Anda di halaman 1dari 140

“JODOH IMPIAN"

Persembahan

Buku pertama ini, aku persembahkan untuk ibuku tercinta Eulis


Supiyati sebagai orang pertama yang selalu meyakinkanku bahwa aku
bisa menulis.
Terimakasih mamah.. I Love You..

Dan khusus untuk kamu yang sedang menantikan jodoh


impiannya.. Aku do’akan semoga kau segera dipertemukan dengan
seseorang yang akan menambah cintamu pada Sang Pemilik Cinta..

1|Ghaliya Siridha
Ucapan Terimakasih

Kepada Allah Azza Wa Jalla yang tak henti-hentinya memberikanku anugerah

untuk bertemu dengan orang-orang luar biasa, sehingga aku banyak memetik pelajaran

dari kisah hidup mereka yang kisahnya kini dapat sedikit kutuangkan dalam buku

pertamaku ini.

Kepada suami tercinta Rubianto Ardy yang selalu menyayangi, mencintai, dan

menyemangati dalam penyelesaian buku ini.

Kepada kedua orangtua dan mertuaku serta teman-teman yang sudah banyak

membantu dalam menyelesaikan buku ini. Terutama kepada teman-teman hebat yang

kisahnya mereka izinkan untuk ku ceritakan.

Kepada mang Cucu Suryanto sebagai owner Farishma Publishing yang memberi

kesempatan luar biasa untuk menghasilkan sebuah karya dan telah bersedia

menerbitkan buku “Jodoh Impian”. Terimakasih banyak atas bantuannya.

            Dan, pastinya banyak sekali orang-orang disekeliling yang selalu mendukung

dengan caranya masing-masing. Untuk mereka semua aku ucapkan terima kasih

banyak.

Akhirnya buku “Jodoh Impian” bisa terbit setelah sekian lamanya menunggu.

Penantian yang cukup panjang, dan membuatku hampir menyerah.

Salam bahagia dan penuh cinta..

Ghaliya Siridha

2|Ghaliya Siridha
Rangkaian Pengantar

Cinta merupakan kisah yang tak pernah terpisahkan dari kehidupan kita, dan

kisah tentang cinta selalu menjadi topik menarik untuk diceritakan. Urusan jodoh pun

ikut andil mengambil bagian terhadap akhir cerita cinta yang selalu dinanti-nanti,

berharap jodoh menjadi puncak kisah cinta yang membahagiakan.

Semua orang pasti berharap mendapatkan jodoh impiannya, meski tidak tahu

kapan dan dimana. Perjalanan setiap orang dalam mencari dan mendapatkan jodoh

impianya pun berbeda-beda. Masing-masing mempunyai cerita unik tersendiri, yang

jika dirangkaikan akan terbentuk menjadi sebuah bingkaian kisah menarik layaknya

cerita sinetron.

Buku ini menyuguhkan sebuah perjalanan pencarian jodoh impian yang diangkat

dari kisah nyata beberapa orang. Didalamnya berisi banyak pembelajaran yang bisa

dipetik dari cara Allah mempertemukan jodoh impiannya. Ternyata Allah selalu

mempunyai cara tersendiri untuk mendidik setiap hambaNya.

Kisah ini diangkat bukan untuk menyebarkan aib, karena semuanya insyAllah

sudah mendapat izin dari orang yang bersangkutan. Beberapa nama yang digunakan

dalam setiap tokoh pun sengaja disamarkan untuk menjaga identitas asli tokoh yang

diceritakan.

Semoga kisah di dalam buku ini menjadi penguat bagi setiap orang yang sedang

menantikan jodoh impiannya, meyakini bahwa Allah punya cara tersendiri untuk

mempertemukan kita dengan jodoh impian.

3|Ghaliya Siridha
Bekasi, Maret 2019

Penulis

Daftar Isi

- Persembahan

- Terimakasih

- Rangkaian Pengantar

- Daftar Isi

- Sepenggal Nasihat Mengenai Jodoh

- Prolog

- Perisai Hati

- Tak Secantik Bidadari

- Jodoh Impian

- Pangeran Bertopeng

- Terjebak

- Teriakkan yang Mengguncang Arasy

- Kisah Pelangi Part 1

- Kisah Pelangi Part 2

- Pertemuan

- Sihir Cinta

- Pilihan

- Sebuah Kebenaran

- Sumber Referensi

- Profil Penulis

4|Ghaliya Siridha
֎ Sepenggal Nasihat Mengenai Jodoh ֎

Teringat disatu sudut sekolah masa-masa SMP dulu. Saatku sedang duduk istirahat

sendiri. Hanya sekantung pelastik es teh manis yang menemani. Bola mataku

berkeliling. Memerhatikan orang-orang berlalu lalang saat jam istirahat.

Canda tawa terdengar dimana-mana. Ada yang biasa bercengkrama dengan teman

se-geng-nya. Ada yang berlari-lari mengejar teman pria yang biasa bertindak jahil. Ada

yang terlihat sibuk membawakan barang-barang milik guru untuk disimpannya ke

kantor. Ada juga yang terlihat acuh seperti tak menikmati setiap waktu yang dihabiskan

di sekolah. Bagaimana denganku? Ah, aku lebih menikmati kesendirian, bukan karena

tak punya kawan, tapi.. terkadang sendiri terasa lebih nyaman.

Tiba-tiba seorang guru menepuk pundakku dan berkata "Neng, kalau minta jodoh

itu dari sekarang". Alisku tersentak bersamaan, entah mengapa sosok pria yang

rambutnya sudah hampir seluruhnya putih itu tiba-tiba datang menghampiri. Kata-

katanya tak lazim untukku yang saat itu masih bau kencur.

Aku menggaruk kepala. Ku jawab pernyataannya dengan malu-malu “Saya kan

masih kecil pak, ngapain minta jodoh dari sekarang? Lagian bukannya jodoh itu udah

Allah siapin pak?”.

Beliau lalu duduk di hadapanku sambil mencari posisi yang nyaman. Terlihat

handuk kecil melingkar di pundaknya. Sesekali beliau usapkan handuk kecil itu pada

wajahnya yang berkeringat. Sedangkan tangan sebelahnya memegang stop watch.

5|Ghaliya Siridha
Beliau adalah guru olahraga di sekolahku dulu. Bisa dibilang beliau salah satu guru

olahraga favorit dikalangan para siswa, namun ada juga sebagian yang takut dan segan

kepadanya karena banyak rumor yang beredar bahwa beliau bisa membaca pikiran

orang. Entahlah.. Terlepas dari itu, aku tak pernah diajar olehnya, karena ada guru

olahraga lain yang kebagian mengajar dikelasku.

Sambil tersenyum beliau menjawabnya dengan penjelasan yang cukup panjang,

namun memberikan kesan mendalam bagiku hingga saat ini.

“Yaa.. mungkin aja kan do’a kamu yang saat ini justru yang akan dikabulkan oleh

Allah, soalnya bisa jadi kedepannya semakin kamu dewasa semakin kamu banyak dosa

dan itu yang akan menghalangi do’a-do’a kamu terkabul”.

Dalam hati aku menyetujui semua yang beliau sampaikan, aku hanya

menganggukkan kepala.

Beliaupun melanjutkan ucapannya, “Jodoh itu sebenarnya kita yang menentukan,

karena dalam kehidupan kita ini hanya 2 hal yang tidak bisa dirubah, yaitu dimana kita

dilahirkan dan kapan kita mati”. Jelasnya.

"Jodoh itu seperti membeli sepatu, kita yang menentukan ingin seperti apa

warnanya, ukurannya, bentuknya, dan sebagainya. Kemudian tempat atau toko dimana

kita membeli sepatu itulah urusan Allah, kita tidak akan pernah tahu dimana dan kapan

kita akan mendapatkan sepatu yang kita harapkan itu,"

Aku mengerutkan dahi, terlihat guratan garis di antara kedua alisku. Beliau yang

mampu menangkap ekspresi wajah, tersenyum dan menjelaskan lebih lanjut.

"Jadi sebenarnya Allah sudah menyiapkan toko dari A sampai Z, takdir kita

menemukan sepatu kita dimana itulah rahasia Allah. Bisa jadi di toko A, atau B, atau

mungkin di toko S, siapa yang tahu? Menariknya kadang kita nggak berniat untuk

membeli sepatu, tapi tiba-tiba nemu yang cocok dan akhirnya beli karena kebetulan kita

6|Ghaliya Siridha
pun mempunyai uang yang cukup. Atau bisa jadi kita niat membeli sepatu A tapi pas

masuk toko, sepatu B dirasa lebih menarik yang akhirnya kita membeli sepatu B, atau

mungkin ada juga yang niat beli tapi nggak nemu-nemu, entah itu karena terlalu milih-

milih, atau nyari yang sempurna atau apalah alasannya".

“Oh saya mulai ngerti pak. Terus kalau konsep memantaskan diri itu maksudnya

gimana pak?”

"Nah itu sama seperti ketika kita ingin membeli sepatu tetapi uang kita nggak

cukup. Akhirnya kita harus lebih berusaha untuk mengumpulkan uang lebih supaya

sepatu yang kita harapkan bisa terbeli. Tapi lagi-lagi belum tentu juga, karena bisa jadi

pas kita lagi asik-asiknya ngumpulin uang eh sepatu yang kita incer udah dibeli sama

orang lain. Hahaha... “Jawabnya sambil tertawa kecil. Aku pun ikut tertawa bersamanya.

“Tapi tenang.. minimal uang kita sudah cukup untuk membeli sepatu dengan harga

yang serupa, betul?”. Ya, aku semakin mengerti dengan pembahasannya mengenai

jodoh, semuanya jadi terasa semakin menarik bagiku.

Terlihat disekitarku semua siswa masih asik dengan kegiatannya masing-masing.

Termasuk aku, yang masih asik mendengarkan nasihat dari guruku tersebut meski

mentari semakin memancarkan cahayanya hingga membuat keringat menetes. Namun

angin sepoi-sepoi yang sesekali menyapa seolah menjadi oase di gurun sahara yang

membuat badan terasa lebih sejuk.

"Gini neng.. sama halnya ketika kita mengharapkan jodoh yang shaleh, yang jujur,

yang berpendidikan misalnya. Tapi diri kitanya sendiri belum shaleha, belum menjadi

orang jujur dan belum berpendidikan. Ya akhirnya kita nggak bisa tuh mendapatkan

jodoh seperti apa yang kita harapkan itu. Kecuali kita ngumpulin ilmunya dulu untuk

jadi lebih shaleha, jujur dan juga berpendidikan". Jelasnya lebih lanjut.

7|Ghaliya Siridha
"Bener juga ya pak". Jawabku sambil tersenyum bahagia, merasa beruntung

mendapat ilmu baru saat itu.

Tiba-tiba terdengar bel berbunyi. Semua siswa berlarian menuju kelas masing-

masing. Beliau pun melirik jam yang melingkar ditangannya.

“Istirahatnya udah selesai. Ayo masuk kelas!”. Serunya mengingatkan.

“Baik pak. Oh iya makasih pak atas ilmunya”. Kuraih tangannya untuk menyalami

dan kemudian berjalan pergi menuju kelas.

Dalam langkah kaki yang santai aku termenung, meresapi setiap kata yang

diucapkannya. Bagiku itu pengetahuan baru.

Entah apa yang membuatnya tiba-tiba berkata demikian, yang pasti aku selalu

meyakini bahwa semua terjadi karena Allah yang telah menghendaki. Aku merasa

seperti Allah lah yang langsung mengajarkanku melalui perantara hambaNya agar aku

banyak belajar. Nasihat tersebut sungguh masih tertanam di dalam ingatanku hingga

kini.

Seorang bijak pernah berkata, bahwa sejatinya kehidupan itu Allah yang

merencanakan dan kita yang menentukan, bukan sebaliknya. Kita lah pengambil

keputusan atas jalan hidup kita, sehingga tak ada alasan kita untuk menyalahkan takdir

Tuhan.

Bagi Allah kehidupan itu sudah selesai, Allah sudah merancang sedemikian rupa

dari awal mula terciptanya alam semesta beserta kisah kehidupannya hingga masa

penghakiman tiba. Semua telah Allah buatkan sistemnya dengan sempurna tanpa ada

cela sedikitpun. Allah sudah merancang segala skenario kehidupan, dan tugas kita

adalah memilih skenario mana yang akan kita jalani.

Ibarat sebuah kalkulator. Sistem itu sudah tersusun secara apik. Semua sudah ada

jawabannya. 1 + 1 hasilnya 2. Jika kita melakukan usaha sekian dengan doa yang

8|Ghaliya Siridha
sedemikian rupa kadarnya maka hasilnya akan sesuai dengan apa yang telah

diusahakan. Tergantung kita akan pilih angka berapa dengan ditambah, dikurang, dibagi

atau dikalikan berapa. Maka semua secara sistemik akan muncul hasilnya.

Al-qur’an adalah petunjuk bagaimana menjalankan skenario tersebut agar tetap

berada di jalanNya yang lurus, dan do’a sebagai alat komunikasi dengan sang sutradara

kehidupan yaitu Allah Yang Maha Esa untuk mendapatkan arahan atas pilihan skenario

yang paling baik.

Selama ini mungkin sebagian besar orang-orang masih banyak yang beranggapan

bahwa jodoh adalah takdir Allah yang tidak dapat dirubah, namun berbeda dari

pemahaman kebanyakan orang, aku memiliki pemahaman bahwa jodoh adalah sebuah

takdir yang kita usahakan. Dan hal ini sangat erat kaitannya dengan ayat Allah:

"...Wanita yang baik untuk lelaki yang baik, dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik"

(Q.S. Annur: 26)

Jodoh itu ibarat sebuah pintu, sebenarnya Allah sudah menyediakan pintu-pintu

jodoh kita dari A – Z, dan dari setiap pintu itu sudah ada skenarionya masing-masing

beserta orang-orang yang akan kita temui serta kejadian-kejadian yang akan kita

hadapi.

Dari pintu A – Z tersebut Allah berikan kita hak untuk menentukan pintu mana

yang akan kita buka untuk kita jalankan skenarionya, istikhoroh atau do'a adalah cara

kita meminta petunjuk kepada Allah atas pilihan jalan kehidupan yang lebih baik. Dari

setiap pintu tersebut selalu ada pilihan pintu lainnya untuk kita pilih lagi, dan begitu

seterusnya hingga kita menyadari bahwa pintu-pintu kehidupan yang kita pilih

semuanya tertuju kepadaNya.

Setiap pintu itu memiliki kualitas masing-masing, ada orang-orang yang mungkin

hanya Allah hadirkan pintu-pintu berbahan kayu biasa, ada juga orang-orang yang Allah

9|Ghaliya Siridha
hadirkan pintu-pintu berbahan kayu jati dengan kualitas nomor satu. Hal itu tergantung

dari kualitas kita sebagai manusia, semakin baik manusia di mata Allah maka Allah pun

akan menghadirkan pilihan jalan kehidupan berserta orang-orang yang berkualitas

untuk jodohnya kelak, maka benarlah adanya bahwa jodoh itu merupakan sebuah takdir

yang diusahakan.

Tidak mungkin Allah hadirkan pintu-pintu berkualitas tinggi jika kita masih

menjadi pribadi yang rendah. Maka dari itu, Jika kita ingin mendapatkan jodoh yang

berkualitas, kita harus memantaskan diri terlebih dahulu dihadapan Allah, agar Allah

menghadirkan pilihan hamba-hambaNya yang berkualitas pula.

10 | G h a l i y a S i r i d h a
Prolog

Kini.. akan ku ceritakan kepadamu, kisah orang-orang yang mendapatkan jodoh

impiannya dengan cara-cara yang memiliki keunikan tersendiri. Ada yang menyangka

bahwa orang yang selama ini ia kagumi merupakan jodoh impiannya padahal bukan.

Ada juga sebagian orang yang menyangka bahwa orang yang ia benci tidak akan pernah

bisa menjadi jodoh impiannya, namun pada kenyataannya belum tentu demikian.

Terkadang manusia selalu merasa sok tahu, mereka merasa lebih tahu daripada

Tuhannya. Padahal Allah lah yang paling tahu mana skenario hidup terbaik untuk setiap

hambanya.

Mungkin salah satu dari kisah ini ada yang serupa dengan kisahmu, sehingga

kamu bisa lebih memperkuat lagi kenangan yang telah mendewasakanmu itu. Atau bisa

jadi kamu kini sedang dihadapkan dengan masalah dalam penantian jodoh impianmu,

dan dengan kisah-kisah ini semoga kamu bisa belajar dan mendapat jawaban serta

kekuatan untuk menyelesaikannya.

Ada beberapa orang yang bisa menemukan jodoh impiannya dengan cepat,

padahal belum tentu itu adalah akhir dari cerita bahagia seperti yang selalu dikisahkan

dalam dongeng-dongen klasik. Bisa jadi justru itu adalah awal dari bentuk pendewasaan

dengan diturunkannya berbagai ujian kehidupan.

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan :”Kami

telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (Q.S Al-Ankabut : 2)

Ada juga beberapa orang yang harus mengalami proses panjang untuk bertemu

11 | G h a l i y a S i r i d h a
dengan jodoh impiannya, yang terkadang hal itulah yang membuat banyak orang merasa

khawatir, takut dan gelisah. Bahkan tak sedikit yang justru marah kepada Tuhan karena

do’a permintaan jodoh impiannya seolah tak kunjung dikabulkan.

Padahal semua ada waktunya, dan bisa jadi sebenarnya Allah sudah memberikan

sinyal-sinyal atas kehadiran jodoh impiannya, namun banyak yang tidak sadar. Karena

tak jarang banyak yang terlalu menetapkan standar tinggi yang hanya ingin sesuai

dengan harapannya, padahal itu belum tentu baik baginya.

Maka sebenarnya tidak ada satupun kekhawatiran yang akan terjadi jika kita

berpegang teguh pada ajaran Allah dan rasulnya, meyakini dengan sepenuh hati bahwa

Allah pasti memberikan yang terbaik di waktu yang tepat. Justru khawatirlah pada diri

kita yang bisa jadi selama ini telah jauh dari ajaranNya.

Oh ya.. Pernahkah kamu melihat pasangan yang tampak serasi? Pasangan yang

terlihat begitu sempurna, hingga kita berkata.. “beruntungnya dia telah menemukan

orang yang tepat”. Dan akhirnya membuat standar bagi diri untuk mendapatkan jodoh

seperti dia.

Namun tahukah kamu? Sejatinya jodoh impian itu kita yang membentuknya.

Jodoh impian itu bukan DITEMUKAN melainkan DIBENTUK.

Dua sejoli yang terlihat serasi bukan karena tanpa masalah, justru karena

masalahlah yang membuat mereka menjadi pasangan impian dan bahkan menjadi

pasangan teladan. Mereka layaknya baju yang bisa menutupi aurat, mereka pandai

menutupi kekurangan pasangannya, dan pandai menyelesaikan masalah dengan tidak

mengumbarnya ke hadapan publik.

Semoga kita bukan hanya mendapatkan jodoh impian, melainkan menjadikannya

pasangan impian.

12 | G h a l i y a S i r i d h a
₰- Perisai Hati

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula

kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedangkan

kamu tidak mengetahui”

(Q.S Al-Baqarah : 216)

Saat jiwa terasa hampa, saat rasa mendambakan dunia, dan saat pikiran mencari

banyak alasan untuk membenci kehidupan. Maka disaat itulah kita harus memiliki

perisai hati agar tak jatuh pada jurang kesengsaraan.

Apakah perisai hati ini? Semoga kisah yang akan ku ceritakan ini menjawab

keingintahuanmu.

***

Langit senja. Menampakkan goresan awan yang menguning di cakrawala.

Burung-burung berterbangan untuk kembali ke sarangnya. Sedangkan jangkrik jangkrik

mulai terdengar saling bersahutan dibalik rerumputan pedesaan yang masih asri. Indah

dan terasa damai. Para ibu memangil anak-anaknya untuk segera masuk. Khawatir

dengan istilah “pamali” jika menjelang maghrib masih berkeliaran. Anak-anak pun

saling berlarian, meninggalkan jejak bermain untuk pergi menuju rumah masing-

masing.

Disudut sana, dalam sebuah deretan bangunan tua yang berjajar mengelilingi

sebuah lapangan, banyak orang yang terlihat masih hilir mudik. Sibuk dengan tugas

masing-masing. Acara spesial yang akan digelar untuk anak seorang kyai besar di

13 | G h a l i y a S i r i d h a
wilayahnya itu tak mungkin diselenggarakan biasa saja. Semua berusaha keras

melakukan yang terbaik.

Terlihat beberapa orang masih berjibaku dengan kepulan asap di dalam dapur.

Ada juga yang bergegas membawa tempayan berisi kue-kue basah dan juga kering

sebagai sajian untuk para tamu. Tak luput juga para petugas dekorasi ruangan yang

masih mengangkat barang kesana kemari untuk ditata agar terlihat indah. Mereka

bekerja dengan ritme yang sedikit dipercepat, karena adzan akan segera

berkumandang.

Suasana pondok pesantren yang berada di daerah pedalaman Cianjur itu terasa

sangat ramai. Bagaimana tak ramai, pak Kyai yang memiliki santri sekitar 500 orang itu

baru pertama kali menikahkan anaknya.

Aida, merupakan putri kedua dari 7 bersaudara. Kakak pertamanya laki-laki dan

belum memiliki calon istri. Wajar bila Aida sebagai putri tertua melangkah duluan

untuk masuk ke dalam jenjang pernikahan.

Pengajian akan segera dimulai selepas maghrib. Banyak santri yang juga ikut

membantu. Pesantren yang biasanya diisi dengan kegiatan mengaji dan sekolah kini

sibuk dengan segala macam persiapan pernikahan. Harum masakan sudah tercium

dimana-dimana. Dekorasi sudah mulai terlihat cantik disetiap sudut ruangan. Canda

tawa dari para santri terdengar dimana-dimana. Kebahagiaan mulai terpancar

keseluruh penjuru desa. Semua orang bersuka cita menyambut hari pernikahan Aida

yang akan dilaksanakan keesokan harinya. Namun tidak dengan Aida. Sejak pagi Aida

memilih untuk mengurung diri di dalam kamar.

“Teteh Aida..”. Pintu kamar Aida diketuk. Seorang santri mencoba memanggil.

Namun tak terdengar suara yang menyahut dari dalam.

“Teteh Aida.. Hayo teh. Ieu tos seueur tamu” (ayo ini udah banyak tamu).

14 | G h a l i y a S i r i d h a
Sang pemanggil diam sejenak. Menempelkan telinga kanannya di daun pintu.

“Teeeh??? Hayu ieu bade mulai” (ayo ini mau mulai). Kini suaranya lebih

dipertegas, ketukan pintu pun semakin diperkeras.

“Teh Aidaaaaa???”.

Masih hening.

Lima..

Enam..

Hingga belasan kali panggilan dan ketukan pintu pun tetap tak ada jawaban.

Terdengar sang pemanggil dari balik pintu kamar merasa panik. Ia berlari mencari

bantuan.

Semua orang ikut panik. Kakak laki-laki Aida menghampiri, siap dengan

tangannya yang cukup kuat untuk mendobrak pintu. Saat otot-otot tangannya mulai

mengeras dan siap mendorong. Pintu kamar terbuka.

“Yuk ngaji”. Sahut Aida dengan wajah datar.

“Ari teteh kunaon? Di gedoran titadi teu nembalan?” (Teteh kenapa? Di ketuk-

ketuk daritadi nggak ngejawab?). Mata sang kakak melotot tajam.

“Bobo a”. Jawab Aida singkat. Tak berani ia menatap mata kakaknya. Matanya

sembab. Tangannya lebam. Digunakannya manset tangan agar tak terlihat bekas luka.

“Maghrib-maghrib piraku bobo?” (Masa maghrib-maghrib tidur?).

Aida tak menggubris, ia langsung melenggang pergi dengan menundukkan

kepalanya dan duduk di dekat ibunya. Sang kakak menghela napas.

Semua hanyut dalam syukuran yang digelar. Banyak do’a terpanjat, berharap

semua dilancarkan dan mendapat keridhoan. Setelah semuanya selesai, Aida bangkit

dan segera kembali ke kamar. Ibunya mengikuti langkah Aida.

15 | G h a l i y a S i r i d h a
Aida menoleh. Segera ia tundukkan pandangannya ke lantai. Ibu Aida memegang

kedua bahunya. Mengajaknya duduk di atas kasur.

“Teteh.. ummi tau teteh sedih. Ummi tau apa yang teteh rasakan saat ini. Dulu

ummi juga pernah merasakan apa yang teteh rasakan”. Suara ummi menyapa lembut

membuka percakapan. Matanya mengamati setiap raut yang terbentuk di wajah

putrinya itu.

“Teteh tau kalau kakek itu lebih keras dari abah? Tanpa pernah bertanya dan

menjelaskan, setiap perintahnya kakek selalu bilang “pokoknya harus nurut!”. Aida

menunduk sambil memainkan jemarinya. Ummi mengangkat lembut dagu Aida dan

menatapnya lekat-lekat.

“Teteh tau apa yang menjadi penguat ummi?”. Aida menggelengkan kepalanya.

“Ridho Allah”. Jawaban ummi mantap.

“Ridho Allah adalah perisai hati dari membenci dan melemahkan keadaan. Kata-

katanya sederhana tapi kekuatannya luar biasa. Saat teteh merasa lemah, saat banyak

alasan datang untuk membenci kehidupan. Maka ingatlah bahwa ridho Allah yang kita

cari. Insyaallah kita akan senantiasa dituntun dalam kebaikan, kekuatan, serta

kebahagiaan yang hakiki”. Ummi menggenggam kedua tangan Aida.

“Auu..”. Nada spontan Aida membuat Ummi mendelik. Terlihat Aida

mengernyitkan wajahnya. Kemudian dibukanya perlahan manset tangan yang

terpasang di lengan Aida. Seketika pipi ummi dibanjiri air mata. Kedua tangan putrinya

itu penuh lebam bekas gigitan. Diciumnya kedua tangan tersebut dengan penuh

kehangatan. “Menyakiti diri sendiri tidak akan menyelesaikan masalah. Semuanya

tergantung dari sini”. Ummi menunjuk ke dada Aida.

16 | G h a l i y a S i r i d h a
“Ikhlas menerima bahwa semua adalah ketetapan Allah dan meyakini bahwa

semua itu pasti mendatangkan kebaikan akan menjadikan jiwa kita lebih tenang.

Insyallah ummi yakin anak ummi kuat”.

***

Satu minggu yang lalu, seusai mengajar ngaji anak santri di sore hari. Abah,

sapanya pada ayahnya yang merupakan seorang Kyai besar itu tiba-tiba mengajak Aida,

putri tertua dari tujuh bersaudara untuk bicara empat mata di ruang baca.

Terlihat di ruangan tersebut, rak-rak buku berdiri tegak. Buku-buku islam,

ensiklopedia, serta kitab-kitab bahan kajian menjadi bagian yang paling dominan dalam

memenuhi 3 rak buku besar yang terbuat dari kayu jati dengan kualitas nomor satu.

Semuanya tersusun rapi disana. Tak luput disamping jendela, sebuah kursi rotan tua

dengan lampu gantung yang menyoroti, terpajang sendiri dengan sejadah tebal

berwarna hijau yang terhampar disampingnya. Beberapa tasbih terpaku di dinding

depan sejadah. Semuanya memberi kesan bahwa itu adalah tempat pribadi.

Seperti sudah menjadi adat kebiasaan, Aida duduk di atas sajadah dengan

bokong yang menempel dikedua kakinya yang dilipat ke belakang. Sedangkan Abah

duduk di atas kursinya dengan penuh karismatik.

“Teteh, Kita hidup di dunia ini hanya sementara. Sejatinya kita sedang

menyiapkan bekal untuk kehidupan yang abadi nanti yaitu akhirat. Bekal apa itu teh?”.

“Amal shalih bah”. Jawab Aida sambil tertunduk.

“Ya betul. Maka kita harus gunakan sisa hidup yang Allah berikan ini dengan

sebaik mungkin. Perbanyaklah amal shalih”. Abah terdiam sesaat, terjeda seketika

dengan menghela napas panjang. Kedua tangannya di simpan di atas paha dengan jari-

jari yang saling menyilang.

17 | G h a l i y a S i r i d h a
“Abah salut kepada laki-laki yang berani datang langsung meminang. Dia tau

bagaimana cara mendapatkan wanita dengan cara yang Allah ridhoi. Dia ingin

memuliakan teteh. Dia ingin memberi banyak kesempatan kepada teteh untuk

memperbanyak amal shalih”.

Kata-kata abah membuat lidahnya kelu dan membisu. Aida diam, tak bisa

berkata apa-apa. Hanya hati dan pikirannya yang berkecamuk tak karuan. Ingin hati

berkata tidak, namun ia tak kuasa. Malaikat dan setan dalam dirinya seolah berperang

mempertahankan argumen masing-masing. Antara mengikuti permintaan abahnya

serta perasaan sebagai manusia yang menuntut kebebasan.

Sejak dulu Aida tak pernah bisa menolak permintaan orangtuanya. Terlebih

Abahnya yang jika beliau sudah memutuskan sesuatu maka kata-katanya sulit untuk

ditolak. Kini Aida pun tak bisa menolak saat Abahnya secara tersirat memintanya untuk

menikah dengan seorang laki-laki yang bahkan tak ia kenal sama sekali. Bukan untuk

tahun depan atau bulan depan. Melainkan minggu depan dengan persiapan yang serba

mendadak.

Ada hati yang sebenarnya ia dambakan. Namun tak cukup nyali untuk

menceritakan. Hanya Bahasa tubuh yang bisa menjelaskan. Betapa tidak ada

kebahagiaan yang terpancarkan.

Abah mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan, menatap lebih dekat ke arah

putrinya yang hanya tertunduk diam.

“Teteh.. kabahagiaan teh lain kur sauukur perkara dunia. (Kebahagiaan itu bukan

hanya sekedar urusan dunia). Kalau semua diniatkan karena Allah. Insyallah

kebahagiaan dan keberkahan akan didapat bukan hanya di dunia tapi juga di akhirat”.

***

18 | G h a l i y a S i r i d h a
Aida yang dulu terlihat anggun dan ayu dengan rambut yang terurai panjang jika

tak berjilbab, kini hanya tersisa bintik-bintik akar rambut yang nampak kepermukaan.

Banyak bekas luka yang tergores dikulit kepala serta bekas gigitan di kedua tangannya

yang mulus. Rambut yang menjadi mahkota bagi setiap wanita itu sengaja ia cukur

paksa hingga tak tersisa, agar tak nampak lagi kecantikan pada dirinya. Hanya itu yang

bisa ia lakukan sebagai bentuk penolakan diri.

Tahun 2004 handphone belum secanggih sekarang. Bisa dikatakan masih banyak

orang yang merasa asing. Apalagi ditempatnya, pesantren yang jauh sekali dari hiruk

pikuk modernisasi. Barang-barang elektronik seperti Televisi dan speaker pun tak

pernah terpasang. Bid’ah katanya.

Ingin hati berteriak pada sang kekasih nun jauh disana agar membawanya pergi

sejauh mungkin. Namun kabar tak mudah mengudara, pun tak ada merpati yang bisa

mengerti. Hanya tangan yang mampu merangkai kata dalam tulisan. Aku rindu..

maafkan aku.. :’(

***

“Qobiltu nikaahahaa wa tazwiijahaa bil mahril madzkuuri naqdan”. Janji

pernikahan itu terucap di hadapan Allah dan rasulnya. Sebuah janji yang akan

dibawanya hingga mati serta pasti dimintai pertanggungjawabannya kelak di akhirat

nanti.

