Anda di halaman 1dari 83

Sinopsis:

Abdul muis,Dkk, jika tidak ada harapan, 2023


Buku ini menyalurkan dan banyak
menyelipkan pelajaran yang dibungkus
serapih mungkin karena pada dasarnya di era
ini banyak cerita yang dapat kita dengar
sehingga berani menilai suatu keadaan bahkan
seseorang, namun buku ini memberikan
fenomena lain bahwa hal yang dapat membuat
kita belajar dan dapat melihat dunia dengan
penilaian kita sendiri bukan berasal dari orang
lain melainkan pengalaman. Dari pengalaman
memberikan kita pelajaran yang dapat
diimplementasikan dalam praktek kehidupan
sosial yang terus berjalan sampai kapanpun
sehingga dari pengalaman dapat memberikan
kita tanda perhatian untuk tetap berhati-hati
dalam keadaan apapun.
JIKA TIDAK ADA HARAPAN
“Pendidikan sebagai kewajiban bukan keinginan”

Penulis : Abdul Muis, Dkk

Editor : Amanda La Hadi

Layout :

Desain Sampul : Aisyah

Copyright © Abdul Muis, Dkk 2023


Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memplagiasi atau memperbanyak buku ini tanpa seizin
Penerbit.

Edisi cetakan I, tahun 2023


Jumlah halaman:

Diterbitkan oleh:
SulQa Press
Jl. Sultan Qaimuddin, No. 17, Baruga, Kendari, Sulawesi Tenggara
Email: Sulqapress@iainkendari.ac.id
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur selalu kami panjatkan kehadirat Allah Swt yang
telah memberikan kita semua nikmat kesehatan dan keikhlasan
sehingga dapat menyelesaikan buku yang berjudul “ JIKA TIDAK
ADA HARAPAN” ini. Shalawat serta salam taklupa pula kita
haturkan kepada junjungan besar kita nabiullah Muhammad Saw
fialah sang revolusioner sejati.
Dengan adanya buku ini kami berharap bertambahnya banyak
harapan yang pupus karena cara memandang dunia hanya dari
pendengaran saat belum membuka mata dalam melihat dunia.
Semoga dengan buku ini kita dapat melihat banyaknya potensi alam
bahkan dari sumber daya manusianya yang dapat memberikan efek
positif terhadap tanah air tercinta.
Kami sadar masih banyak kekurangan dalam buku kami dan
masih banyak yang harus kami perbaiki lagi, maka itu kami
membuka ruang untuk kami menerima saran dari sesiapapun
sehingga kedepanya dapat kami perbaiki kembali dan tidak
mengulangi kesalahan yang sama.

Kendari, 13 September 2023

Amanda La Hadi
Abdul muis,Dkk…

JIKA TIDAK ADA HARAPAN


“Belajar sebagai kewajiban bukan keinginan”
DAFTAR ISI

Kata Pengantar………………………………………………………………
Daftar Isi……………………………………………………………………...
Judul 1 Tidak Harus Sempurna
Aisyah………………………………………………………………………..
Judul 2 Membangun Harapan Pada Tulang Tanah
Aniesha Priya Rahma……………………………………………………….
Judul 4 Harapan Di Ujung Sungai
Anisa Dwiyanti………………………………………………………………
Judul 5 Sepucuk Harapan Di Rumah Tengah
Silfi Tri Andira……………………………………………………………….
Judul 6 Seribu Cerita Kehidupan Di Pulau Nusantara
Hadijah Nur Fitriani…………………………………………………………
Judul 7 Cerita Di Ujung Senja
Abdul Muis…………………………………………………………………...
Penutup……………………………………………………………………….
Profil Penulis………………………………………………………………...
TIDAK HARUS SEMPURNA
(Aisyah)

Terbangun dan menemukan pagi dengan cahaya matahari


yang menyongsong menyinari bumi raya, tetesan air dari embun pun
masih terasa oleh dedaunan hijau yang menjadi penyampai tetesan
air embun ke tanah. Dinginnya udara pagi hari memberikan
kesejukan nan nyaman untuk terus dinikmati, ketenangan yang dicari
dan diinginkan setiap orang pada era saat ini tetap dapat ditemukan
di salah satu desa yang ada di atas dataran Indonesia. Udara yang
kerap dirasakan di tengah keramaian kota memberikan keinginan
kembali menikmati kesejukan alam. Suasana desa adalah hal yang
selalu dirindukan untuk banyak orang-orang yang jauh dari
pedesaan.
Jauh dari pandangan mata kota, sebuah desa yang masih
sangat asri yang dikelilingi oleh aliran sungai dan tingginya
pepohonan hingga ketika seseorang berjalan ia dapat merasakan
udara desa menyelimuti sekujur tubuhnya. Suasana yang benar-benar
memberikan nikmat sejuknya alam. Tanah ini yang ku sebut desa
bahgianrindu, terasa berada di ujung kota di bawah pegunungan dan
saat tidak berada di tempat ini lagi maka hanya kerinduan yang dapat
dirasakan serta keinginan untuk terus kembali memijakkan kaki di
tempat seperti ini.
Banyak kalimat yang ku tuliskan untuk menggambarkan
bahgianrindu ini namun tidaklah sempurna tuturan kalimat-kalimat ku
karena sejatinya keindahan tempat ini benar-benar memberikan kesan
yang luar biasa. Aku bukanlah penduduk di tempat ini aku juga
bukan bagian dari keluarga dari banyak nya kepala rumah tangga di
tempat ini, keberadaanku di tempat ini bukanlah waktu yang lama
tetapi kenangan dan keindahan tempat ini akan menjadi history
selamanya.
Pagi itu aku berjalan melintasi rumah-rumah warga sampai di
sungai yang cukup lebar dan untuk mencapai tujuanku pastinya yang
perlu di lintasi adalah sungai ini karena aku hendak ke sekolah yang
jaraknya cukup jauh dari kediaman tmpat kutinggali di desa ini.
Bebrapa kilometer ku lalui perjalanan termasuk melewati sungai yang
tanpa jalur penyebrangan, tidak ada jembatan yang dapat digunakan
untuk dapat mencapai sebrang sungai, kala itu aku yang memakai
sepatu pun melepas sepasang sepatuku untuk bisa menyebrangi
sungai, dengan mandirinya ku melangkah berjalan dengan melawan
arus lurus sungai, air sungai yang begitu dingin pada pagi itu terasa
sangat sejuk menyentuh kulit kakiku yang airnya mencapai betis.
Beberapa menit berjalan sampailah aku di tempat yang menjadi lokasi
tugas sebagai pengajar. Perjalanan tidak terasa dan tidak terhitung
lagi ketika aku melihat banyaknya senyum anak-anak menyambut
kedatanganku serasa keakraban mulai terjalin.
“kaka acha, kaka acha” sapa anak-anak kepadaku yang sudah
mengenali namaku setelah perkenalan saat sosialisasi pengajar
sebelum hari ini.
“yeyyy kaka acha datang, kaka acha datang” sahut anak-anak yang
lainnya sambil berlari ke arahku yang baru memasuki gerbang
sekolah. Anak- anak ini dengan gembira dan menggambarkan
kebahagiaan merangkul tangan dan memelukku, dengan senyum ku
sambut pelukkan hangat mereka rasa-rasanya seperti tuhan
mempertemukan kembali aku dengan orang yang telah lama ku
kenal.

Dengan berakhirnya sambutan anak-anak pagi itu aku mulai


mengajar dan bermain bersama anak-anak di dalam ruangan
kelasnya. Aku hanya bertanggung jawab untuk mengontrol satu kelas
saja yakni kelas 6 namun terkadang juga aku ke kelas lainnya untuk
mengganti guru tetap kelas lain jika gurunya tidak berkesempatan
untuk hadir karenanya aku Nampak akrab dengan hampir seluruh
anak didik di sekolah ini. Hari itu aku mendapat kelas ajar di kelas 5
sebagai pengganti, belajar mengajar berjalan seperti biasanya sampai
ketika ada seorang anak yang tidak terdaftar sebagai siswa di sekolah
ini muncul di depan pintu hanya melongok melihat anak-anak yang
belajar di dalam kelas.
“iiih kaka acha parel liatin terus aku keganggu kak” seorang siswa
perempuan mengeraskan suranya agar aku mendengarnya. Perlahan
ku dekati anak itu “parel pengen belajar juga yah?” tanyaku. “uhm uhm”
pelan anak yang disapa parel itu menganggkan kepalanya, aku
bangga melihat anak ini yang tidak memiliki tanggun jawab sebagai
seorang siswa disekolaah ini tetapi memiliki rasa tanggung jawab dan
keinginan untuk belajar dan menuntut ilmu. Mulai hari itu parel terus
ikut belajar di dalam kelas meskipun bukan seorang siswa.
Hari selanjutnya masih dengan sekolah yang sama dan
sambutan pelukan hangat dari anak-anak, tetapi hari ini ada hal
berbeda terjadi. Terlihat dari jarak beberapa meter seorang anak
duduk dengan menundukkan kepalanya di atas lututnya, saat ku
mendekatinya ternyata anak itu adalah parel.
“parel kok nangis?”
“parel digangguin sama mereka kak” sahut seorang siswa
perempuan sambil menunjuk beberapa anak laki-laki.
“nye nye nye nye nye nye” ejek anak-anak siswa melihat mereka
disebut. Mereka memang dikenal sebagai siswa yang nakal
tetapi menurutku hal biasa terjadi untuk anak anak sesusia
mereka hanya perlu tambahan didikan saja dari guru dan
orang tua.
“loh kok kalian ngejekin parel sih, sini dulu deh” panggilku
“gak kok kaka tadi Cuma main doang tapi parelnya nangis” sangkal
salah satu anak
“mainnya gak boleh sampe temennya nangis dong syang, ya udah
kalian minta maaf yah ke parel” pintahku
“parel maapin kita yah” dengan menurut anak anak itu berjabat
tangan dengan parel dan meminta maaf.

Setelah itu semua kembali ke kelas masing-masing dan


memulai pelajaran termasuk parel tetapi parel hanya megikuti kelas
dimana jika aku yang mengajar di kelas berapapun dan akupun tidak
memiliki larangan untuknya terus ikut belajar, toh gak ada juga
larangan di sekolah ini yang gak ngebolehin buat anak selain siswa
untuk belajar. Karena parel adalah anak yang mengalami gangguan
bicara atau speech delay maka perhatian lebihku pada parel berbeda
dengan anak yang lainnya, parel mengalami sulit berkomunikasi
dengan orang-orang jadi setiap belajar di kelas parel hanya duduk
diam dan mendengarkan, mungkin banyak keinginan parel yang
terbesit dibenaknya untuk bisa bermain dan berbicara seperti teman-
temannya yang lain namun takdir berkata lain dari keinginan parel.
Parel anak yang baik dan tidak nakal ketika belajar aku hanya focus
mengajarkan parel melukis dan menulis sebuah keistimewaan parel
adalah dapat mengungkapkan perasaan dan perkataannya melalui
sebuah lukisannya. Harapku skill parel terus menjadi keistimewaan
dan kebanggan suatu saat nanti.
Aku yang mendapatkan tugas 15 hari mengajar di desa ini
telah melaui sembilan hari mengajar dan hidup bermasyarakat di
desa ini. Sampai pada waktu ketika ada acara pameran yang di
adakan di desa ini dan tepat pada hari ke sepuluh aku tinggal di desa
ini, turut ikut menikmati pameran indahnya gemerlap lampu
pameran di malam hari, banyaknya wahana permainan yang dapat di
mainkan dan banyaknya aneka kuliner.
Sorak ramai terdengar ditelingaku banyak suara anak-anak
dan masyarakat setempat yang bersorak gembira mengikuti serta
menikmati pameran itu. Namun, tiba-tiba saja seluruh isian bumi
berputar mengitariku tanganku gemetar dan penglihatanku buram
tak dapat melihat dan meraba apapun, aku panic dan seketika dunia
gelap begitu saja tanpa merasakan apapun. Rasanya hanya tertidur
sebentar saja gelapnya dunia rasa-rasanya hanya sebuah mimpi saja
yang tidak dapat aku percaya tapi ternyata salah, hal itu benar-benar
terjadi hanya padaku saja karena ketika aku terbangun tubuhku
sudah berada di atas kasur yang empuk dan ditutupi dengan selimut
yang tebal dan lembut. Sedangkan disampingku sudah ada perawat
yang sedang memeriksa keadaanku bersama dengan beberapa ibu-
ibu masyarakat setempat.
“Bagaimana keadaan kamu nak?” Tanya seorang wanita
paruhbaya yang duduk di sampingku setelah melihatku membuka
mata perlahan.
“Emm aku baik-baik aja, memangnya apa yang sudah terjadi buk?” tanyaku
polos
“Tadi kamu sempat pingsan saat sedang berjalan di pameran”
“Eeee begitu ya, maaf bu karena udah sangat merepotkan” ungkapku
sambil berusaha bangkit untuk duduk, namun ditahan oleh ibu ulan
untuk tidak duduk dulu. “kamu boleh tetap berbaring dulu, tubuhmu
masih lemah dan masih perlu beristirahat” pintahnya
“baik bu” karena sudah terlalu larut aku benar-benar merasakan
lelahnya tubuh ini, aku akan berbaring sebentar saja untuk
merebahkan dan mengistirahatkan tubuhku.

Pov………
Dari jauh terlihat seorang wanita muda sedang berjalan
berkeliling menikmati indahnya malam pameran, tidak berhenti
seorang pemuda memandanginya dari kejauhan. Namun tampaknya
wanita itu sedang tidak baik-baik saja, ia berputa menengok kanan
dan kirinya seperti sedang melihat hal lain yang aneh dan bruuuk
tubuh wanita itu jatuh. Esa berlari mendekati wanita itu yang sedari
tadi memperhatikannya tanpa tahu siapa wanita baru itu, seketika
orang-orang berkumpul dan melihat apa yang terjadi. Esa
menggendong wanita itu dan membawanya berlari mengarah ke
rumah ibu ulan yang tidak jauh dari lokasi pameran.
“Bibi bantuin dia pingsan saat di pameran” suara esa memanggil ibu ulan
“Loh kok bisa, sini sa bawa ke kamarnya biar bibi ambilkan air hangat dulu”
Dengan perlahan esa meletakkan acha di tempat tidur dan
menyelimutinya dengan selimut yang nyaman dan menemani acha
sambil memijat tangan acha beberapa saat hingga ibu ulan datang.
“Yaudah bi, aku nunggu di luar aja, kabarin esa kalo dia udah bangun” esa
pamit keluar
“emang nya kamu mau kemana? Nunggu dia bangun aja sekalian kenalan.
Kan kamu udah bantuin bawa dia kesini” cegah ibu ulan agar esa tetap
menemani acha yang terbaring
“Heheheh gak deh bi, nanti aja kalo udah bangun baru esa datang lagi”
“ohiya yasudah nanti bibi panggil esa kalo achanya udah bangun”
“iya bi” esa berdiri beranjak keluar dari kamar.
………………

Karena kelelahan aku beristirahat di kediaman ibu ulan selama


dua hari setelah pameran, sampai saat aku udah pulih kembali dan
melakukan aktivitas mengajr di sekolah seperti biasanya, karena
waktu tugasku hamper selesai kuhabiskan dua hari terakhir di
sekolah sebagai perpisahan dengan siswa siswi. Tangis haru dan
rindu anak anak itu memelukku dengan erat.
“kaka acha besok udah gak main sama kita lagi ya?” suara lirih siswi
sambil memelukku. Air mataku menetes mendengar kalimat itu “iya
sayang, tapi nanti kaka acha bakal datang lagi kok buat ketemu sama kalian,
sehat-sehat yah gak boleh nakal” pesanku.

Namun hari terakhir ku mengajar yang menjadi hari


perpisahan tampaklah tidak sempurna, aku seperti benar-benar
kehilangan sesuatu, dan benar saja aku tidak melihat parel ada
diantara banyaknya siswa. Kemana parel batinku banyak bertanya
mengapa hari ini anak itu tidak menampakkan diri, ingin ku
berkunjung ke kediaman parel hanya saja aku tidak mengetahuinya
dan aku harus bergegas pulang untuk berkemas karena esok adalah
hari kepulanganku ke kota.
Sampai hari dimana waktu penjemputanku tiba, beberapa
masyarakat membantuku untuk menaikan barang ke bagasi mobil,
satu persatu barang sudah berada dalam bagasi mobil sembari barang
dan koper ku di naikkan, sempat aku berpamitan dengan ibu ulan
sebagai seorang yang baik dan murah hati yang memberikan aku
tempat untuk kutinggali dengan nyaman. Ku peluk erat ibu ulan
seperti halnya aku berpamitan pergi kepada sosok ibuku, beliau
seseorang yang tak ku kenal awalnya, namun beberapa hari tinggal
bersamanya merasakan menjadi satu-satunya anak perempuan ibu
ulan karena semua anaknya adalah laki-laki. Hanya air mata yang
menandakan bahwa aku belum siap meninggalkan tempat ini, masih
banyak al yang belum aku telaah masih banyak orang yang belum
sempat aku gembirakan dan masih banyak anak-anak yang belum
sempat aku ajari. Rasanya aku ingin selalu kembali ke tempat
sempurna ini.
“baik baik di kota ya nak, kapanpun nak acha ingin kembali kesini pintu
rumah terbuka selalu buat nak acha” pesan ibu ulan
Ku menangis tersedu mendengar kalimat ibu ulan dalam dekapan
beliau ku lepaskan semua air mata haru perpisahan “iya ibu, maafin
acha punya banyak kesalahan sama ibu, terimakasih juga udah jagain acha
selama tinggal di rumah ibu, maafin acha udah banyak ngerepotin ibu”
“acha gak punya salah, acha udah jadi anak ibu, sehat-sehat terus yah”
“iya bu” akhir percakapan barang sudah siap tersusun di bagasi dan
mobil yang akan ku gunakan pulang pun sudah siap untuk berangkat
mengantarkanku.

Pintu mobil perlahan ku buka, dengan anggunnya kakiku naik


ke mobil duduk dengan rapi dan nyaman, dengan menutup pintu
mobil dan menurunkan kaca jendelanya aku mulai melambai pelan
mengucap kata perpisahan sampai jumpa. Ketika mobil baru akan
berangakat terlihat seorang anak kecil bersembunyi di samping
rumah ibu uln, sesekali anak itu mengintip mencuri pandang untuk
melihatku. Ku coba fokuskan pandanganku padanya, nampaknya aku
seperti mengenalnya benar saja ternyata anak itu adalah parel seorang
anak istimewa yang ku ceritakan, ku hentikan sebentar supir untuk
memberiku waktu sebentar agar aku dapat berpamitan dengan parel.
Aku keluar kembali dari mobil untuk berpamitan kepada parel
mengucapkan pesan kata perpisahan
“parel jadi anak yang baik yah, walopun kaka acha gak disini parel harus
tetap rajin belajar, parel kuat parel bisa, kaka acha percaya sama parel dan
kaka acha bangga sama parel”
sempat ku dekap dalam pelukanku, aku tidak mengerti apakah
anak ini merasakan sedih ataukah gembira dalam perpisahan ini,
yang aku tahu parel adalah anak yang punya keistimewaan yang bisa
dibanggakan. Saat aku berdiri melepas pelukanku dan hendak
beranjak pergi, sebuah tangan kecil menarik bajuku tanpa suara, itu
tangan mungil parel aku berbalik dan melihatnya yang menjulurkan
tangannya dengan memegang bunga dan selembar kertas ingin
memberiku kedua benda itu. Aku tidak paham kenapa aku menangis
meneteskan air mata kala itu tapi aku sangat terharu dan belum siap
melepas parel untuk belajar sendiri tanpa panduanku ketika aku
pergi. Sampai aku kembali ke mobil untuk berangkat pipiku masih
basah karena air mata siapa yang tidak haru dalam keadaan seperti
itu, mobil mulai berjalan dan aku melihat lambaian dari tangan
mungil parel mengantarkanku pergi, sampai jumpa dilain hari.

