Anda di halaman 1dari 6

Sepucuk Kertas Untuk Altsana

Tokoh: * Altsana Wirda Sanjaya (sbg. Santri Putri)


*Ziddan Nizam Albizhar (sbg. Gus, putra pertama Abah Zaid)
* Albar Aditama Ibrahim (sbg. Gus, Putra kedua Abah Zaid)
* Aira Kalila (sbg. Bestie Altsana)
*Fauzan Malik (sbg. Mantan crush Altsana)
*KH. Zaid Dahlan (sbg. Abah Yai)
*Hj. Sayyida Zainab (sbg. Ummah)
*Alan Maulana Sanjaya (sbg. Ayah Altsana)
* Kumala Sahara (sbg. Bunda Altsana)

Sepucuk Kertas Untuk Altsana


PROLOG
“Kalo udah lulus ngabdi, mending kuliah apa kerja sih?” Tanya wanita yang kini tengah
duduk di kursi taman ditemani dengan seseorang disebelahnya sambil membolak-balik kitab
kuning yang sempat bolong maknani nya.
“Mending nikah aja sih.” Jawab orang disebelahnya santai ditambahi cengiran halus di ujung
kalimatnya. Hal itu membuat yang bertanya melengos kesal karena mendapat jawaban yang
tidak sesuai dengan pertanyaannya.
Mereka berdua kembali fokus pada kitabnya masing-masing. Saling mengecek apakah masih
ada kitab yang bolong maknani nya, karena kebetulan besok siang ada pengecekan kitab.
Sekarang sudah akhir semester genap. Dan pastinya bagi seluruh santri mempersiapkan
untuk ujian dan juga hafalan. Semuanya berlarian kesana-kemari untuk saling mencari
temannya yang sekiranya kitabnya sudah terpenuhi.
Berbeda dengan Altsana. Wanita yang duduk dibangku taman tadi. Dia justru enak-enakan
makan ciki yang sempat ia beli lewat titipan adek kelasnya tadi. Ia rasa sudah lengkap semua
kitabnya, jadi ia tidak perlu susah mencari bantuan seperti orang-orang yang super ribet itu.
Disebelahnya ada Zara yang masih sibuk mencoret kitab kuningnya itu dengan hitec nya.
Tangannya bergerak cepat, tidak peduli jika makna nya nanti akan terbaca atau tidak, yang jelas
ia hanya butuh kitabnya penuh maknani dan berharap akan lulus pengecekan.
Sesekali matanya melirik pada orang yang disebelahnya itu. Terlihat tidak peduli
dengan temannya yang tengah kesusahan , justru ia malah santai sambil bernyanyi random.
Yang jelas Zara tidak tahu apa arti dari lagu yang dinyanyikan Altsana itu. Dan yang jelasnya
lagi, Zara sangat terganggu dengan adanya dia disini.
“Kamu diem dulu bentar bisa nggak sih, Al!?” Zara sudah geram dengan Altsana yang tadinya
dibiarkan malah makin keras volume suaranya.
“Bisa kok. Oke sesuai dengan perintah, aku diem.”
Mulutnya terlipat. Ia menutup rapat-rapat mulutnya. Matanya melirik kesana kemari mancari
seseorang yang mau diajak mengobrol atau seseorang itu bisa menyelamatkan dirinya dari
Zara. Karena sudah hampir 1 jam ia hanya duduk menunggu Zara dan ia hanya berceloteh
namun tidak dianggap oleh Zara. Ia mencebik kesal karena dari tadi menjadi patung pajangan
disamping Zara.
“Aku balik aja deh, Zar. Ngantuk nih.”
“Tunggu bentar, tinggal 5 baris lagi.”
“Nggak ah, capek tau nunggu kamu doang sejam disini trus kayak manusia nggak berguna
banget.”
Altsana mengomel sambil memberesi kitab-kitabnya yang berserakan dimeja. Tangannya
dengan cepat menumpuk semua kitabnya dan menyisakan satu untuk Zara yang belum selesai.
Ia beranjak pergi dari tempat itu dan berjalan cepat menuju asrama untuk menidurkan diri
dikamar. Ia tidak peduli Zara yang sudah mencak-mencak seperti reog yang kepanasan di sana.
Yang jelas sekarang Altsana ingin meluruskan pinggangnya yang panas itu.

