Anda di halaman 1dari 9

Kutuliskan harapan dan cintaku

Prologue....

Paris,musim semi....

Senja tengah merangkak keufuk barat. Lalu gelap menyelimuti langit. Bintang pun mulai bermunculan dengan

pendar cahayanya yang terkalahkan oleh sang bulan. Dibawah panorama langit itu, tepatnya diatas Taman Champs de

Mars, menara baja Eifell seperti tak mau kalah. Turut bersinar dengan cahaya la,punya yang terang. Membuat suasana

taman yang ramai pengunjung menjadi temara. Dibeberapa sisi ada banyak orang yang menikmati Eifell dimalam hari.

Azka Aldirc menghentikan langkahnya begitu ia menemukan sebuah kursi besi yang kosong. Ia duduk diatasnya.

Saat itu pula udara malam berhembus lirih. Membuatnya bergidik dan merapatkan jin yang membungkus dirinya.

Pandangan menatap kebawah,kearah Rumput yang di pijaki kedua kakinya. Ada gelisah yang menyergapnya beberapa

menit yang lalu.

Lelaki itu sedang berusaha mencerna isi pesan yang menyinggahi ponselnya tadi. Sebuah nomor,bukan dari orang

asing. Ia mengenal sipengirim pesan itu. Yang menjadi pertanyaannya, mengapa bisa seseorang itu mengiriminya

pesan? Lalu apa maksutnya ia berkata seperti itu? Setelah tiba dua tahun berada di Paris, tak sekalipun orang itu

menelpon atau mengirimina surel. Namun, kenapa tiba-tiba..?

Kepala Azka terasa pusing. Udara yang lagi-lagi berhembus membuatnya brgidik dan kini membuahkan ngilu

dihatinya. Ia mengingat gadis itu lagi. Gadis yang seharusnya ia lupakan. Azka sudah berada ditempat yang jauh

sekarang. Paris,tempat ia-masih-mencoba melupakan bayangan dari masa lalunya. Namun,sebait pesan tadi hampir

membuatnya goyah.

Azka merogoh jaket sakunya. Ia mengambil ponsel sedikit gemetar, lalu membuka kembali pesan diponsel guna

mencerna ulang kalimat yang tertera didlamnya.

Halo,Azka.Long time no see.

–Nala-
Sekali lagi rasa ngilu menekan-nekan hatinya. Ia meremas ponsel itu. Berusaha meredam perasaannyayang terasa

diaduk-aduk. Namun,usahanya sia-sia. Ia hanya bisa membuang napas berat. Kepalanya kian menunduk dan tertegun.

Kedua matanya beralih pada garis luka pada tangan kirinya. Ia menarik ujung lengan jaketnya dan terlihatlah bekas luka

itu secara keseluruhan.

Sebuah senyum tersungging disudut bibirnya. Lalu ia tertawa miris. Diusapnya bekas luka itu. Hatinya berdesir.

Nala. Senyuman gadis itu muncul secara random dikepalanya. Membuatnya bahagia sekaligus bersalah. Banyak

perasaan yang berkecamuk didalam dadanya.

Ponsel Azka bergetar,mengejutkannya. Ketika membuka pesan yang baru saja menyinggahi ponselnya,ia lebih

terkejut lagi.

Tu me menques1, Azka.

-Nala-

Nalar Azka tak bisa percaya dengan apa yang dilihat matanya.Ini pasti salah.Ia yakin ada kesalahan disini.

Namun,hatinya justru berhrap ini benar.Azka tertawa lirih.Menertawakan diri sendiri. Ia mengantongi ponselnya dan

meimilih tak memikirkan pesan-pesan aneh itu. Namun,saat ini otaknya justru tak bisa diajak kompromi. Ia tak bisa

tidak memikirkan semua itu.

Azka mengalihkan pandangannya ke Eifell yang bersinar terang. Ia teringat sesuatu.

“A untuk Azka, A untuk Anala, dan Menara Eifell keliatan kayak huruf A.”

Itu kata-kata yang pernah ia dengar dari Nala ketika mereka masih kecil. Azka memandang lama ke aarah

Eifell,dan ingatan yang lain mulai menggaung dikepalanya.


1

Jakarta,pertengahan september.