“Alhamdulillah sah..”. Semua orang bertashbih, bertahmid, dan bertakbir, atas

bersatunya dua orang insan dalam ikatan pernikahan.

Nyanyian sholawat para santri menjadi warna keramaian dalam pernikahan. Tak

ada senyuman yang terukir dari bibir mempelai wanita. Berbeda dengan mempelai pria,

rona kebahagiaan diwajahnya terpancar dari senyumannya yang terus mengembang.

19 | G h a l i y a S i r i d h a
Tak kurang dari 5.000 undangan yang datang menyalami. Semua orang terlihat

berbahagia meski tanpa iring-iringan musik yang menggema. Hanya beberapa alat

tepukan marawis yang menjadi pengantar sholawat.

Di kursi pelaminan Aida terlihat berdiri menjauh dari sang pria. Wajahnya

masam, tak peduli meski ia sedang menyalami ribuan tamu undangan yang hadir.

Dari kejauhan Aida melihat sosok laki-laki yang tak asing baginya. Laki-laki yang

selama ini ia rindukan. Laki-laki yang selama ini ia dambakan bersanding dengannya di

pelaminan. Berkemejakan batik putih.

Kini, sosok itu terlihat berbaur dikeramaian. Mata Aida menyipit, kemudian

menyorot tajam ke arah sosok yang dimaksud. Meyakinkan diri bahwa yang ia lihat

adalah benar.

Tangan Aida bersalaman namun matanya berkeliaran. Seorang wali santri tiba-

tiba memeluknya dengan riang, memberi ucapan selamat dengan wajah sumringah.

“Teteh Aida MasyaAllah.. Barakallah sayang. Semoga menjadi keluarga yang

sakinah, mawaddah, wa rahmah”.

Fokus Aida terpecah, untuk pertama kalinya di hari pernikahannya ia tersenyum

secara refleks menyambut pelukan si ibu, meski senyumannya terkesan dipaksakan.

“Aamiin.. makasih bu”.

Sesaat setelah ia alihkan pandangannya. Segera ia kembali menggulirkan bola

matanya ke arah ribuan tamu, wajahnya turut bergerak kesana-kemari mencari sosok

yang mengganggunya sedari tadi. Sosok itu tak lagi ia dapati, menghilang ditengah

keramaian.

Kaki Aida hampir melangkah hendak mencari, namun tertahan oleh seorang pria

berkemejakan batik putih yang berdiri tepat di depannya.

20 | G h a l i y a S i r i d h a
Jarum jam seakan berhenti berdetak. Seolah hanya bola matanya yang bisa

bergerak. Ia arahkan kedua matanya ke arah wajah sosok di hadapannya. Dilihatnya

laki-laki itu tersenyum ke arahnya. Treeek…

Jarum jam kembali berdetak. Laki-laki itu menyalami dan mengucapkan selamat.

Aida terkulai lemas. Bukan karena ucapan laki-laki itu. Tapi ia menyadari bahwa laki-

laki itu hanya tamu undangan biasa dan bukan orang yang ia sangkakan. Air matanya

menetes. Tak habis pikir dengan angan dan harap yang begitu besar. Matanya

berkunang-kunang. Aida pun tergeletak di pelaminan.

***

Di dalam kamar terdengar sayup-sayup suara seseorang sedang membaca Al-

qur’an. Suaranya dipoles menawan saat ayat demi ayat dalam bait-bait Al-qur’an itu

dilantunkan. Hati Aida berdesir, firman Allah selalu menggetarkan jiwanya.

Mata Aida terbuka perlahan. Kepalanya terasa berat. Tubuhnya masih terasa

lemas. Suami Aida menoleh. “Alhamdulillah akhirnya neng sadar”.

“Aa?”. Suara Aida terdengar lirih. Ia memanggil bukan untuk suaminya, tapi

untuk sang kekasih yang ia dambakan.

“Iya neng? Neng mau apa?”.

Aida memalingkan wajahnya dan menangis, menyadari kenyataan yang terjadi.

Aida masih belum bisa menerima bahwa laki-laki asing yang ada dihadapannya adalah

suaminya.

Tangan Aida meraba kepalanya. Ia masih berkerudung.

“Aa belum berani buka jilbab neng, cuma bantu dilonggarkan supaya nafas neng

nyaman. Soalnya tadi masih banyak orang yang keluar masuk buat meriksa keadaan

21 | G h a l i y a S i r i d h a
neng. Sekarang aa bantu buka jilbabnya ya, supaya lebih nyaman.” Tangan si pria

mencoba membukakan jilbab namun Aida menepis. Mata Aida melirik tajam.

“Eh maaf, aa nggak bermaksud apa-apa. Cuma mau bantu neng buka jilbabnya”.

Badan suaminya sedikit membungkuk, ia menguncupkan tangannya sambil terus

menerus meminta maaf.

Aida mendongakkan wajahnya ke langit-langit sambil memejamkan kedua

matanya. Terngiang kata-kata ummi yang mengingatkan dirinya bahwa ridho Allah

harus dijadikan sebagai penguat, saat banyak alasan untuk membenci kehidupan.

Aida membuka jilbabnya. Terlihat kepalanya yang tak berambut menyisakan

luka yang menjadi saksi atas penolakan diri.

Mata suami berkaca-kaca. Merasa iba terhadap keadaan sang wanita yang

mungkin tak merasa bahagia. Sang suami tersenyum menutupi kemelut rasa dihatinya,

berharap senyumannya menjadi pengobat luka.

“Neng sungguh cantik. Aa suka”. Senyuman serta kata-kata yang keluar dari

mulut suaminya membuat Aida tak percaya. Ia menangis, tak bisa menahan diri. Dengan

suara parau akhirnya ia membuka suara.

“Insyaallah neng siap untuk mengabdikan diri neng untuk aa”.

Sang suami pun tak kuasa menahan diri untuk memeluk sang istri dengan penuh

cinta. Sungguh ridho Allah benar-baner dijadikannya sebagai perisai hati.

***

22 | G h a l i y a S i r i d h a
Kamu tahu? Bahwa semua yang ada di muka bumi ini adalah energi.

Termasuk kita sebagai manusia. Setiap energi memiliki daya magnetik

tersendiri yang akan menarik energi yang sama.

Ibarat sebuah radio yang memiliki frekuensi, manusia mengirimkan

sinyal frekuensi tersendiri di alam semesta sesuai dengan kadar energi

yang ia miliki. Sinyal ini akan tertangkap oleh manusia yang memiliki

frekuensi yang sama.

Bisa jadi, secara tidak sadar kita telah mengkoneksikan energi kita

dengan seseorang diluar sana yang mungkin orang itu kita benci namun

pada hakikatnya memiliki energi yang sama.

Energi terbentuk salah satunya melalui do’a-do’a kita dan do’a-do’a

orang lain untuk kita selama ini.

Allah maha mengetahui sedangkan manusia tidak.

23 | G h a l i y a S i r i d h a
“Iya aku Abid”.

“Loh kalian udah kenal?”. Tanya sang imam masjid yang ternyata ayah Aina.

“Kan Abid adek kelas pak, kita selalu satu sekolah dari mulai SD, SMP, SMA”.

Jawab Aina menjelaskan.

Abid tertegun. Ternyata kehadirannya selama ini disadari oleh Aina, wanita yang

ia dambakan sejak bertahun-tahun lamanya.

Abid tak menyangka ternyata rumah yang ia singgahi adalah kediaman Aina.

Sudah 5 tahun berlalu, sejak Aina lulus SMA mereka tak pernah lagi bertemu. Abid

merasa bahagia. Malam itu terasa menjadi malam yang sungguh istimewa baginya.

“Abid sekarang dimana?”. Tanya wanita itu ramah.

“Mmm.. I..itu di UPI semester akhir. InsyaAllah lagi nyusun”. Jawabannya terbata-

bata. Suaranya terdengar lebih berat, mulutnya sedikit bergetar. Kali ini bukan karena

kedinginan melainkan karena luapan emosi yang meledak-ledak. Entah mengapa

tenggorokan abid terasa tercekat saat ditanya oleh wanita itu.

“Alhamdulillah.. Wah sekarang Aina jadi adik kelasnya Abid dong ya. Dia telat

kuliahnya bid”. Timpal ayah Aina.

“Ohh”. Jawab Abid singkat sambil menganggukkan kepalanya. Abid mendengus

pelan. Gemas dengan dirinya sendiri. Jauh dilubuk hatinya, ia ingin tahu mengapa dan

apa yang telah terjadi dengan Aina selama ini, namun ia belum bisa mengontrol

suaranya yang pasti akan terdengar bergetar saat berkata panjang lebar.

“Ayo diminum, saya tinggal dulu ya bid”. Aina pamit masuk ke ruang tengah.

Abid berdehem, rasanya memang ia butuh minum untuk sedikit menetralisir

kondisi kerongkongannya yang sedang tak bisa diajak kompromi.

Hampir satu jam setengah Abid berteduh di rumah Aina. Bukan hanya tubuh

Abid yang kini menjadi hangat. Hatinya pun terasa jauh lebih hangat. Siapa lagi kalau

24 | G h a l i y a S i r i d h a
bukan karena Aina, wanita pujaan yang kini jarak keduanya hanya beberapa langkah.

Ayah Aina bercerita tentang banyak hal. Abid mulai bosan, posisi duduknya

sudah bergonta ganti beberapa kali. Jemari kakinya ia hentak-hentakan pelan ke lantai

membentuk sebuah irama. Tapi wajahnya pura-pura senyum memperhatikan,

mengangguk-ngangguk seolah mengerti padahal ia tak tahu apa yang sedang ayah Aina

bicarakan.

“Sekarang jarang sekali anak muda yang mau shalat berjamaah di masjid.

Padahal siapa lagi yang mau memakmurkan mesjid nanti kalau orangtua-orangtuanya

sudah meninggal? Anak mudanya banyak yang lebih memilih nongkrong di cafe dan

mall-mall daripada nongkrong di mesjid. Padahal nongkrong di mesjid kan gratis, nggak

kayak ke mall atau ke cafe pasti ada uang yang harus dikeluarkan”. Keluh ayah Aina

terhadap kondisi yang terjadi saat ini. Entah berawal darimana topik pembicaraan itu

kini beralih ke kondisi mesjid. Padahal daritadi ayah Aina sedang menceritakan kisah

perjuangannya dalam berhijrah.

Abid mencoba merespon kata-kata ayah Aina untuk menghargai. “Iya pak, di

kampung saya juga sama. Apalagi sekarang banyak ahli mesjid yang sudah meninggal”.

“Kamu anak yang baik bid, masih suka shalat berjamaah ke mesjid”. Pujinya salut.

“Darimana bapak tahu saya suka ke mesjid?”. Tanya abid penasaran. Hidungnya

kembang kempis mendengar pujian dari ayah sang wanita pujaan.

“Itu barusan kamu bilang di kampung kamu juga sepi. Mana kamu tahu mesjid

disana sepi kalau kamu nggak liat langsung kondisinya. Iya kan?”. Ayah Aina terkekeh.

Abid pun tersipu malu.

Waktu sudah menunjukkan pukul 21.45 WIB. Abid sudah tak sanggup lagi

mendengar cerita-cerita ayah Aina. Matanya mulai ngantuk, badannya terasa lelah ingin

segera diistirahatkan. Akhirnya Abid memberanikan diri untuk pamit undur diri.

25 | G h a l i y a S i r i d h a
“Sepertinya sudah terlalu malam pak, lebih baik saya pamit pulang. Besok banyak

hal yang harus saya kerjakan”. Pinta Abid dengan sopan.

“Oh.. baik kalau begitu. Hati-hati a, titip salam sama yang di rumah ya”. Ayah Aina

berdiri, mengantar Abid ke depan pintu.

“Iya pak. Makasih banyak atas jamuannya pak. Assalamualaikum”.

“Waalaikumussalam”.

Mata Abid sedikit melirik ke arah ruang tamu, berharap Aina keluar mengucap

salam.

Ah bodoh.. Gerutunya menyadarkan diri.

***

Seperti biasa Abid mengantar ayahnya berangkat kerja dengan menggunakan

motor vespa kesayangannya jam 7 pagi.

Saat tiba di depan kantor, Abid melihat sosok wanita yang ia kenali berpapasan

dengannya dan tersenyum.

“Assalamualaikum”. Sapa wanita tersebut dengan senyum ramah.

“Waalaikumussalam.. eh neng udah datang”. Jawab ayah Abid.

“Iya pak. Eh Abid.. Ketemu lagi ya”. Sapaan wanita itu menggetarkan hati Abid.

Abid tak menyangka kejutan yang diberi Allah untuknya tiada henti. Abid

mengangguk senyum.

“Semalem pulang jam berapa?”. Pertanyaan Aina terasa bagai sebuah perhatian

besar untuknya.

“Jam sepuluh kurang”. Senyum Abid girang.

“Oh gitu.. Duluan ya pak, Abid”. Wanita itu pergi meninggalkan Abid yang masih

tak bisa berhenti menatap Aina. Mata Abid mengikuti langkah wanita itu hingga tak

terlihat. Aina oh Aina..

26 | G h a l i y a S i r i d h a
“Hey!!!”. Gertak ayah menyadarkan.

“Kalian ketemu dimana emang?”. Tanya ayah abid penasaran.

“Semalem pak, di rumahnya”. Jawab Abid dengan mata berbinar.

“Loh kok bisa?”

“Karena Allah, hehehe”. Jawab Abid sekenanya.

“hmmm… Itu loh perempuan yang tadinya mau bapak jodohkan ke kamu. Tapi

kamu nggak mau”.

Abid melirik ayahnya dan bekata gesit. “Mau pak mau”.

“Tau cantik aja mau”. Ayahnya menjelingkan mata lalu pergi.

Bagi Abid ini bukan hanya sekedar tentang cantik, tapi lebih daripada itu. Ada

rasa yang masih terpenjara dan kini kian memberontak keluar. Terlebih saat

kesempatan terbuka lebar.

***

“Assalamualaikum.. Aina apa kabar? Ini Abid”.

Sapa Abid melalui pesan whatsapp. Tak terbendung rasa bahagia Abid saat

ayahnya memberikan no telepon Aina untuk ia dekati.

“Waalaikumussalam.. Alhamdulillah sehat. Kamu apa kabar?”. Hanya selang

beberapa detik pesan itu dijawabnya.

“Alhamdulillah baik. Baru pertama kita ngbrol ya. Maaf lancang”.

“Iya.. gk apa2 santai aja ”.

Taburan kebahagiaan langsung menghujani diri Abid. Wajah sumringah tercipta

dari wajahnya yang biasa datar.

“Lain kali mau silaturahmi lg ke rumah boleh? Saya senang ngobrol sm ayah kmu”.

Modus memang, tapi ia tak tahu lagi harus beralasan apa.

Di ujung sana Aina tertawa membaca pesan Abid. Ia cukup peka terhadap

27 | G h a l i y a S i r i d h a
perilaku pria yang menggunakan berbagai teknik modus untuk mendekatinya.

“Beneran seneng ngobrol sm ayah? Gk yakin :P”.

Duh.. Abid menepuk jidatnya. Malu. Ia sadar jika sebenarnya dirinya berbohong.

“Yaudah sm kmu aja ngobrolnya kalau gt, lebih seneng. Sekarang yakin kn? hehe”

Keduanya tertawa diujung tempat yang berbeda.

Sejak saat itu mereka semakin dekat. Hari-hari Abid terasa lebih berwarna.

Bunga asmara seolah terus menghujani hati yang telah lama gersang. Orangtua Abid

tentu saja merestui, dekimian pula dengan orangtua Aina.

Sekitar 3 bulan mereka mengenal dekat satu sama lain. Tak ada harapan yang

lebih besar selain membawa hubungan mereka ke jenjang pernikahan. Abid melompat

kegirangan. Hatinya seperti kembang api yang tersulut ke udara, menghiasi langit di

malam hari. Dadanya yang bidang hampir reflek memeluk wanita di depannya saat

wanita itu berkata “Aku mau menikah denganmu”.

***

“Abid maneh rek kawin lain jeung si Aina?” (Abid kamu mau nikah bukan sama

Aina?)

Seseorang tiba-tiba mengirim pesan facebook. Dilihatnya akun yang mengirim

pesan itu. Ternyata dia adalah laki-laki yang dulu merupakan kakak kelasnya di SMA.

Abid tak tergubris. Rasanya tak penting menjawab pesan dari orang yang tak ia

kenal dekat.

Tiba-tiba suara pesan facebooknya terdengar lagi. Ada pesan masuk. Kali ini

bukan kata-kata, melainkan sebuah foto. Abid membuka foto itu. Seketika matanya

membelalak, jemarinya bergetar, jantungnya seolah berlari tak berirama.

“Tah calon maneh geus diasaan ku urang”. (Tuh calon kamu udah aku cobain).

28 | G h a l i y a S i r i d h a
Pesan itu masuk lagi, seolah mendeskripsikan foto yang terkirim.

Astaghfirullah... Darah mendesir merangkak naik di wajahnya. Terlihat dalam foto

itu Aina bersama seorang pria sedang berfoto mesra tanpa busana. Abid menangis,

geram ingin memukul laki-laki yang ada di dalam foto.

“Dasar pelacur!!!”.

Abid tak bisa menahan diri untuk segera mengirim pesan kepada wanita yang

akan segera menjadi pengantinnya itu. Ia belum siap untuk menelpon langsung.

Suaranya masih terisak-isak karena perasaannya yang hancur berkeping-keping.

“Astagfirullah kamu kenapa? Jahat!!!”.

Terlihat balasan pesan dari Aina yang tak terima dikatai seperti itu. Abid segera

mengirimkan foto yang diterimanya dari facebook.

15 menit berlalu, tak ada balasan. Abid mendengus geram. Ia mengambil jaket

dan kunci motor hendak pergi menemui langsung sang terdakwa. Pembuluh darah

tampak tegang di lehernya.

Suara vespa yang bising dipacunya dengan kecepatan 80km/jam. Ia tak peduli

jika ada yang terganggu dengan laju motornya.

Sesampainya di rumah Aina, Abid diam sejenak. Ia memilih menunggu di luar.

Tak mau orangtua Aina tau jika ia sedang dalam keadaan emosi. Ia mengambil

handphone di dalam saku celana dan langsung menelepon Aina. Tak di angkat. Ia segera

mengirim pesan.

“Aku di depan rumah kamu. Cepet keluar! Kita bicara”.

Abid tak sabar untuk segera bertemu. Bukan karena rindu. Tapi Abid ingin

mengklarifikasi informasi yang didapatnya tadi.

5 menit kemudian seseorang terdengar membuka pintu. Aina keluar dengan

wajah sendu, takut dan malu bercampur menjadi satu. Dia mendekati Abid yang sedang

29 | G h a l i y a S i r i d h a
duduk menunduk di atas motornya.

“Maafin aku.. kejadian itu udah lama. Dulu aku khilaf Abid, aku bodoh.. Maaf”.

Abid mengangkat wajahnya. Giliran Aina yang kini menunduk sambil menangis

menutupi kedua wajahnya. Sejenak Abid memalingkan wajahnya menahan tangis. Ia tak

bisa marah. Entah mengapa. Padahal emosi tadi begitu terasa menggebu. Mungkin ia tak

tega saat melihat bidadarinya menangis.

Abid terlihat berpikir, jari-jari tangan kanannya menekan bagian kening yang

terasa pusing. Ia menarik napas panjang. Kini ia mencoba bersikap tenang.

“Oke, aku bisa menerima masa lalu kamu itu. Asal kedepannya kamu harus nurut

sama aku kalau kita menikah nanti. Kamu harus diem di rumah dan nggak boleh kerja.

Satu hal lagi, hapus semua akun medsos kamu dan nggak boleh lagi punya akun di

medsos!”.

Cinta membuatnya mencoba bertahan. Abid masih memberi kesempatan. Namun

entah apa yang membuat Aina merasa keberatan, ia menolak syarat yang diajukkan oleh

Abid.

“Maaf Abid aku nggak bisa janji bisa memenuhi permintaan kamu”.

Abid menyeringai. Kecewa dengan jawaban yang diberikan oleh Aina. Abid

menyelah motor vespanya. Memainkan gas motor hingga meraung keras. Melirik sinis

ke arah sang wanita.

“Ternyata kamu tak secantik bidadari”.

Motor vespa pun ia pacu. Melesat di jalanan lenggang. Meninggalkan asap

kepedihan yang mendalam.

***

30 | G h a l i y a S i r i d h a
Semua yang kita lakukan selama ini, baik itu kebaikan maupun

keburukan tidak akan pernah hilang. Semua akan terakumulasi di alam

semesta menjadi energi yang akan menarik kehidupan baik atau buruk

dikemudian hari.

Jika tabungan energi kita di alam semesta banyak yang positif maka

kita akan didekatkan dengan hal-hal positif lainnya, dengan jodoh yang baik,

rezeki yang baik, dan kehidupan yang baik. Sebaliknya jika energi kita yang

terakumulasi adalah negatif, maka kita pun akan mendapatkan hal-hal yang

kurang baik.

Bersyukurlah ketika hati kita dipatahkan terhadap sesuatu yang

membuat kita merasa perih hari ini. Bisa jadi karena sebenarnya tabungan

energi positif yang kita miliki masih cukup besar untuk menghindarkan diri

kita dari sesuatu yang buruk dikemudian hari.

₰- Jodoh Impian

“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu,

Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”

(Q.S Al-Baqoroh : 153)

***

Ku susuri setiap ruang yang penuh kenangan itu. Kenangan yang membawaku

terjerat dalam harapan cinta dengannya selama sepuluh tahun lamanya. Banyak orang

menyangka aku begitu setia. Menunggunya yang tak pasti. Padahal sudah seringkali aku

mencoba keluar darinya, dari angan tentangnya. Tapi gagal, dan selalu gagal. Bayangan

tentangnya selalu hadir menghantui. Membuatku merasa ingin mencobanya satu kali

31 | G h a l i y a S i r i d h a
lagi.

Ku naiki tangga yang menuju ke ruangan pertama, tempat dimana pertama kali

kami bertemu. Tahun 2006, 10 tahun yang lalu.

“Temen satu sekbidmu mana?”. Tanyaku pada Ikhlas, salah satu temanku saat

kami mengikuti LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan) Osis kelas 1 SMP.

“Nih”. Ikhlas menunjuk seorang gadis yang duduk tepat di depan kami berdua.

“Shabiya!”. Panggil Ikhlas kepada sang gadis. Gadis itu menoleh. Manis..

“Apa?”

“Ada yang mau kenalan nih”. Ikhlas menunjuk tangannya kepadaku.

Ku lambaikan tangan dengan cepat. Malu. “Eh nggak bohong”. Darisanalah aku

tahu bahwa gadis itu bernama Shabiya.

Saat itu aku belum mengerti apa artinya cinta. Yang ku tahu, aku tertarik pada

gadis mungil yang matanya seketika menyipit saat tersenyum itu, dan justru hal itu

menambah rona manis di wajahnya. Dari perkenalan itu aku mulai usil dan sering

mengganggu gadis itu. Menarik kerudungnya tiba-tiba, mengolok-olok dia, hingga ku

panggil dia dengan sebutan Dora –pemeran utama di film kartun anak-anak yang

memiliki sahabat seekor monyet-. Aku memanggilnya Dora saat ku tahu rambut yang

selalu ia tutupi dengan kerudung itu hanya sepanjang bahu.

Aku tersenyum geli saat hal itu kini menjadi sesuatu yang lucu untuk dikenang.

Setiap kali ku jahili gadis itu, ia hanya berteriak “Biaaannn!!!!”. Tapi tak pernah marah.

Dia memang baik, dan membuatku ingin selalu berbuat usil. Gadis itu mampu

membuatku ingin pergi sekolah setiap harinya.

Aku berjalan memutar arah, memasuki sebuah lorong yang menuju ke tempat

lainnya. Semilir angin terus membawa langkahku pada ruang nostalgia. Kali ini aku

melewati sebuah lapangan. Teringat saat itu tahun 2007, 9 tahun yang lalu.

32 | G h a l i y a S i r i d h a
Gadis itu memanggilku dari balik angkot di luar pintu gerbang sekolah.

“Biaaaan”. Ia lambaikan tangannya padaku.

Aku berlari riang, hendak menemuinya ditempat yang sedang kita tuju. Yaitu

disini, di lapangan ini. Padahal setelah bertemu aku hanya diam. Tak berani

mengajaknya bicara.

Setiap sore, dua kali dalam seminggu kami mengikuti ekstrakurikuler yang sama

yaitu taekwondo. Bukan karena kebetulan, tapi memang karena aku yang sengaja

mengikuti apa yang ia ikuti. Aku selalu menunggu setiap saat latihan, hanya karena ingin

menatapnya. Melihat senyumnya.

Bola mataku bergulir ke seluruh area lapangan. Banyak kenangan tersimpan

disana. Terlihat Bian remaja yang berlari di lapang itu, di kejar sang gadis yang ingin

menendang bokongnya karena lama menunggu giliran untuk menendang target dalam

latihan taekwondo.

“Atuh hei jangan pantat aku!” Aku memelas sambil berlari saat itu.

Gadis itu menyeringai. Mendelik tajam seperti hendak menerkam, ingin segera

menendang bokongku.

“Abis kamu yang suka nyebelin!”. Gadis itu tak akan berhenti mengejar jika

hasratnya belum terpenuhi. Akhirnya aku selalu pura-pura mengalah, padahal dalam

hati aku merasa sangat bahagia. Aku ingin ia selalu mengejarku seperti itu.

Angin membawa langkahku lagi untuk menelusuri ruang kenangan. Tepat di

samping lapangan, ada sebuah kelas yang di depannya terdapat sebuah pohon besar.

Aku memasuki ruangan itu.

Dulu kelas itu sering sekali aku perhatikan saat jam istirahat dan jam pulang

sekolah. Hanya sekedar ingin mengetahui apa yang sedang gadis itu lakukan.

Ku tatap seluruh isi ruangan kelas. Berjalan-jalan sambil menelisik berbagai

33 | G h a l i y a S i r i d h a
pajangan karya siswa yang terpampang disana. Ruang kelas 8 tahun yang lalu dengan

saat ini terlihat sedikit berbeda. Kini di dalam kelas sudah terdapat loker untuk masing-

masing siswa.

Aku duduk dibangku paling depan, tepat di kursi yang gadis itu duduki dulu. Saat

itu tahun 2008, 8 tahun yang lalu.

“Shabiya, ini pulpen kamu ya?”. Kata-kata itu sudah ku latih selama seharian

penuh. Meski tetap saja saat dihadapannya tubuhku seperti tersengat aliran listrik.

Tanganku tak berhenti gemetar. Padahal aku sudah tak sabar menanti agar aku bisa

memberikannya langsung saat ku temukan pulpen itu di kolong mejanya.

Di suatu siang sepulang sekolah, aku sengaja datang ke kelasnya. Kelasnya

kosong, semua siswa sudah pulang. Aku rela menunggu semuanya pulang agar aku bisa

masuk ke kelasnya hanya untuk mengamati bangkunya, mencermati setiap coretan yang

ia buat di bangku. Berharap ada namaku terukir disana.

Aku menepuk jidat sambil tersenyum malu. Menyadari betapa konyolnya diriku

saat itu.

Nyatanya di meja itu aku tak menemukan namaku terukir disana, tapi aku

menemukan sebuah pulpen terselip di kolong mejanya. Aku yakin pulpen itu pasti

miliknya.

“Loh kok ada di kamu? Eh tapi makasih ya”.

Gadis itu langsung pergi meninggalkanku sesaat setelah mengambil pulpen yang

baru saja ku berikan tanpa memberi kesempatan kepadaku untuk menjawab. Meski

demikian, sungguh kata-kata itu membuatku tak bisa tidur semalaman. Sangat

sederhana memang, dan mungkin bagi orang lain hal itu tak berarti apa-apa. Tapi..

bagiku terasa sangat istimewa.

Aku berjalan ke depan meja guru, menatap foto yang terpajang di samping

34 | G h a l i y a S i r i d h a
lemari. Seorang guru dengan para siswa terlihat berfoto rapi. Melihat siswa yang

berjajar rapi membawaku pada memori satu tahun sekali selama tiga tahun di sekolah

putih biru itu.

Setiap tahunnya aku tak sabar ingin segera pergi ke sekolah. Berlari menuju

gerbang sekolah saat hari itu tiba, hanya karena ingin bersalaman dengannya di momen

halal bihalal seusai libur lebaran. Semua siswa pasti akan berjajar rapi untuk saling

bersalaman di lapangan. Dan bersalaman dengannya selalu menjadi momen yang paling

ditunggu-tunggu. Ah lucu sekali rasanya..

Tepat ditempat yang sama, dalam kondisi yang berbeda. Aku menyadari bahwa

yang menyukai gadis itu bukan hanya aku. Salah satunya Brino, teman kelasnya.

Saat itu selepas Ujian Nasional. Aku hendak mengambil foto gadis itu yang

tertempel di kartu ujian di atas bangkunya. Namun ternyata bukan hanya aku yang ingin

memiliki foto itu. Melainkan ada satu orang lagi, siapa lagi kalau Brino.

Masih sangat jelas terakam dalam ingatan, bagaimana perasaanku saat aku

berhasil mengambil foto itu namun aku harus berlari sekuat tenaga karena dikejar oleh

pesaingku yang nyatanya memiliki badan yang lebih besar. Wajahku pusat pasi, napasku

saling memburu. Tepat di pohon besar depan kelas itu kami saling mengitari, bak film

india yang sedang beradegan lari. Dengan sekuat tenaga aku mempertahankan foto

hitam putih berukuran 2 x 3 itu digenggaman agar bisa di bawa pulang. Wajah Brino

memerah menahan amarah saat ku berhasil kabur memasuki angkot yang sedang

melaju untuk membawaku pulang. Aku tak berpikir bagaimana hari esok Brino akan

bersikap, yang ku tahu aku bahagia karena telah memiliki foto Shabiya, gadis pujaanku.

Bagiku, Shabiya adalah ketidakmungkinan yang selalu aku usahakan. Bahkan

meski ketika kami bersekolah di SMA yang berbeda. Untung saat itu facebook sudah

mulai dikenal sejak tahun 2009. Aku tak pernah absen memperhatikan akunnya di

35 | G h a l i y a S i r i d h a
laman facebook. Hampir setiap hari aku menyempatkan diri pergi ke warnet hanya

untuk melihat statusnya. Apa yang sedang ia pikirkan, apa yang akan ia posting dan

sebagainya. Meski ku tahu saat itu ia sudah memiliki kekasih. Sedangkan aku tak pernah

bisa berpindah ke lain hati. Hanya terus merawat perasaan yang terlanjur tumbuh.

Berharap suatu saat nanti hasilnya akan ku petik.

Dering Handphone ku tiba-tiba membuyarkan lamunan. Aku melihat ke arah

layar, tertulis nama “Cinta” di pesan Whatsapp.

“Yank kamu dimana? Ayo katanya mau fitting baju.”.

Ah ya aku tersadar, minggu depan aku akan menikah. Aku datang kesini berniat

untuk memberi undangan ke kantor sekolah. Namun aku terjebak nostalgia di setiap

ruang yang penuh kenangan.

“Iya sayang, sebentar lagi aku jemput ya”.

Ku nyalakan sepeda motor yang sudah menemaniku dengan setia selama 7 tahun

sejak aku duduk di bangku SMA. Lagi lagi kenangan itu muncul. Disini, di motor ini.

Tepat di tahun 2011, 5 tahun yang lalu. Untuk pertama kalinya aku membonceng

seorang wanita, dan dia adalah gadis itu.

“Aku tunggu di tempat fotocopy ya”. Ucap gadis itu melalui sebuah pesan sms.

