Layout :
Diterbitkan oleh:
SulQa Press
Jl. Sultan Qaimuddin, No. 17, Baruga, Kendari, Sulawesi Tenggara
Email: Sulqapress@iainkendari.ac.id
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur selalu kami panjatkan kehadirat Allah Swt yang
telah memberikan kita semua nikmat kesehatan dan keikhlasan
sehingga dapat menyelesaikan buku yang berjudul “ JIKA TIDAK
ADA HARAPAN” ini. Shalawat serta salam taklupa pula kita
haturkan kepada junjungan besar kita nabiullah Muhammad Saw
fialah sang revolusioner sejati.
Dengan adanya buku ini kami berharap bertambahnya banyak
harapan yang pupus karena cara memandang dunia hanya dari
pendengaran saat belum membuka mata dalam melihat dunia.
Semoga dengan buku ini kita dapat melihat banyaknya potensi alam
bahkan dari sumber daya manusianya yang dapat memberikan efek
positif terhadap tanah air tercinta.
Kami sadar masih banyak kekurangan dalam buku kami dan
masih banyak yang harus kami perbaiki lagi, maka itu kami
membuka ruang untuk kami menerima saran dari sesiapapun
sehingga kedepanya dapat kami perbaiki kembali dan tidak
mengulangi kesalahan yang sama.
Amanda La Hadi
Abdul muis,Dkk…
Kata Pengantar………………………………………………………………
Daftar Isi……………………………………………………………………...
Judul 1 Tidak Harus Sempurna
Aisyah………………………………………………………………………..
Judul 2 Membangun Harapan Pada Tulang Tanah
Aniesha Priya Rahma……………………………………………………….
Judul 4 Harapan Di Ujung Sungai
Anisa Dwiyanti………………………………………………………………
Judul 5 Sepucuk Harapan Di Rumah Tengah
Silfi Tri Andira……………………………………………………………….
Judul 6 Seribu Cerita Kehidupan Di Pulau Nusantara
Hadijah Nur Fitriani…………………………………………………………
Judul 7 Cerita Di Ujung Senja
Abdul Muis…………………………………………………………………...
Penutup……………………………………………………………………….
Profil Penulis………………………………………………………………...
TIDAK HARUS SEMPURNA
(Aisyah)
Pov………
Dari jauh terlihat seorang wanita muda sedang berjalan
berkeliling menikmati indahnya malam pameran, tidak berhenti
seorang pemuda memandanginya dari kejauhan. Namun tampaknya
wanita itu sedang tidak baik-baik saja, ia berputa menengok kanan
dan kirinya seperti sedang melihat hal lain yang aneh dan bruuuk
tubuh wanita itu jatuh. Esa berlari mendekati wanita itu yang sedari
tadi memperhatikannya tanpa tahu siapa wanita baru itu, seketika
orang-orang berkumpul dan melihat apa yang terjadi. Esa
menggendong wanita itu dan membawanya berlari mengarah ke
rumah ibu ulan yang tidak jauh dari lokasi pameran.
“Bibi bantuin dia pingsan saat di pameran” suara esa memanggil ibu ulan
“Loh kok bisa, sini sa bawa ke kamarnya biar bibi ambilkan air hangat dulu”
Dengan perlahan esa meletakkan acha di tempat tidur dan
menyelimutinya dengan selimut yang nyaman dan menemani acha
sambil memijat tangan acha beberapa saat hingga ibu ulan datang.
“Yaudah bi, aku nunggu di luar aja, kabarin esa kalo dia udah bangun” esa
pamit keluar
“emang nya kamu mau kemana? Nunggu dia bangun aja sekalian kenalan.
Kan kamu udah bantuin bawa dia kesini” cegah ibu ulan agar esa tetap
menemani acha yang terbaring
“Heheheh gak deh bi, nanti aja kalo udah bangun baru esa datang lagi”
“ohiya yasudah nanti bibi panggil esa kalo achanya udah bangun”
“iya bi” esa berdiri beranjak keluar dari kamar.
………………
Pov……………
Tatapan haru melihat sebuah mobil berjalan hingga punggung
mobil yang membawa acha itu berlalu pergi dan hilang dari
pandangan. Tatapan itu dari seorang laki-laki yang sempat
membantu acha malam itu, tanpa mengucap pamit dan terimakasih
kini acha tanpa tahu siapa yang menolongnya kala itu. Esa pria yang
baik dan sopan belum sempat berkenalan dengan acha namun
dengan ikhlas membantu acha kala itu.