Pov……………
Tatapan haru melihat sebuah mobil berjalan hingga punggung
mobil yang membawa acha itu berlalu pergi dan hilang dari
pandangan. Tatapan itu dari seorang laki-laki yang sempat
membantu acha malam itu, tanpa mengucap pamit dan terimakasih
kini acha tanpa tahu siapa yang menolongnya kala itu. Esa pria yang
baik dan sopan belum sempat berkenalan dengan acha namun
dengan ikhlas membantu acha kala itu.
“loh esa udah daritadi yah disini” sapa ibu ulan yang melihat esa berdiri
tidak jauh dari perkumpulan orang orang yang mengantar acha ke
mobil
“nggak daritadi juga sih, esa baru tiba aja dari pulang kerja jadi esa sempetin
buat mampir eh ternyata dia udah berangkat duluan heehe”
Perbincangan panjang terjadi dan berakhir begitu saja.

END………………
Anak-anak yang terlahir di tempat ini memiliki banyak
keistimewaan dan memiliki akhlak yang baik. Mereka yang baik,
ramah dan sopan memberikan kesan yang baik dan perasaan tidak
ingin berpisah secepat ini.
Sebanyak apapun aku merangkai kata untuk menggambarkan
tempat ini tidak akan dapat dirasakan oleh siapapun yang
membacanya. Aku hanya ingin menyampaikan perasaan ini melalui
butir-butir kata yang sudah ku susun dengan indah agar ketika setiap
pembaca yang melihatnya dapat terbesit keinginan dan rasa
penasaran untuk juga memijakkan kaki nya ke tempat ini sehingga
ketika pembaca benar-benar merasakannya maka tidak akan ada
pertanyaan perasaan seperti apa yang aku rasakan.
MEMBANGUN HARAPAN PADA TULANG TANAH
(Aniesha Priya Rahmasari)

Pagi yang cerah bersua dengan embun yang sejuk, aku


menelusuri setiap jalan dengan pemandangan yang masih asri. Dalam
perjalanan ini, aku menyapa setiap orang yang kutemui. Rasa kagum
terbenak dihatiku karena melihat keramahan dan senyuman yang
hangat dari orang-orang yang berada di Desa ini.
Ya, Desa Laikandonga. Desa Laikandonga adalah desa yang
letaknya tak jauh dari daerah perkotaan tepatnya di Kecamatan
Ranomeeto Barat. Hanya membutuhkan kurang lebih setengah jam
perjalanan untuk tiba disana. Aku tinggal di desa ini hampir 3 bulan
lamanya, alasannya karena ibu dan ayah sedang berada diluar kota
sehingga aku untuk sementara tinggal bersama paman dan istrinya.
Di rumah paman, setiap pagi suguhan teh hangat dan ubi goreng
selalu tersaji di atas meja. Aku sangat menikmati hidangan tersebut
apalagi ubi gorengnya adalah hasil panen kebun sendiri. Pamanku
memiliki kebun ubi yang cukup luas. Panorama alam yang
disuguhkan kebun paman bagaikan seperti bertamasya, karena kebun
tersebut letaknya berada di seberang sungai. Air sungai yang jernih
dan pemandangan yang memanjakan mata sering kujadikan latar
berfoto yang epik. Sehingga terkadang paman sering kesal padaku,
bukannya membantu memanen atau membersihkan kebun justru aku
hanya sibuk untuk berfoto disana. Tidak hanya paman yang
berprofesi sebagai petani, mayoritas masyarakat di desa ini adalah
Petani sehingga banyak sekali potensi perkebunan yang dihasilkan di
desa ini seperti ubi kayu, jagung, kacang panjang, dan lainnya.
Hamparan kebun-kebun yang luas itu menjadi keunikan tersendiri
bagi Desa Laikandonga.
Disuatu waktu, paman mengajakku untuk memanen ubi di
kebunnya. Melewati jalan dengan medan yang cukup licin beberapa
kali aku tergelincir bahkan hingga pernah terjatuh. Kemudian aku
menyusuri hilir sungai Boro-boro dengan arus cukup deras, aku
menyebranginya dengan percaya diri, lalu tiba-tiba......”Byurrr” aku
terjatuh dan sedikit terseret arus. Kurangnya berhati-hati aku tidak
mengetahui jika aliran sungai yang kulewati itu cukup dalam.
Pamanku terkejut dan tertawa terbahak-bahak melihatku yang basah
kuyup. Pamanku kemudian menolong dan menarikku ke pinggiran
sungai. Aku sedikit kesal karena ia tetap menertawaiku, dan disitulah
terjadi perdebatan kecil antara aku dan paman.

“Kenapa kah om kita ketawai saya terus, nda kasian kah dengan saya
ini sudah jatuh da basah lagi bajuku” Ujarku sedikit kesal.

“Bagiamana lucu tadi jatuhnya kayak bebek lagi berenang, tadi kan
saya sudah bilang hati-hati lewat situ karna dalam, malah tetap ko
lewati juga” Ujarnya sambil mengejek.

“Maunya kita bilang memang, supaya saya bisa ambil ancang-


ancang” Ujarku

“Makanya kalau dikasih tau mendengar, saya ini sudah lebih


berpengalaman lewat sini daripada kamu” Ujarnya

“Iyee om ampun suhu” Ujarku sambil tertawa bersama.

Setelah perdebatan kecil itu, aku pun melanjutkan perjalanan


menuju kebun paman. Jejak demi jejak aku melewati beberapa
perbukitan hingga sampailah di kebun paman yang berada di atas
bukit. Keindahan panorama alam di atas bukit membuat kebun
paman nampak seperti lembah hijau nan asri. Di tengah kebun
paman terdapat gubug kecil yang dibangun sebagai tempat berehat
setelah berkebun. Di gubug kecil tersebut paman dan orang-orang
yang berkebun disekitar sana sering berkumpul untuk makan
bersama maupun merujak bersama.

Ketika sampai di kebun paman, aku melihat paman yang


sedang mengais tanah untuk memanen ubi kayu miliknya. Aku
membantu paman dengan mengambil ubi-ubi yang telah digali
olehnya. Hasil panen ubi paman untuk bulan ini cukup meningkat.
Ubi-ubi yang dipanen juga cukup besar. Dengan semangat, aku
memasukkan ubi-ubi tersebut ke dalam karung yang telah disediakan
paman. Mataku tertarik dengan daun-daun ubi muda, sehingga tak
hanya memanen ubinya aku pun memanen daun mudanya. Cucuran
keringat tak membuat luntur senyuman gembiraku berkebun
bersama paman. Bukan hanya mengasikan tetapi pula aku mendapat
banyak pelajaran tentang cara menanam ubi hingga memanennya.

Sore pun tiba, akhirnya paman mengajakku pulang ke rumah.


Kami bergegas menuju pulang ke rumah karena apabila terlalu larut
pulang jalan menuju ke rumah akan semakin gelap. Ketika dalam
perjalanan, aku bertemu dengan seorang ibu yang sedang membawa
keranjang yang dijinjingnya sambil menggendong seorang balita.
Dengan sigap aku menawarkan bantuan kepada ibu tersebut untuk
kubawakan keranjangnya. Ternyata ibu tersebut satu arah jalan
pulang denganku sehingga kami berjalan pulang bersama.

Ketika menjelang malam kami pun tiba di rumah kami masing-


masing. Kami beristirahat sejenak, bersih-bersih badan kemudian
kami bersiap pergi ke acara pernikahan salah satu warga desa. Acara
yang digelar tak jauh dari rumah paman hanya berjarak kurang lebih
100 meter sehingga gemuruh musik meriah sangat terdengar. Aku
menyaksikan perayaan pernikahan yang begitu meriah. Mataku
tertuju dengan kebudayaan yang begitu menarik. Berbagai kalangan
saling bergandengan tangan membentuk lingkaran, dengan hentakan
kaki yang seirama alunan musik Lulo yang sangat asik. Di desa ini
tarian Lulo menjadi salah satu tradisi kebudayaan masyarakat
terutama dalam pagelaran acara pernikahan. Pada zaman dahulu
tarian Lulo masih kental akan rasa tradisionalnya karena hanya
diiringi oleh gendang sebagai tabuhan musiknya. Semakin
berkembangnya zaman, musik modern yang biasa dikenal dengan
elekton menjadi pengiring tarian Lulo yang sering digunakan oleh
masyarakat pada saat ini. Baik kalangan muda hingga dewasa ikut
meramamaikan acara pernikahan tersebut. Aku melihat mereka yang
begitu sangat menikmati tarian tersebut. Walau bersenda gurau
mereka tetap selaras mengikuti alunan musik sehingga nampak
teratur dan kompak. Namun di tengah keramaian itu hati ini
berbicara dalam kalbu, memantapkan diri ini untuk berpantas diri
diantara orang-orang yang hanyut dalam senda gurau dan alunan
musik Lulo yang memeriahkan malam itu. Adapun keinginan untuk
bergabung dalam senda gurau tersebut, namun terbenak rasa
canggung dan ragu. Padahal jika dipikir sebelumnya aku hidup
bersama mereka, hanya karena rasa canggung dan ragu membuatku
enggan bergabung dalam kebersamaan itu. Ketika rasa itu terlintas
dipikiranku, seorang gadis menyapaku dari arah belakang. Senyuman
manis dan sapaan hangat membuyarkan rasa canggungku. Kemudian
ia mengajakku bercakap.

“Kenapa kita nda ikut lulo?” Ujarnya

“Iye kak saya kurang tau lulo soalnya”. Ujarku dengan sedikit
canggung

“Kita baru tinggal disini kah?” Ujarnya

“Iye kak baru sekitar 3 bulan” Ujarku

“Berati kita tinggal dengan siapa disini? Ujarnya

Sambil menunjuk ke arah paman aku berkata “Itu kak dengan


om Jamal mungkin kita kenal”

“Kita keponakannya om Jamal ternyata, pernah dulu dia sering


cerita sama saya kalau mau datang keponakannya, kenalkan
saya Siska” Ujarnya

“Salam kenal kak saya Hana” Ujarku

“Saya dulu waktu kecil sering dibawa om Jamal jalan-jalan ke


kebunnya, bagus sekali pemandangan kebunnya toh” Ujarnya

“Iye bagus sekali kak” Ujarku


Semakin lama percakapan kami semakin seru. Saling bertukar
cerita kami juga saling bersenda gurau bersama. Kemudian pada
malam itu pula aku menjadi tahu bagaimana asiknya tarian Lulo
karena Kak Siska mengajakku untuk bergabung. Awalnya aku masih
tetap canggung, namun Kak Siska meyakinkanku agar aku turut serta
dalam kemeriahan malam itu. Ia berkata “Jika tidak mencoba
bagaimana mau bisa”, perkataan itu membuat semangatku membara
dan rasa ingin tahuku terguncang. Aku menyela diantara lingkaran
tersebut, Kak Siska menggenggam tanganku disisi kiri dan sisi
kananku digenggam oleh bibiku. Memang pada malam itu adalah
awal pertama aku turut serta menari Lulo bersama sehingga langkah
kakiku masih tertatih-tatih dan terlihat kaku mengikuti alunan musik.
Namun yang membuatku lebih bahagia dari kemeriahan malam itu
adalah ketika Kak Siska menuntunku belajar Lulo dengan sabarnya.
Tak hanya parasnya yang cantik dan senyumannya yang manis, ia
adalah orang yang sangat ramah dan peduli. Acara pada malam itu
berlangsung dengan meriah dan aman terkendali karena masyarakat
disana saling menjaga keamanan serta kerukunan satu sama lain. Tak
terasa jam telah menunjukkan pukul sebelas malam, akhirnya aku,
paman dan bibi berpamitan untuk pulang.

Keesokan harinya, aku pun melakukan aktivitas yang sangat


kugemari tentunya adalah berkebun. Berkebun sudah menjadi hobiku
sejak lama apalagi berkebun dengan paman. Mengapa? Alasanku
adalah yang pertama ketika pergi ke kebun paman aku melewati
sungai Boro-boro yang dimana airnya sangat jernih dan sejuk
sehingga terkadang sebelum atau setelah berkebun aku
menyempatkan diri untuk bermain air atau mandi-mandi disana.
Yang kedua jika aku ikut berkebun, aku akan mendapatkan banyak
teman dan kenalan baru karena bisa dibilang paman merupakan
orang yang memiliki sifat sangat ramah dan cukup terkenal namanya,
hal itu yang menjadikan komunikasi paman menjadi luas dan aku
pun mendapatkan teman baru. Yang ketiga tak kalah epik sehingga
menjadi daftar destinasiku untuk berlibur yaitu karena panorama
alamnya yang estetik dan menghijau asri sehingga sangat cocok
untuk bersantai maupun bertamasya. Dan yang keempat, hal paling
aku sukai dan kagumi selama berkebun adalah dimana jika ada hasil
panen, masyarakat di desa ini akan saling berbagi kepada kerabatnya
baru kemudian memasarkan hasil panen tersebut ke pasar-pasar
terdekat. Oke lanjut.... sesampainya di kebun seperti biasa tugasku
adalah memasukkan ubi-ubi ke dalam karung serta memetik daun-
daun ubi mudanya pula. Aku berehat sejenak di gubug kecil paman
menyandarkan bahuku di tiang topangnya. Ketika tengah
beristirahat, aku melihat dua gadis kecil sedang membawa keranjang
dilengannya. Aku menghampiri mereka dan ternyata mereka adalah
sepupuku yaitu Airin dan Uma. Aku penasaran dengan apa yang
mereka bawa dalam keranjang itu, lalu mereka menunjukkan isi
dalam keranjang itu. Di dalam keranjangan itu ternyata berisi seikat
daun pakis serta sekantong buah ruruhi (sering dikenal masyarakat
sebagai anggur hutan). Melihat buah tersebut aku cukup tergiur,
kemudian mereka memberikanku setengah dari yang mereka bawa.
Rasa buah tersebut cukup manis yang berpadu sedikit masam,
sehingga biasanya aku mengolahnya menjadi rujak. Setelah memakan
buah tersebut, dua sepupuku berencana mengajakku untuk Mepaku
(mencari pakis) diseberang sungai Boro-boro. Aku setuju dengan
rencana mereka, lagipula aku juga telah selesai membantu paman
memanen ubi sehingga tidak ada aktivitas lagi yang kubuat.
Berangkatlah kami menuju seberang sungai Boro-boro yang tentunya
setelah mendapat izin dari paman. Menyusuri jalan setapak yang
cukup berair di tepi sungai kami memetik pucuk-pucuk daun pakis
yang masih muda. Suara burung dan derai air sungai menjadi teman
perjalanan kami. Tetapi dalam perjalanan tersebut menjadi suatu
pelajaran bagi kami, lantaran asiknya kami memetik pucuk-pucuk
pakis tersebut, kami tidak menghiraukan arahan paman agar tidak
terlalu jauh dari kebun paman. Di tengah perjalanan kami pun
tersadar. Ternyata kami sudah sangat jauh dari kebun paman bahkan
melewati hutan bahkan sampai di induk sungai Konawe. Kami pun
kebingungan mencari jalan keluar apalagi kami tidak terlalu
menguasai jalan di hutan tersebut. Untunglah kami bertemu seorang
pemuda bernama Kak Resa. Nampaknya ia baru saja pulang dari
Sungai Konawe tersebut, karena ia membawa alat-alat pancing dan
ikan hasil tangkapannya. Dengan sedikit terheran, ia bertanya kepada
kami.

“Kalian buat apa disini?” Ujarnya

“Tadi kita habis cari pakis kak, pas mau kembali kita lupa jalan
pulang ke kebunnya om” Ujar kami

“Kalau belum hapal jalan lebih baik jangan terlalu jauh cari
pakisnya, sini sa antar pulang kalian” Ujarnya

“Iye kak, terima kasih banyak” Ujar kami

Kemudian ia mengantarkan kami kembali ke kebun paman.


Dalam perjalanan Kak Resa banyak berbagi cerita dengan kami salah
satunya tentang sungai Konawe. Memang sungai Konawe sangat
terkenal oleh masyarakat di desa ini. Sungai ini memiliki ukuran yang
besar dan memilki arus yang sangat deras dan cukup dalam sehingga
untuk melewati sungai tersebut, masyarakat di desa ini harus
menggunakan pincara/perahu sebagai alat transportasinya. Kak Resa
bercerita bahwa pada tahun 2019 pernah terjadi banjir besar di desa
ini akibat luapan air sungai Konawe tersebut. Bahkan banjir tersebut
merendam rumah-rumah dengan ketinggian mencapai 3 meter.
Akibatnya dalam kondisi tersebut banyak masyarakat harus
mengungsi. Sebagian mereka mengungsi di posko pengungsian yaitu
di gedung lantai 2 sekolah dasar di desa ini dan yang lainnya memilih
untuk sementara pindah ke desa sebelah untuk tinggal di rumah
keluarganya. Banjir tersebut sempat membuat jalur perekonomian
masyarakat di desa ini terhambat. Bagaimana tidak, banjir tersebut
tak hanya merendam rumah-rumah masyarakat bahkan merendam
kebun-kebun yang menjadi pusat matapencaharian masyarakat di
desa ini. Sehingga ketika pasca banjir, masyarakat di desa ini
melakukan perombakan besar-besaran untuk menghidupkan kembali
kebun-kebun mereka. Namun untuk saat ini setelah kejadian tersebut
memberikan pula hikmah bagi masyarakat. Ikan-ikan yang terbawa
arus pasca banjir lalu kini berkembang biak menjadi lebih banyak
baik di sungai Konawe maupun di sungai Boro-boro. Dalam hal itu
menjadi keuntungan bagi masyarakat di desa ini baik menjadi bahan
pangan maupun komoditas ikan air tawar untuk di jual di pasar-
pasar terdekat. Lama kami bercerita sampailah kami kembali ke
kebun paman.

Dari petualangan tersebut ,Hasil daun pakis yang didapatkan


cukup banyak, sehingga aku mengajak mereka untuk ke rumah bibi
mengolah pakis tersebut. Di rumah bibi, pakis tersebut kemudian
diolah bibi menjadi hidangan sayur tumis. Setelah menumis pakis,
kemudian bibi mengolah hidangan selanjutnya yaitu songgi.
Songgi/masonggi adalah makanan khas Sulawesi Tenggara yang
terbuat dari sagu. Di desa ini songgi telah menjadi makanan khas
dalam acara makan bersama. Hidangan ini biasa didampingi oleh
masakan ikan palumara, sayur bening, maupun lainnya. Setelah
hidangan telah siap, kami pun makan bersama.

