Anda di halaman 1dari 4

Antara Abu Putih atau Merah Putih

Dear Diary,

Hai, ini aku, Salsabila Amurwati. Panggil saja Sal. Umurku 25 tahun, dan kini aku
berprofesi sebagai pewara berita. Hobiku menulis. Namun, aku sudah lama tidak menulis diary.
Jadi mungkin, susunan kataku cukup rumit untuk di pahami, mohon di maklumi!

Alasan ku mulai menulis diary lagi? Mungkin kamu akan bertanya hal itu. Sebenarnya
cukup klise, karena kata orang, jika kamu mengalami hari yang buruk, mungkin kamu bisa lebih
tenang setelah mencurahkan isi hati dalam sebuah tulisan, dan aku yakin itu benar adanya.

Atau mungkin, karena ada seseorang di masa lalu yang menyukainya? Sebenarnya aku
tidak sedang mengalami hari yang buruk, Wahai Diary. Namun, kenapa buku ini malah basah
karena tetesan air mata? Aku tidak tahu. Mungkin, aku hanya perlu menceritakan kisahnya
untukmu.

Kisah ini bermula saat aku berada di masa putih abu, masa terindah untuk anak
seumuranku. Sudah cukup lama, tapi menurutku itu baru. Kala itu umurku 16 tahun, ketika Papa
dan Mama akhirnya memutuskan untuk berpisah, hak asuhku pun beralih ke Papa dan aku harus
pindah ke sebuah desa di Jogjakarta. Sekolah baru dan lingkungan baru tentunya akan sangat
berbeda dengan Ibukota. Untungnya aku sudah memiliki teman sejak pertama kali bersekolah
disana. Namun, masalah pertama pun datang. Saat pertama kali masuk sekolah, aku sempat tidak
mendapatkan bangku. Sehingga aku harus menempati bangku anak laki-laki yang kala itu sedang
izin karena mengikuti sebuah pelatihan.

“Hai Sal! Namaku Ratih. Aku duduk tepat di seberang mu. Kalo kamu mau, bangku mu
bisa ku geser. Agar tidak duduk bersama Si Molor,” kata gadis berwajah sawo matang sambil
merendahkan suara di kalimat terakhir. Aku pun menoleh ke samping, mendapati seorang
pemuda yang kini tertidur lelap padahal waktu baru menunjukkan pukul delapan tepat.

“Boleh,” sambutku.

“Yes, tidak enak juga kalo kamu duduk berdampingan dengan laki-laki, nanti bisa
digibahin satu angkatan” serunya. Aku mengangguk.
Hari-hari pun ku lalui seperti halnya anak SMA lainnya. Aku belajar, ikut beberapa
kegiatan organisasi ataupun event bahkan bolos pelajaran bersama teman sekelas. Sampai tiba
suatu hari, ketika sang pemilik bangku secara tidak langsung masuk ke sekolah.

Hari itu, sekolah tampak ramai, tidak seperti biasanya. Katanya ada pemain bola yang
datang. Aku tidak terlalu peduli. Namun, saat aku masuk ke kelas, bangku ku sudah ditempati
oleh lelaki berbadan kekar yang sedang bersenda gurau bersama teman kelas lainnya. Aku belum
pernah melihatnya. Apa juga yang dia lakukan di bangku milikku?

“Permisi, aku mau meletakkan tas ku,” izinku padanya.

Dia melihat ku sekilas lalu berkata, “Kamu pasti anak baru itu, ternyata lebih cantik
ketika dilihat secara langsung ya?” ucapnya sambil disambut sorakan dari teman kelasku yang
lain.

“Tapi maaf cantik, ini bukan bangku mu, tapi bangku ku.” Katanya sambil turun dari
bangku dan mengulurkan tangan. “Aku Mahen, yang katanya Si Paling Dispen. Kebetulan saat
kamu masuk kesini, aku sedang ada pelatihan. Jadi tidak sempat bertemu denganmu. Salam
kenal cantik,”

“Dia Sal, udah Mahen jangan ganggu Sal. Dia baru beberapa minggu disini, jadi tentu
saja tidak tahu kamu,” seru Ratih, penyelamatku.

Akhirnya remaja kekar itu memilih untuk mengalah dan memberikan bangkunya
kepadaku. Katanya ini hari terakhir dia untuk bersekolah di sekolah ini dan akan pindah ke
ibukota karena ada pelatihan disana. Sebenarnya, siapa lelaki ini sampai harus pindah ke ibukota
hanya untuk pelatihan?

