnya bisa ketakutan,”
Arissa yang belum menyadari apa yang terjadi melihat gadis berkacamata itu, dan
setelah dia lihat, dia adalah Khalish murid terpintar nomer dua disekolahnya, anak X
MIPA 2.
“Bu Ari lagi ngegoda kamu Arissa, beliau cuma bercanda dan bu Ari sama aku
baru sampai perpustakaan, jadi beliau nggak marah sama kamu,” mendengar penjelesan
Khalish akhirnya Arissa paham, baru saja tadi dia berburuk sangka,
Kata Nesa bu Ari mau turun ke jalan cuma gegara minggirin anak kucing, lah ini
telat dua menit udah kayak para pengejar berita teraktual.
“Betul itu yang dikatakan Khalish, kamu ini ibu bilangin sedikit kayak gitu udah
melempem, gimana mau dapat ucapan selamat ulang tahun dari kang mas Alan
Walker,” bu Ari menyerahkan selembar kertas tentang materi olimpiade kali ini.
“Ini baca dulu sana sama Khalish, kalau ada yang nggak ngerti bagian mananya,
panggil ibu disana,” kata beliau sambil menunjuk ruang khusus guru yang berjaga piket
di perpustakaan.
“Berarti bu Ari tadi nguping pembicaran saya, Nesa, sama Mira dong?” tanya
Arissa penasaran.
“Ibu gak nguping loh ya, tapi kalian aja kalau bicara volumenya nggak kalian
kecilin,” bu Ari masih tetap berjalan tanpa repot-repot- menoleh ke Arissa.
Mendengar jawaban itu, seketika bulu kuduk Arissa berdiri dan cepat-cepat
berkata, “Bu Ari maafkan kelakuan saya, Mira, sama Nesa yah, bu?”
Arissa untuk Marissa | 6
“Dimaafkan asalkan kamu bisa bawa pulang piala, gimana?” bu Ari membalik
keadaan dimana beliau yang menantang Arissa, bukan Arissa menantang beliau.
Mendengarkan itu seketika Arissa tersenyum cerah, “Itu pastilah bu, kan Arissa
dari dulu nggak pernah mengecewakn sekolah kita,”
Setelah mengucapkan itu Arissa langsung berbalik, duduk didepan Khalish dan
melihat materi yang akan diperlombakan. Tenggelam dalam materi yang dia pelajari, dia
tak tahu bahwa ada seorang gadis berambut pirang sedang menatapnya dengan penuh
benci dibalik jendela perpustakaan.
***
Cakrawala senja menggantung indah dilangit saat Arissa menyelesaikan
bimbingan olimpiade dengan bu Ari, melihat handphone-nya dia membalas pesang sang
Ayah.
My Hero
Udah pulang atau belum?
Me
Ini masih disekolah Yah, Belum pulang tadi
ada keperluan sebentar
My Hero
Ayah jemput, ini Ayah udah deket dari
SMA kamu
Me
Siap My Hero
Memasukkan handpohone ke saku, Arissa langsung menuju ke halte terdekat
untuk menunggu sang Ayah menjemputnya, jarang sekali sang Ayah bisa meluangkan
waktunya hanya untuk menjemputnya.
Tiba-tiba dia berhenti seketika saat melihat seorang gadis berambut pirang yang
tengah menunggunya, “Kenapa kak?” tanyanya penasaran.
Arissa untuk Marissa | 7
“Lo ikut olimpiade fisika lagi?” bukannya menjawab, gadis berambut pirang tadi
malah berbalik tanya dengan nada sinis.
“Iya memang Arissa mau ikut olimpiade, kakak keberatan?” mendengar nada
sinis gadis itu, membuat Arissa kehilangan kesopanan pada sang kakak.
“Ya keberatan lah, enak aja lo ikut olimpiade terus, kapan gue buat nama didepan
Ayah sama Bunda,” mengibaskan rambut pirangnya, gadis itu berjalan lebih dekat
didepan Arissa.
“Lagian mana pernah sih kak, kalau aku dapet piala nunjukkin ke Ayah sama
Bunda?” Arissa semakin berani untuk melihat sang kakak yang sedari kecil selalu iri
dengan apa yang dimilikinya.
Mendengar itu seketika kemarahan gadis yang dipanggil Arissa ‘kakak’
memuncak, “Emang lo gak pernah nununjukkin, tapi lo masih dapet perhatian Ayah
lebih dari gue,”
“Maaf yah, bukannya kakak yang selalu diperhatiin Bunda sama Ayah karena
penyakit kakak itu,” Arissa tak tahu kalau perkataannya telah berhasil membangunkan
niat membunuh sang kakak.
Dengan kasar gadis itu menarik rambut Arissa ke belakang, “Dasar adik sialan lo,
inget yah lo Arissa Fredelina gue Marissa Adelina masih menjadi kakak lo sampai saat
ini,”
“Itu kakak tahu kalau kita sampai sekarang masih jadi adik-kakak. So, kelakuan
kakak sama aku tadi sangat memalukan,” langsung saja Arissa melepaskan tangan
kakaknya yang menarik rambut cokelat indahnya.
Tanpa pamit Arissa langsung saja melenggang pergi melewati sang kakak, menuju
sang Ayah yang sedari tadi menunggunya di halte.
***
Sebuah mobil Alphard putih terpakir rapi dipinggir jalan dengan seorang laki-laki
berumur empat puluhan yang bersandar disamping pintu mobil, dengan setelan jas
resmi. Melihat itu Arissa berlari kecil menuju sang Ayah
“Assalamualikum Ayah,” kata Arissa dengan ceria.
Arissa untuk Marissa | 8
“Waalaikumussalam tuan putri, gimana nih sekolahnya hari ini?” mendengar
pertanyaan sang Ayah, Arissa merasa sedikit lebih diperhatikan.
“Not bad,” sang Ayah langsung membukakan pintu depan, disamping kemudi
mobil.
Melihat itu Arissa langsung masuk dan berkata, “Makasih Ayah,”
Menutup pintu, sang Ayah memutari mobil dan duduk dibalik kemudi mobil,
“Sama-sama, Kak Marissa udah pulang duluan?” tanya Ayahnya yang sudah duduk.
“Entah, Arissa gak tahu lagi kalau Kak Marissa udah pulang atau belum,”
menyebutkan nama kakaknya, seketika mood Arissa langsung anjlok.
Mobil yang ditumpanginya pun melenggang mulus dijalanan aspal, hanya ada
lagu yang dimainkan ayahnya untuk menemani perjalanan anak dan Ayah kembali ke
rumah. Arissa sebenarnya sangat suka sekali dengan ketenangan, tapi untuk kali ini
pengecualian, entah mengapa ia ingin ada percakapan dengan ayahnya. Jarang sekali dia
dan Ayahnya bisa berkumpul dan bertemu seperti ini, karena mereka hanya bisa
bertemu pada saat sarapan dan makan malam.
“Ehmmm Yah, Arissa mau tanya sesuatu boleh gak?” akhirnya kata seperti itu
bisa keluar dari mulut seorang Arissa.
“Boleh, emang mau nanya apa?” menolehkan kepalanya sebentar untuk
menunjukkan bahwa sang Ayah memperhatikannya, kemudian memfokuskan
pandangannya ke jalan.
“Kenapa sih Yah, Arissa harus manggil Marissa kakak?” perkataan Arissa
terdengar lebih seperti keluhan daripada pertanyaan.
Mendengar perkataan Arissa, sang Ayah hanya bisa tersenyum simpul dan
mengacak poni tipisnya, “Itu pertanyaan apa keluhan? Kok, Ayah dengernya lebih ke
keluhan yah,”
“Hehehehe bisa dibilang keluhan juga sih Yah,” Nyengir kuda.
“Dasar kamu ini,” jeda sang Ayah sebelum melanjutkan, “Sekarang ayah tanya
sama Rissa, Rissa sama kak Marissa lahirnya duluan mana?”
Arissa untuk Marissa | 9
“Lahirnya duluan kak Marissa lah daripada Rissa, meski beda tiga menit sih”
terselip nada kekesalan didalamnya. Bagaimana mungkin Arissa yang lahir terakhir bisa
menjadi seorang adik?
“Nah, Rissa tahu kalau yang lahir duluan itu kak Marissa. Jadi, apa yang harus
dipermasalahkan?” tanya sang Ayah saat mendengar nada kekesalan dikalimat sang
anak sebelumnya.
“Gini Yah, Upin sama Ipin lahir beda lima menit, Ipin-nya nggak manggil Upin
kakak. Kok Arissa yang lahirnya beda tiga menit harus manggil Marissa, kakak?”
Mendengar pertanyaan anak bungsunya yang unik, pak Adi, Ayah Arissa tertawa
dengan keras, “Kak Marissa sayang, bukan Marissa,” Jeda Ayahnya agar Arissa
menyadari kesalahan sebelum melanjutkan lagi, “Itu kan Upin sama Ipin, tapi yang
disamping Ayah kan Arissa yang punya kakak namanya Marissa,”
“Gak adil tahu Yah,” memajukan bibirnya seperti bebek, langsung saja Ayah
maraup wajah sang anak dengan satu tangan yang masih tetap memegang kemudi.
“Gak adil dibagian mananya princess, Upin sama Ipin itu tinggal didalam dunia
kartun, kalau Arissa sama kak Marissa dunia nyata. So, jangan pernah membandingkan
kehidupan orang lain dengan kehidupan kita. Kita tak selamanya memiliki apa yang
orang lain punya, begitupun sebaliknya, tak selamanya orang lain bisa memiliki apa yang
kita punya,” diakhir kalimatnya sang Ayah tersenyum atas pertanyaan anaknya, karena
seberapapun umur mereka bertambah, dibalik mata seorang orang tua, seorang anak
tetaplah seorang anak.
“Siap tuan Adi Bagaskara,” tangan Arissa memberi hormat kepada sang Ayah,
seperti seorang prajurit memberi hormat kepada seorang komandan.

“Kebahagiaan itu akan selalu ada, jika kita selalu mensyukuri apa yang kita miliki.
Tanpa, membandingkan apa yang orang lain miliki.”
~Arissa untuk Marissa

Arissa untuk Marissa | 10

Jawaban Pertanyaanku

Hari ini adalah hari terakhir Arissa pergi ke sekolah sebelum menghadapi libur
weekend, hari Jum’at. Menguncir rambutnya dengan gaya ponytail, atau gaya rambut
kuncir kuda. Mengoleskan bedak bayi dengan tipis, dan liptint agar terlihat lebih segar.
Turun ke lantai bawah, dia menemukan sang Bunda sedang mengambilkan
sarapan untuk Ayahnya. Sedangkan, Ayahnya sendiri sedang menyeruput kopi dan
membaca berita pagi ini lewat koran langganan. Menyapukan pandangannya ke sekitar,
Arissa tak menemukan kakaknya yang selalu bersemangat membuat keributan setiap
pagi.
“Selamat pagi Yah, Bund,” mencium pipi kanan Bunda dan Ayah, Arissa langsung
mengambil piring dan menyendok nasi goreng yang masih mengepulkan asapnya ke
piring.
“Pagi juga princess,”
“Hmmm,”
Jawaban seperti itu sudah terbiasa ia dengar dari mulut Ayah dan Bundanya,
Ayahnya akan menjawab dengan senang hati, dan Bundanya akan selalu cuek saat
menjawab. Terkadang, ia selalu iri dengan kakaknya, setiap pagi kakaknya akan
mendapatkan ciuman dari Bundanya. Seperti sekarang ini,
“Selamat pagi Ayah, Bunda,” mencium pipi kanan Ayah dan Bundanya, Marissa
mengambil kursi disamping Bundanya.
Melipat korannya, pak Adi, Ayah Arissa dan Marissa menyeruput kopi dan
berkata, “Selamat pagi juga princess,”
Sedangkan Bundanya langsung mencium pipi kiri Marissa, “Selamat pagi juga
princess Bunda,” membuat Arissa langsung berpura-pura tak melihat kejadia itu.
“Dek, ambilin selai stroberi dong,” mendengar itu Arissa langsung kesal,
bagaimana tidak kesal kalau selai itu berada tepat didepan Marissa.
Arissa untuk Marissa |11
“Itu kan udah didepan kakak, ambil sendiri lah gak lihat kalau adek lagi makan,”
pura-pura tak mendengar, Arissa meneruskan sarapannya.
“Tangan kakak lagi sakit nih, sekalian olesin juga ke rotinya,” Marissa tetap
keukeh menyuruh adiknya membuat sarapan untuknya.
Belajar dari kejadian sebelum-sebelumnya dan kekeras kepalaan sang kakak,
bukannya menuruti kemauan Marissa, Arissa malah memanggil pembantunya, “Mbok
Sri, kesini sebentar tolong buatin roti buat kak Marissa,”
Mendengar seruan nona mudanya, Mbok Sri datang tergopoh-gopoh, “Iya non,
ada apa?”
“Itu tolong oleskan selai stroberi ke rotinya kak Marissa” sambil menunjuk ke
piring kakaknya.
Seketika darah Marissa langsung mendidih saat mendengar perkataan adiknya
yang melemparkan tugas yang ia berikan ke Mbok Sri, “kok malah nyuruh Mbok Sri? Kan
aku nyuruh kamu dek,”
“Gak lihat aku lagi makan, lagian masih ada Mbok Sri kok” kata Arissa dengan
sinis.
Wajah Marissa seketika langsung berubah merah padam mendengar ucapan sang
adik, “Kakak kan nyuruh kamu dek, bukan Mbok Sri”
Menyelesaikan sarapannya Arissa membersihkan mulutnya dan berkata “Inget ya
kak, Arissa disini tuh statusnya adik kak Marissa, bukan pembantu rumah ini,”
Menyampirkan tasnya kebahu, Arissa langsung melenggang pergi, “Arissa pamit
ke sekolah dulu, assalmualikum,” namun beberapa langkah kemudian Arissa berhenti,
berbalik dan menatap langsung ke mata kakaknya dan berkata, “Oh ya kakakku tercinta,
kak Marissa nanti lebih baik jangan ke sekolah, minta sama Ayah dan Bunda nganterin
ke rumah sakit, siapa tahu penyakit kakak sekarang nyerang tangan” tanpa menunggu
jawaban Marissa, Arissa langsung melenggang pergi.
Melihat itu Ayahnya hanya menghela nafas untuk yang kesekian kalinya melihat
kelakuan kedua putrinya, sedangkan sang Bunda mengusap pundak Marissa bemaksud
menenangkan kemarahannya.
***
Arissa untuk Marissa | 12
Mood Arissa setiap pagi selalu buruk, saat dia sudah menginjakkan kakinya di
sekolah, Arissa menjadi seorang gadis yang terkenal cuek dengan semua orang kecuali
dua orang sahabatnya, Nesa dan Mira. Banyak teman-temannya dari kelas yang lain
ingin berteman dengannya, tapi tak semuanya bisa berteman dengannya. Hanya
segelintir orang yang bisa , dan itupun mereka semua tidak tahu kehidupan asli seorang
Arissa.
Semua anak-anak yang bisa menjadi orang terdekatnya meski sebatas teman,
adalah anak-anak yang murni memiliki niat untuk menjadikannya tanpa memandang
semua piala yang ia bawa untuk menjunjung tinggi nama sekolahnya.
Melewati koridor sekolah banyak anak yang tersenyum ke arah Arissa, meski
Arissa dikenal cuek jika ada yang tersenyum kepadanya, maka ia akan membalasnya
dengan senyum juga. Karena, dulu saat ia masih berumur lima tahun, di gazebo halaman
belakang rumahnya. Bundanya pernah berkata kepadanya,
“Princess Elin-nya Bunda, ke sini sebentar sayang, Bunda mau bicara,”
mendengar itu Arissa yang dulunya dipanggil Elin langsung berlari kecil ke arah
pangkuan sang Bunda.
“Iya, Bunda?” tanya Elin, sudah duduk manis dipangkuan sang Bunda.
Melihat pipi chubby Elin, tak kuasa sang Bunda mencium kedua pipinya, gelak
tawa geli Elin pun menggema di halaman belakang, “Elin tadi marah yah sama Ayah?”
Dengan polos Elin mengangguk, dan Bundanya lagi-lagi mencium pipinya, “Ayah
tadi tersenyum ke arah Elin, tapi Elin nggak senyum ke Ayah?” masih sama, Elin hanya
mengangguk dan mendengarkan kata Bundanya.
Pura-pura berfikir Bundanya mengetuk-ngetuk dagunya, lalu berkata, “Gini
sayang, besok-besok kalau Elin marah sama orang. Lalu, orang itu meminta maaf dan
tersenyum kea rah Elin, Elin harus melakukan apa?”
“Elin harus menerima maafnya, Bunda, terus Elin juga harus tersenyum. Betul
nggak Bunda?”
“Betul itu sayang, Allah nggak suka sama orang yang nggak mau maafin
seseorang. Allah juga memerintahkan semua orang untuk tersenyum meski kita sedang
marah sama seseorang, karena senyum itu ibadah sayang,” kata sang Bunda
kepadanya.
Arissa untuk Marissa | 13
Ingatan itu pun secara tak sadar membuat bibir Arissa membentuk kurva,
membuat wajahnya semakin cantik jika dipandang. Tiba-tiba dari arah belakangnya,
Marissa dengan sengaja menabrak dan membuatnya jatuh, anak-anak yang berada lebih
dekat dengannya langsung membantunya berdiri. Berbeda terbalik dengan Marissa dan
ketiga temannya yang hanya menertawakan Arissa tanpa membantu.
“Hahahahahahaha….”
“Kamu gak papa kan Arissa, atau mau dibawa ke UKS?” tanya salah satu anak
yang membantunya.
“Gak papa kok, cuma lecet sedikit dibagian lutut, kalian kembali aja ke aktivitas
masing-masing,” pada dasarnya Arissa tak ingin, pertengkarannya dengan Marissa
menjadi tontonan umum.
Mendengar perkataan Arissa, semua anak-anak yang tadi mengelilinginya
langsung bubar, kembali ke aktivitas semula. Tanpa repot-repot meladeni kelakuan
Marissa dan teman-temannya, Arissa langsung saja pergi. Setelah lima langkah, salah
satu anak buah Marissa yang memakai lipstick merah menyala mencegah Arissa pergi,
memasang badannya didepan Arissa dengan kedua tangan yang bersedekap.
“Enak aja lo mau pergi gitu aja, tuh bos gue. Princess Marissa tercantik seantero
sekolah mau bicara beberapa hal,” katanya dengan telunjuk yang mengarah ke
belakangnya.
“Maaf saya terlalu sibuk, kalau anda ingin membicarakan sesuatu yang nggak ada
faedahnya sama sekali,” melewati gadis itu, Marissa tak tinggal diam dan langsung
menarik tangan Arissa, sehingga Arissa langsung menghadap ke arah Marissa.
“Eitsss Arissa si pandai mau kemana nih? Gue ingin ngomong sesuatu sama lo,”
mencengkeram tangan Arissa dengan kuat, kuku-kuku jari Marissa membuat goresan
luka yang sangat kentara.
Meski begitu Arissa tetap diam, tak ingin menunjukkan rasa sakitnya didepan
gadis yang sangat kejam, “Anda tidak bisa melihat saya yang ingin ke kelas?” nada
bicaranya terdengar formal dan begitu meremehkan seorang Marissa.
“Gak penting urusan itu---

Arissa untuk Marissa | 14


“Anda sendiri tadi yang tanya kepada saya, kok sekarang jadi gak penting.
Ternyata gadis tercantik seantero sekolahan ini labilnya gak jelas,” wajah merah padam
Marissa terpampang dengan jelas, dan senyum kepuasan tersungging indah dibibir
Arissa.
Tak tahan dengan ucapan Arissa, Marissa langsung mencengkeram dagunya dan
memaksanya mendongak, “Lo, gak tahu diri banget yah. Gue cuman mau bilang jangan
pernah menantang seorang Marissa di sekolahan, di rumah, atau dimanapun itu.
Karena, gue gak bakal tinggal diam sama lo,” telinga Arissa mendengarkan perkataan itu
dengan seksama, saat suara Marissa berbisik dengan nada mengancam dan didi yang
bergemeletuk.
Dengan susah payah Arissa juga berbicara dengan nada yang sangat rendah,
hanya dia dan Marissa yang bisa mendengarkannya, “Saya tidak akan pernah mengusik
sesuatu, sebelum sesuatu itu telah mengusik saya duluan. Ingat itu juga,”
Ketiga teman Marissa hanya bisa saling berpandangan dan mencoba menerka-
nerka apa yang dibicarakan mereka berdua, hingga Marissa menggunakan cara fisik saat
berhadapan dengan Arissa. Dan juga satu hal, apa yang dilakukan Arissa sampai Marissa
begitu marah pagi ini.
Menghempaskan dagu Arissa dengan kasar, Marissa langsung menyuruh teman-
temannya untuk pergi, “Let’s go girls, oh iya girls jangan pernah berteman dengannya
atau kalian menjadi musuhku juga,”
Mereka berpandangan sebentar sebelum berkata serempak,
“Itu mah gampang..”
“Siapa juga yang mau berteman sama dia yang culunnya gak ketulungan,”
“Temannya Marissa adalah temanku, otomatis musuh Marissa juga musuhku,”
Melihat luka yang diciptakan Marissa mengeluarkan darah, Arissa langsung
menghentikan aliran darahnya dan membersihkannya di kran air, dia juga membenahi
pakaian dan rambutnya sebelum melanjutkan perjalanan ke ruang kelasnya. Berita
tentang Arissa yang disiksa oleh Marissa dengan cepat menyebar, sehingga Mira dan
Nesa langsung menghampiri Arissa saat netra mereka melihat sosoknya.
“Rissa kamu gak papa, kan?”
“Mana yang sakit Ris,” kata Nesa dan Mira berbarengan.
Arissa dan Marissa | 15
“Ishhhh..” desis Arissa saat Nesa tak sengaja menekan luka ditangannya.
“Maaf, maaf Ris, Nesa gak tahu kalau tangan Rissa terluka,” cepat-cepat Nesa
berkata.
“Gak papa kok, gak terlalu sakit juga, kan Nesa gak tahu kalau tangan Rissa
terluka,” meski berkata begitu, ringisan kecil lolos dari bibirnya.
“Ishhhhh…”
Mira langsung mengambil kotak P3K yang selalu disediakan kelas, menyuruh
Arissa duduk ditempatnya dan mulai mengobati luka dengan serius, “Luka kayak gini kok
bilangnya gak sakit, kamu tuh bukan boneka yang gak tahu rasanya sakit, kalau sakit ya
bilang sakit, jangan bohong,” omel Mira saat menutup kotak P3K. Arissa dan Nesa hanya
tersenyum kecil melihat kelakuan Mira.
“Iya, iya bawel, Rissa gak bakal ngulangin lagi,”
“Dasar Marissa si Medusa gak bertanggung jawab, adiknya sendiri kok malah
disakitin, kamu itu juga Arissa punya kakak kayak gitu tuh jangan dibiarin, upss--- maaf
Rissa,” Mira menyerocos terus sebelum Nesa menginjak kakinya, melihat wajah Arissa
yang sudah pucat pasi, Mira terus-terusan minta maaf.
“Arissa maafin Mira yah? Mira lupa kalau udah khawatir kayak gini,” Arissa tahu
kalau Mirra itu tipe orang yang kalau khawatir nggak bisa mengendalikan diri dengan
baikk.
“Gak papa kok Mira, Arissa maafin asalkan Mira gak lakuin itu lagi, karena hal itu
sangat penting buat Arissa,” untung saja keadaan kelas masih sepi, hanya ada dia, Mira
dan Nesa.
Semua anak disekolahan tidak tahu bahwa Arissa dan Marissa adalah adik-kakak,
bahkan ketiga teman Marissa pun tidak tahu, hanya Mira dan Nesa yang tahu hal
tersebut. Semua itu dilakukan oleh Marissa yang menyuruh Arissa menutupi hubungan
darah mereka disekolahan, hal tersebut dilakukan Marissa agar bebas berteman dan
tidk ada yang membandingkannya dengan Arissa. Dan, Arissa hanya setuju-setuju saja,
kalau pun dia tidak setuju Marissa akan meminta bantuan sang Bunda untuk
membantunya.
Keadaan kelas yang sudah mulai ramai membuat Arissa, Mira, dan Nesa tidak
membicarakan hal tersebut lebih lanjut.
Arissa dan Marissa | 16
***
Matahari sudah berada tepat di atas kepala, saat Arissa sudah memasuki
kamarnya yang bernuansa biru muda dan putih, tapi lebih dominan ke putih.
Meletakkan tasnya ke meja belajar, Arissa melepaskan kuncir rambutnya membuat
rambut indahnya jatuh indah tergerai. Dengan kasur empuk, dibantu dengan AC yang
menyala membuatnya betah berlama-lama untuk rebahan dan tak meninggalkan
tempat tidurnya.
Tapi, ia lupa menunaikan kewajibannya untuk melaksanakan shalat, meski
dilanda cobaan kasur empuk dan dinginnya AC, Arissa tetap memaksakan dirinya untuk
bangun dan menunaikan shalat. Mengambil handuk dan pakaian ganti, Arissa ingin
mandi sebentar sebelum melaksanakan shalat.
Sepuluh menit kemudian Arissa keluar dari dalam kamar mandi dengan wajah
yang lebih fresh. Mengeringkan rambut dengan handuk ditangannya, Arissa berjalan ke
depan meja rias, menyisir rambutnya dan menempatkan handuk ke tempatnya.
Arissa masuk ke kamar mandi lagi untuk berwudhu, tetesan air wudhu mengalir
dari wajah cantiknya. Memakai mukena dan menghamparkan sajadah, Arissa akann
menunaikan shalat ketika ketukan pintu terdengar.
Tokk..
Tokk..
Tokk..
Bergegas mengambil kunci dan membuka pintu, Arissa menemukan Mbak Asih,
anak Mbok Sri yang juga bekerja di rumahnya, “Iya Mbak Asih ada apa?” tanya Arissa
saat Mbak Sri belum berbicara
Terpana melihat kecantikan alami yang terpancar dari tetesan air wudhu yang
masih menetes, Mbak Sri baru berbicara saat Arissa selesai bertanya, “Itu non, Bu Karina
manggil non di lantai bawah, beliau nungu di ruang keluarga,”
“Emang ada apa Mbak?” tanya Arissa penasaran, kenapa sang Bunda
memintanya untuk bertemu.
“Saya juga nggak tahu non, saya cuma disuruh Bu Karina manggil non,”

Arissa untuk Marissa | 17


Mendengar pengakuan Mbak Asih yang tidak tahu perihal apa sang Bunda
memanggilnya, Arissa hanya berkata, “Yaudah Mbak Asih bilang ke Bunda, Arissa akan
turun setelah shalat dhuhur,”
“Iya non saya nanti akan bicara sama Bu Karina, kalau gitu saya pamit non,
assalamualaikum,” Mbak Asih pamit untuk menyampaikan hal itu ke Bu Karina, nyonya
rumah ini dan ibu dari Arissa dan Marissa.
“Waalaikumussalam…” menutup pintu dengan tulisan nama Arissa Fredelina, dia
melaksanakan tugasnya, shalat dhuhur untuk menyembah sang pemilik semesta alam.
Assalamualaikum warahmatullah..
Assalamualaikum warahmatullah..
Setelah Arissa menyelesaikan dzikir beserta doa kepada-Nya, dia bergegas
melipat sajadah dan mukenanya di atas nakas sebelum turun ke lantai bawah.
Menemukan sang Bunda yang sudah duduk di sofa panjang ditemani dengan secangkir
teh dan majalah fashion di ruang keluarga, Arissa tersenyum dengan hati yang
berdebar-debar. Pasalnya, sang Bunda tak pernah memanggilnya sejak kejadian itu
terjadi, kalaupun beliau memanggilnya berarti hal tersebut sangat penting dan
mendesak.
Melihat ke ruang keluarga yang masih kosong dan tidak ada tas di atas meja,
menandakan sang Ayah belum kembali untuk makan siang. Ruang keluarganya dengan
ruang tamu hanya di batasi dengan lemari yang berisi vas dan foto-foto keluarga,
sehingga jika ada orang di ruang keluarga dapat melihat di ruang tamu melalui celah ,
begitupun sebaliknya.
Saat netra sang Bunda melihat Arissa turun dari tangga, menepuk sofa kosong
disampingnya mengisyaratkan bahwa Arissa harus duduk di situ. Arissa yang melihat itu
segera mempercepat langkahnya dan duduk di samping sang Bunda.
“Ada apa Bunda manggil Arissa?” tanya Arissa saat sudah duduk di samping
Bundanya.
“Bunda sudah malas melihat kelakuan kamu sama kakakmu Marissa yang tiap
hari kerjaannya bertengkar aja. Bunda ingin kamu menuruti apapun kemauan Marissa,
bisa?” kata sang Bunda to the point. Mendengar Bundanya menyebut nama kakaknya,
seketika senyum yang dari tadi bertengger langsung hilang digantikan dengan wajahnya
yang muram.
Arissa untuk Marissa | 18
“Kenapa harus Arissa? Bunda kan bisa ngasih pengertian sama kak Marissa,” dari
dulu, ah, dari kejadian itu Bundanya lebih menyayangi Marissa daripada Arissa.
“Kamu seharusnya tahu kenapa Bunda menyuruh kamu melakukan hal itu,
dibandingkan dengan memberikan pengertian ke kakakmu---
Sebelum sang Bunda melanjutkan kata-kata itu, Arissa segera memotongnya,
“Karena penyakit ginjal kak Marissa?”
“Iya, jadi Bunda ingin kamu menuruti perkataan Bunda dengan menuruti
kemauan Marissa,” Mata dulu yang selalu menatapnya dengan teduh sekrang
menatapnya menuntut.
“Kalau Arissa tidak mau bagaiman Bunda?” Arissa dengan sengaja menanyakan
hal itu untuk melihat reaksi sang Bunda.
Pengakuan Arissa membuat Bu Karina menengang sebelum kembali rileks,
“Apakah berarti kamu menolak permintaan Bunda?”
Arissa melihat reaksi Bundanya yang menegang, tapi dia terkejut dengan
pertanyaan sang Bunda selanjutnya, “Arissa tidak tahu,” jawabnya lugas.
“Bunda ingin kamu pengertian dengan maksud Bunda, Arissa. Bunda ingin kamu
mengalah demi penyakit kakakmu agar tidak kambuh lagi, bukankah kamu juga akan
kesulitan saat penyakit kakakmu kambuh?” Arissa tahu jika sang Bunda sedang
memprovokasinya.
“Arissa tak ingin kak Marissa jatuh sakit lagi, tapi bukankah aku juga anakmu
Bunda? Yang berarti aku juga adik kak Marissa dan aku juga bukan pembantu kak
Marissa,” dengan tegas Arissa mengatakan hal tersebut.
Sang Bunda menggenggam kedua tangan Arissa, membuatnya mengalirkan
perasaan hangat yang mengalir di pembuluh darahnya, “Memang kau adiknya Marissa
dan anak Bunda, tapi Marissa lebih membutuhkan Bunda daripada kamu, bukan hanya
Bunda, tapi kamu dan Ayahmu juga,”
“Jika aku mengiyakan perintah Bunda. Lalu, jika kak Marissa menginginkan
nyawaku apakah Bunda juga akan menyuruhku menyerahkan nyawaku?” pertanyaan itu
lolos begitu saja dari bibirnya.
Sang Bunda terdiam cukup lama sebelum Arissa mendesak sang Bunda, “Jawab
jujur pertanyaan Arissa, Bunda. Pertanyaan itu akan mempengaruhi jawaban Arissa,”
Arissa untuk Mariss | 19
“Iya, Bunda juga akan menyuruhmu melakukan hal itu,” satu butir air mata telah
lolos dari pulupuk mata sebelah kiri Arissa saat mendengar jawaban sang Bunda yang
membuatnya sakit hati.
“Lalu, saat kami berdua kecelakaan dan Arissa juga Marissa membutuhkan
pendonor darah segera, Bunda akan memilih siapa diantara kami?” meski pertanyaan
yang tadi membuatnya sakit hati, kali ini ia ingin mendengarkan dan mencoba lagi
peruntungannya.
“Marissa..” jawab sang Bunda yang menjadi tamparan terbesar Arissa.
“Arissa akan menuruti kemauan Bunda, jika Bunda mau menuruti syarat Arissa.
Bagaimana Bunda?” meski ia memiliki dua luka yang menganga dihatinya, dia masih
tetap keras kepala.
“Apa itu?” tanya sang Bunda dengan cepat.
“Maukah Bunda menyayangi Arissa seperti kak Marissa. Jika Arissa menuruti
kemauan Bunda?” dengan hati berharap Arissa menanti jawaban sang Bunda.
Sudah lebih dari tiga menit tapi sang Bunda belum mengemukakan jawabannya,
membuat Arissa menghembuskan napas beberapa kali.
“Baiklah, Arissa sudah mengerti arti dari kediaman Bunda, tenang saja Arissa
tetap akan menuruti kemauan Bunda,” katanya sebelum meninggalkan sang Bunda
dengan kebisuannya.
Tiba-tiba tangan sang Bunda meencekal salah satu tangannya, membuat Arissa
berhenti bergerak, “Bunda juga akan mencoba menyayangimu seperti menyayangi
Marissa. Tapi, Bunda tak bisa menjamin bahwa rasa sayang Bunda diantara kalian tidak
bisa adil,” setelah mengatakan itu, Bu Karina langsung melepaskan cekalannya.
“Terima kasih Bunda, Arissa akan mengingat kata-kata itu,” gumam Arissa
sebelum melanjutkan langkah kakinya.
“Kadang kita perlu mengorbankan sesuatu yang besar untuk mendapatkan
sesuatu yang berharga.”
~Arissa untuk Marissa

Arissa untuk Marissa | 20

Menepati Janji

Hari ini adalah weekend, Arissa masih terbaring nyenyak dibalik selimut tebalnya.
Setelah melaksanakan sholat subuh Jam menunjukkan pukul 10.00 Arissa masih enggan
untuk bangun, tiba-tiba terdengar ketukan pintu dari luar diiringi teriakan sang bunda.
Tok….
Tok…
Tok…
“Arissa bangun kamu, ini udah jam 10,” ucap sang bunda sambil terus mengetuk
pintu kamar Arissa.
“Buka pintunya Arissa” lanjut sang bunda. Arissa yang sedang tidur pun
terbangun karena suara teriakan bundanya dengan malas ia membuka pintu untuk
bundanya.
“kenapa sih bun?” tanya Arissa dengan mata yang masih tertutup.
“Bunda sama Ayah mau pergi sebentar, terus Mbok Sri juga mau ke pasar sama
Mbak Asih. Nanti teman-teman Marissa mau kerumah jadi kamu tolong bantuin bantuin
Marissa dan turutin semua kemauan Marissa. Nanti kamu bisa nunjukkin bahwa kamu
benar-benar anak Bunda yang nepatin janjinya,” sang Bunda mengusap lembut puncak
kepala Arissa setelah mengatakan hal tersebut. Arissa yang mendengar perintah
Bundanya pun dibuat kesal, namun urung setelah sang Bunda mengusap puncak
kepalanya. Dia hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
Setelah sang Bunda pergi meninggalkan kamarnya, ia langsung menutup pintu,
mengambil handuk dan pakaian ganti sebelum masuk ke kamar mandi. Tubuhnya sudah
lengket, dan perutnya juga sudah berbunyi dari tadi.
Tiga puluh menit kemudian dia sudah menuruni anak tangga, di ruang keluarga
terlihat Marissa dan ke tiga temannya sedang serius menonton film.
Arissa untuk Marissa | 21
Salah satu teman Marissa yang ia ketahui bernama Cellin menatap ia sambil
bertanya, “Eh, Sa kok si dia bisa ada di rumah lo sih? Jangan-jangan kalian berdua tinggal
serumah,” tanyanya dengan nada heran.
“Eh iya, gue lupa bilang sesuatu sama kalian. Jadi gini, sebenarnya tuh Arissa anak
dari pembantu gue, trus dia diangkat jadi anak sama bokap gue. Tapi, gue ogah
saudaraan sama dia, meski Cuma saudara angkat,” kata Marissa dengan nada sinis dan
merendahkan, ditambah matanya yang memandang jijik ke arah Arissa.
Arissa yang mendengar itu hanya bisa menahan emosinya dan tetap sabar, dia
juga berdoa kepada tuhan agar ia dapat memiliki stok kesabaran yang berlimpah saat
menghadapi orang seperti Marissa. Ia tetap berdiri di anak tangga terakhir sebelum
pergi ke dapur.
“Eh, iya kalian mau minum apa? Biar Arissa yang buatin,” kata Marissa yang
melihat Arissa menuju ke dapur.
“Kita mau jus jeruk aja deh, kayaknya seger banget kalau minum,” kata Cia
dengan bibir merahnya berkata dengan kencang, dimaksudkan agar Arissa bisa
mendengar hal itu. Cellin dan Caira pun mengiyakan perkataan Cia.
“Oke, tunggu sebentar yah gue bilang dulu ke orangnya. Arissa tolong buatin kita
jus jeruk yang enak, cepet yah jangan pakek lama gue sama temen-temen gue pada
kehausan,” Marissa mengatakan itu dengan suara yang cukup keras, sambil
menggerakkan tangannya seakan-akan menyuruh Arissa pergi.
Arissa yang mendengar itu hanya menghela napas dan langsung pergi ke dapur
untuk membuat jus jeruk. Marissa dan ke tiga temannya itu melanjutkan menonton film
‘Joker’.
“Gila yah tuh film hampir muntah gue lihatnya,” kata cia dengan memegang
perutnya, yang langsung di balas gelak tawa oleh ke tiga temannya.
“Ekhemm ini jus nya,” kata Arissa yang membawa nampan berisi minuman
ditangannya. “Lama banget sih bikin minumannya,” kata Marissa yang kesal dengan
Arissa. Arissa yang mendengar itu hanya bisa diam lalu berbalik dan melangkah pergi.
Tapi baru 2 langkah Marissa memanggilnya dan berkata “Eh, Arissa ambilin kita cemilan
didapur yah,” mau tak mau Arissa harus kembali kedapur untuk mengambil cemilan.

Arissa untuk Marissa | 22


“Sabar Arissa sabar, orang sabar disayang Tuhan,” batin Arissa yang kesal karena
disuruh-suruh oleh Marissa, kalau bukan karena permintaan sang Bunda Arissa pasti
nggak akan mau disuruh-suruh oleh Marissa.
“Nih cemilan snacknya, ada yang perlu dibantu lagi? Kalau nggak aku ke kamar,”
kata Arissa dengan malas.
“Nggak ada, ntar aja deh kalau ada gue panggil,” kata Marissa sambil mengusir
Arissa.
Arissa yang mendengar itu langsung pergi ke kamar. Saat sampai dikamar Arissa
langsung duduk di depan meja belajar dan mulai mengerjakan tugas sekolah.
***
Tak terasa satu jam berlalu, Arissa merenggangkan badannya yang Lelah karena
terlalu lama duduk dengan tegak. Lalu Arissa pun keluar kamar untuk melihat apakah
teman Marissa sudah pulang atau belum, saat ia mengecek ruang keluarga ternyata
teman-teman Marissa sudah pulang dan hanya ada Marissa yang ketiduran di sofa ruang
keluarga, lalu ia melangkah mendekat ke arah Marissa.
“Marissa bangun, kamu mendingan pindah kekamar sana tidurnya,” kata Arissa
yang bermaksud membangunkan Marissa dan menyuruhnya pindah ke kamar agar
badan Marissa tidak sakit semua saat bangun. “Ayo, Marissa bangun ntar badan kamu
sakit semua kalau tidur di sini,” lanjut Arissa.
“Hmm, lo tuh apaan sih nggak lihat orang lagi tidur apa?,” kata Marissa yang
sudah bangun dari tidurnya.
“Kamu mendingan pindah kekamar Sa, kalau tidur disini ntar badan kamu sakit
semua,” kata Arissa dengan sabar
“Iya iya, bawel amat lo jadi orang, eh iya tuh meja jangan lupa lo bersihin ya,”
perintah Marissa kepada Arissa sambil menunjuk meja di depan mereka yang
berantakan.
“Iya Marissa SAYANG,” kata Arissa yang kesal dengan menekan kata ‘SAYANG’
Lalu Marissa pun berbalik dan melangkah pergi menuju kamarnya di atas.

“Akanku lakukan apapun demi kebahagiaanmu.”


Arissa untuk Marissa | 23

Sang Penyelamat

Sinar mentari memasuki jendela kamar Arissa melalui celah-celah gorden, tak
lama kemudian dia pun bergegas untuk berangkat kesekolah.
Arissa pun berjalan keluar kamar dan menuruni tangga dia melihat kedua orang
tuanya dan Marissa yang sedang sarapan pagi dimeja makan. Arissa pun bergabung
dengan mereka untuk sarapan pagi
Papa Arissa pun menyapa Arissa dengan mengucapkan "Selamat pagi sayang,"
"Selamat pagi juga papa," Arissa pun menjawabnya
Tetapi mama Arissa selalu menatap sinis jika ketemu dengannya tetapi Arissa pun
selalu memberikan senyuman kepadanya
Arissa pun menuangkan segelas susu segar kedalam gelasnya dan mengoleskan
selai cokelat diselembar roti. Setelah sarapan telah selesai Arissa dan Marissa pun minta
pamit kepada kedua orang tuanya untuk berangkat kesekolah tetapi mereka berdua
tidak berangkat bersama, Arissa bersama supir pribadinya sedangkan Marissa berangkat
bersama papanya.
Setelah sampainya didepan gerbang sekolah Arissa dan Marissa pun turun
bersama dari mobil yang berbeda dan memasuki sekolah bersama tetapi mereka tidak
satu kelas.
Setelah berpisah arah dengan Marissa, Arissa pun berjalan ke kelasnya yang
melewati Ruang Tata Usaha dan Arissa meliat ada seorang laki-laki yang tampan dan
tinggi didalam ruang tersebut. Dan sebelumnya Arissa tidak pernah mengenal dan
melihat laki-laki itu.
Arissa hanya berpikir "oh mungkin itu anak baru yang baru pindah dari sekolah
lain."
***
Jam menunjuk kan pukul tujuh lebih sepuluh menit yang artinya kegiatan belajar
mengajar akan dimulai
Arissa untuk Marissa | 24
Arissa pun menyiapkan buku yang akan dipelajarinya pada jam pertama ini yaitu
pelajaran Fisika, tak lama kemudian Bu Ari pun memasuki ruang kelas arissa dan
memberi salam kepada murid-murid "Assalamualaikum, selamat pagi anak-anak,"
Murid-murid pun menjawab "Waaalaikumsalam bu,"
Dan tak lupa Bu Ari menanyakan kabar kepada muridnya "Bagaimana kabarnya?,"
"Alhamdulillah baik," murid-murid pun menjawabnya dan tak luput juga
menanyakan kabar Bu ari "bagaimana kabar Bu Ari?,"
"Alhamdulillah sehat," jawab Bu Ari
"Pertemuan kemarin Ibu sudah bilangkan kalau pertemuan ini waktunya ulangan
harian," kata Bu Ari
"Iyaaa bu," kata Nesa teman Arissa
"Yauda sekarang masukkan buku LKS dan buku catatan didalam tas masing-
masing dan keluarkan lembar untuk ulangan," kata Bu Ari
Murid-murid setelah mengeluarkan selembar kertas ulangan Bu Ari pun langsung
memberikan lembar soal untuk murid-murid, disana terdapat dua puluh soal yang harus
dijawab oleh murid-murid tersebut.
"Waktunya sampai pukul sembilan ya anak-anak," kata Bu Ari
Semua murid pun pusing mengerjakan soal yang sangat sulit tersebut tetapi
berbeda dengan Arissa karena dia adalah salah satu anak yang memiliki anugrah
kepintaran.
Ada seorang anak yang bernama Rico yang selalu memanggil Arissa pada saat
mengerjakan ujian agar Arissa memberikan jawaban yang ia kerjakan kepada Rico "Sa
Arissa gue liat dong nomer 3," kata Rico, tetapi Arissa selalu mengabaikannya.
Waktu menunjukan kurang sepuluh menit semua murid belum tuntas menjawab
soal tersebut kecuali Arissa, Nesa, dan Mira mereka sudah selesai.
"Sudah selesai?" kata Bu Ari
"Sudah bu," kata Arissa, Mira dan Nesa bersamaan tetapi,
"Belumm buu.." ucap murid lainnya
Arissa untuk Marissa | 25
"Yang sudah selesai bisa dikumpulkan dimeja guru," kata Bu Ari
"Iyaa bu," ucap Mira
Tak lama kemudian waktu telah selesai semua murid mengumpulkan lembar
jawaban walaupun banyak soal yang belum ia kerjakan.
"Oke anak-anak ini sekalian kita korekasi bersama-sama ya supaya ibu bisa
mengisi daftar nilai kalian," kata Bu Ari
"Arissa tolong bantu ibu membagikan lembar jawaban ulangan agar dikoreksi
oleh teman-teman kamu," kata bu Ari
"Oh iya buu," kata Arissa
Arissa pun membagikan lembar jawaban tersebut selagi Bu Ari menuliskan
jawaban yang benar dipapan tulis.
Setelah murid-murid mengoreksi dan menghitung nilainya, Bu Ari pun mulai
memasukan nilai ulangan dibuku nilainya. Ternyata Arissa mendapatkan nilai 100 alias
soal yang ia kerjakan betul semua, sedangkan Nesa dan Mira teman Arissa mendapatkan
nilai 90 keatas semua mereka cuman salah satu sampai dua soal saja.
Setelah itu bel istirahat berbunyi,
Kringg…
Kringg…
Kringg...
Arissa pun mengajak kedua temannya kekantin "Mir, Nes kantin yuk.."
"Ayok laper nih aku," kata Nesa sambil memegang perutnya
"Ayo, kalian pada mau beli apa?" tanya Mira
"Entar aja liat ada apa dikantin," kata Nesa sambil menarik ke dua tangan
temannya agar segera kekantin.
Mereka bertiga pun berjalan menuju kantin sekolah, setelah sampai dikantin
tidak seperti biasanya kantin sekolah tidak seramai sebelumnya. Ternyata setelah dilihat
ada seorang cowok senior baru yang tadi pagi Arissa liat di Ruang Tata Usaha, banyak
sekali anak perempuan yang deketin anak cowok itu dan meminta nomer WhatsApp.
Arissa untuk Marissa | 26
Ternyata anak senior cowok itu bernama KEENAN ALEXANDER VINCENT yang
sering dipanggil Keenan dia adalah anak memiliki prestasi membikin puisi dan jago
bermain bola basket. Dia masuk sekelas XII IPS 1 dan dia pindahan dari luar negeri yaitu
Belanda, maka dari itu banyak cewek yang pada deketin keenan.
"Parah rame banget nih kantin, tau gini mending nggak ke kantin deh, tapi aku
udah laper mau balik ke kelas nanggung," kata Arissa dengan malas.
"Yaelah kalau gini mah nggak papa aku ngantri beli makan soalnya ada cogan
guys," kata Mira sambil menatap melongo ke arah cowok baru itu.
"Iya kamu bener Mir dia cogan tapi..." Nesa menggantungkan kalimatnya dan
membuat ke dua temannya penasaran.
"Tapi kenapa?" kata Arissa dan Mira bersamaan
“Nggak mungkin dia suka sama aku," kata Nesa
Arissa dan Mira pun tertawa mendengar perkataan Nesa "Hahahaha"
Arissa pun bertanya "Jadi beli ga?"
"Aku sih beli," kata Mira
"Aku ngikut aja," kata Nesa
"Oke, aku titip kamu aja ya. Aku males banyak orang," kata Arissa dengan malas
"Yaleah, yauda sini mau titip apa?" kata Mira
"Roti bakar dua, satu keju satunya lagi cokelat ya," kata Arissa
"Iyeee, udah sana tunggu in ditempat biasanya," kata Nesa sambil menyuruh
Arissa pergi.
Setelah sampai ditempat biasanya Arissa pun menunggu kedua temennya sambil
membaca Wattpad karya ElfanoAS.
Sepuluh menit kemudian Nesa dan Mira pun datang menghampirinya sambil
membawa makanan yang mereka beli dari kantin. Mereka pun langsung memakan
makanan yang sudah mereka pesan.
"Ih gila kak keenan ganteng pakek banget," kata Mira sambil terus melihat ke
arah keenan terus.
Arissa untuk Marissa | 27
"Biasa aja dong Mir," kata Arissa
"Ganteng tau Ris," kata Nesa sambil melihat ke arah keenan.
"Iya iya," kata Arissa sambil memutar bola matanya keatas dengan malas lalu
melanjutkan makannya.
Tak lama kemudian bel masuk untuk pelajaran selanjutnya telah berbunyi.
Kringg…
Kringg…
Kringg...
Mereka bertiga pun cepat-cepat menuju kekelas karena sekarang waktunya
pelajaran matematika, yang gurunya bernama Pak Imam kebanyakan murid pada takut
kepadanya karena dia galak, memiliki postur tubuh yang gagah, dan memiliki kumis yang
tebal.
Setelah beberapa menit pak Imam pun memasuki kelas Arissa, pada saat itu pak
imam memberikan catatan kepada murid-murid.
"Oke anak-anak keluarkan buku catatan matematikanya, pak imam akan
memberikan catatan kepada kalian," ucap pak Imam
"siap pakk..." jawab anak satu kelas
"sekretaris kelas silahkan maju untuk menuliskan catatan yang sudah saya tulis
dibuku ini," ucap pak Imam.
Fatin pun maju kedepan untuk mengambil buku catatan pak Imam dan
menuliskannya dipapan dan sambil mengatakan "iya pakk.." kata Fatin
Ternyata yang dicatatkan oleh pak Iman sangat banyak sekali sampai membuat
tangan para murid-murid serasa mau copot, belum lagi ada soal latihan dan biasanya
jika diberi soal latihan oleh pak Imam harus dikumpulkan pada saat akhir pelajaran telah
selesai jika tidak dikumpulkan akan mendapatkan hukuman dan diberikan nilai kosong
oleh pak Imam.

Arissa untuk Marissa | 28


Dan beberapa menit kemudian akhrinya catatan mereka sudah beres semuanya,
Arissa pun bernafas legah "Huh... Alhamdulillah kelar juga,”. Tetapi tumben sekali pak
Imam tidak memberikan soal banyak biasanya 10 ini hanya 5 saja, mungkin lagi baik kali
yah.
Sebelum mengerjakan soal yang sudah diberi oleh pak Imam murid-murid akan
dijelaskan lebih rinci lagi, setelah sudah paham baru bisa mengerjakan soal latian
tersebut. Arissa adalah anak yang sangat pandai dia hanya di jelaskan satu kali saja
sudah sangat paham dengan karena itu membuat Arissa sangat mudah untuk
mengerjakan soal yang diberikan oleh pak Imam dan selalu mengumpulkan tugasnya
dengan tepat waktu.
Soal nomer satu sampai soal nomer lima sudah dikerjakan dengan teliti oleh
Arissa, Nesa, dan Mira dan mereka pun segera mengumpulkannya dimeja guru setelah
dikumpulkan bisa langsung dilanjut dengan sholat dzuhur di masjid sekolah.
"Ayok sholat dzuhur," ajak Nesa yang sudah melepas sepatu
"Iya bentar nih nggak liat lagi copot sepatu," kata Arissa dengan kesal
"Dih iyaa santai dong say," kata Nesa sambil tersenyum lebar
Arissa yang mendengar itu hanya cemberut, sambil menyopot kaos kakinya dan
memakai sandal.
"kamu nggak sholat Mir?" tanya Nesa kepada mira yang sedang memainkan
ponselnya
"Nggak, aku lagi halangan nih," kata Mira sambil memasukkan ponselnya ke saku
seragam dan menatap Nesa.
"Yah cuman aku sama Arissa doang dong yang sholat," kata Nesa dengan nada
sedihnya
"Yauda kalau kamu nggak mau aku tinggal," kata Arissa yang langsung keluar
kelas tanpa menunggu Nessa sambil membawa mukenah nya
"Ehh tunggu aku napa Ris," kata Nesa saat disamping Arissa. Mira hanya bisa
tertawa melihat kelakuan kedua temannya.

Arissa untuk Marissa | 29


Lima belas menit sudah berlalu akhirnya Arissa dan Nesa sudah kembali dari
masjid, setelah sampainya dikelas Arissa minta Mira untuk ikut dengan ke koprasi
sekolah untuk membeli bulpoin nya yang sudah sekarat alias sudah habis gara-gara tadi
ia menulis catatan matematika yang banyak nauzubillah.
"Mir kamu gabut kan?" tanya Arissa kepada Mira yang sedang mencoret-coret
buku.
"Hahaha iya kenapa?" kata Mira sambil tertawa
"Ikut aku dong ke koperasi beli bulpoin, bulpion aku habis nih," kata Arissa sambil
berdiri.
"Eh Ris habis ini bel masuk tau kenapa ga dari tadi aja habis dari masjid langsung
ke koperasi?" kata Mira
"Uang aku ditas tau, ayo dong temen in aku ke koprasi entar aku ngerjain
tugasnya gimana kalau bolpoin aku habis," kata Arissa dengan melas
"Nggak ah, noh liat tuh jamnya udah kurang 3 menit," kata Mira sambil
menunjukkan tangannya ke sebuah jam dinding
"Gitu banget sih sama temen sendiri Mir," kata Arissa dengan kesal
"Nih bulpoin aku, kamu pinjam aja," kata Mira sambil memberikan bulpoinnya ke
Arissa.
"Ih tumben banget kamu punya bulpoin cadangan biasanya kamu cuman punya
satu Mir," kata Arissa heran sambil mengambil bulpoin dari Mira
"Yah udah dipenjemin malah bacot nih anak udah pakek aja sana," Kata Mira
dengan kesal
"Hayo punya sapa hayo, Mira nyuri punya orang yaa hahaha," kata Nesa yang
tiba-tiba menyaut sambil tertawa
"Mana ada sih Ness, orang Mira nggak nyuri kok, Mira cuman mengambil sama
meminjam bolpoin ayah Mira yang ada dimeja kerja ayah Mira," kata Mira sambil
memasang tampang polosnya.
"Yeh sama aja nyuri tau," kata Nesa
Arisaa hanya bisa menepuk jidat saja melihat perilaku temannya,
Arissa untuk Marissa | 30
"udah-udah gurunya datang tuh," kata Arissa saat melihat ada guru yang
memasuki kelas mereka.
Pembelajaran dimulai kembali pada pembelajaran saat ini gurunya hanya
memberikan tugas mengerjakan LKS halaman 12-15, karena gurunya sedang
mendapatkan tugas dari kepala sekolah.
Arissa pun segera mengerjakan tugas tersebut ia hanya membutuhkan waktu dua
puluh menit saja untuk mengerjakan soal yang diberikan oleh guru tersebut. Setelah
selesai Arissa melanjutkan membaca cerita di Wattpad yang tadi sudah sempat ia baca,
membacanya sambil menunggu bel pulang.
Tak lama kemudian bel pulang pun sudah bisa terdengar oleh seluruh warga
sekolah dan artinya semua murid bisa meninggalkan sekolah
Kringg..
Kringg..
Kringg..
Arissa, Nesa, dan Mira pun berjalan keluar gerbang dan meninggalkan sekolah.
Kali ini Mira dan Arissa akan pulang bersama karena supir Arissa yang pulang kampung,
maka dari itu Arissa membawa mobil sendiri.
Arissa dan Mira pun memasuki mobil Arissa saat di depan gerbang sekolah ia
melihat Nesa yang belum dijemput oleh supirnya , ia pun langsung membuka kaca mobil
dan berpamitan kepada Nesa
"Dah dah Nesa, kita duluan yah," kata Arissa dan Mira sambil melambaikan
tangannya ke arah Nesa yang di hanya dibalas dengan senyum dan lambaian tangan
oleh Nesa.
Setelah mengantarkan Mira dirumahnya Arissa langsung menuju kerumahnya
jarak antara rumah Mira ke rumah Arissa tidak terlalu jauh ya sekitar sepuluh menit.
Setelah sampai dirumah Arissa pun langsung menuju ke kamarnya ia langsung
berganti pakaian dan mulai rebahan dikasur kesayangannya dan tanpa ia sadari Arissa
tertidur lelap, ia terbangun sekitar setengah enam menjelang malam.