Setelah panen yang dilakukan 4 hari yang lalu, ternyata ubi


yang kami panen sangat banyak sehingga paman berencana untuk
menjualnya di pasar. Keesokan harinya aku diajak paman ke pasar
untuk memasarkan hasil panen ubi kemarin. Pasar Yang kami tuju
berada di desa Boro-boro Lameuru sehingga untuk tiba disana kami
menggunakan kendaraan karena jaraknya yang cukup jauh.
Sesampainya disana aku membantu paman menjualkan ubi-ubi
kepada para pembeli. Walaupun ramainya pasar disana, akan tetapi
ubi-ubi yang dijualkan paman hanya sedikit yang laku terjual. Aku
sedikit kecewa karena perjuanganku pada saat memanen cukup
melelahkan apalagi paman yang bekerja keras terus menjaga dari
menanam hingga memanen ubi-ubi tersebut. Aku melihat jam tangan
dipergelangan tangan kiriku menunjukan pukul 12 siang yag artinya
pasar akan ditutup pada jam tersebut. Aku menatap ubi-ubiyang
masih banyak tersisa, kemudian dengan menghela napas aku
mengemas kembali ubi-ubi tersebut ke dalam karung dan bersiap-
siap pulang ke rumah. Di rumah aku sedikit termenung melihat
perjuangan keras paman untuk memasarkan hasil panen ubinya. Aku
bertanya kepada paman apakah masyarakat disini juga hanya
merasakan hal yang sama seperti paman ketika memasarkan hasil
panennya. Masih dengan senyuman yang hangat paman menjawab
pertanyaanku. Ia berkata bahwa masyarakat disini memang hanya
memasarkan dalam bentuk mentah di pasar-pasar terdekat. Ketika
mereka memasarkan jualannya kemudian sedikit yang terjual mereka
biasanya langsung membagikan hasil panen tersebut kepada
tetangga, keluarga atau menjadi konsumsi sendiri. Lebih tertegunnya
lagi aku merasakan sendiri hal itu, apalagi hasil yang kudapatkan
selama paman berjualan tidak sebanding dengan lelahnya keringat
ketika paman maupun masyarakat yang berjuang dalam menjaga dan
mengurus kebun-kebunya. Melihat fenomena tersebut seketika
terlintas ide dipikiranku. Aku berencana membuat suatu kelompok
bisnis dan membangun UMKM di desa ini. Aku pun menjelaskan
ideku kepada paman. Aku mempunyai rencana membentuk suatu
kelompok bisnis. Didalam kelompok tersebut aku ingin berbagai
kalangan remaja hingga dewasa ikut serta untuk membentuk suatu
usaha. Kegiatan usaha tersebut mencakup pengolahan ubi karena aku
melihat diantara banyaknya komoditas di desa ini, potensi jumlah ubi
yang melimpah sangat mendukung usaha ini. Dari potensi tersebut
aku berencana ingin membuat suatu inovasi produk yang tidak hanya
dapat dipasarkan disekitar daerah ini saja tetapi bisa dipasarkan
hingga keluar daerah. Setelah kusampaikan penjelasan tersebut,
paman sangat setuju dengan ideku, karena menurutnya hal itu bisa
sangat membantu masyarakat di desa ini.

Kemudian keesokannya paman melakukan perundingan


kepada sebagaian masyarakat mengenai ideku. Masyarakat sangat
antusias dengan ideku. Tanpa berpikir panjang aku segera
merealisasikan ideku kepada masyarakat. Sebagai salah satu alumni
fakultas ekonomi aku cukup memahami ilmu kewirausahaan. Aku
merealisasikan ilmu tersebut dengan mengajarkan kepada mereka
cara mengolah produk ubi menjadi berbagai jenis produk seperti
camilan, kemudian aku berbagi informasi terkait cara memasarkan
produk tersebut secara modern yaitu sistem online melalui aplikasi
Shopee, Facebook, dan tik tok. Awalnya jumlah orang dalam
kelompok tersebut masih relatif sedikit, namun waktu demi waktu
secara perlahan kini banyak masyarakat dari berbagai kalangan ikut
serta menjalankan bisnis tersebut, bahkan produk tersebut sudah
mencapai luar daerah. Keberhasilan kelompok bisnis tersebut
sekarang berkembang menjadi Laikandonga bisnis. Semangat dan
ketekunan mereka membuahkan hasil baik untuk memenuhi
kebutuhan maupun mengembangkan bisnis agar lebih maju
kedepannya. Dari itu aku juga mendapat pengalaman bagaimana
merealisasikan dan berbagi ilmu kepada masyarakat sehingga dapat
bermanfaat dan membantu dalam kehidupan mereka. Dan aku
percaya suatu usaha tidak akan menghianati hasil jika kita mau giat
dan ada keinginan untuk terus belajar.
SEBUAH HARAPAN DIUJUNG SUNGAI
(Anisa Dwiyanti)

Aku sedang mengamati setiap sudut yang ada di hadapanku,


sudah 4 tahun lamanya aku meninggalkan tempat ini.Gemericik air
disertai kicauan burung serta hamparan tumbuhan hijau berada di
hadapanku, Aku menurunkan kakiku menyentuh air yang sedang
mengalir dengan tenang, ah...masih dingin dan menyejukkan seperti
biasanya. Sudah lama rasanya tak melakukan hal ini semenjak aku
pergi merantau untuk menuntut ilmu di negeri orang, dan ketika
kembali aku sangat merindukan tempat ini.Duduk di panggir sungai
merupakan aktivitas pagi yang tak bisa kulewatkan begitu
saja.Rasanya tenang sekali ketika retina ku menangkap panorama
indah ciptaan sang Kuasa yang begitu indah, Sungai Ini merupakan
tempat favoritku ketika hidup di sudut desa ini. Mungkin jika
digambarkan tentang kehidupanku tak bisa terlepas dari kata Sungai,
karena sedari kecil hidupku selalu saja tantang sungai dan mungkin
akan terus begitu, entahlah..aku terlalu mencintai segala sesuatu
tentang sungai.

Namun pagi ini aku menyesali suatu perbuatan yang bahkan


tidak pernah kulakukan sama skli, tetapi mereka yang tak
mempunyai rasa kemanusiaan dan cinta terhadap alam semesta. Aku
terdiam menatap seorang wanita paruh Baya yang sedang sibuk
mengikat bungkusan berwarna putih lalu tangannya dengan cepat
membuang bungkusan tadi ke arah pinggir sungai, dan ketika itu
benda di dalamnya berhambur berserakan. Dan yaa..baru saja terjadi.
Bolehkah aku menyebut mereka sebagi golongan orang yang tidak
mempunyai hati? Bagaimana mungkin mereka bisa setenang itu
ketika membuang benda-benda tak terpakai itu ketika sungai ini
memberikan keindahan serta kesejukkan untuk desa ini.
Aku menghela nafas panjang seraya memejamkan
mataku,menikmati pikiranku yang sedang berkecamuk di dalamnya,
selalu saja aku merasa marah ketika melihat perbuatan seperti itu,
tetapi selalu saja mulutku tak sampai untuk menegurnya. Oh tidak-
tidak, bukannya aku diam saja, dan tidak melakukan apa-apa atas
perbuatan mereka, aku kerap kali menegur mereka untuk membuang
sampah pada tempatnya agar tidak mengotori sungai, tapi apa yang
kudapatkan? "Eh anak kecil, ngomong sama orang tua yang sopan,
gausah sok ngajarin, la wong dari dulu kita juga buang sampah disini
gak jadi masalah kok, buktinya kita aman-aman aja" kata salah satu
dari mereka ketika kutegur kala itu. Aku masih selalu saja
mengingatnya hingga sekarang, dan saat ini aku sudah kembali lagi
ke desa ini sebagai orang dewasa yang siap merubah sudut pandang
mereka dan akan membuat mereka mencintai sungai ini sebagaimana
aku sangat mengagumi tempat ini.

"Ehh kak, apa di bikin?" Suara lembut seorang wanita dengan logat
tolaki khas daerahku membuat tersadar dari lamunanku, lalu aku
membuka mata perlahan dan melihat seorang gadis berkulit putih
menggunakan baju gamis berwarna biru langit yang ia angkat sedikit
agar tidak basah terkena air sungai. Aku memperhatikan wajahnya,
rasanya aku tidak pernah melihat wanita ini sebelumnya.

"Ehh, ngga ngapa-ngapain dek, adek darimana?" Tanyaku


kepadanya. Kemudian dia menunjuk kearah sebrang sungai.

"Sa dari rumahnya neneku kak, baru 2 hari disini," jawabnya sambil
tersenyum. Oh rupanya gadis ini bukan asli desa ini, pantas saja tak
pernah terlihat sebelumnya, pikirku. Aku hanya mengangguk sebagai
balasan dari ucapannya.

"Kak, kenapa ya itu orang-orang mereka buang sampah disitu?


padahal sungai ini baguss banget, apalagi kalau di rawat" mendengar
ucapannya aku langsung menoleh kearah tumpukan sampah, emosi
yang sempat terlupakan mendadak kembali.
"Iyaa dek, saya juga kesal melihat kelakuan mereka. Padahal yaa
dek, dulunya sungai ini jauh lebih bagus daripada yang sekarang,
sering di jadikan tempat bermainnya anak-anak, tapi sekarang karna
tidak terawat mungkin mereka malas untuk mandi-mandi disini,"
jawabku sambil mengingat masalalu bersama teman-temanku yang
sering bermain di sungai ini sepulang dari sekolah dan selalu berakhir
dengan ceramah panjang dari ibu karena aku selalu pulang dengan
keadaan baju yang basah.

" kira-kira kak siapa yang harus di persalahkan untuk semua ini,
apakah karna kurangnya kesadaran masayrakat disini atau karna
tidak adanya sanksi yang di berikan oleh perangkat desa ketika
mereka membuang sampah di sungai?" Gadis itu bertanya sambil
melemparkan batu kerikil ke seberang sungai. Dahinya berkerut
seperti sedang berpikir.

"Hmm, hal itu juga sebetulnya yang sedang saya pikirkan dek,ingin
rasanya menciptakan suasana sungai yang bersih dan terbebas dari
sampah. Padahal, sungai ini bisa menjadi kebanggaan tersendiri bagi
desa kita jika kita berhasil merawatnya."

"Hahhh astgaa kak...!!" aku terlonjak kaget mendengar ucapannya


yang sedikit berteriak.

"Betul juga itu yang kakak bilang, padahal kita bisa menjadikan
sungai ini sebagai sarana wisata dengan konsep mencitai alam sekitar,
kita bisa menarik perhatian pengunjung dengan keindahan sungai ini,
dan ketika tempat ini dijadikan tempat wisata tentunya akan
menghasilkan dana yang bisa kita pergunakan untuk kemajuan desa
ini " ucap gadis itu dengan sangat semangat.

Aku terdiam ketika mendengar penjelasan darinya, apa


yang di katakan gadis itu merupakan sebuah ide yang sangat bagus
dan seperti menjawab pertanyaan yang ada di benakku selama
ini.Tetapi keraguan kembali menyelimuti hatiku ketika mengingat
bagaimana susahnya mengetuk hati masyarakat sekitar.

"Berkhayal memang mudah dek, tapi mewujudkannya setengah


mampusss" Mendengar ucapanku gadis itu langsung menoleh
dengan wajah yang kesal. Mungkin karena baginya aku tidak
menghargai idenya itu.

"Tentunya untuk mewujudkan semua itu kita perlu dukungan dari


masyarakat sekitar, kamu kan tau susahnya merubah kebiasaan
mereka yang sudah mendarah daging"

"Huhhh, gini yaa kak.....,"

"Zaki" potongku dengan cepat. Ketika melihatnya bingung karena


tidak mengetahui namaku, ah ya..aku baru menyadari kami belum
mengetahui nama satu sama lain karena terlalu asyik berdiskusi.

"Oh iyaa jadi gini kak zakii, pastinya mereka tidak akan mau
mengindahkan perkataan kita kalau hanya di berikan peringatan
semata, tetapi jika nantinya sungai ini dijadikan tempat wisata maka
otomatis akan membuka lapangan pekerjaan untuk warga disini kak,
kita bisa merekrut sebagian dari mereka untuk menjadi penjaga
petugas kebersihan, satpam, dan lain lain kak..terus....,"

"Qolbiii?!! " Sebuah teriakan mengehentikan ocehan gadis itu. Lalu


kami menoleh kearah sumber suara, terlihat wanita yang tak lagi
muda namun masih terlihat cantik, memiliki senyum yang
teduh,beliau adalah Ibu Wina,ibu desa kami.

"Oh iyeee omaa, disinii " Gadis yang sekarang kuketahui bernama
Qolbi ini menjawab sambil melambaikan tangan kepada bu Wina
sembari tersenyum lebar menampilkan giginya yang rapi, ternyata
Qolbi merupakan cucu dari Ibu Wina.

Kami berdua berjalan mendekat kearahnya, lalu kuraih tangan bu


Wina lalu menciumnya. Beliau tersenyum kearahku.
" Loh zaki, Lamami ko pulang nak?" Tanyanya kepadaku.

"Belum ji Bu baru kemarin sampai". Aku menanggapi pertanyaan


Ibu Wina sembari mengikuti langkah kakinya yang menjauh dari
sungai menuju ke arah Rumah, kebetulan rumah ku dan Ibu desa
searah, maka kami berjalan dengan bertukar cerita dan pertanyaan-
pertanyaan, ternyata desa ini tidak banyak berubah setelah 4 tahun
aku meninggalkannya.

***

'Jrengg..jrengg..jrenggg' suara petikan gitar mengiringi alunan lagu


yang sedang kami nyanyikan malam ini meskipun dengan suara yang
Pas-pasan. Seperti layaknya anak muda pada umumnya, aku dan
teman-teman sering melakukan ritual kumpul-kumpul ala anak muda
yang biasa dilakukan yaitu nongkrong sambil minum kopi atau lebih
di kenal dengan istilah "nongki".

"Eh do, ganti lagu dong. Lagu galau lah,lagunya Mahalini"

"Huh apakah kasian ical, kau nda jelas daritadi menyanyi ganti-ganti
terus baru nda masuk nadamu" Edo menghentikan petikan gitarnya
dan menaruh gitar tersebut di dekatku, sepertinya ia mulai bosan
meladeni permintaan ical.

Sementara teman-temanku yang lain sedang asyik bermain


game Mobile Legend di ponsel mereka, aku kembali menyeruput
kopiku yang tinggal setengah.

Percakapan yang kulakukan dengan Qolbi beberapa hari


yang lalu terus berputar di kepalaku, Apa yang di katakan oleh gadis
itu ada benarnya juga. Mengapa aku tidak mencoba mengajak teman-
temanku untuk membuat wisata di desa ini melalui potensi yang
ada.Tetapi kembali lagi keraguan itu datang,namun aku menepisnya
ketika mengingat pesan dari dosenku, beliau mengatakan bahwa kita
tidak akan tau hasil dari sesuatu ketika kita tidak mencobanya,lebih
baik Gagal seribu kali daripada tidak mencoba sama sekali. Lalu aku
membulatkan tekadku untuk menyuarakan apa yang mengganjal
hatiku selama ini.

'Ekhemm..' Aku berdehem untuk menarik perhatian dari mereka,


terlihat Ical dan Edo mulai memperhatikan ke arahku, disusul dengan
tomi dan wawan yang sempat mengalihkan pandangan namun
sedetik kemudian mereka kembali sibuk untuk menyelesaikan
permainan game mereka.

"Eh Bro, kalian lagi sibuk apa akhir-akhir ini?" Aku mengawali
pembahasan ini dengan berbasa-basi terlebih dahulu.

"Ya biasa Zak, masih Kerja di perusahaan situ. Ini juga bisa
ngumpul karna ambil cuti 3 hari" Edo menjawab dengan serius.
Memang dari dulu diantara kita Edo lah yang paling tekun bekerja,
terbukti dengan hasil kerjanya Ia sudah bisa memperbaiki keadaan
Rumahnya yang sangat berbeda ketika aku belum pergi dari desa ini,
dan terlihat dari barang-barangnya yang berkelas.

"Kalau saya sih paling bantu-bantu bapak di kebun, habis itu pulang
jadi pengangguran sampe sore" ical menjawab pertanyaanku dengan
sesekali mengisap rokok yang berada di tangannya.

"Anjayyy..pengangguran sukses boss" Wawan menyahut dengan


sedikit berteriak karena jarak mereka yang tidak dekat, ternyata Ia
menyimak percakapan yang sedang mereka lakukakan walaupun
jari-jarinya sibuk menari di atas ponsel sambil beberapa kali mulutnya
memaki Tomi karena tidak becus ketika Mabar (Main Bareng).

Lalu Ical kesal dan melemparkan pisang goreng kepada wawan

"Gausah nyinggung kalau Nasib kita sama".


Wawan hanya nyengir mendengar Sindirin dari Ical. Rupanya
Wawan pun masih setia menjadi beban di rumahnya. Ia sempat
beberapa kali bekerja namun tidak bertahan lama, dengan alasan
tidak cocok dengan bakat yang ia miliki. Tapi kurasa itu hanyalah
alasannya saja agar bisa menganggur dengan gaya.

"Kalau kamu Tom?" Tanyaku kepada Tomi yang daritadi tidak


terdengar suaranya karena terlalu fokus.

"Hah? Ya elahh, kan masih kuliah cukkk" ahh iya. Aku lupa kalau
Tomi adalah adik tingkatku, bedanya Tomi memilih berkuliah di
Kampus yang tak jauh dari kampung halaman kami, Saat ini Dia
sedang liburan semester sepertinya.

"Kau nda bosen tinggal di kampung terus Wan? Saya saja pulang
kampung niatku mau liburan, tapi di Desa ini seperti nda ada
kehidupan" ujar Tomi.

"Bosen Broo, eh tapi selama ada Si Qolbi di desa ini Sa jadi tambah
semangat untuk tidak merantau " Wawan menjawab dengan
senyuman Buayanya itu.

"Halahh mana mau Qolbi sama kamu Wan, secara Qolbi itu
pendidikannya tinggi. Pasti nyari yang setara dong, minimal spek
kaya Zaki gini lah" Aku mengerutkan alis mendengar perkataan dari
Ical, mengapa ia tiba-tiba membawa namaku. Ehh tunggu, siapa tadi?
Qolbi? Bukankah dia gadis itu.

"Qolbi Siapa sih? Cucunya pak Desa?"

"Wihh udah kenalan aja yaa Zak. Gercep sekali kanda" Edo
menanggapi perkataanku sambil bermain mata.

"Bukan gitu, kemarin nda sengaja ketemu di Sungai. Terus kit...,"


"Hahh Anjirr kalah Start nihh. Wahh parah kamu Zak. Bagi napa
nomer Wa nya" Belum sempat kuselesaikan ucapanku tiba-tiba
Wawan memotong dengan heboh.