“loh esa udah daritadi yah disini” sapa ibu ulan yang melihat esa berdiri
tidak jauh dari perkumpulan orang orang yang mengantar acha ke
mobil
“nggak daritadi juga sih, esa baru tiba aja dari pulang kerja jadi esa sempetin
buat mampir eh ternyata dia udah berangkat duluan heehe”
Perbincangan panjang terjadi dan berakhir begitu saja.
END………………
Anak-anak yang terlahir di tempat ini memiliki banyak
keistimewaan dan memiliki akhlak yang baik. Mereka yang baik,
ramah dan sopan memberikan kesan yang baik dan perasaan tidak
ingin berpisah secepat ini.
Sebanyak apapun aku merangkai kata untuk menggambarkan
tempat ini tidak akan dapat dirasakan oleh siapapun yang
membacanya. Aku hanya ingin menyampaikan perasaan ini melalui
butir-butir kata yang sudah ku susun dengan indah agar ketika setiap
pembaca yang melihatnya dapat terbesit keinginan dan rasa
penasaran untuk juga memijakkan kaki nya ke tempat ini sehingga
ketika pembaca benar-benar merasakannya maka tidak akan ada
pertanyaan perasaan seperti apa yang aku rasakan.
MEMBANGUN HARAPAN PADA TULANG TANAH
(Aniesha Priya Rahmasari)
“Kenapa kah om kita ketawai saya terus, nda kasian kah dengan saya
ini sudah jatuh da basah lagi bajuku” Ujarku sedikit kesal.
“Bagiamana lucu tadi jatuhnya kayak bebek lagi berenang, tadi kan
saya sudah bilang hati-hati lewat situ karna dalam, malah tetap ko
lewati juga” Ujarnya sambil mengejek.
“Iye kak saya kurang tau lulo soalnya”. Ujarku dengan sedikit
canggung
“Tadi kita habis cari pakis kak, pas mau kembali kita lupa jalan
pulang ke kebunnya om” Ujar kami
“Kalau belum hapal jalan lebih baik jangan terlalu jauh cari
pakisnya, sini sa antar pulang kalian” Ujarnya
"Ehh kak, apa di bikin?" Suara lembut seorang wanita dengan logat
tolaki khas daerahku membuat tersadar dari lamunanku, lalu aku
membuka mata perlahan dan melihat seorang gadis berkulit putih
menggunakan baju gamis berwarna biru langit yang ia angkat sedikit
agar tidak basah terkena air sungai. Aku memperhatikan wajahnya,
rasanya aku tidak pernah melihat wanita ini sebelumnya.
"Sa dari rumahnya neneku kak, baru 2 hari disini," jawabnya sambil
tersenyum. Oh rupanya gadis ini bukan asli desa ini, pantas saja tak
pernah terlihat sebelumnya, pikirku. Aku hanya mengangguk sebagai
balasan dari ucapannya.
" kira-kira kak siapa yang harus di persalahkan untuk semua ini,
apakah karna kurangnya kesadaran masayrakat disini atau karna
tidak adanya sanksi yang di berikan oleh perangkat desa ketika
mereka membuang sampah di sungai?" Gadis itu bertanya sambil
melemparkan batu kerikil ke seberang sungai. Dahinya berkerut
seperti sedang berpikir.
"Hmm, hal itu juga sebetulnya yang sedang saya pikirkan dek,ingin
rasanya menciptakan suasana sungai yang bersih dan terbebas dari
sampah. Padahal, sungai ini bisa menjadi kebanggaan tersendiri bagi
desa kita jika kita berhasil merawatnya."
"Betul juga itu yang kakak bilang, padahal kita bisa menjadikan
sungai ini sebagai sarana wisata dengan konsep mencitai alam sekitar,
kita bisa menarik perhatian pengunjung dengan keindahan sungai ini,
dan ketika tempat ini dijadikan tempat wisata tentunya akan
menghasilkan dana yang bisa kita pergunakan untuk kemajuan desa
ini " ucap gadis itu dengan sangat semangat.