Arissa untuk Marissa | 31


Ia langsung menuju kekamar mandi yang ada dikamarnya ia langsung
membersikan sekujur tubuhnya dan melanjutkan sholat magrib. Ia langsung bersiap-siap
untuk pergi dinner keluar bersama kedua orangtuanya dan tak lupa juga dengan
Marissa.
Tiba-tiba terdengar ketukan pintu dari luar kamar dan teriakan sang Ayah,
Ayah Arissa memanggilnya dari depan pintu kamarnya "Arissa udah siap belom?"
"Oh iya Yah, sebentar lagi Yah," kata Arissa yang sedang menyisir rambutnya
"Oke ayah tunggu dibawah Yah nak" kata ayah Arissa yang langsung dibalas
Dengan sepontan oleh Arissa “Siap Yah,”
Setelah memasukan dompet dan powerbank kedalam tas favoritnya, Arissa
segera menuju kebawah dan ia meliat kedua orangtuanya dan Marissa sudah siap untuk
berangkat. Biasanya mereka akan pergi ketempat restoran steak kesukaannya.
Dan sampai lah sudah Arissa, Marissa dan kedua orangtuanya di restoran steak,
tanpa menunggu lama meraka duduk dimeja yang memiliki empat buah kursi yang
cocok untuk keluarga tersebut.
Tak lama kemudian pelayan restoran tersebut mendekati meja tersebut untuk
menanyakan makanan apa saja yang akan ia pesan, Arissa dan Bunda memesan chicken
steak black paper kalau Marissa dan Ayah memesan meat beaf steak mozzarella.
Beberapa menit makan tersebut telah datang, dan mereka langsung menyantap
nya dan sambil mengobrol ria.
"Bagaimana tadi sekolahnya?" tanya Ayah Arissa kepada kedua anaknya
"Tadi disekolah yah ada kakak senior baru dia ganteng banget," kata Marissa
dengan senyum mengembang
"Oh iya seganteng apa sih?" tanya Bundanya yang penasaran
"Bunda tau Kim Taehyung? Yah kayak gitu ma," kata Marissa masih dengan
senyum mengembang
"Masa sih Mar?" kata sang Bunda
"Iya Bun percaya deh sama aku," kata Marissa yang masih tetap kekeh
Arissa untuk Marissa | 32
Ayahnya pun bergantian menanyakan kepada Arissa "Kalau Arissa, bagaimana
disekolah tadi Ris? " sambil menatap Arissa
"Capek semua badan aku Yah," kata Arissa sambil menatap Ayahnya
"kenapa emangnya?" tanya sang Bunda
"udah ada ulangan harian, nulis catatan banyak," kata Arissa yang bergantian
menatap Bundanya.
"Yaelah gitu aja udah merasa capek dasar lemah," kata Marissa dengan sinis,
Arissa yang mendengar itu hanya membalasnya dengan senyuman indahnya
"Ih kamu Marissa ga boleh gitu, sama saudara sendiri kok berkata kasar," kata
Ayahnya, Marissa yang mendengar itu hanya mendengus kesal.
“Tapi bisa kan mengerjakan ulangannya tadi?"tanya Ayahnya
"Alhamdulillah bisa pah," kata Arissa sambil tersenyum ke arah Ayahnya
"Yauda cepat habiskan makannya habis ini langsung pulang besok kan masih
pada sekolah,"kata Ayahnya
Beberapa menit kemudian makanan sudah ludes habis masuk keperut mereka,
setelah itu Bundanya meminta Bill ke mas-mas pelayannya.
"ini buk Bill nya," kata mas pelayan
"oh iya ini uangnya," kata Bunda sambil menaruk uang didalam buku Bill tersebut
Setelah itu mereka menuju kemobil untuk perjalan pulang kerumah, dari restoran
steak kerumah cuman membutuhkan waktu setengah jam saja.
Dan akhirnya sampai juga dirumah semuanya pun langsung pergi kekamarnya
masing-masing untuk istirahat karena besok pagi mulai beraktifitas kembali.
Arissa langsung membuka pintu kamar dan langsung menggati baju tidur untuk
perisapan tidur tetapi sebelum tidur Arissa pergi kekamar mandi untuk cuci muka,
buang air kecil dan wudhu karena ia belum sholat isya'. Setelah melaksanakan sholat
isya’ ia langsung membaringkan badannya dikasur.
***
Arissa untuk Marissa | 33
Alarm hp Arissa pun telah berbunyi dan membangunkan Arissa dari tidur
lelapnya. Jarum jam menunjukkan pukul lima subuh, Arissa pun langsung mengambil air
wudhu dan melaksanakan sholat subuh. Setelah itu ia menata buku yang akan ia bawa
nanti kesekolah, dan tak lama kemudian dia mengambil handuk yang ada disebelah
kamar mandi untuk membersihkan badannya.
Setelah mandi ia langsung menggunakan seragam olahraga karena pada hari
Rabu adalah waktunya Arissa untuk pelajaran olahraga disekolah, dan setelah
merapikan diri Arissa pun langsung membawa handphone nya dan tas ransel menuju
kebawah karena sudah waktunya sarapan.
"Selamat pagi," sapa Arissa kepada semua orang yang ada dimeja makan
"pagi sayang," balas sang Ayah
"pagi," balas Bundanya bersamaan dengan Marissa yang memasang wajah yang
tidak enak kepada Arissa
"Bun tolong ambilin dua lembar roti dong," kata Arissa sambil menunjuk roti yang
ada didepan Bundanya
"Nih, nggak kurang?" tanya Bundanya sambil menaruh dua buah roti diatas piring
Arissa.
"nggak kok Bun, udah cukup," kata Arissa sambil tersenyum
Dan tak lupa juga Arissa menuangkan satu gelas susu kedalam gelasnya, dia
sangat menyukai susu apalagi susu cokelat itu favoritnya. Setelah selesai sarapan Arissa
dan Marissa akan pergi berangkat kesekolah.
"Bun aku berangkat kesekolah yah," pamit Arissa dan Marissa bersamaan
"iya sayang, belajar yang rajin ya," balas Bundanya
"Siap Bun." kata Arissa dengan semangat. Arissa dan Marissa pun mencium
tangan kanan Bundanya dan Ayahnya sebelum pergi ke sekolah.
"Assalamualaikum Bun,” salam Arissa dan Marissa kepada Bundanya.
"Waalaikumsalam," balas Bundanya
Arissa untuk Marissa | 34
Setelah sampainya disekolah Arissa pun langsung turun dari mobilnya dan
bergegas menuju kelasnya. Sambil memakai earphone ditelinganya dan mendengarkan
lagu kesukaannya ‘Location Unknown’, Setelah sampainya dikelas.
"Haii Riss," sapa Nesa sambil tersenyum saat ia baru sampai ke kelas
“Hai juga,”balas Arissa sambil berjalan menuju kursi yang akan ia duduki, “Mira
belum datang? Nggak biasanya dia jam segini belum datang,” lanjut Arissa dengan
heran.
"Tau tuh, yah mungkin bentar lagi dia nongol" kata Nesa sambil memainkan
ponselnya.
"nongol? di kira Mira jin apa yah?" tanya Arissa yang bermaksud bercanda dan
langsung di sambut gelak tawa oleh Nesa “hahaha maybe,”
Sepuluh menit kemudian…
"Assalamualaikum,” kata Mira yang baru memasuki ruang kelas sambil
memasang muka keselnya
"Waalaikumsalam," jawab temen temen yang ada dikelas.
"Dari mana aja sih kok baru dateng? Eh napa tuh muka kok dateng-dateng
ditekuk aja sih? Lagian juga tumben-tumbenan kamu datangnya lama?" cerocos Nesa
pada Mira yang baru datang
"Ih sebel tau Aku sama Ojol!" kata Mira dengan kesal sambil menghentak
hentakkan kakinya kelantai.
"why?" tanya Arissa yang duduk di kursi samping Nesa
"Susah banget dapetinnya," kata Mira tetap dengan nada kesalnya.
"Yah kan banyak yang perlu juga, nggak kamu doang, lagian mungkin itu bukan
karena Ojol nya yang susah di dapetin tapi karena kuota hp kamu habis kali Mir,” kata
Nesa yang langsung disambut gelak tawa oleh Arissa dan dihadiahi pelototan oleh Mira.
“Yah yah terserah kalian berdua,” kata Mira dengan nada kesal
"udah udah mending kamu kembali ketempatmu oke," kata Arissa

Arissa untuk Marissa | 35


Bel masuk pun telah berbunyi
Kringg..
Kringg..
Kringg..
Tetapi setelah berdoa ada panggilan ketua kelas X , XI , XII tak lama kemudian
ketua kelas pun pada kembali ke kelasnya masing-masing untuk memberi taukan
pengumuman kepada teman-temannya dikelas.
"Assalamualaikum," kata ketua kelas
"waalaikumsalam," jawab anak sekelas
"Jadi ada pemberitahuan jika semua guru lagi rapat tapi kita masih tetap ada
pembelajaran, karena kelas kita waktunya olahraga ya tetap melaksanakan olahraga
seperti biasanya dan disuruh oleh pak Budi mempelajari cara bermain Basket," kata
ketua kelas
"Siap pak ketu," kata anak sekelas
Dan akhirnya anak kelas X MIPA 1 berjalan menuju kelapangan melihat ada para
senior kelas XII IPS 1 juga pada berolahraga dilapangan, Karena disekolah Arissa memiliki
lapangan yang sangat luas.
Jadwal olahraga Arissa ternyata sama dengan Keenan, hal tersebut membuat iri
kelas lain.
Kelas X MIPA 1 sedang bermain Basket
Kelas XII IPS 1 juga sedang bermain basket
Mereka membagi kedua lapangan sebelah kiri untuk kelas X MIPA 1 dan lapangan
sebelah kanan digunakan untuk kelas XII IPS 1
Arissa dan temen satu kelasnya sangat asik bermain bola basket secara
bergantian, dan tak lama kemudian ada sebuah peristiwa yang membuat semua siswa-
siswi yang ada dilapangan terkejut.
Disekolah Arissa tidak ada yang tidak mengenal segerombolan anak perempuan
junior yang sangat Alay, judes, dan semaunya sendiri yah mereka adalah geng nya
Marissa yang terdiri dari 4 orang yaitu Marissa, Cia, Cellin, Calia.
Arissa untuk Marissa | 36
Mereka mendekati Arissa dan mendorong Arissa hingga terjatuh karena Marissa
tidak suka dengan saudaranya, karena Marissa merasa jika dia merebut kasih sayang
kedua orangtuanya. Dan Marissa tidak menganggap Arissa sebagai saudaranya
melainkan hanya sebagai pembantu dirumahnya, karena kemarahan Marissa
menambah memuncak Marissa langsung menarik rambut Arissaa dan memukulinya
dengan gagang sapu. Teman Arissa yang sudah berusaha memisahkan mereka tapi tidak
bisa karena salalu dihalang oleh Cellin dan Cia
Tangan dan kaki Arissa memar, Arissa merasa kesakitan tetapi Arissa tidak mau
membalas perbuatan Marissa dia hanya diam sambil merasakan sakitnya, saat Marissa
akan memukulkan gagang sapu itu ke Arissa tiba-tiba ganggang sapu itu ditahan oleh
seseorang dan langsung direbut lalu dipatahkan menjadi dua.
"Dasar wanita nggak punya rasa kasih sayang yah lo" kata seseorang itu sambil
menunjuk wajah Marissa lalu buru-buru ia menggendong Arissa menuju UKS.
Setelah sampainya di UKS seseorang itu langsung membaringkan badan Arissa
dikasur dan Nesa mengambilkan P3K yang ada di lemari lalu mengobati luka Arissa
dibagian kaki.
"Makasih banyak yah kak Keenan, kalau nggak ada kakak aku nggak tau gimana
nasib Arissa teman aku " kata Mira sambil tersenyum dan menatap Keenan, ah iya
seseorang yang menolong Arissa dari bullyan Marissa adalah si murid baru Keenan.
"Iya, sama-sama," kata Keenan yang terus menatap Arissa yang sedang di obati
oleh Nesa
“Kalau boleh tau tadi siapa yang bully Arissa?” tanya keenan sambil menatap
Mira sebentar lalu menatap Arissa lagi
"Oh itu tapi kakak jangan bilang siapa-siapa yah, sebenernya dia itu saudara
Arissa," kata Mira yang berucap pelan sambil menundukkan kepalanya
"Saudara? Kok dia bully saudara sendiri? Kan harusnya saling menyayangi satu
sama lain bukannya berantem," kata Keenan dengan nada terkejut dan penasaran.
"Emang iya kak tapi Marissa itu nggak suka sama Arissa katanya sih Arissa
ngerebut kasih sayang kedua orangtuanya padahal ya nggak," kata Mira yang sudah
tidak menunduk dan sekarang menatap Arissa
Arissa untuk Marissa | 37
"Oh gitu, dasar anak jaman sekarang," kata Keenan sambil menggelengkan
kepalanya. "Yaudah kalau gitu gue balik yah, jangan suruh dia keluar UKS sebelum
enakan badanya" lanjut Keenan sambil melangkah pergi meninggalkan ruang UKS
"Kak makasih," teriak Mira dan Nesa saat melihat keenan perlahan menjauh,
keenan hanya membalasnya dengan menoleh kebelakang saja
"Ih jutek amat! Untung kakak ganteng jadi aku bisa maklumin," kata Mira yang
kesal karena keenan tidak membalas ucapannya
"Ris udah merasa baik?" tanya Nesa saat berdiri didekat Arissa yang sedang
berbaring. Arissa hanya menjawabnya dengan menganggukan kepalanya saja.
"kamu disini aja yah, nggak usah ikut pelajaran dulu,”kata Mira, “Ini perintah!
Bukan penawaran!” lanjut Mira seakan tau Arissa akan membantahnya. Arissa langsung
cemberut karena ia ingin ikut pembelajaran seperti biasanya
Dengan terpaksa Arissa pun menuruti perkataan kedua temannya untuk tetap di
ruang UKS agar istirahat. Kedua temannya pun meninggalkan Arissa diruang UKS untuk
melanjutkan perjalanan jam berikutnya, tetapi dia akan menghampirinya lagi pada saat
jam istirahat telah tiba.
Tiba-tiba pikirannya kembali melayang saat Marissa dan ke tiga temannya datang
mendorong dirinya, lalu menarik rambutnya dan yang terakhir memukul dirinya dengan
gagang sapu. Ia tak habis pikir salah apa dirinya dengan Marissa? Apa yang ia lakukan
sampai-sampai Marissa setega itu kepada dirinya, padahal ia kan saudaranya, ah ia
melupakan satu hal ia tak menyangka kalau murid baru itu yang akan menolongnya dan
bersuka rela menggendongnya ke UKS.
Memikirkan itu semua membuat kepala Arissa pusing, akhirnya Arissa memilih
tidur untuk menghilangkan rasa sakit dikepalanya dan yang pasti juga rasa skit di lengan
dan di kakinya.
“Woi Ris banguuuunnnnn,” kata Mira dengan suara nyaringnya, Nesa yang
berada tepat disamping Mira pun langsung menutup telinga rapat-rapat.

Arissa untuk Marissa | 38


“Sumpah ya, suara kamu nyaring banget sampai bikin telinga aku sakit, dari Pada
kamu teriak-teriak nggak jelas mendingan kamu bangunin Arissa dengan cara cipratin air
ke wajahnya,”kata Nesa memberikan saran sekaligus agar terhindar dari suara nyaring
Mira, Mira yang mendengar ocehan Nesa pun hanya mendengus kesal dan ia pun segera
mengambil botol minunnya yang masih ada airnya lalu menuangkan ketangannya
sedikit dan mencipratkan ke wajah Arissa.
“Duh apa-apaan ini, kenapa nih air jatuh di wajah aku?” tanya Arissa dengan
kesal dan terbangun dari tidurnya karena merasa terganggu.
“Hehehe itu air nya sengaja aku cipratin ke wajah kamu, tapi bukan ke mauan aku
kok, aku cuman disuruh sama Nesa tuh,” kata Mira sambil menunjuk Nesa yang berdiri
disampingnya.
“Hehehe peace Sa, lagian kamu dibangunin sulit banget, yaudah nggak ada cara
lain Sa,” kata Nesa dengan mengangkat jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V
sambil tersenyum lebar.
“Gitu banget sih kalian sama temen sendiri, awas ya kalian,” kata Arissa dengan
nada sinis dan kesalnya. Ia berdiri menghampiri Mira lalu mengambil tasnya dari tangan
Mira dan mulai melangkah pergi dari UKS.
“Mau kemana Sa?” tanya Mira dan Nesa bersamaan saat melihat Arissa akan
pergi keluar UKS.
“Pulang lah, yah kali mau nginep di sini, kalau kalian mau sih boleh aja sekalian
temenin pak satpam jaga sekolah yah,” kata Arissa sambil melangkah menjauh dari
keduan temannya
“Eh Sa, tungguin aku, aku juga mau pulang,”teriak Nesa sambil mulai berlarian
mengejar Arissa yang mulai menjauh diikuti oleh Mira dibelakangnya.
Setelah sampai dirumahnya ia langsung ke kamar merebahkan badannya
sebentar, lalu sekitar 6 menit dia bangun dan melangkahkan kakinya menuju kamar
mandi untuk membersihkan badannya yang sudah lengket, 20 menit kemudian ia keluar
dari kamar mandi dan mulai merebahkan tubuhnya di kasur untuk tidur.
“Kedatanganmu membuat warna baru dihidupku.”

Arissa untuk Marissa | 39

Netizen
Jam menunjukkan pukul 06.30, Arissa sedang menyusuri koridor yang tak begitu
ramai, saat ia sedang jalan ia bertemu dengan Bu Ari, “Selamat pagi Bu,” sapa Arissa
ramah.
“Pagi juga Arissa, kamu tidak lupakan? Kalau nanti pulang sekolah ada jam
tambahan khusus buat kamu untuk olimpiade,” balas Bu Ari, sekalian mengingatkan
Arissa tentang bimbingan belajar untuk Olimpiade.
“Eh… iya Bu, hampir aja saya lupa untung Ibu ingatkan hehehe,” kata Arissa
dengan tampang ‘Watados’ nya.
“Kamu itu selalu hampir lupa, ya sudah ibu mau ke kantor dulu dan kamu belajar
yang bener biar menang olimpiadenya,” kata Bu Ari dengan tegas.
“Siap bu, insyaallah jika Allah menghendaki Bu,” kata Arissa dengan ekspresi gaya
cengiran khasnya. Bu Ari hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum
sambil melangkah pergi melihat anak didiknya yang satu itu.
Setelah Bu Ari pergi, Arissa melangkahkan kakinya untuk segera ke kelas, tetapi
baru beberapa langkah sudah ada yang memanggilnya. “Arissa tunggu Arissa,” teriak
seseorang itu dari belakang Arissa.
“hmm,” jawab Arissa yang berhenti tanpa menengok ke belakang. “Aku antar ke
kelas yah?ayo,” kata Keenan yang langsung menarik tangan Arissa tanpa menunggu
jawaban dari sang pemilik tangan. Ah iya yang tadi memanggil Arissa adalah Keenan.
“Lepasin tangan Arissa kak,” kata Arissa sambil berusaha melepaskan tangannya
dari genggaman Keenan. Tapi bukannya dilepas Keenan malah berganti merangkul
Arissa dari samping.
“Kak lepasin nggak tangan lo dari bahu gue, lo nggak sadar apa kita jadi pusat
perhatian sekarang?” tanya Arissa kepada Keenan dengan kesal karena sekarang
mereka jadi pusat perhatian semua murid yang ada di koridor, apa lagi para fans fanatik
Keenan yang alaynya Naudzubillah
“Eh eh lihat tuh masak Keenan ngerangkul Arissa sih,”
“Omaygat Keenan romantis yah, jadi pengen di gituin sama Keenan,”
Arissa untuk Marissa | 40
“Culun kayak gitu aja di deketin, cantikan juga aku,”
“Mereka berdua cocok ya,”
“Cocok apanya, cocokan juga sama aku,”
“Enak yah jadi Arissa hidupnya kayaknya bahagia mulu, gue pengen deh jadi dia,”
Arissa yang mendengar itu hanya bisa menghelai napas, “Udah ga usah di
dengerin mereka mah, mereka itu cuman iri sama kamu yang bisa deket sama seorang
Keenan Alexander Vincent yang gantengnya ngalahin BTS,” kata Keenan dengan percaya
diri tingkat dewa.
“Nggak jelas banget,” balas Arissa dengan nada sinisnya sambil meloloskan diri
dari rangkulan Keenan dan langsung lari ke kelas. Keenan yang melihat Arissa berlari
menjauh darinya hanya bisa pasrah dan mulai melangkah pergi ke kelasnya.
Sesampainya di kelas Arissa buru-buru duduk di kursinya karena sebentar lagi
guru Mapel sejarah akan mengisi jamnya.
***
Kring...
Kring…
Kring…
Bel istirahat pertama berbunyi menandakan jam mengajar telah selesai dan
waktunya semua murid berhamburan keluar kelas lalu menuju kantin untuk
mendapatkan tempat duduk dan memesan makanan, berbeda dengan murid lainnya
Arissa, Mira dan Nesa masih berada di dalam kelas, menyelesaikan catatan mereka.
“Akhirnya selesai juga nyatet ini pelajaran,” kata Mira dan Nesa bersamaan
“Parah yah tuh guru untung kita sabar, eh Ris kamu kenapa diem aja dari tadi?”
tanya Nesa kepada Arissa yang sedari tadi diam saja.
“Nggak papa, udah ayo mau ke kantin nggak? nggak baik tau ngomongin guru
ntar ilmunya hilang lagi,” kata Arissa sambil menggandeng kedua temannya keluar kelas
dan menuju kantin.
Arissa untuk Marissa | 41
Selama perjalanan ke kantin banyak pasang mata yang melihat ke arah Arissa dan
ke dua temannya, bahkan ada juga yang berbisik
“Eh eh ada Arissa tuh lihat,”
“Tahu ga? Tadi pagi dia tuh dirangkul sama Keenan,”
“Duh, mau aja Keenan sama dia,”
Arissa yang mendengar itu hanya bisa sabar, berbeda dengan Mira yang
langsung menyahut “Heh kalian, jangan suka ngomongin orang dibelakang dong, kalau
berani sini didepan orangnya, mumpung ada orangnya nih,”
“Kenapa lo yang sewot sih? Arissa nya aja diem,” balas salah satu cewek yang tadi
menghujat Arissa.
“Ya itu karena dia males berurusan sama kalian, untung aja dia sabar sama kalian
yang model nya kayak ondel-ondel,” kata Mira dengan nada kesal karena menghadapi
mereka.
“Arissa Hidup lo enak banget sih, udah cantik, pinter, disayang banyak orang gue
pengen jadi lo deh rasanya,” celetuk salah satu murid perempuan yang lewat.
“Udah Mir udah,” kata Arissa yang berusaha melerai mereka. “Udah deh Mir
nggak usah ngurusin mereka, lagiaan nggak penting juga, mending kita langsung ke
kantin aja,” celetuk Nesa yang langsung menarik tangan Mira menuju kantin dan diikuti
Arissa dibelakang mereka.
Sesampainya di kantin mereka memilih duduk di meja yang paling pojok. Arissa
dan Mira menunggu Nesa yang sedang memesan makanan, sebenarnya Mira lah yang
seharusnya memesankan mereka makanan tetapi melihat antrian yang panjang Mira
menolak mentah-mentah. Tiba-tiba saat mereka berdua tengah asik bermain hp,
Keenan dan kedua temannya langsung duduk didepan Arissa dan Mira, “Hai Arissa,
kalian berdua udah pesen makanan belum? Apa mau sekalian aku pesenin?” tanya
Keenan kepada Arissa dan Mira.
“Kakak kak Keenan ya?murid baru yang bikin heboh satu sekolah karena
nolongin Arissa dari bullyan Marissa?” kata Mira dengan spontan karena tak menduga ia
akan bertemu dengan Keenan lagi, Arissa yang mendengar itu langsung melotot ke arah
Mira dan menginjak kaki Mira.
“Aduh… aduh,” jerit Mira dengan spontan saat Arissa menginjak kakinya.
Arissa untuk Marissa | 42
“Eh kenapa?” tanya Keenan dengan heran saat melihat Mira berteriak.
“Eh nggak papa kok kak, tadi itu cuman ngetes suara buat praktek nyanyi
doang,” kata Mira sambil tersenyum ke arah Keenan agar Keenan percaya.
“Oh yaudah kirain kenapa, eh iya kalian udah pesen makanan belum?” tanya
Keenan sekali lagi.
“Udah kak, tuh Nesa lagi ngantri buat pesen makanan,” kata Mira sambil
menunjuk Nesa yang sedang baris mengantri makanan.
“Yaudah, eh Zhain pesenin makanan dong, lo kan baik hati dan tidak sombong,”
perintah Keenan kepada zhain. Zhain yang sedang bermain hp pun langsung menengok
ke arah Keenan.
“Giliran mesen makanan aja gue, napa nggak si Raden aja sih?” kata Zhain
dengan kesal sambil melangkah menuju antrian makanan.
“Yang sabar ya, abang Zhain hahaha,” teriak Raden kepada Zhain saat Zhain mulai
menjauh.
Setelah Zhain pergi memesan makanan hanya ada keheningan yang menyelimuti
mereka, sampai tak lama kemudian Nesa datang dengan Zhain di sampingnya yang
membawa nampan berisi makanan di tangannya sedangkan Nesa membawa nampan
berisi minuman di tangannya.
“Lama banget sih Nes pesennya, aku udah laper banget nih,” kata Mira kepada
Nesa yang langsung mengambil makanannya dan memakannya.
“Kamu ga lihat tuh antriannya Panjang banget, kan seharusnya kamu yang
ngantri bukan aku, untung aja ada kak zhain yang bantuin aku jadi cepet, makasih ya
kak,” kata Nesa dengan kesal kepada Mira dan berubah senyum ketika ia berterima
kasih kepada Zhain.
“Iya sama-sama Nes, untung aja tadi ada babang Zhain yang gantengnya
kelewatan ini bantuin Nesa kalau enggak kalian pasti kelaparan sekarang,” kata Zhain
dengan PD nya.
“Ganteng dari hongkong? Udah ah mana makanannya laper nih,” balas Raden
dengan sinis karna muak dengan omongan Zhain plus ia sudah lapar.

Arissa untuk Marissa | 43


“Yaelah gitu banget sih loh sama temen sendiri,” kata Zhain dengan nada sedih.
“Berisik lo berdua, eh Arissa kok diem aja sih dari tadi? Lagi sariawan ya?” tanya
Keenan kepada Arissa yang sedang makan, Arissa yang ditanya pun hanya menoleh
sebentar keKeenan lalu melanjutkan makannya.
“Woi jawab napa, diem-diem bae ngopi pa ngopi,” kata Zhain yang bermaksud
menggoda Arissa agar ia berbicara.
“Arissa kalau lagi makan emang gitu kak, kalau ditanya pasti nggak bakalan
jawab, lagian kan nggak baik makan sambil ngomong kak,” kata Nesa yang sudah selesai
makan sambil menatap Keenan dan ke dua teman Keenan.
“Tuh dengerin nggak baik makan sambil ngomong,” kata Raden kepada Keenan
dan Zhain. “Yeh lo juga makan sambil ngomong Bambang, ngaca noh,” balas Zhain
dengan nada ngegasnya, dan dibalas cengiran oleh Raden. Keenan hanya menggeleng-
gelengkan kepalanya saat melihat kelakuan kedua temannya, Mira dan Nesa hanya bisa
tertawa melihat kelakuan kakak kelasnya itu.
Tiba-tiba kantin yang ramai berubah menjadi hening saat Marissa dan ke tiga
temannya memasuki kantin dengan gaya angkuhnya dan berjalan mendekat menuju
meja paling pojok yang ditempati oleh Arissa, Keenan dan kawan-kawan.
“Haii kak Keenan, kok ke kantin nggak ngajak-ngajak sih?” kata Marissa dengan
nada manjanya dan gaya centilnya.
“Emang lo siapa gue?kenal lo aja gue ogah,” kata Keenan dengan nada Ketusnya.
“Ih kak Keenan kok gitu sih sama aku?’ kata Marissa dengan nada manjanya,
“Eh ada Arissa si culun enak banget ya lo bisa satu meja sama kak Keenan,” lanjut
Marissa saat melihat Arissa duduk di depan Keenan. Arissa yang mendengar itu pun
hanya bisa mengehelai napa, lagi-lagi Marissa mencari gara-gara dengan nya.
“Sombong yah lo sekarang, udah mulai berani yah nggak jawab perkataan gue,”
kata Marissa dengan nada tingginya seakan menantang Arissa
Arissa yang kesal pun langsung mengajak kedua temannya untuk balik ke kelas
karena 5 menit lagi bel masuk akan segera berbunyi.
Baru beberapa langkah terdengar suara nyaring Marissa “Awas yah lo,kalau gue
tahu lo deketin kak Keenan lagi, gue nggak akan tinggal diam,” kata Marissa tapi lebih
terdengar seperti peringatan untuk Arissa.
Arissa untuk Marissa | 44
Semua yang mendengar perkataan Marissa kepada Arissa hanya bergidik ngeri.
“Gila yah lo,” kata Keenan sambil menunjuk wajah Marissa lalu melangkah pergi dari
kantin yang diikuti Raden dan Zhain di belakangnya.
Sesampainya Arissa di kelas ia langsung duduk dikursinya dan mengeluarkan
buku Mapel selanjutnya, tak lama kemudian Bu Novi guru Mapel PPKN memasuki kelas
dan ia memanggil Dhava selaku ketua kelas entah apa yang Bu Novi bilang kepada
Dhava. Tak lama kemudian Dhava kembali kedalam kelas tanpa Bu Novi.
“Ada pengumuman dengerin woi,” kata Dhava saat ia berada di depan papan
tulis kepada seluruh anggota kelasnya, semua yang mendengar itu pun langsung duduk.
“Assalamualaikum,” salam Dhava
“Waalaikumsalam,” balas seluruh murid di kelas
“Oke hari ini Bu novi nggak bisa masuk kelas karena ada tugas dari kepala
sekolah, jadi intinya kita free class tapi jangan sampai ada yang keluar kelas, kalau ada
bakalan di catet terus dikasih ke kepala sekolah mengerti?” kata Dhava dengan tegas
“Mengerti,” balas seluruh murid yang ada di kelas
“Oh iya terutama kalian Bayu, Ramdhani, Dio sama Ferdian awas aja sampai
keluar akan gue laporin kalian,” kata Dhava memperingati para perusuh kelas alias Dio
dkk yang biasanya suka keluyuran ke kelas-kelas lain saat free class.
“Siap bos,” balas Dio dkk bersamaan sambil hormat layaknya prajurit kepada
jendralnya.
***
Sudah 5 menit yang lalu bel pulang berbunyi dan semua murid berhamburan keluar
untuk segera pulang kerumah. Arissa dan kedua temannya masih di dalam kelas mereka
sedang piket, “Eh Ris kamu ada bimbingan untuk olimpiade ya?” tanya Mira
“Iya,” balas Arissa diiringi anggukan kepalanya.
“Yah, nggak bisa bareng dong,” kata Mira dengan muka sedihnya.
“Yeh, kayak Arissa mau aja pulang bareng kamu, udah deh nggak usah sok
sedih tuh muka nambah jelek ntar,” kata Nesa kepada Mira dengan nada mengejek.
Arissa untuk Marissa | 45
“Gitu banget sih sama temen sendiri, lagian maksud aku tuh bareng kedepan
gerbang bukan bareng pulangnya,” kata Mira dengan kesal
“Udah-udah mendingan sekarang kalian berdua pulang, dan aku mau ke perpus
buat bimbingan olimpiade bye,” kata Arissa yang menyuruh mereka untuk pulang sambil
melangkah meninggalkan mereka di dalam kelas, lalu kedua temannya pun juga buru-
buru meninggalkan kelas.
Sesampainya di perpus Arissa langsung mengucapkan salam kepada Pak Ono
selaku penjaga perpus. “Assalamulaikum Pak Ono,” salam Arissa kepada Pak Ono.
“Waalaikumsalam eh neng Arissa, ada apa neng kemari? Mau pinjam buku lagi?”
tanya Pak Ono kepada Arissa, pak Ono dan Arissa memang sudah dekat sejak lama
maybe karena Arissa sering meminjam buku di perpus.
“Enggak Pak, saya ke sini mau ada bimbingan belajar untuk olimpiade sama Bu
Ari,” balas Arissa dengan sopan
“Oh, sama neng Khalis juga ya neng?” tanya Pak Ono
“Bapak tahu dari mana?” tanya Arissa dengan heran
“Tuh ada neng Khalis, tadi dia juga bilang kalau da bimbingan belajar untuk
olimpiade,” kata Pak Ono sambil menunjuk meja yang tak jauh dari ia berdiri dan disana
ada anak perempuan berhijab putih sedang membaca buku.
“Ya sudah Pak, kalau gitu saya ke Khalis dulu ya,” pamit Arissa kepada Pak Ono
Saat ia hamper sampai di depan Khalis, Khalis perempuan berhijab itu sadar akan
kehadiran Arissa pun langsung menyapa Arissa.
“Eh ada Arissa, sini duduk,” sapa Khalis kepada Arissa sambil mempersilahkan
Arissa duduk di kursi sampingnya.
“Iya, makasih,” balas Arissa yang langsung duduk dan mulai membaca bukunya
juga.
10 menit kemudian Bu Ari datang dengan membawa 2 buku paket yang tebal
mungkin isinya tentang materi olimpiade.
“Assalamualaikum,” salam Bu Ari kepada Khalish dan Arissa.
“Waalaikumsalam Bu,” balas Khalish dan Arissa bersamaan.
Arissa untuk Marissa | 46
“Ini ada buku buat kalian, buku ini bisa untuk kalian baca-baca dan kalian pelajari,
boleh kalian bawa pulang untuk belajar dirumah,” kata Bu Ari yang hanya dibalas
anggukan oleh Khalish dan Arissa.
“Oke sekarang saya akan memberikan kalian soal fisika kelas 10 yang kemarin
sudah saya berikan di setiap kelas. Saya mau tahu kalian masih ingat atau tidak kalau
gitu ambil kertas atau lembaran,” kata Bu Ari, buru-buru Khalis dan Arissa mengmbil
Kertas.
“Sudah siap?” tanya Bu Ari yang dibalas anggukan oleh mereka berdua, “Radar di
sebuah bandara memeperlihatkan posisi sebuah pesawat yang sedang mengudara.
Pesawat bergerak dari posisi (8 km, 2 km ) ke posisi ( 12 km, 5 km ). Tentukan besar
perpindahan yang dialami pesawat! Silahkan mengerjakan,” lanjut Bu Ari.
Tak butuh waktu lama, cukup 7 menit Arissa sudah selesai mengerjakan soal itu,
“Bu saya sudah selesai,” kata Arissa kepada Bu Ari.
“Cepat sekali kamu, ini gak kamu jawab asal-asalan kan?” tanya Bu Ari dengan
tatapan curiga ke Arissa.
“Gak boleh seudzon Bu, ya kali saya kerjain asal-asalan,” balas Arissa sambil
memberikan lembar jawabannya ke Bu Ari dan langsung di periksa oleh Bu Ari.
Tak sampai 5 menit setelah Arissa mengerjakan, Khalis telah selesai
mengerjakannya dan langsung di periksa oleh Bu Ari. “Bagus ternyata kalian masih ingat
bagaimana rumusnya dan cara mengerjakannya, terus dipelajari ya agar waktu
olimpiade kalian ingat dan lancar mengerjakan soalnya,” kata Bu Ari setelah memeriksa
jawaban mereka. “Oke sekarang kita akan membahas apa itu Fluida,” lanjut Bu Ari.
Tak terasa sudah 1 jam mereka mengikuti bimbingan untuk olimpiade. “Sudah
satu jam kalian mengikuti bimbingan ubtuk olimpiade sekarang kalian boleh pulang,
bereskan barang-barang kalian, kalau sudah sampai rumah jangan lupa buku yang saya
berikan ke kalian harus kalian pelajari dan hati-hati di jalan Assalamualaikum,” kata Bu
Ari kepada mereka berdua.
“Waalaikumsalam Bu,” balas Khalis dan Arissa.
Setelah selesai membereskan buku-buku Arissa dan Khalish berjalan beriringan
melewati lapangan basket yang kebetulan sedang dipakai anak basket untuk latihan,
termasuk Keenan, Raden dan Zhain.
Arissa untuk Marissa | 47
“Eh ada neng Arissa yang cantik,” teriak Zhain dengan kencang sambil tersenyum
jail menatap Keenan, Keenan yang mendengar itu pun langsung menoleh ke arah
dimana Arissa berada dan teriakan Zhain membuat semuanya menoleh ke Arissa.
“Hai Arissa,” sapa Keenan kepada Arissa yang berjarak beberapa meter darinya,
alih-alih menjawab sapaan Keenan Arissa malah menarik tangan Khalish untuk
mempercepat jalannya. Bukannya apa-apa ia hanya malu dan terlalu malas jika menjadi
bahan tontonan semua orang.
“Ciaaa di cuekin Pak, hahaha,” nyeletuk salah satu partner basket Keenan yang
bernama Aqya yang langsung dibalas oleh gelak tawa semua murid yang ada di
lapangan.
“Berisik lo pada ah,” kata Keenan dengan kesal sambil menendang bola basket
yang ada di depannya.
“Mangkannya belajar yang pinter dulu baru deketin cewek biar nggak di cuekin
mulu kayak Raden noh alim,” kata Tirta sambil menunjuk Raden dan membuat
semuanya menoleh kearah Raden yang sedang minum.
Raden yang merasa namanya disebut pun hanya menoleh dengan tampang
polosnya dan mengangkat ke dua alisnya ke atas seakan berkata “Apa?”. Hal itu sontak
membuat mereka menggeleng-gelengkan kepala karena wajah polos Raden.
“Udah ah ayo latihan lagi,” kata Keenan kepada teman-temanya.
Akhirnya Arissa dan Khalish sampai di gerbang depan sekolah dengan napas
tersenggal-senggal. “Khalish maaf ya aku tadi narik tangan kamu, terus ngajak kamu lari-
larian,” kata Arissa meminta maaf kepada Khalish.
“Iya nggak papa kok aku ngerti, kamu tadi pasti takut di samperin sama Kak
Keenan kan?” tanya Khalis kepada Arissa.
“Iya untung dia tadi cuman manggil nama ku doang, lagian aku cuman nggak mau
jadi bahan tontonan orang banyak,” kata Arissa dengan nada kesalnya.
“Eh iya, aku denger-denger Kak Keenan deketikan kamu ya? beruntung banget
sih kamu Sa, Kak Keenan tuh udah baik, pinter, ganteng, anak basket lagi, kurang apalagi
coba dia?” kata khalis sambil menggoda Arissa. Yang di goda bukannya tergoda malah
memutar bola matanya malas.
“Beruntung apanya? Sial iya kali Lis,” kata Arissa dengan malas.
Arissa untuk Marissa | 48
“Sial kenapa sih? Dihujat sama fansnya?” tanya Khalis dengan menatap Arissa.
“Ya gitu lah, iya sih Kak Keenan emang ganteng, baik, tapi aku nggak suka sama
dia, kalau kamu suka sok atuh buat kamu aja,” kata Arissa sambil tersenyum jail ke arah
Khalis. Khalis yang mendengar itu tiba-tiba pipinya berubah merah seperti tomat.
“Ah kamu ada ada aja,” kata Khalis gadis berhijab itu dengan malu-malu.
“hahaha tuh kan kamu suka Kak Keenan yah? Ciee ciee Khalish” seketika tawa
Arissa meledak, Khalis yang melihat itu pun tersenyum Bahagia karena bisa melihat
Arissa mengeluarkan ekspresi lain dan bukan wajah datarnya itu.
“Teruslah tersenyum Arissa, meski banyak cobaan yang kau hadapi, cobaan yang
sangat berat akan terasa ringan jika kamu menghadapinya dengan selalu tersenyum
karena lewat senyuman artinya kamu bersyukur kepada Tuhan. aku lebih suka kamu
tersenyum dari pada ekspresi datarmu itu, kamu terlihat lebih cantik kalau tersenyum,”
kata Khalis dengan senyum mengembang menatap Arissa.
Arissa yang mendengar itu hanya mampu tersenyum. Tak lama kemudian ada
mobil hitam yang berhenti didepan mereka. “Ah itu mobil Ayah ku, kamu mau pulang
bareng ga?” tanya khalis menatap Arissa dari samping.
“Enggak, aku pulang sendiri aja,” balas Arissa, Khalis yang mendengar itu hanya
menganggukkan kepala dan berkata “Assalamualaikum,” lalu ia melangkah memasuki
mobil hitam itu.
“Terima kasih Khalis atas nasehatmu, Waalaikumsalam,” kata Arissa saat Khalis
hampir memasuki mobil. Khalis yang mendengar itu pun tersenyum dan mulai
memasuki mobil lalu meninggalkan sekolah.
“Angkotnya mana yah? Masa’ nggak ada yang lewat dari tadi?” gumam Arissa
dengan nada kesalnya karena tak ada satu pun angkot yang lewat.
Jam yang melingkari tangan Arissa menunjukkan pukul 16.25 yang artinya sudah
hampir setengah jam ia berdiri di halte depan sekolah menunggu angkutan umum tapi
tak ada yang lewat satu pun. Tiba-tiba ada motor N-MAX hitam berhenti di depan Arissa,
“Belum pulang?mau bareng nggak?” kata pengemudi itu sambil melepas helm yang ia
kenakan.
“Enggak,” tolak Arissa dengan nada ketusnya saat mengetahui siapa pengendara
N-MAX hitam itu.
Arissa untuk Marissa | 49
“Nih yah, aku bilangin biasanya kalau udah sore gini tuh Angkutan umum jarang
ada yang lewat, apalagi kalau hari ini semua sopirnya lagi pada ngopi di pangkalan kalau
nggak percaya coba aja cek di pangkalan,” cerocos Keenan dengan seenaknya. “Jadi
mumpung aku lagi baik aku tawarin sekali lagi, mau bareng nggak?” lanjut Keenan yang
tetep keukeh memaksa Arissa agar pulang bareng bersamanya.
“Enggak dan enggak,” tolak Arissa dengan keukeh.
“Yaudah deh nggak maksa aku mah, kalau gitu aku pulang dulu, ati-ati ya disini
banyak setannya,” kata Keenan memperingati Arissa sambil memakai helmnya kembali.
Seketika fikiran Arissa melayang membayangkan hal tersebut “bagaimana kalau
angkotnya bener ga ada yang lewat? Terus tiba-tiba ada setan yang muncul? Mati kau
Arissa,” batin Arissa sambil menggelengkan kepalanya.
Tiba tiba ia tersadar saat mendengar Keenan menghidupkan mesin motornya.
“Eh kak aku bareng deh ya,” kata Arissa dengan berat hati.
“Nah gitu dong dari tadi, ayo naik keburu malem nih,” kata Keenan sambil
menyuruh Arissa naik ke atas motornya. Arissa pun segera naik dan memberi tahu
Keenan alamat rumahnya.
Cukup 20 menit Arissa sampai di depan rumahnya, “Nah sampai juga,” kata
Keenan saat mereka berhenti tepat di depan rumah Arissa . “Makasih kak,” kata Arissa
saat ia sudah turun dari motor Keenan.
“Sama-sama, yaudah kalau gitu kakak duluan ya, udah mau magrib nih,” pamit
Keenan sambil menghidupkan mesin motornya.
“Eh eh tunggu dulu ada yang lupa,” lanjut Keenan saat ia merasa ada yang lupa.
Arissa yang tadi sudah berbalik mau melangkah ke pintu gerbang pun tidak jadi karena
teriakan Keenan.
“Apa?” tanya Arissa heran sambil mengangkat kedua alisnya ke atas, saat dirinya
sampai di tempat semula di samping Keenan.
Tiba-tiba tangan Keenan terulur untuk mengelus rambut Arissa sambil
mengucapkan “Selamat malam Arissa, kakak pulang dulu yah, Assalamualaikm,” setelah
mengucapkan itu Keenan langsung pergi.
Arissa untuk Marissa | 50
Arissa yang mendapatkan perlakuan seperti itu secara tiba-tiba hanya bisa diam
mematung sambil menatap kepergiaan Keenan “Waalaikumsalam,” katanya saat sadar
sambil tersenyum lalu berbalik melangkah menuju rumah.
***
“Assalamualaikum,” kata Arissa saat Memasuki rumahnya, tak ada yang
menjawab hanya ada keheningan, mungkin Ayahnya belum pulang lalu Bunda dan
Marissa pergi.
Ia melangkahkan kakinya menuju tangga lalu segera masuk ke kamarnya,
sesampainya di kamar Arissa langsung masuk ke kamar mandi, 15 menit kemudian
Arissa sudah keluar kamar mandi, ia terlihat lebih segar sekarang.
Allahuakbar…
Allahuakbar…
“Alhamdulillah sudah adzan,” kata Arissa ketika ia mendengar suara adzan, ia pun
buru-buru melakukan sholat.
“ Assalamualaikum warahmatullah..”
“Assalamualaikum warahmatullah..”
Setelah selesai sholat, ia menikmati pemandangan lewat balkon kamarnya, entah
kenapa tiba-tiba ia memikirkan kakak kelas barunya itu, ia merasa tak asing dengan
wajahnya, apalagi saat Keenan mengelus pucuk rambutnya tadi ia merasakan sesuatu
yang berbeda bukan ini bukan cinta tapi lebih seperti apa yang hilang darinya dulu telah
kembali, dan saat ia bersama Keenan ia merasa Keenan mengingatkannya pada
seseorang.

“ nggak semua bahagia yang kita lihat pada orang lain nyata dalam hidupnya.”

Arissa untuk Marissa | 51

Terpilih

Pagi ini mentari bersinar dengan senyum merekah, Arissa yang berangkat sekolah
di antar sopir rumahnya turun saat jam yang melingkari tangannya menunjukkan jam
06.30. Cukup pagi baginya untuk datang ke sekolahan, dengan sedikit berlari kecil Arissa
menghampiri Mira yang menunggunya di pos satpam.
Mereka berdua menyusuri koridor sekolahan yang masih sepi dengan
berbincang-bincang kecil. Saat mereka sudah tiba di kelas, mereka berdua melihat Nesa
yang melamun padahal hari masih pagi, seketika ide jahil Arissa dan Mira muncul di
kepala untuk mengagetkannya.
“Heiiii!!” menggebrak meja, mereka berdua berhasil mengageti Nesa.
“Astaghfirullah,” kata Nesa sambil mengurut dadanya.
“Ih Nesa pagi-pagi udah ngelamun aja,” kata Arissa.
“Tau tuh, entar kesambet nggak ada yang nolongin baru tahu rasa,” tambah Mira.
“Ihhh ya jangan gitu dong, masa’ sam temen sendiri ngasih do’a yang jelek-jelek,”
keluh Nesa.
“Mangkanya jangan ngelamun, lagian kamu mikirin apa sih Nes?” tanya Mira
penasaran.
“Hmmmm… aku Cuma nggak paham sama fansnya Kak Keenan, kenapa mereka
selalu ngehujat Arissa, padahal kan Arissa nggak salah,” jawab Nesa.
“Udahlah biarin Nes, aku yang dihujat biasa aja kok,” kata Arissa dengan nada
lembut.
“Tapi tuh kita perhatian sama kamu, kita nggak mau kalau kamu kenapa-napa
gara-gara fansnya Kak Keenan,” Mira menyahut dengan nada sewot sambil meletakkan
tasnya.
“Udah nggak papa, tenang aja, hati aku kan buatan Allah yang nggak bakalan
rusak, beda lagi ceritanya kalau buatan ‘made in china’ mungkin udah rusak dari dulu,”
kata Arissa dengan sedikit candaan agar bisa meredam amarah kedua sahabatnya.
“Yakin nih?” tanya Nesa memastikan.
Arissa untuk Marissa | 52
“Iya aku yakin kok, kalau ada apa-apa sama kamu pasti kalian tahu,” kata Arissa
sambil menganggukkan kepalanya.
Menyelesaikan ucapannya, Arissa membuka buku yang akan di pelajari. Tapi,
sudah beberapa menit guru jam pertama mereka belum juga datang, padahal bel sudah
berbunyi. Seisi kelas yang tadinya rapi seketika berubah riuh saat melihat tanda-tanda
jam kosong. Dhava selaku ketua kelas langsung menghentikan kekacauan itu dengan
sebuah pengumuman.
“Assalamualaikum warahamatullahi wabarakatuh,” seketika kelas yang tadinya
riuh gak jelas menjadi sunyi dan hanya terdengar jawaban salam Dhava.
“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab seisi kelas.
“Tadi saya dapat pengumuman dari ketua Osis kita, Kak Muhammad Aqya
meminta kita untuk berbaris di lapangan guna mendengarkan sebuah pengumuman
tentang event yang akan di adakan sekolahan ini. Barisan kelas nanti seperti biasanya,
satu banjar, laki-laki di depan dan perempuan di belakang. Paham?” kata Dhava yang di
akhiri pertanyaan.
“Paham,” sekali lagi jawab seisi kelas dengan serentak.
“Oh iya sebelum saya mengakhiri pengumuman ini, apaka ada pertanyaan?”
Tanya Dhava.
Dio dengan semangat mengangkat tangan kanannya dan berkata penuh
semangat, “Ada event apa nih?”
“Eventnya tentang bulan Bahasa,” jawab Dhava.
“Kapan? Dimana? Siapa bintang tamunya? Bisa pulang pagi nggak? Bisa tidur
nggak?” sekarang Ramdhani yang bertanya, membuat seisi kelas menoleh ke arahnya.
Dhava menggelengkan kepalanya mendengar pertanyaan salah satu anggota
kelasnya itu, “Untuk waktunya belum diketahui kapan pastinya, karena nanti yang
mengumumkannya adalah Kak Aqya. Sekolahan akan menyewa gedung untuk event ini,
tamunya nanti dari luar negeri yang namanya masih dirahasiakan pihak Osis, lalu
dua pertanyaan terakhir jawabannya adalah tidak,”
“Nggak seru kalau nggak bisa pulang pagi sama tiduran,” keluh Ramdhani.
“Iya nih, bolos boleh nggak?” Ferdian yang duduk di samping Dio pun ikut-ikutan.
Arissa untuk Marissa | 53
“Boleh kok, kata siapa nggak boleh. Nanti saya tinggal minta Fatin nulis ‘A’
didaftar hadir khusus Ferdian, Bayu, Dio, sama Ramdhani,” saat mengatakan itu, wibawa
seorang pemimpin menguar dari tubuh seorang Dhava.
“Dhav jangan berbuat sesuka udelmu, aku kan gak ikut-ikut kok didaftarin ‘A’ sih,”
protes Bayu dengan logat jawanya yang membuat seisi kelas tertawa.
“Hahahahahaha…”
“Bukannya nggak ikut-ikutan tapi belum ikut-ikutan, jadi saya sebagai ketua kelas
hanya bisa mengikuti pepatah sedia payung sebelum hujan. Sekarang kalian semua bisa
berbaris rapi dilapangan setelah saya mengucapkan salam. Wassalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh,” tutup Dhava.
“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,”
***
Semua kelas sudah berbaris rapi di lapangan sekolah, sinar mentari yang cerah
membuat semua murid berebut dibagian belakang, berniat mendapatkan teduhan dari
pohon yang ada disekitar lingkungan mereka. Tapi, itu hanyalah khayalan mereka saja,
karena nyatanya anggota Osis bagian ketertiban mengusir mereka.
Gerutuan yang lebih mirip disebut suara kawanan lebah seketika hilang, saat
seorang pemuda dengan hidung bangir berdiri tegap didepan mikrofon, menghadap
hamparan lapangan yang sudah sesak diisi dengan semua siswa-siswi yang ada di
sekolahan.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, dan selamat pagi semua,” kata
ketua Osis.
“Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab semua murid yang
muslim.
Sedangkan murid yang beragama non-muslim menjawabnya dengan ucapan,
“Selamat pagi juga,”
“Demi mempercepat waktu, saya Muhammad Aqya selaku ketua Osis sekolahan
ini mewakili guru-guru kami yang sedang rapat diluar sekolahan akan mengumumkan
beberapa hal mengenai event bulan bahasa yang akan datang.

Arissa untuk Marissa | 54


Pertama, hari ini kalian bisa pulang lebih pagi setelah pengumuman ini berakhir.
Kedua, event bulan bahasa ini akan diadakan di gedung milik kepala sekolah,
diselenggarakan pada tanggal 09 September 2017.
Ketiga, event ini akan dihadiri dari penyair muda terkenal. Mau tahu gak?” Aqya
dengan sengaja bertanya untuk melihat keantusiasan teman-temannya.
“Mauuuu….” Murid perempuan sangat tertarik, sedangkan murid laki-laki hanya
menjawab biasa saja.
“Ok, yang kami undang untuk event ini dari negara Kincir Angin, anak pindahan
yang sekarang menduduki kelas XII IPS 1, Keenan Alexander Vincent. Silahkan, saudara
Keenan bisa maju ke depan.” Keenan maju ke depan dan disambut teriakan-teriakan
manja dari para gadis, kecuali Arissa yang sedang sibuk dengan tali sepatunya.
“Saya mewakili pihak sekolahan akan memberikan hak kepada Keenan untuk
memilih pasangan sendiri pada saat event bulan bahasa, silahkan,” setelah mengatakan
itu mikrofon yang tadinya dipegang Aqya sekarang berpindah tangan ke Keenan.
“Terimakasih atas kepercayaan pihak sekolah kepada saya, saya tidak akan
menyia-nyiakannya. Saya disini akan memilih seorang gadis dari barisan kelas X MIPA 1
memakai jepit rambut warna putih dengan gaya rambut kuncir kuda, yakni….” belum
juga Keenan menyelesaikan perkataannya, semua mata sudah melihat ke arah Arissa.
Sedangkan, Arissa yang telah menyelesaikan urusan tali sepatu dibuat
kebingungan melihat semua orang ke arahnya seperti mengulitinya hidup-hidup, “Nes
ini kenapa sih kok semuanya ngelihatin aku kayak gitu?” tanyanya pada Nesa yang
berbaris didepannya.
“Kak Keenan tadi nyebutin ciri-ciri orang yang akan mendampinginya saat event
bulan bahasa nanti, dan ciri-cirinya itu mirip sama kamu. Semoga aja bukan kamu, aku
takut kalau kamu yang dipilih makin banyak yang ngehujat kamu,” jelas Nesa dengan
nada khawatir.
“Semoga aja gitu,” Arissa juga berharap hal itu terjadi, yang dipilih bukan dirinya
tapi orang lain.
Arissa untuk Marissa | 55
Tapi itu hanya khayalannya, karena setelah itu Keenan menyebut namanya,
“Arissa Fredelina,” sebut Keenan membuat para gadis yang menunggu namanya disebut
hanya bisa mendesah kecewa.
“Itu saja yang ingin saya bicarakan. So, saya piliih Arissa yang mendampingi saya,
selebihnya saya kembalikan lagi ke Aqya selaku ketua Osis,” kata Keenan mengakhiri.
“Baiklah, semuanya sudah jelas, saya harap teman-teman saya tidak langsung
pulang. Karena, nanti ketua kelas masing-masing akan membagikan selembaran
undangan untuk wali murid yang menghadiri acara tersebut. Setiap anak memiliki satu
kuota untuk mengajak salah satu orang tua atau kerabat, sekian dari saya selaku ketua
Osis mewakili pihak sekolah jika ada salah tutur kata atau gerak-gerik mohon maaf yang
sbesar-besarnya. Wassalamualaikum dan selamat pagi,” tutup Aqya, setelah semua
murid menjawab salamnya, semuanya berhamburan ke kelas masing-masing.
“Waalaikumussalam,”
“Selamat pagi juga,”
***
Arissa, Nesa, dan Mira kini sedang duduk menunggu jemputan di halte dekat
sekolah. Mereka sesekali tertawa dengan lelucon yang dibuat Mira, “Eh Nes kemarin
kan aku sama Mama jalan-jalan nih, terus ada operasi dadakan dari pihak polisi, nah
mobil Mamaku tuh diberhentiin polisi itu. Tiba-tiba saat polisi itu ngasih kertas ke aku,
hati aku jadi deg-degan, apa itu yah yang disebut jatuh cinta?” Tanya Mira dengan wajah
polos.
“Nggak begitu Mira, itu namanya sih kamu ketakutan ditilang polisi,” jawab Nesa
greget dengan tingkah salah satu sahabatnya ini.
“Hahahahaha…” tawa renyah Arissa mengalun merdu saat melihat itu.
“Cantik,” kata seorang laki-laki yang duduk diatas motornya yang melihat ke arah
Arissa.
“Kak Keenan kenapa di sini?” tanya Mira penasaran.
“Mau minta nomernya Arissa,” katanya sambil melirik ke arah Arissa.
“Gue nggak mau kasih,” kata Arissa cepat.
“Ayo dong, kan ini buat event bulan bahasa loh masa’ nggak dikasih,” katanya
dengan getir.
“Kalau gue bilang nggak mau, ya nggak mau, gak usah maksa deh,” kata Arissa
dengan kesal.
Arissa untuk Marissa | 56
Mendapat respon begitu membuat Keenan tak putus asa, sekarang dia
menghadap ke arah Mira dan Nesa, dengan wajah memelas dia meminta bantuan
mereka, “Nesa dan Mira yang baik hati boleh minta bantuannya buat ngebujuk Arissa
ngasih nomer WhatsApp-nya dong,”
“Kasih aja kali Ris, siapa tahu nanti kamu butuhin sesuatu dari Kak Keenan,” bujuk
Mira.
“Iya nis, kan kedepannya kamu nggak tahu apa yang bakal terjadi,” Nesa ikut-
ikutan membujuk Arissa.
“Yang bener tuh dia yang butuh gue, bukan gue yang butuh dia. Kalau kalian mau
ngasih nomer ya kasih aja, gue mah nggak mau ngasih,” kata Arissa yang disalah artikan
oleh Nesa. Pikir Nesa si Arissa mau memberikan nomernya tapi melalui kedua temannya
bukan dari dirinya langsung, padahal bukan begitu.
“Arissa udah setuju ngasih nomernya Kak, tapi ada satu syarat kalau minta nomer
Arissa dari aku,” mendengar itu Arissa langsung melotot ke arah Nesa, tapi Nesa tak
peduli.
“Yaelah tega banget sama senior lo,” kata Keenan.
“Hahahahaha, jadinya mau nggak Kak? Kalau nggak mau yah nggak papa, aku
nggak bakal bangkrut kok,” kata Nesa yang diawali tawa.
“Haduh ribet banget sih, tinggal ngasih nomer aja pakek syarat, terpaksa dah gue.
Yaudah apa syaratnya?” tanya Keenan dengan nada enggan.
Senyum kemenangan tercetak diwajah Nesa lalu menular ke wajah Mira, “Beliin
kita bertiga minuman Brown Sugar Boba selama semingu, gimana?” Goda Nesa dengan
menaik turunkan salah satu alisnya.
“Oh Good, yang bener aja kalian,” kata Keenan dengan wajah tak percaya.
“Kita mah bukan tukang bullshit Kak,” kata Mira dan Nesa barenga, sedangkan
Arissa mulai menikmati drama itu.
“Iya iya terserah lo dah, sekarang mana nomernya Arissa?” tagih Keenan.
“Nah gitu dong, nih nomernya Arissa,” kata Nesa sambil menyodorkan Hp-nya ke
arah Keenan, melihat itu Keenan langsung menyalin nomer Arissa ke Hp-nya.
Arissa untuk Marissa | 57
“Gini dong dari tadi, yaudah gue pulang dulu ya Nes, Mir. Arissa aku pulang yah,
hati-hati,” kata Keenan, tapi sebelum mengendarai motornya pergi, Keenan mengacak
poni Arissa, membuat Arissa cemberut.
“Dasar senior tukang rusuh,” umpat Arissa yang tak digubris Keenan.
“Yaudahlah Ris, biarin aja Kak Keenan juga udah terlanjur pergi dengan nomer
kamu,” kata Mira menenangkan Arissa.
“Kalau aja kalian nggak ngasih nomernya nggak bakalan aku kesel,” protes Arissa.
“Yeeee nanti kalau bobanya udah ada kamu gak bakal kesel lagi,” kata Nesa.
“Hehehehe iya juga sih,” setelahnya Arissa meringis saat mendapat sebuah
jitakan dari Nesa, “Ishhhh sakit banget nih,”
“Yaudah maafin Nesa, sekarang kalian nggak mau nonton bisokop gitu, katanya
sih lagi ada film horror terbaru yang bagus,” Nesa mengubah topik pembicaraan yang
membuat Mira dan Arissa menoleh ke arahnya.
“Yang bener aja, aku ikut dong nonton,” kata Arissa dengan semangat, meski
Arissa penakut tapi Arissa masih suka sekali menonton film horror, katanya ada sensasi
tersendiri yang bikin nagih, yaitu ketakutan.
“Kapan nih nontonnya?” tanya Mira.
“Nanti aja gimana, tapi waktunya dibahas lewat chat aja, soalnya jemputan aku
udah ada tuh,” tunjuknya menggunakan dagu ke arah mobil Ayla merah.
“Yaudah pulang aja, hati-hati yah,” pesan Arissa yang diangguki oleh Nesa.
“Hati-hati Nesa,” kata Mira sambil melambaikan tangan ke arah mobil yang
berjalan.
“Ris aku juga pulang dulu, itu udah nungguin,” tunjuknya searah dengan perginya
mobil Nesa.
“Yaudah hati-hati Mir,” pesan Arissa.
“Iya Ris, kamu juga hati-hati di sini yah,” kata Mira sebelum menutup pintu
mobil.
Arissa untuk Marissa | 58
Setelah beberapa menit Mira pergi, mobil jemputan Arissa pun datang. Saat
memasuki mobil dia tak percaya yang menjemputnya adalah sang Bunda sendiri bukan
sopir rumahnya.
“Kok Bunda yang jemput Arissa, mana Mang Asep Bun?” tanya Arissa seteleh
duduk disamping Bundanya yang menyetir.
“Mang Asep lagi service mobil satunya, lagin juga Bunda habis dari sini jemput
Kakakmu, tapi Kakakmu sekarang lagi main ke rumah temennya,” kata sang Bunda
sambil fokus menyetir.
“Oh gitu, ini mah ada undangan dari pihak sekolah,” kata Arissa sambil
menyodorkan undangan yang tadi diberikan Dhava sebelum pulang.
“Undangan ke event bulan bahasa yah?” tanya Bunda Karina.
“Iya Bun, Bunda bisa dateng nggak?”
“Maaf, Bunda nggak bisa dateng mewakili kamu, tapi Bunda dateng kok ke acara
itu sama Kak Marissa. Kamu minta tolong aja sama Mbok Sri sebagai formalitas, soalnya
Ayah juga nggak bisa dateng ke acara itu, katanya ada rapat di Bali,” kata sang Bunda
memberi penjelasan.
Sebenarnya Arissa kecewa mendengarkan itu, tapi bagaimana lagi, dia hanya bisa
menghembuskan napas dengan kecewa, “Iya nggak papa kok Bun, nanti kan juga Bunda
dateng. Oh iya Bun, Arissa juga mau izin pergi main sama Mira dan Nesa nonton ke
bioskop hari ini, boleh nggak?”
“Sama Mira dan Nesa beneran, kan?” tanya Bunda Karina memastikan.
“Iya kok Bun, sama Mira dan Nesa,”
“Yaudah Bunda kasih izin, tapi pulangnya jangan kemaleman,” pesan sang Bunda.
“Ok Bunda,” setelah itu tidak ada lagi percakapan, hanya keheningan yang ada di
dalam mobil itu. Arissa dengan Hp-nya, sedangkan sang Bunda fokus menyetir sampai
mereka kembali ke rumah.
“nggak semua bahagia yang kita lihat pada orang lain itu nyata.”
Arissa untuk Marissa | 59