"Isshh, Gadaa!. Kemarin sempat ngobrol tap..., "

"Hahh?! Anjir mana sempat ngobrol lagi, ngborol apaan kalian?"


Kembali lagi Wawan memotong pembicaraanku, dan Berakhir
mendapat jitakan dari Ical, Edo dan Tomi. Sepertinya mereka kesal
sama sepertiku yang hanya bisa menghembuskan nafas kesal.

" Diem dulu lah Wan, ribut sekali kau" jawab Ical.

"Jadi gini bro," belum sempat aku melanjutkan perkataanku. Tiba-


tiba mereka sudah berjejer dihadapanku untuk mendengarkan aku
berbicara. Sedikit aku tersenyum, merasa di hargai oleh mereka

" Kemarin aku dan Qolbi ngobrolin tentang sungai. Katanya sayang
sekali sungai sebagus itu tidak di manfaatkan,rencana kami ingin
mengajak masyarakat desa untuk memberdayakan sungai itu terus di
jadiin tempat wisata,Pasti akan banyak yang datang liburan di desa
kita, nah kan keren tuh kalau desa kita terkenal dengan keindahan
sungainya."Ucapku dengan penuh semangat.

Aku memperhatikan mereka satu persatu, tidak ada yang


menanggapi ucapanku. Hanya tersisa pandangan aneh dari mereka,
terlihat dari raut wajah serta kerutan dari dahi mereka. Sejenak
mereka saling berpandangan kemudian "HAHAHAHAA" pecahlah
tawa dari ketiga temanku ini.

"Tempat wisataa apaan Zak, Mana ada orang yang mau liburan di
tempat gituan" Ucap Ical sambil memegangi perutnya yang sakit
karena tertawa terbahak bahak.

"Iya nih Bro, jangan ngadi-ngadi yaa. Orang sungai udah kaya bak
sampah gitu kok" Lanjut Edo.
" Ya makanya kita bersihin dong biar gak kaya bak sampah " Aku
menanggapi ucapan Edo dengan sedikit kesal.

"Lu aja deh, gua mah ogah. Nih ya, cape-cape kita bersihin ntar juga
semenit kemudian udah ada yang buang sampah lagi, tuh salah
satunya emaknya Wawan kalau buang sampah seplastik gede" Sindir
Ical yang berhasil membuat Wawan yang daritadi diam langsung
angkat suara.

"Yee..jangan gitu lah, habisnya mamaku bingung mau buang sampah


dimana. Kan itu sampah bekas jualan makanan banyak tuh, gak
mungkin kan mau di bawain kerumah. Yang ada ntar Rumah gua
yang kaya tempat rongsokan!!" Wawan menjelaskan dengan nada
yang sedikit ngegas karena emosi.

Tomi yang Sedari hanya duduk di pojokan mengamati percakapan


kami, langsung bangkit dari tempat duduknya dan mengambil
tempat duduk di sebelahku, kemudian dia merangkul bahuku.

"Bro, gua rasa itu ide yang bagus. Tapi lu harus ingat kalau mau
masyarakat juga mengerti dan setuju sama arah jalur pikir kalian
berdua, maka kita harus menyediakan solusi dari permasalahn yang
ada, bukan hanya sekedar perintah dan kata-kata manis tentang
larangan buangan sampah sembarangan, karna gue rasa mereka juga
tau akibat dari perbuatannya, tapi kondisi yang membuat mereka
tutup mata akan hal itu"

Aku terdiam mendengar ucapan Tomi, Ucapan Tomi memang


masuk akal dan aku terkagum oleh pikirannya itu, namun sejenak
aku tersadar bahwa tak heran ucapan seperti itu akan keluar dari
mulut seorang Tomi, karena di kampusnya dia termasuk salah satu
Mahasiswa yang sering melakukan Orasi.

"Nahhh Setujuu !!!" Ucap wawan sambil bertepuk tangan.


Aku hanya mengangguk sebagai jawabannya. Lalu kuarahkan
pandanganku kelangit,berpikir sejenak kira-kira solusi apa yang
harus di berikan.

***

Keesokan harinya, aku membulatkan tekad untuk menemui Qolbi


dirumah pak Kepala Desa, aku tak ingin sungai itu semakin rusak
dan wacana tinggalah wacana. Pokoknya Niat baik harus di
wujudkan dan pasti akan selalu ada jalannya.

'Tok tok tok' "Assalamualaikum.."

ku ketuk pintu rumah pak kepala desa, ketukan pertama tidak ada
jawaban. Lalu ketukan kedua terdengar suara gesekan kunci yang
sedang di buka dari sebrang pintu itu. Kemudian muncul Ibu Desa
memakai daster berwarna kuning dan handuk yang masih terlilit di
kepalanya, sepertinya beliau baru selesai mandi.

"Eh zaki, kenapa nak?" Tanya bu desa dengan senyuman yang tak
pernah lepas dari bibirnya, kemudian aku meraih tangannya untuk
bersalaman.

"Emm anu bu, ada urusan sedikit sama Qolbi. Qolbinya ada?"
Mendengar ucapanku Bu desa menyipitkan matanya.

"Hayoo ngapain nih cari Qolbi " ucapnya sembari tersenyum jahil
kepadaku.

"Eh haha ..eh,,anu tidakji buu, hanya ada urusan sedikit" Aku
menjawab pertanyaan ibu desa dengan sedikit gugup kemudia aku
menggaruk kepalaku yang terasa tidak gatal sama sekali.Entahlah,
mengapa aku merasa gugup padahal niatku memang hanya sekedar
untuk membahas Rencana itu, bukan untuk modus.
"Nda usah malu-malu begitu toh nak Zaki, lagian ibu juga setuju
kalau kamu mau sama Qolbi, he..he..he " Ujar bu desa sambil menoel
lenganku.

Aku hanya tersenyum sebagai jawabannya, tak lama kemudia Dua


orang yang tak seumuran memasuki pekarangan rumah Pak Desa
dengan menggunakan sepeda motor merek Scoopy berwarna merah
silver. Mereka adalah Qolbi dan anaknya bu desa,Ani. Qolbi
melambai kearahku, lalu ia berjalan kearah kami sambil menentang
beberapa plastik sayuran, sepertinya mereka baru pulang dari pasar.

"Itu zak, yang lagi kamu cari-cari udah dateng. Tadi mereka Ibu suruh
kepasar beli sayuran," ucap bu Desa sambil menunjuk ke arah
mereka.

"eum, kak Zaki kan ya? " tanyanya kepadaku.

"Hehe iya, baru pulang dari pasar dek?" Tanyaku berbasa-basi,


padahal sudah jelas mereka dari pasar lagipula Ibu desa sudah
memberitahuku tadi, tapi tak apalah, habisnya aku bingung mau
menanyakan apa.

"Iya nih kak, Apa-apa sekarang mahal. Mungkin karena pengaruh


cuaca yang nggak menentu yaa?" Qolbi menjawab pertanyaanku
sambil memberikan kantung berisi belanjaan mereka kepada ibu desa.

"Yaudah nak Zaki, ibu masuk dulu yaa. Mau masak dulu soalnya tadi
belum sempat masak, lagian tuh Qolbi udah ada tadi katanya ada
perlu"

"Oh iya bu, silahkan" setelah itu bu Desa memasuki rumahnya.


Tinggalah aku dan Qolbi yang sedang asyik mengibas-ngibaskan
tangannya ke muka, mungkin dia kepanasan.

"Ada keperluan apa kak?" Setelah sekian menit kami saling diam,
akhirnya gadis itu menghentikan aktivitasnya dan bertanya
kepadaku, aku terdiam sejenak. Bingung harus memulainya
darimana.

"Gini dek, masih ingat obrolan kita tentang Sungai kemarin?" Aku
memperhatikan gadis itu yang sedang mengingat-ingat. Lalu ia
menjentikkan jarinya.

"Ah iyaa. Ingat kak. Kenapa emangnya?"

" Gimana kalau kita realisasikan semua obrolan kita kemarin yang di
sungai?" Tanyaku kepadanya.

"Maksudnya kak? Tentang Pelestarian sungai dan dijadikan tempat


wisata?"

"Iya. Adapun sebagai tempat wisata itu nilai plusnya. Tapi tujuan
utama kita adalah kita mencari cara agar sungai itu terbebas dari
sampah dan menjadi indah seperti dulu lagi " Ya. Bagaimanapun
nantinya, aku bertekad mengembalikan kaasrian sungai itu, tempat
favoritku sejak kecil. Aku memperhatikan gadis itu yang sedang
mengangguk-anggukan kepalanya terlihat berfikir.

"Terus kemarin saya udah sempat ngobrolin hal ini pas nongkrong
sama anak-anak"

"Terus gimana tanggapan mereka..? "

Setelah itu aku menjelaskan mengenai obrolan kami semalam,


tentang pendapat Tomi dan teman-teman lainnya. Kami terus
mendiskusikan bagaimana caranya agar kami dapat menggerakkan
warga desa untuk ikut berpatisipasi dalam ide kami, tanpa
pemaksaan sedikitpun. Kami ingin mereka tersadar dan ikut
meletarikan sungai serta merawatnya. Setelah berjam-jam diskusi
akhirnya kami sedikit menemukan titik terang. Diskusi berakhir
ketika jam sudah menunjukkan pukul 11.30 dan aku harus kembali
kerumah. Akhirnya kami memutuskan untuk membuat group
Whattsapp sebagai sarana untuk kami berkomunikasi, serta kami
memutuskan untuk menemui pak Desa nanti malam dan berbicara
langsung mengenai rencana kami.

***

Setelah melakukan pemaksaan terhadap keempat temanku tadi


malam, akhirnya mereka bersedia menemaniku untuk bertemu pak
Desa malam ini.

Kami sudah bersiap diatas motor, tetapi kami masih menunggu


wawan yang sedang bersiap-siap, sudah seperti perempuan saja
lamanya.Kemudian tak lama wawan muncul dengan rambut klimis
dan setelan kemeja yang digulung sampai siku. Sontak hal itu
membuat kami terheran-heran. Disaat kami hanya memakai kaos
bahkan celana pendek, tetapi Wawan sangatlah berbeda.

"Astaghfirulladzim Wan, mau undangan apa gimana? " Ucap ical.

"Yee sirik amat kalian, Disana tuh ada Qolbi. Jadi harus terlihat
ganteng dan memukau di hadapannya, hahaha. Gmna? Harum
gakk?" Ucap wawan sambil terus menyemprotkan parfum ke
bajunya. Pantas hanya Wawan yang langsung setuju tanpa di bujuk
ketika aku menyampaikan niatku kepada mereka, ternyata dia
semangat karena mempunyai niat lain. Ck ck ck, benar-benar buaya.

Setelah itu kami langsung berangkat menuju rumah Pak desa, ketika
kami sampai disana rupanya pak Desa sudah berada di teras rumah
bersama Ibu desa,dan tak lupa Qolbi yang ketika kami sampai ia
sedang membawa sepiring pisang goreng dan disusul Ani yang
membawa senampan Teh panas.Kemudian kami bersenda gurau
terlebih dahulu kepada pak Desa, saling menanyakan kabar dan
sebagainya. Setelah cukup lama barulah kami membahas inti serta
maksud kedatangan kami kepada pak desa.
"Jadi sebetulnya tadi bapak sudah sempat ngobrol juga sama Qolbi
tentang niat baik kalian. Sebelumnya bapak mau berterimakasih
sekaligus mengapresiasi ide dari kalian semua, terutama nak zaki.
Tapi saya mau bertanya, solusi apa yang kalian berikan untuk
menghadapi kebiasaan masyarakat desa yang sering membuang
sampah sembarangan kesana?" Pak Desa menatap kami satu persatu,
lalu mereka hanya saling menyenggol lenganku. Kemudia aku
memberanikan diri untuk menyampaikan solusi yang telah kami
diskusikan sebelumnya.

"Em jadi gini pak, kami rencananya akan membuatkan tempat


pembuangan Umum di masing-masing Rw pak. Jadi karena disini
ada 3 Rw maka totalnya ada 3 pak"

Mendengar jawabanku pak desa mengangguk-anggukan kepalanya.


Setelah itu kami melakukan diskusi panjang , dan setelah melakukan
bermacam negosiasi yang di bantu oleh , keputusan akhirnya adalah
pak Desa mendukung penuh ide kami ini.

Aku menghela nafas lega, sesuai kata dosenku niat baik akan selalu
ada jalannya.

***

Sudah Sebulan sejak kami bertemu kepala desa, dan memulai


pekerjaan kami. Kini tiga buah tempat pembuangan Umum sudah
siap di fungsikan. Tetapi, tidak ada rencana yang akan terus berjalan
mulus. Meyakinkan dan merubah kebiasaan warga desa sangatlah
sulit. Tidak sedikit kami menerima cacian serta makian yang di
lontarkan oleh beberapa penduduk desa, kami di katain "sok
pembersih, mentang-mentang kuliah jauh mau ngatur warga
seenaknya" dan masih banyak lagi.

Tetapi kami tidak putus asa, kami selalu membalas cacian mereka
dengan senyuman dan selalu membersihkan sampah-sampah yang
mereka buang dengan sengaja ke pinggir sungai. Walau kadang hati
ini teriris namun semangat kami tak akan pernah pudar begitu saja.

Kini sungai sudah bersih dari sampah, rasa haru menyelimuti


hatiku. Akhirnya aku bisa melihat kembali sungai seperti yang
kutemui ketika aku kecil, walaupun tidak sebagus dulu, tapi kami
akan mempercantiknya kembali. Tomi, Wawan, dan Ical yang tadinya
setengah hati ketika melakukan pekerjaan ini menjadi paling
bersemangat ketika kuajak mereka untuk bernostalgia tentang betapa
sungai ini menjadi saksi indah tempat bermain kita sepulang sekolah.
Sementara Qolbi, hanya beberapa kali dapat ikut terjun langsung
untuk membantu rencana ini dikarenakan ia sudah kembali ke kota
karena ada hal yang dia urus. Rupanya disisi lain dia terus
mengusahakan perizinan kepada pemerintah pusat untuk membuka
tempat wisata di desa kami.

Panas terik matahari tak menyurutkan semangat kami yang


sedang memperindah sungai dan membuat beberapa spot foto
bernuansa alam, tak terlalu susah, karena memang sungai ini sudah
sangat indah. Bebatuan yang masih alami serta rerumputan yang
terhampar luas menambah daya tarik untuk sungai ini. Karena di
pinggir sungai ini dapat di dijadikan sebagai tempat ngecamp dan
sebagainya. Kami pun sudah membuat beberapa gasebo untuk
tempat istirahat ataupun piknik yang di bantu oleh beberapa warga
desa, setelah banyaknya perubahan pada sungai yang setiap harinya
bertambah indah, warga desa mulai menerima ide kami dan ikut
membantu agar tempat wisata ini cepat selesai. Anak-anakpun sangat
bahagia, mereka setiap sore bermain di sungai ini bersama teman-
temannya.

'Drrrttt..Drrrtt..drrtt' Aku meraih Handphone yang sedang bergetar


di saku celanaku,notifikasi pesan Whattsap dari seseorang. Kemudian
aku membuka icon kunci pada layar hpku dan berlanjut membuka
aplikasi berlogo telfon berwarna hijau itu. Ternyata pesan group dari
Qolbi, dan seketika membuat group menjadi ramai.

Project Sungai Laikandonga

Qolbi : Halo Guyssss.. Fyi, besok aku dan temen-temen kampusku


mau jalan-jalan kesituu. Gimana nihh..??

Ical : Gassss

Edo : Bolehsi, lagian udah ada gazabo juga tadi udh dibuat di pinggir
sungai, jadi bisa tuh duduk-duduk disitu

Wawan : Boleh bangetsii ayang Obiii (emoticon senyum). Mau di


siapin ikan ga buat bakar-bakar?

Edo : Alay kamu wan

Qolbi : (Replaying to Wawan) aaa boleh tuu kak, pasti seru bakar-bakar
dekat sungai.

Qolbi : oh iya guys, btw kita bukan hanya sekedar jalan-jalan loh, tapi
kita mau sekalian buat vlog di sungai situ, lumayan nih temen gue
banyak fllowrsnya di Ig.

Ical : Wihh seleb dongg

Qolbi : hahhaa iyaa kakk, oh iya tolong dong kak @Zakii di siapkan
yah tempatnya seestetik mungkin heheh

Anda : Oke.

Setelah membalas pesan di group aku kembali mengantongi


hp ku yang masih ramai dengan cht mreka di group. Lalu aku
kembali kerumah karena matahari semakin terik. Selama perjalanan
aku tersenyum ketika mendapati warga yang mulai patuh membuang
sampah di tempat pembuangan umum, setelah pak desa
memberlakukan denda terhadap mereka yang membuang sampah
sembarangan terlebih lagi di sungai. Aku masih tak menyangka
Impianku untuk membuat desa ini menjadi lingkungan yang bersih
dan berdaya saing dapat terealisasikan tentunya dengan bantuan dari
teman-temanku yang hebat dan di dukung oleh semua kalangan
walaupun banyak rintangan yang dihadapi selama melaksanakannya,
tetapi sekali lagi tidak ada usaha yang menghianati hasil.

Tak terasa aku sudah sampai di depan rumah, kulihat ibu yang
sedang menjahit baju dan ayah yang sedang membaca Koran. Hari ini
hari sabtu, jadi ayah sedang libur bekerja dan sedang duduk bersantai
bersama ibu. Segera kusalami keduanya, lalu duduk disamping ibu
dan mengambil sepotong ubi yang ada di atas meja.

"Darimana zak?" Ayah bertanya kepadaku tanpa memalingkan


pandangannya dari koran yang sibuk di bolak balik, entah mengapa
ayang lebih senang membaca koran daripada mencari berita di media
sosial, beliau selalu beralasan dengan mengedepankan kesehatan
mata.

"Ya biasa yah, dari sungai" Lalu Ayah memalingkan wajahnya


kepadaku.

" Kamu yakin sungai itu akan di kunjungi banyak orang? Memang
ada orang yang mau berlibur di sungai? Kan biasanya di pantai, mall,
gunung dan semacamnya. "

Aku menghela nafas ketika akan menjawabnya, " Nah


justru itu Yah. Salah satu daya tarik yang ingin Zaki ciptakan. Zaki
ingin membuat tempat liburan yang belum ada di kota ini, yaitu
sungai yang menyajikan keindahan alam desa ini dan di tambah
beberapa spot foto, dan ada pula tempat ngecamp karena di samping
sungai terdapat tanah lapang yang di penuhi rumput yang indah,
kira-kira bgitu" Mendengar jawabanku ayah hanya mengangguk-
anggukan kepalanya.

"Bagi kita tempat seperti itu terlihat biasa, tapi bagi orang kota
seakan melihat surga tersembunyi di sebuah desa " Ibu ikut
menyambung ucapanku, sedari awal Ibu lah yang selalu mendukung
setiap langkah yang kuambil dan tak jarang Ibu memberi masukan-
masukan yang tak terfikirkan.