Sepucuk Kertas Untuk Altsana


‘Tuhanlah yang sudah mempersiapkannya’

Subuh kali ini sangat dingin. Selimut jarik saja tidak mampu membuat
kehangatan ditubuh wanita cantik yang tengah meringkuk kedinginan. Sesekali ia
menarik selimut tebal milik temannya yang tidur disebelahnya, namun tidak di izinkan
oleh yang punya.
“Kamu ngapain sih Al narik-narik selimutku!?” akhirnya yang punya selimut murka.
Karena pagi-pagi sudah dibuat gila oleh seorang Altsana Wirda Sanjaya.
Iya, Altsana. Santri dari Abah Kyai H. Zaid Dahlan. Yang cantik jelita mempesona
sejagat raya, namun tingkahnya tidak ada obatnya. Selalu ada saja yang dia lakukan
hingga membuat korbannya dibuat kesal oleh perbuatannya. Biasanya orang yang
cantik itu relatif pendiam, anggun, dan disukai banyak orang. Namun untuk kali ini saja,
khusus untuk manusia bernama Altsana Wirda Sanjaya tidak terdaftar dalam kategori
orang yang pendiam, anggun, dan disukai banyak orang. Justru kebalikannya.
Tapi semua orang hanya menilai nya dari luar. Padahal menurut dia, setiap
manusia itu punya passion tersendiri. Dan khusus untuk dirinya adalah ‘Dewasa in
privat, Kekanak-kanakan in public.’ . Kebalik bukannya? Tapi itu sesuai keinginan
Altsana. Yang terpenting ia bahagia fiddunya wal akhirot. Allahuma aamiin...

