Anda di halaman 1dari 5

Pada jarak, bisakah kita berdamai?

Langit yang rindu pada bumi, kini mengirimkan hujan sebagai bahasa kerinduanya.
Rintiknya yang syahdu, ikut membawa hayalku menjelajah ke satu tahun yang lalu.
Sekilas, memori ingatan memperlihatkan Bangunan sekolah dengan hamparan tanah
hijau di depannya, tempat pertama kali kita bertemu waktu itu.

Seorang anak laki-laki berseragam putih abu-abu yang tawanya masih sangat terasa.
Mengalun merdu, seperti irama lagu yang selalu kunikmati kesenduannya. Namun,
sekarang tak lagi dapat kudengar sapaanya, tak kutemukan lagi raut wajahnya dan
bangku tempat ia bergelut dengan tugas dan materi kini sepi tanpa pemiliknya.

"Jangan jauh-jauh pilih universitas ya kak."

Kau memberiku anggukan, lalu kembali terdiam. Aku tidak tahu apa yang sedang kau
pikirkan. Halte saat itu memang sunyi, tapi tidak dengan isi kepalamu. Aku tahu, dua
pekan lagi Kau akan melepaskan seragam putih abu-abumu itu dan akan menginjak
dunia baru. Mungkin kau sedang memikirkan hal itu, atau sesuatu yang tidak aku
ketahui.

Suara petir memecahkan kesunyian. Perlahan hujan pun ikut beradu suara disertai
angin yang tak ingin kalah. Sebuah jaket yang kau kenakan kini berada dibahuku.

"Pakai dulu Syifa cuaca sangat dingin. Setelah bus datang baru berikan padaku,"
ucapmu yang mampu membuyar fokusku.

Mengapa kalimat yang keluar dari bibirmu sangat berharga bagiku? Apakah karena
kau yang sangat irit bicara itu, hingga aku selalu suka mendengar suaramu. Jika
suaramu adalah alunan melodi, mungkin sudah kuputar ratusan kali di pemutaran
musik.

"Syifa, bisakah kamu menghitung berapa tetes air hujan yang jatuh?"

Aku menggeleng, sedang kau senyum-seyum sendiri.

"Begitupula jumlah pesan rinduku yang akan kutitipkan pada hujan."


Mati-matian kutahan bibir agar tetap terlihat datar, supaya kau tidak mengejekku
baper saat itu. Tapi sialnya, garis melengkung itu kini terukir di wajahku. Benar saja,
kau menertawaiku yang sedang salah tingkah ini. Hingga, akupun ikut tertawa
melihat pipimu yang memerah menertawaiku.

Di dalam bus, kau kembali sunyi. Aku pun ikut terdiam sembari mencerna kata-
katamu di halte tadi. Katamu, kau akan menyimpan rindumu pada hujan, apakah itu
artinya kau akan pergi kuliah di kota seperti kata Kak Asran saat berbincang
denganmu di kantin.

Aku kembali larut dalam lamunan, wajar saja kau memilih universitas terbaik.
Seorang siswa yang tekun belajar dan selalu menduduki peringkat lima besar
sepertimu tentu saja akan memilih tempat yang lebih baik. Bukannya aku bilang
kuliah di desa tidak baik, hanya saja tentu ada pengalaman baru yang akan kita
temui, serta wawasan baru yang mungkin tak kita jumpai di sini. Kau juga punya cita-
cita yang tentu ingin kau raih.

"Ahmad Rafka Ardinata."

Kau naik ke atas panggung saat mc menyebut namamu sebagai lulusan terbaik
kategori siswa teladan. Aku ikut gembira mendegar itu, di tambah senyuman yang
menghiasi wajahmu cukup membuat aku dan orang-orang di gedung ini ikut senang
sembari memberikan tepukan gemuruh sebagai bentuk apresiasi dari apa yang telah
kau raih.

Dapatkah kulihat senyuman dingin itu lagi setelah hari ini?

Kak Rafka adalah sosok yang bijak, rajin, baik dan sopan. Selain dari itu kau juga
sering mengikuti olimpiade mewakili sekolah, piala-piala di kantor adalah saksi atas
prestasi yang kau capai.

Katakan padaku sekarang, siapa yang tidak mengagumi sosok sepertimu?