***

Keesokan Harinya Qolbi bersama teman-temannya datang


ke desa kami dan seperti rencana awal, mereka datang untuk melihat
wisata yang ada di desa ini. Saat mereka tiba di desa ini, mereka
langsung mendatangi kediaman pak Desa untuk beristirahat, dan
kami pun sudah ada disana untuk menyambut mereka sekalian
berkenalan.Qolbi sedang asyik menyiapkan makanan dan minuman
bersama ibu desa saat ini. Semantara itu seorang wanita dengan
rambut hitam panjang terurai sedang memperhatikan wajahnya di
cermin, ia sesekali mengoleskan listip kebibir mungilnya. Bisa di
tebak, dia adalah Shireen si Seleb itu. Kemudian disebelahnya
perempuan dengan jilbab berwarna merah muda dan menggunakan
pakaian berwarna terang, sedang sibuk memilih filter dari ponselnya
yang berlogo apel digigit. Dia adalah Ica, si gadis ceria. Namun di
antara ketiga wanita feminim tersebut terdapat satu orang yang
mimiliki penampilan sangat berbeda dari mereka, dia terlihat cuek
dengan fashion, saat ini saja dia hanya menggunakan kaos putih dan
celana panjang berwarna hijau botol, dan rambut yang diikat asal. Dia
adalah Sisil, si tomboy yang memiliki wajah cantik.

Setelah matahari tidak terlalu terik, kami beranjak dari


rumah pak desa menuju sungai. Sepanjang perjalanan keempat gadis
itu tak henti-hentinya mengambil foto diri untuk mengabadikan
moment itu, saat ini keadaan sangat ramai, karena pemuda desa pun
ikut bersama kami, biasalah modus.

"Aaaaa canciiii bangett sungaiinyaaa" Ica berteriak histeris ketika


kami sampai di dekat sungai,gadis itu berlari dan meloncat-loncat
disana.
"Ohh hallow guysss. Saat ini kita sedang berada di tempat wisata
Sungai Laikandonga,kalian bisa lihat guys disini sungainya jernih
banget loh,terus disebelah sana ada tempat buat kalian yang seneng
ngecamp disana bisa berdiriin tenda terus malemnya bakar
ikan,woww apa ga seru bangat tuhhh....." terdengar suara shireen
yang sudah memulai membuat konten.

Lalu kami pun mengajak mereka berjalan-jalan dan


memperkenalkan kepada mereka aset desa yang kami miliki.
Beberapa kali mereka berdecak kagum dan setelah itu kami
melanjutkan acara bakar-bakar ikan hingga sore hari.

***

Setelah kedatangan Qolbi dan teman-temannya, sungai


tempat wisata kami banyak di ketahui oleh banyak orang yang
melihat vlog milik Shireen. Kekuatan gadis cantik memang tak di
ragukan lagi, siapa sangka hanya hitungan beberapa hari konten
tiktoknya sudah menembus jutaan views. Secara perlahan orang-
orang datang berwisata ke sungai Laikandonga, ada pula dari
kelompok pecinta alam datang untuk ngecamp dan sebagainya.

Akhirnya, sungai yang dulunya tak terawat kini dapat menjadi


kebanggan kami. Kebanggan desa Laikandonga.Dan beberapa tahun
kemudian sungai ini semakin di kenal hungga kepenjuru kota
lainnya,aku dan kawan-kawanku mendapat penghargaan dari bapak
desa atas kerja keras kami.Selain itu, masyarakat desa pun
mendapatkan pekerjaan dengan terbukanya tempat wisata sungai
Laikandonga,ada yang bertugas sebagai petugas keamanan,petugas
kebersihan,juru parkir,maupun masyarakat yang kami izinkan
menjajakan makanan ataupun jualannya disekitar sungai ini. Ah,
senang rasanya impianku dapat membantu semua kalangan,selagi
kutanamkan pada diriku bahwa segala niat baik akan terus ada
jalannya.
SEPUCUK HARAPAN UNTUK RUMAH TENGAH
(Silfi Tri Andira)

Ketika pukul tujuh, clara menyibak horden berwarna biru


yang menutupi sebuah jendela kecil yang tak terlalu tinggi. Clara
melempar pandangan ke arah luar jendela berniat untuk melihat
suasana pagi dan memastikan bagaimana cuaca hari ini. Terlihat
sekelompok anak-anak melintas dengan memakai seragam merah
putih menuju ke sekolah kemudian disusul oleh beberapa wanita
paruh baya yang menenteng tas kebun dan tak lupa sabit sebagai alat
yang biasa dibawa oleh para petani. “hemm mendung lagi, pasti mo
hujan ini sebentar” clara menggerutu dalam hati. Ini adalah hari
pertama clara berada dikampung orang. Semua hal masih terasa asing
bagi clara.
Di hari pertama, clara sudah disambut dengan hujan rintik-
rintik yang menambah suasana dingin di desa itu. Hawa dingin itu
membuat clara enggan tuk melepaskan selimut dari tubuh
mungilnya. Tetapi seketika keinginan itu dihempaskan oleh ingatan
clara mengenai rencana yang sudah ia buat semalam. Clara berencana
untuk pergi keliling desa bersama Iin siang ini. Iin adalah teman lama
clara saat dikampus, mereka dulunya tidak terlalu dekat namun
memiliki hubungan yang baik selayaknya teman sekelas. Clara sangat
bersyukur di tugaskan di desa ini karena ini adalah kampung
halaman Iin. Itu akan membuat clara lebih mudah dalam beradaptasi
dan mengenal desa itu . “ Eh ra, ko sudah bangunmi? “ sapa Iin ketika
melihat clara keluar dari balik pintu kamarnya. “hehe, iye in” clara
membalas sapaan iin sambil tersenyum nyengir dan bergegas menuju
ke kamar mandi. Usai dari kamar mandi, clara kembali menghampiri
iin yang tengah duduk bersantai di ruang tamu sambil membaca
buku kesukaannya. “ In, ko lagi bikin apa? Ko mau sa bikinkan kita the? ”.
“Eh boleh boleh.. sa lagi baca buku, bagus sekali kasian ini ra ko harus baca
pokonya” iin mencoba memamerkan buku yang baru ia beli minggu
lalu. “oke tunggu mi nah, sa bikinkan kita teh” clara lalu berjalan menuju
dapur untuk membuat teh hangat untuknya dan teman lamanya itu.

Setelah tamat dari bangku kuliah, clara mengikuti tes PPPG


untuk guru, syukurnya clara bisa lulus. Clara kemudian ditugaskan
untuk mengajar di salah satu sekolah dasar yang terdapat di desa
laikandonga. Desa tersebut tepatnya berada dipinggiran sungai
konawe. Saat pertama kali ia melihat nama desa tersebut clara
langsung teringat teman kuliahnya yaitu iin. Ia ingat bahwa
Laikandonga adalah kampung halaman Iin. Tanpa pikir panjang clara
segera menghubungi temannya itu melalui pesan whatsapp. Didesa
tempat clara ditugaskan ia tinggal bersama keluarga iin karena di
desa tersebut tidak terdapat kost dan semacamnya. Kebetulan juga
orang tua iin memiliki 2 rumah yang berdampingan. Rumah lama di
tempati oleh orang tua iin dan rumah yang baru saja dibangun
ditempati oleh kakak kedua iin. Iin memiliki dua saudara perempuan,
dan kakak tertua iin ikut bersama suaminya tinggal di Konawe Utara.

“In jam berapa kita mau pergi jalan-jalan sebentar?” Tanya clara
memulai percakapan. “Emmm.. jam berapa bagus dih? Agak siang pi
mungkin ra atau sore, soalnya masih hujan sekarang beh”. “Oke
dehh..” clara mengangguk paham. Mereka pun mulai menikmati teh
hangat buatan clara sembari bercengkrama dan menyaksikan hujan
yang terus membasahi jalanan. Satu setengah jam terlewati dan hujan
masih belum juga berhenti. Mereka berdua mulai merasakan bosan.

“ Deela ini hujan kenapa tidak ada berhentinya hii” keluh iin sambil
menengok keluar pintu.

“ iya dih.. memangnya kah sering hujan disini”


“tidak ji sebenarnya, beberapa hari kemarin terik sekali matahari, tapi ndatau
juga kenapa tiba-tiba hujan ini hari. Mungkin mulai mi masuk musim
penghujan.”

Jam dinding sudah menujukkan pukul sepuluh. Hujan sudah


mulai reda, dan mereka berdua pun bergegas untuk bersiap-siap.
Claramasih memiliki waktu dua hari sebelum masuk mengajar ke
sekolah. Clara memanfaatkan waktu tersebut untuk berkeliling desa
dan mencoba membangun interaksi kepada masyarakat sekitar. Hari
ini clara memulai perjalanannya ke arah sekolah yang akan menjadi
tempatnya bertugas itu. Clara dan iin memilih untuk berjalan kaki
mengelilingi desa karena clara ingin lebih menikmati perjalanannya
dan ingin menyapa warga yang berpapasan nantinya. Di desa ini
hanya terdapat satu sekolah dasar, dan satu sekolah TK. Sekolah
dasar berada di dusun tiga, untuk menuju ke sekolah tersebut anak-
anak harus menyebrangi sungai terlebih dahulu. Bisa dibayangkan
betapa ribetnya ketika anak-anak harus melepas sepatu sebelum
menyebrang dan kemudian memakai kembali sepatu mereka
sesampainya disebrang.

“Wah.. ada pale kali nya disini in, jadi orang kalo mau ke dusun tiga atau
mau ke sekolah harus menyebrang disini dih?”

“Iye ra, jadi dulu itu kalo saya sekolah tidak pernah kita pake sepatu. Nanti
pi mungkin mau ujian nasional baru kita pakai sepatu” jelas Iin mengingat
pengalamannya semasa sekolah dulu.

“Astaga begitu kah..” clara sedikit terkejut sekaligus terharu


mendengar cerita Iin.

Clara dan Iin terus menyusuri jalan sambil melihat setiap


sudut desa laikandonga. Desa laikandonga termasuk desa yang masih
sangat asri karena dikelilingi oleh bukit-bukit serta perkebunan sawit.
Selama perjalanan clara banyak bertemu dengan warga, sekali lagi
clara merasa kagum dengan desa tersebut karena memiliki warga
yang sangat ramah terhadap orang baru seperti Clara. Mereka tidak
enggan untuk sekedar melempar senyum dan menyapa orang baru.
Hal itu membuat Clara sangat senang dalam perjalanan observasinya
itu dan membuatnya semakin ingin mengenal lebih dekat dengan
masyarakat setempat.

Tidak lama setelah menyebrangi sungai, sampailah clara dan


Iin di depan gedung sekolah dasar. Clara menyaksikan anak-anak
sedang berlarian kesana kemari, disisi lain ada sekumpulan anak laki-
laki yang sedang bermain bola, dan ada pula yang sedang
berkerumun di depan kantin untuk mengantri membeli makanan.
Gedung sekolah disini terbilang bagus karena gedungnya memiliki
lantai 2 seperti dikota-kota besar. Memang gedung sekolah ini baru
saja direnovasi pada tahun 2020 karena pada tahun 2019 desa
Laikandonga diterjang banjir besar dari sungai konawe selama
kurang lebih 2 bulan lamanya. Banjir besar tersebut diperkirakan
terjadi setiap 5 tahun sekali.

Setelah melihat suasana sekolah dari depan pintu gerbang,


clara dan iin melanjutkan kembali perjalanan mereka. Ditengah
perjalanan mereka kemudian melihat para ibu-ibu sedang duduk
santai di teras rumah salah seorang warga. Iin kemudia mengajak
clara untuk menghampiri mereka. Ternyata itu adalah rumah ibu RT.

"Assalamualaikum bu" clara menyapa sembari memberikan senyum


manisnya.

"Waalaikumsalam" jawab para ibu-ibu.

"Tante, ini clara. Teman kuliah ku dulu. Da mau bertugas mengajar di sd


sini" iin memperkenalkan clara kepada para ibu-ibu.

Seorang wanita tua yang memiliki badan tak terlalu tinggi


kemudian bangkit dari tempat duduknya sembari tersenyum dan
segera mengeluarkan kursi plastik dari dalam rumahnya
mempersilahkan clara dan iin untuk duduk beristirahat. Mereka
berdua kemudian ikut dalam perbincangan ibu-ibu tersebut dan
sesekali mereka bertanya mengenai clara, tentang dimana asalnya,
sukunya, dan bahkan ada yang mempertanyakan statusnya. Clara
hanya menjawab dengan malu-malu karena ini adalah kali pertama
dirinya berbincang dengan warga disini. Namun lama-kelamaan clara
sudah mulai bisa menyesuaikan diri dan bisa berbicara dengan santai
bersama mereka. Pada dasarnya memang clara termasuk orang yang
mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Cukup lama mereka
berbincang dengan para ibu-ibu, clara dan iin pun memutuskan
untuk melanjutkan perjalanan mereka.

Sesampainya dirumah mereka langsung disambut oleh orang


tua iin, mereka mengajak clara untuk makan siang bersama. Clara
pun ikut makan bersama di meja makan dengan perasaan yang masih
canggung. Namun karena anggota keluarga iin adalah orang yang
sangat ramah sehingga mampu mencairkan suasana saat itu. Hari itu
menu makanan yang disajikan oleh ibu iin sangat beragam, salah
satunya adalah sinonggi. Sinonggi adalah makanan khas suku tolaki
yang terbuat dari sagu, biasanya disandingkan dengan kuah ikan,
atau masakan apapun yang berkuah. Karena orang tua iin adalah
orang tolaki asli maka sinonggi menjadi sebuah menu wajib yang
harus ada setiap kali mereka makan. Namun mereka juga masih
menyiapkan nasi bagi siapa yang tidak suka sinonggi. Clara
sebenarnya sudah familiar dengan makanan sinonggi, karena
walaupun ia adalah orang jawa dan tinggal dilingkungan jawa
namun pengaruh budaya masyarakat pribumi sudah mulai diadopsi
oleh masyarakat selain pribumi menjadi sebuah kebiasaan saat
sedang acara kumpul keluarga atau teman.

**

Sejak pukul 6 pagi, clara sudah siap sedia seperti anak kecil
yang tak sabar pergi ke sekolah setelah libur panjang. sembari
melahap rotinya di meja makan, clara melirik jam tangannya dan
sesekali melihat ke arah jalanan apakah ada siswa yang sudah
berangkat.

Hari Ini adalah hari pertama clara memasuki sekolah tempat ia


bertugas. Ia sedikit grogi sekaligus bersemangat akan bertemu murid-
murid serta guru disana. " Jangan Takut," kata Iin yang sedang
menuangkan teh hangat untuk clara. "pasti anak-anak senang itu lihat
guru baru apalagi yang cantik kaya kamu" godanya sambil terkekeh.

Jam tangan sudah menunjukkan pukul setengah tujuh, Clara


memutuskan untuk bergegas mengambil tas dan berangkat ke
sekolah. Ditengah perjalanan ia melihat 2 orang anak lelaki sedang
berjalan didepannya. clara lalu mempercepat langkahnya dan
menyusul dua anak lelaki yang sedang bersiap untuk menyebrang
sungai.

"Haloo.. Kalian mau ke sekolah toh?" Clara menyapa kedua anak


tersebut dengan nafas yang masih belum beraturan.

"Iye" jawab kedua anak itu serempak.

"Haaa sinimi kita sama-sama. Sa mau ke sekolah juga"

Mereka pun segera melepas sepatu dan menyebrang sungai


bersama. walaupun kemarin Laikandonga sempat diguyur hujan
namun arus sungai hari ini tidak terlalu kencang dan tak terlalu
tinggi. Air sungai nampak sangat jernih dan segar pagi itu, membuat
clara enggan untuk pergi dan ingin tetap berada disitu sembari
bermain air. mengingat waktu sudah semakin siang mereka bergegas
menuju ke sekolah, kedua anak itu sudah selesai lebih dulu
menggunakan sepatunya. Namun saat ia bangkit clara melihat
mereka berjalan ke arah yang berbeda dengan jalan yang ia lewati
kemarin bersama iin, sontak clara langsung berteriak dan bertanya
untuk menjawab kebingungannya. " korang mau lewat mana itu?"
tanya clara dengan wajah bingung. " kita mau lewat jalan kompas
supaya cepat sampai" jawab salah seorang anak. Tanpa banyak bicara
clara pun mengikuti mereka dari belakang. Jalanan yang mereka
lewati sangat sepi dan dikelilingi hutan disamping kiri dan kanan.
menurut clara ini cukup menakutkan jika ia harus melewati jalan ini
saat berangkat atau pulang sendirian. Untuk menghilangkan rasa
takutnya clara mencoba mengobrol dengan kedua anak tersebut
sepanjang jalan. Yaa nama mereka adalah Agung dan Fandi, Agung
masih duduk di kelas 3 dan Fandi duduk dikelas 5.

Hari pertama memasuki sekolah tidak terlalu menegangkan


karena isinya hanya perkenalan diri kepada murid-murid dan guru-
guru disana. Mereka menyambut kedatangan clara dengan hangat.
Clara ditemani salah satu guru perempuan berjalan-jalan melihat
setiap sudut sekolah dan menyapa para murid. Tidak ketinggalan
clara mampir juga ke kantin untuk mengganjal perutnya yang
sedaritadi seakan berteriak meminta makan, melihat suasana kantin
seketika itu mengingatkannya pada kantin yang ada disekolahnya
dulu.

Teng.. teng.. teng.. bel berbunyi menandakan waktu pulang


telah tiba. Waktu berjalan begitu cepat sehingga clara tak menyadari
bahwa dirinya telah lama berbincang-bincang dengan ibu penjaga
kantin dan ibu guru yang menemani clara.

“ Bu clara pulang dengan siapa? Bawa motor kah tadi?” Tanya ibu
wati guru yang menemani clara.

“ Hehe tidak bu, tadi saya jalan kaki sama anak-anak lewat kali.”

“Kalau begitu kita pulang sama-sama saja naik mobilnya pak kepala
sekolah”

“Hehe terima kasih ibu, tapi saya pulang sama anak-anak saja supaya
bisa lebih dekat sama mereka. Kebetulan dekat juga saya tinggal
dirumahnya Iin”

“Oohh.. iye pale, kalau begitu sa duluan nah bu clara”


“Iye ibu” clara mengangguk sambil tersenyum.

Clara kemudian segera berjalan ke pintu gerbang karena ia


sudah melihat anak-anak menunggunya sejak tadi untuk pulang
bersama. Clara senang sekali karena bisa pulang bersama anak-anak,
jalanan yang tadinya sepi dan clara merasa takut saat melewatinya
menjadi ramai dengan suara ribut dan gelak tawa anak-anak. Clara
juga meminta mereka untuk sering datang berkunjung ke tempat
tinggalnya untuk sekedar main bersama di sore hari atau hari libur.
Karena ayah Iin adalah seorang kepala desa maka tidak sulit bagi
anak-anak untuk menemukan rumah tersebut. Mereka terlihat begitu
sangat antusias mendengarnya.