Persiapanku tak tanggung-tanggung untuk menemui gadis itu. Ku kenakan baju

terbaikku, motorpun sengaja aku cuci hingga mengkilat, minyak wangi ku habiskan

hingga setengah botol. Hari itu hari yang sangat spesial bagiku. Akhirnya setelah 2 tahun

tak bertemu, dia mau untuk ku ajak mengikuti ujian try out umum yang diadakan

disekolahku.

Hari itu aku merasa sangat tampan, terlebih gadis itu tepat berada sejengkal

dibelakangku.

“Kalau udah lulus emang kamu pengen kuliah ke jurusan apa?”. Untuk pertama

36 | G h a l i y a S i r i d h a
kalinya aku memberanikan diri membuka percakapan secara langsung dengan cara yang

lebih dewasa. Tak ada lagi kejahilan-kejahilan yang dulu sering ku lakukan. Biasanya aku

hanya berani mengirim pesan. Bahkan sebelum aku memiliki handphone, aku sering

iseng menelpon ke telepon rumahnya. Meskipun ketika diangkat, aku hanya terdiam.

“Psikologi”. Jawabnya singkat.

“Semoga keterima ya”. Aku bahagia saat ku tahu apa yang ia inginkan.

Menjadikan pengetahuanku tentangnya bertambah lagi.

Namun.. sejak saat itu, kami tak pernah lagi berkomunikasi. Aku salah

mengambil langkah. Sejak pertemuan itu aku selalu membanjirinya dengan sebuah

pesan.

Kamu dimana? Kamu lagi apa? Hari ini mau ngapain? Kamu udah makan?

Sekolahnya mau aku anter? Kamu mau aku jemput?, dan masih banyak lagi.

Memperlihatkan dengan jelas bahwa aku menyukainya. Mungkin karena itu dia merasa

risih dan akhirnya memblokir semua akunku.

Ah bodohnya aku..

Aku menambah laju kecepatan motorku. Tak butuh waktu lama, lima menit

kemudian aku tiba di depan rumah calon pengantinku.

Aku terdiam sejenak. Teringat pertama kali aku berkunjung ke rumah seorang

wanita. Siapa lagi kalau bukan gadis itu. Saat itu tahun 2013, 3 tahun yang lalu.

Aku mulai rindu. 2 tahun tak bertemu. Aku ingin tahu bagaimana kabarnya dan

apa yang kini ia lakukan. Bulan Mei. Aku ingat, hari itu adalah hari ulangtahunnya. Aku

ingin memberi ucapan tapi tak bisa. Aku tak tahu nomor handphonenya yang baru, tak

juga berteman dengannya di media sosial.

“Pri anter yuk ka imah si Shabiya”. Aku mengajak temanku Sapri, teman SMP yang

juga merupakan teman gadis itu. Kali ini aku nekad, ingin datang langsung ke rumahnya

37 | G h a l i y a S i r i d h a
meski tak berani sendiri.

“Rek naon?” (Mau apa?)

“Mere kado”. (Ngasih Kado).

“Asli rek datang teh sabab hayang mere kado hungkul?” (Beneran mau datang

karena pengen ngasih kado doang?).

Sapri yang tahu bagaimana perasaanku tak habis pikir dengan tingkahku yang

begitu menyukai gadis itu.

“Nya, bari ngobrol we sakeudeung ngan jeung maneh we, urang mah era”. (Ya

sambil ngobrol aja sebentar, tapi sama kamu aja. Soalnya aku malu).

Di rumah gadis itu untuk pertama kalinya aku datang berkunjung. Wajahnya ayu,

semakin manis dan terlihat lebih dewasa. Ia begitu ramah, meski keramahannya bukan

ditunjukan untukku. Aku banyak diam dan hanya mendengar percakapan antara mereka

berdua yang tak ku mengerti. Ah menyesal rasanya. Menyesal karena mengajak Sapri

temanku.

Aku tak menyerah. Setelah kunjungan itu, aku mulai mendekatinya lagi. Kali ini

nomor handphonenya telah ku genggam. Aku mengajaknya bertemu beberapa kali,

namun ia selalu menolak. Hatinya masih tertutup begitu rapat. Aku mulai lelah dengan

perasaanku sendiri yang tak pernah berbalas. Akhirnya aku memilih untuk

memasrahkan semuanya pada takdir Tuhan.

Dua tahun berlalu, aku sibuk dengan rutinitasku sebagai seorang pegawai negeri

sipil di Ibukota. Aku tak pernah lagi mencari tahu tentang gadis itu, takut jika hati ini

terkoyak untuk kesekian kalinya.

Aku mencoba membuka hati untuk yang lain. Gadis-gadis cantik seolah

bertebaran di depan mata. Aku mulai mengencani mereka yang cukup menarik bagiku

satu per satu, sekaligus belajar bagaimana caranya mendekati seorang wanita. Tak

38 | G h a l i y a S i r i d h a
pernah ada yang menolak. Mungkin karena pekerjaanku yang cukup bergengsi, sebagai

pegawai negeri sipil di Direktorat Jendral Bea dan Cukai.

Ibuku sering menelpon, banyak kerabat yang ingin menjodohkan putrinya

denganku katanya. Tapi aku tak mau. Entahlah..

Aku mulai bosan. Rasanya hidupku tak memiliki tujuan. Tak ada seseorang yang

mampu membuatku semangat ingin berjuang. Lagi dan lagi, aku teringat gadis itu.

Saat perjalanan pulang di sebuah bis dari tugas dinas. Tiba-tiba Tikan seorang

sahabat yang juga merupakan teman gadis itu menelpon “Bian, masih berharap sama

Shabiya nggak? Kalau masih sekarang waktunya deketin dia”.

Tak ada badai tak ada petir, tak ada hujan yang mengguyur bumi, dan entah

kenyataan atau hanya sebuah mimpi. Hatiku langsung bergetar hebat saat nama itu

disebutkan. Sebuah nama yang bagiku memiliki kesakralan tersendiri, yang ketika

disebut terekamlah semua rasa yang aku miliki.

Aku menampar pipiku dengan keras. Ah ternyata sakit sekali rasanya. Aku

berharap rasa sakitnya kini hanya di pipiku saja, bukan dihati.

Saat itu Agustus 2016.

Aku diam sesaat, tak merespon pertanyaannya. Tubuhku tiba-tiba menjadi panas

dingin. Keringat mengucur membanjiri tubuh. Bajuku basah kuyup layaknya orang yang

tercebur ke dalam kolam. Padahal AC bis saat itu aku fokuskan untuk mengarah

kepadaku.

Semua suara di sekitar menjadi tak terdengar. Terlihat seperti gambar bergerak

bagai volume televisi yang di mute. Hanya terdengar suara dalam hatiku yang dengan

kebimbangannya sedang saling berargumen. Jawab iya atau nggak ya?

Jujur aku bingung. Bilang iya, takut jika pada akhirnya kecewa. Ada perasaan

sedikit ragu karena kegagalan selama ini yang menghantui. Bilang tidak, sayang jika ada

39 | G h a l i y a S i r i d h a
kesempatan disia-siakan.

“Emang kenapa tik?”

Rasa penasaran yang terlampau besar akhirnya mengalahkan keraguan.

Membuatku ingin mencobanya satu kali lagi.

Entah cerita seperti apa yang akan terjadi nanti. Aku tak peduli. Yang ku tahu,

aku menyadari bahwa aku menyukai gadis itu.. Dulu, kini dan nanti.

Aku berazam ini yang terakhir kali. Jika masih ada penolakan, aku akan

menghilang selamanya. Mengikhlaskannya bersama harapan yang telah mati.

“Dia lagi sendiri, saranku langsung datang ke orangtuanya”. Saran Tikan dengan

tegas.

Mataku menatap kosong, tersenyum simpul mengingat kejadian hari itu.

“Yaaank??? Hei!!!”.

Seorang wanita melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku.

Menyadarkanku akan saat ini.

“Kamu ngelamunin apa? Kok bukannya masuk?”. Dahinya mengerut. Matanya

menatapku penuh tanya.

Aku tersenyum memandangnya. Menatap lekat di kedua bola matanya.

Menyelam jauh hingga ke dalam hatinya.

“Nggak, cuma lagi inget pertama kali aku datang ke rumah ini”. Senyumku

mengembang. “Yuk jalan”.

“Ayuk”. Gadis itu pun ikut tersenyum.

Entah bagaimana dan sejak kapan Tuhan akhirnya membukakan pintu hati yang

dulu tertutup begitu rapat. Aku masih tak percaya, gadis itu kini menjadi gadisku yang

kelak akan menemaniku hingga tutup usiaku.

40 | G h a l i y a S i r i d h a
Apa yang sering kita lihat, dengar dan rasakan yang kemudian

direkam berulang-ulang maka akan


*** tertanam di alam bawah sadar.

Dan apa-apa yang telah terekam di alam bawah sadar maka itu yang

akan menjadi kenyataan.

Tubuh akan menghantarkan kita untuk mendapatkan apa yang

telah kita tanamkan tersebut dan tanpa disadari kita akan diarahkan

pada peluang-peluang yang akan mendekatkan kita dengan impian.

Low of Projection, sebuah hukum kerja alam semesta. Dimana

apa yang dipikirkan dan dibumbui dengan keyakinan maka semuanya

akan terproyeksikan di kehidupan nyata.

Dengan do’a yang diulang terus menerus dan diimajinasikan

serta usaha untuk menyamakan frekuensi dengan sesuatu yang kita

harapkan. Maka Allah dengan sistem kerja alam semestanya akan

menembus batas-batas yang dirasa tidak mungkin oleh pikiran

manusia.

Karena Allah dalam hadist qudsinya sesuai dengan prasangka

hambanya.

41 | G h a l i y a S i r i d h a
₰- Pangeran Bertopeng

Cintailah orang yang kamu cintai dengan biasa saja, karena kelak orang yang

kamu cintai bisa jadi orang yang paling kamu benci. Dan bencilah orang yang kamu benci

dengan biasa saja. Karena kelak orang yang kamu benci bisa jadi orang yang paling kamu

cintai (H.R Muslim).

Perbanyaklah istighfar mulai saat ini jika hatimu masih bersikukuh untuk

disandingkan dengan seseorang yang kau anggap akan membuatmu bahagia, karena

42 | G h a l i y a S i r i d h a
kelak.. Jikapun Allah mengabulkan harapanmu bisa jadi itu merupakan sebuah bentuk

ujian bagi dirimu sendiri yang jika kau mampu melewatinya maka surga berada di

depan matamu. InsyaAllah..

Kisah yang akan aku ceritakan kali ini adalah sebuah kisah perjalanan seorang

wanita yang membuatnya sadar bahwa ternyata terlalu mencintai selain pada Allah itu

akan membawanya pada jurang penderitaan. Semoga kisah ini membawa hikmah yang

bisa kau petik.

***

Kata-kata manis itu seolah tak lagi mempan merampas iba dan menumbuhkan

rasa cinta. Hatinya seolah tersambar petir yang menghujam tajam. Wajahnya memerah

menahan amarah. Air matanya seolah sudah kering terkuras habis hingga kebagian

sumber mata air yang paling dalam. Ia sudah tak mau lagi mengeluarkan air matanya

yang berharga hanya untuk lelaki biadab itu. Puing-puing kekecewaan yang selama ini

tersusun sedikit demi sedikit, kini telah membentuk tumpukan amarah yang sudah

sampai pada puncaknya.

Kali ini, seorang pangeran tampan berhati malaikat yang dulu ia kagumi telah

berubah menjadi sosok keji berhati iblis. Selama ini ia baru menyadari bahwa lelaki itu

hanya memakai topeng yang menutupi kebusukan pribadinya.

Hari itu merupakan hari yang paling kelabu dalam kehidupan Naura, seorang

mahasiswi yang sedang mengambil jurusan kebidanan di salah satu kampus swasta di

Jakarta. Noa, begitulah orang-orang menyapanya. Seorang gadis lugu dari pedalaman

yang kini menjelma menjadi wanita cerdas berwawasan luas itu harus siap menelan pil

pahit untuk memutuskan menjadi seorang janda di usianya yang masih relatif sangat

muda diusianya yang beru menginjak 20 tahun.

43 | G h a l i y a S i r i d h a
Masih terdengar isak tangis perempuan itu di ruang tamu sembari bersimpuh

memohon ampun dan pertolongan kepada ibu mertuanya atas janin yang kini sedang

dikandung akibat perbuatan suaminya. Naura yang kala itu sedang berdandan rapih

dibalik dinding kamar langsung mematung mendengar penuturan perempuan yang

terisak-isak di ruang tamu. Alih-alih berniat untuk liburan melepas penat atas tugas

kuliahnya yang cukup menguras otak selama ini, ia malah disuguhkan dengan

perempuan yang bersaksi dan bersumpah dengan nama Tuhan atas apa yang dilakukan

oleh suaminya selama ini.

Jam dinding menunjukkan pukul 10.00 WIB. Naura keluar kamar dengan

memasang wajah seolah tak mendengar apa-apa. Ia keluar dengan menggunakan

kemeja panjang berwarna putih yang sedikit di gulung dibagian tangannya dengan

kerudung berwarna merah yang dililit ke belakang. Tas dengan warna senada tak lupa

menjadi barang wajib yang ditentengnya dengan jaket berwarna orange yang digantung

di tangan sebelahnya.

Tiba di ruang tamu, ia melirik sedikit ke arah perempuan asing yang telah

membuatnya seolah tersambar petir di siang bolong. Ia segera memalingkan wajah dan

memberikan senyuman semu kepada ibu mertuanya.

“Noa keluar dulu ya mah, kang Ari udah nunggu di toko furniture.

Assalamualaikum”.

Naura keluar rumah sambil menahan gejolak batin yang bergemuruh. Ibu

mertuanya hanya diam mematung, memandang kepergian Naura menantunya yang

bergegas pergi dengan motor matic berwarna merah hendak menemui suaminya, Ari.

Seorang ibu yang terlihat masih muda dengan rambut ikal yang diikatnya itu

merasa tak enak hati pada menantunya. Wajahnya cemas, hatinya bertanya-tanya, aneh.

Mengapa tak ada reaksi apa-apa dari menantunya. Seolah semuanya baik-baik saja. Tapi

44 | G h a l i y a S i r i d h a
mustahil jika tak mendengar. Menantunya itu pun masih memenuhi janjinya untuk

menemui suami yang merupakan anaknya yang sudah terlebih dahulu pergi ke toko

furnitur karena pagi-pagi harus mengantar adiknya sekolah.

Sang ibu mertua kembali memerhatikan perempuan asing yang mengaku

selingkuhan anaknya tersebut masih menangis seolah menahan luka. Ia menatap lekat-

lekat wajah perempuan itu dengan tangan yang gemetar menahan tangis dan amarah.

Dilihatnya kulit yang kehitaman dengan rambut tergerai panjang menutupi

sebagian wajahnya yang menunduk, mata sembab yang terlihat menyipit karena tak

henti-hentinya mengeluarkan air mata terus menerus diusapkannya pada sebuah sapu

tangan yang ia genggam. Ingin rasanya sang ibu memaki si perempuan jalang dan juga

anaknya karena merasa iba kepada hati menantunya yang tersakiti.

“Sekarang lebih baik kamu pulang!!! Saya nggak mau liat kamu!! Perempuan

murahan!! Kamu sekarang sujud-sujud minta tolong, apa kamu dulu nggak mikir

perasaan istrinya waktu kamu selingkuh itu!!!”.

Pernyataan tegas dari seorang ibu yang pernah merasakan hal yang sama pun

membuat tangisan perempuan asing itu makin menjadi.

“Maafin saya bu.. maaf”.

“Pulang!!! Sebelum saya makin maki-maki kamu lebih baik pulang!!”. Sang ibu

berdiri dan menuju pintu sambil menunjuk keluar dan mengelus dada.

Si perempuan asing pun akhirnya pamit pulang dengan tatapan penuh

penyesalan, ia terus bersumpah bahwa tak ada kebohongan dalam perkataan yang ia

sampaikan.

***

Naura memandang lekat-lekat cincin pernikahan yang mengitari jemari

45 | G h a l i y a S i r i d h a
manisnya. Sudah lebih dari 2 tahun mereka terikat dalam janji suci pernikahan. Namun

selama itu pula mereka berdua masih tinggal terpisah. Naura yang harus kuliah

kebidanan di Ibu Kota terpaksa harus rela berpisah sementara dengan suaminya yang

berada di Cianjur Selatan yang terikat pekerjaan. Hanya 1 atau 2 minggu sekali mereka

baru sempat bertemu, baru jika Naura sedang libur panjang mereka bisa menghabiskan

waktu bersama.

Semuanya terasa indah pada satu tahun pertama pernikahan. Naura merasa

masuk dalam sebuah negeri dongeng bersama pangerannya yang selama ini ia puja.

Meski pernikahannya tergolong unik.

Naura yang kala itu sebagai mempelai wanita, tak bisa hadir di acara

pernikahannya sendiri karena tugas praktik di luar pulau yang tak bisa ia tinggalkan.

Meskipun demikian, Naura bersedia untuk dinikahkan dengan Ari, pangeran yang

selama ini ia puja meski dengan tanpa kehadirannya.

Ayah Naura mengambil peran sebagai wali atas pernikahan yang digelar dengan

sangat sederhana yang hanya disaksikan oleh keluarga dan sanak saudara serta kerabat

dekat. Semua terasa seperti mimpi bagi Naura setelah ia dikabarkan bahwa Ari sudah

menjadi suaminya yang sah.

Dalam perjalan Naura teringat masa-masa SMA dulu, ketika ia begitu mengagumi

sosok Ari sebagai senior di SMA-nya. Ari merupakan salah satu aktifis sekolah yang

pandai berorganisasi. Kata-katanya selalu memberi semangat pada junior dan rekan-

rekan di organisasi yang dipimpinnya.

Naura diam-diam mengaggumi sosok Ari yang menurutnya sempurna. Badannya

yang tegap dengan rambut yang sedikit panjang namun tetap memberi kesan

berwibawa, halisnya hitam dan tebal, kulitnya yang kecoklatan menambah kesan maco

pada dirinya. Selain itu kata-katanya selalu tegas namun tetap santun dan lembut, ia

46 | G h a l i y a S i r i d h a
jarang tersenyum, namun sekali senyum mampu membuat Naura berkhayal untuk bisa

bersanding dengannya.

Siapa sangka, gayung bersambut. Ternyata Naura tak bertepuk sebelah tangan.

Entah bagaimana sinyal yang dipancarkan berhasil menembus hati si pria pujaan.

Dirinya sering mendapati salam manis yang akhirnya berujung pada jalinan asmara

yang diidamkan.

***

“Teteh yakin bade nikah?”. Tanya ibu Naura dengan bahasa sunda yang halus.

“Yakin mah”. Jawab Naura mantap.

“Tapi teteh kelas 3 SMA keneh. Teu acan lulus”. (Tapi teteh masih kelas 3 SMA.

Belum lulus).

Mata Naura bergulir ke kanan dan ke kiri, memutar otak agar direstui.

“Tapi kang Ari atos damel mah, tos siap nganafkahan”. (Tapi kang Ari udah kerja

mah, udah siap memberi nafkah).

“Nya tapi bari kuliah. Riweuh gera”. (Ya tapi sambil kuliah, repot nanti). Ibu Naura

tetap merasa belum yakin 100% terhadap keputusan putrinya tersebut.

“Kang Ari ge nyariosna bade nguliahkeun teteh”. (Kang Ari juga bilangnya mau

nguliahin teteh).

Satu alasan kuat yang membuat Naura ingin segera menikah dengan Ari

disamping rasa cintanya terhadap Ari. Ia sadar bahwa keluarganya bukan dari keluarga

berada yang akan mampu membiayainya kuliah. Sedangkan cita-citanya menggebu

untuk menjadi seorang bidan yang bayarannya tak murah, dan Ari hadir seolah menjadi

malaikat penolong yang berjanji akan membiayainya kuliah jika menikah dengannya

nanti.

47 | G h a l i y a S i r i d h a
Ari terlahir dari keluarga yang cukup berada. Sejak sekolah ia sudah difasilitasi

mobil oleh orangtuanya. Meskipun bisa dikatakan ia anak brokenhome. Ayahnya

seringkali didapati ibunya sedang jalan bersama wanita lain. Alhasil kedua orangtuanya

sering bersitegang. Namun ibunya tetap memilih untuk tetap mempertahankan rumah

tangga. Alasannya klise, karena anak.

“Teteh.. nikah teh teu gampang..kudu..”. Belum selesai ibunya melanjutkan kata-

katanya, sang ayah langsung menimpali.

“Nya atos atuh nikahkeun we kumaha kahoyongna”. (Yaudah nikahin aja gimana

maunya).

Ibu Naura menghela napas panjang. Ia tahu bahwa ayahnya akan selalu

mengiyakan kemauan putri semata wayangnya tersebut.

“Tunangan heula we atuh nya, mamah sareng bapak teu acan aya acisna. Pan

kedah persiapan”. (Tunangan dulu aja ya, mamah sama bapak belum punya uangnya. Kan

harus persiapan).

Naura pun mengerti dan setuju. Bagi Naura, Ari seperti seorang pangeran yang

selalu ada dalam cerita negeri-negeri dongeng, ia selalu berharap bahwa ia bisa menjadi

seorang putri bagi pangeran impiannya tersebut.

Pernikahan pun akhirnya digelar setelah Naura memasuki masa kuliah, dan Ari

sebagai calon suami saat itu mencoba menepati janjinya untuk membantu membiayai

kuliah Naura, hanya ketika Naura sudah menjadi istrinya yang sah ia yang mengambil

alih untuk membiayai kuliah Naura sepenuhnya.

Seiring dengan kesibukan Naura sebagai mahasiswa dan asisten bidan yang

semakin bertambah. Sikap Ari, suaminya mulai berubah. Ari mulai banyak mencurigai

Naura. Ari menjadi sosok pencemburu dan pemarah. Bentakan demi bentakan sering ia

alamatkan kepada Naura hanya jika istrinya tersebut telat memberi kabar.

48 | G h a l i y a S i r i d h a
Saat bertemu pun bukan belaian rindu yang menggebu dalam balutan kasih,

bukan lagi kata-kata romantis yang sering membuat dirinya seolah terbang ke nirwana.

Namun cacian dan makian yang kini sering ia terima dari mulut suaminya menambah

goresan luka dalam hatinya yang rapuh.

“Kamu istri nggak tau malu! Pasti tadi kamu jalan sama laki-laki lain ya? Pasti

kamu selama ini bohongin aku ya?!”.

Tuduhan-tuduhan tak beralasan yang dilontarkan suaminya sungguh membuat

Naura sering tak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya yang sudah tak waras dan

tak lagi berpikir jernih.

“Astaghfirullah kang, aku nggak pernah berbuat macem-macem diluar sana

apalagi jalan sama laki-laki lain. Waktu aku udah full buat kerja dan kuliah, nggak ada

hal lain”.

Namun sepanjang apapun penjelasan Naura, suaminya selalu membantah dan

tak percaya. Yang ada suaminya semakin emosi dan melontarkan cacian lainnya.

Seringkali Naura menangis dan merasa sudah tak sanggup lagi mempertahankan

pernikahannya. Pikirannya sering kalut jika ia sedang bersitegang dengan suaminya.

Namun ia mencoba terus bertahan, tak ingin semuanya kandas di tengah jalan.

***

Setibanya di toko furnitur Naura memarkirkan motornya dan melepaskan helm

pink bergambarkankan hello kitty yang merupakan kartun favoritnya. Sudah sejak

sebulan yang lalu mereka berdua merencanakan untuk membeli peralatan rumah

tangga yang akan mereka simpan di rumah baru yang baru saja selesai dibuat.

Naura terdiam sejenak dan berpikir. Memikirkan cara terbaik untuk bersikap

dalam kondisi seperti ini. Ia pejamkan matanya dan menarik napas panjang, terlihat

49 | G h a l i y a S i r i d h a
dahinya yang mengkerut dengan keringat yang sedikit mengucur serta tangan yang

mengepal menahan segala macam gejolak emosi jiwa. Ia pun membuka mata perlahan

dan beranjak dari motornya untuk memasuki toko.

Dari kejauhan, Ari suaminya sedang terlihat asik memilih kursi untuk menghiasi

ruang tamu di rumah baru. Ari belum menyadari bahwa istrinya telah sampai di depan

toko.

Mata Naura berkaca-kaca. Tak kuat menahan luka. Ia pun memilih untuk berbalik

arah dan kembali menuju parkiran. Dilepaskannya cincin pernikahan dan kemudian ia

titipkan kepada salah seorang penjaga toko yang dimintanya untuk memberikannya

kepada Ari.

Naura bergegas pergi dengan mengendarai motor dengan kecepatan tinggi,

memilih pulang ke rumah kedua orangtuanya yang berjarak sekitar 25 KM dari arah

kampung mertua. Ingin hati Naura mempertanyakan semuanya pada sang suami tapi

ternyata untuk sekedar menatap matanya pun Naura tak sanggup karena luka yang

telah ditorehkan Ari sudah terlalu dalam.

“Ceraikan Aku!!!” Sebuah pesan singkat permintaan perceraian Naura kirimkan

kepada suaminya di tengah perjalanan saat ia berhenti sejenak untuk beristirahat.

Hatinya sudah mantap untuk mengambil keputusan itu. Mungkin untuk menerima caci

maki serta bentakan demi bentakan Naura masih bisa bersabar. Namun jika sudah

menyangkut pengkhianatan atas kesetiaan, tak ada lagi kata maaf.

Terbersit perasaan malu pada Allah, karena dulu ia meminta seolah dengan

setengah memaksa untuk menjodohkannya dengan Ari, sang pangeran idaman. Namun

ternyata pangeran impiannya itu selama ini hanya memakai topeng dibalik pesonanya

yang terkesan sempurna.

Teleponnya berdering berkali-kali, Naura tak bergeming sedikitpun. Ia terus

50 | G h a l i y a S i r i d h a
melanjutkan perjalanan sambil melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan lenggang.

Sesampainya di rumah, orangtua Naura menghampirinya dengan perasaan

cemas. Ada sesuatu hal yang dirasa tak beres sedang terjadi menimpa anaknya tersebut.

“Naha tiba-tiba uih teh? Titadi si akang nelpon, aya naon?” (Kenapa tiba-tiba

pulang? Daritadi akang nelepn. Ada apa?). Tanya Ibu yang terlihat khawatir.

“Punten mah, teteh mah tos teu kiat ku sikapna kang Ari!” (Maaf mah, teteh udah

nggak kuat sama sikap kang Ari).

Naura menangis sejadi-jadinya di pelukan ibunya sambil terus mengucapkan

maaf.

“Eh kunaon? Sok atuh nyarios aya naon?”. (Eh kenapa? Ayo cerita ada apa?).

Naura hanya terisak, tak sanggup mengeluarkan kata-kata bahwa Ari telah

berselingkuh dan menghamili perempuan lain. Ia tahu orangtuanya pasti terluka. Ia

malu.

Tak lama seseorang terdengar mengetuk pintu. Ayah Noa pergi ke ruang tamu

untuk membukakannya. Dan seketika terdengar bunyi.. Plakkk!!!

“Kunaon maneh nyieun budak aing ceurik???” (Kenapa kamu bikin anak saya

nangis?).

Tanpa tahu alasan yang jelas, bapak tiba-tiba menampar keras wajah Ari dengan

bentakan bahasa sunda yang kasar. Bapak selalu begitu. Tak bisa melihat putri semata

wayangnya menangis. Beliau tak pernah peduli dan berpikir dua kali untuk memarahi

orang yang telah menyakiti putrinya. Saking sayang.

“Punten pak, Ari salah.. punten..”. Ari saat itu langsung tersungkur di kaki

ayahnya, berharap mendapat ampunan atas kesalahannya.

Naura dan ibunya keluar. Mata Naura mendelik, sedangkan ibunya langsung

membantu Ari untuk berdiri.

51 | G h a l i y a S i r i d h a
“Akang sareng teteh teh aya naon?” Tanya ibu Naura masih bersikap lembut.

Tiba-tiba Naura berbicara dengan suaranya yang parau sambil menatap Ari.

“Kang Ari kudu tanggung jawab, itu salah akang. Kasian anak yang lagi

dikandungan perempuan itu”.

“Perempuan saha ieu teh teteh?? Astaghfirullah..”. Kini ibu Naura yang tersungkur

menangis mendengar ucapan putrinya tersebut. Dadanya ikut sesak.

Sedangkan bapak wajahnya memerah, giginya saling beradu. Suaranya

menggelegar menyebut laki-laki biadab berulang kali. Ia kepalkan tangannya kuat-kuat

hendak memukul Ari berulang kali. Namun ibu Naura menahannya.

Ari berulangkali meminta maaf atas segala khilaf yang telah dilakukannya, ia

mengakui segala dosa yang telah diperbuat. Namun nasi sudah terlanjur menjadi bubur.

Ari harus menelan semua konsekuensi yang harus ia hadapi atas segala kesalahannya

selama ini. Kata talak pun terucap dengan berat hati.

Satu hal yang Naura pelajari dari kisah hidupnya, bahwa tak ada cinta yang

hakiki selain kecintaan Tuhan kepada para hambaNya, dan ia pun banyak belajar bahwa

setiap manusia akan diuji dengan sesuatu yang dicintai.

52 | G h a l i y a S i r i d h a
Seringkali kita tidak sadar terhadap sinyal-sinyal yang telah Allah

berikan untuk kita. Bisa jadi kita telah diperingati melalui orang-orang
***
disekitar kita. Tapi kita memilih untuk menjadi tuli dan buta terhadap

kebenaran.

Memilih pasangan itu salah satunya harus melihat darimana ia berasal.

Bukan berarti seberapa banyak harta yang ia miliki, tapi seberapa baik didikan
₰- Terjebak
yang ia dapat dari kedua orangtuanya.
Dan sungguh
Seorang anakakan
itu Kami berikan
adalah cobaan
peniru yangkepadamu
handal. dengan sedikitdan
Sikap baik ketakutan….”
buruk

seorang anak itu bukan karena (Q.S Al-Baqarah


diwariskan, : 155)
bukan karena turunan. Tapi karena

ia pandai mencopy paste semua tindakan dan perbuatan orangtuanya sejak ia


Menurutmu
masih kecil bahkan lebih menyakitkan
sejak dalam janin. Iamana antara
mampu mencintai
merekam seseorang
semuanya di alamyang
seharusnya
bawah tidak kamu cintai atau mencintai seseorang yang tak bisa kamu miliki?
sadarnya.
Semoga kamuketika
Maka tak pernah mengalami.
hendak memilih pasangan, sejatinya kita tak boleh buta dan

tuli untuk menilai secara objektif, menelusuri asal-usulnya dari orang-orang


***
yang mengenalnya. Jikapun didapati terdapat kekurangan dalam pola asuh

yang ia“Dasar
dapat,Pelacur!!!”
maka komunikasikan dan berkomitmenlah untuk saling belajar
Haliskudiri
memperbaiki tersentak bersamaan
dan mau saatmenyembuhkan
untuk diajak sebuah pesan masuk dari seseorang
luka masa lalu. tak di

kenal. Karena mendidik anak bukan dari sejak kecil, tapi dari awal memilih

Pelacur? Apa maksudnya? Apa yang salah denganku? Apa yang telah aku
pasangan.
perbuat?

Dadaku bergemuruh, ingin marah. Aku memilih untuk sekedar membacanya lalu

ku tutup kembali. Tak penting. Aku tak mau terbawa emosi.

Beberapa menit kemudian sebuah pesan baru masuk lagi untuk yang kedua

kalinya. Masih dari pengirim yang sama.

“Kamu jangan sok cantik! Gak usah maen ngerebut pacar orang deh! Dasar

pelacur!”.