Sekarang sudah adzan subuh. Altsana melewatkan sholat malamnya hanya
karena alasan kedinginan. Dan alasan tersebut tidak diterima oleh Kak Sofhi. Dan
terpaksa ia di takzir untuk membangunkan seluruh santri putri mulai dari asrama
Fatimah Azzahra sampai asrama Siti Khadijjah.
Sebenarnya Altsana sendiri juga pengurus, hanya saja ia selalu melupakan jabatannya
itu. Padahal diantara pengurus-pengurus yang lainnya, Altsana lah yang paling galak,
jika dibanding Kak Sofhi. Ia sudah diberi amanah untuk menjadi pengurus kegiatan.
Semuanya tentang kegiatan yang ada dilingkungan pondok sudah diserah berikan
kepada Altsana. Ia pun juga harus mengatasi santri yang susah diatur, namun Altsana
nya sendiri juga tidak berbeda dari mereka. Sama-sama susah diatur.
Ia mulai berjalan memasuki tiap-tiap asrama untuk membangunkan satu-persatu
santri. Mungkin ini hal biasa ia membangunkan orang-orang yang tidurnya hampir
seperti orang mati, ruh nya yang susah untuk kembali. Sampai-sampai Altsana harus
menarik tangan mereka satu persatu untuk segera duduk. Ada juga yang Altsana
lakukan untuk membangunkan mereka dengan menggedor pintu asrama menggunakan
rotan. Mungkin baginya trik inilah yang paling ampun untuk mengagetkan seluruh
penghuni asrama. Terkadang merekapun menggurutu jika jadwal subuh yang
membangunkan adalah sosok Altsana, karena bukan main cara dia mengubah mood
orang-orang menjadi buruk.
“Ayooo! Buruan bangun, bentar lagi iqomah itu lo!”
Suaranya menggelegar di koridor asrama. Tangan kanannya masih setia
memegang rotan sesekali menggedor disetiap pintu asrama. Di ikuti beberapa orang
dibelakangnya yang baru keluar dari kamar dengan pasang muka yang masih setengah
hidup. Hatinya sedikit dongkol karena Altsana membangunkannya dengan keributan.
Setelah tugasnya membangunkan manusia dengan cara yang brutal itu selesai. Ia
berjalan menuju masjid dengan langkah cepat agar sampai ditempat tujuan, karena ia
tidak ingin tempat istiqomah sholatnya itu dipakai oleh orang lain.
Ya, Altsana si banyak tingkah itu mempunyai tempat istiqomah, apalagi letaknya
itu di shaff paling depan pojok kanan disebelah Nyai Salamah. Awalnya banyak yang
heran, namun lama-lama menjadi hal biasa. Memang dia adalah santri yang sangat di
remeni sama Nyai Salamah. Karena jika dipikir-pikir Altsana orang yang paling sat-set
(bahasa gaulnya) jika mendapat dawuh dari Nyai Salamah.
Memang orang seperti Altsana jarang ditemui. Justru teman-temannya saja
kadang takut atau merasa sungkan jika bersebelahan dengan Nyai Salamah, hanya
seorang Altsana yang berani-berani selalu dibawa santai jika mengobrol dengan Ibu
Nyai.
“Altsana, Hari ini kamu ya yang mimpin ngaji pagi, saya mau ada acara ke Surabaya
habis ini.” Dawuh Ummah (putri Nyai Salamah) yang baru saja datang menggantikan
tempat Nyai Salamah.
“Nyuwun sewu Ummah, tapi hari ini jadwalnya Kak Nesa yang mimpin.”
“Digantikan kamu. Soalnya tadi saya minta tolong Nesa buat nyiapin makanan.”
Altsana mengangguk sopan.
Dalam hati ia sedikit berperang batin. Padahal tujuannya nanti sewaktu ngaji
pagi ia akan meneruskan tidurnya yang belum genap 100%. Namun apa daya jika ia
mendapat dawuh, akhirnya ikhlas tidaknya ia melakukan perintah Ummah. Memang
begini resikonya jika dikenal oleh keluarga ndalem. Apa-apa nanti yang disebut paling
utama adalah nama Altsana. Mungkin hal ini karena unsur ke-ta’dimannya Altsana
sangat tinggi, jadi ia sudah terbiasa dengan hal itu.
Untung beliau-beliau tidak tahu kelakuan brutal yang selalu Altsana lakukan. Ada saja
kegiatan dia yang meresahkan para santri mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi.
mungkin hari-hari Altsana selalu terlihat ceria dimata orang-orang diluar sana, sampai-
sampai hatinya yang rapuh saja sempat tertutupi oleh keceriaan yang selalu ia bawa
everywhere and anywhere.
Hari ini akhirnya ia memimpin ngaji pagi dengan suara seraknya. Padahal baru
mengawali hari suaranya sudah hampir habis. Mungkin ini gara-gara ulahnya yang
membangunkan santri subuh tadi dengan cara berteriak kesana kemari. Padahal hari
biasanya ia membangunkan dengan cara tersebut tidak akan melukai tenggorokannya,
namun untuk hari ini mungkin Allah menginginkan Altsana untuk berteriak-teriak.
Karena alasannya yang pertama adalah suara itu aurot, dan yang kedua karena kasihan
orang-orang keberisikan dengan suara lantangnya.
“Fir, gantiin aku dong. Sakit banget ini tenggorokanku.” Bisiknya pada teman
disebelahnya yang bernama Fira itu. Awalnya Fira ragu dengan permohonan Altsana,
karena ia pikir jika ia yang menggantikannya, nanti Altsana yang mengundurkan diri
dan tidur di tempat paling belakang pojok. Namun saat Fira melihat mata kejujuran
Altsana jika memang ia tengah kehabisan suara, akhirnya Fira mengangguk dan
bertukar tempat dengan Altsana.
Altsana beranjak pergi dari serambi untuk pergi ke asrama. Untuk kali ini ia tidak
ingin menipu orang-orang bahwa ia benar sakit. Kadang Altsana alasan sakit untuk
menghindari pelajaran diniyah, ataupun ngaji pagi. Dan khususnya hari sabtu ini ia
mengaku benar-benar sakit.
Ia memasuki asrama yang sepi itu. Hanya ada dirinya yang sibuk mencari galon yang
kemarin sempat di isi air dari kolah. Namun, pencariannya pagi itu gagal karena galon
kesayangannya tiba-tiba menghilang. Dengan terpaksa ia berjalan ke dapur untuk
mengambil air hangat.
Sesampainya di dapur, ia melihat Bude Las tengah duduk sambil memotongi beberapa
sayuran. Ia mendekatinya dan berniat membantu Bude untuk memotongi wortel.
“Ada apa Na kamu kok ke dapur subuh-subuh?” tanya Bude yang masih sibuk dengan
pisau dan sayuran ditangannya.
“Mau minum air hangat Bude, tenggorokan ku sakit.”jawabnya sedikit dengan
penekanan karena jika tidak begitu, suaranya tidak akan didengar oleh Bude.
“kok habis suaramu?”
“Iya, pagi tadi habis bangunin anak-anak”
Bude seketika menoleh. Heran dengan jawaban aneh yang baru saja dikeluarkan oleh
Altsana. “Masa bangunin kayak gitu sampe habis suaranya?
“Hehe, soalnya sambil teriak.” Bude Las menggelengkan kepalanya. Ada-ada saja bocah
satu ini.
Kini Altsana tengah menuangkan air panas dari dispenser setengah, ditambah dengan
air biasa agar air itu bisa diminum olehnya. Ia segera duduk berjongkok untuk minum
air hangat tersebut. Melafalkan doa dengan siri. Setelah air itu Tandas tak tersisa, ia
beranjak mencuci gelas bekasnya tadi dan dikembalikan di rak gelas.
“Mau masak apa Bude pagi-pagi gini? Biasanya masih nanti.” Tanya nya sambil
mengambil pisau yang tergeletak di samping Bude Las. Niat hati ingin membantu Bude,
namun melupakan tugasnya untuk memimpin ngaji tadi.
“Masak banyak, buat Gus Ziddan.”
Altsana menautkan alisnya, dan melirik ke arah Bude “Gus Ziddan mau balik?”
“Iya, makanya Ummah sama Abah tadi ba’da subuh langsung tindakan.”
“Bukannya Gus Ziddan udah kelar kan Bude kuliahnya?”
“Udah wisuda bulan lalu, makanya sekarang mau balik ke Indo.”
“Akhirnya Gus terganteng ku pulang juga.” Ucap Altsana dengan percaya diri. Sesekali ia
tersenyum membayangkan betapa tampannya Ziddan saat balik nanti.