“Namanya Mahen, dia lolos jadi atlet timnas sepakbola. Jadi, dia sering tidak masuk
sekolah dan pada akhirnya memutuskan untuk pindah. Dia memang mata keranjang, namun
sebenarnya cukup baik anaknya. Dan itu temannya Mahen. Namanya Rangga. Anak ibukota dan
lebih baik serta lebih tampan daripada Mahen. Hari ini sekolah ramai karena ada mereka berdua,
mereka adalah idola para gadis disini. Dan asal kamu tau Sal, aku cukup dekat dengan Mahen.
Namun, kami memilih untuk merahasiakannya, karena jika tidak. Mungkin kami berdua sudah
mendapatkan sanksi social bahkan dikeluarkan dari sekolah.” Jelas Ratih panjang lebar. Aku
mengangguk paham, lalu melihat lurus kearah remaja di samping Mahen yang kini menatap ku
hangat.

Iya. Dia rangga. Remaja asal ibukota yang berhasil menaklukan hatiku. Pertemuan
singkat itu cukup bermakna untuk kami berdua. Saat pulang sekolah rangga memutuskan untuk
mengantarku.

“Halo, aku Rangga. Kamu yang namanya Sal?” tanya Rangga menyelaraskan jalannya
denganku. “Iya,” jawabku singkat.

“Akhirnya aku bisa bertemu dengan mu Sal. Mahen banyak bercerita tentang mu, dan
mungkin aku langsung jatuh hati kala itu.”

Mahen? Bukankah aku dan Mahen baru bertemu hari ini, bagaimana dia tahu tentangku?
Oh, aku lupa. Mahen memiliki hubungan kusus dengan Ratih, jadi tentu saja dia tau tentang ku.
“Kamu tau aku dari Mahen?” tanya ku padanya.

“Sebenarnya tidak. Aku sudah tau kamu sejak kamu berada di ibukota. Kita satu
lingkungan, namun mungkin kamu jarang melihatku. Aku sudah mencintaimu sejak kala itu Sal”
jelasnya.

Ternyata, kisah kami semudah itu terjadi. Bermula dengan percakapan singkat hingga
membuat kami saling terpikat. Akhirnya kami memutuskan menjalin hubungan, namun tentunya
di belakang awak media. Ada banyak hal indah yang ku lalui bersama Rangga. Dia lelaki yang
hebat. Mungkin, sosok ayah yang ku inginkan bisa digantikan dengan sosok Rangga. Dia
akhirnya menjadi timnas muda yang mencetak banyak anugerah. Dia sering datang ke jogja
hanya karena merindukanku. Dia datang kesini sambil membawakan makanan kesukaan atau
sekedar oleh-oleh. Jika waktu yang dia dapatkan cukup lama, dia akan mengajakku jalan jalan
keliling jogja sambil berbincang bersama.

Namun, hal itu tidak berjalan lama. Dia adalah pemain timnas, sudah sepatutnya
memiliki banyak penggemar yang menggema di mana mana. Suatu hari foto kedekatan kami
beredar, saat itu Rangga mengajakku untuk pergi ke sebuah mall untuk membelikan sebuah
bingkisan untuk ulang tahunku. Namun seseorang yang tidak kami ketahui, malah memotret
kedekatan kami. Tagar Rangga sang pemain timnas muda pun trending dimana-mana. Wajahku
memang terlihat dengan jelas. Berbagai komentar pedas nan jahat langsung menyerbu akun
social mediaku. Kami pun memutuskan untuk berpisah. Antara abu putih atau merah putih.
Akhirnya Rangga memutuskan memilih merah putih, ibu pertiwi lebih membutuhkan sosok
hebat seperti dirinya, dibandingkan aku yang harus bersamanya.

Kemarin, aku harus meliput berita tentang kemenangan pertama timnas sejak beberapa
tahun lamanya. Setelah kisah sedih kami lalui, kini aku harus bertemu lagi dengan masa lalu
yang bahkan tidak aku miliki. Aku menangis dan memutuskan untuk menulis diary karena ini.

Aku ingin sedikit berpesan untukmu Rangga. Kamu tau? aku berhasil melupakan masa
lalu untuk memulai cerita baru, tapi aku gagal mencintai orang baru sebaik mencintai dirimu.
Hari setelah bertemu denganmu, aku harus mengakhiri hubunganku dengan yang baru, Karena
ternyata, cinta ku hanya ada untukmu.

Semesta memberi kita waktu untuk saling mengerti apa arti cinta Rangga, dan kini
semesta juga mengajarkan bagaimana merelakankan satu sama lain. Kamu tau, tidak ada yang
baik-baik saja selepas perpisahan, dan perlu waktu untuk menyusun kembali hati yang patah.

Semesta suka bercanda untukku Rangga. Setelah kehilanganmu, aku seperti kehilangan
arah, mungkin kamu tidak begitu. Karena semua orang menyukaimu dan kini kamu berada di
tempat terbaik hidupmu. Aku bangga padamu.

Dan ternyata semesta hanya ingin kita berjumpa, bukan untuk bersama.

Dan kini, kita benar benar tidak bersama. Terimakasih sang garuda, pilihan merah putih
adalah yang terbaik bagimu, tenang saja, namamu akan selalu terukir di dada.

Jakarta, 20 November 2023

Sal.

Anda mungkin juga menyukai