53 | G h a l i y a S i r i d h a
Entah pacar mana yang ia maksud. Aku tak merasa merebut siapapun. Ku yakin

yang mengirim pesan ini pasti seorang wanita. Ada yang tak beres pikirku.

Aku mencoba mengingat-ingat. Takut ada salah yang pernah ku buat. Namun..

sekuat tenaga aku mencoba berpikir, ingatan tentang merebut pacar orang tak pernah

tersimpan dalam memori otakku.

“Emang pacar kamu siapa?”. Akhirnya ku balas pesannya, penasaran. Sekaligus

mencoba meluruskan sesuatu jika memang hal itu terjadi karena salah faham.

“Jangan pura-pura bego deh! Tiga hari yang lalu aku liat kalian kencan”.

Otot di kepalaku mengencang. Memikirkan kegiatanku tiga hari yang lalu.

Seingatku saat itu rutinitasku seperti biasa. Pergi pagi untuk bekerja, lalu pulang di sore

hari. Tak ada janji dengan siapa-siapa apalagi menyempatkan diri untuk berkencan.

Aaah.. jangan-jangan..

Tiba-tiba nama itu muncul dalam ingatan. Saat jam istirahat aku bertemu

seorang kawan lama. Tak sengaja kami bertemu di rumah makan. Kami ngobrol

sebentar dan saling bertukar nomor handphone. Tapiii..

“Dian maksudmu?”. Ku balas pesannya untuk mengkonfirmasi. Dalam hati aku

tak yakin dengan dugaanku. Namun hanya dia satu-satunya orang yang kutemui diluar

saat itu.

“IYA!!!”. Jawabnya tegas.

Alamaaaak.. Aku tak percaya saat membacanya. Dian itu adalah kawan lamaku

sejak SMP. Lagipula… Dia adalah seorang WANITA!!! Sungguh gila!! Ternyata aku

terjebak dalam kisah cinta yang rumit.

Dian adalah seorang sahabat yang cukup perhatian kepadaku sejak dulu. Ia tahu

aku penggemar cokelat. Saat sekolah ia selalu memberiku sebungkus cokelat beng-beng.

Hal itu ia lakukan hampir setiap hari.

54 | G h a l i y a S i r i d h a
Aku tak pernah berpikir hal aneh tentangnya. Apalagi memikirkan bahwa ia

tertarik dengan sesama jenis. Aku pun tak pernah dengar cerita-cerita aneh darinya,

kecuali saat ia bercerita bahwa ia berpacaran dengan seorang guru yang sudah memiliki

istri.

Orangnya memang cenderung nekad dan mungkin sedikit nakal. Ia bahkan

pernah membawa rokok ke sekolah yang jelas-jelas saat itu dilarang. Apalagi untuk

seorang wanita. Bisa-bisa hukuman skorsing ia dapatkan jika ketahuan. Tapi dia

melakukannya hanya untuk dirinya. Tak pernah mengajakku untuk mengikuti masa-

masa kenakalan remajanya. Ia menghargaiku dengan semua prinsipku.

“Dian cuma temen yang udah lama nggak ketemu”. Jawabku membalas pesannya.

Terasa aneh saat ku coba menjelaskan sesuatu yang seharusnya tidak usah ku jelaskan.

Tapi mungkin penjelasanku sangat berarti untuk si pengirim pesan.

“Alaah bulshit kau pelacur!”. Kali ini kata-katanya lebih ngotot. Kata-kata pelacur

terus ia ucapkan. Dadaku sesak menahan kesal.

Perempuan ini sungguh gila!

Batinku memaki. Ku tarik napas panjang sambil mengelus dada. Akhirnya aku

memilih menutup layar handphone. Tak mau membalas lagi pesannya. Percuma.

Kipas angin terus berputar-putar mendinginkan tubuhku yang sedaritadi

menguap mengeluarkan keringat. Padahal hari itu langit malam sedang menyirami

bumi yang sudah lama kering. Ku buka jendela kamar yang menghadap langsung ke

taman rumah. Bau tanah yang tersiram guyuran hujan langsung tercium memberi

kedamaian atas hati yang bergejolak menahan emosi. Rerumputan terlihat bercahaya

disoroti lampu kekuningan. Percikan air hujan pun terdengar begitu syahdu.

Sejak lulus SMP aku tak pernah bertemu lagi dengan Dian. Kami sibuk dengan

kegiatan masing-masing. Melanjutkan sekolah ditempat yang berbeda dengan

55 | G h a l i y a S i r i d h a
lingkungan baru serta teman-teman baru. Semenjak lulus SMA pun kami tak pernah

bertemu. Aku meneruskan kuliah dikotaku Sukabumi, sedangkan ku dengar dia memilih

kuliah di Ibukota.

Hampir 8 tahun kami tak pernah bertemu. Sampai akhirnya kami bertemu

kembali saat itu. Kulihat kini gayanya berbeda. Rambutnya yang pendek semakin

menambah kesan bahwa ia ingin dikenal sebagai “cewek tomboy”. Dari dulu dia

memang terlihat cuek, tak pernah memakai bedak atau semacamnya. Tasnya pun selalu

tas selempang layaknya anak laki-laki. Biar simple katanya. Dulu yang ku tahu dia sering

bergonta-ganti pacar. Seorang pria tentunya. Jadi masih tak masuk akal bagiku jika dia

kini menyukai sesama jenis. Meski tak menutup kemungkinan. Aku hanya tak tahu apa

yang melatarbelakangi semua itu.

Aku membuka layar handphone, melakukan pencarian di google terkait

penyebab seseorang menyukai sesama jenis. Ratusan artikel langsung bermunculan di

hasil pencarian. Ku baca satu per satu, hingga tak terasa puluhan artikel sudah terbaca.

Dering telepon berbunyi, menghentikan jemariku yang sedang asik mencari

artikel terkait tentang tema yang sedang ku cari. Tertulis nama Dian di panggilan masuk.

Panggilan teleponnya tak ku hiraukan meski berjuta pertanyaan bergejolak

dalam jiwa. Kesal, perasaan itu kini muncul untuknya yang dengan sembarangan

memberikan nomor handphone ku pada orang tak dikenal.

Kali ini kurebahkan tubuhku di atas kasur. Meresapi gemericik air hujan yang

turun. Tak terasa mataku ikut hanyut dalam kedamaian dari rintikannya yang jatuh ke

bumi silih berganti. Menciptakan sebuah melodi indah menenangkan hati.

***

Malam kian larut. Udara terasa semakin dingin. Dari luar jendela, hujan

56 | G h a l i y a S i r i d h a
terdengar semakin deras, disertai tiupan angin yang menyerbu. Membuat rumah-rumah

yang beratapkan seng bersuarakan ricuh. Aku menarik selimut dengan mata yang masih

tertutup malas.

Suara petir ikut menyambar. Langit tak henti-hentinya menyuarakan halilintar

yang menggelegar. Kali ini hujan terdengar tak bersahabat, seolah mengisyaratkan

bahwa langit sedang geram. Aku menutup wajahku dengan bantal.

Dug dug dug dug dug…

Jendela kamar terdengar diketuk keras. Aku terperanjat. Tubuhku bergidik. Bulu

kudukku tiba-tiba berdiri. Mataku membulat dan rasa kantukku hilang dalam sekejap.

Aku melirik ke arah jendela dengan perlahan. Kupastikan telingaku tak salah dengar.

Dug dug dug dug dug…

Kali ini suara ketukan itu terdengar semakin memaksa. Ku tarik selimut hingga

menutupi kepala. Siku dan lututku saling beradu. Aku memaksa memejamkan mata.

Jantungku berdetak kencang. Keringat terus mengucur dari dahi.

Tiba-tiba suara dering handphone terdengar mengagetkan, membuatku sedikit

berteriak. Astaghfirullah..

Tanganku merayap di atas kasur, mencari handphone yang tak berhenti berbunyi.

Dian?

Kali ini ku angkat teleponnya, menyapanya dengan suara setengah berbisik.

“Ada apa malem-malem nelepon?”

“Ini aku depan kamar kamu bie. Tolong aku..”. Suaranya terisak dibalik guyuran

hujan deras. Aku bisa menebaknya dari tarikan napasnya di hidung yang berair.

Ternyata panggilannya kepadaku tak berubah. Ia masih memanggilku barbie,

sebutannya untukku sejak dulu. Kini anehnya panggilan itu terdengar geli ditelingaku,

sejak tahu bahwa ia penyuka sesama jenis. Ingin aku berkata “Stop manggil aku dengan

57 | G h a l i y a S i r i d h a
panggilan itu lagi!”. Tapi aku tak bisa jika situasinya seperti ini. Akhirnya aku hanya bisa

mengomel karena ulahnya.

“Ya ampun Dian ternyata kamu. Daritadi aku setengah mati ketakutan tau!”.

Nadaku sedikit tinggi. Aku mengelus dada. Darah mulai mengalir normal, detak jantung

kembali teratur.

“Tunggu sebentar!”. Aku mematikan telepon dan membuka selimut. Kulirik jam

di layar handphone, waktu menunjukkan pukul 01.20 WIB. Ya Allah malem-malem gini

mau apa?

Ku langkahkan kaki menuju pintu keluar. Hujan terus menerus mengguyur bumi.

Menciptakan genangan-genangan di jalan cekung.

Kali ini aku terkejutkan lagi dengan tubuhnya yang basah kuyup. Kulangkahkan

kaki dengan cepat menghampirinya yang sedang jongkok di depan jendela kamar sambil

menangis. Kedua tangannya dilipat dan disembunyikannya diantara paha dan perut.

“Loh Dian, ada apa?”. Aku tahu dia pasti kedinginan. Ku angkat kedua bahunya

hendak mengajaknya masuk, namun tangannya menahan langkahku.

“Tolong aku bie. Ku mohon tolong aku..”. Tubuhnya menggigil. Tatapannya penuh

harap, bercampur aduk dengan ketakutan.

Aku melirik ke arah tangannya yang menggenggam tangan kiriku. Seketika

tangan kananku refleks menutup mulutku, kaget. Ku ucapkan istighfar berkali-kali.

“Ini apa Dian?”. Kini giliran kedua tanganku yang mengangkat kedua tangannya

ke depan wajah. Tanganku gemetar. Kedua tangannya penuh dengan darah yang

memudar terbasuh air hujan. Banyak juga yang tersebar di bajunya.

Tangisannya semakin menjadi-jadi. “Aku udah bunuh dia bie..”.

“Bunuh?”. Ku lepaskan kedua tangannya. Melangkah mundur perlahan.

Dian yang saat ini, begitu penuh kejutan. Dan aku tak mengerti mengapa harus

58 | G h a l i y a S i r i d h a
aku yang selalu terjebak dalam kisahnya. Dia terus mengiba memohon pertolongan.

Pikiranku keruh, tak mengerti dengan apa yang sedang terjadi.

Akhirnya dia mencoba menjelaskan meski dengan suara yang terbata-bata.

“Tadi sore aku berantem sama pacarku gara-gara ngebahas pertemuan kita tiga

hari yang lalu. Aku mati-matian jelasin tapi dia tetep nggak percaya. Dia terlalu over

protektif, aku gak tahan. Akhirnya aku putusin dia. Dia nggak terima dan malah

ngancam mau bunuh diri. Aku nggak peduli terus aku pergi”.

Kerongkongannya tersendat oleh tangisan yang tak berhenti, seperti hujan

malam itu yang terus menerus mengguyur seolah mewakili hati yang sedang sakit.

Ku yakin pasti si pengirim pesan itu, seorang pacar yang ia maksud. Aku ingin

bertanya tentang banyak hal, tapi mulutku tak bisa berucap apa-apa.

Dia menyandarkan diri ke tembok, meneruskan kembali ceritanya dengan suara

yang masih terisak. Ia menatapku sekilas lalu menundukkan pandangannya.

“Aku nenangin diri, tadinya nelepon kamu karena pengen lupain sejenak

masalahku itu. Tapi mungkin kamu lagi sibuk. Akhirnya aku matiin handphone karena

pacarku terus-terusan nelepon. Tiga jam kemudian pas aku nyalain handphone, pacarku

ngirim foto dengan perutnya yang penuh darah. Aku bener-bener takut bie.. tolong aku”.

Kini dia bersimpuh dihadapanku dengan kedua tangan yang menggenggam tanganku.

“Oke oke ceritanya nanti lagi diterusinnya, sekarang apa yang bisa aku bantu?”.

Sedikit demi sedikit hujan terlihat mereda, hanya tersisa butiran-butiran halus

yang turun dengan suaranya yang kian meredup.

“Bantu aku bawa dia ke rumah sakit bie, tadi aku cek dia masih napas”. Pintanya

memelas.

“Gila! Jadi kamu belum bawa ke rumah sakit?! Kalau dia keburu meninggal

karena kehabisan darah gimana?”. Kini aku ikut panik.

59 | G h a l i y a S i r i d h a
“Tadi aku ke kosannya naek motor, aku nggak bisa bawa dia sendiri ke rumah

sakit di motor. Nggak ada juga angkot yang lewat atau mobil yang bisa ku pinjem. Ini

udah terlalu malem. Aku nggak bisa mikir lagi selain kesini minta bantuan kamu, karena

dari dulu kamu temen yang paling bisa dipercaya”.

Aku mendengus. Memijit kepala yang terasa mencekit.

“Yaudah tunggu sebentar”. Aku masuk ke dalam kamar. Bergegas memasukkan

handphone dan dompet ke dalam tas. Tak lupa ku ambil dua buah jaket yang

menggantung di balik pintu.

Ku perhatikan seisi rumah, semuanya tampak sepi. Orangtua serta adikku masih

terlelap di kamarnya masing-masing. Ada rasa tak enak saat pergi tak berpamitan. Ku

ambil kertas kosong beserta pulpen di atas meja kerja, menuliskan surat izin untuk

pergi sebentar lalu kutempelkan kertas itu di pintu kamar. Ku tahu orangtuaku pasti

akan khawatir. Dalam hati aku berkali-kali meminta maaf.

***

Meski hujan kini hanya menyisakan rintikannya yang kecil, namun angin malam

tak melewatkan sifat khasnya yang dingin menusuk hingga ke tulang. Tubuhku bergidik

kedinginan. Jaket seolah tak mempan untuk menghangatkan tubuhku.

Motor dipacu dengan kecepatan 60 km/jam, tak kuat menahan dingin. Kulihat

Dian merasakan hal yang sama. Apalagi posisinya yang berada di depan. Tubuhnya

terlihat terus menggigil sambil mengendarai motor. Aku menjaga jarak kira-kira sekitar

satu jengkal darinya. Tanganku berpegangan ke besi jok belakang motor. Masih was was

dengan sebuah fakta bahwa ia menyukai sesama jenis.

“Apa yang terjadi dengan kehidupan kamu selama ini?”. Tanyaku membuka

percakapan agar tak terlalu fokus pada dinginnya malam. Ku tahu dia faham maksudku.

60 | G h a l i y a S i r i d h a
“Kehidupanku udah hancur bie. Sebenernya aku malu sama kamu”. Suaranya

samar tersapu angin.

“Apa? Suara kamu nggak jelas”. Teriakku membelah deru angin.

“Aku udah hancur bie. Aku sekarang jadi mucikari buat bertahan hidup”. Dia pun

ikut berteriak.

Tak ku sangka begitu banyak bumbu-bumbu kisah yang terjadi dalam

kehidupannya. Aku pura-pura bersikap biasa saja, seolah itu bukan berita yang

mengejutkan. “Sejak kapan?”. Tanyaku kemudian.

“Sejak SMA. Nyari uang tambahan karena ibuku di PHK dari pabrik”.

“Bapakmu?”

“Udah ke laut. Dia ninggalin keluargaku sama pelakor sejak lama”.

“Kamu marah dengan semua itu?”. Aku menelisik jauh ke dasar hatinya.

“Aku lebih marah pada saat bapakku terus-terusan nyiksa ibuku”.

Tak terbayang betapa pahit kisah hidup yang ia alami. Tak heran jika ia tumbuh

menjadi pribadi seperti sekarang ini. Air mataku menetes, iba. Aku tak mau menggalinya

lebih jauh, takut menambah luka dihatinya yang sedang rapuh.

***

Mata kami tertuju ke kerumunan orang-orang pada jarak kurang lebih 10 meter.

Waktu menunjukkan pukul 02.30 dini hari. Malam yang biasanya sepi kini bagai pasar

diskon yang baru dibuka. Orang-orang berlarian menuju satu tempat. Terdengar

beberapa orang di pinggir jalan saling berbisik “Ada mayat, ada mayat”.

Mobil polisi dan juga ambulance terparkir kira-kira 3 meter dari TKP. Garis

kuning polisi melingkar diseputaran lokasi.

Dian memarkirkan motornya di kejauhan, terlihat tangannya gemetar memegang

stang motor. Kali ini ku yakin bukan karena kedinginan. Matanya terus menatap kosong

61 | G h a l i y a S i r i d h a
ke arah kerumunan orang-orang di depannya. Wajahnya pucat.

“Dian?”. Aku menepuk-nepuk pundaknya. Dia tak bergeming. Butiran air mata

menetes dari kedua matanya.

Aku turun mendekati TKP, meninggalkan Dian yang masih mematung di atas

motor. Ku tepuk pundak salah seorang warga. “Ada apa pak?”.

“Ada mayat neng”.

Tak lama dua orang polisi membawa jenazah yang sudah dimasukkan ke dalam

kantung berwarna orange. Dua orang petugas ambulance bergegas membuka pintu

belakang mobil untuk dimasuki jenazah. Beberapa menit kemudian mobil ambulance itu

melaju disertai bunyi sirine.

Aku berlari ke arah Dian, menggoyang-goyangkan tubuhnya agar segera

mengikuti mobil ambulance. Namun Dian tetap tak bergeming.

“Ah yaudah sini aku yang bonceng”.

Aku menggeser tubuhnya ke belakang. Ku ambil alih kemudi motor,

menstarternya. Motor tak mau menyala. Ku coba berkali-kali namun tetap tak mau

menyala. Ah shiitt!!!

Kali ini aku mencobanya dengan menyelah. Tiga empat kali percobaan barulah

motor itu menyala. Ku pacu motor dengan kecepatan 60 km/jam. Menyusul laju

ambulance yang sudah jauh meninggalkan.

Jalanan penuh kabut, jarak pandang hanya bisa ditembus dalam radius 5 meter.

Aku hanya bisa mengikuti mobil melalui bunyi sirine. Selang beberapa menit bunyi itu

menghilang. Ku tambah laju kecepatan motor hingga 80 km/jam. Tiba-tiba dari arah

depan terlihat lampu sorot berwarna kuning mengaburkan pandangan. Kubanting stang

ke kanan. Menekan kedua rem tangan sekuat tenaga. Dengkingan besi beradu

memekakkan telinga. Segalanya lantas gelap.

62 | G h a l i y a S i r i d h a
“Dee banguun shalat subuh!!! Itu alarm matiin berisik!!!”. Suara ibuku

menyadarkan.

Ku buka mata perlahan. Bola mataku berputar sejauh mata memandang. Kipas

angin masih berputar-putar. Lampu kamar masih menyala. Tangan meraba ke seluruh

tubuh, dari mulai ujung rambut hingga ujung kaki. Masih utuh. Ku raih handphone,

mematikan alarm. 3 panggilan tak terjawab dari Dian pada pukul 22.00 WIB. Aku

mengelus dada, lega.

Alhamdulillah.. ternyata hanya terjebak mimpi..

***

63 | G h a l i y a S i r i d h a
Kamu tahu? Kenapa ada penyuka sesama jenis di dunia ini? Dalam

ilmu psikologi ada beberapa hal penyebab yang tidak mutlak

penyebabnya, namun sebagian besar karena hal-hal berikut. Diantaranya

karena ia kehilangan identitas sejak dalam kandungan.

Biasanya saat hamil, orangtuanya mengharapkan jenis kelamin

tertentu pada bayi dalam kandungannya secara berlebihan, tapi faktanya

bayi tersebut lahir dengan jenis kelamin yang tidak sesuai dengan

harapan, sehingga ia merasa tertolak.

Kedua karena ada luka batin masa janin, masa balita atau masa

kanak-kanak terhadap perilaku orangtuanya. Sehingga tertanam

kebencian yang berlebihan terhadap sosok tersebut yang mengakibatkan

benci terhadap gender tertentu.

Manusia itu Allah ciptakan sangat sempurna bahkan sejak masih

menjadi janin. Bahkan janin yang masih dalam usia 3 bulan sudah mampu

merekam dan menyimpan memori dalam alam bawah sadarnya melalui

apa yang dilihat, didengar dan dirasakan oleh ibunya.

Maka latihlah dari mulai saat ini untuk selalu berkata-kata baik,

berprasangka baik, dan berperilaku baik, agar anakmu kelak terlahir dari

keluarga baik-baik dan memiliki jiwa yang baik.

₰- Teriakkan yang Mengguncang Arsy

"Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),

bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa

64 | G h a l i y a S i r i d h a
apabila ia memohon kepadaKu, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala

perintahKu) dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam

kebenaran." (Q.S Al-Baqarah: 186).

Pernahkah kamu mendengar bahwa Allah senang mendengar tangisan seorang

hamba yang meminta kepadaNya? Bahkan Allah sangat senang jika seorang hamba

memasrahkan dan menyerahkan semua urusan hanya padaNya.

Jika demikian, mungkinkah Allah tega membiarkan hambanya yang datang

dengan mengiba untuk memohon pertolonganNya? Tidak!!! sekali lagi jawabannya

Tidak!!!

Lalu masihkah kau ragu bahwa kau memiliki Tuhan yang selalu mengabulkan

do’amu? Sedangkan Ia berada lebih dekat dari urat nadimu, yang pasti akan mendengar

setiap do’a bahkan jika itu berada disudut ruang hatimu yang paling dalam.

***

“Ya Allah.. Hamba minta jodoh ya Allah.. Pleaseeee.. Taun ini kasih hambamu ini

jodoh ya. Hamba ingin nikah ya Allah. Tolong ya Allah.. Gimanapun caranya berikan

hamba jodoh taun ini. Pokoknya taun ini!”

Suara riuh tangis yang menggema di Masjid Istiqlal itu membawa Ama

tenggelam dalam Do’a yang merajuk kepada Rabbnya. Ia menangis terisak-isak layaknya

anak kecil yang memaksa dibelikan mainan kepada orangtuanya. Do’a yang dipimpin

oleh ust. Yusuf Mansyur dalam kajian rutinnya itu tak pernah kurang dihadiri oleh 2.000

jama’ah setiap bulannya. Menggiring Ama larut dalam atmosfir yang tercipta dari gema

tangis ribuan jama’ah di dalam masjid. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang

yang mencari jalan atas permasalahan hidup masing-masing, disamping sebagai sarana

65 | G h a l i y a S i r i d h a
menge-charge iman.

Wanita bernama lengkap Ai Nurhikmah yang sering disapa Ama itu sudah

hampir putus asa dengan penantian jodohnya. Sudah seringkali ia mendapat rayuan dan

gombalan yang juga tak pernah berujung pada pernikahan.

“PHP! semua laki-laki itu suka bikin PHP. Capek gue!”. Keluh Ama pada Adita,

seorang sahabat yang saat itu keduanya berjalan keluar masjid usai mengikuti kajian.

“Lagian lu kok ngedo’anya nyampe gitu banget deh, gue yang disamping lu jadi

nggak khusuk nih karena ngeliat lu ngedo’anya nyampe ngerengek-rengek kayak anak

TK gitu”. Sahut Adita.

“Iya habis gue nggak tau harus gimana lagi cara minta ke Allah, hati gue udah

lelah bangeet”. Ungkap Ama sambil mengeluarkan sandal dari dalam kantong keresek

yang ia bawa-bawa saat mengikuti pengajian.

“Tarik napas dulu pelan-pelan sambil kita duduk dulu disini yuk”. Adita menarik

tangan Ama untuk duduk santai di teras Mesjid yang terlihat masih lenggang. Menunggu

ribuan jama’ah yang berbondong-bondong keluar usai pengajian.

Sinar matahari siang itu begitu menyengat, menjadikan udara yang berhembus

akhirnya tak terasa sejuk. Banyak orang yang mengipas-ngipaskan tubuhnya hingga

aroma mereka bercampur menjadi satu kesatuan yang tak bisa diungkapkan oleh kata-

kata. Untungnya hidung sudah otomatis menyesuaikan diri.

Adita mengeluarkan sebotol air yang ia bawa dari rumah. Meneguknya hingga

mengahabiskan setengah botol.

“Mau?”. Tawar Adita kepada Ama, sambil menyodorkan botol air minumnya.

“Nggak usah gue juga bawa kok”. Tegas Ama yang juga sambil mengeluarkan

botol air minumnya. Setidaknya air dapat membuat tubuh mereka sedikit lebih segar,

menggantikan cairan yang keluar karena menguap terserap matahari.

66 | G h a l i y a S i r i d h a
Adita pun membuka kembali percakapan dari obrolan yang sempat terpotong.

“Bukannya lu kemaren udah dilamar sama cowok lulusan Cairo Mesir itu?” Tanya

Adita penasaran. Mengingat sahabatnya itu pernah bercerita tentang lelaki shalih

lulusan Cairo yang berniat menikahinya sebentar lagi.

“Nah justru itu dit, dia udah PHP bangeet.. Tiba-tiba ngejauh dengan alasan udah

nggak cocok, sakit hati gue!”. Ama pun menarik napas panjang. Kerongkongannya

tercekat, dadanya menyempit, seperti ada yang terenggutkan.

Sekitar 8 bulan lalu ia dikenalkan seseorang kepada Reza, seorang laki-laki

berusia 27 tahun lulusan S2 Al-Azhar Mesir Cairo yang katanya sedang mencari istri.

Ama yang pada saat itu sudah siap untuk menikah pun menyambut baik niat lelaki itu.

Selama 6 bulan mereka dekat, semua berjalan dengan lancar pada awalnya.

Lelaki itu terlihat menggebu-gebu untuk segera menikahinya. Ama yang begitu

bahagia menyimpan harapan begitu besar kepada lelaki yang sudah membawanya

terbang dengan sejuta angan. Namun tiba-tiba laki-laki itu menghilang tak ada kabar,

seperti debu yang tertiup angin. Semua pesan yang terkirim hanya dibacanya semata,

tak ada balasan.

“Kalau diibaratin gue lagi naek pohon, kenapa dia nggak jatuhin gue pas gue baru

mulai manjat? Bukan pas ada di atas udah mau nyampe puncak dia baru nendang gue

sampe jatoh!”. Entah mengapa sekelebat ia tidak bisa melupakan momen menyakitkan

yang ia rasakan pada saat ia terus menunggu kekasih hati yang tak pernah memberi

kabar walaupun hanya melalui sebuah pesan. Ia mengepalkan tangannya, geram.

Hingga suatu hari mas Reza, panggilannya kepada laki-laki itu tiba-tiba

menghubungi via pesan whatsapp.

Assalamualaikum.. Afwan.. sepertinya saya sudah tidak cocok dengan dek

Ama, silahkan lebih baik cari laki-laki yang lebih baik dari saya .

67 | G h a l i y a S i r i d h a
Ama memperlihatkan pesan whatsapp dari mas Reza itu kepada Adita. “Nusuk

banget nggak sih dit? Gue udah berharap banget sama dia, tapi tiba-tiba begini”. Tangis

Ama pun pecah. “Makanya gue capek dit, hati gue lelah banget rasanya. Bener-bener

kecewa kalau kita berharap sama manusia mah”. Suaranya sedikit sengau akibat cairan

hidungnya meler.

Adita yang mendengarkan dengan penuh perhatian itu mengusap-usap lembut

punggung sahabatnya. Ama mendongakkan wajahnya ke langit, menahan air matanya

yang hendak menetes. Kemudian ia melanjutkan lagi ceritanya.

“Setelah si cowok Cairo itu, ada beberapa lagi yang deketin gue. Salah satunya

duda muda yang belum punya anak. Awalnya gue cukup respect sama dia, sampe pas gue

tau dulu dia nikah cuma 8 bulan dan cerai karena katanya istrinya itu gak melayaninya

dengan baik, akhirnya gue ragu sama dia”.

“Kenapa ragu?”

“Ya.. gue mikirnya kok secepat itu dia ngambil keputusan buat bercerai? Padahal

kalau dia bener-bener niat nikah itu karena ibadah dan tau kalau Allah benci dengan

perceraian harusnya dia lebih berupaya lagi buat nuntun istrinya ke arah yang lebih

baik, bukan malah di ceraikan gitu aja. Apalagi pas dia bilang mau nikahin gue tapi nanti

1 tahun lagi katanya, ya makinlah gue nggak mau”.

Ama yang saat itu akan menginjak usia yang ke 25 tahun merasa khawatir

dengan jodoh impian yang belum juga terlihat batang hidungnya. Banyak yang datang

hanya menjadi cameo, tidak berani mengacungkan diri untuk menjadi pemeran utama

dalam kisah percintaannya.

Bagi Ama usia tersebut sudah mulai memasuki masa rawan bagi seorang wanita.

Terlebih ia menargetkan maksimal usia menikahnya pada usia 25 tahun. Ia malu kepada

keluarganya yang kerap kali bertanya tentang siapa pendampingnya, kapan nikah, dan

68 | G h a l i y a S i r i d h a
sebagainya. Pertanyaan horror bagi seorang wanita disetiap lembaran usia dewasanya.

“Iya sih gue ngerti, udah nggak usah dipikirin lagi. Yakin aja bakal ada waktu

yang tepat untuk dipertemukan dengan orang yang tepat pula”. Ucap Adita menguatkan.

***

“Kalau mau mancing ikan yang besar harus juga nyiapin umpan yang besar. Mana

mungkin dapet ikan paus kalau mancingnya cuma pake cacing?”.

Ceramah ust. Yusuf Mansyur yang ia dengarkan minggu lalu itu masih membekas

dalam hatinya. Ama merasa malu akan do’a yang berharap segera dikabulkan, namun

belum ada upaya maksimal dalam menjemputnya.

Tiba-tiba ia teringat dengan gaji bulanan yang baru saja ia dapat dari sekolah

tempat ia mengajar. Tak pikir panjang, ia langsung menyedekahkan semua gajinya siang

itu kepada badan amal. Sedikit terasa berat memang, namun ia berharap itu menjadi

pancingan atas rezeki jodoh yang ia dambakan.

Seusai pulang mengajar tiba-tiba sang ayah yang daritadi duduk di kursi ruang

tamu langsung memanggil Ama yang baru saja menyimpan tasnya di kamar.

“Sini teh duduk!”

Ama yang saat itu belum sempat ganti baju segera menghampiri laki-laki paruh

baya yang sudah hampir 5 tahun belakangan ini mengasuhnya seorang diri karena

ditinggal mati sang istri yang tak lain adalah ibunya. Ia pun duduk sambil memerhatikan

wajah ayahnya yang kini mulai tampak garis-garis kerutan dibagian dahi dan ujung

kedua matanya. Rambutnya yang mulai memutih, semakin menambah kesan bahwa

ayahnya kini mulai lanjut usia.

Sang ayah kemudian menyodorkan sebuah foto seorang laki-laki kepada Ama

seraya berkata “Teteh mau sama ini?”.

69 | G h a l i y a S i r i d h a
Ama menoleh, terdiam oleh suara Ayahnya yang bertanya tiba-tiba. Belum

pernah ayahnya membahas masalah seperti ini. Ia menatap ayahnya, menelan ludah.

Bagaimana Bapak tahu?

“Dua hari yang lalu, dia datang ke rumah buat meminang teteh. Waktu itu teteh

masih ngajar. Bapak juga belum bisa ngasih jawaban karena harus nanya dulu ke teteh.