Setelah mendapat kabar berita yang viral pagi ini disebarkan oleh Altsana,
seluruh santri selalu bercerita tentang Ziddan. Entah apapun itu topiknya, Ziddan pasti
disebut namanya. Mungkin ini yang ditunggu-tunggu oleh para santri, termasuk
santriwati. Kedatangan Ziddan sangat-sangat mereka harapkan setelah 4 tahun
menjalani kuliah di Yaman. Dan sekarang saatnya Ziddan kembali ke negara asalnya.
Ziddan memang benar-benar idaman seluruh santriwati. Karena kadar
ketampanannya dan vibes wibawa nya yang selalu dibawa kemana saja. Termasuk
Altsana yang mengefans berat kepada Gusnya sendiri itu. Ia pernah bilang, jika nanti ia
dijodohkan dengan Ziddan, ia akan memberikan gaun kesayangannya yang kini ia
simpan dilemari selama bertahun-tahun itu kepada Aira. Lalu memberikan seluruh
boneka monkey nya mulai dari yang kecil sampai besar kepada teman-temannya. Dan
yang terakhir ia akan memberikan guling kesayangannya yang sudah hampir 6 tahun
menemaninya dipondok hingga tidak kempes itu kepada Marisa.
Namun, menurutnya ekspetasi itu terlalu tinggi jika dia memang berjodoh
dengannya. Sudah pasti sosok yang diidamkan Ziddan bukan seperti Altsana. Yang jelas
nantinya wanita itu adalah seorang ning. Karena kebanyakan itu sering terjadi.

Mobil Alphard hitam di iringi dengan mobil pajero hitam memasuki halaman
pondok pesantren Ar-Rahman. Seluruh santri yang sore ini tengah kegiatan piket
dihalaman pun mendadak diam dan menunduk saat monil tersebut melewati mereka.
Desas desus terdengar saat mobil tersebut sudah terpakir dihalaman ndalem. Satu
persatu penumpang dari mobil tersebut turun dari mobil Alphard. Disana Ada Kang
Heru yang sebagai sopir pribadi ndalem. Disusul oleh pintu depan dan belakang yang
terbuka. Ada Abah Zaid, Ummah Zain, Ning Aisya, dan yang terakhir Gus Ziddan. Dan
yang di mobil satunya ada Gus Albar yang tengah membantu Kang Saiful menurunkan
beberapa koper.
Kang Saiful melambaikan tangan kepada Altsana dan Sofia yang tadinya masih berdiri
sambil memegang sapu. Mereka berdua sontok berjalan cepat untuk membantu
membawa koper tersebut kedalam ndalem. Jujur koper ini sangat berat, dan pastinya
butuh effort untuk membawanya masuk. Altsana sempat-sempatnya berbisik kepada
Kang Saiful. “Kang, ini sumpah berat banget.”
“Pelan-pelan aja bawanya.”
“Ya kan ini udah pelan, Kang.”
“Sudah-sudah, sampai situ aja, Al. Kamu perempuan kok malah angkat-angkat barang
berat.” Tutur Ummah Zainab saat mengetahui Altsana tengah keberatan mengangkat
koper.

Anda mungkin juga menyukai