Clara langsung merebahkan tubuhnya ke kasur ketika sampai


dirumah. Ia merasakan kakinya begitu pegal karena tidak terbiasa
jalan kaki. Selama ini kemana-mana ia pasti menggunakan kendaraan.
Kenyamanan yang diberikan kasur serta angin sepoi-sepoi dari
jendela kamar membuat clara semakin nyaman dan tidak perlu
berlama-lama clara sudah terlelap tidur.

Di waktu sore para tetangga seringkali berkumpul di teras


rumah iin bersama ibu dan kakaknya. Kali ini clara ikut bergabung
dalam perkumpulan itu. Clara merasa benar-benar diterima baik
didesa itu, kedua orang tua iin juga menganggap clara sudah seperti
anaknya sendiri. Clara duduk di sofa coklat sambil mengamat-amati
lingkungan sekitar. Ia melihat banyak sekali anak-anak kecil bermain
dan berlarian kesana kemari dihalaman rumah Bude, Bude adalah
sebutan untuk ibunya iin yang diambil dari singkatan Bu Desa.
Sedangkan Pade untuk ayahnya Iin yang berarti Pak Desa.

**

Hari demi hari sudah clara lewati dengan baik, sejauh ini clara
masih belum menemukan ketidaknyamanan saat tinggal di desa ini,
hanya sesekali ia merasa rindu dengan orang tuanya. Setiap kali ia
rindu hanya bisa berbicara melalui sambungan telpon, clara ingin
sekali bisa melakukan video call saat rindu itu datang namun karena
jaringan di desa tersebut tidak cukup stabil sehingga agak sulit untuk
melakukan video call.

Hari ini clara kembali mengajar di sekolah seperti biasa. Seusai


kelas clara duduk di kantin sambil mengamati wajah anak-anak yang
sedang bermain di jam istirahat. Saat sedang mengamati para siswa,
tiba-tiba clara teringat oleh beberapa wajah anak-anak yang sering ia
lihat bermain di depan rumah Iin, ia mulai bertanya-tanya mengapa
ia tidak pernah melihat wajah anak-anak itu disekolah ini. Apakah
mereka bersekolah di desa lain atau apa? Tanya clara dalam hati.

“Bu clara ayo pulang bu” Teriak salah seorang murid merusak lamunan
clara.

“ Loh eh.. sudah pulang kah?” Tanya clara bingung.

“ Iye bu, kita pulang cepat ini hari karena mendungmi. Kayanya mau hujan
deras.” Sahut murid tersebut.

Clara memandang langit, ternyata langitnya memang sudah


sangat gelap seperti menandakan hujan akan segera turun. Memang
sudah menjadi kebiasaan di sekolah ini bahwa setiap kali akan hujan
deras, siswa akan dipulangkan lebih awal karena banyak dari siswa-
siswi yang harus menyebrangi sungai ketika pulang. Di takutkan arus
sungai meningkat setelah hujan turun dan itu sangat berbahaya bagi
anak-anak. Sebenarnya ada jalur lain selain menyebrangi sungai,
namun jaraknya cukup jauh jika anak-anak harus berjalan kesana.

Clara pulang ke rumah dengan masih menggenggam erat rasa


penasarannya itu, ia tak sabar untuk segera mendapatkan
jawabannya. Kebetulan clara melihat Iin sedang duduk di teras
samping dan sibuk dengan laptopnya. Iin bekerja sebagai bendahara
desa, sehingga seringkali ia menjadi orang yang sangat sibuk karena
harus mengurus data-data mengenai keuangan desa. Namun rasa
penasaran clara semakin tinggi, ia kemudian mencoba menghampiri
Iin untuk meminta jawaban atas rasa penasarannya itu.

“In, ko sibuk kah” Tanya clara basa basi.

“Tidak ji, kenapa kah?”

“Ada sa mo tanyakan” clara tersenyum nyengir.

“Iyo tanyami ona” sahut Iin.

“ kenapa itu in anak-anak yang suka main di depan rumahmu itu, sa nda
pernah lihat dorang di sekolah? Dorang sekolah dimana kah itu?” Tanya
clara dengan wajah penuh penasaran.

“ Ooohh.. dorang tidak sekolah itu laa, karena keterbatasan ekonomi


keluarganya” jelas Iin.

“Astaga begitu kah.. sayangnya mi dih kalo dorang tidak sekolah”

Mendengar cerita dari Iin, clara merasa kasian kepada anak-


anak itu. Sungguh sangat disayangkan jika anak-anak itu tidak
sekolah, jika mereka tidak mendapatkan perhatian mengenai
pendidikannya itu maka akan sangat mempengaruhi masa depan
mereka kelak. Padahal merekalah yang memiliki potensi untuk
memajukan desa di masa depan.

Clara terus berpikir keras bagaimana caranya agar ia bisa


membantu mereka untuk tetap bisa belajar. “aku mungkin tidak punya
cukup uang untuk membiayai mereka semua agar mereka bisa sekolah, tapii..
aku punya ilmu yang bisa aku bagi kepada mereka” pikir clara yang mulai
menemukan ide untuk menyelesaikan masalah itu. Kemudian
terlintas dipikiran clara untuk membuat sebuah kelas sore bagi anak-
anak desa Laikandonga. Clara sangat yakin dan antusias dengan ide
itu, ia berharap dengan ilmu yang ia berikan bisa membuat anak-anak
yang tidak bisa sekolah tetap bisa belajar dan bisa bermanfaat untuk
mereka dimasa yang akan datang.
Seusai makan malam clara membicarakan mengenai idenya
kepada iin dan keluarganya untuk mendapatkan saran. Dan
syukurnya Orang tua Iin sangat mendukung ide itu, mereka bahkan
bersedia untuk menyumbangkan alat tulis dan keperluan lain seperti
papan tulis untuk mendukung kegiatan itu. Clara merasa sangat
bahagia. Namun yang menjadi masalah lagi adalah apakah orang tua
dari anak- anak itu akan ikut mendukung kegiatan ini atau tidak? dan
apakah anak-anak itu sendiri akan mau merelakan jam main mereka
untuk datang belajar bersama clara?. Hal itu kini memenuhi pikiran
clara.

"Bagaimana kalo ko sosialisasi saja sama masyarakat, door to door. Nanti sa


temani ko" kata Iin mencoba memberikan saran. "Emmm.. sepertinya
bagus juga in. kita mulai pale besok sore yoo" clara mulai bersemangat.
"okemi" sahut Iin.

Keesokan harinya mereka mulai berjalan dari rumah ke rumah


mensosialisasikan rencana kegiatan yang akan clara lakukan.
Kegiatan sosialisasi dilakukan selama 3 hari berturut-turut oleh
mereka berdua. Clara begitu sabar menjelaskan kepada masyarakat
dan anak-anak mengenai tujuan dari kelas sore itu. Clara bersama Iin
dan kluarganya juga sudah mulai mempersiapkan peralatan serta
media yang akan digunakan untuk kelas sore seperti buku dan
pulpen gratis, papan tulis, dll.

Dan tiba lah hari dimana kelas sore dibuka untuk pertama kali.
Kelas sore diadakan di salah satu masjid desa Laikandonga. Jam
sudah menunjukkan pukul 3 sore. Clara sudah siap sedia menunggu
kedatangan anak-anak. Satu persatu anak mulai datang, hati clara
mulai berbunga. Hingga akhirnya hanya enam anak yang datang hari
itu. Tapi clara tak putus semangat, clara tetap memberikan yang
terbaik berapapun anak yang datang di setiap harinya. Clara terus
mengajak setiap anak yang ia temui untuk ikut kelas sore.

Syukurlah murid dikelas sore terus bertambah setiap harinya.


Karena anak-anak yang datang semakin banyak, clara juga mulai
mengajak anak-anak muda yang ada di desa itu untuk ikut
membantu dalam mengajar. Kelas sore juga sudah dibuatkan jadwal
sehingga adik-adik dan kakak- kakak yang ikut mengajar mempunyai
waktu istirahat. Kelas sore di lakukan 4 kali dalam seminggu yaitu
setiap hari selasa, rabu, kamis dan jum‟at. Kegiatan itu juga mulai
mendapat dukungan dari masyarakat setempat.

Kini kelas sore sudah berjalan selama 3 bulan, clara terus


berusaha mengupgrade setiap pembelajaran dan segala hal agar kelas
sore ini tetap terus berjalan bahkan ketika clara sudah tak tinggal di
desa tersebut. Clara sangat berharap anak-anak didesa Laikandonga
mampu menjadi generasi yang baik di masa depan. Itulah sepucuk
harapan Clara untuk anak-anak di Laikandonga (Rumah Tengah).
SERIBU CERITA KEHIDUPAN DI PULAU
NUSANTARA
(Nur Hadijah Fitriani)

Hidup sebagai orang miskin tentu tidaklah mudah. Untuk


membangun rumah berdinding saja kami harus mengadu nasib
tetangga,menunggu bantuan dari pemerintah,dan rela berbaut duri,
Itulah yang dialami oleh kedua orangtuaku yang menghidupi 14
orang anak. Dan mereka seperti tidak ada kata lelahnya dalam
mengais rezeki demi meningkatkan taraf hidup dalam keluarga Ku.

Konawe, di tempat itulah aku dilahirkan dan mengadu nasib


untuk rumah yang layak yang bisa cukup untuk 14 orang anak. Tanah
yang terkenal dengan Kelapa sawit dan kali Konawenya yang masih
asri dan sejuk dipandang mata.Keadaan yang lumayan jauh dari kota
dengan fasilitas yang serba terbatas, itulah desaku.

Bahkan, untuk berangkat ke sekolah kami harus melewati kali


konawe karena belum adanya jembatan yang menghubungkan antara
rumah warga desa dusun 2 dan dusun 3. Dimana sekolah kami
bertempatan didusun 3.Dan apabila hujan deras air kali pun akan
banjir.Sehingga apabila melewati kali kami harus melepaskan sepatu
sebelum menyebrangi kali konawe tersebut. Walaupun begitu,
kondisi ekonomi di desaku lumayan membaik pasca banjir tahun
2019 lalu karena bantuan-bantuan dari pemerintah daerah.

Tak hanya soal fasilitas, mengenai suasana dikota juga berbeda


dengan keadaan desaku.Karena kami tinggal di bagian PT Kelapa
Sawit, Maka kami lebih sering melihat barisan pohon sawit dari pada
kerumunan rumah.Setiap aku berangkat ke sekolah, hanya pohon
sawit yang kulihat di pinggir jalan.Bahkan sekolahku pun berdiri di
tengah-tengah pohon sawit dan kebun warga. Dan aku sering
bertanya-tanya '„Sebenarnya milik siapa pohon sawit ini?‟Rumor
mengatakan bahwa pohon-pohon sawit ini milik orang Kalimantan
yang mempunyai lahan berkilo-kilo hektar di desaku. Dimana yang
mengelola PT.Sawit tersebut adalah warga sekitar desaku yang digaji
oleh PT.Sawit tersebut.Tetapi ada rumor yang mengatakan bahwa
seringnya terjadi gaji yang terlambat masuk oleh para petani
sawit.Jika rumor itu benar, aku sebagai orang desaku akan sangat
terpukul. Bagaimana tidak, ini adalah tanah kami desa konawe tetapi
mengapa kami yang harus bersusah payah menjadi pesuruh orang di
desa sendiri ?

Perkenalkan namaku Arif Harun,Orang-orang dikampung


biasa memanggil namaku dengan sebutan Arif.Usiaku sekarang
sudah menginjak 7 tahun.Aku anak kedua dari 3 Bersaudara dimana
terdiri dari 1 laki-laki dan 2 perempuan.Aku anak kedua dimana
masih mempunyai 1 orang adik lagi. Kakakku yang perempuan
bernama Septiani biasa aku dan adikku memanggilnya kak
Septi,Sekarang dia sudah menikah dan mempunyai 1 orang
anak.Jarak umur antara aku dan kakaku lumayan jauh yaitu sekitar 12
Tahun.Masih begitu belia kami sudah harus menjadi korban
kemiskinan kami harus mengikuti orang tua kami merantau ke tanah
Kalimantan tanah yang masih terdengar asing di telingaku kami akan
meninggalkan tanah Sulawesi meninggalkan keluarga besar tercinta
meninggalkan masa-masa menyenangkan sebagai bocah cilik di desa
meninggalkan semua kawan-kawanku aku seperti akan membuka
lembaran baru untai itu lembaran yang utuh atau lembaran yang
justru sudah kusam dan Lapuk.

“Sebenarnya Arif anaknya lumayan pintar mungkin Jika dia


bisa bertahan di sekolah ini dia bisa jadi aset berharga untuk SDN
Harapan Bangsa di masa depan yang akan datang,”ucap Wali kelasku
ibu Desi di hadapan ibuku.

“Gimana ya Bu kalau bukan karena kondisi ekonomi saya dan


suami saya juga nggak pengen mengambil jalan ini kami masih
pengen tinggal di desa bersama Kerabat lainnya,” ujar ibuku.
Ibu Desi menghela memperhatikan rasa kecewa,sebab salah
satu muridnya akan pindah dari sekolahnya.walaupun begitu beliau
paham begitu kondisi ekonomi keluargaku. „Baik bu saya paham
nanti saya dan pak kepala sekolah akan mengurus surat kepindahan
Arif dengan secepatnya‟.

“Terima kasih Bu”.Ucap ibuku.

Keluargaku adalah salah satu dari banyaknya keluarga miskin


yang ada di desa Konawe penghasilan di desa benar-benar tidak bisa
mencukupi untuk kebutuhan hidup dan biaya sekolah apalagi
dengan keadaan sekrang yang apa-apa serba mahal, dengan ekonomi
yang sangat lemah ini.Jika Kami terus bertahan di desa kondisi hidup
kami akan semakin memburuk lihat saja rumahku yang hampir roboh
dimakan usia beruntung di desaku tak pernah ada badai jika itu ada
rata dan habisnya rumahku dengan tanah.

Setiap hari rayap rayap terus menambahkan penggunaannya


di setiap sudut dinding kayu rumahku dinding kayu rumahku yang
tipis terus mengeropos dimakan usia dan dirampas haknya oleh
Rayap-rayap tak tahu malu itu rayap itu tak pernah mengerti keadaan
ekonomi kami kami selalu merusak bangunannya dan membunuh
beberapa darinya. Tapi dari perbuatan yang pendek tersebut aku
mendapatkan sebuah pelajaran bahwa ujian hidup tidak akan
melunturkan semangat dan harapan. Seperti juga pernah menyerah
untuk membangun rumah-rumahnya meski pada akhirnya rumah
yang telah mereka bangun akan menghancurkan tapi mereka pasti
akan membangunnya kembali.

Kadang, aku iri kepada teman-teman yang mempunyai rumah


bertembok dan berkeramik.Mereka bisa berguling-gulung di lantai
keramik yang berkilap dan bersih itu tidak ada tanah yang
bergelombang seperti rumahku mereka mempunyai rumah yang
kokoh berdinding tembok jawab seperti rumahku yang dipagari
anyaman bambu atau balok tipis dan satu lagi aku iri karena rumah
mereka tidak pernah ku masukkan air saathujan.
Sering aku mengatakan Pada Ibuku ketika Kami melintasi
rumah-rumah megah itu yang meski tak Semoga di televisi.“Ibu aku
ingin mempunyai rumah seperti itu”.Ibu hanya membalasku dengan
senyuman.itu saja, aku tak tahu artinya.

Yaitulah Ibuku Fatma namanya pasaran bagi standar orang


kampung tapi dia hanya satu wanita terhebat dalam hidupku dia
selalu menyakinkanku bahwa harapan itu selalu ada selama kita mau
berusaha. Lewat rangkulannya aku selalu merasa nyaman, Ia adalah
selimut nyata yang menghangatkan keluarga.

Ibuku sendiri adalah anak bungsu dari 4 bersaudara Dia


adalah seorang ibu rumah tangga yang setiap harinya pergi ke kebun
dan pergi mencari pakis disekitaran desa untuk dijual ke
pasar.Sehingga bisa digunakan untuk membiayai sekolahku.Ibuku
hanya lulusan SD padahal sewaktu kecil ibuku adalah anak yang
sangat pandai ia selalu mendapatkan peringkat satu di kelasnya dia
juga lulusan dengan nilai UN terbaik se Kecamatan Konawe kala itu
batas prestasinya ia ditawari untuk melanjutkan sekolah dengan
biaya gratis tapi kalau itu Kakek aku menolak tawaran itu dengan
alasan ingin bersikap adil kepada semua anaknya. Sebab,dari ketiga
saudara ibuku tidak ada satupun yang melanjutkan ke jenjang SMP
faktor utamanya adalah buruknya kondisi ekonomi.

Ibuku juga anak yang pekerja keras dan sederhana.Ia tidak


pernah menggunakan tas saat sekolah buku-buku sekolahnya ia bawa
dengan kresek hitam. Ia juga tidak pernah membawa uang saku
kecuali di hari Jumat sepulang sekolah ia selalu dititipi perabotan
kotor untuk dicucinya setelah itu ia membantu ibunya menjual nasi di
pasar saat malam hari. Ibuku belajar hingga pukul 09.00 dengan
ditemani lilin dan buku-buku yang ia pinjam dari sekolah setelah itu
ia bisa beristirahat.

Bagiku ibuku adalah cermin hati yang putih ia lebih dari


sekedar seorang pahlawan di mataku ibuku adalah sosok wanita yang
paling luar biasa di dunia dia sosok wanita yang tangguh dan tak
pernah putus asa.

Sedangkan Ayahku bernama Ramlan adalah seorang Petani


yang sering ke kebun dan biasa menjadi buruh kuli bangunan apabila
ada panggilan. Ayahku bisa mengerjakan apa saja asal itu halal dan
demi uang untuk mencukupi biaya kebutuhan kami. Ayahku
Tamatan SMP walaupun begitu Ia adalah sosok yang disiplin dan
sangat bertanggung jawab.

Dan tiba saatnya aku dan keluargaku harus meninggalkan


Tanah Sulawesi dan merantau ke Tanah Kalimantan.Kami berangkat
berenam Ayah,ibu Aku dan keempat adikku.untuk kehidupan yang
lebih baik lagi sehingga kami sekeluarga harus merantau. Sejak satu
jam yang lalu,Kakak-kakaku terus merangkulku mereka mendekapku
begitu erat.Wajah mereka pucat pasi .Tak ada satupun kata yang
terucap dari lisan mereka kecuali tangis yang terdengar lirih. Air mata
kakak-kakaku terus mengalir membanjiri pipinya,hingga menetas di
atas kepalaku.