Insyaallah anaknya shaleh. Bapak tau dari uwa, karena dia anaknya temen uwa. Teteh

istikhoroh aja dulu. Bapak nyuruh dia minggu depan datang lagi”.

Mata Ama berkaca-kaca atas do’a yang terasa langsung didengar-Nya. Do’a dan

ikhtiarnya telah mampu mengguncang arsy hingga Allah benar-benar penuhi janjinya

untuk mengabulkan setiap do’a hambaNya. Hatinya tiba-tiba merasa yakin bahwa pria

yang ada dalam foto itu merupakan jawaban Allah atas do’anya. Tak ada sedikitpun

keraguan dalam hatinya, terlebih ayahnya sendiri yang telah menawarkannya. Ia yakin

jika restu dan ridho orangtua terlebih dahulu yang didapat, maka segalanya akan

mudah dan mengandung kebaikan didalamnya.

Selang satu minggu laki-laki itu benar-benar hadir kembali ke rumahnya. Bahkan

untuk menunjukkan keseriusannya, ia datang beserta keluarganya yang siap untuk

melamar Ama.

Jantung Ama berpacu dengan begitu cepat. Pipinya terlihat memerah. Ia poles

wajahnya dengan sedikit riasan agar terlihat lebih cantik. Lipstik soft pink ia pilih untuk

mewarnai bibirnya agar terlihat lebih natural.

Dengan kikuk ia membawa beberapa gelas air minum serta kue-kue kering di

atas nampan untuk dihidangkannya ke ruang tamu. Gerakan tubuhnya tak terkendali,

akibat ulah si jantung yang memompa darah begitu cepat. Tiba-tiba Kakakinya sedikit

terpelintir, membuat minuman dan makanan di atas nampan hampir terjatuh. Padahal

selama di dapur ia sudah latihan berjalan agar terlihat anggun. Namun gagal. Ama

70 | G h a l i y a S i r i d h a
mengernyitkan wajahnya, malu. Ia pun tak bisa mengendalikan getaran tangannya yang

membuat air minum dalam nampan ikut bergetar.

“Santai aja teh”. Ucap seorang ibu dengan sedikit tawanya. Terlihat di

hadapannya sang pria mencoba melirik ke arahnya sambil tersenyum menahan tawa.

Ingin hati Ama berlari jauh dan menggali lubang. Namun raganya terjebak dalam

pertemuan yang akan menjadi sejarah hidupnya kelak. Ia hanya bisa pasrah.

Setelah keluarganya dan keluarga sang pria itu bercengkrama cukup lama, canda

tawa yang terdengar pun sudah cukup mengakrabkan suasana. Tibalah saatnya pihak

sang pria menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan mereka. Ama yang daritadi

menantikan kata-kata itu terucap, sudah tak sabar memberi jawaban atas rasa yang

terlampau bahagia.

“Jadi.. mungkin keluarga bapak sudah tahu, bahwa kedatangan kami kesini tak

lain adalah untuk meminang putri bapak Ai Nurhikmah untuk menjadi istri dari putra

kami Heriawan. Semoga niat kami disambut baik dengan kabar bahagia dari keluarga

bapak khususnya dek Ama”.

“Insyaallah.. Gimana teh?”. Tanya ayah Ama yang juga menantikan jawaban dari

putrinya itu.

Ama tersenyum dan menunduk malu, kemudian ia tatap wajah ayahnya. Dengan

mata berbinar ia menjawab “Iya insyaallah teteh bersedia”.

“Alhamdulillah”. Jawaban Ama disambut serentak oleh semua orang di dalam

ruangan dengan mengucapkan syukur kepada Allah atas bertemunya dua hati yang

telah tercatat dalam kitab di lauhul mahfudzNya.

Jodoh yang telah lama dinanti telah Allah datangkan dengan caranya yang luar

biasa. Tak dapat diterka dan tak disangka-sangka, jodoh yang tepat selama ini ternyata

hanya terpisah oleh satu kata yaitu “WAKTU”.

71 | G h a l i y a S i r i d h a
Saat kita berdo’a, maka sejatinya kita sedang memancarkan energi

ke alam semesta. Pancaran energi ini tergantung pada gelombang


***
elektromagnetik yang dihasilkan oleh hati.

Ibarat kita sedang mengirim sebuah pesan, sebagus apapun merk

handphone-nya, jika tidak ada sinyal maka pesan tersebut susah bahkan

tidak akan sampai. Sinyal disini adalah energi yang dimiliki oleh hati.

Perlu diketahui bahwa gelombang elektromagnet yg di hasilkan

hati, 5000 kali lipat dari gelombang pikiran, hal ini bisa diukur dengan

alat bernama Elektro Ensefalo Grafi / EEG.

Sedekah dan perbuatan baik lainnya pun merupakan bentuk energi

yang akan mengakumulasi di alam semesta menjadi energi baik dan

menguat menjadi sinyal magnet penarik energi lain.

Maka disitulah terjadi sesuatu yang kita sebut dengan KEAJAIBAN.

72 | G h a l i y a S i r i d h a
Hai wanita.. Jika hari ini kau menangis akan masalahmu yang terasa begitu berat,

belajarlah dari kisah yang akan ku ceritakan ini. Sebuah kisah yang akan membuatmu

lebih bersyukur bahwa kamu bukanlah satu-satunya orang yang pernah atau sedang

memiliki masalah yang membuat hidupmu terasa kelabu.

***

Pagi itu Pelangi terlihat resah. Hatinya bergemuruh tak kuasa menahan tangis

yang selama ini dipendamnya. Dia ingin berteriak, namun tak bisa. Kerongkongannya

kelu. Sudah lebih dari 1 tahun ia memendamnya sendiri. Seringkali ia ingin

menceritakan semuanya, tapi tak tahu pada siapa.

Seketika bayangan itu hadir menyelimuti pikiran Pelangi. Saat pertama kali laki-

laki itu meminta untuk memeluknya. Pelangi begitu polos dan lugu. Ia tak bisa menolak

permintaan laki-laki itu. Bodoh, mungkin. Tapi terkadang seorang wanita tak bisa

menolak. Bukan karena tak tahu jika itu salah, tapi logikanya seringkali terkubur oleh

perasaan, perasaan tak enak.

Hingga suatu malam..

Saat ia hendak tertidur di ranjangnya. Tiba-tiba handphone-nya berdering, sebuah

pesan masuk. Ia buka perlahan dengan setengah sadar menahan kantuk. Semilir angin

tak mampu menyejukkan dadanya yang tiba-tiba bergemuruh. Tubuhnya bergetar

hebat.

Ditengah udara dinginnya malam, saat semua mata sudah terpejam lelap. Tiba-

tiba melalui pesan singkat laki-laki itu meminta Pelangi untuk menemuinya di gudang.

Mau apa? Kenapa malam-malam?

Semua pertanyaan itu berputar di dalam otaknya. Namun ia takut untuk sekedar

membalas pesan itu. Tangannya terasa kaku.

73 | G h a l i y a S i r i d h a
Dua menit kemudian SMS baru masuk menembus ruang lamunnya. Menggetarkan

raga dari sesuatu yang ambigu.

“Saya ingin mengajarkanmu sesuatu. Ilmu ini hanya saya ajarkan kepadamu”.

Batinnya masih bertanya-tanya, pikirannya berlarian kesana kemari mencari

jawaban. Ia mencoba berpikir positif.

Mungkin ia sungguh-sungguh ingin mengajarkan suatu ilmu kepadaku.

Segera ia memakai baju gamis dan jilbab merah mudanya. Semua teman di

kamarnya sudah tertidur lelap. Ia buka pintu kamar dengan perlahan. Ia tengok kanan

kiri, semua pintu disekelilingnya tertutup rapat. Wajar mungkin karena ini jam 12

malam. Ia langkahkan kaki menuju gudang, sambil berharap semuanya akan baik-baik

saja.

Setibanya disana ternyata pintu gudang sudah terbuka. Dilihatnya sosok laki-laki

yang selama ini ia hormati berdiri sambil tersenyum mendekati.

"Yuk ikut saya ke atas". Ajak lelaki itu sambil menunjukkan tangannya ke atas

tempat jemuran pakaian.

"Mau apa?" tanya Pelangi memberanikan diri.

"Disana saya akan memberi tahu kamu" Jawabnya singkat.

Pelangi mengikuti langkah kaki laki-laki itu menuju tempat yang dituju tanpa

bertanya apa-apa lagi. Tempatnya begitu sepi karena memang tempat yang khusus

digunakan untuk menjemur pakaian.

Laki-laki itu memintanya untuk duduk tenang bersila, menuntunnya membacakan

ajian-ajian dari bahasa arab. Pelangi tak mengerti bacaan apa itu. Ia mengerutkan dahi.

“Apapun yang kita inginkan akan terwujud dengan amalan ini”. Jelas laki-laki itu

meyakinkan. Ia mengeluarkan tasbih dari dalam saku, dan memberikannya kepada

Pelangi. “Ulangi bacaan ini hingga 1000 kali”.

74 | G h a l i y a S i r i d h a
Malam semakin sunyi, angin malam terasa menusuk hingga ke tulang. Tubuh

Pelangi bergidik kedinginan. Ia mencoba tenang dan mulai membacanya perlahan dalam

benaknya dengan kedua mata yang tertutup.

Semilir angin malam membuatnya dihinggapi rasa kantuk yang tak tertahankan.

Entah sudah sampai pada bacaan yang keberapa. Tasbih di tangannya terjatuh.

Tubuhnya sedikit demi sedikit mulai terkulai ke lantai, seolah tertarik oleh mata yang

kian terasa berat.

Tiba-tiba sebuah tangan terasa masuk menggerayangi tubuh Pelangi. Ia ingin

menepis, namun tubuhnya kaku tak bisa bergerak. Pikiran sadarnya terasa samar.

Tampak wajah yang tertutup kabut. Apa ini?. Pelangi tak sadarkan diri dan terbangun

saat adzan subuh berkumandang.

***

Pelangi membuka matanya perlahan, sekujur tubuhnya terasa sakit. Wajahnya

menoleh ke kanan dan ke kiri mengamati sekitar. Ia mendapati dirinya masih berada di

atas jemuran. Apa yang terjadi semalam?

Batinnya bertanya-tanya. Pelangi tak ingat sama sekali apa yang telah terjadi

malam itu. Ia hanya sendiri disana. Seingatnya, Ia sedang membaca ajian yang diberikan

orang itu semalam.

Pelangi kembali menuju kamarnya, tak ada siapa-siapa. Ah ya, semuanya pasti

sedang berada di masjid untuk shalat berjama'ah dan mengaji.

Pelangi keluar kamar untuk mengambil air wudhu hendak menunaikan shalat

subuh. Ia merasakan sekujur tubunya masih terasa sakit, langkahnya gontai menuju

kamar. Berbagai macam pertanyaan masih memenuhi kepalanya.

75 | G h a l i y a S i r i d h a
Pelangi mengganti pakaian dengan pakaian shalat. Ia hamparkan sajadah serta

dikenakannya mukena. Shalatnya mungkin tak khusuk saat itu, pikirannya berkeliaran

mengingat kejadian tadi malam.

Selesai shalat, ia rapikan semua barang yang berserakan. Pelangi mengambil

pakaian yang dikenakannya tadi malam. Ia melihat ada bekas darah menempel pada

gamis di bagian belakang. Kedua matanya membelalak.

Darah apa ini?

Pikirannya makin tak karuan. Sedikit demi sedikit kejadian tadi malam mulai ia

ingat, meski berbentuk gambaran acak dalam ingatan. Dalam kondisi setengah sadar,

lelaki itu menatapnya penuh nafsu. Lelaki itu mencumbu dan memperkosanya.

Astagfirullah..

Hatinya menjerit, batinnya memberontak. Pelangi menggigil disudut ruang

kamarnya, sambil berpikir antara sadar dan tidak sadar, mencubit pipinya dan bertanya.

Apakah ini nyata?

***

Pelangi adalah seorang anak yatim piatu yang sudah tidak memiliki orangtua

sejak usianya 12 tahun. Ibunya meninggal pada saat usianya 5 tahun karena sakit paru-

paru yang dideritanya, sedangkan ayahnya meninggal saat usianya menginjak 11 tahun

karena kecelakaan.

Pelangi merupakan anak tunggal, ke-2 adiknya tinggal bersama uwa (kakak laki-

laki dari ibunya) di Jawa Tengah setelah kepergian kedua orangtuanya. Sedangkan

Pelangi ikut bersama bibinya (Adik dari ayahnya) di Bandung. Selama 3 tahun ia tinggal

disana hingga lulus SMP.

76 | G h a l i y a S i r i d h a
Saat masa-masa SMA Pelangi memutuskan untuk tinggal di pondok pesantren

yang masih berada di daerah dataran sunda. Ia memilih sekolah dan pesantren disana

karena terdapat beasiswa bagi anak-anak yatim piatu. Ia berpikir tak mau lagi

merepotkan bibinya.

Pelangi sudah terbiasa berada di lingkungan baru tanpa kehadiran orangtua,

sehingga tak ada tangis saat memasuki dunia pesantren pertama kali. Tak seperti yang

lain, hampir semua orang menangis karena berpisah dengan keluarganya.

Ditempatnya yang baru Pelangi tak kenal siapa-siapa. Ia mencoba untuk menyapa

setiap orang yang ia temui dengan senyuman terbaiknya, meyakinkannya bahwa mereka

yang kelak akan menjadi saudara-saudara barunya.

Ia susuri lingkungan barunya. Menikmati udara sejuk yang menyelinap masuk

melalui rongga hidung hingga memenuhi paru-parunya. Terlihat gedung-gedung

berwarna hijau sebagai bangunan sekolah berdiri kokoh, membentuk sebuah lingkaran

yang mengitari sebuah mesjid yang tampak megah. Pohon-pohon yang mulai tumbuh

besar berjajar rapih sepanjang jalan, memberi kesan asri dan sejuk sejauh mata

memandang.

Di belakang area gedung yang berwarna hijau terdapat area untuk aneka jajanan

yang tertata rapih dengan stand-stand kecil berwarna putih sebagai tempatnya. Di

depannya sebuah lapangan volly dan lapangan badminton yang selalu tampak baru

karena lantai dasarnya selalu di cat setiap semesternya. Gazebo-gazebo kecil di

seputaran lapangan tempat para santri melepas penat saat jam istirahat sekolah tak

lupa mempercantik area setempat. Ruang UKS, ruang musik, juga ruang serbaguna pun

menjadi pelengkap di sekitar area itu. Baru setelah itu, area pondok tempat para santri

menginap

77 | G h a l i y a S i r i d h a
Hari demi hari ia nikmati sebagai seorang santri. Ia mulai terbiasa dengan pola

belajar di pesantren yang cukup padat.

Disana Pelangi memiliki seorang bapak asuh. Bapak asuh diperuntukkan khusus

bagi anak-anak yatim piatu. Ia begitu dihormati dan disegani, keilmuan agamanya tak

diragukan lagi. Ia sering mengisi pengajian santri selepas subuh ataupun maghrib. Tak

hanya anak-anak yatim piatu, semua santri sangat menghormatinya.

"Anggap saja saya adalah ayah kalian".

Kata-kata yang selalu ia ucapkan pada Pelangi dan anak-anak yatim piatu lainnya.

Semuanya begitu terasa nyaman pada awalnya. Hingga semuanya berubah menjadi

ancaman yang menakutkan.

***

Ternyata kejadian malam itu adalah awal mula semua kesengsaraan dimulai.

Setelah malam itu laki-laki yang ternyata bapak asuhnya tersebut sering memaksa

Pelangi untuk memenuhi nafsu bejadnya, mengancamnya dengan berbagai ancaman jika

tak patuh. Hal itu terjadi selama 1 tahun lamanya.

Pelangi tak berani berkata pada siapa-siapa. Ia hanya bisa mengutuk lelaki itu

dalam hati. Jika Pelangi merasa sudah tak tahan, ia selalu berteriak sekencang-

kencangnya seperti orang gila yang tak sadarkan diri. Semua santri mengira Pelangi

kesurupan.

Allah.. aku sudah tak mampu menahan semua sakit ini..

Hati wanita mana yang tak hancur saat kehormatannya direnggut, terlebih jika

itu dilakukan oleh iblis bertopeng alim. Bukan hanya hatinya saja yang hancur, nama

agama pun dipertaruhkan, diobrak-abrik oleh budak nafsu yang mengatas namakan

Tuhan. Naudzubillah.. sungguh jahannam.

78 | G h a l i y a S i r i d h a
Hingga di suatu pagi. Pelangi duduk terdiam disudut masjid sepulang mengaji

subuh. Ia menerawang langit yang begitu menakjubkan, dihiasi mentari yang mulai

menampakan wujudnya dengan penuh keanggunan. Memancarkan kehangatan dan

memberi semangat bagi jiwa-jiwa yang penuh harapan. Mengikis sisa-sisa langit malam

yang kelabu.

Pasti akan ada pelangi yang indah setelah hujan, seperti mentari yang muncul

selepas malam. Ya Allah.. Tolong aku..

Pelangi terisak dalam do’anya di pagi hari. Seketika saat ia membalikan badan,

seseorang telah berdiri di depannya dengan wajah yang tampak tersenyum anggun.

“Eh teh Nisa..”. Pelangi mengelus dada karena terkejut.

Teh Nisa adalah ketua bimbingan anak-anak yatim. Baginya teh Nisa adalah sosok

wanita lembut yang menjadi teladannya.

"Pelangi sayang, bisa kita bicara sebentar". Tatapan mata Teh Nisa terlihat begitu

serius meski ditutupi dengan senyuman.

"Iya teh boleh, ada apa ya?" tanyanya penasaran.

Jarang sekali rasanya teh Nisa mengajak ia berbicara serius seperti ini, biasanya

mereka hanya saling sapa tanpa banyak bicara. Teh Nisa mengajak Pelangi duduk santai

di atas lantai mesjid. Hanya mereka berdua disana. Semua santri sudah kembali ke

asrama masing-masing untuk persiapan sekolah.

"Pelangi, jujur ya sama teteh. Pelangi udah diperlakukan secara dzolim ya sama

Bapak pengasuh?" Tanyanya spontan.

Mata pelangi melebar, jantungnya berdebar kencang, mulutnya terkatup menelan

ludah. Namun mata tak bisa berbohong, air mata mulai menetes membasahi pipinya.

"Mungkin Pelangi heran, tapi Pelangi gak usah takut. Teteh tau semuanya".

79 | G h a l i y a S i r i d h a
Tiba-tiba dengan suara bergetar menahan tangis, teh Nisa melanjutkan

pembicaraannya.

"Teteh pun salah satu korbannya".

Tanpa bisa terbendung lagi, tangisan teh Nisa pun pecah. Dipeluknya Pelangi

dengan erat. Sekujur tubuh Pelangi terasa kaku, seakan tidak percaya dengan semua

yang baru saja ia dengar.

Dasar biadab!!! Makinya dalam hati.

"Teteh tau darimana?". Pelangi mulai membuka suara. Teh Nisa melepaskan

pelukannya.

"Teteh liat Pelangi malam itu, saat Pelangi di ajak ke atas jemuran oleh bapak

pengasuh. Tapi teteh takut, jadi teteh lari terus nangis di kamar sendiri. Teteh nggak bisa

nolong Pelangi. Maaf.. teteh takut". Teh Nisa menutupi wajahnya dengan penuh perasaan

bersalah.

"Teteh nyangka Pelangi pasti diperlakukan dzolim, sama seperti yang sering ia

lakukan kepada teteh. Teteh menutupinya selama ini karena teteh takut, tapi teteh

sendiri udah nggak kuat, batin teteh hancur rasanya. Teteh udah nggak punya semangat

hidup, teteh bingung..".

Tangisan Teh Nisa semakin menderu-deru, luapan emosi yang mungkin selama

ini terpendam keluar menjadi bentuk tangisan yang begitu mendalam. Pelangi mencoba

lebih tegar. Ia hapus semua tangisan yang selama ini melemahkannya.

"Menurut teteh apa yang seharusnya kita lakukan sekarang? Lapor polisi?”

Teh Nisa menghentikan tangisannya. Ia menatap langit sejenak untuk

memberhentikan air matanya yang jatuh.

80 | G h a l i y a S i r i d h a
“Lebih baik jangan dulu.. seminggu ini kita coba selidiki lebih jauh siapa lagi yang

jadi korban. Nanti kita kabur bareng-bareng terus nyari perlindungan, setelah itu baru

lapor polisi”.

Saran teh Nisa terasa lebih baik. Bisa jadi masih banyak korban yang sama-sama

sedang mengalami ketakutan yang sama.

“Teh, yuk kita mulai jadi wanita yang kuat. Udah bukan saatnya lagi nangis, tapi

kita harus ngambil tindakan. Bismillah.. Allah pasti nolong kita".

Selama satu minggu mereka mencari tahu, menggali informasi dan menapaki

kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.

Pelangi dan teh Nisa mulai bertindak. Mencari bukti serta memancing

pembicaraan kepada setiap orang yang dirasa sebagai korban seperti mereka berdua.

Meyakinkan dan menguatkan bahwa mereka tak sendiri.

Akhirnya terkumpul kurang lebih 7 orang yang mau mengakui. Tanpa pikir

panjang pada malam harinya mereka sepakat untuk kabur dari pesantren dan mencari

perlindungan.

Hari itu merupakan hari yang paling menegangkan rasanya, namun atas

pertolongan Allah mereka mendapat pertolongan dari teman salah satu korban yang

ayahnya seorang Kyai.

Keesokan harinya pak Kyai tersebut menelpon polisi untuk menindak semuanya,

polisi pun mulai berdatangan dan mengkonfirmasi setiap korban. Atas izin Allah

semuanya terselesaikan meski masih tersisa trauma yang mendalam.

***

81 | G h a l i y a S i r i d h a
Salah satu ciri seseorang yang tidak bahagia dan memiliki luka batin

adalah ketika dia tidak bisa membahagiakan orang lain dan menjadi

pengacau di lingkungannya.

Orang-orang yang berperilaku jahat sudah pasti memiliki rekaman

₰-masa lalu yang


Kisah Pelangi Partmenyakitkan,
2 dan ini sulit sekali disembuhkan kecuali

dirinya"Maka
sendiri yang
setelah adaberkeinginan untuk
kesulitan itu pasti menyembuhkan
ada kemudahan, lukanya.
dan setelah Tapiitu
kesulitan

sayangnya, banyak
pastiorang yang berperilaku
ada kemudahan..." buruk 5-6).
(Q.S Al-Insyirah: tak sadar bahwa

perilakunya buruk. Dia menganggap hal itu biasa dan wajar. Jika hal ini

terjadi, maka
Sudah dia sudah
merupakan termasuk
janji Allah dalam kategori
dalam al-qur’an memilikidapat
yang tak mungkin gangguan
dipungkiri

psikologis.
bahwa setelah kesulitan itu pasti ada kemudahan, bahkan Allah tegaskan kalimatnya

Jika kamu
hingga diulangi sedang
untuk keduadekat dengan
kalinya dalam seseorang (calon jodoh)
ayat yang beruntun. Makayang sering
yakinlah bahwa

menyakiti
akan ada pelangi kamu dengan
setelah hujan! kata-kata maupun perbuatannya,

mengecewakanmu dengan janji-janji yang diingkarinya. Meskipun ia selalu

***meminta maaf, tapi jika dia terus mengulang lagi kesalahannya maka

jangan pilih
Guruku dia sebagai
tersayang.. pendamping
Guruku tercintaa.. hidupmu.
Tanpamu Secinta
apa jadinya akuapapun kamu

terhadap dia,
Tak bisa karena
baca perilakunya
tulis, mengerti yang
banyak halburuk lama-lama akan mengikis rasa

cintamu dan
Guruku akan menggoreskan
terimakasih ku.. luka batin terhadap anak-anakmu kelak.

Nyanyian anak-anak SD itu menyentuh hati semua relawan. Sudah hampir 4

tahun terakhir Pelangi mengikuti komunitas sosial yang mengadakan program

sukarelawan mengajar ke SD – SD terpencil.

Rasa bahagia berbagi saat bersama komunitas yang diikutinya selama ini mampu

sejenak melupakan semua kesedihannya.

82 | G h a l i y a S i r i d h a
"Pelangi, makasih ya atas partisipasinya selama ini".

Suara itu membuat jantung Pelangi tiba-tiba berdebar, untuk kali pertamanya

pria itu memanggil namanya. Mulutnya melengkung membentuk senyuman. Perasaan

yang pernah bersemi seolah hadir kembali, membawa Pelangi pada kenangan lama

pada seseorang yang selalu ia sapa dengan sebutan pria hujan.

Astaghfirullah..

Segera Pelangi menepis semua rasa. Ia mencoba berpikir logis bahwa kata-kata

si pria hujan tak berarti apa-apa. Tiba-tiba suara handphone menyadarkan lamunannya.

Pelangi meminta izin untuk mengangkat telepon pada si pria hujan.

Rintik gerimis saling bersusulan menyentuh tanah. Suaranya cukup merdu,

membawa suasana menjadi syahdu. Namun merdunya suara hujan tak semerdu suara

orang yang menelpon dari seberang sana.

“Kamu jahat!!!”. Teriak pelangi kepada orang dibalik telepon.

Seketika handphone yang digenggam Pelangi terjatuh. Matanya berkaca-kaca.

Dadanya terasa sesak, seperti ada yang menekan kuat. Akhirnya ia pamit untuk segera

pulang. Ia tak habis pikir dengan apa yang baru saja didengarnya.

***

Jika hati berdesir saat dua orang insan manusia berlainan jenis saling beradu

tatap meski hanya sesaat, disebut apa lagi kalau bukan cinta? Rasanya cinta tak pernah

gagal untuk memporak porandakan akal sehat. Bak sebuah busur yang langsung

menancap melalui tatapan, akal sehat mampu terseret rasa menuju angan untuk

berdampingan seribu tahun lamanya.

Entah cintanya hanya bertepuk sebelah tangan atau hanya menjadi sebuah

angan. Namun pelangi terjebak dalam lamunan bersama pria yang baru saja berpapasan

83 | G h a l i y a S i r i d h a
dengannya. Seorang pria yang sudah ia kenal sejak pertama kali bergabung dengan

komunitas sosialnya. Orang-orang mengenalnya sebagai pria hujan, karena selalu

memberi semangat untuk berbagi dalam kegiatan sosial meski hujan deras sekalipun.

Tatapannya penuh kehangatan, senyumnya selalu membawa kedamaian. Rasanya tak

akan ada wanita yang tidak jatuh cinta kepadanya saat menatapnya.

”Pelangi kenalin, ini Riga”.

Suara seorang teman memecah lamunannya. Pelangi menoleh. Seorang pria

asing tersenyum padanya.

“Siapa ini Ra?”. Pelangi mencoba membalas senyumnya dan bertanya pada

Maura yang mengenalkannya.

“Dia yang bakal jadi partner kamu nyiapin acara hari ini. Riga ini Pelangi”. Ucap

Maura mengenalkan mereka berdua dalam kegiatan sosial hari itu.

“Cantik, seperti namanya”. Senyum Riga sambil menyalami.

“Makasih”. Jawabnya dengan ramah.

Paska lulus SMA, Pelangi langsung mencari kerja sambil meluangkan waktu

untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S1. Ia pun mulai menyisihkan sebagian

gajinya untuk membiayai kedua adiknya yang saat itu masih sekolah di bangku SMA. Ia

tak mau terus-terusan merepotkan uwa, ia merasa kasihan karena uwa sudah mulai

lanjut usia. Selain itu, Pelangi pun selalu berusaha menyibukkan diri dengan aktif

bergabung dalam komunitas sosial di bidang pendidikan.

Setelah berhasil kabur dari kejadian yang mencekam malam itu, semua korban

dibiayai oleh Kyai yang menolong mereka saat itu untuk melanjutkan sekolah hingga

lulus SMA di pondok pesantrennya.

Keluarganya tak ada yang tahu kejadian masa lalu Pelangi. Mereka menganggap

semuanya baik-baik saja. Urusan perpindahan sekolah Pelangi saat itu pun keluarganya

84 | G h a l i y a S i r i d h a
tak ada yang diberitahu. Pelangi tak pernah bercerita apapun kepada keluarganya soal

perkara itu. Takut jika hati mereka terluka.

Para korban yang dulu membersamai terdengar sudah mulai menemukan

jodohnya masing-masing. Termasuk teh Nisa, sosok wanita lemah lembut yang telah

menguatkannya mengambil langkah saat kejadian itu. Teh Nisa dipertemukan dengan

laki-laki shalih pilihan Allah yang mau menerima teh Nisa apa adanya.

***

“Kamu lagi apa?”

“Aku jemput ya”

“Makan yuk, aku udah depan kantor kamu”

“Kamu lagi ada masalah? Sini, cerita aja sama aku”.

Sejak perkenalan dengan Riga saat itu. Pelangi selalu dibanjiri dengan perhatian

darinya. Setiap hari, puluhan pesan Riga kirimkan untuk Pelangi.

Hingga suatu hari..

“Aku suka sama kamu, sejak pertama kali kita ketemu”. Ucap Riga dari balik

telepon.

“Tapi aku belum suka sama kamu”. Jawab Pelangi. Sebenarnya ia ragu karena

bayangan pria hujan masih terus menyelimutinya.

“Nanti juga suka”. Timpal Riga dengan pasti.

“Geer!!!”. Tawa mereka pun pecah.

Entah sejak kapan keduanya menjadi kian dekat. Padahal tak pernah ada

jawaban pasti terhadap ungkapan perasaan Riga. Dan tentang pria hujan, entahlah..

rasanya ia sudah tak mau berharap.

Seperti kata Riga, seiring dengan berjalannya waktu Pelangi semakin mudah

85 | G h a l i y a S i r i d h a
untuk membuka hati untuknya. Pelangi mencoba berpikir logis untuk memilih pria yang

terasa jauh lebih pasti. Banjiran perhatian dari Riga mampu mendobrak benteng

pertahanan hati yang selama ini tertutup rapat.

Jika penantian terhadap si pria hujan itu tak pernah membawakan hasil, maka

kini waktunya Pelangi untuk membuang perasaan yang ia rawat sejak satu tahun

lamanya dan menggantinya dengan cinta yang baru.

Pribadi Riga tak seperti pria hujan. Riga bukanlah pria lembut yang terlihat

dewasa dan mengayomi. Tapi Ia lebih berani mengekspresikan perasannya. Bagi

seorang wanita, seringkali kepastian dari seorang laki-laki adalah syarat utama untuk

memenangkan hatinya.

Terimakasih Riga karena sudah memberiku cinta..

***

“Kalau gak ada aku siapa yang mau bantu kamu buat biayain sekolah adik-adik

kamu? Makanya harus bersyukur ya! Hehehe”.

Nada Riga memang bercanda, namun Pelangi seringkali merasa kesal dengan

sikapnya yang sedikit angkuh.

Riga memang terlahir dari keluarga berada. Ia pun bekerja di salah satu

perusahaan maskapai ternama. Gajinya cukup besar. Seringkali Riga membantunya dan

keluarganya tanpa diminta.

“Kamu yakin sama Riga?”. Tanya Maura sahabat yang mengenalkan mereka

pertama kali.

“Belum tau sih ra”.

“Kenapa belum tau?”

“Aku bingung aja, soalnya Riga udah baik banget sama keluarga aku. Tapi.. masih

86 | G h a l i y a S i r i d h a
ada sikapnya yang aku kurang suka, cuma aku mikirnya emang manusia gak ada yang

sempurna kan”.

“Hmmm.. istikhoroh aja”. Saran Maura yang seringkali terucap saat Pelangi

merasa ragu.

Entah mengapa empat tahun perjalanan cinta keduanya belum cukup membuat

Pelangi yakin untuk bersanding dengan Riga dalam ikatan pernikahan. Banyak sikap

Riga yang masih terasa kurang cocok. Namun Pelangi lebih sering memilih untuk

menepis semua keraguan yang ada.