Terbongkar

Setelah tadi melaksanakan shalat dhuhur dan mandi, Arissa sekarang sudah rapi
dengan gaya casual. Memakai t-shirt berwarna peach yang dipadukan dengan celana
jeans putih, dengan sneakers yang sama dengan warna celananya, dan tak lupa jaket
bomber motif bunga-bunga. Turun dari lantai atas dia menemukan sang Bunda di ruang
makan yang sedang memakan makan siangnya, sang Bunda yang melihat Arissa turun
langsung memanggilnya untuk makan siang sebentar sebelum berangkat,
“Arissa berangkat sekarang, nak?” tanya Bunda Karina setelah menelan
makanannya.
Arissa yang tadinya ingin langsung berangkat berhenti sebentar untuk menjawab
pertanyaan sang Bunda, “Iya Bun, soalnya Mira sama Nesa udah OTW,”
“Sini sebentar, makan dulu baru berangkat. Nanti kalau keseringan makan diluar
nggak baik, banyak MSGnya,” Bunda Karina menunjuk kursi yang kosong didepannya.
“Yaudah nanti Arissa beli roti aja Bun,” keukeh Arissa yang masih sedikit
canggung saat berada didekatnya.
Bunda Karina langsung saja mengambil piring yang masih bersih, mengambil nasi
dan lauk pauknya, lalu meletakkannya di depan kursi kosong yang ada di depannya,
“Udah makan dulu, Mira sama Nesa pasti nggak bakal marah sama kamu, nanti
kalaupun marah bilang aja Bunda yang nyuruh kamu makan dulu,”
Melihat Arissa yang masih bergeming, Bunda Karina menatap kursi didepannya
lalu menatap Arissa seakan-akan menyuruhnya duduk di kursi itu, “Yaudah Arissa makan
dulu baru berangkat,” kata Arissa setengah terpaksa, setengah senang. Terpaksa
menyuruh Mira dan Nesa menunggunya, senang karena dia dan Bundanya bisa duduk
satu meja tanpa orang lain.
Duduk di depan Bundanya, Arissa langsung memakan makanannya, sesekali
melihat ke arah Bundanya dengan tatapan tak percaya. Beberapa menit kemudian sang
Bunda sudah menyelesaikan acara makannya, tapi belum juga beranjak dari tempat
duduknya, sang Bunda malah mengupas buah apel yang ada di meja sambil
Arissa untuk Marissa | 60
memperhatikan Arissa yang sedang makan. Arissa yang ditatap sedemikian rupa
membuatnya sedikit berhati-hati saat memakan makannya. Seolah-olah jika ada sedikit
kesalahan saat ia makan, maka akan ada hukuman yang setia menantinya.
“Udah nggak usah canggung gitu makan sama Bunda, ini salah Bunda yang
membuat kamu jadi seperti ini, dan juga salah Bunda yang masih sempat-sempatnya
nyalahin kamu padahal semuanya adalah takdir yang harus diterima setiap orang,”
Bunda Karina mulai membuka pembicaraan.
“Uhukk.. uhuk..,” Arissa yang mendengar perkataan sang Bunda langsung saja
tersedak, ia tak menyangka jika sang Bunda akan mengatakan hal itu.
Bunda Karina yang melihat Arissa tersedak langsung sigap menuangkan air putih
yang ada di teko ke dalam gelas yang kosong, lalu menyerahkannya ke Arissa, “Ini,
minum dulu, hati-hati kalau makan itu kan nantinya nggak sampek ada kejadian kamu
keselek kayak gini,” omel sang Bunda.
Kan kalau Bunda gak tiba-tiba ngomong gitu ke Arissa saat makan, Arissa juga
nggak bakalan keselek Bun, gerutu Arissa dalam hati.
“Hehehehe iya Bun,” dan itu adalah kata yang keluar dari mulutnya, ia tak berani
merusak hari bahagianya sendiri.
Sang Bunda kembali duduk ke tempatnya dan melanjutkan pembicarannya,
“Bunda ingin kita menjadi Ibu dan anak seperti pada umumnya, Bunda ingin Arissa
maafin semua kesalahan Bunda,” kata sang Bunda sambil menatap dalam-dalam kea rah
mata Arissa yang juga menatapnya.
Arissa melihat kesungguhan dalam mata Bundanya, sungguh benar jika ada orang
yang berkata bahwa ‘Setiap hati manusia berada digenggaman Allah, dan Allah akan
mudah sekali untuk membolak-balikkan hati manusia.’
“Arissa udah maafin Bunda dari dulu kok, Arissa juga ingin Bunda maafin semua
kesalahan Arissa selama ini,” kata Arissa sungguh-sungguh.
“Berarti kita baikan?” sang Bunda menunjukkan jari kelingking kanannya ke arah
Arissa yang langsung disambut kelingking kanan Arissa.
“Baikan,” seru Arissa semangat. Lalu, detik berikutnya mereka berdua tertawa
bersamaan karena kelakuan mereka seperti anak kecil,
“Hahahahaha…”
Arissa untuk Marissa | 61
“Kamu nggak jadi pergi sama Nesa dan Mira?” tanya sang Bunda setelah
menormalkan tawanya.
Menepuk jidatnya, Arissa langsung menengadahkan tangannya ke arah sang
Bunda, “Oh iya Bun, yaudah Arissa mau pamit berangkat dulu,”
“Mau minta uang jajan sama Bunda?” tanya sang Bunda yang masih bingung.
“Nggak papa kok Bun, Arissa malah seneng kalau ditambahi uang jajan. Arissa tuh
sebenarnya mau pamitan ke Bunda bukan minta uang jajan,” jelas Arissa.
Bunda Karina langsung mengambil dompetnya dan memberikan uang seratus
ribu sebanyak tiga lembar, meletakkannya di telapak tangan Arissa, “Nih Bunda kasih,
tapi jangan semua dihabisin, sisanya ditabung loh ya,”
“Siap Bun, tenang aja kalau itu mah. Yaudah Arissa berangkat dulu,
assalamualaikum Bunda,” pamit Arissa.
“Waalaikumussalam,” jawab sang Bunda sambil membereskan peralatan
makannya tadi dibantu Mbak Asih.
***
Dengan senyumnya yang cerah Arissa menutup pintunya dan hedak memanggil
Mang Asep yang sedang mencuci mobil di halaman rumahnya, memintanya untuk
mengantarkan dirinya ke salah satu mall ternama. Tapi itu dia urungkan saat seorang
lelaki tampan duduk manis di atas motor hitamnya, melepaskan helmnya dan
melambaikan tangan ke arahnnya,
“Hai Arissa manis,” katanya dengan senyum lebar.
“Ngapain lo ke sini? Oh iya darimana lo tahu alamat gue?” tanya Arissa sinis.
“Ya mau ngajak main sekalian belajar buat event, Arissa nggak tahu yah kalau
seorang Keenan bisa melakukan apapun dengan sekali kedip,” nada sombong Keenan
terdengar dengan jelas.
“Gue nggak percaya sama lo, mending pergi sana deh gue mau keluar,” Arissa
menggerakkan satu tangannya sebagai isyarat mengusir Keenan.
“Nggak bisa gitu dong Arissa, kamu nggak kasian sama Aku, gitu?” tanya Keenan
dengan wajah berharap.
Arissa untuk Marissa | 62
“Nggak, nggak dan enggak,” kata Arissa penuh dengan penekanan.
“Mang Asep tolong panasin mobil yang saya pakek keluar biasanya, dan juga
tolong anter saya ke suatu tempat sekarang juga,” perintah Arissa.
“Siap non,” Mang Asep langsung mengeluarkan mobilnya.
“Udah dengerkan gue mau pergi, jadi tolong tuan Keenan Alexander Vincent
untuk pergi dari pelataran rumah saya. Kalau anda tidak ingin pergi mungkin saya akan
menyuruh sopir saya untuk menabrak anda,” Arissa menyilangkan kedua tangannya di
depan dada.
“Hahahaha Arissa, aku nggak bakal pergi dari sini kalau kamu nggak mau pergi
bareng aku, lagian juga ini nanti bakal buat event di sekolahan kita. Dan, yah, aku nggak
yakin kalau seorang Arissa Fredelina yang mau bunuh semut aja nggak berani, malah
mau nabrak aku,” keukeh Keenan.
“Heii---
Sebelum Arissa melanjutkan ucapannya, sebuah panggilan mengharuskannya
menngehentikan perdebatan unfaedah bersama Keenan.
“Lo diem dulu, jangan buat rusuh,” kata Arissa menunjuk tepat di muka Keenan,
sedangkan Keenan membuat Gerakan tutup mulut.
Nesa calling…
“Assalamualaikum Nes,”
“…”
“Kenapa telfon aku?”
“…”
“Oh iya, iya sebentar Nes, ini juga mau OTW,”
“…”
“Iya lima belas menit lagi aku dateng, sekarang mending kamu beli tiketnya dulu,
nanti aku bayar,”
“…”
“Iya, waalaikumussalam,”
Arissa untuk Marissa | 63
Memutus panggilannya, Arissa ragu-ragu melihat ke arah Keenan. Kalau dia
belum pergi juga, Arissa yakin sampai bulan ke-13 muncul perdebatannya belum selesai.
“Gue mau buat penawaran sama lo Kak Keenan, mau gak?” tanya Arissa.
“Kalau penawaran itu menguntungkan aku, why not?” Keenan menaik turunkan
alisnya menggoda Arissa.
“Ok, gue mau pergi sama lo asalkan lo mau nganterin gue ke mall buat ketemuan
sama Mira dan Nesa dalam waktu lima belas menit, dan lo juga harus izin ke Bunda gue
kalau lo mau ngajak gue pergi, kalau Bunda gue setuju aku bakal pergi sama lo.
Gimana?”
“Let’s go, gue setuju,” Keenan turun dari atas motornya langsung menggandeng
tangan Arissa masuk ke dalam rumah.
“Eh.. eh.. eh.. ini mau kemana nih?” tanya Arissa sambil menarik tangannya dari
Keenan, berusaha menghentikan.
“Ya mau izin sama Bunda kamu lah Arissa, aku juga kangen sama Bunda,” kata
Keenan.
“Kangen? Emang lo pernah ketemu sama Bunda gue, gak kan? Sok-sokan bilang
kangen cuih,” cibir Arissa.
Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, Keenan berusaha bicara meski dirinya
gugup melihat tatapan menyelidik Arissa, “Gak pernah sih, tapi aku kangen gimana
wajah Bunda dari seorang Arissa yang ribet dan cantik, tapi cantiknya bohongan,”
Mendengar itu Arissa langsung melotot ke arah Keenan, “Enak aja bilang gue
jelek, meski gue gak cantik tapi gue juga gak jelek-jelek amat,”
“Iya, iya Arissa cantik kok meski gak cantik-cantik amat, sekarang tuan puteri
Arissa mau dianterin kemana dulu sama pangeran Keenan yang ganteng ini,” kata
Keenan dengan lebay membuat Arissa seketika ingin muntah, dan Mang Asep yang
sedari tadi hanya mendengarkan pembicaraan nonanya dengan seorang cowok
berusaha menahan tawa.

Arissa untuk Marissa | 64


“Gak usah lebay gitu, sekarang gue ingin lo anterin gue ke mall. Nanti lo gak boleh
ikut girls time gue sama Mira dan Nesa, entah lo mau kemana yang penting saat gue
ingin pulang lo harus siap sedia, nah saat gue mandi dan siap-siap mau pergi lagi sama
lo, itu adalah waktunya lo buat minta izin sama Bunda gue,” menyelesaikan ucapannya
sebuah helm telah terpasang rapi di kepalanya, siapa lagi pelakunya kalau bukan
Keenan.
“Nah udah kepasang, ayo pergi jangan ngomel mulu, nanti tambah cantik,”
gombal Keenan.
“Yeee… dasar tuan gombal,” Arissa refleks mencubit perut Keenan, membuat
Keenan berpura-pura mengaduh kesakitan.
“Aduh sakit banget ini Rissa, beneran deh tangan kamu nakal banget,” kata
Keenan sambil naik ke atas motornya.
“Gak usah pura-pura kesakitan deh Kak Keenan, gak lucu,” sinis Arissa.
“Mang Asep maaf yah Arissa gak jadi minta bantuan Mang Asep, selagi Arissa
punya tukang ojek gratis ngapain dianggurin, jadi Mang Asep tolong masukin mobil itu
lagi,” kata Arissa sambil melirik ke arah Keenan saat menyebutkan tukang ojek gratis.
“Siap neng,” kata Mang Asep.
“Ya Allah tolong baim, baim ditindas ya Allah,” kata Keenan mendramatisir
keadaan saat Arissa berbalik menghadap ke arahnya.
Arissa langsung naik ke atas motor Keenan dan menepuk bahu Keenan dengan
keras, “Gak usah drama, sekarang anterin gue,”
Menahan ringisan kesakitan, Keenan langsung mengendarai motor
kesayangannya menjauhi pelataran rumah Arissa menuju ke sebuah mall ternama.
***
Banyak pasang mata melihat ke arah Keenan dan Arissa saat memasuki pelataran
mall khusus parkiran sepeda motor, turun dari motor Arissa langsung bergegas pergi
memasuki mall sebelum gendang suaranya menangkap suara Keenan yang membuatnya
berhenti.
“Eh.. Arissa tunggu sebentar,” dengan penuh kekesalan Arissa berbalik dan siap
mendamprat Keenan dengan segala omelannya,
Arissa untuk Marissa | 65
“Apalagi sih Kak Keenan, Arissa lagi ditungguin Mira sama Nesa nih, nanti aja
kalau mau bilang sesuatu, kan nanti Kak Keenan punya waktu banyak,”
“Yaelah bukan gitu Arissa tapi itu.. tapi itunya.. haduh gimana sih bilangnya---
“Itu itu apaan sih Kak, yang jelas deh kalau ngomong, jangan belibet Kak Keenan
tuh laki-laki bukan perempuan yang Sukanya menye-menye,” protes Arissa saat Keenan
belum juga mengungkapkan maksudnya.
“Itu helm kamu masih kepasang di kepala,” tunjuk Keenan ke arah kepala Arissa,
dia pun refleks memegang kepalanya, dan, yah memang benar helm itu masih terpasang
dikepalanya. Keenan dan beberapa orang yang melihat adegan itupun berusaha
menahan tawanya.
Dengan kesal Arissa melepaskan helmnya dan memberikannya kepada Keenan
dengan kasar, “Makasih helmnya,” kata Arissa cepat.
“Sama-sama,”
“Oh iya satu lagi Arissa,” Keenan menghentikan langkah kaki Arissa yang perlahan
bergerak meninggalkannya.
“Apalagi sih Kak Keenan Alexander Vincent?” jika Arissa sudah menyebutkan
nama lengkap Keenan maka kekesalannya sudah di ujung tanduk.
“Cuma mau bilang jangan suka marah-marah nanti cepet tua, eh, tapi kalau
marah kamu juga makin imut. Dan, sejak kapan seorang Arissa memanggil seorang
Keenan dengan sebutan kakak dan nyebut dirinya dengan namanya, biasanya juga lo-
gue,” kata Keenan dengan tak lupa gombalannya.
“Dasar tuan gombal biang rusuh, terserah Arissa dong mau bilang apa, atau Kak
Keenan mau Arissa panggil lo-gue lagi?” tanya Arissa.
Wajah Keenan yang tadinya ceria seketika berubah mendung lagi, “Yah enggak
lah, mending panggil itu tadi deh, aku malah seneng dengernya. Gih, pergi sana masuk
mall katanya ditungguin Nesa sama Mira, kalau udah mau pulang telfon atau chat Kakak
aja, akum au pergi main sama Zhein dan Raden,”
“Ok, siap, Arissa masuk dulu bye kak,” kata Arissa sebelum benar-benar pergi
meninggalkan Keenan sendirian di parkiran dengan senyuman yang membuat kaum
hawa disekitarnya tidak bisa menghentikan menatapnya.
Arissa untuk Marissa | 66
Memasuki mall Arissa langsung pergi ke lantai tiga, berjalan ke arah Mira dan
Nesa yang sudah menunggunya di depan pintu masuk bioskop dengan tiga tiket di
tangan Mira. Melihat Arissa yang keluar dari lift, tangan Mira melambai ke arah Arissa.
“Lama banget sih kamu Arissa, katanya lima belas menit kenyataannya jadi dua
puluh lima menit,” gerutu Mira.
“Ya maaf, tadi tuh ada perusuh, kalau aja perusuh itu gak nahan aku lebih lama
mungkin aku udah sampai tadi,” bela Arissa.
“Siapa? Kak Keenan yah?” kepo Mira.
“Iya, entah gimana tadi dia bisa tahu alamat rumahku, tahu-tahu udah nongol aja
di depan pager rumahku,” keluh Arissa.
“Ya iyalah kan aku sama Nesa yang nyuruh--- ehm.. ehm..,” belum juga Mira
menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba tangan Nesa membungkam mulut rombeng Mira.
“Awas aja kalau kamu sampai bocorin tentang kita yang ngasih alamat Arissa ke
Kak Keenan, dan kita juga yang nyuruh Kak Keenan nganterin Arissa ke sini,” ancam
Nesa dengan berbisik ke telinga Mira agar hanya mereka berdua yang tau apa yang
mereka bicarakan. Mira yang mendengarkan hanya menganggukkan kepalanya sebagai
tanda persetujuan, jikalau ia berkatapun yang terdengar hanyalah suara tidak jelas.
“Kalian kenapa sih gak jelas banget,” kata Arissa curiga melihat kelakuan dua
sahabatnya.
“Ah, enggak itu tadi ada nyamuk yang mau gigit bibirnya Mira, jadi Nesa bunuh
itu nyamuk. Iya kan Mir?” kata Nesa dengan kikuk berusaha mencari alibi yang
meyakinkan.
“Iya Rissa, baik banget kan Nesa sampai mau bunuh nyamuk yang mau gigit bibir
aku,” kata Mira dengan melirik ke arah Nesa yang ada di sampingnya.
“Kirain ada apa, oh iya kamu tadi mau ngomong apa Mir?” tanya Arissa pensaran
dengan lanjutan ucapan Mira.
“Gak ada apa-apa kok,” kilah Mira.
“Yang bener nih?” tanya Arissa curiga.
“Ayo kita masuk, berhentiin perdebatan kalian yang unfaedah ini, filmnya udah
mau dimulai tuh,” kata Nesa mencoba menyelamatkan Mira dari kecurigaan Arissa.
Arissa untuk Marissa | 67
“Iya tuh bener, ayo Ris masuk, filmnya udah mulai,” Mira menarik tangan Arissa
ke dalam bioskop dan memberikan tiga tiket kepada penjaga teater.
***
Setelah keluar dari pintu teater dan puas berkeliling mall yang berakhir di
restoran jepang, kini setelah menyelesaikan membayar bill mereka bertiga keluar dari
restoran dan menunggu jemputan di depan pintu masuk mall. Arissa membuka tasnya
dan ingin memberi kabar kepada Keenan bahwa dia sudah menunggu di depan pintu
masuk mall, tapi ia lupa satu hal bahwa ia tidak memiliki nomer Hp Keenan.
“Ah, sial kenapa juga aku gak punya nomernya Kak Keenan, kalau gini kan gak
bisa ngehubungin minta di jemput dia,” gumam Arissa yang masih bisa di dengar Mira.
“Kenapa Ris? Mau aku telfonin ke Kak Keenan kalau kamu minta dijemput,”
sebenarnya itu adalah alibi Mira, setelah mereka keluar dari restoran jepang hal
pertama yang dia lakukan adalah memberitahu ke Keenan bahwa mereka bertiga akan
pulang.
“Jangan Mir, nanti biar aku minta Mang Asep jemput aku,” tolak Arissa.
“Kalau Kak Keenan ke sini cariin kamu gimana?” tanya Nesa ikut-ikutan.
“Ya biarin aja, nanti juga pasti Kak Keenan cariin aku ke rumah,” kata Arissa.
“Percaya diri banget neng kalau nanti si Aa’ Keenan nyariin ke rumah,” kata Mira
dengan logat sundanya.
“Percaya diri itu yang utama, sisanya nanti aja,” kata Arissa yang mendapat
jitakan Mira, “Aduh Mir, sakit nih,” keluh Arissa.
“Udah jangan ngomong aja, noh udah ditungguin sama pangeran bermobil
putih,” kata Nesa sambil menunjuk ke arah mobil putih yang berhenti di depan mereka
bertiga berdiri.
“Emang ada yah pangeran bermobil putih, perasaan yang ada tuh pangeran
berkuda putih deh Nes,” kata Arissa sambil mengusap kepalanya yang menjadi korban
keganasan tangan Mira.
“Astaghfirullah temanku yang udah bawa banyak piala atas nama sekolah,
pangeran bermobil putih itu Cuma plesetan dari pangeran berkuda putih, kan nggak
mungkin ke mall bawa kuda, yang ada itu cuma mobil sama sepeda motor,” jelas Nesa.
Arissa untuk Marissa | 68
“Oh gitu..” jawab Arisssa setelah mendengarkan penjelasan panjang lebar Nesa.
“Udah gih sana masuk ke mobil itu, udah ditungguin tuh,” kata Nesa sambil
mendorong Arissa ke arah mobil.
“Wait.. wait.. aku tuh belum telfon Mang Asep, lagian mobil Ayah juga bukan ini.
Nanti kalau di dalamnya itu Om-om genit yang mau culik aku gimana,” Arissa berhenti
dan berbalik menghadap Nesa yang tadi mendorongnya.
“Om-om gimana sih Ris, coba lihat deh siapa yang ada di dalamnya,” Arissa pun
menuruti ucapan Mira, betapa terkejutnya dia saat melihat Keenan yang ada di
dalamnya.
“Lah kok Kak Keenan yang ada di dalam, bukannya tadi Kak Keenan bawa sepeda
motor bukan mobil, terus itu kapan ganti baju, dan juga Arissa kan gak punya nomernya
Kak Keenan buat ngabarin kalau Arissa udah mau pulang,” cerocos Arissa.
“Arissa ceritanya panjang, nanti suruh Kak Keenan buat certain di perjalanan. Gak
lihat apa antrian Panjang mobil di belakang ini,” Nesa yang mendorong Arissa, dibantu
Mira yang membukakan pintu mobil, akhirnya Arissa sudah duduk manis di samping
Keenan yang duduk di bangku kemudi.
“Bye-bye Arissa sayang dan Kak Keenan hati- hati yah,” kata Mira dan Nesa
bersamaan sesaat Nesa menutup pintu mobil yang dibalas kedipan mata Keenan.
Akhirnya mobil Keenan pun meninggalkan Nesa dan Mira yang masih menunggu
jemputan di depan pintu utama mall. Di dalam mobil Arissa dan Keenan hanya dihiasi
dengan keheningan, sebenarnya Arissa ingin sekali bertanya tentang sesuatu kepada
Keenan tapi dirinya tidak berani mengatakan.
Tiba-tiba mobil yang dikendarai Keenan menepi setelah beberapa meter keluar
dari mall, menatap Arissa yang seketika membuat Arissa gugup.
“Kenapa Kak Keenan berhentiin mobilnya sih, katanya mau pergi?” tanya Arissa.
“Kamu gak sadar sesuatu gitu?” Keenan balik bertanya.
“Sadar apa sih Kak, mata Arissa masih ada dua, lubang hidung Arissa juga masih
ada dua, telinga Arissa masih ada dua dan masih normal. Jadi apa yang harus disadari
Arissa?” tanya Arissa bingung.
“Kamu tahu gak, yang kamu lakukan ini tuh bisa buat kita ditangkap polisi,” kata
Keenan yang semakin membuat Arissa kebingungan.
Arissa untuk Marissa | 69
“Ditangkap polisi perihal apa sih Kak, kan kita gak melakukan apapun, kita itu di
dalam mobil jadi gak usah pakai helm lagi kayak tadi, kita juga gak ngelakuin hal-hal
aneh yang dilarang, apalagi bunuh orang. Eh, tapi jangan-jangan Kakak sendiri yang
nanti buat kita ditangkep polisi, tapi ngelimpahin ke aku kan? Kakak belum bayar pajak
mobil ini kan?” cerocos Arissa.
“Kalau Kakak bilang kamu yang salah yah memang Arissa yang salah bukan Kakak.
Jangan jadi cewek kebanyakan deh, yang kalau salah harus tetap benar,” kata Keenan.
“Haduh Kak, Arissa tadi kan udah bilang Kakak tuh laki-laki jadi harus to the point
kalau ngomong, jangan kebanyakan basa-basi,” kata Arissa yang mulai kesal.
“Itu kamu.. itu kamu.. loh yang bener,” kata Keenan menunjuk tubuh bagian dada
Arissa.
Refleks Arissa langsung menyilangkan kedua tangannya di depan dada, “Kenapa
Kakak ngelihatin Arissa gitu, Arissa teriak minta tolong loh,” ancam Arissa.
Pletak…
Tangan Keenan menjitak kepala Arissa dengan keras hingga menghasilkan bunyi
yang keras, “Otakmu sepertinya harus ku cuci, jangan berfikiran yang aneh-aneh deh.
Aku tadi mau bilang sesuatu yang buat kita ditangkap polisi gegara kamu itu dari
sealtbelt kamu yang belum terpasang dengan benar,” setelah menyelesaikan
perkataannya Keenan langsung memasangkan sealtbelt Arissa dengan benar.
“Arissa minta maaf,” kata Arissa dengan wajah memerah menahan malu karena
telah berfikiran buruk tentang Keenan.
“Jangan minta maaf jika itu bukan salahmu, Kakak juga bersalah karena Kakak gak
langsung to the point yang buat kamu berfikiran buruk,” kata Keenan yang telah
mengendarai mobil.
“Iya Kak, oh iya Kak kok Kak Keenan tahu kalau Arissa tadi udah pulang kan Arissa
gak ngabari Kak Keenan,”
“Kan masih ada Mira sama Nesa,” kata Keenan santai.
“Oh jadi Mira sama Nesa juga yang udah nyuruh Kakak jemput aku di rumah
tadi?” pancing Arissa.
Arissa untuk Marissa | 70
“Ya iyalah, mau siapa lagi,” kata Keenan keceplosan sebelum tersadar, “Ups..
maaf yah Arissa, jangan marah sama Nesa dan Mira yah, Nesa sama Mira niatnya baik
kok biar Arissa gak jadi cewek judes sama Keenan,” kata Keenan kelewat polos.
“Yaudahlah semerdeka Kakak, terus kenapa Kakak sekarang ganti mobil gak pakai
sepeda motor kayak tadi, juga kenapa Kakak ganti baju yang lebih rapi?” selidik Arissa.
“Anak gadis gak baik pulang malam pakai sepeda motor, kalau baju sih aku niru
kamu, kan kamu nanti pakai baju bagus masa’ aku enggak,” kata Keenan.
“Gitu yah, emang kita kemana aja kok sampai anak gadis ini pulang malam. Kakak
nanti juga harus bilang ke Bunda nanti kapan aku pulangnya, kalau nggak siap-siap aja
besok Kakak udah dilamar malaikat izrail,” kata Arissa dengan sedikit nada mengancam.
“Jangan nakut-nakutin Kakak deh, Kakak cuma mau ngajak kamu belajar sebentar
sambil jalan-jalan keliling kota yang nantinya ditutup sama main ke tempat yang seru,”
Keenan menoleh ke arah Arissa sambil mengedipkan satu matanya.
Arissa yang mendapatkan kedipan mata Keenan hanya bergidik ngeri, jika yang
mendapatkan kedipan mata Keenan gadis lain mungkin sudah terkena serangan
jantung.
“Katanya buat event nyatanya juga main,” sindir Arissa.
“Yang penting nanti juga ada belajarnya buat event,” kata Keenan sebelum
memberhentikan mobilnya di depan rumah Arissa.
“Nah udah sampai, ayo turun. Gak sabar deh ketemu Bunda,” kata Keenan
sebelum membuka sealtbelt dan pintu mobilnya.
Keenan dengan wajahnya yang ceria menatap sebuah rumah yang tak terlalu
mewah namun terasa sangat nyaman, Arissa yang melihat kelakuan Keenan sangat
bersemangat saat akan memasuki ke rumahnya tak sadar membuat kurva kecil di
wajahnya.
“Dasar Kakak kelas biang rusuh,” kata Arissa sambil menggelengkan kepalanya
melihat tingkah Keenan.
“Ayo dong Arissa, jangan kelamaan didalam mobil. Aku tahu kalau kamu betah
dimobil, tapi aku juga kangen sama Bunda,” kata Keenan tak sabar.
Arissa untuk Marissa | 71
“Yang biasa dong Kak, kayak udah lama aja gak ketemu seseorang,” kata Arissa
setelah menutup pintu mobil.
Iya, memang benar karena hari ini aku akan kembali melihat tatapan sosok
Bunda yang beberapa tahun lalu hilang dari dalam hidupku, gumam Keenan dalam hati.
Arissa yang sudah berdiri disamping Keenan pun merasakan perubahan dalam
mimik wajahnya, “Kenapa Kak? Arissa ada salah ya sama Kakak,”
Mendengar kata-kata Arissa membuat Keenan langsung merubah mimik
wajahnya lagi menjadi tersenyum, “Ah, enggak kok, gak ada apa-apa. Kakak kan udah
bilang jangan pernah minta maaf sama seseorang kalau kamu nggak salah,” kata
Keenan.
“Oh, hehehe iya Kak. Maaf, ayo masuk Kak,” kata Arissa yang tak sadar sudah
mengucapkan kata maaf.
“Arissa…” geram Keenan.
“Iya Kak, janji gak ngulangin lagi. Ayo masuk, katanya tadi kangen sama wajah
Bundaku yang bahkan sama sekali belum pernah Kakak lihat,” sindir Arissa sambil
menarik Keenan ke dalam rumah.
“Iya..”
***
“Assalamualaikum Bunda,” Arissa langsung masuk membawa Keenan ke ruang
keluarga karena sang Bunda sedang duduk manis di sana menonton talk show di salah
satu channel terkenal.
Mengalihkan pandangannya dari televisi Bunda Karina sedikit terkejut melihat
seorang anak laki-laki yang berdiri di belakang Arissa, “Waalaikumussalam, ini siapa
Arissa?”
“Oh ini temen Arissa Bun, namanya Keenan. Dia mau ngomong sesuatu sama
Bunda selagi Arissa mandi,” kata Arissa memperkenalkan Keenan.
“Assalamualaikum tante, saya Keenan teman Arissa lebih tepatnya kakak
kelasnya,” Keenan maju dan menyalimi tangan Bunda Karina.
Arissa untuk Marissa | 72
“Waalaikumussalam, Arissa nanti kamu ke dapur dulu suruh Mbak Asih buatun
minum untuk temanmu ini sebelum mandi,” kata Bunda Karina yang masih meneliti
wajah Keenan.
“Ok, Bunda..” kata Arissa sebelum pergi menuju ke dapur.
“Ayo nak Keenan duduk sini, samping Bunda jangan berdiri di situ saja,” kata
Bunda Karina sambil menunjuk sofa yang masih kosong.
“Makasih tante,” Keenan lagsung duduk di tempat yang sudah di tunjuk Bunda
Karina.
“Jangan panggil tante, panggil aja Bunda biar lebih akrab lagian Bunda juga
kangen dipanggil Bunda sama anak laki-laki, apalagi wajah nak Keenan mirip sama putra
Bunda,” kata Bunda Karina dengan nada melankolis.
“Arissa punya saudara lagi tan, eh, Bun?” tanya Keenan.
“Arissa itu empat bersaudara, Arissa paling bungsu, Arissa juga punya kembaran,
bahkan kembarannya pun satu sekolahan sama dia. Bunda dulu melahirkan dua anak
laki-laki, dua anak perempuan. Anak pertama dan kedua Bunda itu laki-laki, trus Arissa
sama kembarannya itu perempuan,” kata Bunda Karina dengan semangat menceritakan
semua anak-anaknya.
“Pasti dua anak laki-laki yang berpelukan di foto ruang tamu tadi anak-anak
Bunda yah?” tanya Keenan yang sukses membuat wajah Bunda Karina murung.
Sebelum Bunda Karina menjawab Keenan, Mbak Asih datang dengan dua gelas
minuman dan beberapa cemilan, “Ini Bu makanannya,” kata Mbak Asih sambil
meletakkan minuman dan beberapa cemilan, dan kemudian langsung pergi ke dapur
lagi.
“Ayo nak Keenan diminum, sambiL Bunda bercerita,” kata Bunda Karina yang
langsung dipatuhi Keenan.
“Makasih Bun,” kata Keenan yang dibalas senyuman Bunda Karina.

Arissa untuk Marissa | 73


“Bunda lanjutin ceritanya lagi ya,” jeda Bunda Karina meminta persetujuan
Keenan, dan langsung melanjutkan ceritanya saat melihat Keenan mengangguk tanda
setuju, “Jadi gini foto yang kamu lihat di ruang tamu memang benar anak-anak Bunda,
andai saja mereka berdua masih ada mungkin Kakak pertama Arissa yang wajahnya
mirip sama kamu sekarang duduk dibangku sekolah yang sama denganmu. Lalu, anak ke
dua Bunda mungkin menjadi junior satu tingkatan dibawahmu,”
“Jadi kedua anak Bunda sudah wafat?” tanya Keenan yang membuat wajah
Bunda Karina menjadi lebih muram.
“Tidak hanya Kakak ke dua Arissa yang lebih disayang Allah, Kakak pertama Arissa
diculik oleh musuh bisnis Ayah Arissa yang sampai sekarang kami masih melakukan
pencarian meski bertahun-tahun kami belum juga mendapatkan kabar tentang dia,”
setetes air mata Bunda Karina terjatuh tapi dengan cepat beliau hapus.
“Maafkan Keenan Bunda, jika memang dengan Bunda menganggap Keenan
sebagai anak Bunda bisa membuat Bunda bahagia Keenan dengan senang hati
bersedia,” kata Keenan yang membuat wajah Bunda Karina lebih segar.
“Bener nak Keenan?” tanya Bunda Karina.
“Bener dong Bunda, masa’ Keenan bohong sama Bunda,” jawab Keenan.
“Kalau gitu boleh Bunda meluk Keenan sebentar,” pinta Bunda Karina.
Tanpa ba bi bu Keenan langsung menghambur ke pelukan Bunda Karina, setelah
lima menit kemudia pelukan itu mulai mengendur dan menampakkan linangan air mata
dari sudut mata Bunda Karina.
“Bunda jangan nangis dong, nanti Keenan gak mau jadi anak Bunda Karina lagi
loh,” ancam Keenan bercanda.
“Dasar anak nakal,” kata Bunda Karina setelah membersihkan air matanya dan
menampakkan senyumannya.
“Oh iya tadi kata Arissa nak Keenan mau bicarakan sesuatu sama Bunda, apa
itu?” kata Bunda Karina mengalihkan topik pembicaraan yang sangat sensitive baginya.
“Ah, iya Keenan sampai lupa minta izin sama Bunda. Keenan mau izin sama
Bunda buat ngajak Arissa belajar bareng sekalia main, boleh nggak Bun?” tanya Keenan.
“Emang mau main kemana?” tanya balik Bunda Karina.
Arissa untuk Marissa | 74
“Masih di kota ini kok Bun, mau Keenan ajak ke taman hiburan. Boleh kan Bun?”
jawab Keenan yang diakhiri dengan pertanyaan.
“Boleh kok, asalkan pulangnya nanti gak boleh lewat dari jam sembilan malam,
kalau ketahuan Ayah Arissa pulang lebih dari jam yang sudah ditentukan beuhhh bisa-
bisa masa depan kamu suram,” ancam Bunda Karina yang diakhiri dengan tawa renyah.
“Siap Bunda, itu pasti diingat sama Keenan,” kata Keenan.
“Nah itu Arissa udah turun, kalian hati-hati yah nanti,” kata Bunda Karina saat
melihat Arissa turun dari tangga dengan dress selutut motif bunga-bunga di bagian
bawah berwarna merah.
“Ayo Kak Keenan pergi, biar nanti pulangnya gak kemaleman,” kata Arissa sambil
meminum minuman yang ada di meja.
“Eh.. eh.. eh.. itu punya Bunda Arissa, belum Bunda minum juga itu,” tunjuk sang
Bunda kepada gelas yang sudah tandas dihabiskan oleh Arissa.
“Hehehe.. Bunda bisa suruh Mbak Asih buat lagi, Arissa sudah keburu haus,” kata
Arissa dengan cengirannnya.
“Terserah kamu lah Arissa, ayo nak Keenan Bunda anterin ke depan,” Bunda
Karina langsung menggandeng tangan Keenan menuju ke luar rumah.
Melihat itu Arissa mengentakkan kakinya dan langsung melepaskan pegangan
Bunda Karina dan Keenan. Sehingga sekarang posisi Arissa berada tepat ditengah-
tengah Bunda Karina dan Keenan.
“Bunda, kalau Bunda genit-genit sama Kak Keenan nanti Arissa bilangin ke Ayah
loh Bun,” ancam Arissa sambil menyenderkan kepalanya di bahu sang Bunda.
“Bilang aja kalau kamu cemburu sama Bunda, takut kan kalau Kak Keenanmu itu
suka sama Bunda,” kata Bunda Karina yang sukses membuat Keenan tertawa.
“Kak Keenan itu hanya temanku Bunda gak lebih dan gak kurang,” kata Arissa
kesal karena digoda sang Bunda.
“Yaudah terserah kamu, cepet sana masuk ke mobil jangan lupa nak Keenan
kalau bawa mobil hati-hati, trus jangan pulang kemaleman, ingat itu,” kata Bunda
Karina mengingatkan.
Arissa untuk Marissa | 75
“Iya Bunda, Keenan sama Arissa pamit, assalamualaikum,” kata Keenan yang
diikuti Arissa sebelum masuk ke mobil.
“Arissa juga pamit Bunda, assalamualaikum,” pamit Arissa.
“Waalaikumussalam, hati-hati,” jawab sang Bunda.
Mobil putih yang dikendarai Keenan pun melaju meninggalkan area rumah Arissa,
Bunda Karina yang menunggu Keenan dan Arissa pun berbalik masuk ke rumah dan
menutup pintu.
***
Mobil yang dikendarai Keenan berhenti di sebuah rumah dengan nuansa Belanda
yang sangat kental, akhirnya Keenan keluar dari dalam mobil dan berjalan menuju
bagasi mobil. Sedangkan Arissa yang telah keluar dari dalam mobil hanya berdiri
disamping mobil dan meneliti dimana ia sekarang berdiri.
“Kak, sekarang kita ada di mana sih?” tanya Arissa penasaran.
“Sudah jangan banyak tanya, sini bantuin Kakak bawa ini,” jawab Keenan yang
tidak menjawab sedikitpun rasa penasaran Arissa.
“Haduh.. tadi selama perjalanan ditanya katanya surprise sekarang mobilnya
udah berhenti malah jawabnya gak usah banyak tanya. Maunya Kakak sebenarnya apa
sih,” gerutu Arissa sambil berjalan ke belakang mobil.
Sesampainya di belakang mobil Arissa dibuat melongo dengan barang-barang
yang dibawa Keenan dalam mobil, banya sekali kardus-kardus yang berisi pakaian dan
buku-buku yang sudah lama.
“Ini buat apa sih Kak?” tanya Arissa sekali lagi.
“Arissa kan Kakak udah bilang jangan tanya terus, kalau kamu tahu ini tempat
apa, ayo ikut Kakak masuk,” jawab Keenan.
“Yaudah ayo masuk Kak, Arissa udah penasaran sama tempat ini,” kata Arissa
yang kesusahan membawa buku-buku dalam kardus.
Meninggalkan mobil dengan bagasi terbuka karena masih banyak barang di
dalamnya, kini Arissa dan Keenan sudah berada tepat di depan pintu rumah bernuansa
Belanda itu.
Arissa untuk Marissa | 76
Tok..
Tok..
Tok..
Setelah Keenan mengetuk pintu rumah tersebut, seorang wanita paruh baya
keluar dengan senyumannya menyambut Keenan dan Arissa, “Oh nak Keenan, gadis
cantik ini siapa namanya?” tanya wanita itu sambil menghadap Arissa.
“Nama saya Arissa Bu, temannya Kak Keenan,” kata Arissa memperkenalkan diri.
“Oh cuma temen tho, kirain aja pacarnya nak Keenan. Ayo-ayo masuk dulu, Ibu
panggilin anak-anak sebentar,” kata wanita parus baya itu mempersilahkan masuk.
“Ayo-ayo duduk nak Keenan, nak Arissa,” wanita paruh baya itu menyuruh Arissa
dan Keenan duduk di sebuah kursi kayu yang ada di bagian ruang tamu.
“Gak usah Bu, biar Arissa aja yang duduk Bu, Keenan mau panggil anak-anak dulu
buat bantuin Keenan bawa barang-barang,” tolak Keenan.
“Ya sudah masuk saja, mungkin anak-anak lagi main di belakang,” kata wanit
paruh baya itu sambil menunjuk masuk lebih dalam ke rumah itu.
Keenan pun mengangguk dan langsung saja masuk ke dalam rumah itu layaknya
rumah Keenan sendiri, membuat Arissa mengerutkan alisnya.
“Kenapa nak Arissa kaget liat nak Keenan, nak Keenan itu udah sering maen ke
sini jadi ya gitu bisa tahu seluk beluk di sini,” kata wanita paruh baya itu seakan tahu
kebingungan Arissa.
“Oh gitu Bu, ehmm kalau boleh tahu nama Ibu itu siapa?” tanya Arissa.
“Ya Gusti sampai lupa Ibu memperkenalkan diri. Nama Ibu itu Bu Wahyuningsih,
bisa dipanggil Bu Wahyu bisa juga Bu Ningsih, tapi kalau anak-anak sini sama nak
Keenan lebih suka manggil Ibu dengan nama Bu Ningsih,” jawab Bu Ningsih dengan
Panjang lebar.
“Oh nama Ibu itu Bu Ningsih,” kata Arissa sambil melihat lalu lalang Keenan
dengan beberapa anak yang membantunya membawa kardus-kardus yang ada di mobil.
“Iya, Ibu itu kepala panti asuhan ini,” sekali lagi terjawab sudah pertanyaan yang
tadi bersarang di otaknya.
Arissa untuk Marissa | 77
“Jadi ini itu panti asuhan Bu, saya kirain ini itu rumah saudara Kak Keenan,” kata
Arissa.
“Kasih Bunda adalah nama panti asuhan ini, panti asuhan ini juga seperti rumah
kedua bagi nak Keenan, dulunya nak Keenan itu salah satu anak dari panti asuhan ini
sebelum diangkat menjadi anak oleh seorang pengusaha,” kata Bu Ningsih yang
membangkitkan jiwa-jiwa penasaran Arissa.
“Ibu boleh ceritain tentang masa lalu Kak Keenan ke saya sedikit saja,” pinta
Arissa yang penasaran.
“Boleh tentu boleh, tapi nggak disini yah nak Arissa, Ibu ceritainnya sambil jalan
ke halaman belakang rumah boleh nggak? Soalnya ini waktunya anak-anak selesai
bermain,” kata Bu Ningsih yang langsung disambut dengan Arissa yang berdiri, lalu
diikuti Bu Ningsih.
Kedua wanita berbeda dekade itu berjalan beriringan menuju rumah bagian
belakang, melewati kamar yang saling berhadap-hadapan, menikmati hembusan angin
sore yang menerpa lewat jendela setiap kamar, setiap kamar diisi dengan empat ranjang
susun dengan beberapa ornamen, juga permainan anak-anak.
“Nak Keenan saat tinggal di panti asuhan ini umurnya sudah menginjak sembilan
tahun, Ibu temukan di depan pintu panti asuhan ini saat malam hari dengan tubuh yang
menggigil kedinginan, mungkin itu faktor hujan saat hari itu, karena hari itu hujannya
sangat deras. Ibu dulu bertanya bagaimana bisa nak Keenan berakhirdi panti asuhan ini,
nak Keenan hanya bilang kalau dia ditinggalkan seorang laki-laki di depan panti asuhan
ini sendirian,” Bu Ningsih menjeda ceritanya karena ada seorang bayi kecil yang
menangis.
“Maaf Bu Ningsih, baby Key daritadi menangis tapi belum juga berhenti,” kata
seorang gadis yang kisaran umurnya 15 tahun.
“Ini siapa Bu?” tanya gadis itu sambil melihat Arissa.
“Oh ini temannya Bang Keenan namanya Arissa, nah Arissa ini salah satu anak-
anak panti asuhan ini yang membantu Ibu, namanya Sari,” kata Bu Ningsih
memperkenalkan keduanya.
“Salam kenal saya Sari Kak Arissa,” kata anak yang bernama Sari sambil
menjulurkan satu tangannya.
Arissa untuk Marissa | 78
“Salam kenal juga, Sari,” kata Arissa sambil menjabat tangan Sari.
Bayi kecil yang ada dalam gendongan Bu Ningsih akhirnya berhenti menangis dan
tertidur di pelukan Bu Ningsih. Bu Ningsih yang melihat bayi kecil itu sudah berhenti
menangis akhirnya mengembalikan bayi itu ke tangan Sari namun dilarang oleh Arissa.
“Sari ini tolong tidurkan baby Key ke kamarnya, Ibu mau ngajak nak Arissa ke
halaman belakang,” kata Bu Ningsih sambil memberikan gendongan bayi kecil it uke
tangan Sari.
“Jangan, Arissa mau gendong bayi itu. Apa boleh?” tanya Arissa yang membuat
Bu Ningsih dan Sari tertawa.
“Ya boleh dong, ini hati-hati,” jawab Bu Ningsih sambil memberikan gendongan
bayi kecil itu ke pelukan Arissa.
“Makasih Bu, namanya siapa bayi kecil ini Bu?” tanya Arissa sekali lagi.
“Namanya Keyla, tapi anak-anak sini suka manggilnya baby Key,” jawab Bu
Ningsih.
“Bu Ningsih, Kak Arissa, Sari mau pamit sebentar ke depan mau nyapu halaman
depan,” pamit Sari yang disetujui Bu Ningsih.
“Ya sudah nyapu sana, sekalian ajak yang lain biar kamu gak capek, Ibu juga mau
ngajak nak Arissa keliling lagi,” setelah itu Bu Ningsih dan Arissa yang menggendong bayi
kecil melanjutkan perjalanannya.
“Lalu saat nak Keenan menginjak umur sebelas tahun seorang pengusaha
mengangkat nak Keenan sebagai anaknya, lalu pengusaha itu membawa nak Keenan ke
Belanda. Baru beberapa bulan ke belakang ini nak Keenan kembali bermain di panti
asuhan ini, berkat nak Keenan juga panti asuhan ini sampai sekarang masih berdiri.
Dulunya panti asuhan ini mau Ibu tutup karena kekurangan donasi tapi dengan usaha
nak Keenan panti asuhan ini sekarang memiliki lebih banyak donasi. Oh Ya Allah kok Ibu
malah curhat tentang panti asuhan ini, maaf yah nak Arissa,” kata Bu Ningsih yang
diakhir dengan permintaan maaf.

Arissa untuk Marissa | 79


“Nggak kok Bu, nggak apa-apa Arissa malah seneng Ibu mau bercerita tentang
panti asuhan ini. Bu Ningsih saya penasaran sama nama asli Kak Keenan, apa nama asli
Kak Keenan itu beneran Keenan, apa nama Keenan itu nama setelah Kak Keenan di
angkat menjadi anak dari seorang pengusaha,?” tanya Arissa yang berusaha mengorek
informasi tentang Keenan.
“Nama asli nak Keenan kalau nggak salah dulunya itu Adi nak, tapi kalau salah Ibu
ndak tahu lagi, maklum sudah tua,” kata Bu Ningsih.
Sekarang Arissa dan Bu Ningsih sudah berada di halaman rumah bagian belakang,
banyak sekali anak-anak yang sedang bermain. Arissa tak menyangka jika di bagian
belakang panti asuhan ini ada sebuah lapangan basket, dan di sana Keenan dengan
beberapa anak kecil sedang bermain bola basket.
Sesekali terdengar gelak tawa dari mereka saat Keenan memasukkan bola basket
ke dalam ring, Arissa juga menyunggingkan senyumnya melihat adegan itu.
“Anak-anak ayo masuk, ini sudah sore waktunya bermain sudah habis, sekarang
kalian pergi ke kamar masing-masing dan mandi setelah itu wudhu dan duduk manis di
mushall, mengerti?” Bu Ningsih setengah berteriak saat mengatakan hal itu, anak-anak
yang tadinya bermain seketika berhenti dan menghembuskan napas pasrah mengikuti
perintah Bu Ningsih.
Keenan juga tak lupa ikut berbalik ke pinggir lapangan, dimana dia
menyelonjorkan kakinya disamping Bu Ningsih dan Arissa berdiri. Menarik dress bagian
bawah Arissa menyuruh Arissa untuk duduk di sebelah Keenan yang masih setia
menyelonjorkan kakinya.
“Ayo duduk sini Arissa,” kata Keenan.
“Kak Keenan nggak lihat apa kalau Arissa lagi gendong baby Key,” Arissa memilih
tak menuruti ucapan Keenan dan duduk di sebuah kursi yang ada di situ.
“Sini biar Ibu bawa baby Key ke dalam, baby Key gak baik masih di luar kalau
waktunya udah sore,” kata Bu Ningsih sambil mengambil baby Key dari gendongan
Arissa.
“Ibu ke dalam dulu, sekalian nanti minta Sari buatin kalian minum, kalian tunggu
di sini saja,” setelah mengatkan itu Bu Ningsih langsung masuk ke dalam lagi tanpa
mendengarkan ucapan Keenan ataupun Arissa.

Arissa untuk Marissa | 80


Keheningan menyelimuti Arissa dan Keenan saat Bu Ningsih meningalkan mereka
berdua di lapangan dengan menikmati langit senja. Arissa akhirnya menemukan topik
pembicaraan yang bisa mencairkan suasana canggung diantar mereka.
“Aku ingin bicara,”
“Aku mau ngomong sesuatu,”
Kata Arissa dan Keenan berbarengan.
“Ladies first,” kata Keenan yang mengalah.
“Ok, Arissa mau tanya kenapa Kak Keenan bawa Arissa ke sini?” tanya Arissa.
“Maaf kalau aku membuatmu merasa gak nyaman saat membawamu ke sini, aku
kira kamu bakalan suka Kakak bawa ke sini. Kakak juga mau ceritain masa lalu Kakak di
sini, agar kamu tahu seorang Keenan yang di puja dan puji kaum hawa tak seluar biasa
dalam ekspetasi mereka,” kata Keenan.
“Bukannya aku gak nyaman berada di panti asuhan ini, hanya saja kalau Kakak
tadi bilang mau kesini Arissa bisa menyumbang pakaian sama buku-buku Arissa, dan
soal masa lalu Kakak, Arissa sudah tahu semuanya dari Bu Ningsih,” kata Arissa yang
membuat Keenan terkejut.
“Mau ada yang ditanyakan lagi?” tanya Keenan.
“Ada,” Arissa memberi jeda pada ucapannya karena Sari membawa minuman
untuk mereka, “Makasih Sari,” kata Arissa.
“Sama-sama Kak Arissa, kalau gitu Sari mau pamit ke dalam Kak Arissa, Bang
Keenan,” pamit Sari.
“Iya Sar,” kata Arissa sedangkan Keenan hanya mengangguk.
“Arissa mau tanya kapan kita belajar Kak?” tanya Arissa to the point setelah
kepergian Sari.
“Kita sekarang sedang belajar, belajar menumbuhkan kepedulian sosial,” jawab
Keenan lugas.
“Yaudah tahu, kalau kita tuh sekarang lagi belajar menumbuhkan kepedulian
sosial terhadap sesame manusia, tapi yang Arissa maksud tuh belajar tentang event,”
kaat Arissa kesal dengan jawaban Keenan.
Arissa untuk Marissa | 81
“Lebih baik mana kepentingan pribadi atau kepentingan social?” tanya Keenan.
“Ya kepentingan sosial lah, kan kepentingan social yang membuat negeri kita
terbebas dari penjajah,” jawab Arissa.
“Nah udah tahu gitu, kalu kepentingan sosial yang membuat bumi pertiwi kita itu
menjadi merdeka. So, Kakak lebih suka kamu numbuhin rasa kepedulian terhadap
sesama manusia,nanti kalau urusan event itu urusan pihak Osis. Sekarang adalah
waktunya kamu untuk memahami dan merasakan sebuah keluarga yang terjalin dari
jalinan orang-orang yang kehilangan apa arti keluarga dalam benak masing-masing,”
kata Keenan sambil menikmati matahari yang perlahan menghilang.
“Ya tapi kan Kak Arissa harus juga harus menghafal puisinya,” kilah Arissa.
“Kamu gak udah ngehafalin puisi karena nanti pihak Osis akan menggunakan
metode yang biasa digunakan pembawa berita di televisi. Dan bagian kamu hanya
membaca tanpa menghafal, juga mendalami puisi itu serta menyesuaikan ekspresi saat
membaca puisi. Kakak percaya kamu pasti bisa, pihak Osis nanti akan memberikan
salinan teks satu hari sebelum event diadakan,” Keenan mengalihkan pandangannya
dari senja dan melihat mata Arissa yang juga menatap Keenan.
“Yaudahlah Kak, sekarang giliran Kakak mau bicara apa,” kata Arissa memberi
waktu Keenan untuk berbicara.
“Semua yang mau Kakak bicarakan udah masuk ke jawaban pertanyaan kamu,
jadi gak ada lagi yang mau Kakak bicarakan sama Arissa,” setelah mengatakan itu
Keenan mengambil minuman dan memberikannya kepada Arissa, kemudian meminum
miliknya sendiri.
“Ehmm Kak beneran loh Kak, nanti puisinya gak bakal sulit pas Arissa baca,” kata
Arissa yang masih belum ingin mengubah topik pembicaraan.
“Haduh Arissa, Kakak tuh yakin kalau Arissa tuh sekali baca pasti bakal tahu dan
cepet paham. Sekarang gini aja deh, Kakak bakal baca beberapa bait puisi lalu tugas
kamu harus menyelesaikan puisi itu tanpa menulis di sebuah lembar kertas, hanya
meneruskannya dengan ucapan, dan dilakukan secara spontan menggunakan semua
frasa dan diksi yang kamu miliki,” kata Keenan Panjang lebar.
“Haaaa…” hanya itu yang bisa diucapkan Arissa setelah mendengarkan
penjelasan Arissa.
Arissa untu Marissa | 82
“Sudah kamu hanya tinggal meneruskannya, ini adalah metode Kakak dalam
mengajar kamu. Sekarang kamu adalah murid Kakak, dan Kakak adalah guru kamu jadi
kamu harus turutin semua perintah Kakak, paham?” kata Keenan yang seakan
menikmati wajah Arissa yang sedikit tertekan mendengarkan perkataannya.
“Paham Kak,” jawab Arissa pasrah.
Mendengar ucapan Arissa, Keenan menengadah melihat ke atas langit dengan
pandangan yang menerawang jauh, sebelum akhirnya Keenan memejamkan mata dan
menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya kembali.
“Aku ingat hari itu,
Hari dimana kristalisasi semangat
cita-cita Negarakau menggema..
Hari dimana lirik indah nan,
menyentuh dikumandangkan..

Mesin cetak bekerja terus menerus


tinta hitam tertoreh diatas kertas
Tak ada lagi usia yang mampu menjadi sekat
tuk membacanya,” mata Keenan akhirnya terbuka setelah mengakhiri
ucapannya, menatap Arissa seakan ia menyuruhnya untuk melanjutkan bait-bait yang
belum terselesaikan.
“Aku?” tanya Arissa.
“Lalu siapa lagi?” tanya Keenan balik kepada Arissa.
“Jangan salahkan aku jika nantinya puisi Kakak menjadi buruk,” kata Arissa
berusaha menakut-nakuti Keenan.
“Sudah cepatlah jangan banyak alasan, nanti keburu adzan maghrib
berkumandang,” Keenan dengan kekeraskepalaannya menyuruh Arissa.
“Ok, ok, Arissa rileks tarik nafas buang,” kata Arissa menyemangati dirinya
sendiri, sedangkan Keenan hanya tersenyum kecil melihat tingkah Arissa.
Arissa untuk Marissa | 83
Mengikuti jejak Keenan, Arissa memejamkan matanya dan mengatur napas.
“Suara bising tentang ikrar itu pun
menggema dimana-mana..
Saat tak sengaja bertemu ataupun
disengaja..
Saat pertemuan tertutup ataupun
pertemuan terbuka..