"Oh iyaa jadi gini kak zakii, pastinya mereka tidak akan mau
mengindahkan perkataan kita kalau hanya di berikan peringatan
semata, tetapi jika nantinya sungai ini dijadikan tempat wisata maka
otomatis akan membuka lapangan pekerjaan untuk warga disini kak,
kita bisa merekrut sebagian dari mereka untuk menjadi penjaga
petugas kebersihan, satpam, dan lain lain kak..terus....,"
"Oh iyeee omaa, disinii " Gadis yang sekarang kuketahui bernama
Qolbi ini menjawab sambil melambaikan tangan kepada bu Wina
sembari tersenyum lebar menampilkan giginya yang rapi, ternyata
Qolbi merupakan cucu dari Ibu Wina.
***
"Huh apakah kasian ical, kau nda jelas daritadi menyanyi ganti-ganti
terus baru nda masuk nadamu" Edo menghentikan petikan gitarnya
dan menaruh gitar tersebut di dekatku, sepertinya ia mulai bosan
meladeni permintaan ical.
"Eh Bro, kalian lagi sibuk apa akhir-akhir ini?" Aku mengawali
pembahasan ini dengan berbasa-basi terlebih dahulu.
"Ya biasa Zak, masih Kerja di perusahaan situ. Ini juga bisa
ngumpul karna ambil cuti 3 hari" Edo menjawab dengan serius.
Memang dari dulu diantara kita Edo lah yang paling tekun bekerja,
terbukti dengan hasil kerjanya Ia sudah bisa memperbaiki keadaan
Rumahnya yang sangat berbeda ketika aku belum pergi dari desa ini,
dan terlihat dari barang-barangnya yang berkelas.
"Kalau saya sih paling bantu-bantu bapak di kebun, habis itu pulang
jadi pengangguran sampe sore" ical menjawab pertanyaanku dengan
sesekali mengisap rokok yang berada di tangannya.
"Hah? Ya elahh, kan masih kuliah cukkk" ahh iya. Aku lupa kalau
Tomi adalah adik tingkatku, bedanya Tomi memilih berkuliah di
Kampus yang tak jauh dari kampung halaman kami, Saat ini Dia
sedang liburan semester sepertinya.
"Kau nda bosen tinggal di kampung terus Wan? Saya saja pulang
kampung niatku mau liburan, tapi di Desa ini seperti nda ada
kehidupan" ujar Tomi.
"Bosen Broo, eh tapi selama ada Si Qolbi di desa ini Sa jadi tambah
semangat untuk tidak merantau " Wawan menjawab dengan
senyuman Buayanya itu.
"Halahh mana mau Qolbi sama kamu Wan, secara Qolbi itu
pendidikannya tinggi. Pasti nyari yang setara dong, minimal spek
kaya Zaki gini lah" Aku mengerutkan alis mendengar perkataan dari
Ical, mengapa ia tiba-tiba membawa namaku. Ehh tunggu, siapa tadi?
Qolbi? Bukankah dia gadis itu.
"Wihh udah kenalan aja yaa Zak. Gercep sekali kanda" Edo
menanggapi perkataanku sambil bermain mata.
" Diem dulu lah Wan, ribut sekali kau" jawab Ical.
" Kemarin aku dan Qolbi ngobrolin tentang sungai. Katanya sayang
sekali sungai sebagus itu tidak di manfaatkan,rencana kami ingin
mengajak masyarakat desa untuk memberdayakan sungai itu terus di
jadiin tempat wisata,Pasti akan banyak yang datang liburan di desa
kita, nah kan keren tuh kalau desa kita terkenal dengan keindahan
sungainya."Ucapku dengan penuh semangat.
"Tempat wisataa apaan Zak, Mana ada orang yang mau liburan di
tempat gituan" Ucap Ical sambil memegangi perutnya yang sakit
karena tertawa terbahak bahak.
"Iya nih Bro, jangan ngadi-ngadi yaa. Orang sungai udah kaya bak
sampah gitu kok" Lanjut Edo.
" Ya makanya kita bersihin dong biar gak kaya bak sampah " Aku
menanggapi ucapan Edo dengan sedikit kesal.
"Lu aja deh, gua mah ogah. Nih ya, cape-cape kita bersihin ntar juga
semenit kemudian udah ada yang buang sampah lagi, tuh salah
satunya emaknya Wawan kalau buang sampah seplastik gede" Sindir
Ical yang berhasil membuat Wawan yang daritadi diam langsung
angkat suara.
"Bro, gua rasa itu ide yang bagus. Tapi lu harus ingat kalau mau
masyarakat juga mengerti dan setuju sama arah jalur pikir kalian
berdua, maka kita harus menyediakan solusi dari permasalahn yang
ada, bukan hanya sekedar perintah dan kata-kata manis tentang
larangan buangan sampah sembarangan, karna gue rasa mereka juga
tau akibat dari perbuatannya, tapi kondisi yang membuat mereka
tutup mata akan hal itu"
***
ku ketuk pintu rumah pak kepala desa, ketukan pertama tidak ada
jawaban. Lalu ketukan kedua terdengar suara gesekan kunci yang
sedang di buka dari sebrang pintu itu. Kemudian muncul Ibu Desa
memakai daster berwarna kuning dan handuk yang masih terlilit di
kepalanya, sepertinya beliau baru selesai mandi.
"Eh zaki, kenapa nak?" Tanya bu desa dengan senyuman yang tak
pernah lepas dari bibirnya, kemudian aku meraih tangannya untuk
bersalaman.
"Emm anu bu, ada urusan sedikit sama Qolbi. Qolbinya ada?"
Mendengar ucapanku Bu desa menyipitkan matanya.
"Hayoo ngapain nih cari Qolbi " ucapnya sembari tersenyum jahil
kepadaku.
"Eh haha ..eh,,anu tidakji buu, hanya ada urusan sedikit" Aku
menjawab pertanyaan ibu desa dengan sedikit gugup kemudia aku
menggaruk kepalaku yang terasa tidak gatal sama sekali.Entahlah,
mengapa aku merasa gugup padahal niatku memang hanya sekedar
untuk membahas Rencana itu, bukan untuk modus.
"Nda usah malu-malu begitu toh nak Zaki, lagian ibu juga setuju
kalau kamu mau sama Qolbi, he..he..he " Ujar bu desa sambil menoel
lenganku.
"Itu zak, yang lagi kamu cari-cari udah dateng. Tadi mereka Ibu suruh
kepasar beli sayuran," ucap bu Desa sambil menunjuk ke arah
mereka.
"Yaudah nak Zaki, ibu masuk dulu yaa. Mau masak dulu soalnya tadi
belum sempat masak, lagian tuh Qolbi udah ada tadi katanya ada
perlu"
"Ada keperluan apa kak?" Setelah sekian menit kami saling diam,
akhirnya gadis itu menghentikan aktivitasnya dan bertanya
kepadaku, aku terdiam sejenak. Bingung harus memulainya
darimana.
"Gini dek, masih ingat obrolan kita tentang Sungai kemarin?" Aku
memperhatikan gadis itu yang sedang mengingat-ingat. Lalu ia
menjentikkan jarinya.
" Gimana kalau kita realisasikan semua obrolan kita kemarin yang di
sungai?" Tanyaku kepadanya.
"Iya. Adapun sebagai tempat wisata itu nilai plusnya. Tapi tujuan
utama kita adalah kita mencari cara agar sungai itu terbebas dari
sampah dan menjadi indah seperti dulu lagi " Ya. Bagaimanapun
nantinya, aku bertekad mengembalikan kaasrian sungai itu, tempat
favoritku sejak kecil. Aku memperhatikan gadis itu yang sedang
mengangguk-anggukan kepalanya terlihat berfikir.
"Terus kemarin saya udah sempat ngobrolin hal ini pas nongkrong
sama anak-anak"
***
"Yee sirik amat kalian, Disana tuh ada Qolbi. Jadi harus terlihat
ganteng dan memukau di hadapannya, hahaha. Gmna? Harum
gakk?" Ucap wawan sambil terus menyemprotkan parfum ke
bajunya. Pantas hanya Wawan yang langsung setuju tanpa di bujuk
ketika aku menyampaikan niatku kepada mereka, ternyata dia
semangat karena mempunyai niat lain. Ck ck ck, benar-benar buaya.
Setelah itu kami langsung berangkat menuju rumah Pak desa, ketika
kami sampai disana rupanya pak Desa sudah berada di teras rumah
bersama Ibu desa,dan tak lupa Qolbi yang ketika kami sampai ia
sedang membawa sepiring pisang goreng dan disusul Ani yang
membawa senampan Teh panas.Kemudian kami bersenda gurau
terlebih dahulu kepada pak Desa, saling menanyakan kabar dan
sebagainya. Setelah cukup lama barulah kami membahas inti serta
maksud kedatangan kami kepada pak desa.
"Jadi sebetulnya tadi bapak sudah sempat ngobrol juga sama Qolbi
tentang niat baik kalian. Sebelumnya bapak mau berterimakasih
sekaligus mengapresiasi ide dari kalian semua, terutama nak zaki.
Tapi saya mau bertanya, solusi apa yang kalian berikan untuk
menghadapi kebiasaan masyarakat desa yang sering membuang
sampah sembarangan kesana?" Pak Desa menatap kami satu persatu,
lalu mereka hanya saling menyenggol lenganku. Kemudia aku
memberanikan diri untuk menyampaikan solusi yang telah kami
diskusikan sebelumnya.
Aku menghela nafas lega, sesuai kata dosenku niat baik akan selalu
ada jalannya.
***
Tetapi kami tidak putus asa, kami selalu membalas cacian mereka
dengan senyuman dan selalu membersihkan sampah-sampah yang
mereka buang dengan sengaja ke pinggir sungai. Walau kadang hati
ini teriris namun semangat kami tak akan pernah pudar begitu saja.
Ical : Gassss
Edo : Bolehsi, lagian udah ada gazabo juga tadi udh dibuat di pinggir
sungai, jadi bisa tuh duduk-duduk disitu
Qolbi : (Replaying to Wawan) aaa boleh tuu kak, pasti seru bakar-bakar
dekat sungai.
Qolbi : oh iya guys, btw kita bukan hanya sekedar jalan-jalan loh, tapi
kita mau sekalian buat vlog di sungai situ, lumayan nih temen gue
banyak fllowrsnya di Ig.
Qolbi : hahhaa iyaa kakk, oh iya tolong dong kak @Zakii di siapkan
yah tempatnya seestetik mungkin heheh
Anda : Oke.
Tak terasa aku sudah sampai di depan rumah, kulihat ibu yang
sedang menjahit baju dan ayah yang sedang membaca Koran. Hari ini
hari sabtu, jadi ayah sedang libur bekerja dan sedang duduk bersantai
bersama ibu. Segera kusalami keduanya, lalu duduk disamping ibu
dan mengambil sepotong ubi yang ada di atas meja.
" Kamu yakin sungai itu akan di kunjungi banyak orang? Memang
ada orang yang mau berlibur di sungai? Kan biasanya di pantai, mall,
gunung dan semacamnya. "
"Bagi kita tempat seperti itu terlihat biasa, tapi bagi orang kota
seakan melihat surga tersembunyi di sebuah desa " Ibu ikut
menyambung ucapanku, sedari awal Ibu lah yang selalu mendukung
setiap langkah yang kuambil dan tak jarang Ibu memberi masukan-
masukan yang tak terfikirkan.
***
***
“In jam berapa kita mau pergi jalan-jalan sebentar?” Tanya clara
memulai percakapan. “Emmm.. jam berapa bagus dih? Agak siang pi
mungkin ra atau sore, soalnya masih hujan sekarang beh”. “Oke
dehh..” clara mengangguk paham. Mereka pun mulai menikmati teh
hangat buatan clara sembari bercengkrama dan menyaksikan hujan
yang terus membasahi jalanan. Satu setengah jam terlewati dan hujan
masih belum juga berhenti. Mereka berdua mulai merasakan bosan.
“ Deela ini hujan kenapa tidak ada berhentinya hii” keluh iin sambil
menengok keluar pintu.
“Wah.. ada pale kali nya disini in, jadi orang kalo mau ke dusun tiga atau
mau ke sekolah harus menyebrang disini dih?”
“Iye ra, jadi dulu itu kalo saya sekolah tidak pernah kita pake sepatu. Nanti
pi mungkin mau ujian nasional baru kita pakai sepatu” jelas Iin mengingat
pengalamannya semasa sekolah dulu.
**
Sejak pukul 6 pagi, clara sudah siap sedia seperti anak kecil
yang tak sabar pergi ke sekolah setelah libur panjang. sembari
melahap rotinya di meja makan, clara melirik jam tangannya dan
sesekali melihat ke arah jalanan apakah ada siswa yang sudah
berangkat.
“ Bu clara pulang dengan siapa? Bawa motor kah tadi?” Tanya ibu
wati guru yang menemani clara.
“ Hehe tidak bu, tadi saya jalan kaki sama anak-anak lewat kali.”
“Kalau begitu kita pulang sama-sama saja naik mobilnya pak kepala
sekolah”
“Hehe terima kasih ibu, tapi saya pulang sama anak-anak saja supaya
bisa lebih dekat sama mereka. Kebetulan dekat juga saya tinggal
dirumahnya Iin”
**
Hari demi hari sudah clara lewati dengan baik, sejauh ini clara
masih belum menemukan ketidaknyamanan saat tinggal di desa ini,
hanya sesekali ia merasa rindu dengan orang tuanya. Setiap kali ia
rindu hanya bisa berbicara melalui sambungan telpon, clara ingin
sekali bisa melakukan video call saat rindu itu datang namun karena
jaringan di desa tersebut tidak cukup stabil sehingga agak sulit untuk
melakukan video call.
“Bu clara ayo pulang bu” Teriak salah seorang murid merusak lamunan
clara.
“ Iye bu, kita pulang cepat ini hari karena mendungmi. Kayanya mau hujan
deras.” Sahut murid tersebut.
“ kenapa itu in anak-anak yang suka main di depan rumahmu itu, sa nda
pernah lihat dorang di sekolah? Dorang sekolah dimana kah itu?” Tanya
clara dengan wajah penuh penasaran.
Dan tiba lah hari dimana kelas sore dibuka untuk pertama kali.
Kelas sore diadakan di salah satu masjid desa Laikandonga. Jam
sudah menunjukkan pukul 3 sore. Clara sudah siap sedia menunggu
kedatangan anak-anak. Satu persatu anak mulai datang, hati clara
mulai berbunga. Hingga akhirnya hanya enam anak yang datang hari
itu. Tapi clara tak putus semangat, clara tetap memberikan yang
terbaik berapapun anak yang datang di setiap harinya. Clara terus
mengajak setiap anak yang ia temui untuk ikut kelas sore.
Bu kenapa aku tanya dengan penuh heran tak biasa aku temui
dirinya sedang menangis Ibuku memelukku lalu mengobrak pintu
belakang eh buka anakmu mau masuk Aku belum paham apa yang
sebenarnya terjadi tapi hatiku semakin bergemuruh tak tenang lalu di
mana Ayah apakah yang di dalam itu Ayahku.Ibu aku lapar aku
sambil terus mengurus-ngurus bagian perut ibu menggonggolan
nafas lalu menarik tanganku serta adik-adikku ia menuntunku
menuju bagian depan rumah saat tiba di tempat dia berusaha
mendorong pintu depan pintu itu terkunci namun seperti ada yang
menahannya Ibu mendorong-dorong pintu dengan sisa energinya
sedangkan. Aku tak tahu bahwa separuh energi yang telah Ia
gunakan untuk menggaris rezeki yang tadi pagi. Ayah buka Aku
ingin masuk ucapnya kepada ayah yang berada di dalam rumah air
matanya masih mengalir perlahan sedangkan suaranya berubah
menjadi serak aku membantu ibu mendorong pintu itu lalu sedikit
demi sedikit Pintu itu terbuka walaupun Ayahku masih berusaha
menahannya terjadilah aksi dorong-dorong pintu antara Ayah
melawan ibu dengan aku para tetangga melihat aksi itu berserak-
serak seperti sedang menyaksikan pertandingan tarik tambang
namun ayah dan ibuku serta aku tak menghiraukan mereka masih
meneruskan aksi dorong-dorong pintu seperti dua anak kecil yang
sedang bertengkar.
Tak berbeda dengan malamnya hari Idul Fitri di pagi hari juga
terasa biasa saja.Ibuku yang paling parah ia sangat meremehkan
perayaan hari raya Idul Fitri tanah rantau. Setelah melaksanakan salat
Ied ibuku dengan pikiran gilanya justru mencuci pakaian dilkali. Aku
sungguh berkali-kali memanggilnya “ibu ada orang di rumah kita”.
dan ia menjawab “sebentar kurang sedikit”.Begitu terus jawabannya
Ia memang terkenal penunggu Kali berjam-jam sampai sore hari
entah apa yang ia kerjakan selain mencuci pakaian dan perabotan.