***

"Mungkin sebaiknya kalian segera menikah!" . Ucap Ayah Riga di sabtu siang saat

pelangi sedang datang berkunjung.

Jantung sepasang kekasih itu tiba-tiba berdebar.

Tibakah saatnya kini?. Guman Pelangi.

"Tapi.. kalau bisa tahun depan, soalnya segalanya kan harus dipersiapkan.

Terlebih ayah ingin nanti acara resepsinya meriah, karena banyak rekan kerja ayah

yang harus diundang. Sedangkan tabungan ayah untuk membantu pernikahan kalian

dirasa belum cukup". Lanjut ayah Riga.

Riga melirik ke arah Pelangi, lalu tersenyum tipis. Pelangi pun tak bisa berkata

apa-apa. Ia hanya tersenyum dan menganggukan kepala menandakan setuju dengan apa

yang diucapkan ayahnya.

Perasaan ragu pun berhembus lembut ke dalam hatinya. Terbersit pula perasaan

takut dalam diri Pelangi. Takut jika Riga dan keluarga tahu masa lalunya dan mereka tak

mau menerima.

87 | G h a l i y a S i r i d h a
Sambil menunggu hari itu tiba, sejak satu tahun sebelumnya mereka sudah

menyicil barang-barang untuk persiapan pernikahan. Mulai dari seserahan, mahar,

souvenir untuk tamu undangan, hingga foto-foto prewedding yang sudah jauh-jauh hari

dipersiapkan, semuanya untuk mempermudah acara yang akan dilakukan nanti.

Waktu menunjukkan pukul 20.00 malam. Selepas shalat Isya Pelangi

membaringkan tubuhnya yang lelah karena bekerja seharian. Tiba-tiba Naya adik

perempuan Pelangi masuk kamar Pelangi dengan setengah berteriak berlari menuju

kasur sambil sedikit melompat.

“Kak Pelangiiiii!!!”

Wajah Naya menegang, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dia lihat

dari layar handphone yang digenggamnya.

“Ini kayaknya Riga deh”. Naya menyodorkan Handphone-nya kepada Pelangi.

Jantung Pelangi berdetak tak menentu, wajahnya memucat. Ingin hatinya

menyangkal bahwa apa yang dia lihat di Intagram Story dari akun milik teman adiknya

tersebut bukanlah Riga. Namun terasa mustahil jika ada dua sosok Riga di muka bumi

ini dengan wajah yang sama persis.

Dilihatnya laki-laki itu telah berwifie ria bersama sekitar 7 orang lainnya yang

tak ia kenal. Sekilas foto tersebut terlihat biasa, namun bagi Pelangi yang melihat

seorang laki-laki melingkarkan tangan di atas pundak seorang wanita dengan begitu

erat dan terlihat mesra terasa sangat menyakitkan. Apalagi ia mengenali sosok tersebut

adalah Riga, calon suami yang sebentar lagi akan bersanding dengannya di pelaminan.

Pelangi mencoba menghubungi Riga dengan mengiriminya sebuah pesan, ia

mencoba untuk tetap bersikap tenang. Ia bertanya tentang kegiatan Riga pada hari itu,

namun Riga hanya membalas pesannya singkat.

88 | G h a l i y a S i r i d h a
"Aku capek, aku istirahat duluan ya, aku sayang kamu" Jawabannya padat, jelas

dan tanpa basa-basi.

Ada apa dengan Riga?

***

Jika banyak orang yang berkata sebelum menikah itu pasti ada ujiannya.

Mungkin ini ujian yang harus dilalui Pelangi. Hatinya tak menentu. Keraguannya terasa

semakin pekat. Perasaannya terlukai. Kepercayaannya ternodai. Namun semuanya

seolah harus ia abaikan. Banyak hati yang harus ia jaga.

"Udah putusin aja siiih! Masih banyak yang lain yang insyAllah lebih shaleh dan

setia" Saran Maura dengan nada kesal setelah mendengar cerita dari Pelangi.

“Gak tau diri tuh si Riga!”. Lanjut Maura.

Topik tentang Riga selalu menjadi topik hangat bagi mereka berdua, bagi Maura

perselingkuhan tidak ada kata ampun.

“Maaf ya dulu aku yang kenain kamu ke dia”. Jelas Maura menyesal.

“Eh bukan salah kamu kok. Aku yang mutusin buat kenal dia lebih jauh”.

Putusin? Mungkin kata-kata itu tak semudah dengan apa yang diucapkan.

Perasaannya memang teriris, namun Pelangi memiliki banyak pertimbangan. Terutama

pada janji pernikahan yang sudah terlanjur dipersiapkan. Semua persiapan sudah

dilakukan hampir 80%, jika harus putus ditengah jalan rasanya sayang.

“Aku gak enak sama orangtuanya. Orangtuanya udah banyak bantu buat nyiain

acara pernikahan kita nanti ra. Aku juga nggak mau ngecewin keluarga aku”.

"Belum nikah aja udah berani selingkuh apalagi nanti pas udah nikah? Tapi

terserah kamu sih. Kamu yang bakal ngejalaninnya" Terang Maura terbawa emosi.

89 | G h a l i y a S i r i d h a
Kata-kata Maura terasa benar adanya. Pelangi menghela napas panjang,

pundaknya terasa berat memikul beban, pikirannya jadi tidak fokus. Dalam

kebimbangan ia berbisik pada hatinya.

Kamu kuat Pelangi.. Ada Allah..

***

Ditengah guyuran hujan Pelangi berlari sambil menangis. Tangisaannya saling

beradu dengan suara riuh hujan yang semakin membesar. Kini lukanya bukan hanya

sekedar sayatan. Tapi sudah robek dan mengeluarkan darah lebih banyak.

“Kamu tega Riga!!!”. Ia pun berteriak sekencang-kencangnya.

Suara dari balik telepon yang sudah merobek hatinya itu ternyata Riga yang

entah mengapa tiba-tiba membatalkan rencana pernikahannya begitu saja tanpa alasan

yang jelas. Pelangi tak habis pikir dengan apa yang baru saja ia dengar dari balik

telepon.

Kok kamu tega Rigaa??? Apa karena perempuan itu?

“Allah itu maha baik. Jika dia tidak baik bagimu, maka Allah akan menjauhkannya

darimu dengan caraNya yang mungkin sedikit menyakitkan. Disitulah letak ujian

keimananmu kepada Allah dipertaruhkan! Bersyukur atau Kufur?”

Ceramah ustadz Khalid Basalamah yang ia dengar di youtube menampar keras

hatinya. Kini ia menangis karena malu. Kecintaan terhadap makhluknya membuatnya

lupa bahwa sejatinya Allah itu tak pernah mendzalimi hambanya. Allah lah yang telah

bermurah hati menjauhkan laki-laki yang mungkin tidak baik bagi dirinya dan untuk

kehidupannya kelak. Segera ia beristighfar dan mengucap syukur atas rahmat dan

pertolonganNya.

***

90 | G h a l i y a S i r i d h a
Pagi itu mentari terlihat menawan. Semilir angin meniup lembut tiap helaian

rambut. Suasana yang begitu anggun bak bidadari turun dari kayangan.

Tiga bulan berlalu sejak Riga membatalkan rencana pernikahan mereka, Pelangi

mulai mencoba bangkit. Mengawali hari-hari dengan penuh senyuman. Menyemangati

diri agar tidak menjadi magnet kesedihan.

“Assalamualaikum..”.

Terdengar suara ketukan pintu. Pelangi segera beranjak. Matanya membelalak,

jantungnya berdebar dengan pikiran penuh tanya, ia tak percaya dengan sosok yang ada

di depan matanya.

"Pria hujan? Eh Kak Iwan???". Pelangi segera menutup mulut dengan kedua

tangannya. Malu.

Pria itu tersenyum lembut. Si pria hujan yang bernama Iwan Priawan itu berdiri

di depan pintu rumahnya.

“Hallo.. Assalamualaikum”. Wajah manisnya menyapa ramah. Ia mengenakan

kemeja lengan pendek berwarna putih, menambah aura cahaya pada wajahnya.

“Waalaikumussalam.. masuk kak”. Pinta Pelangi mempersilahkan.

“Duduk dulu ya, aku ambilin dulu air minum”. Pelangi menuju dapur. Senyumnya

terasa seperti pelangi yang muncul selepas hujan. Entah apa yang membuat si pria

hujan datang. Pelangi merapikan dirinya di cermin. Ia mengelus dadanya untuk

meredakan suasana hatinya yang terlampau bahagia.

Santai Pelangi..!!! Gumamnya dalam hati.

“Ayo kak diminum”. Pelangi menghidangkan segelas teh manis dan sekaleng kue

kering. Ia pun kemudian duduk di hadapan si pria hujan. Wajahnya memerah.

“Oh iya makasih banyak. Maaf jadi ngerepotin”. Suara si pria hujan terdengar

malu-malu.

91 | G h a l i y a S i r i d h a
Suasana terasa kaku. Sejenak menjadi hening. Sang tamu pun berdehem, terlihat

tangannya yang dikepalkan menutupi perasaan gemetarnya. Ia mulai membuka

suaranya.

"Aku tahu kamu pasti kaget aku dateng kesini.. emm”.

Kata-katanya terhenti tiba-tiba. Tenggorokannya terasa tercekat. Ia tak bisa

mengendalikan jantungnya yang berdebar semakin kencang.

Di sisi lain terlihat Pelangi berusaha menahan diri untuk tetap terlihat santai.

Wajahnya berkedut. Sinyal getaran yang dipancarkan si pria hujan mampu tertangkap

oleh radar hati Pelangi.

“Maaf..”. Si pria meneguk lagi air di dalam gelas. Pelangi hanya tersenyum

menatapnya lucu.

“Aku tau rumah kamu dari Maura. Jadi iseng aja mampir kesini”. Jelas si pria

hujan sekaligus menjawab pertanyaan dalam benak Pelangi yang belum sempat

diajukkan.

“Aku kesini ngerasa waktunya pas aja sih, dan mungkin kamu bakal ngerasa hal

ini tiba-tiba”.

Kedua alis pelangi mengkerut. Ia tak begitu faham dengan apa yang dimaksud si

pria hujan.

“Sebenernya selama ini aku selalu nyari tau tentang kamu, tapi aku gak berani

deketin karena waktu itu kamu kabarnya udah mau nikah. Dan sejak kamu lari sambil

nangis setelah nerima telepon 3 bulan yang lalu itu aku dapet kabar lagi kalau kamu gak

jadi nikah. Maaf”.

Pelangi tertunduk, mengingat kejadian saat Riga membatalkan pernikahan

mereka tiba-tiba. Ia pun mengangkat kepalanya dan menatap si pria hujan sambil

tersenyum.

92 | G h a l i y a S i r i d h a
“Nggak apa-apa. Luka aku udah sembuh kok kak”.

Si pria hujan pun ikut tersenyum dan melanjutkan ucapannya.

“Alhamdulillah.. syukur kalau gitu. Sejak tau berita terbaru itu aku mulai

istikhoroh, dan akhirnya memberanikan diri buat datang dan meyakinkan diriku juga

kamu kalau kita mungkin bisa mulai menjalani hidup baru bersama”. Wajah si pria

hujan tiba-tiba memerah. Begitupun dengan Pelangi.

Entah angin darimana yang telah membawanya datang memberi kejutan serta

kebahagiaan yang sulit diucapkan oleh kata-kata. Mata Pelangi berkaca-kaca

menyaksikan hadiah terindah yang diberikan oleh-Nya setelah kesedihannya selama ini.

Sosok pria hujan yang selama ini ia dambakan dalam angan, kini hadir menjelma

bukan hanya sekedar menjadi jodoh impian, tapi sudah menjadi jodoh masa depan yang

sebentar lagi digenggam. Allah itu sangat adil, Allah itu sungguh Maha Penyayang.

Pelangi berpikir bahwa Allah sengaja mematahkan hatinya agar tidak terjatuh pada

lubang kesengsaraan bersama Riga.

Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?

Allah ulangi kata-kata itu hingga 31 kali dalam surah Ar-Rahman, menegaskan

kepada semua hambaNya bahwa nikmat Allah itu sangat besar, dan tak ada seorang pun

dari makhluknya di muka bumi ini yang Ia dzholimi.

Tak perlu menunggu waktu lama serta persiapan yang panjang, dua bulan

kemudian mereka berdua akhirnya dipersatukan dalam ikatan janji suci atas nama cinta

yang telah mereka jaga selama ini. Tak henti-hentinya Pelangi bertasbih dan bertakbir

dalam hati seraya memuji keMaha Kuasaan Allah. Dari dulu ia selalu meyakini bahwa

akan tiba saatnya sebuah pelangi terlihat begitu menawan menghiasi langit setelah

hujan.

***

93 | G h a l i y a S i r i d h a
3 ciri jodoh yang baik secara psikologis, jika rumah tanggamu ingin

bahagia:

- Dia tidak sanggup menyakiti kamu secara sengaja, dan ikhlas dengan

segala kekurangan kamu.

- Saling menyayangi, mencintai dan menghargai satu sama lain. Bukan

karena bangga terhadap sesuatu yang ada dalam dirimu atau karena

rasa kasihan dan tidak enak jika tidak menikahimu.

- Sudah tidak memiliki PR masa lalu dan bisa melengkapi

kekuranganmu.

₰- Sebuah Pertemuan

94 | G h a l i y a S i r i d h a
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu

perempuan perempuan….” (Q.S Ali Imran : 14)

Kamu seorang laki-laki? Jika iya. Kejarlah wanitamu semampumu sampai kamu

tak bisa mengejarnya lagi. Karena wanita akan memilih orang yang

memperjuangkannya. Jika kamu masih belum mendapatkannya. Itu berarti

perjuanganmu masih kalah.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 12.30. Setengah jam lagi, biasanya dia datang

kesini. Membawakanku sekotak nasi timbel dengan lalapan dan sambal serta lauk yang

bergonta-ganti setiap harinya. Kini aku selalu menunggu kedatangannya setiap hari

disini, ditempat kerjaku yang awalnya terasa membosankan karena selalu bertemu

dengan hal yang sama setiap harinya. Alat-alat perkakas, mesin las, alat pompa ban,

kompresor, serta para pekerja yang ber-make up-kan oli di wajahnya.

Setelah sekian lama, akhirnya aku bertemu dengan seseorang yang mampu

membuat hidupku lebih bergairah dari rasa yang telah pudar. Seorang wanita manis

berlesung pipit, dengan mata bulat layaknya artis boliwood yang ketika melirik

membuat jiwa terasa menari-nari.

Tangan kiriku memainkan sebuah kotak kecil berwarna merah. Membuka tutup

kotak itu sambil membayangkan betapa bahagianya nanti saat hadiah kecil ini

kuberikan untuknya. Cincin putih bertuliskan kata love pasti akan sangat cocok bila

dikenakan di jemarinya yang manis. Terburu-burukah? Ah mungkin tidak. Tak ada

alasan untuk menunggu lebih lama saat semuanya terasa pas.

95 | G h a l i y a S i r i d h a
Terik mentari tak mampu menggersangkan hatiku yang telah teduh. Damai

tentram selalu kurasa tiap kali menunggu wanita itu. Secangkir kopi hitam menemaniku

dalam penantian. Aromanya membawaku terbang pada kenangan 6 bulan yang lalu,

saat pertama kali aku bertemu wanita itu.

“Ini pesanannya pak. 1 paket nasi timbel plus ayam kremes untuk lauknya hari

ini”. Wanita itu tiba-tiba memberiku sekotak nasi timbel lengkap dengan lalapan dan

sambal tepat pada jam makan siang tiba.

Aku mengernyitkan dahi. Merasa tak memesan makanan hari itu. “Buat saya?”.

“Iya, Bapak Damar kan?”. Ia mengeluarkan sebuah catatan, kemudian memberiku

struk pesanan. “Tadi udah di transfer kan ya? Terimakasih pak, semoga puas dengan

pelayanan kami”.

“Iya, tapi…”.

Belum sempat kata-kataku selesai wanita itu bergegas pergi hendak mengantar

pesanan yang lain.

Ah sudahlah.. Lumayan makan siang gratis.

Rasa lapar yang terlanjur membuat perutku berdangdut ria lebih memilih untuk

menepis logika.

Keringat mulai mengucur dari seluruh penjuru wajah. Beberapa kali aku

mengusapnya dengan tisu. Namun harum masakan khas dari nasi yang dibalut oleh

daun pisang serta padanan rasa antara nasi, sambal dan lalapan yang mampu

menggoyang lidah membuatku tak bisa berhenti untuk melahapnya lagi dan lagi. Dalam

waktu sekejap semuanya habis tak tersisa.

Wah mantap nih

96 | G h a l i y a S i r i d h a
Ku lihat di kardus yang membungkusnya tertulis nama “Nasi Timbel Ujang”

dengan alamat dan nomor handphone yang tertera di bawahnya. Segera ku telepon

nomor itu namun tidak aktif.

Setelah pulang kerja, aku menyempatkan diri untuk mampir di rumah makan

nasi timbel bercita rasa khas itu. Aku penasaran dengan tempatnya. Jaga-jaga suatu saat

nanti aku akan mengajak keluarga atau kerabat untuk makan disana.

Mobil Xenia berwarna hijau membawaku menyusuri jalanan ibukota di sore hari.

Tak lupa Google map menemani perjalananku mencari rumah makan tersebut. Terlihat

di dalam map jarak dari kantorku ke rumah makan tersebut tidak terlalu jauh, hanya

berjarak sekitar 4 km.

Aku bersenandung. Entah sudah berapa lagu. Jari-jariku ikut mengetuk-

ngetukkan irama di setir mobil mengalihkan rasa bosan.

Sudah setengah jam laju mobil terhenti terjebak macet. Lelah. Selalu begini, tak

ada perubahan. Setiap pulang kerja tak pernah merasakan jalanan lenggang. Perjalanan

yang seharusnya ditempuh dalam waktu 30 menit bisa molor menjadi 5 kali lipat.

Dua jam berlalu, akhirnya aku tiba di persimpangan menuju sebuah gang kecil

yang hanya bisa dilalui oleh satu mobil. Aku memandang sekitar. Kurasa Ini bukan

tempat yang strategis untuk berbisnis kuliner. Aku melirik google map, arahnya tak ada

yang salah. Hanya berjarak beberapa meter lagi aku akan sampai di tujuan.

Praaaank!!!

Terdengar suara benda berbahan besi jatuh. Bukan, lebih tepatnya dilempar

keras. Terlihat dibalik kaca mobil seorang pria tua sedang memarahi wanita muda yang

tertunduk takut.

Ku lihat spanduk di arah depan. Ternyata aku telah sampai di tempat tujuan. Aku

memarkirkan mobil. Menyelidik ke arah suara. Rasanya aku mengenal wanita itu.

97 | G h a l i y a S i r i d h a
Wanita yang tadi siang mengantar makanan ke kantorku. Kini ku lihat wanita itu sedang

terisak-isak sambil terus menerus mengucap kata maaf.

“Makanya teliti! Sudah sering dikasih tau kok gak ngerti-ngerti! Tempat ini udah

mau bangkrut! Sekarang kamu tambahi dengan kesalahan-kesalahanmu itu!”

Aku membuka pintu mobil. Ku lihat bangunan di arah depan. Tempatnya kecil

namun bersih. Banyak hiasan dinding terpajang dengan rapih. Satu hal yang mebuatku

aneh. Rumah makan itu terlihat sepi. Hanya ada seorang bapak tua dan dua orang

karyawan yang salah satunya ku kenal wajahnya. Padahal makanan yang dihasilkan

begitu lezat. Mendengar selintas bapak tua tadi, mungkin memang rumah makan ini

sedang diambang kebangkrutan.

Aku duduk di kursi depan. Melihatku datang, si pria tua yang ku yakini sebagai

pemiliknya akhirnya diam. Memberi isyarat kepada sang wanita untuk datang

melayaniku. Wanita itu menghapus jejak tangisnya. Ia segera berjalan menghampiri

dengan sedikit berlari sambil membawa menu makanan.

“Mau pesan apa pak?”. Ia tertunduk. Mungkin malu jika terlihat matanya sembab.

“Mbak masih ingat saya?”. Aku mengalihkan pembicaraan.

Ia mengangkat wajahnya. Telunjuknya terangkat mengarah ke badanku.

“Loh? Bapak yang tadi saya antar makan siang ya?” tanyanya meyakinkan.

“Iya mbak. Saya Damar”.

“Aduh maaf pak tadi siang saya salah kirim alamat. Kenapa bapak gak bilang?

Saya jadi kena marah sama atasan saya”. Gadis itu menggerutu kesal.

Aku merasa sedikit bersalah. Aku kira makanan itu hadiah dari seseorang

untukku. “Maaf.. tapi tadi saya mau jelasin eh mbaknya keburu pergi”.

“Iya saya yang salah. Kenapa namanya kebetulan sama lagi. Harusnya saya

mengantar ke jalan blok G bukan B”. Dia mendengus. Memukul kepalanya keras.

98 | G h a l i y a S i r i d h a
Dari balik dapur, terlihat bapak tua itu mengamati. Aku beranjak dari kursi.

“Bentar ya mbak. Saya bantu luruskan ke atasannya”.

Aku pergi meninggalkan wanita itu. Berjalan menuju si bapak tua sambil meraih

dompet dari dalam saku celana.

“Selamat malam pak. Saya Damar. Ini kartu nama saya”. Aku mengeluarkan kartu

namaku. Memberikannya pada si bapak tua. Matanya menilik ke arah kartu nama.

Tertulis kepala bengkel disana. Dia mengangguk-anggukan kepalanya.

“Maaf pak tadi siang pegawai bapak yang wanita itu salah mengirim makanan ke

saya. Tapi saya juga salah pak karena maen ambil aja”. Bapak tua itu melirikku.

Wajahnya mengerut. Sebelum ia membuka suara aku langsung menimpali.

“Mmm.. tapi makanan disini enak sekali pak. Saya mau langganan layanan pesan

antar setiap hari bisa? Sekalian nanti saya bantu promosi gratis. Sayang makanan

selezat ini kalau banyak yang nggak tahu”. Entah mengapa tiba-tiba mulutku berucap

begitu. Mungkin karena iba.

Bapak tua itu meneteskan air mata. Air wajahnya memancarkan haru bahagia.

Aku melirik ke arah sang wanita. Memberi isyarat dengan menyatukan jari telunjuk dan

jempolku membentuk tanda OK. Wanita itu menatap haru. Sesungging senyum

meluncur dari bibirnya yang mungil. Hatiku mendesir. Cantik.

Sejak saat itu kami sering bertemu. Setiap hari ia selalu mengantar pesanan ke

ruang kerjaku. Satu per satu karyawan yang berjumlah sekitar 20 orang di kantor pun

mulai ikut memesan bergantian. Setiap harinya ada sekitar 10 - 15 bungkus paket nasi

timbel yang dkirim ke kantor. Lumayan. Belum lagi jika ada acara-acara kantor. Rumah

makan nasi timbel ujang sudah menjadi langganan menemani keceriaan.

Bosan? Tentu saja tidak. Rumah makan tersebut cukup cerdas untuk menggonta-

ganti menu pendampingnya. Menunya fleksibel, bisa dipesan sesuai dengan permintaan.

99 | G h a l i y a S i r i d h a
Satu hal yang pasti, bertemu dengannya adalah suatu alasan yang tak pernah

membuatku bosan.

Aku sangat tertarik pada wanita itu. Dia bukan tipe wanita gampangan untuk

sekedar di ajak jalan. Sudah berulang kali aku ditolak ketika mengajaknya berkencan.

Aku harus memutar otak mencari banyak alasan agar bisa jalan berdua. Hingga

akhirnya ku temukan sebuah cara.

“Bisa antar ke kantor gojek selesai mengantar pesanan?”. Pintaku pada wanita

itu di sabtu siang ketika ia sedang mengantar pesanan ke kantor.

“Maaf pak…”. Belum selesai ia berucap aku langsung memotongnya, karena ku

tahu setelah kata maaf biasanya diikuti dengan kalimat penolakan.

“Ini permintaan bos kamu buat daftarin rumah makannya ke go-food. Tadi saya

daftar online tapi gagal terus. Gak tau salahnya dimana. Mungkin lebih baik langsung

datang kesana, dan sebenernya kalau kesana langsung harus pemilik usahanya yang

datang, tapi berhubung bos kamu bilang gak bisa jadi katanya ajak kamu aja”.

Untungnya sejak SD nilai mengarangku selalu mendapat nilai 9. Jadi tak sulit

bagiku untuk mengarang sebuah cerita. Pada kenyataannya aku hanya menyarankan

mendaftarkan rumah makannya ke go-food, dan bosnya hanya bilang boleh serta

ucapan terimakasih tanpa ada drama obrolan panjang lebar seperti itu.

Wanita itu menggigit jari telunjuknya. Bola matanya melirik ke atas. Inilah

pertama kalinya ajakanku terlihat sulit untuk ia tolak. Terbukti dari jeda waktu antara

pertanyaan dan jawaban yang hendak ia berikan cukup lama. Padahal biasanya ketika

aku mengajaknya pergi hanya butuh sepersekian detik ia langsung berkata maaf dan bla

bla bla dengan semua alasan penolakannya. Aku harap-harap cemas mendengar

jawaban apa yang akan ia katakan.

100 | G h a l i y a S i r i d h a
Dia mulai menghela napas panjang. Aku menyipitkan kedua mataku dengan satu

mata yang mengintip deg degan.

“Oke”. Jawaban wanita itu singkat.

Tiga huruf yang ia ucapkan mampu membuatku seperti berada di adegan sebuah

film pelari maraton yang ketika ia berlari detak jantungnya terdengar jelas di

telinganya, napasnya saling memburu dan ketika detik detik ia akan mencapai garis

finish temponya menjadi slow motion, membuat jantung penontonnya ikut terpacu. Dan

saat ia berhasil mencapai garis finish di urutan pertama, ada backsound yang mengiringi

kemenangannya. Semua orang mengangkat tangan sambil bersorak. Yeaaaayyyy!!!!

Darisanalah aku tahu bahwa ia tak mungkin menolak jika urusan pekerjaan

menjadi alasannya. Keberhasilan yang pertama membuka jalan menuju keberhasilan-

keberhasilan berikutnya. Seiring dengan berjalannya waktu hatiku semakin yakin

bahwa dialah wanita yang ku cari selama ini.

Secangkir kopiku berhenti mengeluarkan asapnya. Aromanya tak tercium lagi.

Kenangan itu sedikit demi sedikit sirna bersama asap yang memudar. Aku melirik alroji.

Pukul 13.00. Sudah setengah jam aku menunggu.

Tuk tuk tuk..

Pintu ruang kerjaku hendak terbuka. Akhirnya momen yang paling ditunggu-

tunggu pun tiba. Baru saja aku melihat bayangnya yang menerobos masuk melalui celah

pintu membuat tubuhku gusar tak karuan. Aku merapikan pakaian. Segera ku masukan

kotak kecil berwarna merah itu ke dalam laci.

“Ehem.. masuk aja”. Wajahku kupalingkan ke arah kertas di atas meja. Pura-pura

bekerja. Padahal kertas yang ku lihat hanyalah kertas absen karyawan.

Seseorang masuk mengucap salam. Detak jantungku semakin tak bisa ku

kendalikan.

101 | G h a l i y a S i r i d h a
“Ini pesanannya pak. 1 paket nasi timbel plus bebek goreng untuk lauknya hari

ini”. Sekotak nasi disimpannya di atas meja.

Detak jantungku seolah terhenti oleh suara asing. Ini bukan dia. Segera ku

menatap wajah orang yang mengantar pesanan. Beda. Wajah itu bukan wajah wanita

yang ku tunggu.

“Kemana mbak Dila yang biasa mengantar pesanan?”. Tanyaku pada seorang

wanita asing didepanku.

“Oh.. udah resign pak. Balik ke kampungnya”.

“Emang kenapa?”. Tanyaku penasaran.

“Aduh maaf saya kurang tau pak. Saya karyawan baru. Maaf ya pak saya buru-

buru harus mengantar lagi pesanan”. Dia pun bergegas pergi meninggalkanku yang

mematung dengan sejuta pertanyaan.

Aku duduk menyandarkan diri ke kursi. Menatap lekat sekotak nasi timbel yang

terparkir diatas meja. Pikiranku tak berhenti bertanya. Apa yang terjadi? Kemana dia

pergi? Kapan dia memutuskan untuk resign? Kenapa dia tidak memberi kabar?

Hanya satu pertanyaan yang dapat ku jawab. “Bagaimana aku menghubunginya”.

Ku raih ponsel di dalam kantong baju. Mencari kontak bernama Dila. Sesaat setelah

dapat aku langsung menelponnya.

Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif.

Aaarrgghhhh!!!

Ku matikan telepon. Mendengus keras sambil memukul meja. Aku tak kehabisan

akal. Segera ku telepon rumah makan tempat dia bekerja. Berharap mendapatkan

informasi darisana.

“Selamat siang. Dengan rumah makan nasi timbel ujang disini. Ada yang bisa

kami bantu?”. Terdengar seseorang mengangkat telapon disana dengan profesional.

102 | G h a l i y a S i r i d h a
Akhirnya setelah beberapa bulan kini teleponnya sudah aktif kembali. Ku dengar

memang rumah makan itu mulai bangkit perlahan. Karyawan sudah bertambah menjadi

10 orang. Kini mereka sangat sibuk mengurusi pesanan yang banyak datang memesan

dengan sistem delivery. Promosi dari mulut ke mulut serta melalui media sosial ternyata

cukup efektif menjadikan sebuah usaha kian maju.

Aku cukup giat membantu mereka untuk promosi. Mulai dari memanas-manasi

rekan kerja, keluarga, mengeposnya di media sosial serta mendaftarkan makanan

mereka melalui go-food. Tak heran jika kini aku mendapatkan free sebungkus nasi

setiap hari, dan berbagai potongan harga jika sedang mengadakan sebuah acara baik di

kantor maupun acara keluarga.

“Saya damar mbak. Saya cuma mau nanya kalau mbak Dila kabarnya resign ya?

Kalau boleh tau kenapa ya?”. Aku tak mau berbasa-basi. Takut mengganggu aktivitas

mereka yang pasti sibuk menyiapkan pesanan.

“Oh pak damar. Iya pak, dia balik kampung. Katanya minggu depan dia nikah”.

Hatiku tersengat perih. Bak disengat ribuan lebah. Aku tak pernah menyangka

wanita itu ternyata sudah memiliki kekasih. Bodohnya aku yang tak pernah bertanya

akan hal itu. Perasaan sungkan untuk bertanya masalah pribadi kepada dia yang

memang tertutup membuatku akhirnya memilih diam. Aku terlalu sibuk hanyut dalam

perasaan cinta yang menyelimuti tanpa tahu apa-apa. Dan akhirnya kami hanya

menjalani sebuah pertemuan tanpa kisah apa-apa.

***

103 | G h a l i y a S i r i d h a
Jika jodoh itu seperti membeli sepatu. Maka kamu akan

dipertemukan dengan sepatu yang harganya sesuai dengan uang yang

kamu miliki. Jika dia tak bisa dimiliki, itu artinya uangmu belum sesuai

dengan harga sepatu yang diinginkan.

Uang disini adalah ilmu, kepribadian dan ketaatan.

Maka sebelum menikah harus banyak mencari ilmu tentang

pernikahan, tentang psikologi gender, dsb, agar hidupmu bahagia karena

bisa saling memahami satu sama lain. Tak boleh menutup diri untuk
₰- Sihir Cinta
perbaikan diri, dan dekati sang pemilih hati.
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang
Jika kamu ingin jodoh yang baik, maka harus bergaul dengan
sebenar-benarnya) dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan”.
orang-orang baik. Karena orang baik hanya ada diantara orang-orang
(Q.S Al-Anbiya : 35)
baik, dan orang baik hanya akan memilih orang-orang yang baik pula.