Rangkaian kalimat indah yang


menjadi kayu bakar penyemangat,
Tertoreh indah diatas prasasti
Museum Sumpah Pemuda,” Mengakhiri bait puisinya Arissa tersenyum ke arah
Keenan.
“Bagaimana puisinya? Bagus gak?” tanya Arissa bersemangat tapi Keenan hanya
terdiam dan tetap melihat ke arah langit yang berubah warna.
“Jelek yah Kak puisinya, kan Arissa sudah bilang metode belajarnya jangan gitu.
Arissa itu kurang bagus saat disuruh buat puisi, lagian juga Kakak kenapa sih milih Arissa
jadi partner Kakak, kan sekarang Kakak sendiri yang rugi,” cerocos Arissa frustasi.
Keenan berdiri dari duduknya saat adzan maghrib terdengar bersaut-sautan,
membersihkan celananya Keenan mengulurkan tangan ke arah Arissa berharap di
sambut.
“Ayo masuk, nanti kita shalat berjamaah disini dulu, lalu Kakak ajak main di
daerah sini,” Arissa tak menyahuti ucapan Keenan apalagi menggapai uluran tangan
Keenan.
“Heii.. tunggu dulu,” Keenan mensejajarkan langkahnya dengan Arissa sebelum
melanjutkan ucapannya, “Puisi Arissa bagus kok, aku suka banget nanti Kakak bakal
nuruh pihak Osis untuk memberikan salinan puisi lebih cepat agar Arissa saat di
panggung nanti bagus dan selesainya gak negative thinking,”
Arissa untuk Marissa | 84
“Bener bagus, Kakak gak bohongkan biar Arissa seneng gitu?” tuding Arissa.
“Nggak kok, emang Arissa siapanya Kakak sampai-sampai Kakak rela bohong demi
kebahagiaan Arissa,” kata Keenan dengan raut jahilnya.
“Adik kelas seorang Keenan yang tiba-tiba tenar dalam beberapa hari ke
belakang,” balas Arissa dengan wajah yang tidak bersahabat.
“Ah, sudahlah jangan bahas itu. Sekarang kita wudhu dulu baru bareng shalat
berjamaah,” kata Keenan mengakhiri pembicaraan.
***
Arissa seperti tidak memiliki rasa lelah saat Keenan mengajaknnya ke taman
hiburan tak jauh dari panti asuhan Kasih Bunda. Setengah dari semua wahana sudah ia
lalui bersama Keenan, kini keduanya sedang duduk di bangku yang disediakan oleh
taman hiburan tersebut.
Senyum manis tak kunjung luntur dari wajah cantik Arissa, menatap gulali yang
indah berbentuk hati tak jauh dari tempat duduknya membuat wajah Arissa berbinar-
binar.
“Kak Keenan, Arissa mau dong dibeliin gulali itu,” kata Arissa kepada Keenan.
Memang semua yang diinginkan Arissa di taman hiburan ini gratis karena Keenan
sendiri yang meminta Arissa untuk membeli apa yang ia mau dan Keenan yang akan
menanggungnya. Arissa sebenarnya menolak usulan Keenan, tapi Keenan memaksa dan
akhirnya luluh, karena cewek manapun jika diberi kebebasan untuk membeli barang dan
semuanya gratis pasti tidak akan menyia-nyiakannya.
“Yasudah ayo,” ajak Keenan ke penjual gulali.
“Yeayyy makasih Kak Keenan,” kata Arissa seperti anak kecil yang baru saja
diberikan bonek oleh ayahnya.
“Pak, gulalinya satu,” pesan Keenan.
“No, gulalinya dua pak,” kata Arissa setelah mendengarkan ucapan Keenan.
“Buat apa sih banyak-banyak beli gulalinya, yakin bisa habis tuh gulali,” ejek
Keenan.
“Satu untuk Kakak, satu untuk Arissa,” kata Arissa sambil menerima gulali itu.
Arissa untuk Marissa | 85
“Kakak gak suka makan makanan manis Arissa,” tolak Keenan.
“Harus mau makan, gulali itu enak loh Kak. Kakak bayar aja dulu tuh ke bapak
penjualnya,” meninggalkan Keenan dengan gulali belum terbayar, Arissa sekarang sudah
duduk di tempatnya semula.
“Berapa pak dua gulali tadi?” tanya Keenan pada penjualnya.
“Dua puluh ribu mas,” Keenan langsung membayarnya dan menghampiri Arissa
yang sedang menikmati salah satu gulali berbentuk hati berwarna hijau.
“Pokoknya Kakak gak mau tahu gulali ini harus ha---
Sebelum Keenan menyelesaikan ucapannya Arissa telah menyumpal mulut
Keenan dengan gulali yang masih belum ia makan, “Telan Kak, jangan dibuang,” peringat
Arissa.
Entah karena gulalinya yang enak atau karena paksaan Arissa gulali yang tadinya
utuh sekarang sudah habis dilahap Keenan.
“Gimana enak kan, Kak?” tanya Arissa yang hanya diangguki Keenan.
Bodo amatlah, meski rasanya perut udah diaduk-aduk yang penting Arissa
bahagia. Air mana nih air, kata Keenan didalam hati. Melihat ada penjual air mineral
keliling yang melewatinya langsung saja Keenan mengambil satu botol air mineral dan
langsung menenggaknya sampai habis.
“Akhhhhh… akhirnya lega banget,” kata Keenan yang membuat wajah penjualnya
nelangsa.
“Mas uangnya mana, masnya belum bayar,” tegur penjual air mineral.
“Berapaan sih mas?” tanya Keenan dengan satu tangannya yang mengambil air
mineral lagi namun dipukul oleh sang penjual.
“Masnya belum bayar, minumannya lima ribu satu botol,” kata penjual itu sambil
menengadahkan tangannya kea rah Keenan.
“Nih, uangnya, gue ambil tiga loh bang, masih ada kembalian lima ribu buat
abang aja,” kata Keenan sambil memberikan uang dua puluh ribu.
“Makasih Aa’ ganteng, nih airnya,” penjual itu memberikan dua botol air mineral
yang disambut Keenan.
Arissa untuk Marissa | 86
“Gue masih normal bang, udah sana jualan lagi,” Keenan berbalik ke arah Arissa
untuk memberikan satu botol air mineral namun ia terkejut saat hidung Arissa
mengeluarkan cairan pekat berwarna merah.
“Ya ampun Arissa hidung kamu kenapa?” tanya Keenan panik.
Mendengar perkataan Keenan refleks Arissa langsung menyentuh hidung dan
merasakan cairan hangat mengalir dari lubang hidungnya, “Ah, ini gak apa-apa kok Kak
Keenan, Arissa boleh minta tolong Kakak beliin Arissa tissue,”
“Ok, ok sebentar tunggu Kakak beliin,” Keenan dengan kepanikannya langsung
menghentikan penjual air mineral tadi dan membeli tissue kepadanya.
Arissa menengadahkan kepalanya ke atas agar aliran darah tak lagi mengalir.
Beberapa menit kemudian Keenan datang dengan membawa satu kotak tissue dan
menyerahkannya kepada Arissa.
Mengambil tissue Arissa berusaha menghentikan darah yang mengalir dari
hidungnya, menghabiskan tissue banyak akhirnya darah yang mengalir dari hidung
Arissa berhenti menyisahkan sedikit darah yang masih kering di bawah hidungnya.
Melihat itu Keenan dengan inisiatifnya mengambil tissue lalu membasahinya dengan air
mineral yang sudah ia beli tadi.
“Kenapa hidungmu tadi bisa berdarah?” tanya Keenan sambil membersihkan
darah kering di bawah hidung Arissa.
Memperhatikan keseriusan Keenan saat membersihkan darah yang masih
mengering, Arissa tersenyum melihatnya, “Arissa udah biasa Kak, kalau Arissa kelelahan
pasti Arissa langsung mimisan,”
Membuang tissuenya Keenan langsung berdiri dan mengajak Arissa pergi dari
taman hiburan, “Kalau begitu ayo pulang,”
“Arissa nggak mau pulang, Arissa mau Kakak main itu dulu,” kata Arissa sambil
menunjuk permainan capit boneka.
“Kamu itu udah lelah Arissa, kapan-kapan Kakak ajak ke sini lagi,” bujuk Keenan.
“Arissa nggak mau pulang kalau Kakak belum mendapatkan boneka panda itu
buat Arissa,” keukeh Arissa sambil menunjuk boneka panda yang cukup besar.
Arissa untuk Marissa | 87
“Ok, kamu tunggu sini jangan kemana-mana. Kakak bakal bawa boneka panda itu
pulang buat kamu,” Arissa mengangguk antusias mendengarkan ucapan Keenan.
Setelah Arissa memastikan Keenan tak lagi melihatnya, Arissa mengeluarkan
beberapa obat dari tasnya, lalu meminumnya dengan bantuan air mineral yang
diberikan Keenan tadi. Sebenarnya keinginan boneka panda itu hanya kamuflase Arissa
agar dirinya bisa meminum obat itu. Meminum beberapa obat mungkin sudah
kewajibannya setelah mimisan, karena setelah mimisan pasti kepalanya sangat pusing
dan berkunang-kunang. Arissa memejamkan matanya beberapa menit kemudian
sebelum Keenan membangunkannya dengan beberapa boneka ditangannya.
“Heii.. Arissa ayo bangun dan pulang,” suara lembut Keenan dengan goyangan
lembut pada bahu Arissa membangunkan Arissa.
“Wah.. banyak banget bonekanya, makasih banget loh Kak,” Arissa memeluk
boneka panda itu dengan erat.
“Nih, aku juga dapet boneka jerapah sama kelinci buat kamu,” kata Keenan
sambil menunjukkan kedua boneka itu.
“Makasih sekali lagi loh Kak. Yaudah Kak, ayo pulang, tapi nanti di tengah jalan
kita beli makan yah Kak, perut Arissa laper hehehehe,” rambut Arissa pun menjadi
korban tangan Keenan yang mengacak-acaknya.
“Yaudah ayo pulang, nanti beli nasi goreng di tempat Kakak biasanya beli aja,”
mereka berdua pun berjalan beriringan dengan boneka panda dalam pelukan Arissa,
dan bonek jerapah juga kelinci dalam genggaman Keenan.
***
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, akhirnya Keenan menurunkan
Arissa tepat di depan gerbang rumahnya. Setelah tadi mereka berdua makan nasi
goreng pedagang kaki lima di pinggir jalan sambil menikmati keramaian jalanan kota.
Arissa sangat menikmati hari ini, meski tadi dirinya sedikit menyusahkan Keenan, tapi
Keenan sepertinya tak mempersalahkan hal tersebut.
“Makasih Kak dan maaf untuk yang tadi di taman hiburan,” kata Arissa dari luar
mobil.
“Kamu nggak salah Arissa, disini yang salah itu Kakak karena Kakak tadi Arissa
sempat mimisan,” kata Keenan yang masih tetap berada di dalam mobil.
Arissa untuk Marissa | 88
“Kakak nanti pulangnya hati-hati yah, Arissa mau masuk ke dalam dulu. Bye-bye
Kak Keenan,” Arissa langsung berbalik dan membuka pagar rumahnya.
“Tunggu Arissa,” baru Arissa melangkah melewati gerbang rumahnya tapi suara
Keenan memberhentikan langkahnya.
“Ada apa?” tanya Arissa setelah Keenan berada tepat di depannya.
“Ini bonekamu ketinggalan dimobil,” memberikan ketiga boneka kepada Arissa,
Keenan lagi-lagi berbalik ke dalam mobilnya dan membawa sebungkus coklat untuk
Arissa.
“Nah, ini juga untuk kamu. Boneka-boneka dan juga coklat ini dari Kakak, dan
yang harus kamu ingat jangan memberikan ini kepada siapapun. Ingat, kepada siapapun
entah itu manusia ataupun hewan, yang bisa meluk boneka ini hanya Arissa tidak ada
yang lain, dan yang makan coklat ini juga harus Arissa itupun saat Arissa sedih ataupun
lagi kecewa karena Kakak ingin saat Arissa makan coklat ini Arissa ingat bahwa masih
ada Kakak yang bisa bantu Arissa,” Arissa yang mendengarkan ucapan Keenan yang
panjang lebar hanya tersenyum kecil dan mengangguk.
“Ingat atau nggak?” tanya Keenan gemas saat melihat respon Arissa yang biasa-
biasa saja.
“Iya Arissa ingat, yang boleh meluk boneka ini hanya Arissa dan yang boleh
makan coklat ini juga harus Arissa karena Kakak ingin Arissa selalu merasa tidak
sendirian saat menghadapi masalah, benar begitu?” Arissa mencoba mengulang setiap
perkataan Keenan.
“Boleh dibilang begitu, meski ada beberapa bagian yang kamu hilangkan. Tapi
karena ini sudah malam jadi kita hentikan perbincangan kita sampai disini saja, good
night Arissa,” kata Keenan sebelum masuk ke dalam mobilnya.
“Too Kak, and have a nice dream,” tanpa mendengarkan jawaban Keenan, Arissa
langsung berbalik melangkah ke dalam rumahnya dan menutup pagar, membiarkan
Keenan di dalam mobilnya dengan senyuman yang merupakan hasil dari tingkah laku
Arissa.
“Have a nice dream to Arissa,” jawab Keenan yang sudah dipastikan Arissa tidak
akan bisa mendengarnya karena Arissa sudah masuk ke dalam rumahnya. Akhirnya
Keenan menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya perlahan meninggalkan
pekarangan rumah Arissa.
Arissa untuk Marissa | 89
Sedangkan Arissa dengan langkah riangnya menapaki anak tangga untuk masuk
ke kamarnya, mengistirahatkan tubuhnya yang sangat lelah. Sesekali mencium boneka
pandanya yang mampu menerbitkan sebuah senyuman. Seharian bersama dengan
Keenan membuatnya sangat bahagia, Arissa yang telah kehilangan sosok Kakak laki-laki
menemukannya dalam diri seorang Keenan.
Sebuah senyum licik tercetak jelas di bibir Marissa dari anak tangga teratas,
sebenarnya Marissa tadi hanya ingin menutup gorden yang ada di kamarnya namun
terhenti saat Arissa turun dari dalam sebuah mobil yang diiringi dengan keluarnya
Keenan. Melihat Keenan memberikan boneka dan juga coklat seketika membuat
Marissa terbakar cemburu dan memunculkan sebuah ide licik untuk menyakiti Arissa.
“Kak Marissa belum tidur?” tanya Arissa saat melihat Marissa masih berdiri
seperti menunggu Arissa.
“Belum, emangnya kenapa lo tanya-tanya gitu ke gue?” tanya Marissa dengan
nada sinis.
“Yah nggak cuma tanya aja, kan biasanya jam segini Kakak udah tidur,” jawab
Arissa yang masih mempertahankan nada lembutnya.
“Gak usah akting jadi Adik yang baik deh. Sekarang serahin boneka sama cokelat
dari Kak Keenan, cepet!” kata Marissa dengan menaikkan suaranya satu oktaf.
“Kak ini udah malam, jangan teriak-teriak kasihan Bunda sama Ayah yang lagi
istirahat,” sebenarnya Arissa sudah merasa lelah meladeni Kakaknya tapi bagaimana
lagi, jikalaupun dia bersikap apatis terhadap Kakaknya pasti Kakaknya akan mengejarnya
sampai mendapatkan apa yang ia mau.
“Gue gak bakal teriak kalau lo dengan senang hati memberikan pemberian Kak
Keenan ke gue. Pasti boneka sama cokelat itu sebenarnya buat gue kan,” desak Marissa.
“SINI!” teriakan Marissa menggelegar dalam rumah itu.
“Nggak Kak, aku gak bakal nyerahin boneka sama cokelat ini sama Kakak. Ingat
itu!” Arissa yang mulai tersulut emosinya memilih untuk pergi saja daripada terjadi hal-
hal yang tidak dia inginkan.
“Hei enak banget kamu yah main pergi aja, kasih boneka sama cokelatnya dulu
baru gue bebasin lo,” Marissa berusaha menarik boneka dan cokelat yang ada dalam
pelukan Arissa.
Arissa untuk Marissa | 90
“Nggak Kak, sekali Arissa bilang nggak yah nggak,” di anak tangga teratas Arissa
dan Marissa saling berebut boneka.
Marissa dengan sekuat tenaga menarik boneka yang ada dalam pelukan Arissa,
sedangkan Arissa mempertahankan boneka itu dalam pelukannya. Setelah Marissa
mendapatkan boneka itu dengan sengaja Marissa mendorong Arissa, namun dengan
kesigapannya Arissa berhasil menjangkau pagar yang ada dipinggiran anak tangga.
Naasnya Marissa yang mendorong Arissa tadi ikut terjatuh dan menggelinding dari anak
tangga teratas, seketika cairan kental keluar dari kepala Marissa.
“MARISSA!” teriakan Arissa membuat kedua orangtuanya langsung keluar dari
dalam kamar.
Betapa terkejutnya sang Bunda saat melihat Marissa terjatuh dan bersimbah
darah, menatap ke atas Bunda Karina langsung menatap penghakiman ke arah Arissa
yang masih shock.
Dengan tergesa-gesa Bunda Karina langsung naik menaiki tangga dan berdiri
tepat di hadapan Arissa yang masih menatap Marissa didalam gendongan sang Ayah.
Mengalihkan pandangannya dari bawah Arissa melihat ke arah sang Bunda dan..
Plakk..
Suara dari tamparan sang Bunda mengalun keras di semua penjuru rumah, Arissa
memegangi pipinya yang memanas, melihat dada sang Bunda kembang kempis
menahan amarah membuat Arissa membuang napas pasrah.
“INI PASTI ULAH KAMU KAN ARISSA, BUNDA UDAH BILANG TURUTI SEMUA
KEINGINAN KAKAK KAMU, SEKARANG LIHAT ARISSA, LIHAT APA YANG TERJADI SAMA
KAKAK KAMU. INI SEMUA ULAH KAMU, AKHHHHH,” Arissa hanya tertunduk ketakutan
saat melihat kemarahan sang Bunda, pasalnya sang Bunda belum pernah marah
kepadanya sampai-sampai menaikkan nadanya beberapa oktaf.
“Sudahlah Bun, Arissa juga pasti tidak menginginkan hal ini, sekarang kita ke
rumah sakit saja. Marissa butuh pertolongan,” kata sang Ayah mencoba melerai sang
Bunda.
“Bela saja terus anak kamu itu,” sinis Bunda Karina.
“Bukannya aku membela tapi Marissa butuh pertolongan, apa kamu mau kalau
anak kita Marissa meninggal, hah?!” kata sang Ayah yang juga mulai tersulut emosinya.
Arissa untuk Marissa | 91
Mendengar itu wajah Bunda Karina dihiasi ketakutan, “Baiklah, baiklah ayo bawa
Marissa ke rumah sakit dulu,”
Bunda Karina langsung memasuki kamar dan keluar dengan membawa kunci
mobil, melihat itu Arissa langsung turun dan mengikuti jejak kedua orang tuanya, “Arissa
mau ikut Yah, Bun,” perkataan Arissa hanya diberi abai oleh sang Bunda, sedangkan
sang Ayah hanya mengangguk tanpa bersuara.
Arissa langsung mendahului sang Bunda dan meminta kunci mobil agar ia saja
yang mengeluarkan mobilnya, “Bunda sini kunci mobilnya biar Arissa saja yang
mengeluarkan mobilnya,” Bunda Karina langsung memberikan kuncinya tanpa banyak
kata dan menghapus air mata yang sedari tadi belum berhenti mengalir.
Setelah mendapatkan kunci mobil Arissa langsung bergegas menuju garasi dan
mengeluarkan salah satu mobil, Bunda Karina langsung duduk di bagian belakang
dengan Marissa dipangkuannya, sedangkan Ayah Adi duduk di samping bangku
pengemudi. Malam ini Arissa tak mengizinkan Ayahnya mengendarai dengan kepanikan
luar biasa, maka dari itu yang mengandarai mobil adalah Arissa.
Beberapa kali sang Bunda berteriak untuk menambah kecepatan agar sampai di
rumah sakit tepat waktu, berkali-kali juga sang Ayah menenangkan Bunda Karina. Tiga
puluh menit kemudian mobil yang dikemudikan Arissa akhirnya berhenti didepan IGD di
sebuah rumah sakit terdekat.
Dibantu dengan beberapa perawat Ayah Adi memindahkan tubuh Marissa diatas
brankar, Bunda Karina bersandar didada Ayah Adi saat mengikuti perawat yang
mendorog tubuh Marissa ke dalam IGD. Arissa melajukan mobilnya untuk memakirkan
mobilnya, setelah memakirkan mobilnya Arissa langsung tergesa-gesa menuju IGD.
Menemukan Bundanya yang masih berada di pelukan Ayahnya dengan air mata yang
terus menerus mengalir, Arissa memilih duduk dibagian pojok.
“Dengan keluarga nona Marissa,” seorang perawat akhirnya keluar dari ruangan.
Bunda Karina langsung tergopoh-gopoh menghampiri perawat tersebut,
“Bagaimana keadaan anak saya sus?” tanya Bunda Karina
“Mari saya antar ke ruangan dokter Rama, beliau sendiri akan menjelaskan
keadaan nona Marissa,” Bunda Karina, Ayah Adi, dan Arissa kini mengikuti langkah
suster itu dan berhenti di sebuah ruangan khusus neurologi.

Arissa untuk Marissa | 92


Memasuki ruangan neurologi seorang dokter sudah menunggu di kursi
kebesarannya, dokter muda dengan name tag Rama Aditya berdiri dari duduknya dan
menjabat tangan Ayah Adi, “Selamat malam Pak, saya Rama dokter khusus neurologi
yang akan menangani kasus nona Marissa. Silahkan duduk dulu, Bu, Pak, saya akan
menjelaskan keadaan nona Marissa sedikit,”
Karena di dalam ruangan kursi itu hanya dua, Arissa lebih memilih berdiri dan
mendengarkan penjalasan dokter tersebut.
“Bagaimana keadaan anak saya dok?” tanya Ayah Adi, sedangkan Bunda Karina
hanya menangis di pelukan sang suami.
“Untung saja Bapak membawa nona Marissa tepat waktu entah apa yang terjadi
jika Bapak telat sedetik membawa nona Marissa kemari. Trauma kepala nona Marissa
termasuk dalam kerusakan primer, yakni kerusakan otak yang timbul saat cidera.
Kerusakan primer yang dialami nona Marissa adalah kerusakan fokal kontusio cerebri,
dimana kerusakan fokal kontusio cerebri dapat diartikan sebagai kerusakan jaringan
otak tanpa disertai robeknya piameter. Kerusakan tersebut merupakan gabungan antara
daerah perdarahan yang meliputi kerusakan pembuluh darah kecil seperti kapiler, vena,
dan arteri, lalu nekrosis otak, dan infark.
Nona Marissa mengalami pendarahan epidural, adanya penumpukan darah pada
duramater dan tabula interna, terjadi pada Temporal. Sumber perdarahan epidural dari
arteri Meningea Media yang disebabkan oleh Vena. Saya disini meminta persetujuan
Bapak dan Ibu untuk melakukan operasi kepada nona Marissa agar dapat menghentikan
perdarahan, operasi ini dapat mengakibatkan nona Marissa mengalami koma berhari-
hari tergantung dengan kemauan nona Marissa untuk tetap hidup. Bagaimana Bu, Pak,
apakah setuju?” penjelasan dokter Rama diakhiri dengan pertanyaan.
“Lakukan apapun agar anak saya tetap hidup dok, saya akan membayar
berapapun untuk kehidupan anak saya,” Bunda Karina langsung melepaskan pelukan
sang suami dan menatap dokter Rama dengan keseriusan yang mendalam.
“Baiklah Bu, suster tolong berikan formulir persetujuan dan tunjukkan dimana
beliau harus tanda tangan,” suster yang berdiri disamping dokter Rama langsung maju
dan memberikan formulir. Ayah Adi pun langsung memberikan tanda tangannya.
“Baiklah Pak sekarang Bapak bisa melunasi administrasi, saya akan melakukan
operasi kepada nona Marissa malam ini juga,” setelah Ayah Adi berjabat tangan dengan
dokter Rama, mereka bertiga akhirnya keluar dari ruangan neurologi.
Arissa untuk Marissa | 93
Keluar ruangan neurologi Bunda Karina menatap tajam Arissa, kilatan benci
bersinar terang di dalam tatapan Bunda Karina, Arissa yang ditatap sedemikian rupa
hanya bisa menundukan kepalanya. Malam ini bagaikan mimpi baginya, Arissa hanya
bisa terdiam, bukan maksudnya membuat Marissa jatuh, bahkan yang berniat
membuatnya jatuh adalah Marissa.
“Bunda disini dulu yah sama Arissa, Ayah ingin membayar biaya rumah sakit
sebentar, habis itu kita tunggu didepan ruang operasi,” kata Ayah Adi memecah
keheningan.
“Iya, Ayah jangan khawatir,” mendengar itu Ayah Adi langsung bergegas menuju
ruang administrasi.
Setelah memastikan sang suami tidak bisa melihat ke arahnya lagi Bunda Karina
langsung mencengkeram lengan Arissa dan menariknya, Arissa meringis kesakitan saat
kuku tajam Bunda Karina menusuk lengannya.
“Bunda kita mau kemana, Ayah nyuruh kita nungguin,” Arissa berusaha
melepaskan cengkeraman sang Bunda, bukannya melepaskan sang Bunda makin
memperkuat cengkeramannya.
“Sudah jangan banyak bicara, kamu diam saja. Ini semua gara-gara kamu, dan
kamu harus menanggung akibatnya,” Arissa memilih diam dan menahan rasa sakitnya.
Setela sampai dipelataran parkir rumah sakit, Bunda Karina langsung meminta
kunci mobil dari tangan Arissa. Kini, Bunda Karina yang duduk di kursi kemudi sedangkan
Arissa duduk disamping sang Bunda. Dengan kecepatan tinggi Bunda Karina
mengendarai mobil, beberapa kali melewati lampu merah namun bukannya berhenti
sang Bunda menambah kecepatannya.
Arissa hanya bisa berpegangan kuat-kuat dan berdoa dalam hati agar bisa
selamat sampai rumah, tak ada percakapan diantara dia dan Bundanya. Sudah cukup
baginya melihat kemarahan sang Bunda tadi, dia tak ingin membuka suara dan semakin
menyulut kobaran api yang ada di dalam diri sang Bunda.
Turun dari mobil lagi-lagi Arissa diseret sang Bunda sampai ke kamarnya di atas,
Bunda Karina menyeret Arissa ke kamar mandi dan dihempaskannya Arissa hingga jatuh
terduduk dilantai kamar mandi, taka da raungan kesakitan dari mulut Arissa hanya
sedikit ringisan yang berhasil keluar dari dalam mulutnya.

Arissa untuk Marissa | 94


Dengan kejam Bunda Karina mengguyur Arissa dengan shower, mencengkeram
dagu Arissa membuatnya mendongak menatap kesinisan didalam mata sang Bunda. Air
matanya luruh tak tertahankan, sungguh tak mengapa jika fisiknya disakiti tapi tolong
jangan pernah menyakiti batinnya. Luka fisik mungkin bisa diobati tapi batin tak akan
pernah bisa diobati.
“Hahahahaha gimana rasanya Arissa, kedinginan yah?” ejek sang Bunda.
“Kenapa kamu diam saja hah?! Lihat aku, dan jawab,” paksa Bunda Karina.
“Di.. di.. ngin..,” susah payah Arissa menjawab, karena tangan sang Bunda masih
tetap saja mencengkeram dagunya.
Plakk..
Satu tamparan berhasil lagi mengenai pipi Arissa, rasa asin mengalir dari sudut
bibirnya, belum juga Arissa menyentuh darah yang mengalir sebuah tamparan lagi-lagi
mendarat di pipinya.
Plakk..
“Bagaimana rasanya sakit kan? Pasti sakit, tapi tak apa sakitmu itu tak ada
bandingannya dengan apa yang sekarang dirasakan Kakakmu Arissa,” beralih dari
tamparan dan cengkeraman, Bunda Karina menjambak rambut Arissa. Bisa dirasakan
rambut indah Arissa tercabut dari kulitnya.
“Ssstttt.. sa.. sa.. kit.. Bun..,” mendengar rintihan kesakitan Arissa, tawa sinis
semakin mengudara dari mulut sang Bunda.
“Hahahahaha… sakit kamu bilang?! Lebih sakit Marissa yang kini berada di meja
operasi. Kesakitanmu ini hanya bisa membayar seperempat rasa sakit Marissa, ingat
itu!” memukul betis Arissa yang tak dilindungi apapun dengan heelnya, membuat tanda
biru keunguan terlihat jelas.
Bunda Karina langsung keluar dari kamar mandi tanpa mematikan shower yang
masih menyala, meninggalkan Arissa yang masih tetap meringkuk kesakitan dan
kedinginan. Mengambil koper diatas lemari Arissa, dengan beringas Bunda Karina
memasukkan semua baju-baju Arissa ke dalam koper.
Susah payah Arissa berjalan menghampiri sang Bunda, meski kakinya terasa sakit
tapi ia masih tetap memaksakannya. Arissa menahan kaki Bunda Karina yang masih
tetap memasukkan baju-bajunya.
Arissa untuk Marissa | 95
“Bun, tolong jangan usir Arissa dari rumah ini Bun. Arissa tak tahu ingin kemana
lagi jika Bunda mengusir Arissa dari rumah ini,” kata Arissa meminta belas kasihan sang
Bunda.
Menghempaskan tangan Arissa dari kakinya, Bunda Karina menunjuk tepat di
depan wajah Arissa, “KAU BILANG MAU KEMANA HAH?! TERSERAH KAMU MAU
KEMANA, AKU TIDAK AKAN PERNAH REPOT-REPOT MENGURUSIMU CUKUP 16 TAHUN
INI AKU TINGGAL SATU ATAP BERSAMAMU. AKU SANGAT MENYESALI KEBODOHANKU
BERTAHUN-TAHUN, MEMBIARKAN SEORANG PEMBUNUH ANAKKU MASIH TETAP
TINGGAL BERSAMAKU. KAU YANG MEMBUAT ANAK PERTAMAKU MENGHILANG, KAU
JUGA YANG MEMBUAT ANAK KEDUAKU MENINGGAL, SEKARANG APA YANG KAU
LAKUKAN DENGAN ANAK KETIGAKU HAH?! KAU BERHASIL MEMBUATNYA KESAKITAN
DIATAS MEJA RUANG OPERASI, KALAU SAMPAI TERJADI APA-APA DENGAN ANAKKU,
AKU TAK AKAN SEGAN-SEGAN AKAN MEMBUATMU MENDERITA SEUMUR HIDUP, INGAT
ITU!” teriakan dan ancaman Bunda Karina menggema disetiap sudut kamarnya.
Menormalkan deru napasnya, Bunda Karina melanjutkan perkataannya, “Dan ada
satu lagi yang harus kamu ingat, jangan pernah panggil saya Bunda kamu saya tidak
sudi,”
“Apa maksud Bunda? Bunda adalah orang tua Arissa, kenapa Bunda tidak mau
Arissa panggil Bunda?” semua fikiran buruk bersarang diotaknya.
“Kata siapa saya orang tua kamu, saya hanyalah orang yang menganggapmu
sebagai anak saya, kau hanyalah anak yang saya dan suami saya pungut karena iba
melihatmu. Jadi jangan sekali-kali kamu memanggil saya dengan sebutan Bunda, saya
tidak sudi!” perkataan Bunda Karina membongkar semuanya, seperti ada belati yang
menusuk tepat dijantungnya, membuatna seakan lupa bagaimana caranya bernapas.
“Jadi aku bukan anak kandung Bunda dan Ayah?” tanya Arissa dengan nada yang
terdengar gemetar.
“Iya, kamu bukan anak saya, camkan itu diotak kamu yang hanya seukuran
udang,” menutup koper Bunda Karina kembali mencengkeram dan menyeret Arissa
melewati anak tangga.
Menghempaskan koper dan Arissa, Bunda Karina langsung mengunci pintu
rumahnya. Sedangkan Arissa masih terdiam dengan koper disampingnya, berusaha
meyakini bahwa itu semua hanyalah mimpi, menghapus air matanya Arissa berdiri dan
mengambil kopernya meninggalkan rumah ini.
Arissa untuk Marissa | 96
Berjalan sendirian ditengah malam, dengan sebuah koper dan tubuh yang
menggigil merupakan pemandangan yang tragis. Seakan langit ingin menyamarkan air
matanya, hujan turun dengan begitu derasnya membuatnya jatuh terduduk diatas
trotoar menangisi kisah hidupnya.
Tiba-tiba sebuah cahaya menyinari tubuhnya yang sudah meenggigil kedinginan,
sebuah payung menaunginya, membuatnya mendongak untuk melihat siap orang yang
menolongnya.
“Bu Ari,” ucapnya dengan lirih.
“Arissa hei.. kenapa kamu bisa begini sayang. Ya Allah Arissa, ayo bangun nak ikut
Ibu,” membantu Arissa berdiri dari duduknya dan membawakan koper Arissa, Bu Ari
mengajak Arissa masuk ke mobilnya.
Memberikan sebotol air mineral untuk Arissa agar tenang, Bu Ari memulai
percakapan, “Bagaimana kamu bisa seperti ini Arissa? Kamu mau kemana biar Ibu
antar,”
“Saya tidak tau mau kemana Bu, saya membuat Bunda saya marah dan saya
diusir dari rumah Bu,”
“Astaghfirullah, yasudah kamu tinggal dengan Ibu saja. Kamu bisa menjadi teman
Ibu dirumah, suami saya lagi dinas keluar kota, anak Ibu yang pertama sedang
menamatkan Pendidikan tinggi di Kairo, sedangkan yang satunya lagi dan sepantaran
denganmu memilih bersekolah di Solo dengan Neneknya. Jadi Ibu sendirian tapi kalau
ada kamu Ibu gak sendirian lagi, mau kan kamu tinggal dirumah saya?” tanya Bu Ari.
“Iya Bu, terimakasih banyak,” kata Arissa dengan lirih.
“Ya sudah ayo sekarang ke rumah Ibu,” Bu Ari langsung melajukan mobilnya
membelah jalanan yang sepi, memasuki Kawasan perumahan elit Bu Ari berhenti di
rumah yang terbilang mewah.
Turun dari mobilnya Bu Ari langsung mengajak Arissa masuk dan menunjukkan
kamar yang akan ditinggali Arissa.
“Ini kamar kamu Arissa, sekarang kamu masuk kamar mandi dan ganti pakaian
kamu sebelum masuk angin,” kata Bu Ari sambil memberikan sebuah handuk.
Selesai mengganti pakaiannya Bu Ari menuntun Arissa ke cermin dan membantu
mengeringkan rambut Arissa, “Bu tidak usah biar saya sendiri saja,” tolak Arissa.
Arissa untuk Marissa | 97
“Sudahlah kamu diam saja, biar Ibu bantu kamu mengeringkan rambutmu. Ibu
ingin bisa merasakan merawat dirimu,” kata Bu Ari.
Arissa hanya diam saja dan tak menghiraukan ucapan Bu Ari, memang benar apa
yang diucapkan Bu Ari dia hanya bisa diam saja dengan tatapan kosong memandang
cermin. Bahkan saat Arissa dibaringkan Bu Ari dan diselimuti Bu Ari, Arissa hanya diam
saja, baru setelah Bu Ari ingin meninggalkan Arissa tangan Arissa menahan kepergian Bu
Ari.
“Bu tolong jangan pergi, Arissa ingin tidur bersama Ibu, Arissa takut Bu,” kata
Arissa.
“Baiklah Ibu akan tidur bersama Arissa, sekarang Arissa tidur yah besok Arissa
harus sekolah,” Bu Ari mengusap puncak kepala Arissa dan mengitari ranjang lalu
membaringkan diri di samping Arissa.
“Arissa tidak ingin sekolah, semua buku-buku Arissa ada di rumah, jadi
bagaimana Arissa bisa sekolah Bu?” Arissa memiringkan tubuhnya dang menghadap Bu
Ari.
“Sudah jangan pikirkan itu, itu urusan Ibu. Sekarang Arissa tidur yah dan mimpi
indah, Arissa jangan takut masih ada Ibu yang ada di samping Arissa. Besok Ibu ingin
tahu apa yang terjadi sama Arissa boleh?” Arissa hanya mengangguk dan mulai
memejamkan matanya.
“Dan satu hal lagi, Ibu ingin kamu jangan pernah membenci Bundamu. Anggap
saja Ibu sebagai Ibu kandungmu Arissa,” mendengar perkataan Bu Ari, Arissa hanya
menganggukkan kepalanya sebagai jawaban tanpa repot-repot membuka mata.
Bu Ari yang melihat itu meneteskan air matanya, mencium kening Arissa, Bu Ari
lalu memundurkan kepalanya, “Selamat malam Arissa, semoga Allah memaafkan dosa-
dosa Ibu dan kau tak pernah membenci Ibu,” gumam Bu Ari sebelum ikut memejamkan
matanya disamping Arissa.

“KITA HARUS MENERIMA TAKDIR SEKALIPUN TAKDIR ITU


ADALAH KENYATAAN YANG PALING PAHIT.”

Arissa untuk Marissa | 98

Pembuktian

Jam berdering tepat pukul 04.10 Arissa yang mendengar itu pun langsung
terbangun, ia duduk dipinggiran kasur sambil mengumpulkan kesadarannya. Setelah
sadar ia langsung masuk kekamar mandi untuk mandi, setelah itu ia mengambil air
wudhu untuk sholat subuh.
Assalamualaikum waruhmatullah..
Assalamualaikum waruhmatullah..
Setelah sholat subuh ia membaca cerita di wattpad, jam menunjukkan pukul
04.50 Arissa langsung keluar kamar dan menuruni tangga menuju dapur. Hari ini ia ingin
membuatkan Bu Ari makanan sebagai ucapan rasa terima kasih karena ia dibolehkan
tidur disini. Sesampainya didapur ia membuka kulkas untuk melihat bahan makanan,
“Masa apa yah enaknya?” tanya Arissa pada dirinya sendiri, “Ah masak capcai aja deh
mumpung banyak sayuran dan bahannya juga lengkap,” kata ia saat mendapatkan ide
untuk membuat makanan. Setelah itu ia langsung menyiapkan bahan dan alat untuk
masaknya.
30 menit cukup untuk membuat capcai, “Akhirnya jadi juga,” kata Arissa
seraya membawa mangkok yang berisi capcai itu ke meja makan. Setelah menaruh
mangkok itu ia langsung bergegas ke kamar untuk berganti pakaian seragam sekolah.
Pukul 05. 45 ia keluar kamar untuk segera berangkat sekolah, ia berangkat lebih awal
karena hari ini ia ada jadwal piket.
“Mbak Arissa yah?” kata abang tukang ojol saat berhenti didepan Arissa.
“Iya mas,” kata Arissa sambil tersenyum.
“Ini helm nya, sesuai alamat yah mbak,” kata abang ojol saat melihat Arissa
sudah naik ke motornya.

Arissa untuk Marissa | 98


“Sip mas,” kata Arissa, abang ojol yang mendengar itu pun langsung
menjalankan motornya. Selama dalam perjalanan Arissa hanya diam menikmati
pemandangan tapi fikirannya melayang kemana-mana, “Gini banget yah nasib aku,
menyedihkan sekali kau Arissa,” batin Arissa yang sedang melamun.
“Mbak ini sudah sampai, nggak mau turun?” tanya abang ojol membuyarkan
lamunan Arissa, Arissa langsung tersentak kaget dan langsung turun lalu mengasih uang
kea bang ojolnya.
Setelah Arissa mengasih uang ia langsung pergi, “Mbak ini kembaliannya
ketinggalan,” teriak abang ojol diatas motornya sambil menatap Arissa yang melangkah
menjauh.
“Kembaliannya ambil aja mas,” balas teriak Arissa yang langsung berlarian
menjauh pergi.
Sesampainya di kelas ternyata masih sepi, ia berjalan menuju bangkunya
untuk menaruh tasnya lalu ia berjalan ke pojok kelas untuk mengambil sapu dan mulai
menyapu. 7 menit Arissa selesai menyapu jam menunjukkan pukul 06.20 satu persatu
teman Arissa mulai berdatangan Nesa pun juga baru datang dan ia langsung duduk
disebelah Nesa selesai menyapu.
Arissa menaruh kepalanya diatas meja, ia seperti kelihatan kelelahan. Nesa
pun heran “Rissa kenapa yah?kok dia kayak ada masalah sih?Mira juga kemana lagi
tuh?” batin Nesa saat melihat Arissa menenggelamkan wajahnya dilipatan tangan diatas
meja.
Saat hendak menepuk punggu Arissa, tiba-tiba Mira datang “Hai sayang-
sayangku,” teriak nya saat sampai didepan meja Nesa dan Arissa.
“Kamu itu ngagetin aja sih,” kata Nesa sambil menatap Mira dengan kesal
karena ia terkejut.
“Hehehe maaf deh kan aku nggak sengaja,” kata Mira meminta maaf ke Nesa,
lalu ia beralih menatap Arissa yang sedang terlihat tidak semangat disamping Nesa, “Dia
kenapa?” lanjut Mira bertanya pada Nesa sambil menatap Arissa.
“Aku juga nggak tahu,tadi niatnya mau tanya tapi malah nggak jadi karena
kamu dateng,” kata Nesa yang juga menatap Arissa.

Arissa untuk Marissa | 99


“Arissa kamu kenapa?” tanya Mira kepada Arissa dengan nada khawatirnya,
Arissa bahkan tak menjawab pertanyaannya, Nesa yang melihat itu pun langsung
menepuk punggung Arissa, ”Ris, kamu kenapa jangan buat aku sama Mira Khawatir
dong,” kata Nesa dengan nada khawatir.
“Kalau kamu ada masalah kamu bisa cerita ke kita, meski kita nggak bisa
bantuin kamu setidaknya kita berdua bisa mengurangi beban, kamu asik memendam
sendiri sedangkan kita sahabat kamu penasaran apa yang membuat sahabatnya
berubah kayak gini,” kata Mira yang tiba-tiba bijak kepada Arissa.
“Bijak sekali kamu Mira,” canda Nesa mencairkan suasana agar tidak terlalu
sedih, Mira yang mendengar itu langsung melotot tajam kea rah Nesa, dan Nesa hanya
membalas dengan senyum Khasnya.
Arissa yang sedari tadi diam langsung menghelai napasnya, ia berpikir apa
yang dikatakan Mira ada benarnya, “Nanti aja istirahat aku ceritaain dah mau masuk
nih,” kata Arissa yang langsung dibalas anggukan oleh kedua temannya.
Tidak lama guru yang akan mengajar datang. Semua penghuni kelas langsung
terdian dan segera menyiapkan buku pelajarannya.
***
Surga dunia bagi para pelajar adalah bel istirahat dan bel pulang berbunyi.
Tidak ada yang lebih indah kecuali terlepas dari pelajaran yang memusingkan. Andai saja
jam istirahat ditambah 2 jam, mungkin tidak aka nada lagi siswa yang terlambat masuk
kelas karena alasan ngatri makananya lama.
Arissa dan kedua temannya berjalan menuju taman belakang sekolah, ia
sudah berjanji akan menceritakan semuanya kepada kedua temannya itu.
Sesampainya ditaman belakang hanya ada mereka saja, mereka memilih
duduk di depan kolam ikan dan dibawah pohon manga yang besar katanya biar dapet
angina dan nggak panas.
Sebelum cerita Arissa menarik nafas lalu ia hembuskan, “Sebenarnya aku di
usir dari rumah sama Bunda,” kata Arissa sambil menundukkan kepalanya.

Arissa untuk Marissa | 100


Mira dan Nesa yang mendengar itu pun terkejut bukan main, mereka
menatap Arissa denngan pandangan takb percaya, “Kamu serius Ris? Kamu nggak lagi
bercanda kan Ris?kok bisa sih? Bunda kamu juga kok tega-teganya ngusir kamu,” tanya
Mira bertubi-tubi. Nesa yang mendengar respon Mira seheboh itu hanya memutar bola
matanya malas.
“Jadi sebenarnya aku bukan anak kandung Bunda Karina dan Ayah Adi, kata
Bunda Karina waktu kecil mereka mengangkat aku menjadi anak karena rasa iba saja,
terus kemarin malam aku bertengkar dengan Kak Marissa karena Kak Marissa
menginginkan boneka dan coklat yang diberikan Kak Keenan ke aku dan berakhir
dengan Kak Marissa jatuh dari tangga,” kata Arissa menjelaskan apa yang sebenarnya
terjadi.
“Marissa kok bisa jatuh?” tanya Nesa dan Mira bersamaan karena mereka
penasaran.
“Waktu itu aku sama Kak Marissa berebut boneka terus saat Kak Marissa
dapet bonekanya dia malah ngedorong aku, aku yang reflek langsung berpegangan
pagar yang dipinggir tangga, dan akhirnya Kak Marissa yang jatuh dari tangga, harusnya
aku yang jatuh, harusnya aku yang ada diposisi Kak Marissa sekarang hiks.. hiks..” kata
Arissa sambil menundukkan kepalanya sedih dan menangis.
Mira dan Nesa yang mendengar cerita Arissa pun ikut sedih apalagi Arissa tak
pernah menangis seperti ini, mereka berdua pun langsung memeluk Arissa dan
menenangkannya. “Sabar yah Ris, kita bakalan selalu ada buat kamu kok,” kata Mira
menenangkan Arissa.
“Terus kamu sekarang tinggal dimana?” tanya Nesa kepada Arissa saat
mereka melepas pelukannya.
“Semalam aku bertemu Bu Ari dijalan dan berakhir aku tinggal dengan Bu Ari
sekarang katanya sekalian nemenin dia yang sendirian dirumah soalnya suaminya lagi
keluar kota, terus anaknya yang pertama kuliah di Kairo dan yang kedua sepantaran
dengan kita sekolah di Solo,” kata Arissa menjelaskan kalau ia tinggal di rumah Bu Ari.
“Bu Ari guru fisika kita tuh?” tanya Mira yang tak percaya kalau Bu Ari lah
yang menolong sahabatnya ini. Dan hanya dibalas anggukan oleh Arissa.
“Arissa, kalau butuh apa-apa kamu bisa bilang aku atau Mira, kita bakalan
siap siaga selalu ada buat kamu,” kata Nesa yang menawarkan bantuan.
Arissa untuk Marissa | 101
“Iya Nes, makasih yah kalian emang sahabatku yang paling baik baik baik
banget, udah ah yuk ke kelas udah mau bel nih bentar lagi,” kata Arissa kepada kedua
sahabatnya mengajak untuk ke kelas. Lalu mereka bertiga mulai beranjak meninggalkan
taman belakang sekolah.
“Karna ku selow, sungguh selow, sangat selow, tetap selow, santai jodoh
nggak akan kemana,” Nyanyi Mira dengan suara yang menggelegar dan merentangkan
tangannya lebar-lebar lalu menari-nari, sontak hal itu membuat Nesa dan Arissa tertawa
melihatnya. Mira yang melihat Arissa tertawa pun tersenyum senang akhirnya usahanya
tidak sia-sia meski dia harus menjadi konyol demi menghibur sahabatnya.
“Mir, udah deh malu tahu dilihatin tuh sama yang lain, udah ah masuk kelas
yuk,” kata Nesa saat sudah berada didepan kelas. Mereka pun duduk di tempat masing-
masing.
“Eh eh Ris, Nes tahu nggak sih, kenapa air dilaut asin?” tanya Mira menatap
kedua temannya.
Nesa yang mendengar pertanyaan Mira hanya diam seraya berpikir apa
jawabannya, berbeda dengan Arissa, “Karena air laut kan mengandung garam Mir,”
jawab Arissa yang langsung mendapat anggukan dari Nesa.
“Salah,” kata Mira, Nesa dan Arissa pun langsung bertatap-tatapan sambil
memikirkan jawaban apa yang benar.
“Apa sih Mir?” kata Nesa yang kesal karena tak kunjung mendapatkan
jawabannya.
“Nyerah nih, nyerah hahaha,” kata Mira sambil tertawa.
“Udah deh Mir, kasih tahu deh kenapa,” kata Arissa yang juga penasaran.
“Oke oke jadi,” jeda Mira mengambil napas lalu “Karena ikan dilaut nggak
pernah mandi, mangkannya asin airnya hahaha” lanjut Mira dengan tertawa.
Sontak Arissa dan Nesa yang mendengar itu pun langsung memutar bola
matanya malas, “Kirain jawabannya apa gitu, eh ternyata unfaedah sekali kau,” kata
Nesa dengan nada malas. Tak lama bel masuk berbunyi.
Surga dunia bagi semua murid saat mendengar bel pulang berbunyi, Arissa
dan kedua temannya berjalan menuju gerbang depan sekolah, “Kamu pulang naik apa
Ris? Bareng aku aja gimana?” tanya Nesa
Arissa untuk Marissa | 102
“Aku naik ojol aja, nih aku udah pesan,” balas Arissa sambil menunjukkan
Hpnya ke arah Nesa dan Mira, “Eh itu ojol aku udah dateng, aku duluan yah bye
assalamualaiku,”lanjut Arissa berpamitan kepada kedua temannya.
“Waalaikumsalam,” balas Nesa dan Mira kemudian mereka berpencar untuk
menghampiri antar jemput mereka.
Selama di perjalanan Arissa terus memikirkan bagaimana keadaan kakaknya
itu, meski Marissa tak pernah berperilaku baik kepadanya tapi ia masih sayang
kepadanya bahkan saat ia mengetahui bahwa Marissa bukan lah kakak kandungnya ia
tetap menyayangi Marissa dengan tulus, “Kak Marissa gimana yah keadaannya? Aku
pengen jenguk dia tapi aku takut buat kesana, aku takut Bunda karina makin marah
sama aku kalau aku kesana,” batin Arissa dengan sedih.
“Mbak maaf, ini sudah sampai,” kata abang ojolnya membuyarkan
lamunanya Arissa, Arissa yang mendengar itu pun langsung turun lalu memberikan
selembaran uang dan berterima kasih.
Setelah abang ojolnya pergi, Arissa masuk kedalam rumah, ternyata Bu Ari
belum pulang dari sekolah, ia langsung bergegas masuk kekamar dan mandi, setelah
mandi ia langsung merebahkan diri ke kasur dan mulai memasuki alam mimpinya.
***
Pulang sekolah kali ini Keenan ingin kerumah Arissa, karena sedari tadi di
sekolah ia tidak bertemu Arissa sekalipun, jadi ia berniat untuk kerumah Arissa. Saat ini
ia sudah ada didepan gerbang rumah Arissa, ia turun dari motor dan berjalan menuju
pos satpam, “Nyari siapa Den?” tanya pak satpam rumah Arissa seraya menghampiri
dia.
“Saya cari Arissa pak, Arissanya ada nggak pak?” tanya Keenan kepada pak
satpam tersebut.
“Waduh saya kurang tahu Den, Aden bisa tanya bibi aja didalam, silahkan
masuk Den,” suruh pak satpam seraya membukakan pintu gerbang untuk Keenan.
Keenan pun mengucapkan terima kasih kepada satpam itu dan langsung melangkah
kedalam.

Arissa untuk Marissa | 103


Keenan sudah berada didepan pintu rumah Arissa, ia agak ragu untuk
mengetuk pintu rumahnya, entah kenapa perasaannya tidak enak kepada Arissa, saat ia
hendak mengetuk pintu rumah Arissa tiba tiba Mbok Sri muncul dari belakang pintu.
“Astaga bibi bikin kaget aja deh,” kata Keenan terkejut melihat bibi.
“hehehe maaf Den, Aden mau cari siapa?” tanya Mbok Sri
“Saya mau cari Arissa bi, Arissanya ada nggak bi?” balas Keenan
“Oh, Non Arissa dari kemarin belum pulang Den, saya juga nggak tahu
dimana,” kata Mbok Sri menjelaskan bahwa Arissa tidak pulang dari semalem.
“Ha? Dia nggak pulang dari semalem bi? Terus Bundanya nggak nyariin dia
gitu bi?” tanya Keenan penasaran.
“Nyonya lagi nungguin Non Marissa dirumah sakit Den,” kata Mbok Sri.
Mendengar perkataan bibi sontak membuat Keenan penasaran, bukan ini bukan
tentang Marissa yang sebenarnya kakak Arissa kalau soal itu ia sudah tahu tapi ia
penasaran kenapa Marissa bisa masuk rumah sakit? Dan kenapa Arissa tidak pulang?
Apa karena ia kerumah sakit?.
“Kalau boleh tahu Marissa dirumah sakit mana bi?” tanya Keenan dengan
penasaran.
“Rumah…….
“Oh, kalau gitu makasih deh bi, saya pulang dulu, Assalamualaikum,” pamit
Keenan kepada Mbok Sri.
“Waalaikumsalam, ati-ati Den,” kata Mbok Sri kepada Keenan. Keenan hanya
memberikan senyumnya lalu melangkah keluar halaman rumah setelah ia berpamitan
dengan satpam rumah Arissa ia langsung pulang kerumah.
Sesampainya dirumah ia langsung masuk menuju kekamar merebahkan
badannya yang penat karena banyak tugas lalu ia bergegas masuk ke kamar mandi, 15
menit setelah mandi ia melaksanakan kewajibannya yaitu sholat ashar.
Setelah sholat ia melihat banyak notif yang memenuhi grup di hpnya,
ternyata Zhain mengajak mereka untuk berkumpul nanti malam di tempat yang sering
mereka datangi, setelah ia mengirim pesan ia langsung merebahkan tubuhnya kekasur
dan mulai memasuki alam mimpinya.
Arissa untuk Mariss | 104
Keenan tengah bersiap-siap untuk pergi nongkrong dengan teman-temannya.
ia menuruni tangga ternyata diruang keluarga ada Bundanya yang sedang menonton tv,
“Bun, aku pergi dulu yah,” pamit Keenan kepada Bundanya.
“Eh, eh mau kemana kamu? Mau main ha? Nggak cium tangan Bunda lagi,”
tanya Bundanya yang menatap Keenan, Keenan yang mendengar itu pun langsung
berbalik badan berjalan menuju Bundanya lalu duduk disampingnya.
“Hehehe, maaf Bun Keenan lupa, eh Ayah sama yang lain mana Bun?” tanya
Keenan sambil memeluk Bundanya dari samping.
“Ayah kamu lagi kerja, Kakak kamu belum pulang mungkin masih ada tugas
kuliah, Adik kamu lagi main dirumah tetangga sebelah tuh,” kata Bunda Catharina atau
yang sering dipanggil Bunda Rina oleh para tetangga.
“Ah dasar mereka para Vincent sibuk sama urusannya sendiri-sendiri” kata
Keenan dengan nada kesalnya.
Bunda Rina yang mendengar itu langsung melotot kearah Keenan dan
berdecak pinggang, “Heh, kamu juga sibuk sama urusan kamu sendiri, sampai-sampai
kamu ninggalin Bunda dirumah sendirian,” kata Bunda Rina kepada Keenan.
“Hehehe, maaf Bun tapi Keenan kali ini keluarnya itu karena ada urusan
penting Bun, sangat sangat sangat penting, kalau gitu Keenan pamit yah Bun,
Assalamualaikum,” pamit Keenan kepada Bunda.
Bunda Rina yang melihat itu hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat
kelakuan anak laki-lakinya itu, “Waalaikumsalam, jangan ngebut-ngebut motornya baru
beli tuh,” kata Bunda Rina menggoda Keenan.
Keenan yang mendengar perkataan Bundanya hanya mengangguk malas,
“Masak yang dikhawatirin itu motornya sih,” batin Keenan saat mendengar perkataan
Bundanya.
***
Keenan memarkirkan sepeda motornya diparkiran pinggir jalan, setelah itu ia
mulai melangkah menuju tempat kedua temannya yang sedang duduk. Ia melihat kedua
temannya sedang mabar mobile legend.
“Ehem, ngapain kalian ngajakin gue kesini?” tanya Keenan saat sudah duduk
dikursi depan Zhain.
Arissa untuk Marissa | 105
Zhain yang mendengar itu langsung menoleh sekilas lalu fokus pada
permainannya lagi, “Gapapa biar lo nggak kelihatan jomblo-jomblo amat gitu dirumah,
mangkannya gue ajak kesini,” kata Zhain yang fokus pada Game nya.
“Yeh, kayak situ nggak jomblo aja,” celetuk Raden melihat Zhain sekilas lalu
menatap Keenan, “Muka lo kenapa di tekuk gitu?” lanjut Raden bertanya pada Keenan.
“Kalian tahu nggak sih Arissa kemana?” tanya Keenan pada kedua temannya.
“Yah dirumahnya lah,” jawab Zhain dan Raden bersamaan.
“Nggak ada, tadi pulang sekolah gue udah kerumahnya tapi kata
pembantunya Arissa nggak pulang semaleman,” kata Keenan dengan lesu.
“Ha? What the hell?” kata Zhain dengan spontan saat mendengar
pendengaran Keenan dan langsung mempause Gamenya dan fokus pada Keenan.
“Kok bisa sih?” tanya Raden kaget tapi tidak seheboh zhain, “Padahal tadi gue
lihat Arissa ditaman belakang sekolah sama kedua sahabatnya, masak iya dia nginep
dirumah salah satu sahabatnya,” lanjut Raden yang langsung ditatap oleh Keenan serius.
Tiba-tiba Keenan tersenyum dengan lebar sambil terus menatap Raden,
Raden yang ditatap seperti itu hanya mengangkat kedua alisnya seraya bertanya “Apa?,”
pada Keenan.
“Lo suka Raden Keen?astaga lo belok yah?,” celetuk Zhain dengan spontan
saat melihat interaksi kedua temannya yang tatap-tatapan seperti tadi.
Takkk…
Takkk..
“Kita masih normal yah, enak aja,” kata Keenan dan Raden bersamaan seraya
menjitak kepala Zhain.
“Santai kali woi, sakit elah abis lo berdua pandang-pandangan kayak gitu sih,
gue kan jadi mikir yang enggak-enggak,” kata Zhain sambil mengelus kepalanya yang di
jitak.
“Sembarangan aja lo kalau ngomong, untung temen kalau bukan gue buang
ke sungai Amazon lo,” kata Keenan.
“Maaf deh maaf,” kata Zhain meminta maaf ke Keenan dan Raden.
Arissa untuk Marissa | 106
“Udah ah gue mau nelfon Nesa dulu,” kata Keenan sambil mengeluarkan
Hpnya dari saku jaket yang ia kenakan.
“Eh, mau ngapain loh nelfon Mira?” tanya Raden penasaran.
“Mau tanya dia tahu nggak dimana Arissa sekarang?” jelas Keenan
memberitahu Raden dan Zhain, kedua temannya hanya mengangguk. Setelah deringan
ke lima, akhirnya Nesa mengangkat panggilannya.
“Halo, assalamualaikum Kak Keenan. Ada apa telpon Nesa?”
“Waalaikumsalam, aku mau tanya kamu tahu Arissa dimana nggak? Soalnya
tadi pulang sekolah aku kerumahnya tapi kata bibinya dia nggak pulang dari semalem,”
jelas Keenan kepada Nesa.
“Oh Arissa, janji yah kak jangan bilang siapa-siapa tentang ini, jadi
sebenernya Arissa itu diusir dari rumah sama Bundanya,”
“Kok bisa diusir sih? Kenapa?” tanya Keenan dengan penasaran.
“Malem itu sepulang abis jalan sama kakak, Marissa dateng nyamperin
Arissa terus Marissa ngerebut boneka dan coklat dari kakak, terus pas Marissa udah
dapet bonekanya dia malah ngedorong Arissa dari tangga atas tapi dengan reflek Arissa
langsung berpegangan pada pagar pembatas tangga dan naasnya Marissa yang
terjatuh jadi gitu kak,”
Keenan dan kedua temannya dibuat syok saat mendengar penjelasan dari
Nesa, “Itu serius Nes?” tanya Raden yang syok
“Iya kak, masa aku ngarang cerita sih, kalau nggak percaya samperin aja
kerumahnya Bu Ari,”
“Rumahnya Bu Ari? Dia ada disana?” tanya Keenan dengan nada
penasarannya.
“Iya kak,”
“Yaudah kalau gitu makasih yah infonya Nes, Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam,”
Tutt…
Arissa untuk Marissa | 107
Sambungan telfon dimatikan oleh Nesa, setelah itu Keenan langsung
mengambil kunci motornya seraya berdiri dengan terburu-buru ia tak sabar untuk
bertemu dengan Arissa.
“Eh mau kemana lo?” tanya Zhain saat melihat Keenan terburu-buru.
“Gue mau kerumah Bu Ari sekarang mau ketemu Arissa nih,” kata Keenan
sambil menatap Zhain.
“lah sekarang? Ini udah malem coy, besok aja pulang sekolah atau pas
istirahat kan bisa ketemu Arissa,” kata Zhain menasehati Keenan.
“Nah iya betul tuh apa kata Zhain yakali kita bertamu malem-malem gini,
mending besok aja deh,” kata Raden yang setuju dengan perkataan Zhain.
“Huff, yaudah deh,” putus Keenan tak jadi pergi dan melanjutkan
nongkrongnya.
***
Pagi ini Arissa tengah bersiap-siap untuk sekolah, ia menuruni tangga
ternyata dimeja makan sudah ada Bu Ari yang sedang menyiapkan makanan, ia pun
berjalan menuju Bu Ari dan ia berniat pamit untuk berangkat sekolah,tapi sebelum
Arissa sampai dapur Bu Ari sudah menarik Arissa untuk duduk dimeja makan, “Kamu
duduk aja, biar ibu yang masak kamu tunggu aja ok,” kata Bu Ari seraya meninggalkan
Arissa tanpa mendengarkan jawaban Arissa terlebih dahulu.
5 menit kemudian Bu Ari kembali sambil membawakan susu putih untuk
Arissa dan menaruhnya didepan Arissa, “Ini buat kamu, minum biar pinter dan makin
rajin belajarnya,” kata Bu Ari, Arissa yang mendengar itu hanya diam sambil meminum
susu buatan Bu Ari, “Kamu nggak sarapan?” lanjut Bu Ari bertanya pada Arissa.
Arissa yang mendengar itu hanya menggelengkan kepalanya sambil menatap
ke depan dengan pandangan kosong, Bu Ari yang melihat itu menghelai napasnya dan
mulai beranjak berdiri lalu berjalan kearah tempat duduk samping Arissa, “Kamu kenapa
sedih gitu mukanya?” tanya Bu Ari pada Arissa, Arissa yang mendengar pertanyaan Bu
Ari hanya menggelengkan kepalanya, “Arissa kalau kamu sedang ada masalah kamu bisa
cerita ke saya, saya nggak suka murid kesayangan saya sedih kayak gini,” lanjut Bu Ari
pada Arissa.