Mata Azka menunjukan ketakutan. Tersirat dengan jelas bahwa ia tak nyaman berada ditempat ini,dipanti

asuhan. Beberapa jam yang lalu ibunya meninggalkan ia didepan gerbang panti asuhan ini. Alasannya karena ingin pergi

sebentar. Namun,entah sebentar seperti apa yang dimaksud ibunya sebab ia tak kembali lagi setelah itu.

“Nama kamu siapa nak?” Hartati, wanita paruh baya yang merupakan pengurus panti asuhan kecil itu bertanya.

Azka tidak menyahut. Ia semakin menundukan kepalanya. Rasa takut menguasainya. Bagaimana ia tak takut?

Perubahan hidupnya yang drastis menjadikannya takut pada hal-hal baru.

Hartati menyentuh pundak anak kecil berusia 11 tahun itu,dan ia langsung bergidik. Isakannya mulai keluar.

Beberapa anak penghuni panti asuhan itu menatapnya bingung lalu berbisik pelan. Azka hanya menundukan kepala.

Merasa tatapan itu mengintimidasinya.

Akhirnya Hartati membawa Azka kekamar sebab ia tampak tak nyaman berada diantara anak-anak lainnya.Azka

duduk ditepi tempat tidur. Kepalanya menunduk. Air mata masih tersisa dipipinya.

Hartati tampaknya paham akan ketakutan Azka. Bagaimanapun, Azka bukan anka pertama yang ditanganinya.

Beberapa anak lain dulunya hampir sama sikapnya seperti Azka ketika baru pertama kali menginjakan kaki dipanti

asuhan ini.

Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau bicara apa-apa. Tapi kalau butuh sesuatu, jangan sungkan bilang ke

ibu,ya?” Begitu yang diucapkan Hartati sebelum ia beranjak dari sebelah Azka.

Tak ada sahutan dari Azka. Namun ekor matanya mengikuti gerak langkah Hartati menuju pintu keluar.Didepan

pintu didapatinya beberapa anak yang penasaran padanya. Sekali lagi Azka merasa takut. Ia menunduk dan tangannya

mengepal gemetar.

Hartati meminta mereka untuk tak mengganggu Azka. Mereka semua menurut walau sesekali melihat Azka

sebelum pergi bersama Hartati.


Azka sendirian dikamar. Kepalanya terangkat. Kedua matanya mengedarkan pandangan kesekeliling kamar

kecil itu. Ada dua buah ranjang bertingkat dan sebuah lemari kecil. Dinding kamar berwarna putih bersih dengan poster

alpabet dan tabel perkalian terpampang disana. Azka merasa asing.

Kamar terakhir yang diuninya memang tak sebagus ini, tetapi tetap saja ia lebih ingin berada dikamar itu.

Karena disana,setidaknya ia tak seorang diri. Ia bersama ibunya. Ia ada dipelukan ibunya dan tidurnya begitu lelap. Ia

mersa nyaman.

.................

“Ayo, makan.” Seorang anak perempuan membuyarkan lamunan Azka tentang ibunya yang belum juga

datang. Saat itu Azka berada di beranda samping. Tempat yang selama dua hari ini menjadi tempat yang ‘aman’

baginya. Tak ada yang istimewa diberanda itu. Hanya saja, ia merasa lebih baik. Sendirian dan menuggu menjadi

pekerjaannya. Sesekali ia akan menggambar dibuku yang diberikanHartati padanya.

Azka menoleh kearah suara itu. Matanya menemukan sosok anak perempuan seusianya dengan rambut

sebahu yang dikucir tinggi seperti ekor kuda. Azka tak senang melihatnya. Ia mengabaikan anak perempuan itu.

“Udah waktunya makan malam. Kamu gak lapar?” Anak perempuan itu mendekat kearah Azka. Tanpa

permisi, ia duduk disebelah Azka dan memandangnya bingung. Azka memeluk erat bukuanya dan tak mau melihat anak

perempuan itu.

Mata lugu anak perempuan itu lama melihat Azka. Ia tak sabar kalau Azka merasa begitu tak nyaman dengan

kehadirannya.

“Teman-teman bilang kamu sombong,” ujarnya, membuat Azka menoleh kaget.