Cinta memang memiliki kekuatan magis terhadap seseorang yang terkena

sihirnya. Karena cinta mampu menguatkan sekaligus juga dapat melemahkan. Padahal

cinta itu tak berbentuk, cinta pun tak terlihat. Namun karena cintalah yang membuat

kehidupan dibumi ini menjadi ada. Ya.. karena cintaNya lah kehidupan ini tercipta.

Kisah yang akan aku ceritakan ini adalah sebuah kisah tentang kehidupan

seseorang yang benar-benar terjerat dalam efek magis dari sihir cinta. Dimana ia harus

berjuang sekuat tenaga agar sihirnya tak melemahkannya, justru sebaliknya.. ia harus

mencari cara bagaimana agar cinta ini dapat membawanya pada keagungan cinta yang

sesungguhnya. Semoga, jika hari ini kau masih terjerat sihir cinta yang melemahkanmu,

maka bukalah hatimu agar mendapat kekuatan dari cinta yang baru.

104 | G h a l i y a S i r i d h a
***

Jika bisa ku memutar waktu, maka aku ingin berada pada masa itu. Menjadi

wanita yang mampu berpikir dengan logika bukan dengan rasa!!!

Jiwanya mengembara entah kemana, terpisah dari jasad yang mematung sejak 1

minggu yang lalu. Matanya terlihat sembab. Tak henti-hentinya air mata mengalir

dikedua pipinya. Kini Dawiya hanya bisa duduk termenung di balik jendela kamarnya,

memikirkan kebodohannya selama ini.

Sudah seminggu, tak sesuap nasipun masuk memberi energi. Hanya air putih

yang masuk ke dalam tubuhnya yang lesu. Ia terlihat lebih kurus, wajahnya muram tak

bergairah. Hari-harinya hanya diisi dengan penyesalan.

Seringkali orangtua Dawiya tampak cemas memikirkan kondisi anak keduanya

tersebut, tak jarang mereka mencoba menghibur Dawiya dengan mengajaknya liburan,

tapi Dawiya menolak.

“Mau sampe kapan kakak begini?” Tanya ummi di suatu pagi.

Kakak merupakan panggilannya di rumah untuk adik bungsunya. Ummi Dawiya

adalah seorang guru Madrasah Ibtidaiyah, beliau orang yang tegas dan berhati lembut.

Meski terkadang terlihat sedikit keras, namun beliau mudah tersentuh dan penyayang.

Beliau selalu berusaha hadir menjadi pelindung bagi ke 3 anaknya di tengah

kesibukannya menjadi seorang guru yang bukan hanya sibuk mengurusi siswanya tapi

juga sibuk memenuhi tugas administrasi yang juga sering dikerjakan di rumah.

“Udah.. nggak usah lagi disesali. Ikhlaskan dan yakini bahwa Allah akan

memberikan pengganti yang lebih baik untuk kakak”. Saran ummi melanjutkan.

Dawiya hanya tertunduk malu, karena ia merasa selama ini ia hanya bisa

merepotkan orangtuanya.

105 | G h a l i y a S i r i d h a
“Maafin kakak ummi”. Tangis Dawiya pun pecah. Ummi pun memeluk Dawiya

dengan penuh kasih sayang sambil mengusap lembut kepalanya, serta membesarkan

hati putrinya tersebut atas kejadian yang baru saja ia alami.

“Tenang.. semuanya baik-baik saja”.

***

“Assalamualaikum..”

Suara salam terdengar samar dari balik pintu rumah, menyelinap masuk ke celah

pintu dan jendela kamar Dawiya. Tak ada siapa-siapa di rumah. Ummi, abi serta adik

Dawiya sudah berangkat dengan rutinitas masing-masing dari jam 7 pagi. Sedangkan

kakak laki-lakinya sejak 2 tahun lalu sudah tinggal terpisah bersama istri dan anaknya.

Hanya Dawiya yang masih berselimut di kamar dengan earphone yang terpasang

ditelinga.

“Assalamualaikum.. kakaak”.

Untuk kedua kalinya salam itu terdengar dan terkesan menuntut dengan

ketukan pintu. Kini suara itu memanggil namanya seolah ia tahu bahwa yang ada di

dalam rumah itu adalah Dawiya.

Dawiya mengangkat sebelah alisnya. Meraba-raba suara yang samar terdengar

seperti ketukan pintu. Mengecilkan volume musik yang sedang didengarkan.

“Assalamualaikum.. kakaak ada di dalem kan???”.

Suaranya terdengar semakin jelas. Sepertinya Dawiya mengenali suara yang

memanggil namanya itu. Dawiya memilih untuk menutup telinganya.

Ah pasti si kang Herman

Kang Herman adalah seorang perantau asal Karawang yang menjadi staf Tata

Usaha di sekolah tempat umminya mengajar di Madrasah Ibtidaiyah Negeri di Jakarta.

Ia sudah dianggap menjadi bagian dari keluarga Dawiya.

106 | G h a l i y a S i r i d h a
Awalnya kang Herman adalah seorang pedagang siomay yang menjadi langganan

umminya di sekolah. Hampir setiap hari ummi membeli siomaynya ketika jam istirahat

tiba. Ummi kagum terhadap sosok pemuda pekerja keras seperti kang Herman, terlebih

setelah tahu bahwa ia pun masih bersemangat kuliah di sela-sela waktu berdagangnya

dengan mengambil kelas karyawan.

Ummi Dawiya akhirnya tergerak untuk mengajukkan kang Herman kepada

kepala sekolah agar menjadikannya seorang staf di sekolah. Akhirnya kepala sekolah

pun menyetujuinya. Bahkan kang Herman difasilitasi kamar kecil di sudut sekolah agar

mudah dihubungi kapanpun jika dibutuhkan untuk kepentingan sekolah.

Tak jarang berbagai keperluan hidup sering ummi belikan untuk kang Herman.

Hal itu sudah terjadi sejak Dawiya masih menimba ilmu S1 di pulau Madura sambil

pesantren. Ummi sering berkata bahwa ia berbuat baik kepada kang Herman karena

ummi selalu teringat Dawiya yang juga sedang merantau di kota orang, dan ia hanya

berharap bahwa apapun kebaikan yang ia lakukan dapat juga dirasakan oleh anaknya di

seberang sana.

“Assalamualaikum.. kakaaak masih tidur kah?”

“Aaaarrghh!!!”

Dawiya pun beranjak dari kasurnya. Wajahnya kusut. Ia hentakkan kakinya saat

menginjak lantai. Ia ambil kerudung dibalik pintu sambil mendengus kencang. Alih-alih

Dawiya berniat pura-pura sedang tidak ada di rumah, namun ketukan pintu dan suara

yang semakin terdengar nyaring membuatnya malu dan takut terdengar tetangga.

“Apa sih kang? Berisik!!! Ganggu orang aja!”

Wajahnya merengut dengan mulut yang terlihat manyun. Ia bukakan daun pintu

hanya selebar bahu. Terlihat tangannya masih memegang gagang pintu, seperti tak rela

menerima tamu.

107 | G h a l i y a S i r i d h a
“Eh si kakak mah tong cemberut wae atuh bisi luntur geulisna coba”. Canda kang

Herman dengan melemparkan senyuman.

Nada ketus yang terlontar dari mulut Dawiya sudah dianggap biasa oleh pria

yang usianya 7 tahun lebih tua dari dirinya itu. Dawiya bisa jadi satu-satunya orang di

keluarganya yang selalu bersikap cuek dan ketus kepada kang Herman, seolah tak

pernah menerima kang Herman sebagai bagian dari kelurganya. Mungkin karena

selama ini sudah lama ia tidak tinggal di rumahnya sehingga tidak begitu akrab dengan

kang Herman, atau bisa juga karena merasa jelous dengan sikap perhatian keluarganya

kepada kang Herman yang baginya bukan siapa-siapa.

Dawiya yang ketika SMA pernah bersekolah di Sukabumi pun faham jika kang

Herman berbicara Bahasa sunda, meski kadang ia menimpalinya hanya bisa dengan

Bahasa sunda yang kasar.

“Teuing ah. Rek naon kang?”.

“Kebiasaan si kakak mah kalau pake Bahasa sunda suka kasar. Bade naon kitu

neng geulis!”

“Nya bade naon?!”. Meski halus, nadanya masih terdengar tinggi.

Bukannya marah, kang Herman justru tertawa kecil mendengar celotehan

Bahasa sunda yang diucapkan oleh orang Jakarta yang terdengar sedikit aneh baginya.

Dawiya semakin kesal dibuatnya dan hampir menutup pintu, namun kang Herman

mampu menahannya.

“Eh iya maaf atuh kak, nih akang bawain makanan disuruh ummi. Sekalian mau

ngambil komputer di rumah yang katanya rusak, mau coba dibenerin di sekolah”.

Dawiya pun mengambil bungkusan makanan yang dibawakan kang Herman. Ia

intip bungkusan makanan yang dimasukkan dalam keresek merah itu.

108 | G h a l i y a S i r i d h a
“Oh roti bakar.. ambil aja tuh sendiri komputernya!”. Kini ia bukakan pintu

seluruhnya, sambil menunjuk komputer yang dimaksud.

“Kok nggak bilang makasih?”. Tanya kang Herman dengan nada lembut.

“Ya nuhun!”. Sebenarnya bukan karena Dawiya lupa hingga harus diingatkan.

Tapi mulutnya mengatup karena gengsi.

“Nah gitu doong..”.

Sesaat setelah kang Herman membawa komputer dan hendak pergi. Langkah

kang Herman terhenti dan menoleh ke arah Dawiya.

“Kakak cantiknya ilang kalau murung terus, rugi banget nangisin orang yang

udah jelas-jelas nyakitin kita dan udah nggak peduli lagi sama kita. Mending air

matanya disimpen buat shalat malam sebagai tanda merajuk ke Allah buat ngasih

pengganti yang lebih baik”. Seketika kang Herman pun tersenyum sambil mengucapkan

salam.

Dawiya yang langsung tertegun dan merasa seperti tertampar keras hatinya oleh

ucapan kang Herman, merasa malu kepada Allah atas dirinya yang selama ini sudah

bersikap lemah. Segera ia pun mengucapkan istighfar seraya terus memohon kekuatan

kepada Allah.

***

Dawiya rebahkan tubuhnya di kursi ruang tamu. Menatap langit-langit dengan

tatapan kosong, sambil menikmati roti bakar yang dibawakan kang Herman. Tiba-tiba ia

teringat kejadian beberapa minggu lalu. Dawiya sering membawakan bungkusan nasi

kepada seorang duda beranak satu yang saat itu menjadi kekasihnya. Nasi bungkus dari

hasil mengendap-ngendap yang ia ambil dari rumahnya sendiri itu selalu ia

sembunyikan layaknya maling karena tak mau keluarganya tahu.

109 | G h a l i y a S i r i d h a
Mas Ridwan, panggilan Dawiya kepada sang kekasih yang dulu merupakan

gurunya ketika di pesantren Madura itu ikut merantau ke Jakarta tepat 2 minggu

setelah kelulusan Dawiya. Mereka yang menjalin kasih sejak Dawiya masih kuliah

semester 7 itu merasa hubungannya kini tak usah sembunyi-sembunyi lagi karena

aturan pesantren yang begitu ketat seperti dulu.

Namun angan kadang tak seindah kenyataan. Kehidupan sang duda yang

merantau ke Jakarta justru hanya menjadi parasit bagi Dawiya yang juga belum bekerja

saat itu. Dawiya bahkan rela menjual handphone pemberian orangtuanya hingga

mencari pinjaman kesana-kemari demi membantu kehidupan sang kekasih selama di

Jakarta.

“InsyaAllah nanti mas ganti ya. Maaf mas ngerepotin kamu terus”. Kata-katanya

yang lembut membuat Dawiya tersihir agar terus merasa iba.

“Iya nggak apa-apa. Kapan mas mau main ke rumah? Biar keluarga aku kenal

sama mas”. Ajak Dawiya dengan wajah penuh pengharapan.

“Nanti ya. Mas malu belum punya pekerjaan yang bisa dibanggakan”.

Dawiya menunduk lesu, jawabannya selalu membuat Dawiya gemas ingin

berkata. Nggak usah malu, yang penting kenal dulu!

Namun Dawiya tak bisa mengungkapkannya. Ia hanya berpikir mungkin

memang belum waktunya.

“Rahasiain dulu aja hubungan kita ini ya. InsyAllah nanti mas datang langsung

bawa mahar”.

Mata Dawiya selalu berbinar saat sang kekasih menyebut kata mahar ataupun

yang berhubungan dengan pernikahan diucapkan. Mungkin itulah alasan mengapa

Dawiya rela berkorban untuknya. Ada angan indah yang selalu disuguhkan di depan

110 | G h a l i y a S i r i d h a
mata. Tanpa sadar bahwa semua hanyalah ilusi. Ya terkadang hal itu menjadi salah satu

bentuk kelemahan wanita. Mudah diberi rayuan.

Sihir cinta dari sang kekasih mampu membuat Dawiya kehilangan akal sehatnya.

Dawiya sampai pernah meminjam KTP kakaknya untuk mengambil kredit motor demi

sang kekasih yang katanya baru diterima kerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta

yang jaraknya cukup jauh dari kontrakannya.

Sang kekasih berjanji untuk melakukan angsuran per bulannya. Namun belum

genap 1 bulan, laki-laki itu malah kabur membawa motor atas nama kakak Dawiya.

Sehingga kakak Dawiyalah yang menjadi sasaran penagihan hutang dari pihak bank.

Setelah diselidiki ternyata selama ini laki-laki yang ia cintai tersebut juga

merupakan seorang buronan polisi Madura yang memiliki segudang catatan kasus

penipuan.

Betapa hancur dan malunya Dawiya kepada keluarganya, ia merasa menjadi

wanita terbodoh yang tersihir cinta oleh seorang parasit.

Astaghfirullah..

Dawiya mengelus dadanya saat kenangan pahit itu muncul dalam ingatannya.

Dawiya pun bangkit dari kursi dan kini ia kepalkan tangannya serta menepukkannya ke

dada seraya berucap..

Bismillah.. Laa haula walaa kuwwata illa billahil’aliyyil’adzim..

***

“Kakak gimana kalau kakak nikah aja sama kang Herman?” Kata-kata ummi

membuat Dawiya tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

Kang Herman yang saat itu sedang menikmati makan malam bersama dengan

keluarga Dawiya pun langsung tersedak makanan yang baru saja sampai ke

tenggorokan.

111 | G h a l i y a S i r i d h a
“Santai santai”. Ummi Dawiya tertawa dan segera memberikan segelas air

kepada kang Herman.

Mendengar pertanyaan ummi. Dawiya diam sejenak. Dilihatnya kang Herman

tertunduk malu dengan wajah harap-harap cemas atas jawaban Dawiya terhadap

pertanyaan umminya.

Sudah 6 bulan berlalu sejak kejadian menyesakkan itu. Dawiya mulai menjalani

hari-harinya dengan penuh semangat. Ia mulai menata ulang masa depannya kembali,

membuka lembaran baru, serta meyakini bahwa Allah telah menyiapkan kejutan

terindah di balik masalahnya. Kini ia bekerja disebuah kantor kecamatan Jakarta Barat.

Support keluarga menjadi bagian terpenting dalam hidupnya, dan ia sangat mensyukuri

itu.

Entah sejak kapan, Dawiya kini terasa semakin akrab dengan kang Herman.

Padahal dulu kehadiran kang Herman seolah tak ia sadari.

Berawal dari kedua orangtuanya yang sering menyuruh kang Herman untuk

menemani Dawiya saat hendak pergi. Awalnya Dawiya menolak, namun sejak kejadian

yang dialami Dawiya, orangtuanya selalu merasa khawatir dan tak mau sesuatu yang

tak diinginkan terjadi pada Dawiya. Dengan perasaan sedikit terpaksa akhirnya Dawiya

pun setuju.

Seiring dengan berjalannya waktu. Saat di perjalanan, Dawiya dan kang Herman

akhirnya sering bertukar cerita satu sama lain. Darisanalah Dawiya mulai mengenal

sosok kang Herman lebih dalam, membuatnya mengerti mengapa keluarganya sangat

menyayangi kang Herman.

Ummi Dawiya menangkap sinyal-sinyal cinta yang kuat dari mereka berdua,

akhirnya ummi meyakinkan keduanya untuk menjalin hubungan ke jenjang yang lebih

serius.

112 | G h a l i y a S i r i d h a
Seisi ruangan menjadi hening. Detak jarum jam terdengar lebih nyaring. Dawiya

terlihat berpikir. Gigi atasnya menggigit bibir bagian bawah. Mata Dawiya mengarah ke

ummi dan abinya. Terlihat dikedua wajah itu tersimpan harapan.

“InsyaAllah ummi, kalau ummi dan abi ridhonya seperti itu”. Senyum Dawiya

mengembang.

Kang Herman yang duduk tepat dihadapan Dawiya langsung menatapnya

dengan penuh bahagia, ia pun melemparkan senyuman cinta untuk Dawiya.

***

113 | G h a l i y a S i r i d h a
Seringkali wanita merasa dirinya selalu dipertemukan dengan laki-

laki yang tidak baik. Sebenarnya alasannya hanya satu, karena wanita

terlalu mudah percaya dan terlalu mudah jatuh cinta. Sedangkan laki-laki

yang baik biasanya adalah laki-laki yang tidak cepat mengumbar

perasaannya. Karena ia tahu bahwa ia harus bertanggung jawab terhadap


₰- Pilihan
perasaannya, dan tidak mau menyakiti wanitanya.
“Sesama mukmin adalah bersaudara, maka baginya tidak halal menawar barang

Dan
yang telah seringkali,
ditawar ketika
(dibeli) oleh wanita mengetahui
saudaranya, dan tidak halalkelakuan
meminangburuk dari
perempuang

kekasihnya
yang ia berusaha
telah dipinang menutup-nutupi
oleh saudaranya, kecuali biladan meyakinkan
saudaranya diri bahwa
telah membatalkan

setelah menikah ia akan berubah. Tapi pada kenyataannya tak semudah


pinangan”

itu.. butuh usaha keras, dan hal


(HRituBukhori
akan sangat melelahkan.
& Muslim)

Bisa saja dia berubah.. tapi bagaimana jika perubahannya terjadi


Kata siapa wanita itu dipilih? Justru wanitalah yang memilih. Pada saat laki-laki
dalam 5 atau 10 tahun ke depan, sedangkan dirimu dan anak-anakmu
datang, hakikatnya mereka justru sebagai kandidat pilihan.
sudah babak belur karena tersakiti. Kamu dan anak-anakmu nanti butuh
Lalu seperti apakah kriteria pria yang akan dipilih oleh wanita sebagai imam
lingkungan yang sehat, agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang
masa depannya kelak? Hanya satu jawabannya, dan kau bisa mengetahuinya dalam
bahagia, yang sehat tanpa memiliki luka batin.
kisah ini.
Beruntung ketika sebelum menikah hatimu telah Allah patahkan.

Karena Allah ingin kualitas hidupmu dan anak-anakmu lebih baik di


***
kemudian hari.
Ku tatap diriku di sebuah cermin, dan ku amati seluruh bagian wajah dari mulai

ujung dahi hingga ujung dagu, lalu ke bagian perbatasan antara kedua telinga.

Sempurna.

Bola mataku bergulir, ku tolehkan wajah ke kanan dan ke kiri sambil

mengangkat-angkat kedua alis, centil, dengan arah penglihatan yang tetap tertuju pada

cermin. Tak ada yang dirasa mengganggu, semua bagian wajah ku anggap tak memiliki

masalah.

114 | G h a l i y a S i r i d h a
Ku arahkan pandangan pada kedua alis. Ku tatap lekat-lekat jarak antara kedua

alis yang cukup dekat. Aku tersenyum. Ingatanku berkelana pada jaman sekolah dulu,

pembahasan tentang jarak alis yang selalu menjadi topik unik untuk diperbincangkan.

“Dry, alis kamu deket. Pasti jodohnya juga orang deket”. Ucap Diah, temanku di

SMA..

“Mitos itu”.

“Mitos juga tapi seringnya bener”. Jelas Diah meyakinkan.

“Masa? Masa bodooo.. hahaha”. Aku terkekeh. Merasa mitos itu sangat konyol.

Entah sejak kapan jarak alis menjadi penentu jarak jodoh. Lucunya, kadang mitos

itu justru menjadi sebuah keyakinan bagi sebagian orang atas dugaan terhadap jodoh

orang lain.

Ku tatap lagi jarak kedua alis di cermin. Menatap dengan cermat setiap guratan

bulu hitam yang terlukis indah di wajah. Dalam hatiku bertanya. Mungkinkah jodohku

memang dekat?

Aahh nggak nggak

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Berkomat kamit sendiri. Hampir saja aku

meyakini mitos itu.

“Udah cantik, gak usah ngaca mulu. Yuk jalan lagi”. Suara itu mengejutkanku.

“Ah iya gung bentar”.

Aduh.. Aku mendesis sambil menepuk jidat.

Aku sedang berlibur bersama Agung, temanku. Sebenarnya kami tak berdua,

hanya saja yang lain sudah menunggu kami di alun-alun kota Sukabumi. Sedangkan aku

dan Agung harus menempuh perjalanan dari Bogor untuk bergabung bersama yang

lainnya.

115 | G h a l i y a S i r i d h a
Aku beranjak dari tempat duduk sambil menenteng ransel biru yang berisi

banyak makanan yang sudah aku persiapkan sebelumnya. Mengingat perjalanan Bogor

– Sukabumi yang cukup melelahkan. Belum lagi perjalanan selanjutnya menuju taman

wisata Geopark Ciletuh yang diperkirakan akan menghabiskan waktu sekitar 5 jam.

Butuh persiapan fisik dan logistik yang cukup untuk menjaga stamina selama di

perjalanan.

“Udah siap? Yuk naek! Yang lain udah nunggu katanya.” Ucap Agung sambil

menyodorkan helm.

Sejujurnya aku merasa tak enak hati karena harus pergi dengan Agung.

Sedangkan aku sadar bahwa aku telah memiliki kekasih. Tapi saat itu aku butuh

seseorang untuk diajak refreshing, dan kebetulan saat itu hanya Agung yang bisa

menemani.

“Dry, kamu masih sama cowok yang di Jepang itu?”. Tanya Agung tiba-tiba.

“Masih”. Jawabku singkat.

“Emang dia nggak marah kamu jalan sama aku?”

“Nggak, dia mah baik”.

Aku terpaksa berbohong. Benar kata Agung. Kekasihku yang sedang mengadu

nasib di negeri sakura itu pasti akan marah jika tahu aku sedang bersama laki-lak lain.

Tapi hubunganku dengannya sedang berada di ujung tanduk. Hubungan kami seperti

lilin kecil yang sebentar lagi padam. Aku lelah dan butuh refreshing.

Di sisi lain, aku tahu Agung menyukaiku. Tak mungkin ia akan rela capek-capek

menemani liburan jauh jika tak ada rasa apa-apa terhadapku. Ia tahu aku sudah

memiliki kekasih, namun entah mengapa ia seperti tak peduli. Mungkin bagi Agung

selama janur kuning belum melengkung maka ia masih punya banyak kesempatan

untuk terus berjuang.

116 | G h a l i y a S i r i d h a
***

Perjalananku dan Agung menuju taman wisata Geopark Ciletuh ternyata sudah

ditunggu oleh kawan-kawan MTMA Sukabumi. Semuanya berjumlah sekitar 5 motor

yang akan melakukan touring bersama.

Mataku menilik dari kejauhan, terlihat seseorang yang ku kenal berdiri di antara

perkumpulan kawan-kawan MTMA yang akan ikut melakukan touring.

“Kang Darusss!!!”. Teriakku pada sosok laki-laki berambut ikal dengan halis

tebal.

Aku yakin bahwa orang yang ku panggil namanya itu adalah kakak kelasku dulu

ketika di SMA.

“Eh Audry? Ikut touring juga?”

“Iya kang. Waah seneng banget ada yang kenal ternyata disini”.

“Muhun, alhamdulillah..”.

Kang Darus tetap sama, sopan dan santun. Aku jadi malu bersikap so asik

bertemu dengannya. Aku tersenyum sungkan.

Kang Darus menatap sekilas ke arah Agung. Ia melemparkan sedikit senyuman.

“Pacar?”. Tanyanya spontan. Membuatku ingin tertawa terbahak-bahak.

“Bukan kang, temen”. Jawabku mengklarifikasi.

“Ooh.. Hayu atuh takut keburu sore. Langsung lanjut ya perjalanannya!”. Seru

kang Darus padaku dan juga semua timnya.

Kang Darus adalah ketua touring kali ini. Aku tak menyangka, laki-laki pendiam

dan lembut seperti dia sungguh penuh kejutan. Ia bisa bersikap tegas dan terlihat

maskulin saat ia memimpin sesuatu.

Eh astaghfirullah.. Aku menampar pipiku pelan. Menyadarkan diri.

117 | G h a l i y a S i r i d h a
Semua bersiap dengan motor masing-masing. Ada sekitar 10 orang yang ikut,

dengan jumlah laki-laki dan perempuan yang hampir seimbang.

“Padahal bilang aja iya”. Ucap Agung tiba-tiba sambil pura-pura mengerucutkan

mulutnya.

“Iya apa?”

“Itu tadi aku pacar kamu”.

“Yeee!!!”. Aku memukul helm Agung dari belakang. Agung terkekeh.

***

Perjalaan yang begitu panjang dan melelahkan terbayar oleh pemandangan

berbagai air terjun yang menawan. Taman wisata Geopark – Ciletuh Sukabumi sebagai

destinasi wisata Sukabumi selain Pelabuhan Ratu dan Ujung Genteng yang telah lama

dikenal mampu menghadirkan pemandangan baru yang memanjakan mata para

traveler.

Subhanallah.. indah..

Aku asik ber-selfie ria di depan air terjun. Terlihat sedikit norak melihat

pemandangan yang sulit sekali ku dapatkan di daerah perkotaan. Anggota yang lain pun

terlihat berpencar dan sibuk dengan kamera masing-masing.

Ini baru namanya refreshing

Agung menyeriangai.

“Dry, aku istirahat dulu ya capek bawa motor”. Pinta Agung.

Ku lihat Agung meregangkan tubuhnya berkali-kali.

“Oh iya, tuh tiduran disana aja gung. Aku mau nikmatin pemandangan”. Aku

menunjuk sebuah batu besar yang teduh ditutupi pohon. Agung pun melenggang pergi

dengan jari membentuk tanda ok.

Terlihat didepanku, kang Darus sedang asik memotret pemandangan.

118 | G h a l i y a S i r i d h a
“Kang, mana pacarnya?”. Ku tepuk pundaknya perlahan.

Kang Darus menoleh. “Eh Audry, kaget. Pacar yang mana?”. Sebelah halisnya

terangkat.

“Yang tadi dibonceng, hehe”.

“Oh itu mah bukan pacar akang neng”. Kang Darus tersenyum. Senyumnya

membawa kedamaian.

Hmmm…

Aku duduk di batu pinggir sungai dan membuka tas yang penuh dengan

makanan. “Sekarang sibuk apa kang?”. Tanyaku sambil menawarkan makanan kepada

kang Darus.

“Ngajar di SDIT”. Kang Darus pun ikut duduk. Sesekali tangannya mengambil

cemilan yang ku tawarkan.

“Kamu gimana?”. Kang Darus bertanya balik sambil melemparkan batu kecil ke

arah sungai.

“Lagi nyusun skripsi kang”.

“Oh alhamdulillah, itu tadi temennya mana?”.

“Tuh lagi istirahat kang”.

Aku menunjuk Agung yang sedang duduk bersandar di bebatuan besar sambil

menutup wajahnya dengan sebelah tangan. Terlihat wajah lelah Agung yang harus

mengendarai motor sekitar 8 jam lamanya.

“Firasat akang temen kamu itu suka deh sama kamu”.

Aku tertawa. Dalam hati berkata, udah tau kelees.

“Kenapa nggak pacaran aja sama dia?”. Kali ini aku terkejut karena tak

menyangka kang Darus akan bertanya seperti itu.

119 | G h a l i y a S i r i d h a
“Nggak ah. Sekarang mah nyarinya bukan buat pacar. Tapi yang serius langsung

datang ke rumah”. Jawabku serius sambil tersenyum tipis.

Aku tahu Agung baik, aku pun sempat tertarik kepadanya. Tapi, selain

hubunganku dengan si pria di negeri sakura belum selesai, aku pun sudah tak mau

hanya berpacaran tak jelas. Lelah hati jika selalu berharap. Sudah cukup kenyang

dengan janji si pria di negeri sakura yang bilang akan segera melamar, tapi tak kunjung

datang meski ia sedang pulang liburan.

Usia yang semakin bertambah membuatku sadar, bahwa pacaran hanya

menghabiskan waktu, pikiran dan perasaan. Aku hanya sedang menunggu seseorang

yang benar-benar akan datang, meminta restu langsung pada kedua orangtuaku.

***

“Aku suka sama kamu”.

Setelah sekian lama akhirnya Agung menyatakan perasaannya melalui pesan

BBM.

Tanganku masih memegang handphone. Aku menggigit bibir. Tak tahu harus

menjawab apa.

“Kalau suka bilang aja sama orangtua”. Ku sisipkan emoji yang sedang

menjulurkan lidah.

Aku tak tau itu kode atau bukan. Yang pasti aku sudah tak mau berpacaran, dan

aku tak mau menyakiti Agung dengan penolakan.

“Tunggu aku sampai siap ya”. Ia menyisipkan emoji memelas. Aku malah tertawa.

Agung seangkatan denganku, dan aku mengerti karena ia masih kuliah dan

belum bekerja. Pasti belum siap untuk datang meminang langsung ke rumah.

“Siapa aja yang duluan yang direstui orangtua. Hehe ”. Aku tak bisa berjanji pada

siapa-siapa, takut jika janji itu tak bisa ku tepati. Tak lama kemudian pesan baru masuk

120 | G h a l i y a S i r i d h a
lagi di BBM.

“Nikah yuk”.

Pesan baru yang masuk membuat nafasku seolah terhenti. Detak jantungku

saling memburu. Tapi kali ini bukan dari Agung. Tertulis nama kang Darus yang

mengirim pesan.

Nikah? Bercanda ni orang.

Sejak pertemuannya saat touring dua bulan yang lalu, aku dan kang Darus jadi

cukup intens berkomunikasi melalui pesan BBM. Kami sering bertukar cerita. Kang

Darus yang cukup dewasa sangat asik diajak diskusi dan dimintai saran-sarannya. Kali

ini lagi-lagi kang Darus selalu memiliki sikap dan jalan pikiran yang tak bisa ditebak.

Aku tak membalas dan memilih menaruh handphone di atas kasur. Ku pikir dia

salah mengirim pesan. Tapi.. sesaat kemudian, ku lihat lagi handphone yang tergeletak

itu, dan membuka pesannya sekali lagi.

Ini maksudnya ke aku atau salah kirim ya? Aku harus jawab apa ya?

Jantungku berdebar. Aku menghela napas panjang, dan mengelus-elus dada.

Ah tau ah bingung!!!

Ku lemparkan lagi handphone ke atas kasur dan memilih untuk pergi keluar

kamar.

Sedikit waktu yang kau miliki


Luangkanlah untukku
Harap secepatnya datangi aku
S'kali ini ku mohon padamu
Ada yang ingin ku sampaikan..Sempatkanlah...