Arissa untuk Marissa | 108


Arissa langsung menatap Bu Ari dalam, “Boleh nggak kalau saya peluk ibu,”
kata Arissa kepada Bu Ari yang sedang menatapnya juga, lantas Bu Ari hanya
menganggukkan kepala dan merentangkan tangannya lebar-lebar.
Arissa langsung memeluk Bu Ari dengan erat seakan Bu Ari akan pergi jauh,
“Kamu kalau ada masalah bisa curhat ke Ibu, jangan ragu buat curhat ke Ibu, anggap Ibu
adalah Bunda kamu Arissa, Ibu menyayangi kamu Arissa,” kata Bu Ari kepada Arissa
yang langsung membalas pelukan Arissa seraya mengusap kepala Arissa yang tetutupi
oleh jilbab yang dipakai Arissa.
Mendengar perkataan Bu Ari hati Arissa bergetar ia menangis, ia sudah lama
tidak merasakan kasih sayang seorang Ibu dan disaat ia benar-benar terpuruk Bu Ari
datang membantu dirinya layaknya seorang Ibu kepada anaknya yang selalu ada setiap
saat, “Andai Bunda kayak Bu Ari Arissa pasti bahagia, terima kasih Bu sudah menolong
Arissa dan memperlakukan Arissa layaknya seorang anak, Arissa merasa menjadi anak
yang beruntung,” kata Arissa mengutarakan apa yang ia rasakan sekarang ini.
Bu Ari yang mendengar ungkapan Arissa semakin mempererat pelukan
mereka seraya mencium puncak kepala Arissa, Arissa juga semakin terisak dipelukan Bu
Ari.
Setelah lama mereka berpelukan Bu Ari melepaskan pelukan merekan dan
menatap Arissa dalam lalu mengajaknya untuk berangkat bersama tapi sebelum itu ia
menyuruh Arissa untuk mencuci mukanya agar terlihat lebih fress.
Selama perjalanan dimobil hanya ada keheningan, Bu Ari yang fokus menyetir
dan Arissa yang fokus membaca cerita di wattpad, sesampainya disekolah Arissa
berterima kasih dan berpamitan kepada Bu Ari lalu ia berjalan menuju kelas.
“Arissa akhirnya kamu dateng, aku kirain kamu nggak masuk sekolah
hehehe,” kata Mira saat melihat Arissa yang baru memasuki kelas.
“Hmm,” balas Arissa yang berdehem saja.
“Ih kok gitu sih Sa respon kamu,” protes Mira dengan kesal kepada Arissa
karena perkataannya hanya dibalas deheman saja oleh Arissa.
“Udah deh Mir, mungkin Arissa lagi pusing dan nggak mood jadi kamu nggak
usah ngangguin dia deh Mir,” kata Nesa menasehati Mira agar tidak mengganggu Arissa
dulu. Mira yang mendengar perkataan Nesa hanya menghelai napasnya.
Arissa untuk Marissa | 108
“Assalamualaikum Wr.Wb.” kata Dhava didepan kelas.
“Waalaikumsalam Wr.Wb.” balas seluruh murid yang ada dikelas.
“Ada apaan Dhap?” tanya Ferdian menatap Dhava.
“Gue mau ngumumin pemberitahuan dari Pak Budi beliau menyuruh kita
untuk kelapangan sekarang karena nanti ada tes lari,” kata Dhava yang langsung
mendapatkan teriakan malas dari anak perempuan dikelas.
“Ini harus banget yah sekarang tes larinya?Panas nih mana gue lupa nggak
pakai handbody lagi tadi,” kata Lintang perempuan yang selalu tampil cantik dan selalu
menjaga kulitnya, semua murid perempuan mengangguk menyetujui perkataan Lintang
kecuali Arissa, Mira dan Nesa.
“Yeh kalau mau tetep putih sepulang dari sekolah pakai noh kapur putih yang
banyak,” kata Ramdhani yang mengejek Lintang, seketika semua yang mendengar itu
tertawa lebar.
“Sialan lo Ram, awas aja lo,” kata Lintang dengan kesal.
“Udah-udah ayo keluar semua, Pak Budi udah nungguin kita nih,” kata Dhava
menyuruh mereka semua keluar.
Sesampainya dilapangan Pak Budi sudah menunggu mereka, “Lama kali lah
kalian ini, jamuran saya nungguin kalian tuh,” kata Pak Budi saat mereka semua sampai
didepan Pak Budi
“Yeh Pak, semua tuh butuh proses pak,” kata Dio mencoba membalas
perkataan Pak Budi.
“Alasan saja lah kau tuh, eh ada Ferdian masih hidup kau? Ku kira tak akan
masuk kau kali ini kan biasanya kau suka bolos yah,” kata Pak Budi kepada Ferdian
disebelah Dio,
“Tobat saya nih pak,” kata Ferdian.
“Tobat apa kau tuh dari dulu selalu bilang tobat tapi tak tobat-tobat kau,”
kata Pak Budi kepada Ferdian seraya menggeleng gelengkan kepalanya melihat kelakuan
muridnya yang satu itu, “sudah ayo semuanya membuat kelompok 1 kelompok isinya 4
orang cepat cari sekarang,” lanjut Pak Budi, semua yang mendengar perintah Pak Budi
pun buru-buru mencari kelompok mereka.
Arissa untuk Marissa | 109
“Kita sama siapa woi? Kita kurang satu orang nih,” kata Mira dengan nada
khawatir takut tak mendapatkan 1 anggota kelompoknya.
Tiba-tiba Arissa pergi meninggalkan mereka dan berjalan menuju pinggir
lapangan dibawah pohon, ternyata disana ada Lintang yang sedang duduk dibawah
pohon kelihatannya dia sedang menepi dari teriknya matahari.
“Lo masuk kelompok gue,” kata Arissa tiba-tiba saat sampai didepan Lintang.
Seketika Lintang langsung mendongkak menatap ke Arissa ia hanya
menganggukkan kepalanya, “Tapi---
“Lo tunggu disini,” kata Arissa memotong perkataan Lintang dan seraya pergi
meninggalkan Lintang yang menatapnya kebingungan.
“Nih buat lo, gue tahu lo nggak suka kulit lo terpapar sinar matahari secara
langsung,” kata Arissa yang sudah kembali dengan tangan kanan membawa jaket ntah
jaket siapa.
Mau tak mau Lintang menerima jaket itu dan langsung memakainya,
”Makasih,” kata Lintang disela kegiatannya memakai jaket.
“Udah kan, ayo ikut gue sekarang giliran kita,” ajak Arissa kepada Lintang lalu
pergi ketengah lapangan dimana Nesa dan Mira berada, diikuti Lintang dibelakangnya.
“Ayo kita baris kn sekarang giliran kita,” kata Arissa membuyarkan lamunan
Nesa dan Mira.
“Eh ayo ayo,” kata Nesa dan Mira bersamaan. Lalu mereka berempat berjalan
menuju garis start.
“Siap kalian?” tanya Pak Budi. Yang diangguki oleh mereka berempat.
Prittttt…
Mereka berempat langsung berlari saat mendengar suara peluit ditiup. 4 kali
sudah mereka memutari lapangan putaran terakhir Mira berhenti berlari karena tidak
kuat, diikuti oleh Nesa, kini yang berlari hanya Arissa dan Lintang mereka masih
bertahan diputaran terakhir.
Prittttt…..
Arissa untuk Marissa | 110
Peluit ditiup tanda berakhirnya tes berlari, semua berkumpul didepan Pak
Budi, “Oke tes lari sudah saya ambil, kalian abis ini boleh istirahat tapi dengrkan saya
dulu, buat kalian yang larinya kurang kuat silahkan latihan lari lagi, jangan malas-malas
cuman lari doang, kalian bisa jogging dengan teman, sahabat atau pacar kalian bagi yang
nggak jomblo loh yah kalau jomblo mah sendiri aja udah, tapi kelihatan dari muka-muka
kalian itu kayaknya jomblo deh,” kata Pak Budi menasehati mereka semua.
“Yaelah pak, gitu banget sih sama murid sendiri sampai dibilang jomblo,” kata
Bayu yang tidak terima dibilang jomblo.
“Lah emang kamu punya pacar? Nggak toh muka kayak kamu tuh muka-muka
playboy saya tahu itu, gini-gini saya juga pernah muda kali,” kata Pak Budi dengan nada
angkuhnya.
“Sakit hati saya Pak, bapak gituin,” kata Bayu dengan nada yang dialay-
alaykan.
“Emang saya peduli, udah sekarang kalian istirahat,” kata Pak Budi langsung
berjalan pergi dan diikuti oleh murid-murid yang lain.
“Kita ganti baju dulu yuk baru makan di kantin,” kata Nesa yang langsung
dibalas anggukan oleh kedua temannya itu.
15 menit mereka keluar dari kelas dan langsung berjalan menuju kantin untuk
mengisi perut mereka yang keroncongan, “Mau pesen apa?” tanya Mira kepada kedua
temannya itu.
“Samain aja deh,” kata Arissa yang dibalas anggukan oleh Nesa. Mira
langsung pergi untuk memesan makanan.
Tak butuh waktu lama Mira kembali dengan nampan ditangannya yang berisi
makanan dan minuman yang ia pesan.
Mereka langsung makan dengan lahap tanpa banyak bicara, selesai makan
mereka kembali kekelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya.
***
Bel pulang berbunyi semua murid berhampuran keluar kelas, Arissa buru-
buru keluar kelas karena ojolnya sudah datang, “Aku duluan yah abang ojolnya udah
dateng tuh,” pamit Arissa kepada Nesa dan Mira yang langsung dibalas anggukan oleh
Nesa dan Mira.
Arissa untuk Marissa | 111
5 menit setelah Arissa pergi Keenan datang dengan napas memburu, “Eh
Arissanya mana?” tanya Keenan saat sampai didepan Nesa dan Mira.
“Udah pulang duluan kak,” kata Nesa.
Setelah mendengar perkataan Nesa bahwa Arissa sudah pulang terlebih
dahulu ia langsung berterima kasih dan langsung berjalan menuju parkiran motor untuk
mengambil motornya. Ia memutuskan untuk pulang terlebih dahulu baru kerumah Bu
Ari.
Sesampainya dirumah ia langsung berjalan menuju tangga, memasuki
kamarnya dan langsung mandi. 15 menit kemudian ia turun dengan pakaian yang rapi ia
langsung bergegas untuk kerumah Bu Ari.
20 menit ia sampai didepan rumah Bu Ari ia turun dari motornya dan berjalan
untuk mengetuk pintu. “Assalamualaikum,” salam Keenan dengan keras.
“Waalaikumsalam tunggu sebentar,” teriak sipemilik rumah alias Bu Ari.
“Loh nak Keenan ada apa yah?” tanya Bu Ari kepada Keenan saat pintu
dibuka.
“Saya kesini mau cari Arissa Bu, Arissanya ada nggak Bu?” tanya Keenan
kepada Bu Ari.
“Arissanya ada tapi mungkin dia masih nggak ,mau ketemu siapa-siapa dulu,
apa kamu mau samperin dia sendir?” tanya Bu Ari.
“Boleh emangnya Bu?” tanya Keenan kepada Bu Ari.
“Boleh, ayo masuk,” ajak Bu Ari kepada Keenan. Dan mereka langsung
berjalan masuk kedalam rumah Bu Ari.
“Nah itu kamu naik aja ketangga ntar ada kamar warna pintunya pink nah itu
kamarnya Arissa,” Kata Bu Ari menunjukkan dimana letak kamar Arissa.
“Terima kasih Bu, saya izin ke Arissa dulu yah bu,” kata Keenan yang langsung
dibalas anggukan oleh Bu Ari setelah itu Keenn langsung naik menuju Kamar Arissa.
Tokkk…
Tokkk…
“Siapa?” teriak Arissa dari dalam kamar.
Arissa untuk Marissa | 112
“Aku Keenan Sa,” balas Keenan dari luar kamar.
“Ha? Ngapain kakak kesini, gue lagi nggak mau ketemu siapa-siapa kak, jadi
pergi,” teriak Arissa dari dalam.
“Pliss Arissa, akum au ngomong penting banget, ini tentang kehidupan kamu
dan aku,” kata Keenan kepada Arissa.
“Oke, kita ngobrol diluar,” kata Arissa yang langsung membuka pintu
kamarnya dan berjalan menuju ruang tamu.
“Ini minumnya nak Keenan,” kata Bu Ari yang baru datang sambil membawa
2 minuman untuk diirinya dan Arissa.
“Terima kasih Bu, nggak usah repot-repot seharusnya,” kata Keenan yang
merasa tidak enak kepada Bu Ari.
“Hahaha nggak papa nak Keenan, eh kalian mau ngomong serius yah
kelihatannya? Yaudah deh Bu Ari kebelakang dulu,” kata Bu Ari seraya berbalik badan,
dan diangguki boleh mereka berdua.
“Mau ngomong apa sih kak sebenernya?” tanya Arissa dengan penasaran.
“Kalau nggak penting Arissa balik nih ke kamar,” kata Arissa dengan malas.
Keenan mengehembuskan napasnya, “Sebenarnya Arissa kamu adalah adik
kandung aku,” kata Keenan dengan cepat.
“Hah, apa?” Arissa menatap Keenan dengan pandangan tak percaya dan
curiga.
“Iya itu lah yang sebenarnya, kamu memang adik kandung aku,” kata Keenan
lebih meyakinkan Arissa.
“Enggak ini nggak mungkin nggak mungkin, kemarin Bunda Karina ngaku
kalau aku bukan anak kandungnya aku hanya anak yang diangkat karena rasa iba, terus
sekarang Kak Keenan datang dan bilang kalau aku itu adik kandung Kak Keenan? Apa
maksud dari semua ini? Kalian semua bohongin aku yah? Arrghhh,” teriak Arissa sambil
memukul kepalanya dengan tangannya.
Keenan yang melihat itu pun langsung menghampiri Arissa lalu memeluknya
dengan erat, “Arissa, kamu jangan kayak gini, istighfar Arissa semua ini pasti ada
hikmahnya,” kata Keenan menasehati Arissa sambil mengelus kepala Arissa.
Arissa untuk Marissa | 113
“Tapi kenapa? Kenapa ini terjadi sama Arissa ? Arissa salah apa ?” tanya
Arissa dengan terisak dipelukan Keenan.
“Sabar yah, Allah tahu kalau kamu itu bisa menjalankan ini semua jadi kamu
harus hadapi jangan menyerah,” kata Keenan memberikan Arissa nasehat.
“Kalau Arissa masih nggak percaya kita besok pulang sekolah bisa kerumah
sakit untuk melakukan tes darah,” kata Keenan memberikan saran kepada Arissa.
“Oke Arissa mau,” kata Arissa sambil melepaskan pelukan Keenan
“Terima kasih Arissa sudah mau tes darah,” kata Keenan kepada Arissa.
“Iya,” kata Arissa menatap Keenan.
“Hmm Arissa apa aku boleh tanya tentang Marissa yang sebenarnya adalah
kakak kamu tapi kalian menutupi fakta ini dari semua orang,” tanya Keenan menatap
Arissa.
“Kakak tahu dari mana kalau Marissa adalah kakak aku?” tanya Arissa dengan
penasaran dan menatap curiga ke Keenan.
“Aku juga tahu kalau kamu dulu punya saudara namanya Gya Adi Alkatiri dia
meninggal karena ditembak kan?” tebak Keenan kepada Arissa.
Seketika Arissa yang mendengar perkataan Keenan pun langsung menatap
Keenan dengan pandangan tak percaya, “Kok kak Keenan bisa tahu?” batin Arissa
bertanya-tanya.
“Kamu nggak usah bingung aku tahu dari mana tentang hal itu, bahkan aku
juga tahu semuanya, Marissa bukan kakak kandung kamu sebenarnya dia lah yang anak
angkat Ayah dan Bunda,” kata Keenan menebak isi pikiran Arissa, “Apa bener Marissa
koma dirumah sakit?” lanjut Keenan bertanya kepada Arissa.
“Kakak yang bener aja ngomongnya yang bukan anak kandung itu aku bukan
kak Marissa, aku nggak tahu gimana kabarnya dia sekarang, aku pengen jenguk dia tapi
aku takut Bunda Karina nggak ngebolehin aku jenguk Marissa,” kata Arissa sambil
menunduk sedih.

Arissa untuk Marissa | 114


“Aku ngomong apa adanya Arissa Marissa bukan anak dari Bunda dan Ayah,
dan juga aku adalah kakak kamu Iqbal Adi Alkatiri,” Kata Keenan kepada Arissa, “Oh,
kamu nggak usah khawatir abis dari sini aku bakalan jengukin dia terus aku kabarin
gimana perkebangannya dia ke kamu gimana?” kata Keenan memberikan saran.
“Jadi Kakak adalah Kak Iqbal? Kalau kakak nggak keberatan yaudah deh,” kata
Arissa kepada Keenan.
“Iya aku Kak Iqbal Arissa, Nggak papa kok, yaudah kalau gitu aku kesana dulu
yah,” pamit Keenan kepada Arissa seraya bangun dari duduknya, “Boleh panggilin Bu Ari
nggak? Aku mau pamit nih,” kata Keenan menyuruh Arissa memanggilkan Bu Ari.
Arissa langsung pergi kebelakang untuk memanggil Bu Ari, tak sampai 5 menit
Arissa kembali diikuti Bu Ari dibelakangnya,
“Udah mau pulang aja nih nak Keenan, kok buru-buru sih?” tanya Bu Ari
kepada Keenan.
Keenan yang mendengar perkataan Bu Ari hanya tersenyum menatap Bu Ari,
“Iya Bu, ada urusan soalnya, ya sudah Bu saya pulang dulu Bu, Assalamualaikum,” pamit
Keenan kepada Bu Ari.
Keenan diantar oleh Arissa kedepan gerbang rumah Bu Ari, setelah Keenan
pergi Arissa kembali masuk kerumah.
Keenan segera menuju rumah sakit tempat dimana Marissa berada,
sesampainya disana ia tak langsung masuk ke ruangan dimana Marissa dirawat tapi ia
pergi ketaman tempat ia janjian dengan seseorang tak sampai 5 menit orang tersebut
datang.
“Keenan,” panggil seseorang itu.
Keenan yang mendengar itu langsung berbalik badan dan menatap seorang
pria akhir dua puluhan dengan snelli yang masih melekat ditubuhnya, “Ah, paman
Abidar long time no see,”
Pria yang dipanggilnya paman itu duduk disebelah Keenan seraya melepaskan
snelli yang melekat ditubuhnya, “Jadi bisnis apa yang ingin kamu bicarakan?”
“Begini paman, aku ingin paman membantuku sedikit,” perkataan Keenan
membuat kerutan dalam tercetak di dahi sang paman.
Arissa untuk Marissa | 115
“Apa? Katakan saja, paman akan membantumu sebisa paman,”
“Aku ingin paman membantuku untuk menguji kecocokan hubungan darah
diantara aku, Arissa dan Marissa,”
“Anak kembar yang katamu itu nggak kembar?” tanya Abidar memastikan.
“Iya paman, memang itu kenyatannya kali. Sekarang Marissa kan lagi koma
bisalah paman untuk ambil sedikit darahnya untuk tes uji kecocokan,”
“Paman nggak bisa bantu kalau dari pihak keluarga tidak memberikan izin
untuk mengambil darahnya,”
“Udah dapat kok paman, tinggal persetujuan paman untuk membantu
Keenan aja,”
“Asli kamu udah izin?” tanya sang paman dengan tatapan tegas ke arah
Keenan.
“Udah dong paman,” Keenan kan udah izinin, kalau masalah untuk waktu
dalam mengambilnya semoga Allah mengizini juga meridhoi paman, lanjut Keenan
dalam hati.
“Baiklah, sekarang kita ke rumah sakit paman dulu, ambil peralatannya terus
kita ke rumah sakit tempat Marissa,” kata pamannya, langsung saja mereka pergi
kerumah sakit pamannya Keenan menunggu pamannya diparkiran rumah sakit setelah
itu mereka berangkat menuju rumah sakit tempat Marissa dirawat.
Sesampainya disana mereka langsung mencari kamar yang ditempati oleh
Marissa, “Assalamualaikum,” kata Keenan kepada Bunda Karina saat ia membuka pintu
ruang inap Marissa.
“Waalaikumsalam, Eh nak Keenan apa kabar?” sapa Bunda Karina kepada
Keenan.
“Alhamdulillah baik Bun, Bunda apa kabar?” tanya balik Keenan.
“Alhamdulillah Bunda juga baik-baik aja, eh itu siapa yang sama kamu?”
tanya Bunda Karina saat melihat Keenan tidak sendirian.
Arissa untuk Marissa | 116
“Ini temen Keenan Bunda, kenalin nama nya Abidar,” kata Keenan
memperkenalkan pamannya sebagai temannya.
“Oh gitu, eh Bunda mau ke kantin dulu, titip Marissa yah,” kata Bunda Karina
dan langsung dibalas senyuman oleh Keenan lalu melangkah pergi ke kantin.
“Sekarang Keenan?” tanya pamannya kepada Keenan, yang dibalas anggukan.
Tanpa menunggu lama pamannya itu langsung mengeluarkan peralatannya
seperti jarum lalu ia menekannya disalah satu jari Marissa setelah keluar darah bia
mengambil 1 ml dan ditaruh ditempat kecil seperti kaca. Setelah itu mereka bersikap
selayaknya tak ada apa.

“Nak Keenan sama Abidar ini minumannya silahkan diminum,” kata Bunda
Karina saat selesai membeli sesuatu dari kantin rumah sakit.
Cukup lama mereka berbincang Akhirnya Keenan dan pamannya Abidar
pamit pulang karena hari mulai larut.
***
Arissa sudah sampai disekolah dari 5 menit yang lalu, ia sedang membaca
buku fisika yang diberikan Bu Ari, “Sa ini kan waktunya mr. Prayit kok kamu malah baca
buku fisika sih?” tanya Mira heran.
“Emang kalau waktunya Mr.Prayit nggak boleh baca buku lain selain buku
bahasa inggris?” tanya balik Arissa.
Baru saja Mira akan membalas pertanyaan Arissa, mrs.Prayit sudah datang
memasuki kelas, “Hallo guys,” sapa Mr.Prayit
“Hai sir,” balas semua muris kelas Arissa.
“How are you?” tanya Mr.Prayit
“I’m fine, thank you and you?” balas para murid.
“Me?” tanya Mr.Prayit
“Yes,” balas para murid
Arissa untuk Marissa | 117
“ I’m fine, thank you,” kata Mr.Prayit, “Baca basmalah dulu sebelum mulai
pelajaran,” lanjut Mr.prayit.
“Bismillahirrohmanirohim,” kata mereka membaca doa. Lalu dilanjut dengan
pelajaran.
***
Kringg….
Kringg…
Jam istirahat berbunyi semua murid berhamburan kekantin terkecuali Arissa,
Mira, dan Nesa mereka pergi ke taman belakang setelah memesan makanan, mereka
ingin mecari pemandangan yang bagus, mereka duduk disebuah pohon rindang yang
didepannya langsung disuguih oleh kolam ikan.

“Ihh sejuk lah disini,” kata Nesa dengan nada gembiranya.


“Iya Nes, berasa nyaman gitu,” kata Mira setuju dengan perkataan Nesa.
Setelah itu mereka lanjut makan dan sesekali berbincang-bincang.
Bebepa jam kemudian mulai terdengar suara bell untuk pulang bagi semua
siswa.
Kringg..
Kringg..
Kringg..
Arissa bergegas menuju rumah sakit dengan menggunakan ojol, seharusnya
bisa saja ia berangkat bersama Keenan tapi ia tak mau ia takut kalau berangkat bersama
Keenan akan canggung dan kaku.
Arissa sampai dirumah sakit bersamaan dengan Keenan mereka tak sengaja
bertemu didepan rumah sakit, langsung saja Keenan menelfon dokter yang sudah
janjian dengannya.
“Keenan kan?” tanya seorang dokter dari belakang Keenan dan Arissa.
Arissa untuk Marissa | 118
“Eh iya dok,” kata Keenan menatap dokter tersebut, “Arissa kenalin ini dokter
yang bakalan bantuin kita,” lanjut Keenan kapada Arissa memperkenalkan dia dengan
sang dokter.
“Perkenalkan nama saya Abidar,” kata dokter itu memperkenalkan diri dan
mengulurkan tangan. “
“Saya Arissa dok, yang bakalan tes darah,” kata Arissa menjabat tangan
dokter tersebut dan langsung melepasnya.
“Yasudah kalau gitu, sekarang ayo kita langsung masuk keruangan saya,” kata
dokter Abidra.
Setelah Arissa dan Keenan duduk didepan dokter Abidar,
Tokkk..
Tokkk..
Terdengar suara pintu diketuk, “Masuk,” kata dokter Abidar, pintu terbuka
dan tampaklah seorang perawat datang dengan membawa peralatan ditangannya.
“Permisi dok, ini alat yang anda minta,” perawat itu meletakkannya di atas
meja kerja dokter Abidar.
“Tolong kamu ambil darah dari Arissa dan Keenan, lalu antar ke laboratorium
untuk dites kecocokannya,” perintah dokter Abidar.
Setelah mendengar perintah dokter Abidar, perawat terrsebut langsung
melaksanakan perintahnya. Keenan langsung menyodorkan tangannya, perawat
tersebut langsung mengambil sebuah alat yang mirip jarum dan menekannya ke salah
satu jari Keenan mengambil darahnya sekitar 1ml. perawat tersebut langsung beraliih ke
Arissa,
“Sus ini nggak bakalan sakit kan?” tanya Arissa paranoid.
“Tidak kok, rasanya seperti digigit semut saja,” jawab perawat tersebut
menenangkan.
Keenan dan dokter Abidar menahan tawanya saat melihat Arissa ketakutan,
Arissa yang melihat kelakuan dokter Abidar dan Keenan langsung menghela nafasnya.
Arissa untuk Marissa | 119
“Yasudah Arissa mau,” kata Arissa dengan mengangguk ragu-ragu, Arissa
langsung memejamkan matanya saat perawat tersebut mengambil sedikit darahnya.
“Sudah, kamu bisa membuka matamu lagi,” perawat tersebut langsung
membereskan peralatannya dan izin kepada dokter Abidar, “Dok, saya izin ke
laboratorium untuk memberikan ini,”
“Baiklah, nanti sebentar lagi saya akan ke sana,” setelah dokter Abidar
mengangguk, perawat tersebut langsung meninggalkan ruangan setelah memberikan
senyuman ke arah Arissa dan Keenan.
“Dok, kapan hasil tes dna ini akan kami terima?” tanya Keenan.
“Mungkin tiga hari lagi hasilnya akan keluar,” jawab dokter Abidar.
“Apa ada yang ditanyakan lagi?” tanya dokter Abidar yang menatap ke arah
Arissa.
“Aman apa nggak nanti dok hasilnya?” tanya Arissa yang takut jika nanti
Keenan akan merubah hasil tesnya.
“Dipastikan akan aman, karena yang dapat masuk ke laboratorium hanya
para ahli dan orang-orang tertentu yang diizinkan untuk masuk,” jawab dokter Abidar
dengan tegas.
“Baiklah, saya percaya,” tuntas Arissa.
“Yasudah kalau begitu kami pamit keluar dok,” kata Arissa.
“Silahkan,” dokter Abidar langsung berdiri dan mengantarkan Keenan juga
Arissa untuk keluar ruangannya.
Setelah keluar dari ruangan Keenan dan Arissa menuju parkiran rumah sakit
lalu Keenan langsung mengantarkan Arissa pulang karena ia takut tiba-tiba Arissa lemas
atau sakit jadi lebih baik ia langsung menyuruh Arissa istirahat saja dirumah.
***
3 hari kemudian tepatnya pada hari Minggu pagi Arissa, dan Keenan bergegas
menuju kerumah sakit yang waktu itu untuk mengambil hasil tes darah tersebut. Seperti
biasanya Kak Keenan menjemput Arissa untuk berangkat bersama kerumah sakit. Bu Ari
sedang pergi katanya ada rapat untuk guru sekolahnya.
Arissa untuk Marissa | 120
Setelah perjalanan yang menempuh sekitar waktu 20 menit untuk kerumah
sakit dan akhirnya mereka pun sampai dirumah sakit. Dan langsung menemui Dokter.
Tok...
Tok...
Tok...
Kak Keenan mengetok pintu ruangan Dokter
"Silakan masuk!" kata Dokter Abidar dari dalam ruangannya.
"Assalamualaikum Dok," kata Keenan saat membuka pintu
"Waalaikumsalam iya silakan duduk," kata Dokter tersebut mempersilahkan
mereka duduk.
"Gimana Dok hasil tes nya?" kata Arissa yang tidak sabar
"Sebentar ya saya akan mengambil hasilnya tes nya," kata Dokter
"Oh iya Dok," kata Arissa.
"Nah jadi begini dalam tes darahnya jika nak Keenan dengan Arissa adalah
positif benar bersaudara kandung, sedangkan Keenan dengan Marissa hasilnya Negatif
bersaudara kandung," kata Dokter.
"Yang benar Dok?!" kata kak Keenan
"Iya!" kata Dokter Abidar menatap mereka berdua
"Tuhkan Ris benar jika kamu adik kandung aku" kata kak Keenan sambil
membelai rambut Arissa yang ada disampingnya
"Dokter ngga bohong kan?" kata Arissa yang tidak percaya
"Iya, jika kamu belum percaya ini hasil tesnya biar kamu yang baca sendiri"
kata Dokter Abidar.
Arissa tiba-tiba terdiam sejenak karena ia tidak menyangka jika Keenan
adalah kakak kandungnya. Tiba-tiba Dokter memberikan informasi jika...
"Ada satu hal lagi yang harus saya sampaikan," kata Dokter
"Apa Dok?" kata Kak Keenan dan Arissa bersamaan menatap Dokter Abidar.
Arissa untuk Marissa | 121
"Sebenarnya ananda Arissa ini terkena penyakit kanker," kata Dokter
"Ha? Yang benar aja Dok! Adik saya tidak mungkin terkena kanker," kata
Keenan
"Jika kalian kurang percaya dan yakin coba kalian mengecek ananda Arissa ke
Dokter khusus penyakit kanker saja," kata Dokter Abidar menyarankan Keenan dan
Arissa
"Oke Dok nanti saya coba ke Dokter kanker nya," kata Keenan
"Dok disini emangnya ada Dokter khusus Kanker ya?" tanya Arissa
"Oh tenang aja, ada kok," kata Dokter
"Oh yauda kalau gitu makasih banyak Dok," kata Keenan berterima kasih
kepada Dokter Abidar.
Lalu Arissa dan Keenan berdiri meniggalkan ruangan Dokter Abidar, tanpa
kelamaan mereka pun langsung menemui Dokter Kanker. Setelah mereka masuk
diruang Dokter khusus Kanker.
"Selamat pagi Dok" kata Keenan kapada sang Dokter
"Pagi, silahkan duduk" kata Dokter tersebut manyuruh mereka duduk
“Perkenalkan Dok, saya Keenan ini adik saya Arissa,” kata Keenan
memperkenalkan diri.
“Oh, kalian bisa panggil saya Zagi,” balas Dokter Zagi memperkenalkan dirinya
dengan senyum menatap mereka.
"Dok apa benar anak ini terkena penyakit kanker?" kata Keenan sambil
menunjukan tangannya kearah Arissa.
"Saya coba cek dulu yah!" kata Dokter tersebut menatap Arissa dan
menyuruhnya untuk berbaring ke kasur.
"Baik Dok!" kata Keenan

Arissa untuk Marissa | 122


Arissa pun berbaring dikasur untuk diambil darahnya agar supaya bisa dicek
oleh Dokter, setelah beberapa jam hasil cek telah keluar dan Arissa memang positif
terkena penyakit kanker darah. Dan Dokter menyuruh Arissa untuk uji kromosom dan
Aspirasi. Tiba-tiba Arissa keluar karena ia tidak kuat apa yang dibicarakan oleh Dokter
tentang penyakitnya dan tidak ingin mendengarkan kelanjutannya.
Keenan yang melihat Arissa pergi hanya bisa menghelai napas, ia ingin
mengejar Arissa tapi ia harus mendengarkan penjelasan Dokter Zagi.
Arissa berlari menuju taman rumah sakit, ia tak menyangka beban yang akan
ia hadapi akan seberat ini, ia bukannya menyerah cuman ia butuh waktu untuk
menerima kenyataan pahit ini.
“Hiks, hiks, hiks,” Arissa menangis ia tak tahan ingin ia berteriak sekeras
mungkin tapi ia masih sadar jika ia berteriak kencang akan mengganggu ketenangan
rumah sakit ini.
“Nih,” kata seseorang dari samping Arissa sambil menyodorkan sebuah tisu,
Arissa yang melihat itu hanya diam menatap ke bawah, ia tak mau orang tersebut
melihat wajahnya yang kacau seperti ini, ia membiarkan tangan seseorang itu
menggantug di udara.
“Perasaan aku tadi nggak ngasih apa-apa deh ketisunya, masih ori ini tapi kok
kamu nggak mau ngambil tisu ini sih padahal aku udah bela-belain balik ke kantin lagi
saat lihat kamu lari-lari sambil nangis, pegel tahu nggak sih, hayati lelah elah,” cerocos
seseorang itu kepada Arissa.
Arissa hanya diam sambil menundukkan kepalanya, tiba-tiba ia merasa
dagunya diangkat keatas oleh seseorang itu jadi posisinya sekarang orang itu ada
dihadapan Arissa sambil menganggat dagu Arissa, “sekarang kamu boleh nangis
sepuasnya untuk mengungkapkan apa yang kamu rasain tapi saat kamu berhenti
menangis detik itu juga kamu nggak boleh nangis lagi,” kata seseorang itu sambil
menghapus air mata Arissa.
“kamu siapa? Kenapa baik banget sama aku?” tanya Arissa yang tetap diam
diperlakukan seperti itu.
“Kenalin aku Adam, maaf sebelumnya aku Vancing sama kamu tapi aku nggak
tega lihat kamu nangis sambil lari-lari kayak tadi,” kata Adam meminta maaf kepada
Arissa.
Arissa untuk Marissa | 123
“Makasih udah baik ke aku, aku Arissa,” kata Arissa memperkenalkan diri
kepada Adam.
“Arissa aku emang nggak tahu apa yang kamu rasain, karena itu yang bisa
ngerasain hanya diri kamu sendiri, tapi yang aku tahu semua orang punya masalah kok
bukan cuman kamu, semua orang ounya beban hidup masing-masing,bahkan beban
hidup yang lebih besar dari kamu, punya tanggung jawab masing-masing, saat kamu
merasa hidupmu yang paling menyedihkan didunia ini kamu salah, karena semua orang
pasti pernah berada diposisi kamu kayak sekarang kamu nggak sendirian, masih banyak
orang yang lebih susah diluar sana, masih banyak orang-orang yang terpuruk diluar sana
tapi mereka berusaha bangkit dan melawan itu semua, kalau kamu ngerasa lelah kamu
boleh berhenti, tenangin diri dulu dan siapin diri, hidup emang keras tapi selalu ada
waktu untuk kita berhenti dan kembali berjuang,” kata Adam menasehati Arissa dengan
bijak, Arissa diam menatap Adam ia tak percaya dengan orang yang baru saja ia kenal ini
ternyata didunia ini masih ada orang baik seperti Adam.
“Terima kasih Adam kamu udah nasehatin aku, kalau nggak kamu nasehatin
aku nggak tahu gimana cara ngejalanin ini semua tapi berkat nasehat kamu aku tahu
sekarang apa yang harus aku lakuin aku harus ikhlas menerima ini semua,” kata Arissa
berterima kasih kepada Adam.
“Sama-sama Arissa, ingat satu hal semua yang terjadi pada diri kita, diri orang
lain, dan seluruh alam semesta ini itu karena atas seizin Allah jadi semuanya sudah
ditata rapi oleh sekenario sang pencipta,” kata Adam kepada Arissa.
“Iya, padahal kita baru kenal tapi kamu bersikap seperti sudah kenal lama
denganku, btw kamu mau apa dirumah sakit ini?” tanya Arissa kepada Adam
“Emang kita nggak boleh bersikap baik sama orang yang baru kita kenal? Aku
mau jenguk temen aku, kamu mau ikut?” tanya Adam pada Arissa dengan pandangan
sedikit lesu padahal tadi ia tak kelihatan lesu.
“Emang boleh?” tanya Arissa balik
“Boleh lah, ayo,” kata Adam, mereka berjalan beriringan menuju ruangan
tempat teman Adam dirawat.
Mereka berhenti disebuah ICU tiba-tiba ada seorang Ibu keluar dari ruangan
tersebut sambil menangis tersedu-sedu dan langsung memeluk Adam, Adam menuntun
Ibu tersebut ke tempat duduk dan menenangkannya.
Arissa untuk Marissa | 124
Arissa yang melihat itu dibuat bingung, ia penasaran dengan apa yang terjadi
didalam ruangan itu sampai-sampai membuat seorang ibu itu menangis, lalu ia berjalan
ke arah jendela ruangan itu dan melihat apa yang terjadi disana, ia melihat didalam sana
ada seorang perempuan tak berdaya diatas kasur rumah sakit dan seorang dokter
tengah mencabuti semua alat yang menempel pada tubuh perempuan itu lalu dokter
tersebut menutupi perempuan itu dengan selimut rumah sakit yang artinya perempuan
itu meninggal, Arissa menutup mulutnya tak percaya.
“Dia yang aku maksud teman aku, namanya Alissa hampir sama kan dengan
nama kamu, aku sayang sama dia bahkan cinta tapi tuhan berkehendak lain, tuhan lebih
sayang dia, mungkin dengan ini dia nggak akan pernah ngerasa sakit lagi,” kata Adam
menjelaskan tentang Alissa kepada Arissa sedikit.
“Dia sakit apa?” tanya Arissa dengan penasaran
“Dia sakit kanker, disaat nyawanya sedang ada diujung tanduk dia dengan
gampangnya bilang kalau saat dia udah pergi dia mau donorin matanya untuk orang
yang nggak bisa melihat,” jelas Adam dengan menghapus air matanya yang menetes.
“Nak Adam ini ada surat dari Alissa untuk kamu, katanya dia sangat mencintai
kamu, tapi tuhan lebih mencintai dia dan satu lagi pesan dari Alissa sebelum ia
meninggal ia ingin kamu tidak terpuruk sedih karena kepergian dia ikhlasin dia dan
semoga kamu mendapatkan gadis yang lebih baik dari dia,” kata Ibu yang memeluk
Adam tadi kelihatannya sih dia ibunya Alissa.
“Iya Bu, terima kasih saya akan selalu ingat pesan Alissa,” kata Adam kepada
Ibu itu.
“Ini temen kamu Nak? Cantik sekali dia,” puji Ibu itu kepada Arissa.
“Makasih tan, tante juga cantik kok,” kata Arissa seraya tersenyum menatap
Ibu itu .
“Nama kamu siapa sayang?” tanya Ibu itu kepada Arissa.
“Saya Arissa tante,” kata Arissa
“Nama yang indah, nama kamu hampir sama kayak nama anak saya, yah
sudah kalau gitu tante mau pergi mengurus pemakaman Alissa dulu yah,” kata Ibu itu
seraya pergi meninggalkan Arissa dan Adam didepan ruang ICU.
Arissa untuk Marissa | 125
“Adam maafin aku yah, gara-gara aku kamu jadi lama buat bertemu sama
Alissa,” kata Arissa meminta maaf ke Adam.
“Nggak ada yang perlu dimaafin Arissa, Alissa pergi itu karena takdir sang
pencipta, aku ikhlas dia pergi,” kata Adam menatap Arissa
“Semoga kamu dapat pengganti yang lebih baik yah dari Alissa, eh iya aku
lupa pasti kakak aku lagi nyariin aku nih, aku pulang dulu yah, maaf nggak bisa nemenin
kamu pas lagi sedih,” kata Arissa meminta maaf ke Adam seraya berdiri
“Nggak papa Arissa harusnya aku yang meminta maaf ke kamu udah ngajak
kamu kesini terus buat kamu lupa kalau udah ditungguin kakak kamu,” kata Adam ikut
berdiri disamping Arissa.
“Yasudah kalau gitu aku pergi dulu yah, semoga kita bertemu lagi Adam,”
kata Arissa kepada Adam. Arissa berjalan meninggalkan Adam ia harus keparkiran
karena pasti Keenan menunggunya dimobil.
“Huff, kakak,” panggil Arissa kepada Keenan saat sudah masuk kedalam
mobil.
“Astaga Arissa kamu dari mana saja? Kakak bingung nyariin kamu dari tadi,”
kata Keenan dengan nada khawatir kepada Arissa.
“Maaf kak,” kata Arissa meminta maaf kepada Keenan.
“Yasudah ayo kita pulang,” kata Keenan.
Sesampainya dihalaman rumah Bu Ari, Keenan hendak turun dari mobil tapi
Arissa mencegahnya, “Eh kak tunggung dulu,” cegah Arissa kepada Keenan.
“Ad apa?” tanya Keenan heran kepada Arissa.
“Jangan bilang ke Bu Ari yang kalau kita saudara kandung,” kata Arissa
kepada Keenan.
“Iya, tapi kalau soal penyakit kamu Bu Ari harus tahu nggak mau tahu
pokoknya,” kata Keenan kepada Arissa.
“Iya deh,” kata Arissa seraya turun dari mobil dan berjalan menuju kedalam
rumah.
Arissa untuk Marissa | 126
Saat membuka pintu ternyata ada Bu Ari yang sedang menonton Tv, “Eh
kalian udah pulang jalan-jalannya,” kata Bu Ari menyambut Keenan dan Arissa.
“Iya Bu, Bu Ari ada yang mau saya omongin sama Ibu tentang Arissa,” kata
Keenan merubah nada suaranya menjadi serius.
“Mau ngomog apa?” tanya Bu Ari
“Arissa terkena penyakit kanker darah Bu,” kata Keenan menatap Bu Ari
serius.
“Ya Allah gusti, Arissa sayang,” kata Bu Ari spontan dan langsung memeluk
Arissa, “Kenapa bisa begini? Kamu yang sabar yah sayang,” kata Bu Ari kepada Arissa.
"Arissa harus melakukan kemotrapi," kata Keenan
"Ngga! Aku ngga mau ngejalanin apa pun pokoknya!" kata Arissa dengan
nada tinggi dn langsung melepaskan pelukan Bu Ari.
"Tapi kamu ingin sembuh kan Ris?" kata kak Keenan dengan nada lembut
"Pokoknya Arissa ngga mau ngejalanin apa pun kak!" kata Arissa, “Sekalinya
enggak yah enggak pokoknya!” kata Arissa menekan setiap perkataanya.
Dan Arissa menyuruh kak Keenan dan Bu Ari agar tidak memberitahukan
kepada Ayah dan Bundanya karena Arissa tidak mau jika kedua orangtuanya merasa
terbeban atas penyakit yang Arissa derita.
"Loh kan harusnya kedua orang tua kamu harus tau atas penyakit kamu" kata
Bu Ari
"Tapi bu Arissa tidak mau jika Ayah sama Bunda kepikiran terus serasa aku
menambah beban mereka, apalagi aku ini bukan anak kandung mereka," kata Arissa
dengan nada lesunya.
“Arissa kamu bisa anggap Bu Ari ini adalah Bunda kamu,” kata Bu Ari kepada
Arissa.
“Iya Bu, makasih atas semuanya Bu,” kata Arissa berterima kasih kepada Bu
Ari.
"Iya deh iya ngga papa Bunda sama Ayah tidak mengetahui tetapi jika kamu
ada apa-apa tolong kabari aku ya!" kata Keenan kepada Arissa.
Arissa untuk Marissa | 127
"Iya deh" kata Arissa
“Kalau gitu kakak pamit pulang dulu yah,” pamit Keenan kepada Bu Ari dan
Arissa. Mereka mengantarkan Keenan sampai depan pintu setelah Keenan pergi Arissa
langsung masuk kedalam kamar.
Waktu makan malam telah tiba Arissa dan Bu Ari menyantap makanan yang
lezat dibuat oleh Bu Ari, setelah makan malam telah selesai.
"Bu boleh ngga jika Arissa minta izin untuk keluar rumah?" kata Arissa
"Arissa mau kemana?" kata Bu Ari
"Arissa ingin ketaman bu, Arissa ingin menangkan diri Arissa sebentar" kata
Arissa
"Iya yauda tidak papa, tapi kamu pake jaket ya takut masuk angin" kata Bu Ari
"Iya bu" kata Arissa
"Jangan lama-lama yah, saolnya Bu Ari juga mau keluar soalnya ada
pengajian" kata Bu Ari
"Oh iya bu" kata Arissa
Arissa langsung menuju kekamarnya untuk memakai hoodie karena Arissa
tidak membawa jaket waktu itu, setalah itu Arissa pun keluar rumah untuk pergi
ketaman.
Saat Arissa berada ditaman yang sepi Arissa duduk disebuah ayunan sambil
merenungkan semua jalan hidupnya, dan Arissa pun menangis dan dia teriak "Kenapa!
ujian dihidup ku sangatlah berat? Kenapa?!"
Tiba-tiba ada seseorang yang ingin menghampiri Arissa dari arah belakang
dan orang tersebut duduk disamping ayunan Arissa dan ternyata orang tersebut ialah
khalish. Khalish pun menyondorkan sebuah tisu ke arah Arissa, “bahwa Allah tidak akan
menguji hamba-Nya melebihi kemampuan hamba-Nya,” kata seseorang itu.
"Ceritakanlah apa yang menyebabkan mu sampai seperti ini?" kata Khalish
"Aku tidak tahu Khalish kenapa banyak cobaan yang aku alamin pada saat ini"
kata Arissa.
"Cobaan seperti apa? Yang kamu alami Ris?" kata Khalish
Arissa untuk Marissa | 128
"Yang pertama aku berantem dengan kedua orang tuaku karena aku bukan
anak kandung mereka, dan aku pun diberi cobaan lagi yaitu Arissa sekarang menderita
penyakit Kanker Lish" kata Arissa sambil meneteskan matanya
Khalish pun langsung mengeluarkan sebuah Al-qur'an yang ia bahwa ditasnya
dan langsung memberikan Al-qur'an tersebut kepada Arissa dan sambil mengatakan
"Bahwa Allah swt ingin Arissa lebih dekat dengan-Nya" dan Khalish pun memasangkan
sebuah hijab kepada Arissa dan mengatakan "Arissa lebih cantik saat menggunakan
hijab,”
"Arissa bahwa semua wanita yang beragama islam yang telah baligh itu
hukumnya wajib untuk menutupi aurat mereka" kata Khalish
Didalam hati Arissa ia tersadar dan ia mengikuti kata hatinya untuk bergerak
menutupi auratnya.
"Heem kamu kok tiba-tiba ada disini kan bukannya rumah kamu bukan ada
didaerah ini ya lish?" kata Arissa
"Oh Khalish ada disink itu karena diundang sama bibi aku" kata Khalish
"Bibi kamu? Ada diperumahan ini?" tanya Arissa menatap Khalis
"Iya" kata Khlaish
"Emangnya kamu diundang apa sama bibi kamu?" kata Arissa
"Katanya sih ada pengajian yang diselanggarakan oleh panitia dimasjid
perumahan ini, ya mangkanya itu aku disuruh mengikuti acaranha sama bibi aku" kata
Khalish
"Oh pengajian" kata Arissa
"Iya, kenapa?" kata Khalish
"Nggak papa kok" kata Arissa
"Heem kalau boleh tahu kamu kesananya sama siapa?" kata Arissa
"Aku sih sendirian soalnya bibi aku juga bantu pelaksanaan pengajiannya"
kata Khalish
"Kalau boleh aku bisa nggak ikut pengajiannya bareng sama kamu Lish?" kata
Arissa
Arissa untuk Marissa | 129
"Ya tentu saja boleh dong, lagian kan nggak ada yang ngelarang kamu kok
untuk datang kepengajian" kata Khalish sambil tersenyum meliat temannya
Setelag berjalan beberapa saat untuk menuju kemasjid setelah sampainya
dipengajian Arissa dan Khalish bertemu dengan Bu Ari dan Bibi Khalish yang sedang
berbincang-bincang didepan masjid.
"Loh Arissa katanya kamu minta izin untuk pergi ke taman?!" kata Bu Ari
dengan terkejut
"Iya bu, Arissa sudah ketaman kok" kata Arissa
"Terus kamu kesini mau ngapain, oh iya pasti kamu mencari kunci rumah ya?
Ibu lupa ngasih tau kamu jika kunci pintu ada dirak sepatu" kata Bu Ari
"Nggak kok bu" kata Arissa
"Terus kamu mau.. Eh sebentar Arissa kamu pakai karudung nya siapa? Kamu
kan tadi ngga lagi pakai kerudung!?" kata Bu Ari
"Oh kerudung ini, aku dikasih sama temen aku Khalish katanya aku lebih
cantik lagi jika menggunakan kerudung. Dan lagian juga Arissa kan sudah baligh dan
perempuan jika sudah baligh kan harus menutup auratnya kan bu?" kata Arissa dengan
senyum mengembangnya.
"Alhamdulillah jika kamu telah sadar dalam hal itu, ibu bangga banget sama
kamu Ris" kata Bu Ari sambil merangkul Arissa untuk masuk kedalam karena acara
pengajian akan segera dimulai
Setelah mereka duduk dibawah dan tak lama kemudian Ustad yang akan
memberikan ceramah telah datang.
"Assalamualaikum Wr.Wb" kata Ustad
"Waalaikumsalam Wr.Wb" kata para jamaah pengajian
"Bagaimana kabarnya?" kata Ustad bertanya pada para jamaah
"Baik, bagaimana kabar pak Ustad?" kata para jamaah pengajian
"Alhamdulillah kabar saya baik, oke dalam pengajian dimalam ini kita akan
membahas tentang para remaja-remaja Islam yang sudah baligh" Kata pak Ustad
Arissa untuk Marissa | 130
Ustad pun menjelaskan tenatang tentang remaja-remaja Islam yang sudah
baligh Arissa dan Khalish pun sangat fokus mendengarkan apa yang dibicarakan oleh
Ustad, tidak kerasa 2 jam berlalu dan Ustad tersebut harus mengakiri ceramah
dipengajian dengan memberikan sebuah nasehat kepada para jama'ah pengajian.
"Mungkin aku harus kembali mengingatkanmu tentang alasan penting
kenapa Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan perintah jilbab kepada kalian kaum
Hawa  dan bukan kepada kaum Adam. Saudaraku, jilbab adalah pakaian yang berfungsi
untuk menutupi perhiasan dan keindahan dirimu, agar dia tidak dinikmati oleh
sembarang orang.
Tidakkah hatimu terketuk dengan kasih sayang Rabb kita yang tiada duanya
ini?
Banyak yang bilang
“Aku Belum Berjilbab, Karena…”
. “Hatiku masih belum mantap untuk berjilbab. Jika hatiku sudah mantap, aku
akan segera berjilbab. Lagipula aku masih melaksanakan shalat, puasa dan semua
perintah wajib kok..”
Wahai saudaraku… Sadarkah engkau, siapa yang memerintahmu untuk
mengenakan jilbab? Dia-lah Allah, Rabb-mu, Rabb seluruh manusia, Rabb alam semesta.
Engkau telah melakukan berbagai perintah Allah yang berpangkal dari iman dan
ketaatan, tetapi mengapa engkau beriman kepada sebagian ketetapan-Nya dan ingkar
terhadap sebagian yang lain, padahal engkau mengetahui bahwa sumber dari semua
perintah itu adalah satu, yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala?
Ingatlah saudaraku, bahwa sesungguhnya keadaanmu yang tidak berjilbab
namun masih mengerjakan amalan-amalan lain, adalah seperti orang yang membawa
satu kendi penuh dengan kebaikan akan tetapi kendi itu berlubang, karena engkau tidak
berjilbab. Janganlah engkau sia-siakan amal shalihmu disebabkan orang-orang yang
dengan bebas di setiap tempat memandangi dirimu yang tidak mengenakan jilbab.
Silakan engkau bandingkan jumlah lelaki yang bukan mahram yang melihatmu tanpa
jilbab setiap hari dengan jumlah pahala yang engkau peroleh, adakah sama banyaknya?"

Arissa untuk Marissa | 131


setelah diakhiri oleh Ustad semua jama'ah pun kembali kerumah mereka
masing-masing tak luput pun dengan Arissa, Bu Ari, Khalish, dan Bibi Khalish. Dan
mereka pun berpisah arah karena berbeda arah jalan untuk menuju kerumah,
diperjalanan menuju kerumah Bu Ari dan Arissa sedang bercanda gurau dengan sekali-
sekalinya.
Setelah sesampainya dirumah, Bu Ari pun tanpa kelamaan langsung
menyuruh Arissa untuk tidur karena jam sudah menunjukkan pukul 22.00. Saat Arissa
masuk kekamarnya Arissa pun merenungkan apa yang telah dibicarakan oleh Ustad
dimasjid tadi, setelah Arissa berfikir dan meyakinkan hatinya untuk berhijab mulai
besok.
“HIDUP INI TERLALU SINGKAT UNTUK MENGEJAR YANG BUKAN
UNTUK AKHIRAT.”

Arissa untuk Marissa | 132

EVENT YANG TRAGIS

Bunda Karina termenung disamping bangkar rumah sakit tempat Marissa di


rawat. Suaminya sedang ke kantor karena ada hal penting yang harus di selesaikan
secepat mungkin.
"Marissa sayang bangun, betah banget sih nak kamu tidurnya kamu suka ya
disana, apa di sana lebih indah? dari pada di sini? Bunda rindu kamu sayang, kamu ga
rindu sama Bunda?hiks hiks" kata Bunda Karina kepada Marissa yang sedang koma
sambil sesegukan.
"Bunda akan turutin semua kemauan kamu asalkan kamu bangun nak, Bunda
janji, Yaallah sembuhkan lah anak hamba" lanjut Bunda Karina. Tak ada jawaban apapun
dari Marissa bahkan ia seperti enggan untuk membuka matanya, hal itu justru membuat
Bunda Marissa putus asa dan langsung menidurkan kepalanya di samping badan
Marissa.
"Uhh" eluh seseorang, Bunda Karina yang mendengar itu pun langsung
menegakkan badannya dan memandang Marissa yang menjerapkan matanya
menyesuaikan cahaya lampu yang masuk ke penglihatannya.
"Marissa kamu udah bangun sayang? Alhamdulillah terimakasih yaallah" kata
Bunda Karina sambil memeluk Marissa dan tersenyum tak lupa mengucapkan rasa
syukur.
"Haus, minum" kata Marissa dengan melepas pelukan sang Bunda. Bunda
Karina yang mendengar itu langsung buru buru melepas pelukannya dan mengambil
gelas yang berisi air putih di atas nakas samping bangkar Marissa.
"nih sayang" kata Bunda Karina sambil membantu merubah posisi Marissa
yang tidur menjadi duduk dan menyerahkan air putih kepada Marissa.
"Makasih Bun" kata Marissa setelah selesai minum dan menyerahkan
gelasnya kepada sang bunda. "Kok aku bisa ada di sini bun?" lanjut Marissa bertanya
kepada bundanya mengapa ia bisa berada di sini.
Arissa untuk Marissa | 133
"Waktu itu kamu bertengkar sama Arissa, terus penyakit kamu kambuh lagi
sayang, Bunda sama Ayah buru-buru bawa kamu kerumah sakit ternyata kamu kritis dan
koma tapi alhamdulillah sekarang kamu udah sadar sayang," kata Bunda Karina
menjelaskan kronologinya ke Marissa yang baru bangun dari komanya.
"Terus Ayah kemana? Arissa juga kemana Bunda?" Tanya Marissa yang
penasaran karena tak melihat Ayahnya dan Arissa.
"Ayah kamu lagi keluar kota sayang, kalau Arissa Bunda nggak tahu dimana
soalnya waktu itu udah Bunda usir dia," kata Bunda Karina sambil menunduk seraya
mengusap air matanya yang jatuh.
"Bunda nggak usah sedih, disini kan ada Marissa," kata Marissa menghibur
Bundanya, Bunda Karina yang mendengar itu pun langsung memeluk Marissa dan
tersenyum. Sebenarnya jauh dilubuk hatinya ia menyesal mengusir Arissa dan
membeberkan fakta sebenarnya tapi mau bagaimana lagi waktu itu ia marah,takut akan
terjadi apa apa dengan Marissa.
***
Satu minggu sudah Marissa dirawat dan hari ini ia sudah diperbolehkan
pulang dengan catatan ia tidak boleh melakukan pekerjaan berat.
"Akhirnya gue keluar juga dari rumah sakit, duhh rindu banget sama kamar
ini," kata Marissa sambil berguling - guling di kasurnya.
Tokk...
Tokk...
 Tiba-tiba ada suara ketokan pintu dari luar kamar Marissa. "Masuk, nggak
dikunci kok," kata Marissa saat mendengar suara pintu kamarnya di ketok dari luar.
"Bunda, ada apa ke kamar Marissa?" Tanya Marissa saat melihat Bundanya
masuk kamar dan langsung merubah posisinya menjadi duduk.
"Bunda nggak mau ngapa - ngapain kok, cuman mau ngingetin kamu buat
istirahat biar nggak kecapean," kata Bunda Marissa.

Arissa untuk Marissa | 134


"Siap Bun," kata Marissa sambil hormat kepada Bundanya layaknya prajurit
kepada komandannya, "Eh iya Bun, Marissa mau tanya, Bunda kok tega sih ngusir
Arissa? Dia kan anak Bunda juga," lanjut Marissa bertanya sambil menatap Bundanya
yang duduk disampingnya.
Bundanya yang mendengar itu langsung terdiam dan menutup matanya "Apa
aku harus bilang masalah ini ke Marissa?bahwa Arissa hanya anak angkat saja?mungkin
ini waktunya Marissa tahu," batin Bunda Marissa.
“Bunda kenapa? Kok diem aja sih? Kan Marissa nanya ke Bunda,” kata
Marissa yang masih nenatap bundanya dan menggoyangkan lengan Bundanya
Bunda Karina membuka matanya dan menatap Marissa yang disampingnya,
lalu ia menghembuskan napasnya "Mungkin ini udah saat nya kamu tahu sayang, bahwa
Arissa bukanlah adik kandung kamu," kata Bunda Ana
"Maksud Bunda Arissa bukan anak kandung Bunda? Terus selama ini
dia...dia" Tanya Marissa yang kaget dengan pernyataan Bundanya.
"Iya, dia hanya anak angkat Bunda dan Ayah Sa, dan selama ini dia dititipkan
oleh Ibu nya kepada Bunda dan Ayah," kata Bunda Ana menjelaskan.
"Terus Ibu kandungnya kemana Bun?" Tanya Marissa yang masih penasaran.
"Bunda nggak tahu sayang, tapi kalau kata Ayah Ibu kandungnya udah
meninggal," kata Bunda Ana. Marissa yang mendengar itu hanya diam sambil terus
menatap Bundanya, ia masih tak menyangka bahwa Arissa bukan adik kandungnya.
"Udah yah, kamu tidur istirahat besok kan katanya mau ikut event jadi sekarang kamu
harus istirahat," kata Bunda Ana menyuruh Marissa untuk tidur dan langsung keluar
kamar.
Sepeninggalan Bunda Marissa, Marissa masih memikirkan perkataan
Bundanya tentang Arissa yang bukan anak kandungnya. "Kalau Arissa bukan anak
kandung Bunda dan Ayah, berarti gampang dong buat nyingkirin Arissa dari
kehidupanku dan kak Keenan hahaha, ah gue punya ide gimana cara nyingkirin Arissa,
lihat aja besok lo Arissa mampus hahaha," batin Marissa sambil tersenyum menatap
jendela kamarnya. Setelah itu ia langsung tidur.

Arissa untuk Marissa | 135


Arissa sudah bangun pagi-pagi sekali, ia membantu Bu Ari membereskan
rumahnya sebelum berangkat kesekolah untuk event.
“Aduh Arissa kamu nggak usah capek-capek bantuin bersihin rumah, ntar pas
event kamu malah capek,” kata Bu Ari saat melihat Arissa sedang menyapu ruang tamu.
“Nggak papa kok Bu, Arissa malah seneng bisa bantuin Bu Ari, udah selesai
yey” kata Arissa setelah menyelesaikan kegiatan menyapunya.
“Yaudah kalau gitu terima kasih yah sudah bantuin saya, sekarang ayo
sarapan bareng saya,” kata Bu Ari sambil menghampiri Arissa dan merangkulnya lalu
berjalan menuju meja makan.
Mereka makan dengan sesekali bercanda gurau. “Arissa, Ibu seneng deh lihat
kamu pakai hijab, adem gitu lihatnya, tambah cantik lagi,” kata Bu Ari setelah selesai
makan kepada Arissa yang sedang membereskan piring.
“Bu Ari bisa aja, Alhamdulillah udah seminggu Arissa pakai hijab dan waktu
seminggu itu cukup buat Arissa yakin dan mantep buat pakai hijab,” Kata Arissa
tersenyum kepada Bu Ari. “Eh Bu, Arissa mau naruh piring ini kebelakang sebentar yah,”
lanjut Arissa kepada Bu Ari seraya berjalan ke dapur.
“Yaampun nggak usah repot-repot Arissa,” kata Bu Ari saat melihat Arissa
berjalan kedapur sambil membawa piring kotor bekas mereka makan.
“Makasih ya Arissa, Bu Ari jadi nggak ngerasa kesepian semenjak kamu ada di
sini,” kata Bu Ari saat melihat Arissa sudah kembali dari dapur.
“Sama-sama Bu, Arissa juga seneng tinggal sama Bu Ari hehehe, Bu Arissa
berangkat dulu yah soalnya mau persiapan buat event nanti “ pamit Arissa seraya
menghampiri Bu Ari dan menyalami tangan Bu Ari.
“Eh bareng Ibu aja kan kita mau sama-sama ke sekolah ayo,” kata Bu Ari
langsung mengambil tas dan kunci mobilnya lalu menggandeng tangan Arissa untuk
memasuki mobilnya.
Selama di perjalanan Arissa terlihat agak murung, hal tersebut membuat Bu
Ari bertanya kepada Arissa. “Arissa, kenapa kok murung?” Tanya Bu Ari.
“Eh enggak kok Bu,” kata Arissa dengan senyum menatap Bu Ari.
Arissa untuk Marissa | 136
"Ah saya tahu kamu pasti sedih kan karena kamu nggak bisa dateng bareng
orang tua kamu?" Tebak Bu Ari yang 100% benar. Waktu itu Arissa berharap bahwa ia
akan datang bersama kedua orang tuanya tapi setelah ia pikir-pikir rasanya tidak
mungkin apalagi setelah kejadian dimana Marissa dilarikan kerumah sakit karena
penyakitnya kumat. "Eh Marissa sudah bangun dari koma belum yah?" Batin Arissa.
"Arissa ditanya malah bengong," Kata Bu Ari membuyarkan lamunan Arissa.
"Eh maaf Bu hehehe," kata Arissa meminta maaf kepada Bu Ari.
“Udah nggak usah dipikirin, sekarang kamu harus fokus sama event kamu
tunjukin kemereka kalau kamu bisa tanpa mereka,” kata Bu Ari memberikan Arissa
nasehat. Arissa yang mendengarkan itu hanya tersenyum
"Kamu nggak mau turun nih?Mau terus di mobil?" Tanya Bu Ari menggoda
Arissa yang masih diam di Mobil padahal sudah sampai di gedung sekolah.
"Eh udah sampai Bu? Maaf Bu Arissa nggak sadar hehehe," kata Arissa yang
langsung membuka pintu dan turun dari mobil.
"Minta maaf mulu dari tadi, lebaran masih lama, udah Ibu ke guru-guru dulu
ya, assalamualaikum," pamit Bu Ari melangkah pergi.
"Waalaikumsalam, Ati-ati awas ada truk," canda Arissa kepada Bu Ari.
"Emang kamu kira ini di jalan raya apa?" Jawab Bu Ari membalikkan badan menatap
Arissa dibelakangnya.
"Hehehe canda Bu," kata Arissa sambil menunjukkan jari telunjuk dan
tengahnya membentuk huruf V. Bu Ari yang melihat itu hanya bisa mengeleng
gelengkan kepalanya dan mulai melangkah menjauh.
Sepeninggalan Bu Ari, Arissa melangkah kan kakinya menuju cafe terdekat
karena sebelum berangkat ia mendapatkan pesan dari Mira ia disuruh ke cafe saat tiba
di gedung. Sesampainya di gedung ia melihat Nesa dan Mira sedang duduk bergabung
dengan teman teman Kakaknya Kak Keenan tapi ia tak melihat adanya Keenan disana.
"Eh ada Neng Arissa," goda zhain saat melihat Arissa yang baru datang dan
berjalan menuju mereka.

Arissa untuk Marissa | 137


"Arissa, sini duduk," suruh Nesa kepada Arissa untuk duduk di kursi
sebelahnya. Arissa pun langsung duduk. Setelah itu semuanya diam tak ada yang
bersuara Zhain yang benci dengan keheningan itu pun berinisiatif mengajak mereka
untuk bernyanyi.
"Dari pada diem diem bae mending kita nyanyi," kata Zhain. "Mau request
lagu apa nih neng neng yang cantik?" Tanya Zhain kepada Arissa, Mira, dan Nesa.
Mereka bertiga yang merasa terpanggil pun langsung melihat Zhain. "Apa aja," kata
Arissa.
"Oke kalau gitu dengerin yah, Zhain malik mau nyanyi nih," Kata Zhain
dengan PDnya.
"Zayn malik dia kata, ngaca noh ngaca," kata Aqya yang kesal dengan sikap
PD milik Zhain.
"Yaelah cuman beda tulisan aje, jadi nggak papa lah yah" kata zhain kepada
Aqya.
"Terus kapan mulainya kak?" Tanya Nesa yang mulai malas dengan Bacotan
Zhain. Yang hanya dibalas dengan cengiran saja.
" Aku percaya kamu
Tapi lagi-lagi kau bohongiku
Kau telah tipu aku
Aku menyayangimu
Tapi lagi-lagi kau sakitiku
Kau telah khianatiku

Tak pernah ku sangka kau telah berubah


Kau membagi cinta dengan dirinya
Aku yang terluka, sungguh aku kecewa
Entah apa yang merasukimu
Hingga kau tega mengkhianatiku
Arissa untuk Marissa | 138
Yang tulus mencintaimu
Salah apa diriku padamu
Hingga kau tega menyakiti aku
Kau sia-siakan cintakuuuuu.... " nyanyi Zhain dengan nada Alay dan sedihnya 
yang membuat mereka semua menjadi pusat perhatian dan membuat mereka semua
tertawa.
" Namaku Tirta rumah real estate
Mobilku banyak harta berlimpah
Orang memanggilku bos eksekutif
Tokoh papan atas, atas segalanya
(Asyik!)

Wajahku ganteng banyak simpanan


Sekali lirik oke sajalah
Bisnisku menjagal, jagal apa saja
Yang penting aku senang, aku menang
Persetan orang susah karena aku
Yang penting asyik
Sekali lagi
(Asyik!)" Nyanyian seseorang dengan nada cempreng yang amburadul dan
gaya songongnya bukan bukan Zhain melainkan "Gila lo Tir, suara lo bikin kuping gue
pengang tahu nggak," kata Aqya dengan nada ngengasnya. Yah orang itu adalah Tirta
yang tiba-tiba dateng tanpa salam dan langsung maen nyanyi aja seenaknya.
"Dateng-dateng bukannya salam malam nyanyi," kata Arissa kepada Tirta.
"Eh ada Arissa, Assalamualaikum," kata Tirta memberikan salam kepada
Arissa.

Arissa untuk Marissa | 139


 "Waalaikumsalam," kata Arissa.
" How are you?" Tanya Tirta kepada Arissa.
" I am fine," kata Arissa
"Yang di tanya Arissa doang nih? Aku sama Mira nggak ditanyain nih kak?"
Tanya Nesa kepada Tirta.
"Tahu tuh sok inggris lagi lo, nilai bahasa indonesia aja masih di bawah rata
rata sok sok an pakai bahasa inggris," kata Zhain dengan nada kesal nya.
"Hehehe, apa kabar Nesa,Mira? Yeh nggak papa kali terserah gue sultan mah
bebas," kata Tirta dengan nada sombongnya kepada Zhain
"Alhamdulillah baik kak," kata Mira dan Nesa bersamaan.
“Kak Tirta tahu nggak dimana Kak Keenan?” Tanya Arissa kepada Tirta. Tirta
yang mendengarkan itu langsung duduk disebelah Raden dan menoleh Arissa
"Tadi sih mobilnya udah ada di parkiran gedung, tapi nggak tahu orangnya
kemana," kata Tirta sambil meminum minuman Raden.
"Tirta astaga itu minuman gue," kata Raden dengan kesal dan matanya
melotot.
"Yaelah minta dikit Den hehehe," kata Tirta dengan senyum cengirannya.
"Den den lo kira gue dendeng apa," balas Raden yang kesal karena
minumannya diminum.
"Udah-udah dari pada berantem mending nyanyi lagi deh," kata Arissa
menenangkan mereka agar tidak ribut.
"Nah bener tuh, mending nyanyi aja deh kak Zhain nyanyiin lagu lugu
dong,"kata Mira meminta Zhain untuk menyanyikan lagu.
"Oke Tir, Qya kuy nyanyi," Kata Zhain mengajak kedua temannya untuk
bernyanyi. "Kok gue nggak di ajak sih Zhain?" Tanya Raden dengan nada ngegas kepada
Zhain yang merasa namanya tidak disebut.
"Emang lo mau nyanyi bareng kita-kita?"tanya Zhain kepada Raden dengan
nada malasnya.
Arissa untuk Marissa | 140
"Enggak sih," Kata Raden dengan cengiran khasnya.
"Hiii ngeselin amat lo, untung temen kalau nggak gue buang lo kesungai
amazon," Kata Zhain dengan Gemas serasa pengen nampol Raden. "Udah ah ayo
semuanya berdiri," Kata Zhain sambil mengayunkan tangannya ke atas kebawah seakan
menyuruh semuanya berdiri tapi hanya direspon gelengan saja oleh teman temannya.
"Yaelah pada kagak mau yaudah kita aja yuk Tir,Qya" lanjut Zhain yang sudah berdiri.
" Kunikmati kebahagiaan ini
Tak mengapa tak ada dirimu
Ada teman teman yang menemani
Aku sudah tak bodoh lagi
Seperti waktu kau bohongi aku
Sampai ku tertipu" Nyanyi Tirta Dengan nada tinggi, lalu menggoyang goyang
kan tubuhnya dan melampaikan tangan kirinya ke kanan dan ke kiri sedangkan tangan
kanannya memegang botol yang menjelma menjadi mic.
"Lanjut Tir," teriak Aqya sambil menatap Tirta yang berjoget ria.
"Ayo semuanya,
Tapi akhirnya ku move on dari mu
Ku memang masih lugu hanya tau kamu
Dan tak berfikir untuk dekat yang lain
Kini ku tau kamu ku tau asli mu
Sorry sorry ku sudah lupakan kamu
Akhirnya ku bisa lukapan kamu
Kamu yang pernah baperin aku
Cukup cukup sudah tak mau lagi
Aku sudah tak bodoh lagi
Seperti waktu kau bohongi aku
Arissa untuk Marissa | 141
Sampai ku tertipu" Nyanyian Zhain,Tirta dan Aqya bersamaan bahkan mereka
berjoget ria tanpa memperdulikan kalau mereka sudah menjadi pusat perhatian di kafe
tersebut, semua orng tertawa melihat kelakuan para remaja itu, alangkah nikmatnya
masa-masa mereka itu, masa-masa seperti ini lah yang akan mereka rindukan nanti.
"Satu kali lagi yoo, semuanya,
Tapi akhirnya ku move on dari mu
Ku memang masih lugu hanya tau kamu
Dan tak berfikir untuk dekat yang lain
Kini ku tau kamu ku tau asli mu
Sorry sorry ku sudah lupakan kamu
Tak kan lagi ku tertipu oleh bujuk rayumu
Tak kan mempan gombalan mu lagi" Teriak Zhain,Tirta,Aqya yang tanpa sadar
semua yang ada disana juga ikut menyanyi termasuk Arissa dan kedua temannya.
Riuh suara tepuk tangan diberikan untuk Zhain,Tirta dan Aqya saat mereka
selesai bernyanyi.
"Terima kasih, terima kasih nggak usah berlebihan gitu, gue tahu kok suara
gue itu bagus jadi biasa aja," kata Tirta dengan Nada PD nya sambil menyisir rambutnya
kebelakang menggunakan tangannya.
"PD tingkat Dewa gila, gantengan juga gue," Kata Aqya dengan nada
angkuhnya.
"Aku cantik aku diam," kata Zhain yang malas dengan perdebatan kedua
temannya itu.
"Hahaha kak Zhain cantik?kalah dong Nesa," Tanya Nesa yang langsung
mendapatkan gelak tawa oleh teman-temannya.
"Punten, kakak-kakak" kata dhava ketua kelas Arissa,Mira dan Nesa yang
tiba-tiba dateng.
"Mangga atuh, kunaon Dhap?" Tanya Zhain sambil melihat Dhava.
Arissa untuk Marissa | 142
"Itu Arissa dicariin kak Keenan soalnya acaranya mau dimulai," kata Dhava
yang menyampaikan pesan Keenan ke Arissa.
"Owh makasih yah Dhav, kalau gitu Aku duluan yah, Assalamualaikum yuk
Dhav," Pamit Arissa kepada teman-temannya dan langsung melangkah pergi diikuti
Dhava dibelakangnya.
"Lo nggak kesana Qya? Lo kan Ketosnya:v," Tanya Zhain kepada Aqya, ia baru
sadar kalau Aqya sedari tadi disini bersama mereka tidak ke gedung mengurusi acara
event padahal Aqya adalah Ketua Osis nya.
"Hehehe lagi males, lagian di sana ada banyak yang bantuin tahu," kata Aqya
dengan cengiran khasnya.
“Dasar Ketos yang nggak patut di contoh nih,” kata Raden yang sedari tadi
hanya diam menyaksikan kegiatan teman temannya yang unfaedah
"Yaelah sekali-kali nggak papa lah,"kata Aqya yang tetap membela diri.
"Udah ah, sekarang ke gedung yuk, kan katanya mau dimulai," kata Mira yang
langsung berdiri dan diikuti yang lain dibelakangnya.
Sesampainya di gedung ternyata acaranya sudah mau dimulai, Aqya berpisah
dengan teman-temannya karena ia adalah pembawa acara jadi yang tersisah hanya
mereka berlima.
"Parah yah tuh anak, udah tahu dia jadi pembawa acara nya tapi malah ikut
ngumpul bgareng kita," kata Tirta sambil menggeleng gelengkan kepalanya melihat
kelakuan temannya yang satu itu. "Udah ah yuk duduk," kata Mira, mereka memilih
duduk dikursi tengah-tengah katanya sih biar leluasa lihatnya.
"Cek satu dua tiga cek cek," Kata sipembawa acara alias Aqya. "Ok kita mulai
yah, Assalamualaikum Wr.Wb." Salam Aqya kepada semua yang ada disana.
"Waalaikumsalam," Balas Semua orang.
"Hallo all, selamat datang di event bulan bahasa, perkenalkan saya
Muhammad Aqya selaku ketua osis disini,” Kata Aqya memperkenalkan diri
“Haii guys, perkenalkan saya Rezi Abdullah selaku wakil osis, kita berdua yang
akan memimpin acara event bulan bahasa ini sampai akhir,”
Arissa untuk Marissa |143
"Ok saya akan bacakan susunan acara yang pertama yaitu sambutan dari
kepala sekolah, kedua kita akan menyaksikan penampilan dari grup band sekolah kita
mereka akan mempersembahkan lagu untuk menghibur kita semua," kata Aqya dengan
senyum lebarnya.
"Yang ketiga ini adalah acara khusus yaitu penampilan Keenan dari Kelas XII
IPS 1 dan pasangannya Arissa kelas X MIPA 1 kira kira mereka akan menampilkan apa
yah?kita tunggu saja nanti, yang keempat kita akan menyaksikan penampilan band dari
sekolah kita tapi kali ini penampilannya bakalan beda dari yang akan tampil sebelumnya,
jadi jangan buru buru pulang yah, mana nih suaranya?" kata rezi dengan nada
semangatnya
"Wuuuuuu," teriak murid yang ada disana
"Semangat banget kayaknya, udah nggak sabar yah? Oke yang terakhir kalau
misalnya kalian bosan kalian bisa ke tenda tenda didepan, ditenda tenda itu kita
mengadakan bazar jadi kalian nggak perlu takut bosan oke,tapi jangan sampai
ketinggalan acaranya yah" kata Aqya sambil menunjuk tenda tenda yang terpasang
didepan gedung. "Untuk Bapak kepala sekolah kami persilahkan," lanjut Aqya
mempersilahkan bapak kepala sekolah untuk memberikan sambutan.
"Assalamualaikum Wr.Wb." kata kepala sekolah saat sudah berada didepan
semua tamu undangan.
"Waalaikumsalam Wr.Wb." Kata semua yang ada disana.
"Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur atas karunia Allah SWT
karena dengan rahmatnya kita semua dapat berkumpul di hari yang cerah ini,
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih kepada Bapak-Ibu guru Bapak-Ibu wali murid
yang sudah hadir, dan siswa-siswi yang sudah ikut berpartisipasi. Jadi untuk
memperingati acara bulan bahasa yang diadakan satahun sekali ini terutama bagi para
siswa-siswi marilah kita meriahkan acara tersebut dan ikut berpartisipasi dalam setiap
acara yang diselenggarakan agar budaya dan bahasa kita akan tetap terjaga dan
semangat nasionalisme terus kita genggam bersama. Hanya itu saja yang bisa saya
sampaikan, bila ada kesalahan kata mohon dimaafkan Wassalamualaikum Wr.Wb."  kata
sambutan dari bapak kepala sekolah, lalu beliau kembali ketempat semula.

Arissa untuk Marissa | 144


"Oke acara sambutan dari bapak kepala sekolah sudah selesai, jadi kita
langsung aja ke acara berikutnya, yaitu penampilan dari grub band sekolah kita, silahkan
untuk naik ke panggung," kata rezi memanggil grub band yang akan tampil. Lalu rezi dan
Aqya pun turun dari panggung.
"Selamat pagi semua," kata Dhava sang vokalis dengan senyum
mengembang.
"Pagiii," balas semua yang ada disana.
"Oke, saya akan menghibur kalian semua yang ada disini dengan
membawakan lagu jangan rubah takdirku dari andmesh kamaleng, yang bisa ikutin yah,"
kata Dhava yang langsung menginstruksikan teman bandnya untuk mulai memainkan
musiknya.
Nada-nada yang mereka mainkan mulai terdengar diwaktu yang bersamaan
Dhava mulai mengeluarkan suara nya.
" Di setiap doaku
Di setiap air mataku
Selalu ada kamu
Di setiap kataku
Kusampaikan cinta ini
Cinta kita

'Ku tak akan mundur


'Ku tak akan goyah
Meyakinkan kamu
Mencintaiku...

Yang bisa nyanyi bareng yah..


Tuhan, kucinta dia
Arissa untuk Marissa | 145
Kuingin bersamanya
Kuingin habiskan nafas ini
Berdua dengannya
Jangan rubah takdirku

Satukanlah hatiku dengan hatinya


Bersama sampai akhir
Di setiap kataku
Kusampaikan cinta ini
O-oh, cinta kita" Nyanyi Dhava sambil menatap para tamu dan siswa-siswi
yang sedang menikmati acara.
"Gila yah tuh si Dhava suaranya mantap bener,boleh lah gue belajar ke dia,"
kata Zhain sambil terus menatap Dhava, ia yang terpukau mendengar suara emas
Dhava, suara Dhava tidak udah diragukan lagi karena memang bener bener top.
"Yaelah gue yang ngajarin tuh, mangkannya jadi mantep tuh suaranya dia,"
kata Tirta dengan nada sombongnya. "Belajar di gue aja dah tenang gratis kok,"
lanjutnya sambil menatap Dhava yang sedang menyanyi.
Zhain yang mendengar itu pun langsung menoleh kesamping melihat Tirta
"Yeh yang ada tuh lo yang diajarin dia bukannya dia yang diajarin sama lo, ogah gue
belajar nyanyi sama lo meski tuh gratis ntar nggak nambah mantap malah jelek lagi,"
kata Zhain yang langsung mengundang gelak tawa Nesa,Mira,Aqya dan Raden.
Tirta yang mendengar itu pun langsung melotot "Enak aja kalau ngomong,
gini gini gue tuh dulunya guru privat les nyanyinya para member BTS tahu," kata Tirta
dengan nada angkuhnya. Mira dan Nesa yang mendengar idola mereka di sebutpun
langsung menatap Tirta "iya kah? Mira nggak percaya ih," kata Mira dan di ikuti
anggukan oleh Nesa, mereka menatap Tirta dengan tatapan curiga.
"Enggak sih hehehe," kata Tirta dengan cengiran Khasnya.
"Yeh dasar,"kata Nesa dengan nada malasnya. Setelah itu terdengar suara
merdu Dhava.
Arissa untuk Marissa | 146
Ku tak akan mundur
'Ku tak akan goyah
Meyakinkan kamu
Mencintaiku
Tuhan, kucinta dia

Kuingin bersamanya
Kuingin habiskan nafas ini
Berdua dengannya

Jangan rubah takdirku


Satukanlah hatiku dengan hatinya
Bersama sampai akhir
Tuhan, kucinta dia
Kuingin bersamanya
Kuingin habiskan nafas ini
Berdua dengannya
Jangan rubah takdirku
Satukanlah hatiku dengan hatinya
Bersama sampai akhir”
Selesai dhava dan team bandnya telah menampilkan perfom aventnya dan
mengucapkan terima kasih setelah itu Aqya dan Rezi naik keatas panggung.
"Okay baik lah perfom selanjutnya adalah perfom yang pastinya kalian
tunggu-tunggu, tanpa kelaman mari kita panggilkan saja Keenan dari XII IPS 1 dan Arissa
dari X MIPA 1" kata Aqya
Arissa untuk Marissa | 147
Mereka pun menaiki ke atas panggung, dan keenan saat menuju ke atas
panggung ia membawa gitar dan juga diatas panggung tersebut telah disediakan piano.
Arissa pun tak lupa memberi salam ke warga sekolah "selamat pagi
semuanya" sambil senyum yang lebar, dan semua warga sekolah yang hadir disana pun
menjawabnya "pagiiii".
Setelah itu waktunya Arissa untuk membacakan lantunan puisi dengan
iringan nada petikan gitar yang Keenan mainkan.
"Teruntuk engkau yang luput dari mataku,
Bagaimana kabarmu disana?
Apakah kau baik-baik saja?
Sekarang kau berada dimana?
Kapan kau akan menepati janjimu?
Setiap hari aku selalu berkhayal,
Bahwa kau selalu ada disampingku
Melewati suka dan duka bersama
Melihat lembayung jingga di atas loteng"
Sambil menatap para penonton, pada saat Arissa meliat ke arah penonton ia
tak sengaja melihat Bundanya dan Marissa menatap kepadanya dalam lubuk hatinya ia
ingin memeluk Bundanya dan kakaknya.
"Berhari-hari aku menunggu kabar darimu,
Tak sepucuk suratpun datang menghampiriku
Aku gamang,
Apakah kau disana baik-baik saja?
Aku lelah,
Menunggu kabar dirimu yang tak pernah ku dengar
Aku marah,
Saat kau belum juga menepati janji tuk kembali ke rumahmu ini
Arissa untuk Marissa | 148
Sampai kapan kau akan bermain-main denganku,
Meninggalkanku setiap malam dengan benang rindu yang tak pernah terurai
Bersama mimpi kelam yang selalu hadir menjumpaiku
Bumi pertiwi sudah berubah,
Tapi dirimu belum kembali

Sampai kapan aku akan menjadi sebuah rumah yang


Kosong
Sepi
Sunyi
Tak ada kehidupan didalamnya,
Hanya menunggu dirimu tuk mengisinya....
Bumi pertiwi yang merindu,”
Dan setelah Arissa membacakan lantunan puisinya sekarang pun waktunya
Keenan untuk membacakan lantunan puisinya juga dan diiringi nada melodi piano yang
dimainkan oleh Arissa.
"Untukmu yang merindu di sana,
Maafkan aku yang pergi
Meninggalkanmu bersama dengan tragedi yang cukup mengerikan
Dengan janji yang cukup membuatmu terbutakan harapku
Sebenarnya aku takut,
Aku juga letih,
Dan tubuh ini juga sudah berang akan kelakuannya
Apakah aku diizinkan pulang ke rumah?

Arissa untuk Marissa | 149


Merajut asa yang dulu pudar
Mendekor rumah dengan gaya artistik
Mendendangkan syair kebahagiaan

Aku mengagumi ambisimu,


Sebuah ambisi akan pertemuan yang menggebu

Takkan hilang arah meski ombak samudera beberapa kali menggulungmu


Tetap berdiri di bumi pertiwi,
Menunggu asa yang belum datang
Tetap apatis dengan deru ombak yang mengusik
Rindu
Satu kata yang menyesakkan dada,
Menggelora dalam jiwa yang kehilangan arah
Menggelegak dalam tubuh yang kehilang tempat bernaung
Tapi sekarang,
Aku telah datang,
Aku menepati janjiku,
Maka, izinkan aku memperbaikinya
Pemberi asa telah kembali,"

"Sekian terimakasih" kata Arissa dan Keenan saat setelah menampilkan


perfom membaca puisi semua penonton terpukau melihat penampilan mereka, Arissa
dan Keenan pun langsung menuruni panggung melewati tangga kecil.
Arissa untuk Marissa | 150
"Okay bagaimana guys penampilan mereka tadi?" kata Aqya yang sedang
tanya ke arah penonton
"Bagussssssss" kata penonton
"Yah sapa dulu, temen gue gitu loo! Hahaha yauda mari kita liat perfom yang
terakhir dari band sekolah kita tetapi kali ini penampilannya bakalan beda dari yang
akan tampil sebelumnya, jadi jangan buru-buru pulang yah, mana nih suaranya?" kata
Rezi dengan nada yang semangat
"Wuuuuuuuu" teriak murid yang ada disana.
“Oke mari kita panggilkan Dio dkk,” teriak Aqya memanggil Dio dkk
Masuk lah Dio, Ferdian, Bayu, Ramdhani dengan gaya khas mereka dan
senyum merekah, “Hai guys, how are you?” teriak Bayu pada penonton saat ia sudah
diatas panggung.
“I’m fine,” balas penonton kepada Bayu.
“Fine yah meski lihat dia sama yang lain, aku rapopo,” kata bayu dengan nada
melas yang langsung mendapatkan gelak tawa semua orang yang hadir.
“Oke langsung aja kami disini akan menghibur kalian dengan lagu yang akan
kami bawakan yaitu cendol dawet, musik,” teriak Dio, “Yang bisa ikut nyanyi yah,”
"Koyo ngene rasane wong nandang kangen
Rino wengi atiku rasane peteng
Tansah kelingan kepingin nyawang
Sedelo wae uwis emoh tenan

Cidro janji tegane kowe ngapusi


Nganti seprene suwene aku ngenteni
Nangis batinku nggrantes uripku
Teles kebes netes eluh cendol dawet"
Teriak Zhain dan Tirta bernyanyi bersama "Cendol dawet, Cendol dawet
seger" sambil berteriak heboh.
Arissa untuk Marissa | 151
"Cendol dawet, cendol dawet seger
Cendol cendol dawet dawet
Cendol cendol dawet dawet"
Dio tiba-tiba turun kebawah panggung dan menarik Dhava yang ada dipinggir
panggung untuk bernyanyi bersama dan berjoget ria di atas panggung.
"Cendol dawet seger piro, lima ngatusan
Terus gak pake ketan
Ji ro lu pat nem pitu wolu...

Dudu klambi anyar


Sing neng njero lemariku
Nanging bojo anyar
Sing mbok pamerke neng aku
Dudu wangi mawar
Sing tak sawang neng mripatku
Nanging kowe lali
Nglarani wong koyo aku
Nengopo seneng aku
Yen mung gawe laraku
Pamer bojo anyar
Neng ngarepku
Ayo semuanya,” teriak Dio disela-sela nyanyiannya semua yang hadir
berjoget bersama tanpa mengenal umur mereka terhibur mala mini dengan penampilan
yang ditampilkan.

Arissa untuk Marissa | 152


“Semuanya apa?
Cidro janji tegane kowe ngapusi
Nganti sprene suwene aku ngenteni
Nangis batinku nggrantes uripku
Telese kebes netes eluh neng dadaku,” bait terakhir lagu sudah selesai Dio
dkk mengucapkan terima kasih dan turun dari panggung. Aqya dan Rezi naik keatas
panggung untuk mengakhiri acara atau penutupan acara.
“Bun, Marissa Mau beli tisu di warung depan gedung dulu yah,” izin Marissa
kepada Bunda karina.
Mendengar itu Bunda Karina menoleh dan menatap Marissa, “Mau Bunda
temenin nggak?” tanya Bunda Karina.
“Nggak usah Bun, kan warungnya cuman didepan gedung doang, aku pergi
beli tisu dulu yah Bun” tolak Marissa seraya berdiri dari tempat duduknya dan pergi
menuju luar gedung. Bunda Karina yang melihat punggung Marissa semakin jauh pun
membuat perasaanya tidak enak ia merasa akan ada kejadian buruk ang menimpa anak
nya itu tapi pikiran itu langsung ia buang jauh-jauh.
Arissa sekarang tengah berkumpul dengan teman-temannya dan teman
kakaknya Keenan, ia bahagia bisa berkumpul bersama meski hanya dengan sahabat-
sahabatnya saja tapi Arissa sudah menganggap mereka seperti keluarga.
“Gue baru tahu ternyata jarak Surabaya ke Kalimantan sama dengan jarak
Kalimantan ke Surabaya,” kata Zhain dengan tampang polosnya dan membuat semua
tertawa.
“Lo butuh diruqiyah kayaknya deh Zhain, bego kali kau,” kata Tirta dengan
menatap ngeri kearah Zhain, “Raden lo ruqiyah nih temen lo sekarang,” lanjut Tirta
kepada Raden.
Zhain yang mendengar itu tidak terima, “Apa apaan gue masih waras astaga
nggak perlu digitu-gituin,” kata Zhain dengan nada kesalnya.
“Bener nggak mau diruqiyah gratis loh,” goda Keenan kepada Zhain.
“Mumpung gue lagi baik nih khusus buat lo doang nih,” kata Raden ikut
menggoda Zhain juga, semuanya langsung tertawa.
Arissa untuk Marissa | 153
Drett…
Drett…
Tiba-tiba hp Arissa berbunyi yang menandakan ada pesan masuk, Arissa
langsung membukanya setelah ia baca ia izin kepada teman-temannya, “Ak uke toilet
dulu yah,” kata Arissa kepada semuanya.
“Mau aku temenin Sa?” tanya Mira kepada Arissa.
“Eng… enggak usah aku sendiri aja,” kata Arissa dengan gugup, ia tak mau
teman-temannya tahu kalau ia akan pergi menemui seseorang, Ia langsung bergegas
pergi. Keenan menatap punggung Arissa yang semakin menghilang dibalik dinding
gedung.
Arissa berjalan keluar gedung, mencari keberadaan seseorang yang mengirim
pesan kepadanya.
“Hei Arissa,” panggil seseorang dari belakang Arissa,
Arissa yang merasa namanya dipanngil pun menoleh kebelakang dan
menadapati Kakanya Marissa berjalan ke arahnya.
“Ada apa manggil aku kesini kak?” tanya Arissa kepada Kakaknya.
“Lo ikut gue beli tisu diwarung sebrang jalan itu ayo,” kata Marissa tanpa
sadar menggandeng tangan Arissa dan berjalan beriringan, Arissa tersenyum melihat
tangannya digandeng oleh Marissa dengan lembut, ia rindu masa-masa seperti ini dari
dulu, “Lo nggak mau beli sekalian?” tanya Marissa, Arissa yang mendengar itu hanya
diam ia tak menyangka Marissa akan bersikap lembut padanya, “Hei ngelamun, gue
nanya kali,” kata Marissa kepada Arissa.
“Enggak deh kak,” tolak Arissa, setelah membayar mereka menyebrang jalan
kembali tapi saat hendak masuk ke dalam halaman depan gedung Marissa menahan
Arissa untuk masuk, “Ada apa kak?” tanya Arissa menatap Marissa yang berdiri
menghalangi ia masuk.
“Ada yang mau gue omongin ke lo,” kata Marissa, Arissa hanya diam sambil
menunggu Marissa melanjutkan omongannya, “Lo bukan adik kandung gue kan? lo
pembunuh Arissa, lo udah buat kakak pertama gue diculik dan lo udah buat kakak kedua
gue meninggal Arissa, lo harus tanggung jawab sama semua itu,” tuduh Marissa kepada
Arissa.
Arissa untuk Marissa | 153
“Enggak Kak, Arissa bukan pembunuh Arissa nggak ngelakuin itu semua, itu
udah kehendak yang maha kuasa Kak,” kata Arissa yang mulai mengeluarkan air
matanya.
“Sama aja, mereka meninggalkan gue sama Ayah dan Bunda gara-gara lo
Arissa, lo pembunuh, PEMBUNUH ARISSA,” kata Marissa sambil menekan kalimat
terakhirnya, Arissa mulai berjalan mundur karena Marissa melangkah mendekat ke
arahnya dengan senyuman yang menakutkan.
“Kak apa yang akan Kakak lakuin sama aku? Aku minta maaf Kak, maafin aku
Kak, aku janji nggak bakalan nganggu hidup Kak Marissa lagi,” kata Arissa memohon
kepada Marissa agar memaafkan dirinya.
“Permintaan maaf lo nggak bakalan bisa buat kedua Kakak gue balik Arissa
setelah lo buat Kak Gya meninggal dan Kak Iqbal diculik dan kita nggak tahu
keberadaanya sampai sekarang dengan gampangnya lo meminta maaf ha?! Apa dengan
kata Maaf lo bisa balikin mereka ha?! Gue mau lo MATI ARISSA,” kata Marissa menekan
perkataan akhirnya, tiba-tiba tangan Marissa mendorong Arissa ketengah jalan tapi
reflek Arissa juga menarik tangan Marissa mereka sekarang berdiri ditengah jalan.
Tinn…
Tinn…
Terdengar suara mobil berjalan kearah mereka lebih tepatnya dari arah
belakang Marissa, reflek mereka menoleh, genggaman tangan itu pun terlepas dan
melihat mobil itu berjalan kearah mereka dengan cepat dan tiba-tiba Arissa merasa
tangannya ditarik oleh seseorang kepinggir jalan, “ARISSA,” teriak Marissa saat melihat
Arissa ditarik oleh seseorang.
Tinn…
Tinn..
“KAK MARISSA AWAS….”
“MARISSA AWAS….”
BRUK….
Suara tubrukan itu terdengar nyaring sampai kedalam gedung semua orang
pun langsung berhamburan keluar melihat apa yang terjadi.
Arissa untuk Marissa | 154
“KAK MARISSA,” teriak Arissa yang langsung berlari menuju Kakaknya yang
tergeletak ditengah jalan dengan baju yang sudah terdapat darah dimana-mana.
“Kak Marissa bangun Kak,hiks hiks bangun Kak,” kata Arissa sambil
menggoyang-goyangkan tubuh Marissa.
“Marissa kamu harus kuat, Arissa ayo kita bawa dia kerumah sakit, Kakak
mau ambil mobil dulu yah,” kata Keenan ah iya seseorang yang menarik tangan Arissa
adalah Keenan, langsung saja Keenan berlarian menuju parkiran untuk mengambil
motornya untung saja ia tadi membawa mobilnya.
Semua orang berdesak-desakan mengerumuni Arissa dan Marissa ditengah
jalan, “YAH ALLAH MARISSA SAYANG? KAMU KENAPA KOK BISA SEPERTI INI SAYANG,
MARISSA BANGUN, MARISSA BANGUN JANGAN TINGGALIN BUNDA LAGI SAYANG,” kata
Bunda Karina saat ia berhasil menerobos kerumunan orang-orang tersebut.
“KAMU, KAMU YANG BUAT ANAK SAYA JADI BEGINI KAN? NGAKU AJA DEH,
DASAR ANAK NGGAK TAHU DIUNTUNG KAMU, NYESEL SAYA MERAWAT KAMU,
MARISSA BANGUN NAK JANGAN TINGGALIN BUNDA HIKS,” maki Bunda Karina pada
Arissa.
“Bunda ayo kita bawa Marissa kerumah sakit sekarang,” kata Keenan seraya
langsung menggendong Marissa dan memasukkannya kedalam mobil bagian belakang,
“Arissa ayo ikut,” ajak Keenan kepada Arissa ia tahu Arissa merasa takut karena
Bundanya marah besar ke dirinya dan akan menyalahkan Arissa tentang kejadian ini.
Mereka sedang duduk didepan pintu UGD, “Kamu Arissa harus bertanggung
jawab atas semua ini Arissa, kamu udah buat saya kehilangan Marissa lagi Arissa,” kata
Bunda Karina kepada Arissa. Mendengar itu Arissa hanya diam dan tertunduk takut.
“Sabar Bunda mending Bunda telfon Ayahnya Marissa kabarin ke Ayahnya
kalau Marissa kecelakaan,” kata Keenan menenangkan Bunda Karina.
“Ah iya aku lupa tak mengabari dia, kamu tunggu disini yah Bunda mau
nelfon Ayahnya Marissa dulu,” kata Bunda Karina seraya pergi meninggalkan Keenan
dan Arissa.
“Kak, Marissa Kak,” kata Arissa kepada Keenan.
“Kamu yang sabar yah, Marissa pasti baik-baik aja,” kata Keenan
menenangkan Arissa.
Arissa untuk Marissa | 155
Clek..
Pintu UGD terbuka keluarlah dokter yang menangani Marissa, “Ibu nya
mana?” tanya sang dokter kepada Keenan dan Arissa.
“Ibu nya sedang menelfon Ayahnya dok, ntar kalau balik saya suruh ke
ruangan dokter aja gimana?” tanya Keenan kepada dokter, lantas dokter tersebut hanya
mengangguk dan melangkah pergi.
“Nak Keenan bagaimana keadaan Marissa? Dokter bilang apa?” tanya Bunda
Karina kepada Keenan saat ia kembali.
“Dokter nggak bilang apa-apa tapi tadi dia nyuruh Bunda untuk
keruangannya,” kata Keenan memberitahu Bunda Karina untuk keruangan Dokter.
“Bunda habis dari ruang dokter langsung pulang kerumah buat ambil baju
Marissa, maaf yah ngerepotin tapi kalau Bunda lama kamu boleh pulang kok,” kata
Bunda Karina kepada Keenan dan Arissa.
“Nggak papa kok Bunda,” kata Keenan kepada Bunda Karina.
“Yaudah Bunda tinggal dulu,” pamit Bunda Karina yang langsung pergi
keruangan Dokter.
Setelah kepergian Bunda Karina tak ada yang memulai percakapan, Arissa
diam menatap Kakaknya yang terbaring lemah di kasur rumah sakit. Satu jam mereka
menjaga Marissa tiba-tiba Keenan berdiri, “Arissa ikut kakak yuk, kita akan ketemu sama
Ayah kamu dan ngobrolin tentang semua nya,” kata Keenan menatap Arissa, mendengar
perkataan Keenan Arissa langsung berdiri dengan semangat ia rindu dengan ayahnya
langsung saja Arissa dan Keenan berjalan ke kantin rumah sakit.

“semua yang terjadi pada diri kita itu sudah tertulis pada scenario tuhan.”

Arissa untuk Marissa | 156


16 Tahun Silam

Seorang pria paruh baya sedang duduk sendirian di salah satu sudut kantin
sebuah rumah sakit. Pria itu terlihat sedang mengadakan janji temu dengan seseorang,
terlihat secangkir kopi yang uapnya masih mengepul sedang menemaninnya, membalas
beberapa Email pekerjaan pria itu menyeruput kopinya.
Menatap awan yang berarak diangkasa menerbitkan sebuah senyuman yang
terlihat sangat tulus, meski pria itu sudah tak lagi muda tapi kontur wajahnya masih
tetap tampan dengan sedikit kerutan dibagian bawah matanya, setelah jas kantor yang
rapi masih melekat ditubuhnya memancarkan sebuah ketegasan dan kewibawaan yang
tak dapat ditolak.
Pria itu tersenyum saat dua muda-mudi datang dari arah depan menuju tempat
duduknya, saat dua muda-mudi tersebut sudah berdiri tepat di depannya, pria itu
langsung berdiri dan memeluk seorang gadis dengan tatapan kerinduan.
“Arissa,” panggilnya lirih dengan nada-nada kerinduan yang sangat jelas.
“Apakah Ayah baik-baik saja?” tanya Arissa kepada pria tersebut yang ternyata
Ayahnya.
“Ayahmu ini baik-baik saja, sepertinya dirimulah yang tidak baik-baik saja.
Maafkan juga kelakuan Bundamu Arissa,” kata sang Ayah.
“Tenanglah Ayah, Arissa baik-baik saja, Arissa juga sudah memaafkan semua
perlakuan Bunda. Apakah Ayah tak mempersilahkan Arissa dan Kak Keenan untuk duduk
terlebih dahulu,” kata Arissa dengan sedikit gurauan.
“Astaghfirullah Ayah sampai lupa, ayo duduk-duduk. Kalian berdua mau pesan
apa biar Ayah yang traktir?”
“Arissa hanya ingin teh manis hangat, kalau Kak Keenan apa?” tanya Arissa
kepada Keenan.

Arissa untuk Marissa | 157


“Samakan saja,” kata Keenan dingin.
Ayah Adi langsung mengangkat tangannya dan berkata, “Mbak teh manis hangat
dua,”
“Jadi kalian ingin berbicara tentang apa?” tanya Ayah Adi.
Arissa langsung menatap Keenan dengan tatapan yang seolah-olah mengatakan
‘Ayo cepat bicara’, sedangkan yang ditatap hanya balik menatap dengan tatapan tak
terbaca.
“Kak Keenan yang berbicara atau Arissa yang akan berbicara,” ancam Arissa.
“Baiklah Kakak yang akan bicara,” Keenan dengan terpaksa menjawab.
“Bapak pasti tahu siapa saya bukan---
“Ayah Kak, Ayah, dia itu Ayah kita jadi jangan panggil dia dengan kata Bapak, itu
terdengar sangat formal jika Kakak yang mengucapkannya,” kata Arissa dengan
menekankan kata Ayah. Sedangkan Ayah Adi hanya bisa mengerutkan keningnya saaat
mendengarkan perkataan Arissa.
“Baiklah Arissa, begini Ayah---
“Maaf Pak, ini pesanannya,” sela seorang pelayan yang mengantarkan pesanan
minuman.
“Ihhh Mbak ini gangguin aja deh, yasudah Mbak sana pergi dulu. Uangnya nanti
dibayar Ayah saya, tenang saja kok Mbak Ayah saya ini pasti bayar,” kata Arissa sambil
mendorong pelayan tadi menjauh setelah meletakkan pesanan minuman.
“Sudah, silahkan Kak Keenan lanjutkan perkatannya,” Arissa tersenyum sambil
menyeruput teh manis hangatnya.
“Begini Ayah, Ayah pasti tahu nama lengkap saya bukan?” tanya Keenan.
“Ya pasti tahu, siapapun teman anak saya pasti saya harus menyelidiki asal
usulnya. Namamu Keenan Alexander Vincent bukan, anak angkat dari pasangan Arshaka
William Vincent dengan Catharina Belinda McQueen, pemilik VGroup,” jelas Ayah Adi
dengan lengkap.
Arissa untuk Marissa |158
“Betul sekali, saya adalah anak angkat dari pemilik VGroup tapi Ayah tidak tahu
bukan siapa orang tua kandung saya dan nama asli saya?” tanya Keenan lagi dengan
tatapan menantang.
“Ya, itu sulit sekali untuk orang-orang saya melacak identitas asli miliikmu.
Keamanan privasi keluargamu memang sangat tidak diragukan lagi,” terdengar nada
pujian didalam perkataan Ayah Adi.
“Saya akan mengungkapkan jati diri saya didepan Ayah tapi dengan satu syarat,
apakah Ayah mau?” tanya Keenan yang masih tidak melepaskan tatapannya yang
menantang.
“Apa untungnya jika saya mengetahui identitas aslimu anak muda,” kata Ayah Adi
dengan tenang, tak terpengaruh sekali dengan tatapan menantang yang diajukan
Keenan kepadanya.
Huh, tinggal bilang identitas aslinya saja paka acara tawar menawar, dasar
Keenan, gumam Arissa dalam hati diiringi dengan helaan napasnya.
“Untungnya sangat menjanjikan sekali Ayah, dan juga Ayah pasti akan seperti
mendapatkan harta karun yang berharga, yang selama sembilan tahun terakhir Ayah
mencari namun belum mendapatkannya juga,” Keenan mencoba memprovokasi Ayah
Adi.
“Baiklah saya setuju, apa salahnya jika saya mencoba penawaranmu itu anak
muda. So, apa persyaratanmu?” tanya Ayah Adi.
“Orang-orang saya sudah menyelidiki semua tentang keluarga Ayah terkecuali
satu hal, saya ingin Ayah untuk menceritakan hal tersebut didepan Arissa selaku anak
kandung Ayah dan Bunda, juga menceritakan kepada Bunda bahwa anak kandung Ayah
dan Bunda adalah Arissa bukan Marissa,” perkataan Keenan membuat Ayah Adi spontan
melihat Arissa, tapi Ayah Adi tak menemukan apapun kecuali ketenangan dan
ketenangan, seakan-akan Arissa sudah mengetahui sebuah rahasia yang sudah ia tutup
rapat.
Kakakku memang is the best deh, kirain acara tawar menawarnya hambar malah
jadi seru banget nih. I like deh Kak, Arissa senyum-senyum sendiri mengingat tawaran
yang diberikan Keenan kepada Ayahnya. Senyuman itu langsung Arissa hilangkan saat ia
tersadar bahwa Ayahnya daritadi melihatnya, ia ganti perubahan raut wajahnya menjadi
tenang, tenang dan tenang.
Arissa untuk Marissa | 159
“Tenang saja Ayah, Arissa sudah mengetahui semuanya dari Keenan. Akulah anak
kandung Ayah dan Bunda, bukan? Kami ingin mengetahui satu hal, yaitu tujuan dan cara
bagaimana Ayah mengungkapkan bahwa Marissa adalah anak kandung Ayah dan Arissa
adalah anak yang Ayah angkat kepada Bunda,” Arissa dengan tenang menatap dalam ke
retina sang Ayah.
Ayah Adi langsung menunduk dalam dan dengan lirih berkata, “Maafkan Ayah,
Arissa, bukan maksud Ayah untuk membuatmu menderita. Ayah melakukan itu semua
karena rasa iba dan janji Ayah kepada Ibu kandung Marissa. Mungkin benar apa yang
dulu Bundamu pernah katakana, kebaikan yang dimiliki Ayah adalah bom waktu yang
sewaktu-waktu akan menyakiti orang-orang yang Ayah sayangi,”
“Tidak Ayah, Ayah Adi adalah orang yang baik dan jangan pernah berfikir bahwa
kebaikan yang dimiliki Ayah kepada semua orang adalah hal yang salah. Arissa, Marissa,
Kak Iqbal, dan Kak Gya yang ada di surga pasti bangga sekali memiliki Ayah seperti Ayah
Adi,” Arissa mencoba menggenggam tangan sang Ayah agar sang Ayah tahu bahwa
semua anak-anaknya sangat bangga memiliki Ayah seperti dirinya.
“Terimakasih sayang,” kata sang Ayah sambil mengelus pipi Arissa dengan
lembut.
“Ehmm…” deheman Keenan berhasil merusak suasana haru diantara ikatan anak
dan Ayah.
“Ihhh… Kakak ngerusak aja deh,” Arissa menggembungkan pipinya tanda
merajuk.
“Gak usah merajuk seperti itu, Kakakmu ini gak bakal mempan,”
“Yasudah lanjutkan saja pembicaraan kalian, Arissa akan diam saja dan menjadi
pendengar yang baik,” Arissa mengambil secangkir tehnya dan menyeruputnya dengan
perlahan.
Keenan melakukan hal yang sama seperti Arissa, menyeruput tehnya perlahan
seblum melanjutkan permbicaraannya dengan Ayah Adi.
“Keenan ingin Ayah melakukan semua yang dikatakan Arissa setelah Keenan
mengungkapkan jati diri Keenan. Anak pertama Ayah diculik karena menolong Arissa
yang ingin diculik, bukan? Lalu anak kedua Ayah, Gya Adi Alkatiri meninggal secara tragis
dengan sebuah peluru bersarang tepat didadanya karena menolong Arissa juga,
bukan?” tanya Keenan yang sudah berusaha tak formal lagi.
Arissa untuk Marissa | 160
“Iya, apa yang kamu katakan semuanya benar dan Ayah akan menceritakan hal
itu juga memberitahu Bunda tentang semuanya. Jadi katakana siapa jati dirimu hingga
tahu seluk beluk keluargaku?” Ayah Adi menatap dalam kea rah Keenan.
“Baiklah Keenan akan memberitahukan jati diri Keenan. Ayah sudah tahu bahwa
orang tua angkatku adalah Arshaka William Vincent dan Catharina Belinda McQueen
pemilik VGroup, Ayah sudah pasti tahu bahwa penerus VGroup adalah aku, anak
angkatnya meski ada Kakak perempuanku Clairine Abigail Vincent dan adik laki-lakiku
Jonathan Hilary Vincent yang notabennya adalah anak kandung mereka,” Keenan
memberi jeda untuk menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkannya lagi.
“Tuan Vincent menemukanku saat beliau memberikan donasi bulanan ke panti
asuhan Kasih Bunda, Arissa tahu panti asuhan itu. Beliau langsung meminta anak
buahnya untuk mengurus surat-surat agar aku menjadi anggota keluarga besar Vincent
saat umurku menginjak sebelas tahun, saat aku sudah sah menjadi anaknya dimata
hukum Indonesia, beliau mengirimku ke Belanda untuk belajar bisnis disana. Meski
umurku masih sebelas tahun aku sudah dicekoki oleh tangan kanannya dengan bisnis
disana, hingga saat umurku enam belas tahun aku sudah memiliki sebuah perusahaan
sendiri AVGroup, Ayah pasti tahu perusahaan itu, perusahaan yang membuat gempar
dunia bisnis karena pendirinya adalah seorang pemuda yang masih belum tamat bangku
kuliah namun ditangan pemuda itu perusahaan AVGroup bisa bersaing ketat dengan
perusahaan ternama didunia bisnis,” perkataan sang Kakak membuat Arissa
terperangah dan tak percaya hal itu bisa terjadi.
What?! Yang benar saja Kak Keenan mendirikan perusahaan sendiri. Ngaco ih,
gak mungkin, aku mimpi kali ya, Arissa mencoba mencubit pipinya dengan keras dan
alhasil dirinya pun kesakitan.
“Awww..” ringisan kesakitan Arissa.
“Kenapa nak?” tanya Ayah Adi.
“Apa benar memang Kak Keenan pemilik AVGroup?” tanya Arissa.
“Itu betul sekali, apakah kau tak percaya Kak Keenanmu itu seorang direktur
utama,” kata Ayah Adi yang diangguki Arissa.
“Sudahlah kita disini tidak membicarakan tentang siapa pemilik AVGroup, kita
disini membicarakan tentang jati diri seorang Keenan,” kata Keenan tegas.

Arissa untuk Marissa | 161


“Aku tinggal di panti asuhan saat umurku menginjak sembilan tahun, dulu aku
diculik oleh seseorang dan aku bisa lolos dari penculik itu dan berakhir dengan saya
tinggal di panti asuhan Kasih Bunda. Bukan aku tak ingin pulang ke rumahku, tapi aku
dulu lupa alamat rumahku, dan aku ingin pergi dari rumah karena dulu kedua orang
tuaku lebih menyayangi adik ketigaku yang menderita sakit ginjal. Memang terdengar
sangat konyol alasanku itu, tapi itulah kenyatannya,” Keenan mengulangi hal yang sama,
menghela napasnya dalam-dalam sebelum melanjutkannya lagi.
“Nama asliku adalah Iqbal Adi Alkatiri anak kandung dari pasangan Adi Bagaskara
dan Karina Alkatiri. Aku adalah anak kandung Ayah dan Bunda,” Keenan langsung
mendapat pelukan dari sang Ayah meski mereka dipisahkan oleh meja.
“Apa kau memang benar anakku?” tanya Ayah Adi memastikan dengan mata
yang berkaca-kaca.
Keenan langsung menganggukkan kepalanya, “SubhanAllah Adi anakku,” kata
Ayah Adi dengan mengelus pipi anaknya.
“Ayah udah deh, Ayah sama Kak Keenan itu sama laki-lakinya jadi jangan suka
pelukan gitu deh nanti dikira orang-orang apa lagi,” kata Arissa momen yang
mengharukan.
“Bilang aja kamu cemburu, huuu dasar Arissa,” kata Keena dengan mengusap
kerudung Arissa, membuatnya sedikit berantakan.
“Ishh Kakak nih suka sekali merusak kerudung Arissa,” kata Arissa sambil
membenarkan kerudungnya.
“Ya ampun Arissa, Ayah baru ngeh kalau kamu sekarang berhijab nak,” kata Ayah
Adi dengan nada yang tak dibuat-dibuat.
“Itu karena kerinduan Ayah kepada Arissa, sampai-sampai Ayah tidak tahu
perubahan yang terjadi dengan Arissa,” kata Arissa.
“Yasudah yang terpenting sekarang Arissa berubah lebih baik dan anak Ayah, Adi
junior sudah kembali,” kata Ayah Adi dengan merentangkan tangannya, Arissa dan
Keenan langsung saja mengitari meja dan masuk ke dalam pelukan sang Ayah.
“Ehmmm Ayah kenapa nama Kak Keenan--- eh Kak Iqbal diganti jadi Adi Junior
sih, apa jangan-jangan almarhum Kak Gya dipanggil Adi Junior Kuadrat,” tawa Ayah Adi
dan Keenan langsung menggema di penjuru kantin.
Arissa untuk Marissa | 162
“Hahahahahaha….”
“Ihhh… Ayah sama Kakak kok malah ngetawain Arissa sih,” kata Arissa manja
sambil melepaskan pelukan Ayah Adi.
“Uluh uluh uluh Arissa ngambek nih yeee…” Keenan juga mengikuti jejak Arissa
dan melepaskan pelukan sang Ayah.
“Nggak Arissa cuma merajuk,” kata Arissa sinis.
“Yeee itu mah sama saja,” kata Keenan.
“Sudah, sudah apa kalian tidak ingin mendengarkan kisah Ayah tentang
bagaimana Ayah meyakinkan Bunda untuk mengangkat anak yakni Arissa, dan
memberitahukan bahwa anak kandungnya adalah Marissa bukan Arissa?” kata Ayah Adi
membuat suasana yang tadinya sudah cair kini kembali tegang.
“Memang benar seorang Ibu pasti tahu siapa anaknya dan siapa yang bukan
anaknya. Tapi apakah hal itu tetap berlaku jika seorang Ibu melahirkan dengan keadaan
tidak sadar, seorang Ibu pasti sudah memiliki ikatan dengan seorang anak saat sang Ibu
menyusui sang anak untuk pertama kalinya, dan hal itulah yang tidak terjadi dengan
Karina, bayi yang pertama kali ia beri ASInya adalah anak orang lain bukan anak
kandungnya,” perkataan sang Ayah membuat Arissa shock, bagaimana bisa hal itu
terjadi kepada dirinya, kenapa bukan Arissa yang mendapat pelukan dan ASI untuk
pertama kalinya. Tapi Arissa tetap diam dan dengan tenang mendengarkan pengakuan
sang Ayah.
“Apa kau masih ingin mendengarkan lanjutan kisah yang konyol namun membuat
semua orang terluka Arissa?” tanya Ayah Adi yang melihat pancaran kesakitan yang
tergambar jelas dimata indah sang anak.
“Jika memang kau tak sanggup mendengarkan maka hentikan saja Arissa,”
tambah Keenan yang paham dengan kondisi adiknya.
Arissa langsung memeluk sang Ayah dan berkata dengan lirih meski perkataannya
sedikit teredam dengan pelukan Ayahnya, “Lanjutkan saja Ayah, Arissa ingin
mendengarkannya,”
“Baiklah Ayah akan melanjutkannya,” Ayah Adi langsung menghirup udara dalam-
dalam dan melepaskannya secara perlahan sebelum melanjutkan ceritanya.

Arissa untuk Marissa | 163


“Waktu itu Ayah masih ada di luar kota dalam perjalanan bisnis…
Drtt..
Drtt..
Aku sangat senang saat melihat nama siapa yang tertera di atas layer ponselku
My Wife is calling…
Itu adalah nama panggilan kesayanganku padanya, terkadang aku was-was saat
meninggalkannya sendirian dirumah hanya dengan satu orang pembantu dan satu
orang sopir, juga kedua anakku yang masih kecil disaat umur kehamilannya yang sudah
menginjak bulan kesembilan. Tapi bagaimana lagi, tuntutan pekerjaan membuat diriku
harus rela berpisah selama beberapa hari, aku harus mengunjungi beberapa investor
perusahaan dan mulai merancang proyek yang akan perusahaanku tangani, besok
adalah hari kepulanganku, sengaja aku tak memberi tahunya kapan aku pulang agar
aku bisa memberikannya sebuah kejutan.
“Assalamualaikum sayang…” sapaku saat menjawab teleponnya.
“Waalaikumussalam Bapak, saya bukan Ibu, saya Mbok Sri,” Ah, itu bukan
dirinya tapi pembantu yang aku pekerjakan di rumah.
“Ada apa Mbok, kok pagi-pagi sekali menelfon saya, apaka Karina baik-baik
saja?” tanyaku dengan nada khawatir, tumben sekali Mbok Sri menelfon sepagi ini
apalagi menggunakan handphone milik istriku. Apa yang terjadi dengannya?
“Itu.. Bapak.. haduh gimana yah Mbok ngomongnya. Bapak pokoknya harus
kembali ke Surabaya, Ibu lagi ada di dalam ruang operasi. Tadi pagi Ibu ndak sengaja
jatuh kepeleset di kamar mandi, terus Ibu langsung nggak sadarkan diri. Mbok sama
Mang Asep langsung bawa Ibu ke rumah sakit, dan kata dokter Ibu harus segera di
operasi kalau ndak Ibu sama dedek bayinya ndak bisa diselamatkan,” aku sangat shock
mendengarkannya, istriku ternyata sedang bertaruh nyawa diatas meja operasi.
“Ok, ok sekarang Mbok tenang saja, beberapa jam lagi saya akan tiba di
Surabaya, nanti kalau saya sudah sampai di bandara Juanda, Mbok tolong suruh Mang
Asep jemput saya. Nanti kalau ada apa-apa sama Karina, Mbok langsung kabari saya
yah,” aku berusaha untuk menenangkan Mbok Sri, padahal aku sendiri juga sangat
khawatir dengan keadaan Karina.