Hampir semua anggota keluargaku berkumpul


dirumah.Sebagian ada yang mengantar kami sampai Bandara
Haluoleo dan ada juga yang hanya berpamitan dan berpelukan
dirumah.Tiba saatnya mobil yang akan membawa kami dibandara
tiba.Ayahku bergegas membawa barang-barang yang akan dibawa ke
Kalimantan.Ibuku menyalami semua Anak,Saudara,dan Kerabatnya
yang akan ditinggal dan akupun juga begitu menyalami dan
memeluk Kakakku, keponakan, dan iparku. Yang akan kami
tinggalkan. Sebelum melangkah masuk kedalam mobil aku menatap
wajah Kakakku yang tampak begitu sedih. Air matanya mengalir
begitu deras. Sedangkan tangannya mencoba meraih tanganku . Tapi
suami kakaku mencoba menahan pergerakan Kakakku. Hingga ia tak
mampu berkutik sedikitpun.Aku tak tega melihatnya seperti itu,Baru
kali ini aku melihat kakakku seperti itu.
Sampainya dibandara kami berpamitan kepada sanak
Saudara,Berfoto untuk kenang-kenangan dan saling berpelukan.Dan
akhirnya Aku dan keluargaku menaiki pesawat untuk transit dulu ke
kota Makassar. Didalam perjalanan udara ini aku gugup dan takut
karena ini adalah pertama kalinya aku naik pesawat begitupun juga
dengan keluargaku didalam pesawat kami saling berpengangan
tangan dan membaca doa-doa ayat suci alquran didalam
hati.Diperjalan juga aku masih membayangkan betapa sedihnya
perpisahan kami dan berpikir apakah aku bisa betah di tanah
kalimantan tersebut.Dan tak terasapun akhirnya pesawat yang kami
naiki sudah sampai di Bandara kota Makassar dan kami harus
menunggu 2 jam lagi untuk terbang ke kalimantan.Agar tidak bosan
aku dan adik-adikku jalan-jalan dulu mengelilingi bandara di
Makassar yang sangat besar dan megah ini mata kami melihat-lihat
sekeliling banyak sekali orang-orang bahkan ada bule juga.Walaupun
sangat ramai aku sangat menikmati Bandara dikota Makassar
ini.Pada saat aku dan adikku lagi mengagumi bangunan bandara
tersebut ibuku memanggilku untuk makan dulu.Karena tadi ibu bawa
bekal memang dari rumah.Jadi kamipun sarapan terlebih dahulu
dibandara sebelum ke Kalimantan.

Dan tibanya kami menaiki pesawat yang akan membawa kami


di Kalimantan. Didalam pesawat aku tertidur begitu pula dengan
Adik-Adikku sehingga tidak terasa kami sudah sampai dibandara
kalimantan tepatnya di Kota Balikpapan.Aku dan Ayahpun
mengambil barang-barang yang ada di pesawat untuk dibawah turun
dan membawahnyauntuk dimasukkan kedalam Bus yang telah
menjemput kami.Perjalanan yang kami tempuh sekitar 7 jam.Kami
melewati tempat yang begitu asing.Aku melihat banyak sekali rumah-
rumah panggung.Tapi sangat berbeda didesaku, di sepanjang jalan
banyak sekali lahan kosong dan hutan belantara. Lalu banyak juga
bukit-bukit yang menjulang tinggi di pinggiran jalan. Begitupun jalan
yang dilalui bus,berkelok-kelok,naik turun,dan berdebu.Sebab itu aku
tidak kuat lagi menahan rasa mualku.Aku tak tahan lagi dengan
kondisi ruangan yang pengap dan jalanan yang berkelok-kelok juga
debu.Aku melirik adikkku kasihan terhadap mereka karena masih
sangat kecil untuk merasakan perjalanan yang sangat jauh.Aku
mengeluarkan semua makanan yang telah kutelan tadi.Aku
memuntahkan semuanya diatas celana dan bajuku kondisi semakin
tak karuan dan adik-adikkku pun juga begitu sehingga Ibu kami
kewalahan untuk mengurusi kami didalam bus akupun kasihan
seharusnya aku yang sebagai kakak bisa mengurusi adik-adikku.Tapi
apa boleh buat kalau aku juga tidak sanggup dalam perjalanan yang
jauh ini.

Menjelang sore, akhirnya kami tiba diKecamatan Muara


Dahau.Aku merasa sangat lega.Perjalanan panjang yang kami tempuh
selama hampir setengah hari akhirnya kandas juga.Bus kami berhenti
di pinggir sungai besar berukuran lebar lebih dari 20 meter.Lalu, kami
menyebrangi sungai tersebut dengan perahu getek.

“Alhamdulillah,kita sudah sampai nak,” Ibuku tersenyum


lega.Ia mengelus rambutku.Lalu Ayahku menjawab “Okipo hae,kita
belum sampai.” Sembari wajahnya terlihat letih sembari
menumpuukan badannya dilutut.“Lah okipo pera nunggu?”Lah mau
dibawa kemana lagi? Tanya Ibuku.Lalu Ayahku menjawab “Kan
belum sampai di PT.Dewata”.Lalu aku dalam hati “Astagfirullah
Sabar-sabar.”

Setelah menempuh perjalanan selama 2 jam, kami akhirnya


tiba. Kami berhenti di depan dua bangunan panjang. Bangunan itu
tampak masih dalam tahap pembangunan,belum ada pintu ataupun
jendela,belum ada lampu. Lantainya masih sangat kotor dan kasar.
Sepasang bangunan panjang itu terbagi menjadi 10 ruang, satu ruang
untuk satu keluarga.Perjalanan yang sangat melelahkan.Akhirnya
aku bisa tertidur pulas di ruang tak berpintu itu.Kami tidur dengan
kasur lantai yang kami bawa jauh-jauh dari kampung halaman.Kami
lega,walaupun harus tidur ditempat lantainya masih kotor.
Hari dimana pendaftaran sekolah akan mengantarkan ku
tempat baru,aku sangat antusias sebab sejak keluar dari sekolah
lamaku aku sudah beberapa hari tak merasakan suasana sekolah. Aku
sendiri masih duduk dikelas 1 SD semester 2.Sementara untuk
semester satunya aku selesaikan di Konawe.Untuk menuju ke sekolah
itu kami harus menaiki sebuah truk.Tak lama kemudian, truk
berwarna kuning datang. Mungkin itulah truk yang dimaksud,truk
yang biasa mengangkut dan mengantarkan pelajar SD menuju
sekolah.Suaranya berdesing keras,asapnya mengebul dari
pantatnya.Truk itu rasanya kurang perawatan dalam otak sok
tahuku.Tak terasa, sudah satu jam kami berada di dalam
truk.Akhirnya kami tiba juga di SD Long Jenew.Sekolah yang akan
menjadi tempat menimba ilmu untukku.SD Long Jenew terletak
disamping sebuah komplek perumahan yang berada di tengah-
tengah kebun sawit. Terdiri dari dua bangunan betembok dan
berlantai,dan Halamannya masih tanah.Meski di pelosok,tapi siswa
siswi di SD Long Jenew terbilang banyak,kelas 1 saja terbagi menjadi
3 kelas yang setiap kelasnya sekitar 30 anak.Salah satu sebabnya
adalah pasokan dari beberapa PT lain yang belum mempunyai
fasilitas sekolah.Termasuk PT.Dewata Sawit Nusantara tempat
dimana aku tinggal saat itu.

Sebelum mendaftar, nampaknya kami harus menunggu


upacara bendera selesai.Kami menunggu disebuah warung jajan
sambil melihat berlangsungnya upacara bendera.dan ternyata sekolah
ditunda dulu untuk sementara dan aku harus menunggu dulu 4
bulan lagi untuk bisa sekolah.Kabarnya,dalam waktu dekat akan
dibangun sekolah di PT.Sawit Nusantara.

Hari itu adalah untuk pertama kalinya orang tuaku akan


bekerja di perkebunan sawit.Oleh karena itu ibu menitipkan kami
ditetangga karena aku yang paling besar jadi aku harus bisa
mengurus ke empat adikku.Lumayan agak sulit harus bisa merawat
adik-adikku dimana umurku baru berusia 7 tahun tapi sudah
mempunyai tanggung jawab yang begitu besar.
Sejak ayah bekerja sebagai petani sawit.ia berubah menjadi
orang yang lebih sensitif.Setiap pulang dari kerja,segala perabotan
yang berada didalam dapur ia banting-banting tanpa
ampun.Kuhitung 2 lusin gelas ludes dibantingnya. “Pekerjaan apa
ini!” itulah kata-kata yang sering kudengar ketika ayah pulang dari
kerja. “Banting saja semuanya!” ibuku sudah cukup sabar
menghadapi sikap ayah.ia sadar merantau memang bukan kemauan
ayah.Ini semua adalah ajakannya,dan ia sangat memahami apa yang
dirasakan seorang petani kebun yang harus menyesuaikan diri
menjadi petani sawit,bukan hal yang mudah. Tapi ibu juga tak harus
bangkit dari keterpurukan sebelum kemeralatan menimpa.dan itulah
sebabnya ibu mengajak ayah merantau.jika harus terus menerus
berada disulawesi,bukan tak mungkin kita bisa mati kelaparan.

Hari itu begitu panas aku dan teman-teman lainnya masih


berada di dalam truk menuju rumah masing-masing entah kenapa
saat itu hatiku gelisah ada sesuatu yang membuat dadaku terasa
sesak ditambah lagi rasa lapar karena seharian di sekolah sebab uang
sakuku tertinggal di rumah.Sekitar pukul 14.00 aku Ebi dan anak-
anak afdeling 11 lainnya tiba di halaman rumah aku segera berlari
menuju rumah aku tak sabar melahap sepiring nasi sebab rasa lapar
telah melanda sejak pagi tadi. Ketika aku mendorong pintu rumah itu
tak bisa terbuka sepertinya Ibu mengunci dari dalam pikirku saat itu
lalu aku beranjak menuju belakang rumah barangkali pintu belakang
bisa dibuka dan aku bisa mengobati rasa lapar. Aku terkejut saat aku
tiba di tempat mendapati Ibuku sedang duduk menangis dengan
adikku yang sedang duduk di sebelahnya.

Bu kenapa aku tanya dengan penuh heran tak biasa aku temui
dirinya sedang menangis Ibuku memelukku lalu mengobrak pintu
belakang eh buka anakmu mau masuk Aku belum paham apa yang
sebenarnya terjadi tapi hatiku semakin bergemuruh tak tenang lalu di
mana Ayah apakah yang di dalam itu Ayahku.Ibu aku lapar aku
sambil terus mengurus-ngurus bagian perut ibu menggonggolan
nafas lalu menarik tanganku serta adik-adikku ia menuntunku
menuju bagian depan rumah saat tiba di tempat dia berusaha
mendorong pintu depan pintu itu terkunci namun seperti ada yang
menahannya Ibu mendorong-dorong pintu dengan sisa energinya
sedangkan. Aku tak tahu bahwa separuh energi yang telah Ia
gunakan untuk menggaris rezeki yang tadi pagi. Ayah buka Aku
ingin masuk ucapnya kepada ayah yang berada di dalam rumah air
matanya masih mengalir perlahan sedangkan suaranya berubah
menjadi serak aku membantu ibu mendorong pintu itu lalu sedikit
demi sedikit Pintu itu terbuka walaupun Ayahku masih berusaha
menahannya terjadilah aksi dorong-dorong pintu antara Ayah
melawan ibu dengan aku para tetangga melihat aksi itu berserak-
serak seperti sedang menyaksikan pertandingan tarik tambang
namun ayah dan ibuku serta aku tak menghiraukan mereka masih
meneruskan aksi dorong-dorong pintu seperti dua anak kecil yang
sedang bertengkar.

Aku sebagai anak hanya bisa memendam rasa sedih dan


amarah setiap hari harus mendengar adu mulut yang tak pernah
surut kadang aku menangis dalam gelap sambil menutupi kedua
telingaku karena bosan dan kedua orang tuaku yang selalu berdebat
dan tak ada yang mengalah saat itu umurku sudah 8 tahun aku pun
tahu broken home adalah faktor utama yang sering terjadi pada
seorang suami istri sebab beberapa kata pisah juga sering mereka
lontarkan saat beradu mulut hal itu pun memancing ku untuk
bertindak. “Apakah ayah dan ibu akan berpisah”. Tanyaku ketika
menemui mereka berdua sedang berada mulut mereka berdua
berhenti berdebat lalu memandangku penuh dengan makna yang tak
bisa kuterjemahkan lihat “anakmu sudah besar nggak malu apa sama
diri sendiri”kata ibu.Ayah menatap ibuku dengan penuh kebencian
lalu menjawab “kamu yang nggak tahu malu”. Ayah melawan tak
mau kalah mereka kembali berdebat sedangkan pertanyaanku Justru
tak dijawab oleh siapapun aku hanya mengelus dada rasanya sesak
dan pedih.Sampai kapan akan seperti ini terus. Pagi harinya setelah
Ibu dan ayahku beraksi.Eby bertanya tentang apa yang apa penyebab
orang tuaku broken home. Lalu aku menjawab “tidak tahu”.

Jika saat itu kalian bertanya siapakah teman terdekatku selain


Arham maka aku akan menjawab Eby, lalu jika kalian bertanya lagi
Siapa teman paling menyebalkan maka aku akan menjawab Eby,dan
terakhir jika kalian bertanya lagi padaku apa kau membencinya maka
aku akan menjawab Eby. Eby adalah teman dekatku selain Arham
mungkin kedekatan kami disebabkan oleh faktor usia memang hanya
beda satu tahun aku lebih tua darinya selain itu faktor lain yaitu
karena tempat tinggal kami berada dalam satu lokasi. Eby adalah
orang yang menyebalkan di mataku Meskipun aku tak pernah
mengatakan perasaanku kepadanya Sebab aku takut dia tersinggung
dan mengeluarkan hinaan tajamnya seperti membantingku dengan
badan yang sedikit lebih bersih dariku.

Dari sisi negatif pandanganku tanda,rantau adalah tempat


yang buruk untuk para petani muslim.Selain memaksa orang-orang
untuk bermandi keringat di tengah hutan sawit, tanah rantau juga tak
pernah memberikan waktu untuk sejenak bernapas melaksanakan
kewajiban agama.Hampir seluruh petani sawit di tanah rantau
melupakan kewajiban shalat lima waktu mereka telah terlena dengan
kesibukan dan lainnya yang disebabkan kerja tiap waktu.Ditambah
lagi dengan sistem peraturan kerja yang seperti tak respect dengan
hak manusia untuk beribadah. Peraturan mereka terkesan seperti
melimpahkan kerja rodi kepada para petani sawit sehingga waktu
yang seharusnya digunakan untuk beribadah juga digunakan untuk
istirahat atau bekerja.

Maka tak heran jika Mushola yang sudah susah payah


dibangun oleh kuli bangunan justru terbengkalai tak berguna.Walau
di dalamnya ada beberapa Al-Quran dan peralatan sholat,tapi benda-
benda itu seperti tidak pernah disentuh oleh manusia.Tak ada yang
mau masuk ke musholla walau hanya sekedar beradzan dan
bersholawat. Padahal di dalam mushola sudah disediakan microfon,
tapi sungguh orang-orang di Afdeling 11 telah terpengaruh godaan
setan yang lebih mementingkan kenikmatan dunia.Mereka lebih suka
mengelus-elus bulu anjing ketimbang membaca ayat suci Al-quran.

Untuk kedua kalinya aku Ramadhan di tanah rantau aku


merasakan bulan Ramadhan dan di tanah rantau kali ini terasa sangat
berbeda.Tak ada sholawat tarawih yang seperti sering aku jumpai di
kampung halaman tak ada buka dan sahur bersama Tak ada suara
iringan bedug yang menggema di telingaku.Bahkan hampir seluruh
manusia di tempat itu tak melaksanakan kewajiban berpuasa bagi
mereka berpuasa akan mengganggu efektivitas kerja dan takut
mengurangi gaji mereka.Mereka telah silau dengan dunia hingga lupa
dengan perintah sang pencipta dan itu berimbas kepada anak-
anaknya yang ikut-ikutan tak berpuasa,Karena orang tuanya yang tak
mampu mencontohkan sesuatu yang baik.Tapi,orang tua kami tak
bisa sepenuhnya disalahkan,kami juga harus melihat kerja berat yang
setiap hari mereka lakoni.Seakan kerja berat dn gaji telah menguasai
fikiran dan mengalahkan segalanya termasuk kewajiban agama.

Tak berbeda dengan malamnya hari Idul Fitri di pagi hari juga
terasa biasa saja.Ibuku yang paling parah ia sangat meremehkan
perayaan hari raya Idul Fitri tanah rantau. Setelah melaksanakan salat
Ied ibuku dengan pikiran gilanya justru mencuci pakaian dilkali. Aku
sungguh berkali-kali memanggilnya “ibu ada orang di rumah kita”.
dan ia menjawab “sebentar kurang sedikit”.Begitu terus jawabannya
Ia memang terkenal penunggu Kali berjam-jam sampai sore hari
entah apa yang ia kerjakan selain mencuci pakaian dan perabotan.
Aku berpikir wajar jika orang-orang memanggilnya si penjaga kali.

Setelah lama sekali menunggu Ibu sejak dari kali, akhirnya


kami bisa bernapas lega.Kami berkeliling di sekitar Afdeling yang
hanya berisi 50 pintu atau hanya 30 keluarga yang dan sisanya dihuni
petani lajang.Kami saling mengucapkan permintaan maaf dan dan
mencari-cari makanan khas lebaran yang tak mungkin beragam
seperti dikampung halaman.Disetiap rumah yang kami jumpai,rata-
rata terdapat setoples rempeyek dan sepiring agar-agar. Makanan
tersebut sudah biasa dimataku.Tapi kenapa aku tak bisa menemukan
Buras,Ketupat,danOpor disetiap rumah yang aku pijak. Makanan
tersbut adalah makanan favoritku apabila hari raya, tapi aku tak bisa
menikmatinya bahkan untuk satu tahun sekali.Sangat Menyebalkan.

Saat musim hujan tiba kami sangat bahagia.Para petani sawit


juga tururt bersuka cita menyambut musim hujan.Sebab saat musim
hujan tiba, buah sawit yang matang akan semakin banyak dan
tentunya akan menaikan gaji perbulan.Namun,hal itu justru akan
sangat menyebalkan untukku dan kami para anak dari petani
sawit.Saat buah sawit sedang gembor-gembornya bermekaran. Kami
pasti akan disuruh orang tua kami untuk memanen buah sawit yang
bermerah-merah disepanjang jalur perkebunan sawit. Kami akan
membantu orang tua kami memunguti biji sawit yang berjatuhan
bawah pohon sawit hingga di dahan pelepah sawit. Ada juga yang
sampai mendorong gerobak sawit.

Jujur,aku selalu bermalas-malasan jika disuruhnya untuk


membantu ayah.Di kebun sangat melelahkan harus mendorong
gerobak sawit yang sangat berat.Rerumputan yang nampak subur
dan serangga-serangga kecil membuat sekujur tubuhku gatal. Aku
terheran pada ayah,walaupun keringat mengalir di sekujur
badannya,tapi dia terlihat begitu nyaman di tempat yang
menyebalkan itu.Dari semua yang aku rasakan ketika membantu
ayah dikebun sawit,aku mulai berfikir bahwa aku tidak cocok berdiri
di sebuah perkebunan.Aku mulai bercita-cita lebih tinggi dari pada
apa yang ayah kerjakan.Aku tak mau seperti ayah yang setiap hari
bermandi keringat mendorong gerobak sawit.Aku ingin lebih dari itu.