Suara dering telepon mengehentikan langkahku yang menuju keluar kamar. Nada

dering itu terdengar tak asing. Ah pasti dia.. Aku sengaja memasang nada dering telepon

121 | G h a l i y a S i r i d h a
lagu kecewa dari BCL untuk si dia yang masih berstastus sebagai kekasihku, meski

hubungan kami menggantung tak jelas.

“Assalamualaikum”. Sapaku dingin.

“Waalaikumussalam cantik.. lagi apa?”. Pertanyaan pertama yang selalu ditayakan

berulang selama kurang lebih 1 tahun pacaran. Klise..

“Lagi diem, ada apa?”. Aku menjawab ketus. Tak ada gombalan-gombalan yang

terlontar seperti dulu. Padahal saat cinta itu masih terasa hangat aku selalu menjawab

“Lagi mikirin kamu” dengan canda tawa bahagia.

“Masih marah ya??? Maaf yaa.. aa sayang neng”.

Aku diam tak menjawab. Cintaku untuknya mungkin telah pudar. Masalah-

masalah sepele seperti telat membalas pesan, lupa mengucapkan selamat tidur, telepon

tak terangkat, dan sikap overprotektif yang sering ia tunjukkan selalu menjadi pemicu

pertengkaran yang melelahkan.

Apa lebih baik putusin sekarang?

Belum aku sempat berucap, dia sudah memotong pembicaraan.

“Aa sebentar lagi pulang ke Indonesia, mau ngelamar neng”.

Bibirku gemetar, semakin tak bisa berkata-kata. Entah apa yang membuat hari

itu segalanya menjadi sulit.

“Mmmm.. nanti kita ngobrol lagi ya, aku mau ke kampus ngurusin wisuda lusa.

Udah dulu ya, assalamualaikum”. Aku mengalihkan pembicaraan dan langsung menutup

telepon.

Telepon berdering berkali-kali, namun aku enggan mengangkat. Kini aku hanya

duduk di atas kasur, bingung.

***

Semua orang bahagia merayakan kelulusan bersama orang-orang tercinta. Satu

122 | G h a l i y a S i r i d h a
sejarah besar yang tercatat dalam lembaran kisah perjalanan setiap orang dalam

perjuangan mencari ilmu. Termasuk Audry yang lulus wisuda dengan predikat

cumlaude. Bu bidan, mungkin kini kata-kata itu yang akan sering ia dengar.

“Selamat Bu Bidan”. Agung datang membawa karangan bunga. Audry tersenyum.

“Makasih ya gung”.

“Iya.. Eh orangtua kamu mana?”. Mata Agung berkeliaran mencari keberadaan

orangtua Audry.

“Tadi pulang duluan”.

“Oh gitu, aku anter pulang gimana?”. Audry berpikir sejenak.

“Mmmm.. kalau nggak ngerepotin boleh”.

“Jelaslaaah..” Jawab Agung riang.

Dalam perjalanan mereka tak banyak bicara, terasa sedikit kaku karena

ungkapan perasaan Agung dua hari yang lalu. Hingga tak terasa perjalanan pun sampai

ke tujuan.

“Sini masuk dulu gung”. Pinta Audry basa-basi.

“Nggak usahlah nanti aja kalau udah waktunya”. Agung melambaikan tangan lalu

pergi. Hmmm..

Di dalam kamar, Audry melihat bungkusan cokelat tersimpan di atas meja belajar.

Audry mengamati bungkusan itu. Tertulis pengiriman dari Jepang.

Audry membukanya perlahan, dilihatnya boneka jepang yang ternyata bisa

bersuara. Ia menekan tombol yang ada disamping boneka.

“Sotsugyou Omedetou. Anata wo hokori ni omoimasu. Happy graduation” (Selamat

atas kelulusanmu, aku sangat bangga kepadamu). Audry menggigit jempolnya. Ia

semakin bingung bagaimana ia harus memutuskan.

Audry membuka handphone nya. 25 panggilan masuk tak terjawab dari

123 | G h a l i y a S i r i d h a
kekasihnya. Audry mengernyitkan dahi. Baru saja Audry hendak mengirim pesan,

handphone-nya berbunyi.

“Kok teleponnya nggak diangkat-angkat sih?”. Terdengar nada tinggi dari ujung

telepon tanpa memberi salam.

“Tadi seharian prosesi wisuda, handphone di silent”.

“Selalu aja banyak alesan!”

Audry yang sedang lelah malah semakin dibuat geram. “Udah ah capek!!!” Ia

langsung menutup telepon.

Handphone Audry berdering kembali. Sang kekasih terus mencoba menghubungi

ulang. Akhirnya dengan terpaksa Audry mengangkatnya.

“Maaf neng, kalau sedikit kasar. Padahal tadi cuma mau bilang selamat atas

kelulusannya. Semoga hadiahnya udah nyampe, maafin ya”. Nadanya memelas.

“Udahlah capek denger maaf terus. Lebih baik kita putus!”. Audry mendengus.

Labilnya emosi sang kekasih lama-lama mengikis perasaan cintanya. Tekadnya bulat.

Mungkin ini yang terbaik. Ia pun segera menutup telepon dan mematikan handphone-

nya.

***

Selang beberapa menit, terdengar seseorang mengetuk pintu. Audry malas

membukanya karena lelah. Ia lebih memilih berbaring di kasurnya dengan segala beban

keputusan yang harus segera ia ambil. Ia sadar bahwa dirinya tak boleh berlama-lama

memainkan perasaan orang.

“Neng ada tamu..”. Ibunya terdengar memangil.

“Siapa mah?”. Audry segera bangkit dari kasurnya dengan riasan yang masih

tertempel di wajah.

124 | G h a l i y a S i r i d h a
Belum selesai Audry dengan segala kegalauannya. Kini lagi-lagi jantungnya

dibuat berdebar kencang saat ia melihat kang Darus duduk di ruang tamu.

“Kang Darus? Tau darimana rumah aku?”. Tanya Audry penasaran.

“Ada deh, masa ngajak nikah nggak tau rumahnya”. Jawabnya santai sambil

terkekeh. Tenggorokan Audry tercekat.

“Kang Darus beneran serius?”.

“Kalau nggak serius akang nggak datang kesini”. Matanya mulai menatap dengan

serius.

“Terus pacar kang Darus?”.

“Putus”.

Ibu Audry yang datang membawakan air ikut terenyuh hatinya saat mendengar

sekilas percakapan mereka berdua. Beliau menatap Audry sejenak dan mengangguk

sambil tersenyum seolah memberi isyarat.

Saat seseorang memberi bunga sebagai ungkapan cinta, ada juga yang memberi

janji dalam sebuah penantian. Disaat yang sama, satu orang berani memberi bukti,

bahwa cinta bukan hanya sekedar kata yang terucap tuk berikan bahagia. Tapi cinta

adalah tanggung jawab melalui pembuktian yang akan dibawa kehadapanNya kelak.

Audry kini yakin, pada siapa hatinya harus memilih.

***

125 | G h a l i y a S i r i d h a
₰- Sebuah Kebenaran

“Wanita wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji

adalah untuk wanita-wanita yang keji pula. Dan wanita-wanita yang baik adalah untuk

laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula”.

(Q.S An-nur : 26)

***

Semua orang berlari di lorong yang tampak hening. Mendorong sebuah kasur

roda dengan seorang wanita yang tampak pucat diatasnya. Keringat mengucur dari

dahinya, menahan sakit. Darah terlihat membanjiri kasur yang bersepreikan kain

berwarna putih. Sepasang pria dan wanita yang masih tampak stylish di usianya yang

menginjak 40th tak henti-hentinya menangis sambil menyebut nama Allah. Tangisannya

126 | G h a l i y a S i r i d h a
menggema hingga menyelimuti seisi ruangan. Dua orang petugas mendorong kasur

roda di sebelah kanan dan kiri. Sedangkan satu orang lagi sibuk menempelkan oksigen

di atas hidung dan mulut korban.

“Kuat nak.. kamu pasti kuat”. Ucap wanita dengan cardigan putih dan jilbab yang

diikat ke belakang.

“Ya Allah lindungi anakku ya Allah”. Wanita itu terus meratap melihat putrinya

yang sedang merintih kesakitan.

Pintu IGD terbuka. Petugas langsung menghentikan langkah sang wali pasien

agar tak ikut masuk. Dokter jaga tak kalah gesit untuk segera melakukan pemeriksaan.

Dengan suara yang masih terisak keduanya terpaksa menunggu tepat di depan pintu.

Detak jarum jam di sudut dinding terdengar begitu nyaring, namun ritmenya

masih kalah dengan degup jantung yang terasa hendak merobek dada. Hanya harapan

yang menjadi penyejuk layaknya angin sepoi yang menghembus di tengah terik sebagai

penetralisir pikiran buruk yang berkecamuk.

“Mom, gimana kondisi Haza?”. Sepasang bola mata lain tampak tak kalah cemas

menanti kabar. Wanita bertubuh mungil dengan rambut panjang yang diikat

alakadarnya itu tiba-tiba sudah berdiri di hadapan ayah dan ibu korban dengan raut

wajah yang kusut. Keduanya menoleh, mata sang ibu beradu dengan wanita yang tak

lain adalah sahabat putrinya.

Sang ibu langsung memeluk wanita tersebut. “Do’akan Haza baik-baik aja ya

Syanum”.

Tak lama dokter pun keluar. Wajahnya penuh keringat seolah habis bertarung di

medan perang. Stetoskop melingkar di lehernya.

127 | G h a l i y a S i r i d h a
“Maaf pak bu, anak bapak dan ibu tak tertolong. Kondisinya sangat kritis karena

kehabisan darah. Mungkin akibat usaha aborsi yang dilakukannya. Sekali lagi mohon

maaf, kami sudah berusaha melakukan yang terbaik”.

Sang ibu ambruk tersungkur sambil memegang dada. Sesak. Sedangkan sang

ayah hanya berdiri mematung dengan air mata yang berjatuhan tak tertahankan.

Tangannya mengepal geram. Ingin tahu siapa yang telah menghamili putrinya tersebut.

Mereka tak percaya putri semata wayang mereka harus meninggal dalam kondisi

seperti itu. Keduanya tak tahu bahwa putrinya sedang hamil dan nekat melakukan

tindakan aborsi.

Syanum merangkul sang ibu. Tangannya gemetar, wajahnya memucat, air mata

tak henti-hentinya mengalir dikedua pipinya yang halus.

“Dudi.. ini pasti ulah si Dudi!!!”. Syanum bergumam kesal.

***

Memori Syanum..

Suasana kelas disebuah sekolah saat itu tampak hening. Menyatu dalam melodi

kedamaian sekolah yang terasa hangat. Sebuah tempat yang pernah menjadi tempat

perlindungan bagi pribadi-pribadi kecil yang sedang tumbuh. Sebuah tempat dimana

mereka tak perlu khawatir dengan dunia luar yang tampak garang, mencekam, dan

penuh perjuangan agar bisa mempertahankan eksistensi diri.

Setiap jiwa yang sedang tumbuh itu tak pernah tau apa yang akan terjadi pada

mereka esok hari ketika mereka harus menghadapi dunia di luar sekolah. Meski pada

umumnya mereka sangat menyukai jam pulang sekolah, namun pada kenyataannya

setelah dewasa mereka rindu dan ingin kembali ke dunia sekolah yang membuat

mereka merasa aman dan tak perlu memikirkan kehidupan yang rumit diluar sana.

Jika Doraemon itu nyata, aku ingin meminta mesin waktu untuk kembali ke dunia

128 | G h a l i y a S i r i d h a
sekolah waktu itu. Waktu pertama kali aku mengenal Haza.

“Hei kamu Syanum ya? Aku Haza”. Dengan ramah Haza menyapaku yang menjadi

murid pindahan saat itu. Senyuman hangat Haza mampu membuatku merasa diterima

dikelas baru.

Haza merupakan pribadi yang ceria dan mudah bergaul. Ia menyukai olahraga.

Terutama berenang yang menjadi olahraga favoritnya.

Sedangkan aku memiliki kepribadian yang bertolak belakang dengannya. Aku

seseorang yang introvert, tak banyak bicara, pemalu, dan juga sangat tertutup.

Hanya satu persamaan kami. Yaitu sama-sama merasa menjadi anak broken

home. Haza anak semata wayang yang terlahir dari keluarga berada, namun ia kurang

mendapatkan kasih sayang karena kedua orangtuanya yang terlalu sibuk dengan dunia

bisnisnya. Sedangkan aku memiliki keluarga yang tercerai berai. Aku tinggal bersama

ibu, ayah tiri dan saudara-saudara tiri. Aku selalu merasa dikucilkan, merasa tak pernah

diterima menjadi bagian dari keluarga baru ibuku.

Pertemanan kami kian erat ketika pertama kali Haza datang menghampiriku

yang sedang menangis disudut perpustakaan. Dadaku terasa sesak, napasku tersendat-

sendat. Beberapa menit yang lalu ibuku menelpon untuk tidak dulu pulang ke rumah

karena emosi ayah tiriku tak terkendali akibat pengaruh minum-minuman keras.

Seringkali ayah tiriku bersikap tak waras hingga membuatku ingin memakinya. Namun

ibu selalu menahanku.

“Syanum? Belum pulang?”. Kedua mata itu menatapku dengan hangat. Aku hanya

diam. Ku susut segera air mata yang membasahi kedua pipiku. Aku tau ia ingin bertanya

mengapa. Tapi ternyata dugaanku keliru.

“Eh berenang yuk? Kamu nggak ada acara kan hari ini?”. Ajak Haza tiba-tiba.

“Kalau aku lagi nangis aku paling suka berenang. Biar energi yang terbuangnya

129 | G h a l i y a S i r i d h a
nggak sia-sia. Udah gitu air dikolam saat kita berenang rasanya mampu menghapus air

mata kita dengan sendirinya. Coba rasain deh gimana enaknya. Gimana mau kan?”.

Haza tak pernah bertanya mengapa dan apa yang terjadi. Ia selalu mempunyai

cara untuk menghapus setiap duka. Aku tak bisa menolak. Aku butuh dia.

Sejak saat itulah kami menjalin persahabatan yang cukup erat. Hingga kami

melangkah ke dunia diluar gerbang sekolah yang penuh dengan misteri.

***

Memori Haza..

Malam itu langit tampak marah, petir menyambar silih berganti dengan hujan

deras yang disertai angin kencang. Suaranya memekakkan telinga. Kemarahan langit

malam itu mewakili hatiku yang juga sedang bergejolak. Kutimpali suara itu dengan

teriakkan sekuat tenaga.

Seperti biasa, rumah selalu sepi. Orangtuaku tak pernah pulang di bawah jam 1

malam. Asisten rumah tangga pun sedang pulang ke kampung halaman. Di dalam rumah

seluas 700m2 itu aku tak pernah merasakan kehangatan cinta keluarga yang

sesungguhnya.

Di dalam kamar aku mengurung diri. Ku hancurkan semua foto yang terpajang.

“Aku benci kalian semua!!! Aku benci kamu Syanum!!!”.

Persahabatan yang terjalin cukup lama seketika sirna saat salah satu merasa

dikhianati. Satu kenyataan pahit yang harus kuterima yaitu ketika kutahu bahwa

kekasihku mencintainya. Kecewa, hanya itu yang kurasa kini.

Mengapa Tuhan tak pernah rela jika aku memiliki cinta? Mengapa pada akhirnya

aku selalu membenci cinta? Cinta keluargaku, cinta sahabatku, dan cinta kekasihku.

Semuanya membuatku benci karena telah mencitai mereka.

130 | G h a l i y a S i r i d h a
Aku terkulai lemas. Sampai lupa bahwa aku belum makan sejak pagi. Ku usap

perut, dan teringat.. ada janin yang hidup dalam rahimku. Aku menagis sejadi-jadinya.

Aku bahkan benci untuk sekedar mencintai diri sendiri.

Aaaarghhhh…

Handphoneku tak henti-hentinya berdering. Sebuah telepon masuk dari nomor

yang tak dikenal. Ku tahu itu Syanum. Nomornya sudah ku hapus, tapi sialnya aku bisa

mengingatnya.

Pesan masuk membanjiri kotak masuk. Tapi tak kubuka satupun. Kumatikan

handphone, dan teriak lepas meluapkan rasa kecewa. Duniaku telah hancur. Aku tak

ingin hidup!!!

Waktu menunjukkan pukul 12.00 tengah malam. Petir tak berhenti menyambar.

Pikiranku semakin tak karuan. Kepalaku terasa sakit, seperti ada yang menusuk-nusuk.

Aku berjalan menuju dapur dengan sempoyongan. Dilihat ke arah meja makan, kosong.

Hanya ada buah-buahan segar.

Kulirik disampingnya ada sederetan pisau. Pikiranku mulai kacau. Syetan bukan

lagi berbisik, namun sudah menyuarakan dengan lantang bahwa mungkin dengan

bunuh diri kesedihanku akan berakhir.

Ku raih sebuah pisau, dan tanpa berpikir panjang ku tusukkan ke arah rahim.

Aaaaa.. aku merintih kesakitan. Sendiri, terkulai lemas di atas lantai.

***

Tangisan keluarga dan sahabat terasa begitu menyayat ketika mereka harus rela

melepas kepergian Haza siang itu yang perlahan mulai dimasukkan ke dalam liang lahat.

Banyak orang tak menyangka seorang gadis ceria seperti Haza meninggal dalam

keadaan yang mengenaskan. Bunuh diri.

131 | G h a l i y a S i r i d h a
Do’a-do’a kebaikan dan ceramah singkat seorang ustadz mampu menggetarkan

hati yang sadar bahwa kita semua pun akan mengalami hal yang sama, yaitu kematian.

Tinggal menunggu giliran.

Ibu Haza masih terlihat sangat emosional. Belum sepenuhnya menerima

kenyataan. Kedua tangannya tak lepas memegang papan bertuliskan almarhumah yang

tertancap di atas tanah, mengatakan berulang-ulang dengan lirih “maafkan ibu nak”.

Disisi lain, seorang sahabat yang juga masih tak percaya dengan kenyataan yang

terjadi, hadir dalam tangisan penuh penyesalan. Menyesal tidak ngotot untuk pergi

segera menemui Haza malam itu.

Terlihat seorang pria disampinganya tengah mengelus lengan Syanum untuk

mencoba menenangkan. Vigo, seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dengan kumis

serta jenggot tipisnya yang telah menjadi tunangannya kini.

Mata Syanum melotot tajam saat ia mendapati seseorang bertubuh tinggi kurus

berada di antara kerumunan para pelayat. Baju dan kacamata serba hitam serta topi

yang menutupinya tak membuat Syanum lengah untuk tidak mengenalnya.

“Dudi!”. Tubuh Syanum bergegas menghampiri. Sedangkan Vigo yang tak

mengerti hanya mengikuti langkah Syanum.

Tangan Syanum refleks memukul pundak Dudi dari belakang.

“Kamu jahat dud!!! Semuanya gara-gara kamu!!!”. Dudi menoleh kaget. Keringat

mengucur dari dahinya.

“Ngapain kamu kesini???”. Teriak Syanum sambil terisak dan memukuli Dudi.

Dibalik kacamata hitamnya mata Dudi telah lama sembab sejak mengetahui

kematian Haza kekasihnya. Ia sadar bahwa ia telah membuat luka di hati Haza dengan

mencintai sahabatnya. Dudi hanya diam, saat Syanum menyalahkannya.

“Udah sayang.. kita pulang aja yuk. Kondisinya nggak tepat”. Vigo merangkul

132 | G h a l i y a S i r i d h a
Syanum. Namun matanya melirik Dudi tajam.

***

Ternyata selalu bermain berempat dengan kekasih, sahabat dan juga kekasih

sahabat itu tak sehat. Bisa jadi karena terlalu dekat akhirnya tak tahu lagi siapa yang

menyukai siapa, semuanya seolah melebur menjadi satu.

Sudah satu bulan setelah kematian Haza. Syanum tak pernah berhenti menangis

setiap kali membuka album kenangan bersama sahabatnya itu. Mereka berempat, Haza,

Dudi, Syanum dan Vigo hampir setiap hari pergi menghabiskan waktu bersama.

Dilihatnya foto-foto dan video mereka berempat yang selalu tertawa lepas. Tak tahu

bahwa dibalik itu ada hati yang mengingkari.

Syanum merasa terpukul dengan kematian Haza. Ia merasa ikut andil terhadap

kematian sahabatnya itu. Berawal dari curhat. Dudi dan Syanum seringkali curhat satu

sama lain saat mereka sedang ada masalah dengan kekasih masing-masing. Dudi tak

menyukai sifat Haza yang terlalu manja dan posesif. Sedangkan Syanum selalu merasa

kesal dengan Vigo yang seringkali tempramen pada hal-hal sepele.

Sadar akan perasaannya yang mulai tak menentu. Syanum mengajak Vigo untuk

segera bertunangan. Khawatir perasaannya kepada Dudi menjadi nyata.

Di sisi lain, Dudi pernah sekali mengungkapkan perasaanya kepada Syanum

melalui pesan Whatsapp sehari setelah Dudi dan Haza bertengkar 3 bulan yang lalu,

yang akhirnya diketahui Haza di hari kematiannya.

Tiba-tiba suara handphone-nya berbunyi. Tertulis panggilan dari Momy.

Panggilannya untuk ibu Haza.

“Assalamualaikum Mom ada apa?”. Sapa Syanum lembut.

Terdengar isakan tangis di ujung telepon. Syanum semakin penasaran.

“Waalaikumussalam.. Bisa dateng kesini nak?”. Suara itu terdengar terputus-

133 | G h a l i y a S i r i d h a
putus.

“Kesini kemana?”. Baru saja Syanum bertanya telepon mati tiba-tiba. Jaringan

error.

Tak lama kemudian sebuah alamat dikirimkan oleh ibu Haza. Syanum

mengernyitkan dahi. Kantor polisi?

Segera Syanum bergegas pergi menemui panggilan ibu Haza. Kakinya yang

lenjang dengan sepatu kets berwarna putih melangkah sedikit berlari. Namun

Langkahnya tiba-tiba terhenti saat tiba di kantor polisi.

Vigo??? Bola matanya membulat, suaranya terasa berat. Ia lihat tunangannya

berada disana dengan borgol melingkar dikedua tangannya.

“Ada apa ini?” Tanya Syanum. Air wajahnya menegang.

Vigo yang mendengar suara Syanum tersentak. Wajahnya memucat. Keringat

mengucur diseluruh wajah dan tubuhnya. Jantungnya berpacu tak berirama. Ia malu dan

takut menghadapi tunangannya tersebut.

Ibu Haza mendekati Syanum dan bicara perlahan. Terlihat ia menyeka air mata

dari wajahnya. Kedua tangannya kemudian mengelus-ngelus pundak Syanum.

“Syanum, maaf… kamu harus tau ini. Hasil analisis DNA janin menyatakan bahwa

DNA tersebut adalah milik Vigo. Momy juga nggak nyangka, maafin Haza ya nak.. maafin

anak momy. Biar Haza tenang disana”. Tangisannya kembali pecah.

Syanum melangkah mundur tak percaya. Tangannya menutupi bibirnya yang

gemetar. Ternyata selama ini Vigo dan Haza selingkuh dibelakangnya.

Vigo dijerat pasal 348 ayat (1) KUHP dalam kasus dugaan menyuruh tindak

aborsi, yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan.

“Aku khilaf Syanum. Aku nggak sengaja”. Terdengar Vigo berteriak untuk

memberikan penjelasan kepada Syanum tunangannya.

134 | G h a l i y a S i r i d h a
Syanum memeluk Ibu Haza dengan erat, lalu pamit pergi dengan tatapan kosong.

***

Hari itu 3 bulan yang lalu..

“Kamu sekarang nggak pengertian!!!”. Teriak Haza sambil menunjuk-nunjuk laki-

laki dihadapannya.

“Sssstt!!! Jangan teriak-teriak! Malu ini tempat umum”. Laki-laki itu menarik

Haza keluar. “Kamu tuh kenapa sih? Kamu nggak sadar kalau kamu itu egois!!!”. Timpal

laki-laki itu kesal.

“Kamu yang sekarang berubah!!!

“Tau ah aku capek”. Laki-laki itu masuk melanjutkan pekerjaan paruh waktunya

sebagai seorang pelayan di sebuah café.

“Dudi!!!”. Haza meneriaki, namun tetap ia melenggang pergi.

Akhirnya Haza pergi menuju mobil honda jazz berwarna putih yang diparkir tak

jauh dari tempat ia berada dengan perasaan dongkol.

Di sisi lain, sepasang jemari lentik sedang memainkan jam pasir di atas kasur.

Berharap jam pasir itu segera membawanya ke alam mimpi. Tubuhnya lelah, namun hati

dan pikirannya terus hidup. Dadanya terus berdetak kencang, hatinya tak menentu. Ia

terus mencubiti pipinya yang tirus, meyakinkan dirinya bahwa dia memang masih

berada di dunia nyata.

Sepasang bola mata yang sipit itu melirik handphone yang tergeletak di meja

pinggir kasur, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ia raih

handphonenya, dan langsung dimatikan . Tak ingin percakapan itu makin berlanjut dan

jadi berbuntut.

Dudi gila nih kayaknya. Kenapa dia tiba-tiba bilang gitu?! . Gumamnya dalam hati.

Tepat setelah Haza dan Dudi bertengkar. Dudi yang dalam keadaan emosi

135 | G h a l i y a S i r i d h a
menelpon Syanum yang biasa menjadi teman curhatnya. Seperti biasa, setiap kali Dudi

dan Haza sedang mengalami masalah, Dudi terbiasa mengeluarkan semua kemelut

perasaanya pada Syanum.

Hari itu, mungkin dudi merasa sudah terlalu lelah, hingga akhirnya dia tak

sengaja berkata bahwa Syanum adalah sosok wanita pendamping yang dia harapkan.

Bukan Haza.

Jebreeet!!!

Suara pintu mobil ditutup keras. Haza pacu mobilnya kencang sambil menangis

menahan kesal.

“Nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif….”

“Ah kemana sih Syanum? Kok gak aktif?”. Haza mendengus. Kedua tanggannya

dilipat di atas setir mobil, menyangga kepala yang menunduk.

Tuk tuk tuk..

Terdengar seseorang mengetuk pintu kaca mobil yang ia parkir di depan

indomart area SPBU. Haza melirik. Vigo?

Vigo melambaikan tangannya sambil tersenyum dengan dua cangkir kopi hangat

dikedua tangannya.

Haza membuka kaca mobil. “Kok lu ada disini? lagi sama Syanum?”

Ia menggelengkan kepala. “Boleh gue masuk?”

“Oh iya”. Haza pun membukakan kunci pintu mobil sebelah kirinya.

“Hwaaa..” Vigo mengambil posisi santai.

”Gue tadi nggak sengaja liat lu sama Dudi kayaknya lagi berantem depan café”.

“Oh”. Haza tersenyum kecut. Kekesalannya tiba-tiba muncul kembali. “Terus lu

ngapain kesini?”.

“Nih minum dulu”. Vigo memberikan secangkir kopi hangat yang ia beli di

136 | G h a l i y a S i r i d h a
indomart.

“Tadinya emang gue ada perlu sama Dudi. Tapi kayaknya Dudi lagi sibuk banget,

jadinya ngikutin lu, soalnya keliatannya lu lagi galau banget. Kan bahaya, nyetir sendiri

lagi”.

Haza menyeringai. “Eh temenin gue yuk sekalian?”

“Kemana?”

Tanpa basa basi Haza memacu mobilnya. “Eh motor gue?” Vigo melirik motornya

yang terparkir depan indomart.

“Udah santai.. sebentar kok! Pake sabuknya!”. Haza langsung menaikkan

kecepatan mobilnya. Tangan Vigo reflek memegang handle pegangan tangan di dalam
Dalam tubuh manusia itu terdapat sel, dan dalam sebutir sel
mobil.
terdapat inti sel yang mengandung DNA. DNA ini cara kerjanya sama persis
“Gila lu Za!!!”
seperti sebuah Handphone yaitu bisa Bluetooth.
“Hahaha.. cemen lu”. Haza tertawa puas. Vigo pun ikut tertawa.
Pada dasarnya kemampuan blutuetooth pada tubuh manusia ini
Entah karena hati yang merasakan kekosongan, atau mungkin bisikan syetan
secara tidak sadar dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Maka tak
yang menyapa lembut melalui hembusan angin malam. Keduanya menghabiskan malam
heran dalam hadist shahih dijelaskan bahwa perumpamaan orang yang
berdua yang akhirnya membawa mereka hanyut dalam jurang dosa dan berakhir dalam
bergaul dengan orang baik seperti bergaul dengan penjual minyak wangi,
jurang penderitaan.
ia bukan penjualnya namun aromanya akan ikut menempel ditubuhnya.
***
Sedangkan perumpamaan orang yang bergaul dengan orang yang tidak

baik seperti bergaul dengan tukang pandai besi. Ia bukan pelakunya

namun tetap akan terkena asapnya.

Salah satu cara menilai calon untuk bakal jodoh kita adalah dengan

cara melihat dengan siapa ia bergaul. Karena meskipun dimata kita ia

baik, tapi jika lingkungannya tidak baik maka besar kemungkinan ia pun

akan terbawa menjadi orang yang tidak baik pula.

137 | G h a l i y a S i r i d h a
Sumber Referensi

- Grup diskusi komunitas hypnotherapi Master Mind Of Indonesia bersama pakar

hypnotherapis Bpk Hermawan GS, SE, MM, CHt, MCHt, CI, CCH, CT. MNLP

- Grup diskusi komunitas hypnotherapi rumah motivasi bersama specialist

happiness coach of life Leina Dewi Magdalena, CI, MCHt, MNLP.

- Buku Magnet Rezeki Ustadz Nasrullah

- Channel Youtube kuliah psikologi_DedySusantoPJ

138 | G h a l i y a S i r i d h a
Profil Penulis

Ghaliya Siridha adalah anak ke dua dari tiga bersaudara yang lahir di Sukabumi

tanggal 01 Mei 1993 ini merupakan lulusan Sarjana Pendidikan dari STKIP Bina Mutiara

Sukabumi. Saat ini ikut merantau bersama suami di kota Bekasi sebagai seorang PNS di

Direktorat Jendral Bea dan Cukai.

Aktivitas kini beserta suami membangun bisnis ghaliyahijab yang kini sedang

dirintis.

Sejak kecil menyukai dunia psikologi namun keadaan saat itu tak mendukung

untuk kuliah di jurusan psikologi. “Banyak Jalan Menuju Roma” adalah salah satu prinsip

hidup yang diyakini. Tak patah semangat akhirnya tahun 2015 mengikuti pelatihan

Hypnotherapi di Bandung yang diadakan oleh Master Mind Institute of Hypnotherapi

dan ikut menjadi bagian dari keluarga besar MMIH. Bergabung dengan komunitas

Hypnotherapi Rumah Motivasi Bandung sejak 2015 sebagai sarana mengasah keilmuan

dalam mengemas ilmu hypnotherapi untuk kepentingan dunia pendidikan.

Berbagai kegiatan seminar gratis sering dilaksanakan untuk beragam komunitas

serta sekolah-sekolah bersama Rumah Motivasi. Di antaranya : Hypno Teaching, Hypno

Parenting, Hypno Succsess, Hypno Learning, Quantum Rich, Happiness Coaching for

Amazing Life, dll.

Untuk kritik, saran atau sekedar ingin menyapa silahkan follow Facebook atau

Instagram Ghaliya Siridha. Dan untuk melihat-lihat koleksi hijab kami silahkan follow

Instagram ghaliyahijab.id. Terimakasih..

139 | G h a l i y a S i r i d h a
140 | G h a l i y a S i r i d h a

Anda mungkin juga menyukai