Arissa untuk Marissa | 164


“Siap Pak, kalau begitu Mbok tutup telponnya yah Pak, assalamualaikum,”
“Waalaikumussalam Mbok,” akhirnya panggilan itu pun berakhir.
Aku langsung menyibak selimut dan merapikan barang-barang bawaanku,
sebenarnya tadi aku sedang tidur, tapi terbangun saat terdengar nada dering. Dengan
satu tangan merapikan barang bawaanku, sedangkan tangan satunya mendial nomor
telepon Maggy, sekretaris sekaligus asisten pribadiku.
“Selamat pagi Maggy,” diseberang sana terdengar Maggy yang masih menguap,
mungkin dia juga baru bangun dari tidurnya.
“Selamat pagi juga Pak. Ada yang bisa dibantu Pak?”
“Tolong pesatkan tiket dengan keberangkatan paling pagi ke Surabaya, dan
handle semua pekerjaan yang belum saya selesaikan,” terdengar suara grasak-grusuk
dari arah seberang, mungkin Maggy langsung melaksanakan tugas yang sudah ku
berikan.
“Baiklah Pak saya sudah memesankannya, keberangkatan paling pagi jam 07.00,
saya akan menjemput Bapak dalam waktu lima belas menit,” memang sekretarisku
Maggy ini paling bisa diandalkan.
“Saya akan menunggumu dalam waktu lima belas menit,” langsung saja aku
akhiri panggilan dengan Maggy dan melihat jam yang melingkar di tanganku.
06.30, masih ada waktu untukku mandi dan sarapan sebelum berangkat ke
Surabaya.
***
Di dalam pesawat aku sangat gusar memikirkan keadaan Karina dan anakku,
apakah di sana dia baik-baik saja, entahlah, semoga Allah senantiasa melindungi
mereka. Aku langsung memasang sabuk pengamanku kembali saat pramugari
mengumumkan bahwa pesawat akan landing di bandara Internasional Juanda, akhirnya
aku bisa menghirup kembali udara di tanah kelahiranku.
Setelah mengambil koperku, langsung saja aku mencari Mang Asep yang sudah
menungguku di parkiran bandara. Ku lihat Mang Asep melambaikan tangan ke arahku,
Mang Asep langsung memasukkan koperku ke dalam bagasi.
Arissa untuk Marissa | 165
“Bagaimana kabar Karina, Mang Asep?” tanyaku saat Mang Asep mulai
menjalankan mobilnya menjauh dari parkiran bandara.
“Saat saya menjemput Bapak, Ibu masih di dalam ruang operasi, entah kalau
sekarang,” jawab Mang Asep dengan menatapku lewat kaca tengah mobil.
“Oh gitu yah Mang, yasudah Mang Asep fokus dengan mobil saja. Saya ingin
istirahat sebentar maklum saya tidak terbiasa naik pesawat jadi masih aja kena jet leg,”
ku pejamkan mataku agar bisa sedikit tenang. Meski rasa khawatir itu masih bersarang
di hatiku.
Aku terbangun saat ada tepukan dibahuku, ternyata Mang Asep yang
membangunkanku. Ku edarkan pandanganku ke sekeliling dan, yah, aku sudah ada di
rumah sakit. Langsung saja ku tegakkan punggungku dan membuka pintu mobil, tapi
sebelum itu aku memberikan wejangan terlebih dahulu ke Mang Asep,
“Mang, tolong nanti langsung pulang saja dan masukkan koper saya ke dalam
kamar. Oh, yah, tunggu sebentar disini, nanti biar Mbok Sri pulang bersama Mang Asep
buat ngurusin anak-anak,”
“Iya siap Pak, anak-anak juga tadi sebelum saya berangkat sudah saya titipkan
dengan tetangga sebelah,” penjelasan Mang Asep membuatku sedikit bernapas lega.
Setelah bertanya dengan receptionist dimana Karina dirawat, aku langsung
menuju ke ruang operasi, ternyata Karina masih berada di dalam ruang operasi. Terlihat
di depan ruang operasi Mbok Sri duduk dengan cemas.
“Bapak..” panggilnya saat melihat diriku.
“Bagaimana Mbok? Apakah dokter sudah keluar atau berkata sesuatu?” tanyaku
saat sudah berada di depannya.
“Belum Pak, tapi saat ada suster keluar dan saya tanya gimana keadaan Ibu, dia
bilang Ibu kehilangan darah banyak, karena itu suster tadi mengambil beberapa
kantong darah dari bank darah yang ada di rumah sakit ini,” penjelasan Mbok Sri
membuatku yang tadinya sudah sedikit bernapas lega kini menjadi lebih khawatir.
Apa tadi kata Mbok Sri? Bank darah? Kantong darah? Apakah seserius itu yang
dialami Karina? Ya Allah, tolong selamatkanlah istriku dan anakku.

Arissa untuk Marissa | 166


Menarik napas dalam-dalam aku menyuruh Mbok Sri untuk mengambil beberapa
barang yang sudah aku dan Karina siapkan untuk menanti buah hati ketiga kami,
“Mbok lebih baik sekarang pulang ke rumah dan ambil barang-barang yang sudah
disiapkan di kamar kami, dan juga nanti tolong rawat Iqbal dan Gya lalu kirimkan
mereka ke rumah Neneknya dan kataka kepada Ibu saya tentang keadaan Karina
sekarang, tadi saya belum sempat mengabari keadaan Karina kepada beliau”
“Baik Pak, kalau begitu saya pulang dulu--- eh tapi Pak saya pulang naik apa?
Tadi saya kesini dengan Mang Asep,”
“Mang Asep sudah nungguin Mbok di parkiran, gih sana temuin Mang Asep,”
“Saya pulang dulu Pak, assalamualaikum,” pamit Mbok Sri.
“Waalaikumussalam,” setelah Mbok Sri pergi aku mondar-mandir di depan ruang
operasi menunggu dokter untuk keluar dan mengatakan tentang keadaan Karina.
Tak berapa lama kemudian seorang dokter perempuan keluar dengan seorang
perawat dibelakangnya.
“Tuan Adi Bagaskara, suami nyonya Karina Alkatiri,” panggilnya, langsung saja
aku menghampiri dokter tersebut dan menanyakan keadaan Karina.
“Bagaimana keadaan istri dan anak saya dok?”
“Istri Bapak sempat kritis karena mengalami pendarahan yang hebat, sekarang
nonya Karina masih koma dan tidak sadarkan diri, mungkin dalam dua atau tiga hari
nyonya Karina akan sadar, Bapak berdoa saja. Dan juga Nyonya Karina akan kami
pindahkan di ruang VVIP Mawar, Bapak bisa mengunjunginya nanti setelah kami
pindahkan. Tentang anak Bapak, alhamdulillah nyonya Karina melahirkan seorang bayi
mungil perempuan yang cantik dan tak kurang suatu apapun, Bapak bisa mengikuti
suster Ana untuk mengadzani anak Bapak di ruang bayi. Kalau begitu saya permisi dulu
Pak, assalamualaikum,”
“Alhamdulillah Ya Allah, terima kasih dok waalaikumussalam,” setelah
mendengarkan jawaban salam dariku, dokter tersebut pergi meninggalkanku dengan
seorang suster.
“Mari Pak saya antar,” ucap suster tersebut dengan senyum ramah.
“Iya sus, makasih,”
Arissa untuk Marissa | 167
Aku mengikutinya hingga langkah kami berhenti disebuah ruangan dengan
banyak bayi didalamnya, suster itu langsung membukakan pintu dan mengajakku
berhenti disamping box bayi yang berada tepat di tengah-tengah ruangan, bayi mungil
dengan balutan kain berwarna pink langsung digendong oleh suster itu dan
menyerahkannya kepadaku.
Setitik air mata jatuh dari mataku, aku sangat terharu untuk pertama kalinya
menggendong bayi kecilku.
“Silahkan Bapak mengadzani, saya akan keluar sebentar dan Bapak bisa
memanggil saya jika Bapak selesai mengadzaninya,” suster itu langsung keluar setelah
mengatakannya.
Langsung saja aku mengadzani bayiku, aku belum ingin menamainya. Nanti saja
setelah Karina bangun aku ingin menanyakannya padanya, dia pernah bilang kepadaku
dia sudah memiliki nama untuk putri kecil yang ada di dalam gendonganku, tapi saat
aku bertanya siapa namanya, dia hanya mengatakan itu surprise. Jadi ku biarkan saja
sampai dia melahirkan putri kecilku.
Setelah mengadzani putri kecilku dan meletakkannya kembali ke dalam box,
seorang wanita yang ku kisar umurnya masih 21 tahun dengan bayi tak kalah cantik
dengan putriku dalam gendongannya menepuk bahuku dari belakang.
Saat aku menoleh kepadanya dia tersenyum lembut ke arahku sambil mendorong
bayinya ke arahku, mengisyaratkan bayinya untuk ku gendong.
“Kenapa?” tanyaku yang masih belum mengambil bayi itu.
“Tolong bantu saya Pak, adzani putri saya,” katanya dengan lirih. Selang infus
masih menempel erat ditangannya.
“Baiklah,” langsung saja ku gendong bayi itu dan mengadzaninya, aku mencoba
positive thinking kepada wanita itu, mungkin saja suami wanita itu sedang berada di lur
kota dan berhalangan hadir disisinya saat melahirkan.
“Ini, sudah ku adzani,” kataku sambil memberikan bayi mungil itu kembali
kepadanya.
“Tidak, aku ingin Bapak menjadikannya anak Bapak,” wanita itu membuatku
terperangah.
Arissa untuk Marissa | 169
“Bagaimana mungkin, suamimu pasti akan memarahimu,” kataku mencoba
membujuknya.
“Tidak suami saya pasti tidak akan marah, bahkan mungkin suamiku akan sedih
jika anak itu dalam pelukanku,” suaranya sangat lirih saat mengatakan itu.
“Bagaimana bisa?” tanyaku yang tak habis pikir dengan pola pikir wanita itu.
“Suami saya terlibat kecelakaan dan tewas seketika saat saya baru mengandung,
bahkan dia tidak tahu saya sedang hamil. Keluarga kami juga bukan keluarga yang
bercukupan, saya ingin anak saya berada di tangan yang tepat bukan berada di tangan
saya yang tidak dapat membahagiakannya,” cukup menyedihkan mendengar
sepenggalan kisah hidupnya.
“Bagaimana bisa kau percaya begitu saja dengan saya yang notabennya baru
pertama kali bertemu?”
“Saya tahu dari cara Bapak mengadzani dan menggendong anak Bapak,”
jawabnya dengan lugas.
“Itu adalah anak saya bukan anak anda,” kataku mencoba mematahkan
argumennya.
“Tapi Bapak juga melakukan itu kepada anak saya,” Skak mat.
“Baiklah, baiklah, sekarang bagaimana bisa anda tahu bahwa saya membuat
anak anda bahagia saat dia bersama saya?” ku coba sekali lagi mematahkan pola
pikirnya.
“Karena kehidupan Bapak yang bercukupan, jikalau Bapak menanyakan kenapa
saya bisa mengetahui bahwa Bapak berkecukupan adalah karena Bapak menggunakan
setelan jas yang rapi juga saya mendengar perkataan Bapak dengan dokter yang
mengatakan bahwa istri Bapak akan dirawat di ruang VVIP Mawar,” Wauww, ku akui
jawabannya sangat masuk akal, tapi apakah harta cukup untuk membuat seseorang
bahagia?
“Apakah bagimu harta bisa membuat seseorang bahagia?”

Arissa untuk Marissa | 170


“Tidak, harta tak bisa ditukar dengan kebahagiaan. Tapi, adakalanya harta bisa
membuat seseorang mencari kebahagiannya sendiri dengan cara yang benar dan
sejenak melupakan masalah yang terjadi di kehidupannya,” jawabannya terdengar
sedikit tak masuk akal dan tidak selaras dengan ucapannya bahwa ia hidup dalam
kekurangan.
“Jawabanmu seperti kau bukan dari kalangan orang biasa, bagaimana saya bisa
percaya dengan anda bahwa anda adalah orang yang hidupnya tidak berkecukupan?”
mungkin perkataanku terdengar tak etis untuk dipertanyakan, tapi apa yang bisa kau
perbuat jika berhadapan dengan wanita keras kepala seperti ini.
“Saya sudah mengatakan bukan kepada Bapak bahwa suami saya meninggal
saat saya masih mengandung bayi itu, dan juga bahwa kami dari keluarga yang tidak
berkecukupan. Suami saya bekerja sebagai petani biasa, sama seperti saya, kami hanya
memiliki sepetak sawah dan sekarang saya sudah jual untuk keperluan melahirkan anak
saya Pak,” setetes air mata keluar dari sudut matanya, namun langsung ia hapus.
“Dengan sedikit sisa uang yang saya miliki, saya ingin merantau ke Jakarta. Saya
janji Pak saat saya sukses saya akan mengambil anak saya kembali,” sedikit ketegasan
terdengar keluar dari mulut wanita itu.
“Seandainya anda belum juga sukses sampai ia menikah, bagaimana?” sedikit
keraguan memancar dari dalam matanya.
“Saya akan mengambilnya saat ia berulang tahun yang ke 17, saya akan
berusaha untuk membuatkan rumah meski kecil untuk saya tinggali bersamanya.
Dengan waktu 17 tahun saya yakin, saya bisa membuatkannya sebuah rumah, atas
namanya,” keraguan yang tadi muncul di dalam matanya seketika hilang digantikan
dengan kobaran semangat. Aku sangat mengapresiasi atas kekeras kepalaannya dan
juga kegigihannya.
“Apakah bagimu seorang anak hanyalah barang yang bisa anda buang dan ambil
sewaktu-waktu kau menginginkannya?”
“Tidak, anak adalah anak bukan seonggok barang yang bisa diambil sesuka hati.
Anak sangat membutuhkan kasih sayang dalam hidupnya bukan penderitaan. Mungkin
terdengar tak elok jika saya seorang Ibu memberikan anaknya yang baru saja ia
lahirkan ke dunia kepada tangan yang tak ia ketahui. Tapi, lebih tak elok lagi, bagi saya,
jika anak yang saya kandung masih tetap berada di dalam gendongan seseorang yang
tak bisa membahagiakannya meski sedetik saja,”
Arissa untuk Marissa | 171
Baiklah, mungkin bayi ini bisa menjadi teman bermain untuk putri kecilku.
“Baiklah, saya akan menjadikannya anak saya. Tapi dengan satu syarat, saat
anda sudah sukses jangan pernah mengambilnya dari tangan saya karena bayi ini sudah
milik saya, yang akan mengatur hidup dan kebebasannya adalah saya dan istri saya.
Jikalaupun anda bertemu dengannya jangan pernah membuatnya untuk memanggil
anda dengan sebutan Ibu, karena yang berhak dipanggil seperti itu hanyalah istri saya.
Bagaimana?”
“Saya sangat bahagia sekali mendengarnya, terima kasih banyak Pak. Saya ingin
mengutarakan satu hal lagi, jika anak saya berada di tangan Bapak tolong jaga dia
seperti Bapak menjaga putri Bapak. Kalau bisa buat istri Bapak juga menyayanginya
seperti menyayangi anaknya sendiri,”
“Saya berani berjanji atas hal itu, asalkan anda tak akan pernah mengusik
kehidupan keluarga saya,” ku lihat dia mengangguk kecil.
“Baiklah saya pergi Pak, sudah waktunya untuk saya meninggalkan anak saya
ditangan Bapak,” setelah mengucapkan itu dia langsung mencium kening anaknya yang
masih didalam gendonganku, bukan hanya itu, dia juga mencium kening putriku dengan
kasih sayang.
Setelah wanita itu menghilang di balik pintu, aku memanggil suster yang
mengantarku tadi, dan menyuruhnya agar bayi wanita itu diletakkan dalam box
disamping anakku. Aku juga tak lupa mengatakan kepadanya bahwa anak wanita itu
akan menjadi milikku, sekretaris pribadiku Maggy yang nanti malam akan mengurus hal
itu.
***
Sudah dua hari istriku, Karina tak sadarkan diri. Dan ini adalah hari ketiga, siang
dan malam aku selalu berada di sampingnya, semua pekerjaan aku kerjakan sambil
menunggu kelopak matanya untuk terbuka.
Pagi ini sangat cerah, ku buka gorden yang menghalau sinar matahari untuk
masuk, ku biarkan sang surya menyinari wajahnya yang terlelap dengan damai.
Beranjak dari gorden aku langsung ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Betapa kagetnya diriku saat keluar dari kamar mandi, kelopak matanya terbuka
sempurna, menatapku dengan mata indah yang memancarkan ketenangan. Langsung
saja ku hampiri dirinya.
Arissa untuk Marissa | 172
“Bagaian mana yang sakit? Tunggu disini biar ku panggilkan dokter,” konyol
memang saat diriku memintanya untuk tidak kemana-mana, karena bagaimanapun
dengan kondisinya saat ini, sangat tak mungkin baginya untuk berkeliaran.
“Tunggu,” suaranya terdengar sangat lemah.
“Ada apa?” aku duduk dikursi yang ada di samping brankarnya.
“Bagaimana dengan keadaan anak kita?” rasa hangat sangat aku rasakan saat
dirinya meletakkan satu tangannya diatas tanganku
Dengan kedua tanganku, akau menggenggam tanagnnya yang terasa sangat
hangat, “Dia baik-baik saja, dia sangat cantik seperti dirimu,”
Binar bahagia memancar dari raut wajahnya, “Bolehkah aku menemuinya?” dia
berusaha bangun dari tidurnya.
Langsung saja aku tahan dirinya dan ku tuntun dirinya untuk merebahkan
tubuhnya, “Kata dokter kau masih belum boleh untuk bergerak terlalu banyak, dan juga
aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu, tapi kau jangan marah dulu,”
Karina tertawa renyah mendengar penuturanku, “Baiklah suamiku, apa yang
ingin kau katakan?,”
Ku hirup udara dalam-dalam, “Tiga hari yang lalu saat dirimu masih tak sadarkan
diri, dan saat diriku mengunjungi bayi kita untuk pertama kalinya, seorang bayi kecil
selain bayi kita menyita perhatianku. Aku mendengar dari suster yang berjaga bahwa
bayi itu sangat malang, Ayahnya meninggal saat dirinya masih dikandungan,
sedangkan Ibunya meninggalkannya juga setelah dia terlahir di dunia. Jadi aku berfikir
untuk mengadopsinya dan menjadikannya anak kita, aku juga berfikir dia pasti menjadi
teman bermain untuk anak kita, semua Kakaknya laki-laki sedangkan hanya dirinyalah
yang perempuan. Apakah kau memperbolehkanku?”
Ya Allah maafakanlah hambamu yang bebohong, dan Karina semoga kau tak
akan marah jika suatu saat nanti kau akan mengetahui kebenarannya.
“Apakah bayi itu perempuan?” tanyanya dengan antusias.
“Ya, bayi itu perempuan sayang. Apakah kau mau mengadopsinya?”
“Aku ingin menjadi Ibu anak itu juga suamiku, tolong pertemukan aku dengan
kedua anakku,” pintanya dengan lembut.
Arissa untuk Marissa | 173
“Apakah dirimu benar-benar ingin mengadopsinya?” dia mengangguk antusias.
Langsung saja ku cium kening Karina.
Tapi, tunggu dulu, saat aku mencium kening Karina, tak sengaja ekor mataku
menangkap wanita itu yang memperhatikan kami dari balik jendela. Aku langsung
bergegas berpamitan kepada Karina dengan alibi membawa kedua anak kita dan
memanggil dokter untuk memerikas dirinya.
Saat aku sudah keluar dari ruangan Karina, aku celingukan untuk mencari wanita
itu. Ada satu hal yang aku ingin tanyakan kepadanya, siapa namanya? Itu adalah hal
yang sangat penting bagiku, karena kalau terjadi apa-apa dengan anaknya dan
membutuhkannya, maka aku bisa dengan mudah untuk mencarinya.
Tapi aku tak menemukannya, ku hembuskan napas pasrah sebelum berbalik dan
menuju ke ruangan dokter untuk memeriksa Karina, dan memintanya untuk
mengantarkan kedua anakku ke ruangan yang ditempati oleh istriku.
Senyum kebahagiaan terpancar saat Karina melihat dua box bayi datang ke
ruangan yang ia tempati, aku menyuruh suster yang mengantarkan dua box bayi itu
untuk meinggalkan kami berdua--- ah, bukan, yang tepat adalah kami berempat.
“Suamiku mana anak kandung kita?” langsung saja aku ambil anak wanita itu
bukan anakku. Bukan maksudku membohonginya untuk yang kesekian kalinya, tapi aku
ingin memenuhi janjiku kepada wanita itu, membuat istriku menyayangi anak wanita
itu.
“Cantik sekali, bolehkah kau menggendong anak kedua kita suamiku?” pintanya
dengan dagu mengarah ke anak kandungku dengan Karina. Tanpa ba bi bu aku
langsung mengendongnya dan berdiri di sampingnya.
“Mereka sangat cantik sekali, uluh uluh uluh anak Bunda,” guraunya dengan
menoel pipi anak wanita itu dengan hidung bangirnya.
“Aku ingin menggendong anak kedua kita suamiku,” pintanya lagi, langsung saja
aku gentian meletakkan bayi kecil it uke box bayi, ku berikan anak kandungnya ke
dalam pelukan Karina, sedangkan anak wanita itu berada dalam gendonganku.
“Akan kau beri siapa anak kandung kita?” tanyaku dengan memperhatikan bayi
yang ada dalam gendongannya.
Arissa untuk Marissa | 174
“Arissa Fredelina, cantik bukan?” diriku menatap bayi digendongannya,
sedangkan dia menatap bayi yang ada di gendonganku.
“Ya, sangat cantik sekali namanya, apa artinya?” tanyaku penasaran.
“Artinya adalah kuat dan bijaksana. Lalu anak kedua kita namanya adalah
Marissa Adelina, artinya itu seseorang yang sopan santun dari kalangan bangsawan,”
Memang aku adalah Ayah yang jahat yang mengakui anak kandungnya sebagai
anak orang lain, tapi aku tak sejahat itu untuk mengambil nama yang Ibunya
persiapkan.
“Karina?” panggilku yang membuatnya mengalihkan pandangannya dari anak
kandung kita.
“Iya suamiku, apakah ada yang salah?” tanyanya dengan lembut.
“Apakah kau tak ingin menukar nama bayi kita. Begini anak kedua kita sudah
kehilangan sosok Ayah dan Ibu diumurnya masih kecil, apakah tak sebaiknya namanya
adalah Arissa Fredelina, artinya juga sangat cocok untuk kehidupannya, kuat dan
bijaksana, bukankah nama adalah doa?”
“Betul juga yah, yasudah kita ganti saja, anak kedua yang kita adopsi namanya
Arissa Fredelina, sedangkan anak kandung kita namanya Marissa Adelina. Adil, bukan?”
ku cium keningnya penuh kehangatan, ah, Karina istriku memang orang yang baik hati,
lemah lembut, dan pengertian.
Bayi yang ada dalam gendonganku menangis, seketika membuat diriku
kelabakan, apa yang harus aku perbuat.
“Bagaimana ini Karina?” tanyaku panik.
“Berikan anak kandung kita Marissa kepadaku, biarkan aku memberinya ASI,”
aku kembali meletakkan keduanya kedalam box secara bergantian, dan mengambil
anak wanita itu untuk disusui oleh istriku.
Dengan tatapan nanar melihat putri kandungku aku bergumam, Maafkan Ayah
putriku, karena seharusnya yang pertama kali Bundamu memberikan ASI adalah
kepadamu, Arissa, maaf sekali lagi.
***

Arissa untuk Marissa | 175


Jas yang dikenakan sang Ayah sudah basah oleh air mata Arissa. Berulang kali
Ayah Adi mencium puncak kepala Arissa yang tertutup balutan hijab dengan kasih
sayang, “Maafkan Ayah Arissa,” setetes demi setetes air mata keluar dari susut
matanya.
“Ayah jangan menangis,” Arissa melepaskan pelukan sang Ayah dan menghapus
air matanya.
“Bagaimana bisa Ayah tidak menangis jika putri Ayah sendiri menangis, hmm,”
“Baiklah Arissa tidak akan menangis lagi,” Arissa langsung mengusap air matanya.
Keenan yang melihat itu juga menteskan air matanya, tapi langsung ia hapus
karena tak ingin membuat adik dan ayahnya melihat dirinya yang lemah.
“Ini sudah sore, pulanglah Arissa, Iqbal tolong antar Arissa dengan hati-hati.
Maafkan Ayah yang belum bisa membawamu kembali ke rumah kita Arissa,” kata Ayah
Adi dengan memanggil nama asli Keenan--- Iqbal.
“Tak apa Ayah, Arissa senang kok tinggal dengan Bu Ari, Arissa seperti merasakan
kasih sayang seorang Ibu dalam diri Bu Ari,” kata Arissa yang membuat rasa bersalah
menumpuk dalam diri seorang Adi Bagaskara.
“Iqbal?” panggil Ayah Adi.
“Mungkin Ayah adalah Ayah yang tidak tahu diri---
“Tidak, Ayah adalah Ayah yang terbaik. Bukan begitu Arissa?” sela Keenan yang
langsung diangguki Arissa.
“Baiklah, kalian berdua memang anak Ayah yang paling bisa membuat orang tua
ini tersenyum bahagia. Ayah ingin meminta bantuan Iqbal dalam mencari Ibu kandung
Marissa, Marissa harus menjalani transplantasi ginjal dan orang yang bisa membantunya
adalah Ibu kandungnya, karena menurut cerita Ibu kandungnya sang suami sudah
meninggal. Apakah kau mau?”
“Iqbal bisa bantu, tapi siapa nama Ibu kandung Marissa, bukankah dalam cerita
Ayah tadi Ayah tak mengetahui nama wanita itu?” tanya Keenan sambil menyeruput
tehnya yang tinggal sedikit dan sudah dingin.
Arissa untuk Marissa | 176
“Ayah mengetahuinya dari seorang suster, sebentar Ayah tuliskan,” Ayah Adi
langsung mengeluarkan sticky note yang selalu ada di saku jasnya dengan bolpoin, lalu
menggoreskan sebuah nama diats sticky note tersebut.
Saat Keenan dan Arissa melihat nama yang tertulis diatas sticky note raut
keterkejutan tergambar jelas diwajah mereka berdua. Tak percaya melihat nama wanita
itu yang menjadi Ibu kandung seorang Marissa.
Keenan dan Arissa saling menatap, seakan-akan dari tatapan mereka itulah
mereka berkomunikasi. Ayah Adi yang melihat kelakuan kedua anaknya hanya bisa
berfikir keras, hingga memunculkan kerutan-kerutan didahinya. Dengan rasa penasaran
yang memuncak akhirnya Ayah Adi bertanya,
“Apakah ada yang salah dengan nama yang Ayah tuliskan?”
“Tidak, tidak kok Yah,” jawab Keenan.
“Kak apa benar Ibu kandung Marissa adalah wanita itu?” tanya Arissa, Arissa
sudah mencoba untuk menghilangkna fikiran itu dengan berfikir, bukan hanya wanita itu
yang memiliki nama tersebut.
“Bukan hanya wanita itu saja yang namanya sudah Ayah tuliskan Arissa, masih
banyak wanita di kota ini yang memiliki nama sama. Baiklah Ayah, Keenan akan
membantu Ayah mencari wanita ini,” Keenan melipat sticky note itu dan
memasukkannya ke dalam saku kemeja yang dia pakai.
“Benar juga kata Kakak, yasudah Ayah kami pulang, besok kami akan datang lagi
untuk menjenguk Marissa. Kami pamit, assalamualaikum,” Arissa mencium punggung
tangan Ayah Adi.
“Assalamualaikum Ayah,” Keenan juga melakukan apa yang dilakukan Arissa,
mencium punggung tangan kanan sang Ayah.
“Waalaikumussalam,” jawab Ayah Adi.
Arissa dan Keenan kemudian berbalik dan berlalu meninggalkan kantin, dengan
kedua tangan mereka dalam keadaan bertautan. Banyak pasang mata yang melihat
Keenan dan Arissa dengan beragam tatapan, ada yang mengagumi, mencemooh,
bahkan iri.
“Kak Keenan--- eh Kak Iqbal kenapa yah mereka melihat kita seperti itu?” tanya
Arissa dengan mendongak, karena tubuh Keenan lebih tinggi darinya.
Arissa untuk Marissa | 177
“Kalau nggak kebiasaan panggil Kakak dengan nama Iqbal, panggil saja dengan
Keenan. Kalau untuk urusan tatapan itu biarlah sesuka mereka sendiri, jangan terlalu
memfikirkan tatapan setiap orang, kita bahagia dengan cara kita sendiri bukan orang
lain,” Keenan mencubit gemas hidung Arissa, saat melepaskannya warna hidung Arissa
menjadi merah.
“Awww.. biasa dong kalau nyubit, gini-gini hidung Arissa ini asli yah kalau kenapa-
napa Kakak mau tanggung jawab,” Arissa menggosok-nggosok hidungnya yang berubah
warna.
“Hidungmu itu asli ciptaan Allah, jadi gak bakal rusak atau kenapa-napa. Kalau
hidungmu itu ciptaan made in china sih Kakak gak yakin masih utuh,” Keenan dengan
enteng menjawab.
“Eh Kak, Arissa mau nanya nih boleh gak?” tanya Arissa.
“Hmmm..” Keenan hanya menjawabnya dengan deheman.
“Kakak itu beneran gak sih pemilik AVGroup yang tadi itu loh?” rupanya rasa
ketidakpercayaan Arissa maasih melekat.
“Kalau iya memang kenapa?” tantang Keenan.
“Hasil jerih payah Kakak sendiri? Tanpa bantuan orang lain loh ya,”
“Nggak, terkadang Kakak masih minta pendapat Papi Shaka sama Paman Sam,”
“Papi Shaka itu tuan Vincent?”
“Iya..”
“Terus Paman Sam itu siapa?”
“Tangan kanan Papa Shaka,”
“Perusahaan Kakak berjalan dibidang apa?”
“Jasa,”
“Terus---
“Sudahlah Arissa, jangan terlalu banyak tanya. Kau adalah adikku bukan
wartawan yang mencari informasi, jadi cepatlah masuk nanti Bu Ari khawatir tentang
keberadaanmu,” kata Keenan yang jengah mendengar pertanyaan Arissa.
Arissa untuk Marissa | 178
“Sekarang Arissa nurut, tapi nanti Arissa bakal buka sesi tanya jawab ke Kak
Keenan sepuas Arissa,” Keenan membukakan pintu mobil bagian depan untuk Arissa,
dan Arissa langsung tersenyum puas.
“Thank you brother,” Arissa mengucapkannya sebelum Keenan menutup pintu
mobil.
“You’re welcome sister,

“Karena yang terjadi dimasa lalu cukup dijadikan pelajaran tanpa ditangisi
atau disesali.”

Arissa untuk Marissa | 179


Tawaran yang Menguntungkan

Setelah menyelesaikan shalat subuh Arissa membantu Bu Ari di dalam dapur,


memasak sarapan pagi bersama lalu kembali ke kamarnya untuk bersiap ke sekolah.
Duduk berdua di meja makan dengan Bu Ari sudah menjadi kebiasaannya selama
beberapa hari, terkadang ia sangat rindu untuk makan bersama dengan Ayahnya yang
sangat menyayanginya, Bundanya yang cuek, dan Kakaknya yang selalu membuat
keributan setiap pagi. Ah, rasa-rasanya kerinduan di pagi hari benar-benar membuatnya
berpikir bahwa rindu itu kejam bukan rindu.
“Arissa nanti berangkatnya bareng Ibu yah?” tanya Bu Ari seraya menyendok
makanannya.
“Apa nggak ngerepotin Bu?” bukan Arissa ingin menolak ajakan Bu Ari,
namun ia hanya tidak ingin merepoti orang yang sudah banyak membantunya.
“Ya nggaklah, kan tujuan kita sama sayang, kamu ke sekolah kan, bukan mall
atau yang lainnya?” canda Bu Ari saat melihat Arissa masih sedikit canggung kepadanya.
“Ya nggaklah Bu, Arissa udah pakai seragam gini masa’ nggak sekolah sih,”
kata Arissa setelah menelan makanannya terlebih dahulu.
“Maka dari itu kamu bareng aja sama Ibu ke sekolah, apa kamu udah janjian
dijeemput sama Keenan?” tanya Bu Ari dengan nada sedikit curiga.
“Ah… nggak kok Bu, Arissa tadi rencananya mau pesan ojol kok,” elak Arissa.
“Masa’ sih?”
“Iya Bu, Arissa kan anak baik, pinter nabung, nggak suka bohong, terus meski
Arissa umurnya udah 16 tahun masih tetep cantik,” narsis Arissa.
“Hahahaha… kamu ini juga bisa narsis yah,” Bu Ari tertawa melihat kelakuan
Arissa.
“Kan Arissa juga manusia Bu,” kata Arissa dengan bibir manyun.
Arissa untuk Marissa | 180
“Udah kamu nggak usah segala pakek bibirnya dimanyun-manyunin nggak
cocok,” perkataan Bu Ari seketika membuat Arissa menggerutu dalam hati.
Bukannya Arissa tambah imut yah kalau manyun?, Gerutunya dalam hati.
“Yaudah Arissa makan aja deh, nanti bareng Ibu ke sekolahnya,” kata Arissa
sebal.
***
“Terima kasih atas tumpangannya Bu,” membuka pintu mobil dan keluar,
Arissa memilih bersikap apatis saat banyak mata yang memandangnya dengan
penasaran.
“Iya, sama-sama. Nanti kamu pulang bareng Ibu atau gimana?”
“Arissa mau keluar sebentar sama Mira, Nesa, Kak Keenan dan teman-
temannya,” Arissa masih berdiri diluar mobil, menunggu Bu Ari yang hendak keluar.
Berdiri tepat disamping Arissa yang menunggunya, Bu Ari mengeluarkan uang
berwarna merah dua lembar dan menyerahkannya pada Arissa.
“Nah, ini uang jajan kamu,”
Melihat itu rasa malu yang ada di diri Arissa kian bertambah, semua
kebutuhannya sehari-hari dari beberapa hari kemarin yang menanggungnya adalah Bu
Ari yang notabennya hanyalah guru fisika di sekolahnya namun seperti Ibu kandungnya
sendiri.
“Nggak usah Bu, Arissa masih ada tabungan kok,” tolak Arissa.
Bu Ari langsung menarik tangan kanan Arissa dan meletakkannya, “Ibu marah
loh kalau kamu nggak nerima,”
“Eh?” Arissa masih ingin menolak, tapi mendengar nada Bu Ari yang tidak
ingin dibantah membuatnya harus menerima.
Tidak menjawab Arissa, Bu Ari memilih mendorong lembut Arissa untuk
masuk ke kelas lewat jalan yang biasanya dilewati para murid, sedangkan beliau
melewati jalan khusus untuk guru.
Berjalan meninggalkan Bu Ari setelah memberi senyuman kepadanya, Arissa
lagi-lagi bersikap apatis melihat tatapan teman-temannya.
Arissa untuk Marissa | 181
“Arissa tunggu!” seru seseorang dari arah belakang.
Menghentikan langkahnya dan melihat siapa yang memanggilnya, Arissa
memutar bola matanya saat melihat Keenan dengan alaynya berlari dan melambaikan
tangan ke arah dia.
“Gak usah alay deh Kak,”
“Nggak kok, Kakak gak alay. Kakak tuh ingin kayak pemeran-pemeran film
yang bisa bergaya slowmotion gitu,” Keenan langsung merangkul Arissa, mereka berdua
melangkahkan kakinya melewati tatapan para murid disepanjang koridor sekolah.

“Sok ngartis Kakak, aku tahu Kakak panggil aku pasti ada sesuatu yang mau
Kakak omongin kan sama Arissa?” tanya Arissa yang mulai pahan dengan kelakuan
Kakaknya.
“Heheheh kok kamu tahu aja sih Ris, kan Kakak tadi udah berusaha nutupin,”
jawab Keenan.
“Keenan tuh Kakak Arissa, mana mungkin Arissa gak tahu kemauan Kakak.
Kakak mau ngomong apa?”
“Kakak mau buat perjanjian sama kamu, kamu setuju gak?”
“Perjanjian apa?”
“Perjanjian tentang dirumah sakit, perjanjian ini sangat menguntungkan dua
belah pihak loh Arissa. Kamu untung, Kakak juga untung,”
“Rumah sakit?” tanya Arissa yang masih belum mengerti tentang apa yang
diucapkan Kakaknya.
“Iya, tentang kebenaran kamu sama Marissa. Kamu ingin tahu juga kan
tentang ibu kandung Marissa?” tanya Keenan.
“Iya dong, tapi bukannya Kakak setuju yah nyari ibu kandung Kak Marissa.
Kenapa sekarang pakai perjanjian juga?” Arissa masih ingat bahwa Kakaknya ini
meminta nama dari Ayahnya untuk membantu mencari ibu kandung Marissa.

Arissa untuk Marissa | 182


“Hehehehe, Kakak fikir-fikir kalau Kakak bantu nyari doang tanpa imbalan itu
nggak adil buat Kakak. Susah payah mencari informasi tanpa dapat apa-apa, tapi
ngeluarin banyak tenaga dan uang kan nggak adil Arissa,” keluh Keenan dengan wajah
melasnya.
“Iya, lalu Kakak mau apa?” tanya Arissa.
“Nggak ban---
“Uang?” sela Arissa.
“Nggak, Kakak tuh mau---
“Mobil?” sela Arissa lagi.
“Nggak, Kakak cuma ingin---
“Rumah?” tebak Arissa dengan wajah polosnya seakan tak melihat kekesalan
Kakaknya yang sudah dipuncak.
“Arissa, Kakak tuh nggak suka yah sama barang. Nggak guna tahu, Ayah Shaka
juga bisa beliin apapun untuk Kakak kali,” kesal Keenan.
“Mentang-mentang jadi penerus VGroup sama pemilik AVGroup,
sombongnya minta dijitak,” cibir Arissa.
“Iri kan yah kamu? Tenang, jangan iri. Kamu minta apa sekarang ke Kakak,
perpustakaan pribadi? Cafe? Hotel? Kakak jabanin,” sombong Keenan dengan menepuk
dadanya bangga.
“Hati-hati sombong tidak disukai Allah,” peringat Arissa.
“Canda kali ah, Allah pasti tahu kalau hamba-Nya yang ganteng ini bercanda.
Maafin Baim Ya Allah,” Keenan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi seakan
berdoa.
“Nama Kakak itu Keenan, nama asli Iqbal. So, kapan orang tua kakak
tumpengan buat ganti nama?” Arissa berhenti, menghadap Keenan dan berkacak
pinggang. Melihat ke arah Keenan dengan mengangkat dagunya, bukan bermaksud
sombong tapi karena dirinya yang lebih pendek dari Keenan.

Arissa untuk Marissa | 183


“Ok, Kakak ulang. Dengarkan baik-baik yah,” Keenan menjeda kalimatnya
untuk berdehem sebentar sebelum melanjutkan, “Canda kali ah, Allah pasti tahu kalau
hamba-Nya yang ganteng ini bercanda. Maafin Keenan yang memiliki nama asli Iqbal Ya
Allah,”
“Lumayan bagus, meski sedikit ada kesombongan pada kata ganteng,” komen
Arissa.
“Itu fakta,” sangkal Keenan.
“Ok, biarkan. Well, Mau kakak apa?” tanya Arissa.
“Kakak kan gak suka barang jadi imbalannya. So, Kakak ingin kam---
“Ohh, Arissa tahu. Kakak ingin Arissa deketin Khalish ke Kakak kan? Gampang
itu mah,” sela Arissa lagi dengan nada antusiasnya, tak lupa menjetikkan jarinya setelah
mengakhiri kalimat.
“Kakak gak mau Khalish Arissa, Kakak ingin kamu mengikuti kemoterapi dan
memenangkan olimpiade. Itu balasannya, kamu mau?” tanya Keenan yang berhasil
merubah wajah Arissa sedikit pias.
“Olimpiade sama kemoterapi yah?” Arissa memastikan apa yang diucapkan
Keenan, siapa tahu Arissa tidak mendengarkannya dengan jelas.
Tapi, itu salah besar, jaraknya dengan Keenan sangat dekat dan itu tidak
memungkinkan ada kesalahan dalam pendengarannya.
“Iya, olimpiade sama kemoterapi untuk kamu. Mau kan?” tanya Keenan
meyakinkan Arissa.
“Olimpiade bukan masalah kecil untuk Arissa, tapi kemoterapi. Kakak tahu
kan Arissa tidak ingin melakukan kemoterapi, Arissa gak mau dikasihani dan dianggap
penyakitan sama Bunda dan Ayah,” mata Arissa sudah dihiasi dengan kaca, dan akan
siap menjatuhkan aliran air kapanpun.

Arissa untuk Marissa | 184


“Udah dong, jangan nangis. Kakak percaya kamu bukan orang yang pesimis,
Kakak yakin kamu tahu yang terbaik untuk diri kamu sendiri, Kakak hanya ingin kamu
sembuh seperti dulu lagi. Kakak akan beri jangka waktu sampai nanti malam untuk
kamu, pikirkan baik-baik,” setelah mengucapkan itu Keenan langsung meninggalkan
Arissa tak jauh dari ruang kelas X MIPA 1.
***
Sang dewi bulan dengan cantiknya menghiasi langit ditemani para
prajuritnya, bintang. Menggantikan sang surya yang sudah berjam-jam menyoroti bumi
dengan sinarnya. Memberikan kesan tenang nan damai saat mengeluarkan cahaya
peraknya.
Setelah menyelesaikan makan malamnya, lalu membantu Bu Ari
membereskan peralatan makan, Arissa izin untuk kembali ke kamarnya dengan cepat.
Ditemani secangkir teh hangat yang masih mengepul, Arissa dengan segala pikiran yang
bercokol di otak cendekianya masih memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan
Keenan tadi pagi.
Drtt..
Drtt..
Drtt..
Muncul nama Keenan dalam ponsel Arissa, dengan bimbang dia mengangkat
telpon Keenan.
“Assalamualaikum Kak, ada apa?”
“Waalaikumussalam Rissa, bagaimana dengan persyaratan yang Kakak
berikan tadi. Apakah kau sudah menentukan jawabanmu?”
“Sudah,”
“So, jawaban kamu apa Rissa?”
“Kak, apa gak bisa persyaratannya diganti lagi?” Arissa membuat gambar
abstrak dengan jarinya diatas meja, dengan matanya yang menerawang jauh.
“Tidak, kamu tahu juga kan bahwa persyaratan itu menguntungkan kamu,”
Arissa untuk Marissa | 185
“Tidak Kak, itu sama sekali tidak menguntungkan bagiku. Aku tidak ingin
semua orang menatapku dengan tatapan iba,”
“Tidak Arissa, persyaratan Kakak sangat menguntungkanmu. Setelah kau
menjalani rangkaian kemoterapi kau akan kembali menjadi Arissa Kakak yang dulu,”
“Baiklah, Arissa setuju dengan persyaratan Kakak. Tapi, jikalau Arissa tidak
bisa membawa piala untuk olimpiade esok hari, hal itu masih tetap berlaku.
Bagaimana?”
“Baiklah, Kakak setuju asalkan kamu mau menjalani rangkaian kemoterapi.
Untuk informasi Ibu kandung Marissa, besok setelah kamu menyelesaikan olimpiade
bersama Khalish tunggu Kakak. Kakak akan menjemputmu dan memberitahukan
informasi itu,”
“Ok, siap Kak. Baiklah Kak, Arissa mau istirahat dulu, assalamualaikum,”
“Yasudah, selamat malam adikku. Waalaikumussalam,”
Tutt..
Tutt..
Mengakhir pembicaraan itu, Arissa meletakkan handphone-nya kembali.
Mengambil cangkir dan menghirup dalam-dalam aroma teh yang mampu
menenangkannya, lalu menyesapnya dengan perlahan, menikmati aliran teh hangat
yang mengalir dikerongkongan.

“Tuhan tidak menuntut umatnya untuk sukses tetapi tuhan menuntut


umatnya untuk tidak putus asa.”
Arissa untuk Marissa | 186

Impian Telah Digenggam

Pemuda yang tengah duduk dipojokan kelas sedari tadi hanya bergerak gusar, tak
menghiraukan apa yang tengah dibahas gurunya, mencoret-coret kertas kosong dengan
earphone yang menyumpal telinganya. Teman sebangkunya yang sedari tadi melihat
kegusaran temannya menepuk bahunya sambil mengangkat kedua bahunya, sang
teman bertanya dengan menggerakkan mulutnya tanpa bersuara.
“Kenapa lo ?”
“Hah?! Lo bilang apaan?” pemuda yang ditanya, kembali bertanya dengan suara
yang cukup keras. Membuat seisi kelas menoleh ke pojokan kelas, tempanya duduk.
Guru yang sedang menjelaskan didepan langsung mengikuti asal suara, dengan
sedikit menurunkan kaca matanya untuk melihat pemuda itu, sang guru memanggil
dengan isyarat tangannya.
Teman sebangku pemuda itu langsung saja mencabut earphone yang menyumpal
telinganya, “Lo dipanggil sama Bu Purwo kedepan,” kata teman pemuda itu.
“Sial,” umpat pemuda itu.
Langkah kaki pemuda itu terdengar menggema di kelas XII IPS 1, dengan gaya
coolnya pemuda itu bertanya kepada sang guru.
“Apakah Ibu memanggil saya?”
“Kenapa kamu berteriak di kelas, kamu tidak tahu ini jam mata pelajaran saya
hah?!” tak kalah menggelegar saat pemuda itu menarik perhatian seisi kelas, guru yang
dipanggil Bu Purwo juga melakukan hal yang sama. Bedanya Bu Purwo berkacak
pinggang di depan pemuda itu.
“Tahu Bu, kan sudah ada jadwalnya,” menghilangkan gaya coolnya, pemuda itu
sedikit melembutkan suaranya.
“Siapa namamu?” tanya Bu Purwo.
Arissa untuk Marissa | 187
“Keenan Alexander Vincent,” Keenan langsung menjawab dengan cepat.
“Owhh.. jadi kamu pemuda yang namanya Keenan. Yang jika namanya disebut
membuat para gadis menjerit, cukup tampan untuk seumuranmu,” Bu Purwo meneliti
dengan jari telunjuk yang mengarah ke atas lalu ke bawah.
“Ku pikir itu pujia n Bu, jadi saya ucapkan terimakasih,” kata Keenan yang tak
terpengaruh tatapan penilaian gurunya.
“Kau tahu apa kesalahanmu anak muda?”
“Ya, tahu Bu, saya berteriak cukup keras sehingga seisi kelas mendengarnya, yang
berarti juga mengusik jam mata pelajaran Ibu,” Keenan menjawabnya dengan alasan
yang logis.
“Kau sangat gentle untuk mengakui kesalahanmu. Tapi, saya tak pernah berfikir
tentang seorang Keenan yang dieluh-eluhkan guru-guru dengan ucapan bahwa Keenan
adalah murid yang sopan, baik hati, manis, dan masih banyak lagi itu kekurangan sopan
santun saat jam mata pelajaran saya. So, apa alasan kamu dalam kekurangan sopan
santun di depan saya?”
“Mungkin memang benar yang dieluh-eluhkan guru bahwa saya adalah murid
yang sopan, tapi untuk hari ini saya kekurangan sopan santun karena saya sedikit
khawatir sedari pagi,” Keenan mencoba menutupi teman sebangkunya yang
membuatnya berteriak seisi kelas. Tapi apa yang dikatakan Keenan tak sepenuhnya
bohong karena, memang benar dia sedikit khawatir.
“Apa yang membuatmu khawatir?”
“Itu saya khawatir dengan seseorang Bu,”
“Siapa? Kekasihmu?” pertanyaan Bu Purwo sedikit menggoyahkan hati teman-
teman Keenan, hanya untuk yang mengagumi Keenan.
“Tidak, karena saya suka dengan kesendirian,” setelah hati para gadis diajtuhkan
Bu Purwo, sekarang hati para gadis dilambungkan lagi oleh Keenan.
“Sekarang saya punya pilihan untuk kamu pilih, tetap berada dikelas saya dengan
menerima hukuman atau keluar dari kelas saya dengan daftar hadir alpha?” tanya Bu
Purwo.

Arissa untuk Marissa | 188


“Saya memilih di kelas dengan menerima hukuman,” jawab Keenan tegas.
“Jadi anak-anak apa punishment yang cocok untuk Keenan?” Bu Purwo
melemparkan hukuman kepada murid-muridnya.
Para gadis berteriak dengan lantang mengucapkan,
“BUAT PUISI BU,”
“Ada lagi?” tanya Bu Purwo.
Sebenarnya masih ada banyak lagi punishment yang akan diusulkan oleh para
cowok yang berada di dalam kelas, namun tidak berani bersuara karena para gadis
sudah mengancam para cowok tersebut.
Para gadis langsung menunjukkan tinjunya ke arah teman-temannya yang cowok
agar mereka diam dan tidak mengusik usulan punishment Keenan.
“Baiklah semua temanmu ingin mendengarkan puisimu lagi rupanya, cepat buat
puisi jika kamu ingin kembali ke tempat dudukmu. Dan, tetap berdiri di samping
bendera yang ada di samping papan tulis, sebelum kamu membacakan puisi,” titah Bu
Purwo.
Dengan kedua tangan yang dimasukkan dalam seragam celana putih abu-abunya,
Keenan berjalan ke arah dimana Bu Purwo menunjuk. Berdiri diam disana sambil
matanya menerawang jauh, tak menghiraukan tatapan teman-teman wanitanya yang
menatap memuja.
Bu Purwo melanjutkan menjelaskan mata pelajaran sejarah, lalu menuliskan
beberapa soal untuk anak didiknya kerjakan. Duduk di kursi kebanggannya, Bu Purwo
masih menunggu puisi yang Keenan buat. Sedangkan para kaum hawa yang mengikuti
kelas Bu Purwo sedikit terganggu dengan kehadiran Keenan yang berdiri dengan gaya
cool di depan kelas, membuat para wanita itu tidak fokus dalam mengerjakan tugas.
“Keenan,” panggil Bu Purwo.
“Ya, ada apa Bu?”
“Kapan kau akan menyelesaikan punishment yang Ibu buat?”
“Mungkin setelah Ibu mengakhiri jam mata pelajaran ini,” jawab Keenan asal.
Arissa untuk Marissa | 189
“Yang benar saja kamu Keenan?” tanya Bu Purwo yang mulai geram.
“Sebentar Bu,” Keenan lalu berdehem.
Saat ku tengadahkan kepala
Melihat kemasygulan di atas langit
Menutupi keindahan mega
Menyisahkan awan kusut