Anak perempuan dengan rambut kucir kuda itu menatapnya polos. Kedua matanya tampak bening. Azka

menahan napas. Ada kesal yang mengerubungi hatinya. Kata ‘sombong’ bukan pertama kalinya ia dengar. Sebelum

kehidupannya benar-benar berubah, julukan sombong memang kerap ditujukan padanya.

Azka membuang muka. “Aku nggak sombong!” sangkalnya marah.

“Masa?”
Azka agak menjauh dari anak perempuan itu.

“Kalo kamu nggak sombong, kenapa gak mau kenalan?”

Lagi-lagi Azka merasa terusik dengan ucapan anak perempuan itu. Ia menoleh dan memandang sengit.

Mulutnya menipis, sama seperti matanya yang menyipit. Ia memalingkan wajah lagi dan meenyahut dengan ketus,

“Azka.”

Anak perempuan itu melongo. Ia lafalkan nama itu pelan. “Itu nama kamu?”

Tidak ada sahutan.

“Namaku Anala. Panggil saja Nala.” Anak peempuan bernama Nala itu mengulurkan tangan kearah Azka.

Ekor mata Azka menangkap ujung tangan Nala. Ia tak menghiaraukan. Nala akhirnya menarik tangannya

sambil mencibir kesal. Ia beranjak dari duduknya. Azka melirik. Ada cemberut diwajah Nala. Mulut tipisnya maju

beberapa inci kedepan.Ekspresi yang lucu khas anak kecil.

“Ayo,makan,” Nala mengajaknya lagi. Nada suaranya tidak marah. Azka melihat kearahnya. Nala sudah

tak cemberut lagi,justru ada senyum tipis diwajahnya. Tanpa menunggu jawaban Azka, ia berjalan lebih dulu.

Biasanya Azka tak langsung menurut. Selama dua hari ini ia harus dibujuk oleh Hartati untuk makan.

Namun, terasa berbeda ketika Nala yang mengajaknya. Azka berdiri dari duduknya. Ia berjalan dengan lambat

dibelakang Nala yang melangkah ringan menuju pintu masuk

Nala menoleh kebelakang. Decakan kecil terdengar dari mulutnya.

“Cepat,Azka!” Anak perempuan itu melambaikan tangannya tak sabaran. Bukannya semakin

mempercepat langkah, Azka justru berhenti. Ia sedang tak mengerti mengapa bisa menurut pada anak peerempuan sok

akrab itu.

..................

Nala itu anak yang aneh. Itu yang dipikirkan Azka ketika melihat apa yang sedang dilakukan Nala saat ini.

Sebagian anak yang punya PR tengah berkumpul diruang belajar untuk mengerjakan tugas. Nala sudah menyelesaikan
tugasnya,tapi ia tak beranjak beranjak tidur seperti yang dipesankan Hartati.Ia justru subuk dengan potongan kertas

dan sebuah botol bening bekas selai kacang.

“Itu untuk apa?” Azka sebenarnya tak suka ikut campur urusan orang lain penasaran juga dengan kelakuan

anak perempuan itu. Bagaimana tidak? Pasalnya Nala mengerjakan kegiatan aneh itu didepannya saat Azka sedang

menyelesaikan PR matematikanya agak sulit.

Nala menangkat kepalanya. Mata beningnya berbinar senang saat ditanya.

“Main-main aja,” sahutnya ringan. Potongan kertas itu kini ditulis sesuatu.

“Anak cewek, kok mainannya botol.” Azka tertawa mengejek. Itu pertama kali Nala mendengar Azka

tertawa. Agak takjub ia mendengarnya.

“Ini bukan botol biasa,” Nala berbisik dengan suara serius. Namun, akhirnya ia tertawa pelan Azka tak

tertarik lagi mendengar ucapan Nala. Ia menutup bukunya.

“Ini botol yang bisa mengabulkan permintaan,” Nala melanjutkan. Gerak tangan Azka yang hendak

memasukkan buku kedalam tas jadi tertahan. Ia melihat Nala lagi. Kali ini Nala menggulung potongan kertas yang sudah

diisinya lalu dimasukkan kedalam botol.

Azka sedang memikirkan hal yang magis,tetapi lekas buyar dengan tawa Nala yang ringan.

“Enggak kok,” ujar Nala. Azka tahu kalau ucapan Nala memang tak ada yang bisa dipercaya. Dia memang

anak perempuan yang aneh.

“Aku nulis apa yang aku inginkan didalam botol ini.”

“Gila!” Azka menutup tasnya.

“Supaya aku ingat apa yang belum aku punya.

Azka tak mau mendengar ocehan Nala lebih lama lagi. Ia berdiri seraya membawa tasnya. Ia sudah selesai

belajarnya. Waktunya tidur. Waktunya berpikir kapan ibunya akan datang dan membawanya pergi dari panti asuhan ini.

Waktunya ia berperang melawan rasa rindunya.


Azka menahan langkahnya untuk melihat Nala yang kini hanya sendirian diruang belajar. masih ada gurat

ceria diwajah anak perempuan itu. Mengapa bisa anak yang tak punya orang tua seperti itu hidup dengan perasaan

senang?

..................

Satu hari. Dua hari. Seminggu. Dua minggu. Sebulan. Dua bulan. Waktu terus berputar, seperti bumi yang

masih mengelilingi matahari. Waktu kerap kali meninggalkan masa, tapi terkadang ia tak membawa serta luka yang
ditinggalkannya. Luka kadang tetap tersisa. Waktu yang berlalu tak cukup mampu mengikis luka itu. Terlebih hati yang

terluka itu enggan melepaskan luka hatinya.

“Kamu tunggu Mama disini, Mama pergi sebentar. Mama akan datang jemput kamu.”

Malam itu Azka mendapat pelukan yang lama dari ibunya. Disusul dengan kecupan hangat dipuncak

kepalanya. Sebelum pergi, Azka sempat melihat nanar dikedua mata ibunya. Namun, bibirnya tersenyum. Tangannya

kemudian melambai. Kakinya melangkah,menjauhi tempat Azka berdiri. Lalu sosoknya semakin jauh,kemudian

menghilang.

“Ini eskrimnya.” Nala menyodorkan eskrim yang baru ia beli dari pedagang eskrim keliling yang biasa

berjualan didepan sekolah mereka. Azka kaget. Lamunan tentang ibunya buyar. Ia mengambil eskrim itu. Tangannya

diserang dingin. Ketika lidahnya menyentuh eskrim itu, ia merasa lebih dingin lagi. Bukan hanya dilidah, tapi juga

dihatinya.

Ia tak berselera dengan eskrim murahan itu. Berbeda dengan Nala yang menikmatinya seolah-olah eskrim

itu adalah minuman paling enak sedunia. Azka memberikan eskrimnya pada Nala. Anak perempuan itu terkejut,tapi

menerimanya juga.

“Kenapa?Nggak suka?Ini enak, kok.”

“Aku kenyang.”

Azka berjalan lebih dulu. Sudah waktunya mereka pulang kepanti. Nala mengejar langkahnya. Namun,

didepan sana Azka malah menghentikan langkahnya. Nala memperhatikan kemana arah yang dilihat Azka. Rupanya ia

melihat seorang anak laki-laki yang dijemput ibunya. Mereka berpegangan tangan dan berjalan dengan bahagia

ditrotoar seberang jalan.Nala menghampiri Azka dengan langkah yang lambat.

“Azka kenapa?”

Azka tak menyahut. Matanya mengikuti kemana anak dan ibu tadi pergi. Melihat wanita patuh baya itu

membuat ia teringat pada ibunya. Ia masih sering bertanya kapan ibunya akan datang? Kapan datang untuk

menjemputnya? Kapan ibunya mengakhiri kata ‘sebentar’ yang dimaksudnya?

“Kamu pulang duluan aja.”


“Tapi, ibu Hartati bilang.....”

“Pulang sana!!!” Azka menatap Nala marah. Matanya berair antara kesal dan sedih. Nala terkejut dan tak

bisa bicara. Ia tal bisa mencegah Azka yang pergi kearah berlawanan dari arah jalan mereka pulang. Nla hanya melihat

Azka yang berlari kencang,entah mau kemana. Ada yang tak dimengerti Nala saat ini. Ia tidak tahu mengapa turut

merasa sedih ketika melihat Azka menangis. Juga tidak mengerti kenapa ia merasakan sakit dihati saat melihat si ibu

dan anaknya yang tadi dilihat oleh Azka. Apa sakit seperti ini yang dirasakan Azka?

.................

Anda mungkin juga menyukai