Inilah ceritaku dari seribu cerita kehidupan di pulau nusantara


adalah julukan dari pulau Kalimantan dan pulau Konawe,hal ini
karena banyaknya sungai yang mengalir di pulau tersebut.Sungai
yang mengarah di pulau Kalimantan bagian wilayah Indonesia yaitu
sekitar 73% dari seluruh area pulau.Di Kalimantan Timur sendiri
adalah sedikitnya 11 sungai besar yang bermuara,itu belum termasuk
sungai-sungai kecil yang tidak bisa terdeteksi dipeta.

Bersama dengan aliran seribu sungai di Pulau Kalimantan,aku


dan anak-anak rantau lainnya telah menciptakan seribu cerita paling
berkesan dalam hidup.Seiring dengan berjalannya aliran kehidupan
alam, sesungguhnya bersama itu aku telah melewati kehidupan-
kehidupan pahit yang paling berharga.Segala keterbatasan di tanah
rantau telah memberi kami semangat setebal baja untuk terus
berusaha mencapai cita-cita kami tak peduli dengan keterbatasan
yang ada.Dimata kami,kerja keras akan mengalahkan keterbatasan.

Di tanah pelosok yang masih dilanda keterbatasan


fasilitas,Kami merasa kebahagiaan yang sesungguhnya. Kami bebas
tertawa diantara barisan pohon-pohon sawit,kami bebas jungkir balik
di hilir sungai kami menikmati fasilitas seadanya dan tertawa lepas
tanpa ada kepalsuan. Tidak ada rasa gengsi yang harus
dipertahankan dalam pergaulan,saling beradu penampilan seperti
kebanyakan orang-orang di kota.

Aku telah mengalami banyak tentang pahitnya hidup.Tapi aku


selalu menikmatinya seperti halnya ketika pecandu kopi menunggu
kerasa pahit kopinya.Setiap hari nanti aku tidak hanya ingin
menikmati kopi saja tapi aku juga ingin menikmati manusia coklat
panas dalam hidup ini.Bagaimana caranya? saat ini aku hanya bisa
bermimpi dengan meramu coklat manis untuk masa depan. Aku
tidak takut untuk menggantungkan mimpi setinggi langit demi
tekadnya merubah kopi yang pahit menjadi coklat panas yang manis.

Walau begitu,Aku tidak mengharuskan kehidupan yang super


mewah di masa depan.Aku akan tetap berusaha untuk
mewujudkannya,tapi tak ingin terlalu fanatik.Aku sudah bersyukur
dengan kehidupan sekarang.Sebab banyak sekali orang-orang di luar
sana yang nasibnya jauh lebih buruk dariku. Aku hanya Bersyukur
atas segala pemberian Allah SWT terhadapku.
CERITA DI UJUNG SENJA
(Abdul Muis)

Pertemuan

Sore itu. Tiga tahun yang lalu, saat semuanya di mulai,


berawal dari pertemuan singkat yang mengesankan. Sebuah
pertemuan yang tak akan bisa diulang oleh waktu.
“Kenangan demi kenangan hanya akan menjadi serpihan
puzzle masa lalu yang tidak dapat di satukan kembali”.

Sudah hampir tiga pekan lamanya seperti orang bodoh, aku


masi kembali ketempat ini, tempat yang selalu membawaku ke masa
lalu, tempat yang selalu membawa memoriku tentangmu sembari
ditemani lembayung senja sedang menyelimuti bumi, matahari mulai
melenyapkan eksistensinya seakan mengajarkan bahwa ia tak akan
selalu ada. Ini lucu dan mungkin kau akan tertawa jika aku
mendambakanmu hadir ditempat ini lagi, mendambakanmu untuk
kembali dan kita bisa membuat lebih banyak memori disini. “
hahahhaaaa..... lucu bukan..?”

“Bagaimana kalau aku memperkenalakan diri.?”

“ Hai... aku adalah April yang sedang mendambakan


kehadiran senja diuwuk timur”

“ Aku seorang yang bersahabat dengan malam, bercumbu


dengan jalanan dan berkawan dengan ilalang”.

Nasib membawaku pada kehidupan penuh liku, apa mau


dikata aku tak minta mau dilahirkan meski terhianati keadaan tapi
inilah hidup mau tak mau harus dijalani, entah Takdir yang sedang
mempermaikan aku dengan keadaan ini atau Tuhan masi sayang
padaku sampai aku masi diberi cobaan yang mukin orang lain akan
lari dari ini semua, akan tetapi aku percaya bahwan “TUHAN tidak
akan memberikan cobaan pada umatnya melebihi batas kempuan
hambanya”. Cahaya dalam gelap begitu indah dibalik cobaan pasti
akan ada hikmah yang lebih baik.

“ haa...... tak terasa Tiga tahun telah berlalu”

Mungkin kata-kata itulah yang mungkin bisa mewakili


perasaanku padamu. Ya, kita memang bertemu tampa sengaja, masi
teringat jelas pertama kali aku bertemu dengan mu yaitu ditempat
pesisir sungai Laikandong. Saat itu aku melihatmu duduk sambil
memandangi senja pada sore itu, diiringi hebusan angin soreh dan
seyum tipis darimu seakan menamba keindahan sore itu, tampa sadar
kaki ini telah melangkah menghampirinya dengan rasa ragu dan
ingin tahu aku coba beranikan diri untuk bertanya siapakah dirinya,
walau keringat dingin telah membasihi baju akan tetapi rasa ingin
tahu itu selalu muncul ngapain seorang wanita disini dan sendiri
pulah.

“ Assalamualaikum, misi boleh saya duduk disini..? “ (taulah


sekedar basa-basi dulu yakan hehehe), ucapku sambil tersemyum
malu-malu menatap mata indahnya.....

“ Waalaikumsalam, silahkan “ ucapnya (sambil tersenyum


mermbalas senyumanku)...

“ Terima kasih “ ucapku (sambil duduk di sebelahnya)

Dia tak menunjukan reaksi apapun sangat dingin, perilakunya


berbeda 370 derajat dengan keindahan yang ada didepan mataku saat
ini, aku sedikit melirik kearahnya memastikan dia tidak terganggu
dengan kehadiranku. Tapi seakan dia tak menganggap aku ada
disampingnya seolah kehadiranku saat itu hanyalah angin lalu
baginya dia terlihat sangat dingin, tak menjelang lama tiba-tiba saja
aku dikagetkan dengan suatu pemandangan dari kedua bola mata
yang menatap kosong kedepan membuatku menyadari seusatu.
“ hummm sepertinya dia sedang mengalami tekanan yang
cukup berat “ (kataku dalam hati sambil menatap matanya)

Sambil memandang senja yang semakin memudar, tiba-tiba


saja aku yang sedang menikmati pemandangan, aku dikagetkan
dengan ungkapan yang begitu halus menyebutkan namanya.

“ Mentari “ ucapnya...

“ Nama kamu Mentari “ sahutku...(dengan agak kaget)

Perempuan itu mengangguk cepat

“ Nama yang indah” ucapku sambil tersenyum...

Dan aku melihat ronah merah menjalar disekitar pipinya entah


mengapa ada seutas senyum dibibirku, merasakan sesuatu yang
berbeda dari dalam dirinya.

Setelah hari itu berlalu aku dan mentari selalu mengujungi


tempat itu, duduk berseblahan dan mempunyai bahan obrolan sambil
menikmati keindahan senja diuwuk timur. Menceritakan begitu
banyak hal dari ketidak pastian sampai cita-cita dan masa depan,
munkin agak sedikt alay untuk sekarang, akan tetapi waktu itu aku
merasakan kebahagiaan terpancar disenyumya seakan aku tak
percaya wanita yang begitu dingin bisa seceria ini dan secerewet ini.

“ Ya... kita semakin dekat dan aku merasa nyaman jika berada
disisinya heheheheheh”.

Tak selamanya

semua cerita tak seperti yang aku bayangkan. Layaknya


mentari pada hakikatnya, dia membawa keindahan, membuat
seleuruh dunia memujanya namun sayang keindahannya hanya
berlangsung sementara, saat malam datang semua menjadi gelap dan
hening.
Berjalannya waktu aku dan dia harus dipisakan oleh cita- cita
yang harus ia gapai terlebih dahulu, jujur aku sangat kecewa dengan
keadaan seperti ini akan tapi dilain pihak aku tak mungkin
mementingkan egoku saja, ia mengejar masa depannya demi
membahagiakan kedua orang tuanya, tentu itu adalah suatu
kebanggaan semua orang tua yang menginginkan anaknya sukses
dimasa depan nanti, sisa beberapa hari lagi ia akan pergi jauh kekota
untuk meraih impian dan sisa beberapa hari lagi untukku
mengucapkan kata-kata perpisahan, aku coba menenangkan diri
untuk menerima kepergiannya kekota meraih impian yang selama ini
ia impikan mukin ini yang tebaik buatnya.

“haaaaa serasa waktu begitu cepat berlalu” gumamku sambil


memikirkan kepergiannya...

Tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara yang tak asing lagi


bagiku menyapa dari kejauhan dengan perasaan senang bercampur
sedih aku menjawab sapaan itu, karena munkin itu akan menjadi
sapaan terakhir sebelum ia berangkat esok pagi, di tempat ini awal
kami bertemu dan tempat ini pula akhir dari sebuah kisah, desiran
suara air sungai desa Likandonga dan senja menjadi saksi perpisahan.
Selama beberapa menit tanpa ada kata tiba-tiba aku mendengar suara
darinya.

“ makasih ya,hehehhe” ungkapnya sambil tersenyum...

Aku pun keheranan kenapa dia tiba-tiba mengucpakan kata


makasih

“ makasih buat apa..?” tanyaku dengan raut wajah keheranan...

“ makasih selama ini kau telah menemaniku tampa


mempertanyakan apa pun itu “ jawabnya,, (sambil menahan air mata)

Aku balik dan melihat mata yang sama dulu penuh dengan
kekosongan, sekarang aku melihat mata itu menjatukan air mata, dan
aku masih terdiam kehilangan kata.
“ esok aku akan kekota dan akan lama kembali lagi, ku harap
kau masi disini ditempat ini disaat aku kembali nanti “ucapnya..

“hhhhhhh” ( aku hanya terseyum sambil menatapnya)

Tak lama bercerita ia pun pamit untuk kembali dan aku masi
terdiam seribu bahasa, aku berbalik dan melihat raut wajahnya masi
memerah karna air mata yang terus mengalir, apa aku uda salah
karna tak membuka suara hanya diam saja.

“haaaaaa biarlah rasa ini kupendam” (kataku dalam hati)

Hari esok pun datang hari di mana aku akan melihat ia pergi
jauh dari pandanganku, aku sengaja melihatnya dari kejauhan bukan
karna aku tak berani mengcupkan selamat jalan padanya akan tetapi
aku tak mau ia pergi dgn berat hati, aku tau telah melakukan
kesalahan tapi ini lah yang bisa aku lakukan untuknya dan
mendoakan semoga apa yang ia impikan dapat ia capai.

Perubahan dan Sangsi Adat

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu sudah setahun lebih aku
coba melupakannya akan tetapi semakin aku lupakan semakin semua
itu kembali menguat dalam pikiranku, di dalam heningnya malam
didalam kamar aku melamun tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara
yang memanggilku dari luar rumah, ternyata suara itu adalah suara
sahabatku Hendra.

“ ngapain malam-malam begini dia datang bertamu..?”


(ucapku dalam hati)

dengan keadaan malas aku beranjak dari tempatku untuk


membukakan pintu untuknya lalu kupersilakan untuk masuk,
Hendra bukan lagi orang lain buatku dia sesosok sahabat yang
menjadi saudaraku, malam itu dia datang untuk mengajakku keluar.
Ya, biasalah anak muda hehehehe, saat aku beranjak dari tempat
dudukku tiba-tiba dia berbicara kepadaku seakan mengerti apa yang
sedangku alami.

“sudahlah jangan terlalu dipikirkan semua akan ada masanya


pertemuan akan selalu ditemani dengan perpisahan, hahahahahah”
(katanya sambil ketawa mengejeku)

“ah sial kau memang hahah” (kataku sambil menuju kekamar


utuk ganti baju)

Tak selang lama aku pun keluar dari kamar dan ia telah
menungguku di atas motor aku pun menuju ke arahnya, malam itu
aku sekilas melupakan masalah yang kupikirkan, tak lama kemudian
aku sampe ditempat salah satu toko yang tak asing lagi bagi ya itu
adalah toko tempat jualan minuman keras, aku terdiam sejenak
sambil melihat sahabatku berlalu ketempat penjual tersebut tak lama
aku menunggunya ia keluar sambil memegang katong kresek sambil
memberitahuku.

“aku tak mau melihat sahabatku galau berkepanjangan ini lah


obat galau terbaik” (sambil ketawa)

“ hahahahaha baiklah aku ikuti kau ini malam” ( kataku)

Kamipun berlalu dari tempat itu menuju kesuatu tempat sunyi untuk
mabuk-mabuk, semenjak kejadian itu aku pun berubah total karna
keseringan melakukan minuman keras, membuat kegeduhan dimana-
mana mabuk sana-sini, aku tak pentingkan lagi apa kata orang-orang
dikampung bahkan nasehat orang tuaku pun aku tak perduli lagi, aku
bergaul dengan orang-orang patah pulpen dari mereka pula aku
mengenal apa yang dinamakan dunia malam, seiang kujadikan
malam, dan malam kujadikan siang, sampe disuatu ketika aku
disadarkan karna kesalahanku yang watal sampai membuat ibuku
menjatukan air mata, sunggu dosa besar yang perbuat, ia aku tau
selama perubahanku aku telah melakukan dosa sana sini tapi dosa
yang kuperbuat kali ini bahkan akupun tak memaafkan diriku sendiri
karna telah menjatuhkan air mata kedua orang tuaku, karna
pengaruh pergaulan dan minuman keras aku telah memukul orang
dan mendapatkan sangsi ADAT.

Malam itu aku memukul orang yang tak tau apa-apa, dan
akupun tak tau kalau aku telah memukul orang malam itu, pagi-pagi
aku terbangun karna suara yang sangat ramai didepan ruamah
membuatku terbangun, aku sangat kaget melihat suasana rumah
yang belum perna aku lihat sebelumnya, pagi itu aku disuruh duduk
sambil melihat sekeliling disitu ada, Pak Desa, Polisi, Tokoh Adat,
Keluarga dan masyarakat, yang lebih membuatku bingung ada sosok
pemuda yang belum perna aku lihat dan ditamba lagi seperti habis
dipukul, tiba-tibak Pak Polisi berkata

“dek april apakah kamu mengenal orang ini” (pak polisi


sambil menunjuk pemuda yang penuh dengan luka)

“tidak pak emang dia siapa” ..(jawabku masih kebiguan)

“ dia adalah kevin korban pemukulan semalam yang


dilakukan oleh adek april”..(kata pak polisi sambil menerangkan
kepada saya)

Tak lama Pak Polisi menerangkan kronologi kejadian tersebut


ahirnya sampe pada penhujung cerita.

“jadi bagai mana untuk kedua belak pihak apa mau diatur
damai secara Hukum Adat atau secara Hukum yang telah Ditetapkan
oleh Negara” ( ujar pak polisi).

Dengan keputusan bersama maka semua diselesaikan dengan


Hukum Adat, dan aku pun harus mengikuti sarat yang telah
ditetapkan dan harus membayar denda sesuai dengan yang sudah
ditentukan.

MOLANGGU TOONO ( Memukul orang)


Dendanya : 1 pis kaci ( Asondumbu Okasa), 1 ekor kerbau/ Nilungga
250.000, menanggung semua perawatan ( Pihak korban ), biaya pertemuan
Rp.250.000-, atau sesuai kesepakatan, jasa Tolea sesuai tingkatan
lokasih/wilayah tempat tinggal. Dan disumpah secara Adat/Agama agar
tidak mengulangi perbuatan.

Semenjak kejadian itu aku bersujud dihadapan kedua orang


tuaku dan berjanji aku tidak akan mengulangi lagi dan tidak akan
menyetuh barang-barang yang memabukan lagi. Dari situ aku
merantau jauh dari desahku walau banyak kenangan tapi semua itu
hanyalah sebatas kenangan dan semua ini biarkan menjadi pelajaran
dalam hidupku. Dan ia sosok wanita yang benamakan Mentari aku
tak lagi sakit aku sudah menerima semuanya. Dan sekarang aku lebih
mefokuskan diri bagai mana aku bisa membahagiakan orang-orang
disekelilingku terutama kedua orang tuaku.
PENUTUP
PROFIL PENULIS

Abdul muis, sering di sapa muis,


lahir di wakatobi pada tanggal 14
april 1995 dan sedang menjalani
status sebagai mahasiswa di
jurusan hukum tata negara
syari'ah di salah satu kampus
Sulawesi Tenggara yaitu IAIN
KENDARI, alamat sekarang yaitu
di Kemaraya loronga bunga
matahari II.
Ig. Muiz
Email.Muizhunter1995@gmail.com

Aisyah, dikenal dengan nama aiss,


dengan kelahiran 06 agustus tahun
2002 masih menjalani status
mahasiswa jurusan ilmu alquran
dan tafsir di IAIN Kendari sejak
tahun 2020. Salah satu mahasiswa
yang berasal dari kec.Rumbia
Kab.Bombana.
Ig: ayouaiss
Email: aisyahiqt@gmail.com
Fb: AyouAiss
Aniesha Priya Rahmasari, sering
disapa dengan sebutan Icha, lahir
di Kendari pada tanggal 13 Januari
2003 dan sedang menjalani status
sebagai Mahasiswi di Jurusan
Ekonomi Syariah di salah satu
kampus Sulawesi Tenggara yaitu
IAIN Kendari. Alamat sekarang
yaitu di Desa Landono II,
Kecamatan Landono.
Ig : Ica_aniesha
Email : ichaaniesha13@gmail.com

Nur Hadijah Fitriani, sering disapa


dengan sebutan Dija, lahir di
Kendari pada tanggal 15
Desember 2001 dan sedang
menjalani status sebagai
Mahasiswi di Jurusan Pendidikan
Guru Madrasah Ibtidaiyah di
salah satu kampus Sulawesi
Tenggara yaitu IAIN
Kendari.Alamat sekarang yaitu
BTN.Raksa Asri Kec.Baruga.
Ig: Hadijahfit
Email : hadijahfit15@gmail.com
FB : Hadijahfit
Anisa Dwiyanti, sering disapa
dengan sebutan Anisa, lahir di
Amonggedo pada tanggal 15 juli
2002 dan sedang menjalani status
sebagai Mahasiswi di Jurusan
Pendidikan Agama Islam di salah
satu kampus Sulawesi Tenggara
yaitu IAIN Kendari.Alamat
sekarang yaitu Kel.Amonggedo
Baru,Kec.Amonggedo, Kab.
Konawe
Email:dwiyantianisa66@gmail.com

Silfi Tri Andira, sering disapa Silfi,


lahir di Tirtamartani pada tanggal
26 Desember 2002 dan sedang
menjalani status sebagai
Mahasiswi di Jurusan Tadris
Bahasa Inggris di salah satu
kampus Sulawesi Tenggara yaitu
IAIN Kendari. Alamat sekarang
yaitu Desa Tirtamartani, Kec.
Buke, Kab. Konawe Selatan.
Email : silvyandira902@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai