Anda di halaman 1dari 2

Selepas Wisuda

Pagi ini, Suara tepuk tangan telah terdengar begitu meriah ditelingaku dan
terlihat senyum yang indah di wajah para tamu yang hadir dalam acara wisuda
ini. Sumber suara itu tak perlu dipertanyakan lagi, tentunya berasal dari Aula.
Hal ini menjadi suatu pertanda baik bagi kita semua bahwa seluruh siswa/i
kelas XII telah dinyatakan berhasil menempuh pendidikan disekolah favorit ini,
SMK SRI BHAVANA. Kebanyakan orang menganggap bahwa wisuda adalah
momen sakral yang dinanti – nantikan bagi pejuang bangku Pendidikan selama
ini. Tetapi, berbeda dengan Aku sebagai salah satu peserta wisuda disana. Sejak
acara ini dimulai, Aku hanya berdiri dengan ekspresi datar dan ingin rasanya
agar acara ini cepat berlalu, hanya ingin pulang.
“Vanoo… vano elo mau kemana sih ?? Acara wisuda ini belum kelar, masih ada
sesi foto bareng tiap kelas !”, Tutur Azhar yang memang dari sananya suka
perhatian ke semua teman – temannya, Maka tak heran Ia memiliki banyak
penggemar dan menjadi salah satu wisudawan terbaik disekolahku. Aku hanya
menoleh sebentar dan pergi meninggalkannya dengan lekas. Disaat itu,
Langkah kaki ini kupercepat menyelusuri lorong sekolah dan bersikap bodo
amat dengan keadaan disekitar yang aku tahu pasti banyak orang
memperhatikan aksiku. Cendana 5, Aku telah berhasil sampai didepan kamar
ku dan tangan ini mulai bergerak mencari kunci dari saku seragamku. Sepatu ini
mulai kulepas satu per satu dan kurebahkan tubuh penuh beban ini dikasur.
Mataku hanya menatap kosong langit – langit kamar yang begitu kusam dan
ingin meluapkan kesedihan ini melalui tangisan tapi bingung kepada siapa dan
semakin dewasa mulai lupa nadanya. Perasaan ku sangat sedih dan cemburu
melihat teman – teman wisuda dengan Bahagia bersama kedua orangtuanya
tanpa beban sedikitpun. Ya Tuhan, mengapa Ayah dan Ibu tidak dating diacara
special ini, apakah masih marah kepadaku karena tak mengindahkan
perkatannya. Saat ini, benar - benar aku berada pada titik dilema, Andaikan
saja kedua orang tuaku bisa memahami keinginanku untuk melanjutkan
Pendidikan Dokter. Tetapi, mustahil rasanya karena harus dituntut bekerja
setelah tamat dari sini agar bisa punya banyak uang dan siap untuk menikahi
gadis yang tidak kucintai, tetapi jodoh dari orangtuaku.

Tak terasa air mata ini mengalir dengan sendirinya. “Ahh, gue kenapa sihh !!
Laki – laki gak boleh lemah dan pasti bisa melewati masalah ini” Tak sadar
kalimat ini pun keluar dari mulutku sambil berdiri melihat cermin yang ada.
Krekk… tiba – tiba, pintu kamar terbuka. Tanpa sengaja aku bertatapan dengan
Ashar sebagai teman kamarku dan disusul Reno dari belakang. Mereka berdua
masuk ke kamar yang memang satu kamar ini siap menampung 3 orang. Aku
pun panik dan berusaha untuk mengambil tisu agar menghilangkan bekas air
mata ini. Walaupun tetap bersikap tenang, Akan tetapi terlambat sudah karena
Ashar tetap saja curiga dan menanyaiku “Ada apa van kamu habis nangis yaa ?”.
Andra yang awalnya bersikap cuek dan segera ganti baju, malah terhenti
sejenak karena ketawa mulai melihat tingkahku yang menurutnya konyol
“Vano kamu nangis karena kita akan berpisah ?? cengeng amat, santai aja kali
kita kan pasti bertemu lagi dilain waktu… Saya mah biasa saja kok” cetus Andra
yang memang suka bercanda dan jahil orangnya. Ashar pun sepertinya mulai
paham dengan situasi yang kualami saat ini, “Husstt… Andra lo itu mulutnya
bisa dikotnrol dikit nggak atau mau gue cobekin ? Kasian tau Vano sebagai
saudara kita digituin, pasti lagi membutuhkan jalan keluar tetapi bingung
caranya !” Ucap Ashar yang mulai mendekat kearah ku.

“Iya maaf – maaf hanya iseng kok, emangnya ada apa sih Van ?? kalau ada
masalah tuh diceritain ke kami, siapa tahu bisa dibantu atau berikan solusi”
Tutur Andra yang mulai mendekatiku juga. Aku mulai duduk tersandar ditepi
ranjangku, diikuti Ashar yang mulai merangkul ku, sehingga meyakinkan ku
bahwa kedua teman ku ini bisa menjadi pendengar yang baik. Aku pun mulai
menceritakan semuanya “Selam aini, aku bingung

Anda mungkin juga menyukai