Maka, wajar saja jika banyak teman dan adik kelasmu yang mengagumimu. Tapi
bisakah aku berbangga diri, karena dibalik sisi yang dingin dan cuekmu kepada
mereka kau punya sisi hangat yang kau perlihatkan padaku.
Sepulang sekolah aku, Kak Azza dan Fatimah pergi ke warnet, tempat biasa yang kau
kunjungi. Sengaja aku mengajak mereka ke sini, selama ujian semester genap
berlangsung kami bertiga tak lagi sering kumpul bersama. Mungkin beginilah
konsekuensinya, memiliki sahabat beda angkatan. Tapi bagiku itu bukanlah suatu
masalah, karena dengan beginilah kami bisa saling bertukar ide dan pemikiran.

Bukankah kau sendiri yang pernah mengatakan padaku dulu, untuk lebih banyak
bergaul dengan orang-orang yang membawa pengaruh positif. Dan ya, sama yang
seperti kau katakan, bahkan sebelum kau mengatakannya, aku sudah melakukan hal
itu.

Aku belajar banyak hal dari mereka bedua. Seperti Kak Azza yang memiliki jiwa
sosialisasi dan tegas, maka tak heran jika sekarang ia menjabat sebagai Ketua Osis di
sekolah. Ataukah dari Fatimah, gadis pendiam dan tekun yang punya wawasan cukup
luas.

Kutatap bangku kosong di pojok kiri itu. Berharap beberapa menit ke depan bangku
itu tak lagi sepi dan akan di isi olehmu.

Angka jam di ponselku sudah berubah, tapi bangku itu masih sama, kosong seperti
tadi. Ia juga sama sepertiku, menunggumu penuh resah.

Sebuah notifikasi darimu masuk di ponselku. Kak Azza dan Fatimah menatap heran,
melihat aku dengan posisi duduk penuh resah. "Kenapa syif?" Mereka bertanya
padaku, tapi tak kugubris pertanyaannya. Aku hanya meminta maaf untuk pamit
lebih cepat.

Pelabuhan sore ini sangat ramai, ke sana-kemari aku mencari sosokmu. Hingga
pandanganku membeku mendapatimu. Sosok tinggi tegap dengan ransel hitam yang
melingkar di punggungmu, serta satu koper berwarna abu yang sedang erat dalam
genggamanmu.

Dan sekarang kau akan benar-benar pergi!

Perlahan hujan mulai menerpa, pas sekali ia turun saat hujan di pelupuk mata juga
ingin membasahi pipiku. Mati-matian aku menahan agar tidak lolos di hadapanmu,
tapi satu perkataanmu mampu meluapkan air mata yang sedang kutampung sedari
tadi.

"Mungkin beberapa tahun ke depan aku menetap di sana."

"Lantas bagaimana kalau aku rindu?" kuajukan sebuah pertanyaan itu tanpa rasa
malu di hadapanmu, meski sebenarnya enggang ku katakan, sebab aku sadar. Punya
hak apa aku menjadi perindu untukmu? Bukankah aku hanyalah adik kelasmu? Tapi
meski begitu kuharap kau punya rasa yang sama denganku. Maaf jika hayalku terlalu
tinggi.

"Jika kau lihat hujan turun, titipkan saja rindumu di sana. Nanti hujannya akan
sampai ke kota Makassar dan menemuiku," ucapmu sembari tertawa pelan.

Kini telah tibalah hari pelulusanku. Sama sepertimu, aku meraih penghagaan sebagai
lulusan terbaik kategori siswi teladan. Jika kau ada di sini apakah kau akan ikut
berbahagia atas pencapaian yang kuraih? Kuharap seperti itu.

Kak Rafka, tunggu aku di sana. Dan biarkanlah aku sendirilah yang menemuimu
menuntaskan segala rindu yang selama ini kutitip pada hujan.

Bio Narasi
Agustiana Amanda Putri, kerap disapa Ana. Lahir di Wajo bulan agustus. Sekarang ia
duduk di bangku Madrasah Aliyah. Tepatnya
di MA As'adiyah Lapai. Saat ini aktif menjadi
Pengurus OSIS sekaligus sebagai Ketua OSIS
periode 2022-2023. Jika pembaca ingin
berkenalan denganya sapa melalui
Instagram @agustianaamandaputri_

Anda mungkin juga menyukai