Ku rasakan sebuah rasa


Menghimpit dalam dada
Mengalunkan nada-nada
Kerinduan yang mencekau

Terbayar sudah semuanya


Tentang rasa yang cempera
Ketika kau hilang tanpa arah

Meninggalkan setitik asa


Yang tak tau kapan menjelma
Menggelebar di sudut hati
Menyisahkan sedikit luka
“Apakah saya boleh kembali ke tempat duduk saya Bu?” tanya Keenan setelah
menyelesaikan puisinya.
“Ya, silahkan,” jawab Bu Purwo.
Jeritan tertahan dari teman-teman perempuannya tak sedikitpun membuat
Keenan melirik mereka, Keenan terus saja berjalan kembali ke tempat duduknya dengan
sang teman, lebih tepatnya sahabat.
“Keenan maafin gue yah,” perkataan itu terdengar dari mulut sahabatnya.
Arissa untuk Marissa | 190
“Don’t worry Zhain, gue malah seneng dapet punishment dari Bu Purwo. Gue bisa
tebar pesona ke cewek-cewek,” Keenan menjawab ucapan sahabatnya dengan enteng.
“Dasar lo Keenan, gue kirain kenapa, eh malah demen tebar pesona sama cewek-
cewek centil kayak mereka. Tebar pesona tuh sama Khalish,” Zhain mengucapkannya
dengan enteng tanpa menghiraukan wajah sahabatnya yang sudah tegang saat
mengucapkan nama Khalish.
“Emang Khalish gak suka gue yah, kok gue harus tebar pesona sama dia?” tanya
Keenan.
“Bukan gitu mas bro, tapi gini nih, saat lo suka sama tuh cewek lo tebar pesona
apa nggak?” bukan menjawab pertanyaan Keenan, Zhain menjawabnya dengan sebuah
pertanyaan.
“Ya haruslah, biar tuh cewek suka sama gue. Kalau si cewek udah suka sama gue,
biar dia tambah suka sama gue, kayak perangko yang nempel,” jawab Keenan yang
mulai terpengaruh dengan Zhain.
“Yasudah itu yang harus lo lakuin ke Khalish, lo suka sama dia, dia udah suka
sama lo. So, lo tinggal tebar pesona dikit biar dia gak berpaling dari lo,” sebenarnya
Zhain hanya menebak tentang Keenan suka ke Khalish, begitupun sebaliknya.
“Bener juga kata lo Zhain,” kata Keenan yang sudah termakan pancingan Zhain.
“Hmmppffftt,” Zhain berusaha menyembunyikan tawanya, ia tak menyangkan
sahabatnya benar-benar menyukai Khalish. Dengan tergopoh-gopoh dia menepuk bahu
sahabatnya yang lain, yang duduk didepan dia dan Keenan.
Setelah menormalkan tawanya, Zhain langsung mengatakan sesuatu ke
sahabatnya yang lain, “Bener dugaan kita bro,”
Sahabatnya itu mengernyitkan dahi mendengar ucapan Zhain yang ambigu,
“Bener apaan sih Zhain, kalau ngomong tuh langsung to the point,”
“Yaelah lo mah Raden, gak bisa diajak bercanda. Itu loh dugaan kita kalau Keenan
suka sama Khalish,”
Pletak..
Arissa untuk Marissa | 191
Keenan yang sudah sadar dipancing Zhain akhirnya menjitak kepala bagian
belakang Zhain, “Eh kutu tikus, lo bilang apaan? Gue suka sama Khalish? Yang bener tuh
Khalish yang suka sama gue,”
Zhain mengusap bagian kepalanya yang sakit dengan mengeluarkan gerutuan,
“Tadi secara tersirat udah ngungkapin perasaannya sama Khalish, yah walaupun nggak
didepan orangnya juga sih,”
“Yang bener lo Zhain, berarti dugaan kita kalau si Keenan suka sama Khalish itu
bener?” tanya Raden yang mulai larut dalam pembicaraan, meninggalkan kesan serius
berganti dengan kekepoannya.
“Bener lah, secara nggak sengaja babang Keenan kita nih benerin ucapan gue
yang bilang gini, ‘lo suka sama dia, dia suka sama lo. So, lo tinggal tebar pesona dikit biar
dia gak berpaling dari lo’. Dia yang gue maksud itu si Khalish, so, beneran kan kalau si
babang Keenan kita suka sama Khalish?” Zhain menggoda Keenan dengan menaik
turunkan salah satu alisnya.
“Gak biasanya lo pinter kayak gini Zhain, nih buat lo,” Raden menunjukkan kedua
jempolnya ke arah Zhain.
“Siapa dulu dong, babang Zhain,” Zhain menepuk-nepuk dadanya dengan bangga.
“So, Keenan saat lo maju ke depan lalu lo ditanyain lo kenapa kahwatir itu karena
si Khalish yang sekarang lagi olimpiade bareng adek lo, atau Khalish yang gak mau lo
deketin, secara kan dia ukhti-ukhti sholehah,” kata Raden yang membuyarkan
konsentrasi Keenan saat menulis hingga tercoret.
“Wauwww.. jadi bener nih gara-gara Khalish khawatirnya,” Raden menambah
level menggoda Keenan.
“Sialan lo berdua. Kalau emang gue punya sedikit kekhawatiran buat Khalish
salah yah, kan lo berdua yang gak rugi,” Keenan mengumpat karena tak tahan digoda
oleh para sahabatnya.
“Don’t worry bro, habis ini kita semua pulang. So, nikmati aja sedikit kecemasan
lo untuk Khalish,” Zhain mengikuti ucapan Keenan.
“Bener-bener sialan lo Zhain,” umpat Keenan.
***
Arissa untuk Marissa | 192
Seorang pemuda dengan seragam SMAnya menjadi pusat perhatian seisi café,
duduk sendirian dipojok café dengan ditemani segelas americano yang masih mengepul.
Tubuh tegap, dengan rahang keras ditambah hidung bangir semakin membuat kaum
hawa yang berada di café menjerit tertahan dalam hati. Tenggelam dalam lamunannya
membuatnya tak sadar sudah ada seseorang pemuda yang memakai seragam sama
namun berbeda sekolah. Sampai seorang pelayan datang dan menanyakan apa yang
akan dipesan pemuda yang duduk satu meja dengannya, namun dipisahkan oleh meja.
“Permisi Kak, mau pesan apa?” tanya pelayan tersebut yang membuatnya
mengalihkan pandangan.
“Flat whitenya satu mbak,” ujar pemuda yang berada di depan pemuda yang
melamun.
“Akhirnya lo dateng juga,” kata pemuda yang tadi melamun.
“Maaf telat, biasalah Surabaya gak pagi gak sore masih macet,” keluh yang
berada diseberang.
“Udah dapet apa yang gue suruh?” tanya pemuda yang melamun.
“Sabar dong Keenan, tungguin flat white gue dateng,” pemuda itu memutar bola
mata jengah.
“Up to you Ardan,” Keenan mulai jengkel dengan kelakuan pemuda yang berada
satu meja dengannya.
“Hehehe Keenan, kan lo juga tahu Innallaha ma’as shobirin. Sesungguhnya Allah
beserta dengan orang-orang yang sabar, Qur’an surah Al-Baqarah ayat 153,” pemuda
yang dipanggil dengan nama Ardan itu berkata dengan khusyu’, seperti seorang pemuka
agama.
“Akhirnya lo tobat juga Ar, kirain lo masih membangkang sama Abi lo. Gue turut
prihatin sama Abi lo kalau lo masih membangkang, Abinya Kyai terkenal anaknya bad
boy yang belum insyaf,” cibir Keenan.
“Jangan ngungkit masa lalu gue Keenan. Sekarang dengan bangga gue bakal
ngomong ke semua orang kalau gue yang sekarang bukan gue yang dulu,” Ardan
mengatakan hal itu dengan kebanggan tersendiri.
“Gue bersyukur kalau lo udah berubah Ar,”
Arissa untuk Marissa | 193
“Makasih brother---
Perkataan Ardan terhenti karena seorang pelayan memberikan secangkir flat
white yang ia pesan, “Makasih Mbak,” Ardan tersenyum ke arah pelayan yang
sebenarnya sedari tadi mencuri-curi pandang ke arahnya juga Keenan.
“Sama-sama Kak,” pelayan tersebut membalas perkataan Ardan dengan wajah
memerah, karena ketampanan Ardan setara dengan ketampanan Keenan.
“So, mana pesanan gue?” tanya Keenan dengan tak sabar.
“Lo gak asyik banget deh Ken, lo gak lihat kalau gue lagi nikmatin flat white,” kata
Ardan sambil mengusap sudut bibirnya dengan tissue.
“Gue disini jadi rekan bisnis lo bukan teman nongkrong lo. Dan harus lo inget flat
white yang udah lo minum itu gue yang bayar,” mode serius Keenan akhirnya kembali
menyala.
“Apalah daya gue yang hanya remahan rengginang. Nih, lengkap semua apa yang
lo inginkan,” Ardan mengeluarkan sebuah map dari tas sekolahnya dan langsung
melemparkannya ke arah Keenan.
Saat membuka map itu bola mata Keenan membesar, tak percaya dengan apa
yang dibawakan temannya. Orang yang dia cari-cari ternyata sangat dekat dengannya.
Bahkan hampir setiap hari dia bersama Arissa selalu bertemu.
“Beneran ini orangnya Ar, lo gak salah?” tanya Keenan memastikan.
“Ya emang itu orang yang lo cari, Nyonya Gautami yang memiliki nama panjang
Arisandi Gautami. Kenapa sih lo kayak gak percaya gitu sama infromasi gue, lo kan udah
tahu kalau semua informasi yang gue kasih ke klien gue tuh 99.9% akurat,” meski Ardan
adalah murid SMA tapi dia memiliki penghasilan yang menggiurkan berkat
kejeniusannya dalam dunia hacker dan informan.
“Yaudah gue cabut dulu, lo disini aja habisin tuh flat white kesayangan. Nanti
bayaran lo gue transfer,” Keenan buru-buru memasukkan map tersebut ke dalam
tasnya, meninggalkan Ardan yang masih cengo meliihat kelakuannya.
“Keenan inget yah tujuh digit sebelum jam sembilan malam udah masuk ke
rekening gue!” Ardan sedikit berteriak saat Keenan sudah mencapa pintu café,
membuat seisi café yang tadinya ramai langsung hening. Untung saja Ardan tampan jadi
tidak ada yang memprotes kelakuannya.
Arissa untuk Marissa | 194
Keenan yang mendengar teriakan Ardan hanya menyatukan jari telunjuk dengan
jempolnya membentuk tanda O, tanpa repot-repot menoleh. Duduk diatas motornya
Keenan memakai helm dan mengambil kunci motor dari sakunya, menjalankan motor
hitamnya membelah jalanan Surabaya.
Sebenarnya Keenan sudah terlambat untuk datang ke tempat Arissa
melaksanakan olimpiade, tapi adiknya tersebut sudah ia suruh untuk menunggunya
sebentar. Dia ingin memberikan sebuah kejutan untuk sang adik.
Keenan menghentikan motornya di florist store, tak jauh dari gedung tempat
olimpiade Arissa. Bunyi lonceng terdengar saat Keenan membuka pintu florist store,
disuguhi pemandangan jejeran bunga-bunga Keenan berhenti di depan kasir.
“Ada yang bisa saya bantu Kak?” tanya penjaga kasir.
“Saya ingin bucket bunga mawar merah satu, dan juga mawar putih satu tanpa
tambahan,” jawab Keenan.
“Sebentar yah Kak,” Keenan hanya mengangguk kepada penjaga kasir tersebut.
Sambil menunggu penjaga kasir untuk menyelesaikan pesanannya, Keenan
berjalan mengitari florist store yang tak terlalu besar. Saat langkanya berhenti
dihadapan bunga lily yang indah, penjaga kasir memberikan dua bucket bunga yang dia
pesan.
“Ini Kak pesanannya,”
“Saya ingin beberapa bunga lily ini, nanti tolong antarkan ke alamat yang akan
saya berikan,” Keenan mengambil dua bucket itu lalu berjalan mendahului penjaga kasir.
“Bisa Kak, ini nomor yang bisa Kakak hubungi untuk memesan lily tersebut.
Kapanpun kami siap untuk mengantarkannya,” penja tersebut mengeluarkan kartu dari
laci dan memberikanya kea rah Keenan.
“Baiklah, berapa semuanya,” Keenan menjeda kalimatnya lalu, “Beserta bunga
lily itu,” tambah Keenan.
“Seratus ribu Kak, kalau boleh tahu pesan apa, darimana, dan untuk siapa bunga
lily tersebut Kak?” tanya penjaga kasir.
Arissa untuk Marissa | 195
Keenan memberikan uangnya kepada kasir tersebut dan berkata, “Tulis saja
cepat sembuh kami merindukanmu, dari Kakakmu Iqbal dan adikmu Arissa, untuk
saudara terkasih Marissa,”
Meski Keenan sedikit tak suka dengan perlakuan Marissa kepadanya yang begitu
menjijikan, dan jangan lupakan kelakuan Marissa yang menyakiti adiknya, Arissa.
Keenan tetaplah saudara Marissa, ASI sang Bunda mengaliir ditubuh Marissa, yang
berarti mereka, Keenan, Marissa, dan Arissa adalah saudara sepersusuan.
Setelah penjaga kasir tersebut menulis pesan Keenan, Keenan pergi dari florist
store dan menjalankan kembali motor kesayangannya.
***
Di taman kecil yang berada di depan sebuah gedung dua orang gadis sedang
duduk dan berbincang-bincang kecil, entah memperbincangkan apa yang pasti
perbincangan mereka sangatlah santai, terbukti dengan sesekali mereka tertawa.
Dua orang gadis tersebut berasal dari sekolah yang sama, terbukti dari atribut
yang mereka gunakan. Mereka berdua mengenakan penutup kepala, yakni hijab yang
membuat kadar kecantikan mereka bertambah. Salah seorang gadis dengan wajah
oriental terdengar menggerutu, sedangkan gadis berdarah Pakistan hanya tersenyum
menanggapi gerutuan gadis dengan wajah oriental.
“Ishhh.. katanya suruh nungguin sebentar, nanti dijemput nah ini udah setengah
jam juga gak keliahatan batang hidungnya,”
“Ihhh.. Khalish kok malah senyam senyum aja, gak tahu apa kalau aku lagi kesel
sama Kak Keenan,” kata gadis dengan wajah oriental kesal.
“Maybe Kak Keenan lagi kejebak macet,” kata gadis berdarah Pakistan yang
merupakan rekan olimpiadenya berusaha menenangkan.
“Tapi kan aku jadi gak enak sama kamu, kamu bela-belain gak pulang duluan
gara-gara Kak Keenan nyuruh kamu nemanin aku. Maaf yah Khalish,” gadis berwajah
oriental tadi tersenyum tak enak kepada gadis berdarah Pakistan yang bernama Khalish.
“Gak apa-apa kok Rissa, lagian aku gak ngerasa---
Tiba-tiba seorang lelaki dari arah belakang Khalish memberikan sebuah bucket
bunga mawar merah dan berkata, “Ini untukmu, semoga kedepannya tambah sukses
dan terimakasih sudah mau ku repotin,” kata lelaki tersebut.
Arissa untuk Marissa | 196
Langsung saja Khalish melihat ke arah belakang dan menemukan lelaki yang
memberikannya bucket tersenyum lembut kepadanya, “Ehmm.. iya Kak sama-sama dan
terima kasih untuk bucket bunganya,” Khalish langsung mengambil bucket itu dan
mencium bunga mawar yang ada didalamnya.
“Suka gak sama bunga yang aku kasih?” tanya lelaki itu.
“Suka banget malah,” jawab Khalish.
“Ehmm… ehmm… maaf yah disini masih ada aku, tolong jangan pendekatan,”
sindir Arissa.
“Sirik aja neng,” ketus lelaki yang dipanggil Khalish ‘Kak’.
“Kakakku Keenan sini aku bilangin sebentar, temanku Khalish itu gak bakalan mau
sama Kakak kalau Kakak ingin pacaran sama dia, yah kan Khalish?” tanya Arissa mencari
dukungan Khalish.
“Ehh anu---
“Lagian siapa juga yang mau pacarana sama Khalish, orang Kakak Cuma ngasih
bunga aja ke Khalish gak ada apa-apa lagi. Sekarang Kakak bilangin yah Arissa, di kamus
Kakak itu gak ada yang namanya pacaran,” sela Keenan saat melihat Khalish bingung
untuk menjawab.
“Tapi Kakak suka kan sama Khalish?” tanya Arissa.
Kebingungan menjawab pertanyaan Arissa, Keenan memberikan satu bucket
bunga mawar putih yang memang sudah ia persiapkan untuk adiknya, “Nih Kakak kasih
buat kamu, biar kamu gak kepoin privacy Kakak,”
“Makasih loh Kak, tau aja bunga kesukaan Arissa” Arissa langsung mengambil
bucket itu dan menyentuh kelopak mawar putih.
“Oh yah Kak, kan Arissa sama Khalish udah bawa pulang piala nih, mana kado
untuk aku?” tagih Arissa tentang perjanjiannya dengan Keenan.
“Ehmm.. maaf Kak Keenan sama Arissa, Khalish pulang duluan yah, soalnya
Bunda udah nyuruh Khalish pulang,”
“Oh iya gak apa-apa Khalish, sekali lagi terima kasih udah mau nemenin Arissa,”
kata Keenan.
Arissa untuk Marissa | 197
“Iya Kak, sama-sama. Khalish pulan duluan, assalamualaikum,” Khalish pergi
dengan bucket bunga pemberian Keenan dipelukannya.
“Waalaikumussalam,” jawab Arissa dan Keenan bersamaan.
Setelah Khalish pergi, Keenan duduk ditempat yang tadinya dipakai Khalish.
Memang sedari tadi Keenan hanya berdiri dikarenakan hanya ada dua kursi, satu dipakai
adiknya, satu lagi dipakai Khalish.
“Kak kadoku mana?” desak Arissa.
“Ini udah dapet, ayo sekarang berangkat. Eh, tapi tunggu dulu Kakak mau nanya,
Bu Ari udah pulang atau gimana?” tanya Keenan.
“Bu Ari tadi udah pulang duluan, soalnya sang suami mau pulang,” jawab Arissa.
“Emang kenapa sih pakek tanya-tanya Bu Ari?” lanjut Arissa.
“Karena dugaan kita itu benar,” jawab Keenan lugas.
“Jangan ngaco Kak, masa’ sih Bu Ari itu Ibunya Kak Marissa?” tanya Arissa yang
msih tak percaya dengan informasi yang dia dapat.
“Nih baca kalau kamu belum percaya sama Kakak, semua informasi itu 99.9%
akurat dari informan terbaik yang Kakak miliki,” kata Keenan sambil memberikan sebuah
map dari Ardan.
Arissa menolak map itu dan berkata, “Gak usah Kak, Arissa percaya sama Kakak.
Sekarang lebih baik kita langsung ke rumah Bu Ari, kasihan Kak Marissa kesakitan di
rumah sakit,”
“Yaudah ayo kita ke parkiran ngambil motor Kakak dulu,”
***
“Assalamualaikum,” uluk salam terdengar keluar dari bibir Arissa saat dia
memasuki ruma Bu Ari.
Tak lama kemudian dari arah belakangnya terdengar seseorang menjawab
salamnya, “Waalaikumussalam,”
Arissa langsung menoleh dan wajahnya langsung berubah kesal saat melihat
siapa yang menjawabnya, “Kok Kak Keenan sih yang ngejawab,”
Arissa untuk Marissa | 198
“Kakak mau tanya sama kamu, mengucapkan salam itu wajib apa sunnah?”
“Sunnah,”
“Kalau menjawab salam itu sunnah apa wajib?”
“Wajib,”
“Itu udah tahu,”
“Maksud Arissa tuh bukan gitu Kak, Arissa itu pengen Bu Ari yang menjawab,”
“Kakak kok jadi merinding yah, rumah Bu Ari juga besar banget sih,” tak meladeni
ucapan adiknya, Keenan malah mengeluh.
“Kakak takut?” tanya Arissa dengan raut polos, padahal dia tahu bahwa Kakaknya
sedang takut.
“Nggak, Kakak nggak takut kok. Kakak cuma ngerasa lagi uji nyali,” jawab Keenan
sambil duduk di salah satu sofa single.
“Yeee.. itu mah sama aja Kakak takut. Kakak tunggu sini aja yah, Arissa mau ke
kamar tamu sebentar, mau ganti baju,” kata Arissa meminta izin.
“Jangan lama-lama loh yah,”
“Iya Kak, tunggu sini sebentar. Nanti Arissa buatin Kakak minuman,” kata Arissa
lagi.
Setelah Arissa meninggalkannya sendirian di ruang tamu, Keenan yang taka ja
pekerjaan pun mengelilingi ruang tamu. Melihat-melihat foto yang berada di dinding
ataupun yang ada di atas meja, akhirnya Keenan kembali lagi duduk dan mengeluarkan
ponselnya.
“Keenan,” panggil Bu Ari sesaat setelah memasuki rumahnya dan melihat Kakak
Arissa duduk di ruang tamunya.
“Eh, Bu Ari maaf Bu saya sama Arissa langsung masuk,” Keenan menghampiri Bu
Ari dan membantu membawa barang belanjaan beliau.
“Iya gak apa-apa Ken, kan udah Ibu bilang jangan sungkan di rumah Ibu. Eh, gak
usah Keenan, biar Ibu sendiri aja yang bawa barang belanjaan Ibu ke belakang,” tolak Bu
Ari halus.
Arissa untuk Marissa | 199
“Gak apa-apa Bu, mending sekarang Bu Ari duduk aja dikursi, biar saya yang
naruh ke belakang. Tenang kok Bu, ini barang belanjaan gak bakal saya bawa pulang,”
canda Keenan.
“Yaudah Ibu nurut aja sama kamu,” Bu Ari pun memberikan barang belanjaannya
ke Keenan.
Bu Ari membiarkan Keenan meletakkan barang belanjaannya ke dapurnya, dan
mengistirahatkan tubuhnya di sofa panjang. Sedetik kemudian Arissa datang bersama
dengan Keenan dan membawa tiga gelas minuman, untuk dirinya, Keenan juga Bu Ari.
Arissa meletakkan semua minuman itu diatas meja lalu duduk di sofa panjang
yang berhadapan dengan Bu Ari, melihat itu Keenan juga duduk disamping Arissa. Di
bawah meja Arissa menyenggol kaki Keenan agar membicarakan hal tersebut, namun
karena Keenan juga tak ingin memula maka terjadilah aksi saling menyenggol.
Bu Ari yang melihat kegusaran kakak beradik yang duduk didepannya langsung
bertanya, “Ada apa? Ada yang ingin kalian sampaikan kepada Ibu?”
“Aaa… itu… haduh apa yah, Arissa kamu aja deh yang bilang ke Bu Ari,” kata
Keenan.
Arissa berdehem sebentar sebelum mengatakan, “Bu Ari kami sudah tahu
semuanya, apa yang terjadi dengan Bu Ari enam belas tahun yang lalu dengan Ayah
saya,”
Deg..
Ya Allah apakah ini waktunya aku membongkar siapa diriku di depan anakku,
apakah anakku akan memaafkan segala kesalahanku padanya, kata Bu Ari dalam
hatinya.
Wajah Bu Ari langsung pucat pasi saat mendengarkan ucapan Arissa, terbongkar
sudah rahasia yang sudah ia kubur dalam-dalam. Rahasia yang menjadikannya seperti
saat ini, sebuah rahasia yang sudah coba ia lupakan.
“Bu Ari,” panggil Arissa saat melihat Bu Ari melamun.
“Ah iya Arissa, maaf Ibu melamun. Oh iya, apa yang sedang kalian bicarakan?”
tanya Bu Ari memastikan, siapa tahu apa yang ia dengarkan tadi hanyalah sebuah
kesalahan. Tapi, nyatanya apa yang ia dengarkan adalah sebuag kebenaran.
Arissa untuk Marissa | 200
“Begini Bu, Arissa dan Kak Keenan sudah tahu rahasia Ibu dengan Ayah. Rahasia
tentang saya dan Marissa,” mendengar perkataan Arissa membuat Bu Ari langsung
menitikan air mata.
“Arissa mohon sama Ibu menceritakan tentang alasan Ibu membuat perjanjian
dengan Ayah saya. Nama panjang Ibu adalah Arisandi Gautami bukan?” pertanyaan
Arissa membuat air mata Bu Ari bertambah deras.
“Maaf… maafkan Ibu nak. Ibu mohon jangan benci Ibu, Ibu hanya ingin hidupmu
tidak berakhir begitu cepat ditangan Kakekmu,” Bu Ari menyatukan kedua tangannya
memohon kepada Arissa.
Melihat Bu Ari menangis, Arissa langsung duduk disamping Bu Ari dan
memeluknya. Menenangkan Bu Ari agar bisa menghentikan tangisannya dan mulai
melanjutkan percakapan Bu Ari.
“Bu tenanglah, Arissa tidak akan marah kepada Ibu. Arissa tahu bahwa semuanya
sudah diatur oleh Allah,” kata Arissa.
“Assala---
Seoarang lelaki paruh baya dengan baju loreng yang masih melekat ditubuhnya
langsung berlari ke arah Bu Ari dan memeluknya, membuat Arissa merenggangkan
pelukannya dan kembali ke tempat duduknya semula.
“Heii ada apa Ari? Apa yang membuatmu menangis?” kata lelaki paruh baya
tersebut.
Arissa dan Keenan langsung tahu bahwa lelaki tersebut adalah suami Bu Ari, Tuan
Gautami. Melihat suaminya sudah pulang, Bu Ari langsung tersenyum dan berusaha
menghentikan tangisannya. Bu Ari juga sadar bahwa tangisannya tak bisa merubah apa
yang terjadi 16 tahun yang lalu.
Tangan Bu Ari langsung menyentuh rahang pria paruh baya tersebut yang masih
kokoh meski dirinya tak lagi muda, dengan tersenyum Bu Ari berkata, “Kau sudah
kembali?”
“Iya, aku sudah kembali memenuhi janjiku padamu. Sekarang jawab
pertanyaanku, kenapa kau menangis?”

Arissa untuk Marissa | 201


“Tangisan ini adalah tangis kebahagiaan. Putri kita yang selama enam belas tahun
terpisah karena kebodohanku akhirnya kembali ke rumah,” Bu Ari memberi jeda pada
kalimatnya, dengan mata yang berkaca-kaca telunjuk Bu Ari mengarah kepada Arissa,
“Dia.. putri kita,”
Putri? Aku putrinya Bu Ari? Yang benar saja, pasti Bu Ari ini salah tangkap
omonganku, kata Arissa dalam hati.
Sedangkan Keenan dalam hatinya juga berkata, Arissa putri Bu Ari? Heii..
bagaimana mungkin, putri Bu Ari adalah Marissa bukan Arissa. Wah.. wah.. wah.. Bu Ari
ini salah tangkap maksud dari omongan Arissa.
“Apakah kau Arissa, putriku?” tanya pria paruh baya tersebut yang merupakan
suami dari Bu Ari.
“Bukan, saya Arissa adalah adik kandung dari Kak Keenan, yang otomatis saya
bukanlah anak kandung Bu Ari dan Bapak---
“Panggil saja Bapak Danu,” sela suami Bu Ari yang memperkenalkan dirinya
dengan nama Pak Danu.
“Iya, saya bukanlah anak kandung dari Bu Ari dan Pak Danu. Anak kandung Bapak
dan Ibu adalah Kakak perempuan saya Marissa Adelina yang sekarang sedang sakit,”
kata Arissa yang membuat shock Bu Ari dan Pak Danu.
“Bagaimana mungkin anak Ibu adalah Marissa, bukankah kau sendiri yang bilang
Arissa, kalau dirimu bukanlah anak kandung dari Bundamu,” kata Bu Ari.
“Iya memang benar Arissa mengatakan hal itu, tapi bukankah Ibu tak ikut
mendengarkan hasil dari pembacaan dokter mengenai hubungan darah kami. Ibu hanya
tahu Arissa terkena sebuah penyakit,”
“MasyaAllah betapa berdosanya diriku membuat semua orang tersakiti,
maafkanlah aku Ya Allah,” Bu Ari mengatakan hal itu dengan pelan namun masih bisa
didengar oleh Keenan dan Arissa.
“Lalu bagaimana dengan penyakit ginjal Marissa, apakah baik-baik saja?” tanya
Bu Ari.
“Ari, apakah yang aku dengar ini benar, putri kita terkena sakit ginjal?” sebelum
Arissa menjawab pernyataan Bu Ari, Pak Danu lebih dulu bertanya.
Arissa untuk Marissa | 202
“Kak Marissa memiliki riwayat gangguan fungsi ginjal pada umur tujuh tahun,
kala itu Kak Marissa diberi obat-obatan dari dokter. Lalu saat umurnya empat belas
tahun Kak Marissa mulai menjalani cuci darah sampai sekarang, lalu setelah kecelakaan
kemarin kondisi Kak Marissa terus menurun dan harus melakukan transplantasi ginjal.
Arissa ingin Bu Ari mendonorkan ginjalnya untuk Kak Marissa, apakah Bu Ari mau?” jelas
Arissa.
“Apakah separah itu?” tanya Pak Danu, Keenan dan Arissa hanya mengangguk
menanggapi.
“Ehmm.. Pak Danu, Bu Ari, Keenan di sini sama Arissa ingin mengetahui alasan
kenapa Bu Ari memberikan Marissa kepada Ayah kami. Dan juga kenapa Bu Ari
berbohong bahwa keadaan Ibu kala itu kurang berkecukupan, lalu Ibu juga mengatakan
bahwa suami Ibu meninggal karena kecelakaan saat Ibu sedang mengandung Marissa?”
tanya Keenan yang sedari tadi hanya diam.
Bu Ari dan Pak Danu saling tatap sebelum tangan Pak Danu menggenggam
tangan Bu Ari seperti memberi kekuatan pada Bu Ari untuk menjelaskan. Bu Ari
menghela nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan, memberi
kesan rileks pada tubuhnya.
“Ibu menikah dengan Pak Danu yang merupakan seorang abdi negara saat suami
Ibu sudah memiliki satu anak dari almarhumah istrinya, karena kita saling mencintai.
Tapi, Ayah mas Danu yang merupakan Kakek Marissa sangat menentang hal itu,
pernikahan Ibu dulu sempat terancam gagal karena kita berdua berbeda strata, Ibu
adalah seorang anak petani biasa sedangkan mas Danu adalah anak dari tokoh
masyarakat yang terkenal, Ayah mas Danu mengizinkan kita menikah asalkan saat Ibu
melahirkan anak mas Danu haruslah anak laki-laki bukan perempuan.
Itu semua didasarkan beliau karena mas Danu adalah anak tunggal yang harus
memberikan penerus laki-laki untuk keluarganya, anak pertama mas Danu dari
almarhumah istrinya terdahulu adalah perempuan sehingga Ibu harus memberikan anak
laki-laki pada keluarga suami Ibu. Ayah mas Danu mengajak Ibu berbicara tentang
penerus keluarga Gautami, Ayah mas Danu tidak mentolerir Ibu jika anak yang Ibu
kandung adalah perempuan, beliau akan memisahkan anak Ibu setelah Ibu
melahirkannya dan Ibu akan diceraikan oleh mas Danu.

Arissa untuk Marissa | 203


Ibu sempat bertanya kepada beliau, jika Ibu nanti akan melahirkan anak kembar,
satu laki-laki dan perempuan apakah beliau masih ingin membuang anak Ibu, dengan
lantang beliau menjawab iya. Lalu saat Ibu melahirkan Ibu benar-benar melahirkan anak
kembar, satu perempuan dan satu laki-laki, saat Ibu melahirkan tidak ada yang
menemani Ibu, hanya ada Ibu sendirian yang berjuang melahirkan Marissa dan
Kakaknya ke dunia.
Pikir Ibu kala memberikan Marissa kepada Ayah kalian adalah hal yang terbaik,
meski Ibu hanyalah anak petani biasa Ibu bisa membedakan mana orang yang baik dan
mana orang yang jahat hanya dari wajahnya saja. Tanpa fikir panjang Ibu langsung
memberikan Marissa kepada Ayah kalian, apalagi saat Ayah kalian mengadzani Marissa,
beliau seperti mengadzani anak kandungnya sendiri yaitu kamu Arissa, dengan kasih
sayang seorang Ayah, Ayah kalian dengan merdunya mengumandangkan adzan ditelinga
kanan Marissa. Sebelum Ibu keluar dari rumah sakit, Ibu sempatka untuk menengok
sebentar ke ruang rawat Bundamu, meski Ayahmu dulu juga berbohong dengan
keadaan Ibu, Ibu masih tetap terima kasih kepada Ayah kalian karena dengan
kebohongan itu Bunda kalian sangat menyangi anak Ibu, Marissa. Tapi, kini Ibu sadar
tidak akan ada kebahagiaan dihidup seseorang jika awalnya saja dimulai dengan sebuah
kebohongan. Ibu benar-benar minta maaf kepada kalian hiks.. hiks..” setelah
menyelesaikan penjelasannya Bu Ari kembali menangis sesenggukan dipelukan sang
suami.
“Bapak juga harus minta maaf kepada kalian, andai dulu Bapak tidak ditugaskan
untuk pergi keluar kota dari atasan Bapak saat istri Bapak melahirkan, mungkin
keadaannya tidak akan serumit ini,” kata Pak Danu sambil menepuk lembut punggung
Bu Ari, berusaha menenangkan tangisan beliau.
“Tidak apa-apa Pak, tidak ada yang harus disesali sekarang. Lebih baik kita
sekarang melupakan masa lalu dan membuka lembar kehidupan baru. Sekarang juga Ibu
sama Pak Danu memfikirkan tentang kehidupan Marissa, siapakah yang akan
mendonorkan salah satu ginjalnya demi kelangsungan hidup Marissa?” saat mengatakan
itu Keenan dengan sengaja menatap mata hitam miliik Pak Danu.
“Saya, saya yang akan mendonorkan ginjal saya kepada anak Bapak yang secara
tak lansgung sudah Bapak sakiti selama bertahun-tahun,” kata Pak Danu dengan
mantap.

Arissa untuk Marissa | 204


“Jangan, biar aku saja yang mendonorkan ginjal. Mas, tolong ingat dengan
banyaknya prajurit yang membutuhkan mas dibwah komandomu, tak akan mungkin aku
setega itu untuk mengorbankan atasan yang mereka sayangi hanya karena
kebodohanku dimasa lalu,” Bu Ari langsung melepaskan pelukan sang suami.
“Well, sudah diputuskan bahwa Bu Ari yang mendonorkan ginjal?” tanya Keenan
memastikan.
Sekarang Bu Ari yang menggenggam tangan sang suami, memberi isyarat
kepadanya untuk diam saja, “Iya, Ibu yang akan mendonorkan ginjal Ibu kepada Marissa.
Ayo kita sekarang ke rumah sakit,”
Saat melihat Bu Ari sudah berdiri, Arissa buru-buru melarang Bu Ari, “Jangan Bu,
apakah tidak lebih baik nanti malam saja? Pak Danu baru saja pulang dari luar kota, Ibu
juga pasti lelah setelah mengantarkan Arissa dan Khalish mengikuti olimpiade dan
berbelanja kebutuhan,” usul Arissa.
“Iya itu Bu, betul kata Arissa. Lebih baik kita kesananya nanti malam saja, Keenan
tadi belum mandi juga perut Keenan lapar. Jadi Keenan ingin pulang sebentar hehehe,”
suasan yang tadinya tegang berubah cair saat Keenan mengungkapkan alasannya untuk
pergi ke rumah sakit.
“Kamu gak usah pulang, makan disini saja sekalian nanti kalau pulang malam juga
tidur disini,” kata Pak Danu.
“Tapi baju saya gimana Pak?”
“Ari, masih ada kan bajunya Azzam dilemari?” tanya Pak Danu ke Bu Ari.
“Masih ada kok, nanti biar Keenan pakai baju Azzam dan tidur di kamarnya
Azzam. Kalau urusan buku pelajaran, nanti sebelum kita ke rumah sakit mampir saja ke
rumah Keenan sebentar,” jawab Bu Ari.
“Eh kalau menginap disini mending gak usah deh Bu, nanti malah ngerepotin Ibu
sama Bapak. Apalagi harus ke rumah saya sebelum ke rumah sakit,” Keenan menolak
karena merasa tak enak dengan Pak Danu juga Bu Ari.
“Ah, kata siapa kita direpotin, kita malah seneng kok kalau nak Keenan tinggal
dirumah Bapak, Bapak jadi ada teman ngobrol tentang sepak bola atau yang lainnya,
soalnya Bapak biasa ngobrol begituan dengan anak laki-laki Bapak yang namanya
Azzam,” keukeh Pak Danu.
Arissa untuk Marissa | 205
Keenan melihat Arissa untuk meminta pendapat apakah ia harus mengikuti kata
Pak Danu ataukah dia harus pulang. Gerak-gerik Keenan yang meminta pendapat Arissa
membuat Pak Danu angkat bicara.
“Arissa juga pasti setuju kalau Kakaknya tinggal disini, bukan begitu?” tanya Pak
Danu dengan diiringi kerlingan mata agar menyetujui uacpannya.
“Ah itu.. betul juga kata Pak Danu Kak, mending Kakak menginap disini. Hitung-
hitung membahagiakan Pak Danu sama Bu Ari,” jawab Arissa.
Saat Kakaknya hendak menolak lagi, Arissa langsung mengajak Bu Ari untuk ke
dapur, menyiapkan makan malam sebagai penyambutan Pak Danu, “Bu Ari tidak mau
Arissa bantu untuk menyiapkan makanan nanti malam?”
“Astaghfirullah Ibu sampai lupa, ayo Rissa kita ke belakang. Biarkan saja dua lelaki
berbeda generasi itu membahas hal-hal yang membosankan,” Bu Ari langsung
menggandeng tangan Arissa dan berjalan menuju dapur.
Sebelum Arissa benar-benar pergi dari ruang tamu, dia masih sempat untuk
mengejek Keenan dengan memeletkan lidahnya ke arah Keenan. Meliahat itu Keenan
hanya menggeram dalam hati seraya berkata,
Awas aja lo adik durhaka, mentang-mentang dapet pendukung banyak
seenaknya main tinggal. Astaghfirullah Ya Allah maafin Keenan udah ngehina adik
sendiri.
“Keenan,” panggil Pak Danu.
“Iya Pak?”
“Ayo Bapak antar ke kamar anak Bapak, biar kamu bisa istirahat. Bapak juga
sepertinya butuh istirahat habis perjalanan jauh,” Pak Danu langsung berdiri dengan
membawa tas yang cukup berat berwarna loreng.
Keenan dan Pak Danu akhirnya menaiki anak tangga satu persatu menuju kamar
anak Pak Danu yang bernama Azzam di lantai atas.
***

Arissa untuk Marissa | 206


Saat langit berubah warna menjadin gelap, dengan sang rembulan yang menjadi
pengganti sang surya untuk menyinari bumi ditemani dengan kerlap-kerlip indah dari
banyaknya gugusan bintang. Seorang gadis dengan alat-alat penunjang hidupnya sedang
terlelap dengan tenangnya tanpa merasakan rishi dengan aura tegang yang melingkupi
kamar yang menjadi tempat tinggalnya sementara.
Pasutri yang berada di kamar itu, atau lebih tepatnya menjaga anak kesayangan
mereka sedari tadi bersitegang dengan keadaan anaknya. Sang istri sudah bercucuran
air mata sedang sang suami rahangnya terlihat mengeras dengan urat-urat leher yang
terlihat.
“Ku mohon hiks.. biarkan hiks.. aku hiks.. untuk mendonorkan ginjalku,” kata sang
istri dengan lirih diiringi isak tangis.
Melihat istrinya yang rapuh dengan keadaan sang anak, tak serta merta membuat
lelaki paruh baya yang sedang duduk disofa kamar inap itu luluh. Baginya semakin sang
istri memaksa, semakin membuatnya menolak. Dia tak akan mungkin membuka sebuah
rahasia kelam yang sudah ia sembunyikan rapat-rapat dengan begitu mudah, dia tahu
adakalanya rahasia itu harus terbongkar tapi itu bukan sekarang, waktunya sama sekali
belum tepat.
“Jika aku sudah bilag tidak, maka tidak. Aku bukan anak kemarin sore yang akan
membiarkanmu berbuat sesuka hati hanya karena luluh dengan air mata itu. Sekarang
lebih baik hapus air mata itu dan fokus saja mengurus anak kita, soal pendonor ginjal
biar aku yang urus,” jawab sang lelaki paruh baya dengan gigi yang bergemeletuk.
“Lalu, kau akan dengan mudah membiarkan anak kita mati?” sarkas sang istri.
“Karina sudah cukup, aku bukanlah Ayah yang jahat, yang dengan teganya
membuat anaknya sendiri menderita bertahun-tahun,” sang suami sudah mencoba
meredam kemarahannya berkali-kali, dan berkali-kali juga sang istri kembali menyulut
amarahnya.
“Apa kau bilang, bukan Ayah yang jahat? Hahaha kau yang terlalu pintar atau aku
yang terlalu bodoh, kau dengan gayamu selangit membuat putriku Marissa menderita di
atas ranjang rumah sakit,” terdengar tawa mengiringi kata-kata yang keluar dari mulut
wanita itu, tapi tunggu dulu tawa itu bukanlah tawa kebahagiaan namun tawa yang
menyiratkan sebuah penderitaan.
Arissa untuk Marissa | 207
“Sudah berapa kali aku mengatakannya padamu Karina. Aku tak akan
membiarkan putriku sakit begitu saja,” pria paruh baya yang tengah mengepalkan
tangannya itu menekankan setiap kata pada kalimat terakhirnya.
“Well, sekarang katakan sebuah alasan padaku Adi, sebuah alasan yang mampu
menghentikanku untuk mencoba mendonorkan ginjal pada anakku sendiri,” wanita itu
menekankan suaranya saat memanggil nama sang suami.
Pria paruh baya yang merupakan Ayah Adi itu hanya terdiam tak mampu
menjawab perkataan sang istri. Sedangkan Bunda Karina yang merupakan wanita paruh
baya yang sedang duduk disamping brankar dengan tangan yang menggenggam jemari
Marissa tertawa miris.
“Kau tak bisa menjawabnya Adi, maka jangan harap kau akan bisa
menghentikanku kali ini,” tuntas Bunda Karina.
Setelah mengataka itu Bunda Karina langsung berdiri dan melepaskan tangan
Marissa lalu berbalik menuju ke pintu keluar. Dia ingin bertemu dengan dokter yang
menangani putrinya, dia ingin memberikan sala satu ginjalnya kepada sang putri, dia
ingin menerbitkan sebuah senyuman indah di wajah sang putri. Sedetik ia ingin
membuka pintu seorang remaja laki-laki datang dengan senyuman yang semakin
membuat wajahnya tampan, namun perkataan selanjutnya remaja itu membuat
hidupnya hancur berkeping-keping.
“Bunda, aku bisa menjawab pertanyaanmu yang belum dijawab Ayahku. Kenapa
kau tak diizinkan olehnya untuk mendonorkan ginjalmu adalah karena dirimu bukanlah
Ibu kandung adikku, Marissa,” perkataan remaja lelaki itu membuat wajah sang Ayah
menjadi pucat pasi.
“Apa yang kau katakan Keenan? Adikmu adalah Marissa, jangan bermimpi kamu.
Dan juga apa tadi, aku bukan Ibu kandung Marissa, yang benar saja kamu. Ingat yah
kamu itu hanyalah orang asing yang kebetulan singgah dalam hidup kami,” Bunda
Karina mengatakan itu dengan menekankan kata orang asing.
Arissa untuk Marissa | 208
“Iya, kenapa tidak, sekarang ada suami Bunda, Ayah kandung Keenan, Bunda bisa
bertanya sendiri kepadanya tentang Bunda yang merupakan Ibu kandung Arissa bukan
Marissa. Lalu, tentang aku yang merupakan orang asing tidakkah Bunda mengingat anak
pertamamu yang sudah susah payah kau lahirkan ke dunia ini. Bunda kau salah besar
jika menganggapku sebagai orang asing yang nyatanya adalah anakmu sendiri, Iqbal Adi
Alkatiri,” Keenan juga melakuka hal yang serupa dengan yang Bundanya lakukan,
menekankan kata orang asing.
“Jangan membuat omong kosong Keenan,” Bunda Karina sedikit mendesis saat
mengucapkan hal itu.
Tidak meladeni apa yang diucapkan Bundanya, Keenan memilih membalikkan
badan seraya memanggil seseorang, “Arissa masuklah,”
Sedetik kemudia Arissa muncul ditemani dengan Bu Ari dan juga Pak Danu yang
saling menautkan tangan mereka berdua. Tersenyum tipis Arissa melangkah dan
berhenti di samping sang Kakak, “Assalamualaikum Ayah, Bunda,”
Sang Ayah yang sedari tadi diam melihat perdebatan antara sang istri dengan
anak pertamanya akhirnya berdiri dari sofa dan menjawab salam sang anak,
“Waalaikumussalam Arissa, apakah kau baik-baik saja?”
Sesaat sebelum Arissa menjawab pertanyaan sang Ayah, Bunda Karina langsung
tertawa sinis dan berkata, “Rupa-rupanya kau punya nyali untuk menghadapiku anak
angkat,”
Mendengar nada sinis sang Bunda dan juga penekanan katanya dalam
mengucapkan anak angkat yang ditujukan kepada dirinya, membuat dia menghela
nafasnya dalam-dalam untuk mengontrol emosi.
“Karina tutup mulutmu!” tegur sang suami.
“Ada apa Adi, bukankah kebenarannya begitu. Dia hanyalah anak angkat, bukan
anak kandung kita, jadi mengapa kita harus menjaga hatinya. Kebohongan memang
manis tapi akan membunuhmu secara perlahan, berbanding terbalik dengan sebuah
kebenaran yang pahit namun menjadikanmu seseorang yang kuat,” Bunda Karina
mengatakannya dengan jari telunjuk mengarah tepat ke wajah Arissa.
Arissa untuk Marissa | 209
Meliha kelakuan sang Bunda membuat Keenan emosi, lalu menurunkan tangan
sang Bunda dan berkata, “Jaga ucapanmu Bunda, dia adalah anak kandung yang sudah
kau sakiti bertahun-tahun tapi masih menyayangimu. Jangan sampai ucapanmu
membuatmu menyesal pada akhirnya,”
“Untuk apa aku menyesal membuatnya menderita, bahkan aku merasa senang
saat bisa membalaskan dendam putriku yang sedang terbaring di atas ranjang
pesakitan. Dan ingatlah ini orang asing yang mengaku-ngaku anakku, dan mencampuri
urusan orang lain, aku tak akan percaya padamu hanya karena kau tahu siapa nama
anak pertamaku,”
Arissa kini tak bisa melihat lagi tatapan seorang Ibu yang sangat menyayangi
anaknya, yang kini ia lihat hanyalah seorang wanita dengan tatapan mata yang dipenuhi
kebencian juga dendam.
Tak kuasa berada di ruangan yang sangat menyesakkan Arissa memilih untuk
pergi keluar dari ruangan itu sebelum salah satu tangannya ditangkap sang Kakak.
“Kau mau kemana Arissa?” tanya Keenan dengan sedikit menoleh.
“Aku ingin keluar dan mencari udara bersih. Tugasku di sini hanya untuk
mengantarkan kedua orang tua kandung Kakakku, Marissa. Jangan pernah menahanku
lagi Kak, karena aku bukan lagi anaknya, jika Kakak berseikeras menunjukkan jati diri
Kakak kepada Bunda dan menyadarkannya, maka mintalah bantuan penjelasan dari
mulut Ayah juga Ibu kandung Kak Marissa,” setelah mengatakan itu, dengan sekuat
tenaga Arissa menyentak tangan sang Kakak dan berhasil terlepas lalu dengan cepat ia
berlari meinggalkan ruangan itu dengan air mata yang mengalir.
***
Mengehela nafasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan cepat
seakan beban berat ditimpakan ke bahunya adalah hal yang sedari tadi dilakukan Arissa.
Air mata yang tadinya mengalir deras kini sudah menghilang entah kemana, digantikan
sebuah senyuman yang hadir diwajah cantiknya, saat melihat seorang anak kecil sedang
bermain dengan sang Ibu dan tergedengar gelak tawa dari bibir kecilnya. Andai saja dulu
ia merasakan kehangatna dari seorang Ibu lebih lama, maka mungkin sekarang ia tak
terlalu rapuh.
Arissa untuk Marissa | 210
Tak menghiraukan angin malam membelai kulitnya yang tertutup kain, dia masih
tetap duduk dibangku taman rumah sakit dengan memandang gemerlap bintang di atas
sana. Baru beberapa minggu yang lalu dia bisa merasakan kehangatan dari kasih sayang
Bundanya dan beberapa jam kemudian semua kehangatan sirna digantikan kebencian
yang mendalam. Arissa masih tetap bertahan menyayangi sang Bunda hanya karena
satu alasan, dia percaya bahwa sebenci-bencinya sang Bunda kepada ia, masih ada
setitik kasih sayang disudut hatinya yang terdalam.
Memang benar apa yang dikatakan orang-orang bahwa kebahagiaan selalu
mengikuti penderitaan, karena ia pun sudah merasakannya meski kebahagiaannya tak
sebanding dengan penderitaan yang sudah ia miliki. Dia akan selalu dan tetap bersyukur
dengan apa yang berada didalam genggamannya, dia tak akan muluk-muluk untuk
berandai-andai apa yang tak ada didalam genggamannya.
Lebih baik bertahan dan mensyukuri apa yang berada didalam genggamannya,
daripada memaksa memiliki diluar genggamannya yang berakhir dengan sebuah luka.
“Kenapa Bunda kemari?” lirih Arissa saat seorang wanita paruh baya yang
beberapa menit lalu mengatakan bahwasannya dirinya hanyalah seorang anak angkat,
memilih duduk disampingnya.
Menghapus air mata yang masih mengalir Bunda Karina memegang lembut bahu
anaknya dari samping, bisa ia rasakan bahwa tubuh sang anak menegang, “Apakah tak
boleh seorang Bunda menemani anaknya yang sedang sendirian?”
“Boleh, boleh saja. Tapi bukankah Arissa bukan anak Bunda?” Arissa lebih
memilih melihat kemerlap bintang yang bertaburan.
“Maaf, maafkan Bunda, Arissa. Bunda sudah tahu semuanya dari Ayah, apakah
kau masih memberikan maafmu untuk Bundamu ini?” akhirnya Arissa memilih
mengalihkan pandangannya kepada sang Bunda, menyelami netra gelap sang Bunda.
Arissa menghela nafasnya saat melihat kejujuran di mata sang Bunda, “Arissa
sudah memaafkan Bunda sebelum Bunda meminta maaf,”
“Makasih sayang, apa Bunda boleh memeluk Arissa?” mendengar permintaan
sang Bunda, Arissa hanya mengangguk menanggapi. Sedetika kemudian sebuah lengan
sudah mendekapnya dengan penuh kasih sayang.
Arissa untuk Marissa |211
Keheningan terjadi setelahnya, Arissa memejamkan matanya merasakan
kehangatan yang diberikan sang Bunda. Inilah momen yang bertahun-tahun lalu selalu
dia idam-idamkan, dan hari ini semua impiannya sudah tercapai. Tak pernah
terbayangkan difikirannya sebelumnya, dia bersyukur kepada Allah yang maha
mengetahui semua keinginannya.
Tes…
Cairan hangat berwarna merah pekat mengalir dari lubang hidungnya membasahi
baju sang Bunda, tanpa melepaskan pelukan sang Bunda, Arissa sudah mengetahui
bahwa dia sedang mimisan. Arissa semakin mengeratkan pelukannya kepada sang
Bunda, dan sebelum kegelapan merenggut kesadarannya dengan lirih Arissa
mengatakan,
“Arissa akan selalu menyayangi Bunda,”
Mendengar penuturan kasih sayang sang anak, Bunda Karina mencium lembut
puncak kepala Arissa dan menjawab sama lirihnya, “Bunda juga menyayangi Arissa,
dulu, kini dan selamanya,”
Setelah beberapa menit kemudian Bunda Karina tak merasakan pergerakan dari
Arissa dan hanya deru nafas yang teratur membuat Bunda Karina merenggangkan
pelukannya, betapa kagetnya Bunda Karina saat melihat darah yang mengalir dari
hidung Arissa. Wajah yang tadinya memunculkan sebuah kurva sekarang sedang tak
berdaya dengan aliran darah dari hidungnya, sangat kontras dengan kulit putih Arissa.
“Arissa, Arissa bangun nak. Ya Allah kenapa kamu nak,” panik Bunda Karina,
sedetik kemudian taman rumah sakit yang sedang ramai mengerubungi Bunda Karina
dan Arissa.
Keenan dan Ayah Adi yang sedari tadi melihat Arissa dan Bunda Karina dari
kejauhan langsung mendatangi mereka berdua, Keenan yang sudah menebak apa yang
terjadi dengan Arissa langsung menggendongnya menuju IGD.
***

Arissa untuk Marissa | 212


Bunda Karina sedari tadi mondar-mandir di depan ruangan pemeriksaan Arissa
sedangkan Ayah Adi dan Keenan hanya duduk dikursi yang ada, sudah beberapa kali
Ayah Adi dan Keenan menyuruh Bunda Karina agar tenang tapi tak dihiraukannya.
“Bunda duduk samping Ayah sini daripada mondar-mandir gak karuan. Duduk sini
terus berdoa deh sama Allah,” ucap Ayah Adi yang kesekian kalinya.
Akhirnya setelah sekian kalinya Ayah Adi memperingatkan, Bunda Karina memilih
duduk disamping Ayah Adi menunggu dokter keluar dari ruang pemeriksaan.
“Bagaimana bisa Bunda bisa tenang jika anak Bunda sedang sakit didalam sana,”
jawab sang Bunda.
“Bunda bahkan harus lebih tenang saat mendengarkan penjelesan dokter nanti,”
helaan napas terdengar setelah Keenan mengucapkan itu.
Cklekk..
Seorang dokter laki-laki keluar dari ruangan Arissa dengan seorang suster
dibelakangnya, “Dengan keluarga nona Arissa,”
“Bagaimana dengan keadaan anak saya dok?” tanya Bunda Karina langsung
berdiri dari duduknya.
“Lebih baik sekarang Ibu ke ruangan saya untuk mendengarkan tentang penyakit
yang diidap oleh nona Arissa,” dokter tersebut langsung melangkah meninggalkan
seorang suster dengan keluarga Bagaskara.
“Mari Pak, Bu,” suster tersebut mempersilahkan Ayah Adi dan Bunda Karina
untuk berjalan duluan.
“Apalagi ini Ayah, apakah penyakit Arissa parah?” tanya Bunda Karina kepada
Ayah Adi.
“Ayah tidak tahu, kita berdoa saja,” kata Ayah Adi menenangkan Bunda Karina.
Keenan yang berdiri di belakang Bunda Karina dan Ayah Adi hanya menghela
napasnya berkali-kali. Saat memasuki ruangan dokter onkologi dan radiasi, seketika
fikiran buruk menghinggapi kepala Bunda Karina dan Ayah Adi.
“Silahkan duduk dulu Bu, Pak,” kata dokter yang bername tag Adam Abdullah.
“Bagaimana dengan keadaan putri saya dok?” tanya Ayah Adi.
Arissa untuk Marissa | 213
“Begini, nona Arissa mengidap penyakit leukemia atau yang bisa kita sebut
sebagai kanker pada sumsum tulang dan sel darah. Leukemia terjadi karena adanya
pertumbuhan yang tidak normal atau akumulasi sel darah putih di sumsum tulang dan
darah perifer, yang berakibat pada meningkatnya jumlah sel darah putih.
Leukemia yang diidap nona Arissa adalah leukemia myeloid akut atau yang biasa
kita sebut AML. Leukemia ini memiliki tingkat pertumbuhan sel kanker yang sangat
cepat dan mempengaruhi produksi sel darah normal. Seharusnya nona Arissa sudah
melakukan tahapan kemoterapi untuk membunuh sel kanker yang ada pada tubuhnya.
Namun, saya sekarang lebih menyarankan untuk melakukan transplantasi sel punca
haematopoietik atau yang biasanya kita sebut transplantasi sumsum tulang karena
leukemia yang diidap nona Arissa tidak bisa dikendalikan hanya dengan kemoterapi.
Bagaimana apakah Bapak dan Ibu setuju?” jelas dokter Adam.
“Lakukan apapun untuk anak saya agar bisa kembali seperti sediakala dok,” kata
Bunda Karina.
“Sekarang kita harus mencari pendonor sumsum untuk nona Arissa, apakah
diantara Bapak, Ibu atau saudara nona Arissa ikhlas untuk mendonorkan sumsumnya?”
tanya dokter Adam.
“Saya yang akan menjadi pendonor untuk adik saya,” Keenan dengan wajah
datarnya menawarkan dirinya menjadi pendonor.
Mendengar itu Bunda Karina langsung menggeleng keras, “Tidak, Bunda yang
akan menjadi pendonor untuk Arissa. Bunda ingin anak Bunda kembali tersenyum
seperti dulu tanpa mengorbankan anak Bunda yang lain,”
“Dan Bunda tidak ingin ada yang bantah keputusan Bunda,” lanjut sang Bunda.
“Baiklah sudah ditentukan bahwa Ibulah yang akan menjalani transplantasi sel
punca haemotopoietik dengan nona Arissa, tapi sebelum itu besok pagi saya akan
menjalankan beberapa tahapan kemoterapi kepada nona Arissa sebelum melaksanakan
transplantasi sel punca haemotopoietik tersebut. Lalu nona Arissa harus menjalani
serangkaian tes dan prosedur pra-transplantasi untuk diperiksa status juga kondisi
kesehatannya secara keseluruhan, serta dipastikan bahwa fisik nona Arissa siap untuk
menjalani transplantasi,” jelas dokter Adam lebih lanjut.
“Iya dok, berapapun biayanya saya akan membayar asalkan anak saya bisa
kemabli seperti sediakala,” kata Ayah Adi.
Arissa untuk Marissa | 214
“Baiklah Ibu dan Bapak bisa ke ruangan nona Arissa, nona Arissa sudah kami
pindahkan ke ruangan VVIP. Suster tolong antarkan Ibu dan Bapak ini ke ruangan nona
Arissa,” titah dokter Adam.
“Baik dok, mari Pak, Bu,”
“Mari dok,” ucap Ayah Adi lalu keluar ruangan diikuti Bunda Karina dan juga
Keenan.
***
Sudah berhari-hari Arissa merasakan tidur di atas ranjang pesakitan, merasakan
kekangan yang tak boleh ini dan itu oleh sang Bunda, tapi ia bersyukur meski sang
Bunda mengekangnya ia tahu bahwa itu hanyalah kamuflase dari kasih sayangnya. Dan
hari ini adalah awal dari senyumnya yang akan kembali, ya, hari ini ia akan menjalani
transplantasi sumsum tulang. Awalnya ia menolak jika sang Bunda yang mendonorkan
sumsum tulangnya untuk Arissa, tetapi karena the power of emak-emak sudah
menjangkit Bunda Karina, dia hanya bisa pasrah dan tunduk di bawah titahnya.
“Bagaimana perasaanmu hari ini?” tanya Keenan kepada Arissa.
“Baik dan buruk,” jawab Arissa lugas yang membuat sebuah kerutan di dahi
Keenan.
“Maksudmu?” tanya Keenan yang kebingungan.
“Baik karena aku akan bebas dari rasa sakit, dan buruk karena yang
mendonorkannya adalah Bunda,” jawab Arissa.
“Kamu masih kepikiran sama itu Rissa, seharusnya kamu menerimanya dan
menjalaninya mungkin dengan itu Bunda bisa menghilangkan rasa bersalah dihatinya
karena kamu,” kata Keenan dengan lembut.
“Mungkin,” Arissa lebih memilih menatap keluar jendela, melihat sang surya yang
dengan gagahnya menunjukkan kekuatan yang dia miliki daripada melihat netra sang
Kakak.
Hanya keheningan yang menjadi teman mereka berdua, Arissa dengan
lamunannya sedangkan Keenan dengan tatapan yang menyorot tubuh ringkih sang Adik.

Arissa untuk Marissa | 215


Ckrek..
Dua orang perawat memasuki kamar Arissa dengan kursi roda, “Selamat pagi
nona Arissa,”
“Pagi juga sus,” jawab Arissa.
Seorang perawat lelaki mendorong kursi roda tersebut ke samping brankar
Arissa.
“Sekarang nona Arissa akan kami antar ke ruang operasi, tapi sebelum itu nona
saya bantu untuk membersihkan diri,” jelas seorang perawat perempuan yang
membantu Arissa untuk duduk.
Keenan dan seorang perawat laki-laki lebih memilih keluar dan membiarkan
Arissa hanya ditemani dengan seorang perawat. Perawat perempuan yang membantu
Arissa untuk membersihkan diri menutup pintu dan menutup semua gorden.
Biasanya yang membantu membersihkan dirinya adalah Bunda Karina, tapi entah
saat dirinya bangun tadi pagi sang Bunda belum datang ke ruangannya.
Setelah perawat tersebut membuka kembali pintu dan gorden, Keenan dan
perawat laki-laki masuk, perawat laki-laki tadi mendatangi Arissa untuk membantunya
agar duduk di kursi roda.
“Jangan, biar saya yang membantu adik saya duduk,” sergah Keenan kepada
perawat laki-laki.
“Baik Pak,” jawab perawat laki-laki itu.
“Jangan panggil saya Pak dong, saya ini masih muda delapan belas tahun masa’
dipanggil Pak sih. Panggil Keenan aja,” protes Keenan.
Arissa yang mendengar penuturan sang Kakak memukul pelan bahunya saat
memindahkan dia ke kursi roda, “Ihhh Kakak gimana sih, kan mas perawat itu gak tahu
nama Kakak. Lagian juga Kakak tuh laki-laki mau jadi calon Ayah nantinya tapi entah
kapan,”
“Uluh uluh uluh Arissanya Kakak udah kembali lagi nih, mulai cerewet. Kakak jadi
tambah seneng deh,” goda Keenan.
“Gak usah godain Arissa yah Kak, emang Arissa cewek apaan yang mau digodain
Kakak,” canda Arissa menanggapi godaan sang Kakak.
Arissa untuk Marissa |216
Dua perawat yang masih berada di ruang inap Arissa sudah tersenyum sedari tadi
melihat kehangatan kasih sayang antara Kakak dan Adik tersebut.
“Ehmm... Keenan, yang mau dorong Arissa ke ruang operasi saya atau kamu?”
tanya perawat laki-laki yang sudah mengganti panggilan dari Pak ke Keenan.
“Gitu dong mas perawat panggil saya pakai nama aja jangan Pak. Well, mas
perawat aja yang ngedorong Arissa jangan saya, nanti kalau saya yang ngedorong bisa-
bisa tangan saya patah,” canda Keenan tapi dengan wajah datarnya.
Perawat tersebut mulai mendorong kursi roda Arissa meninggalkan ruang
inapnya dengan Keenan di sampingnya dan perawat perempuan di belakangnya.
“Ihhhh Kakak kok jadi jahat sama Arissa sih, nanti Arissa ngaduin ke Bunda loh,”
“Aduin aja ke Bunda, Kakak gak bakal lemah hanya karena ancaman kamu,”
“Kakak gak Arissa restuin sama Khalish loh, Khalish itu udah jadi temen deket
Arissa, inget itu!” jika Arissa memakai sang Bunda untuk jadi senjata dan tidak mempan,
maka sekarang inilah waktunya Arissa memakai nama Khalish sebagai senjata
terampuhnya.
“Eh, jangan gitu dong,”
“Kalau gak gitu ya gini, Kakak gak boleh jahat sama Arissa,”
“Up to you Arissa tersayang,”
Tawa kebahagiaan terdengar keluar dari bibir pucat Arissa, “Hahaha... Akhirnya
Kakak kalah juga. Oh yah Kak, Bunda mana kok gak kelihatan dari tadi pagi? Mas
perawat sama mbak suster tahu nggak?” tanya Arissa.
“Nyonya Karina sudah menunggu di ruang operasi,” jawab perawat perempuan.
“Makasih mbak suster atas informasinya,” kata Arissa tulus.
“Sama-sama nona,”
***

Arissa untuk Marissa | 217


Kini keduanya, Bunda Karina dan Arissa sudah terbaring di atas meja operasi,
dengan tangan saling menggenggam dan sebuah kurva yang terbentuk di bibir
keduanya. Tak menghiraukan perasaan khawatir dari orang-orang yang menunggu
mereka di luar ruangan operasi. Ayah Adi, Keenan, Pak Danu, Bu Ari, dan Marissa yang
sudah pulih setelah menjalani transplantasi ginjal kini saling diam dengan doa yang
mereka panjatkan tak henti-henti dalam hati mereka.
Di dalam ruangan semua dokter dan perawat kini telah siap dengan baju khas
mereka, lampu operasi kini telah dinyalakan, seorang dokter wanita spesialis anastesi
tengah menyiapkan obat bius untuk Bunda Karina dan Arissa.
“Nona Arissa dan Nyonya Karina saya akan menyuntikkan obat bius untuk anda
berdua,” dokter tersebut langsung menyuntikkan obat bius itu secara bergantian.
Sebelum kegelapan merenggut mata Arissa, dengan lirih berkata, “Arissa selalu
menyayangi Bunda, entah dulu, sekarang, atau selamanya,”
Bunda Karina yang mendengarkan hal itu dengan susah payah masih
mempertahankan kesadarannya, membentuk sebuah lengkungan dibibirnya, “Bunda
pun sama, semoga Bunda dapat melihat senyumanmu lagi,”
Setelahnya kegelapan benar-benar merenggut kesadaran mereka berdua, Arissa
dan Bunda Karina. Benar jika dikatakan bahwa pelangi akan muncul setelah badai besar
datang, kebahagiaan akan datang saat kau telah menyelesaikan ujian dari-Nya dengan
sebuah keikhlasan juga kesabaran.

Arissa untuk Marissa | 218


Kasih..
Hari ini adalah hari yang berharga,
Hari dimana diriku kembali melihat senyumnya..
Saat sayapnya merengkuhku dalam kehangatan..
Saat ucapannya menyejukkan batin..
Saat jemarinya menggenggam dengan penuh kekuatan..
Seperti merapi melontarkan lahar panas,
Seperti itulah saat air mataku tumpah di pangkuanmu..

Menyandarkan bahuku
Menumpahkah semua keluh kesah
Menghapus air mataku
Dan tersenyum untukmu
Ucapanmu..
Dekapanmu..
Kasih sayangmu..
Adalah hal yang selalu ku rindu

Aku berharap,
Setelah mata ini terbuka kembali
Hanya ada senyum untukmu
Dan senyum untukku
~Arissa sayang Bunda
~Tamat~
Arissa untuk Marissa |219

Hidup memang tidak selamanya indah, seperti yang sudah kalian baca pada
ceritaku sebelumnya. Hidup itu bukan tentang menikmati saja tapi tentang melewati
segala ujian dari-Nya. Kesabaran dan keikhalasan adalah kunci utama dalam melewati
ujian dari-Nya, jangan berputus asa dari rahmat-Nya, karena Dia tak akan
meninggalkan hamba-Nya dalam kesesatan dan jalan yang buntu.

Apa yang kalian telah baca adalah satu dari sekian episode kehidupan yang
telah aku jalani. Mungkin sebagian dari kalian berpikir bahwa ceritaku sangatlah
menyedihkan, tapi bagiku sama sekali tidak. Episode itu adalah episode yang sangat
aku sukai, di mana dalam episode itu aku mendapatkan balasan dari apa yang telah aku
jalani, harapan yang ku pupuk tinggi-tinggi kepada-Nya akhirnya kini terwujud.

Memang benar bila ada orang yang berkata ‘Jangan pernah berharap selain
kepada-Nya, karena selain-Nya tidak akan ada yang bisa mewujudkan semua
harapanmu’. Kini Bunda Karina dan Ayah Adi selalu ada disisiku dan menyayangiku,
juga menjagaku. Kini Kak Keenan yang ternyata adalah Kak Iqbal lebih dekat dengan
Ayah dan Bunda yang notabennya adalah orang tua kandungnya, meski Kak Keenan
lebih memilih tinggal dikeluarganya yang baru. Kini Marissa yang ternyata bukanlah
saudara kembarku menyayangiku selayaknya saudara kandung begitupun sebaliknya
denganku, aku sangat menyayanginya sepenuh hati meski sekarang ia tinggal dengan
keluarga aslinya. Dan kini, tiga keluarga yang ada dalam episode kehidupanku kali ini
bersatu selayaknya satu darah yang tinggal di satu udara.

Episode kehidupanku kali ini telah membuktikan bahwa Tuhan tak akan
membiarkan hamba-Nya menjalani ujian melebihi batas kemampuannya. Dan jangan
lupa saat dirimu sedang diuji untuk menaiki level selanjutnya dalam episode kehidupan,
jangan sekali-kali untuk berkeluh kepada-Nya.
Arissa untuk Marissa | 220
Life is not short, jadi jangan pernah kau gunakan hidupmu untuk sesuatu hal
yang sama sekali tidak berguna. Ingat tujuanmu untuk terlahir di dunia, dan tenang saja
aku pun juga mengingatnya. Aku terlahir di dunia ini untuk mencari perbekalan sebelum
melanjutkan ke jenjang di mana semuanya akan abadi, dan salah satu perbekalan yang
nyata dalam episodeku kali ini adalah kembali ke jalan-Nya.

Dalam baitan kata-kata yang telah aku rangkai seindah mungkin ini, aku
ingin menyampaikan padamu bahwa manusia adalah makhluk yang terkadang lalai,
aku pun juga sama begitu. Dulu, aku juga sangat berputus asa dari rahmat-Nya, ingin
sekali aku memiliki keluarga seperti keluarga yang ada diluar sana, selalu Kersatu untuk
melindungi, menyayangi.

Tapi, kini aku tersadar semuanya bukan tentang memiliki tapi tentang
mensyukuri. Dan, kini aku bersyukur kepada-Nya, Tuhan semesta alam yang sangat
memperhitungkan segala sesuatu sehingga semuanya menjadi adil meski terkadang
makhluk-Nya merasa kurang.

Sekarang jika dirimu pernah mengalami apa yang dulu pernah aku alami,
lihat dan bacalah dengan cermat apa yang akan aku tuliskan setelah ini, lalu renungkan
dan pikirkan apa langkah yang akan kau ambil selanjutnya, dan itu terserahmu.

Successful people have a dark past, and people who are now in the dark must
have a bright future. So, apakah kau ingin merubah takdirmu atau tidak? Semua itu
tergantung pada usahamu^_^

Salam Manis,
Arissa Fredelina.

Arissa untuk Marissa | 121

Anda mungkin juga menyukai