Aku berpikir wajar jika orang-orang memanggilnya si penjaga kali.
Pertemuan
“ Mentari “ ucapnya...
“ Ya... kita semakin dekat dan aku merasa nyaman jika berada
disisinya heheheheheh”.
Tak selamanya
Aku balik dan melihat mata yang sama dulu penuh dengan
kekosongan, sekarang aku melihat mata itu menjatukan air mata, dan
aku masih terdiam kehilangan kata.
“ esok aku akan kekota dan akan lama kembali lagi, ku harap
kau masi disini ditempat ini disaat aku kembali nanti “ucapnya..
Tak lama bercerita ia pun pamit untuk kembali dan aku masi
terdiam seribu bahasa, aku berbalik dan melihat raut wajahnya masi
memerah karna air mata yang terus mengalir, apa aku uda salah
karna tak membuka suara hanya diam saja.
Hari esok pun datang hari di mana aku akan melihat ia pergi
jauh dari pandanganku, aku sengaja melihatnya dari kejauhan bukan
karna aku tak berani mengcupkan selamat jalan padanya akan tetapi
aku tak mau ia pergi dgn berat hati, aku tau telah melakukan
kesalahan tapi ini lah yang bisa aku lakukan untuknya dan
mendoakan semoga apa yang ia impikan dapat ia capai.
Tak terasa waktu begitu cepat berlalu sudah setahun lebih aku
coba melupakannya akan tetapi semakin aku lupakan semakin semua
itu kembali menguat dalam pikiranku, di dalam heningnya malam
didalam kamar aku melamun tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara
yang memanggilku dari luar rumah, ternyata suara itu adalah suara
sahabatku Hendra.
Tak selang lama aku pun keluar dari kamar dan ia telah
menungguku di atas motor aku pun menuju ke arahnya, malam itu
aku sekilas melupakan masalah yang kupikirkan, tak lama kemudian
aku sampe ditempat salah satu toko yang tak asing lagi bagi ya itu
adalah toko tempat jualan minuman keras, aku terdiam sejenak
sambil melihat sahabatku berlalu ketempat penjual tersebut tak lama
aku menunggunya ia keluar sambil memegang katong kresek sambil
memberitahuku.
Kamipun berlalu dari tempat itu menuju kesuatu tempat sunyi untuk
mabuk-mabuk, semenjak kejadian itu aku pun berubah total karna
keseringan melakukan minuman keras, membuat kegeduhan dimana-
mana mabuk sana-sini, aku tak pentingkan lagi apa kata orang-orang
dikampung bahkan nasehat orang tuaku pun aku tak perduli lagi, aku
bergaul dengan orang-orang patah pulpen dari mereka pula aku
mengenal apa yang dinamakan dunia malam, seiang kujadikan
malam, dan malam kujadikan siang, sampe disuatu ketika aku
disadarkan karna kesalahanku yang watal sampai membuat ibuku
menjatukan air mata, sunggu dosa besar yang perbuat, ia aku tau
selama perubahanku aku telah melakukan dosa sana sini tapi dosa
yang kuperbuat kali ini bahkan akupun tak memaafkan diriku sendiri
karna telah menjatuhkan air mata kedua orang tuaku, karna
pengaruh pergaulan dan minuman keras aku telah memukul orang
dan mendapatkan sangsi ADAT.
Malam itu aku memukul orang yang tak tau apa-apa, dan
akupun tak tau kalau aku telah memukul orang malam itu, pagi-pagi
aku terbangun karna suara yang sangat ramai didepan ruamah
membuatku terbangun, aku sangat kaget melihat suasana rumah
yang belum perna aku lihat sebelumnya, pagi itu aku disuruh duduk
sambil melihat sekeliling disitu ada, Pak Desa, Polisi, Tokoh Adat,
Keluarga dan masyarakat, yang lebih membuatku bingung ada sosok
pemuda yang belum perna aku lihat dan ditamba lagi seperti habis
dipukul, tiba-tibak Pak Polisi berkata
“jadi bagai mana untuk kedua belak pihak apa mau diatur
damai secara Hukum Adat atau secara Hukum yang telah Ditetapkan
oleh Negara” ( ujar pak polisi).