Anda di halaman 1dari 3

Pada tampias hujan, kamu datang sebagai percikan.

Pada sisa-sisa parutan keju, kamu menyisip di


sela lubang-lubang parut. Pada suara decit pintu kamarku yang rusak, terdengar suaramu ikut
berdecit. Kamu membersamai ruas-ruas jariku. Juga mengalir di sepanjang arteriku. Kamu datang
walau isi kepalaku menghalang. Mampir di sela apapun yang tak kuduga. Aku bisa apa? Hei, Kamu!
Namamu rindu bukan? Jika iya, jangan datang lagi. Sebab namaku sepi. Sesepi layar putih temuan
Bill Gates yang sudah 47 menit kutatap. Aku mencoba mengeja huruf di sana, tapi kesusahan
memadunya menjadi kata. Sebab lagi-lagi cuma kamu yang tereja. Rindu. Bagaimanalah.. Logikaku
mulai kewalahan memenjarakanmu. Ah, rindu, berdamailah sedikit dengan rasa.

11 November ·

PAMIT.

Aku pamit.

Kalimat itu sudah diketik, hampir saja dikirim pada sebuah nomor yang selama ini cukup
spesial baginya. Tapi kalimat berisi dua kata itu dihapus lagi. Ia

justru mematikan handphonehandphonenya. Menyimpan di bawah bantal. Kemudian, ia


menangis. Menangis pelan namun deras. Tidak ada artinya kata pamit. Semua berawal tanpa
kata, selesai pun tanpa kata, pikirnya. Perempuan itu lalu sejenak terdiam, menatap dinding
birunya yang mengusam, membaca lembar demi lembar catatannya yang menuliskan semua
perasaannya.

Perempuan sembilan belas tahun itu masih menangis.


Tiga tahun lalu, tanpa kata cinta layaknya sepasang muda-mudi menjalin tali asmara, dua
orang ini justru saling menjauh, memilih menghindari perasaan mereka, sampai suatu waktu,
tabir-tabir tersingkap dan mereka pun tak mampu menutupi lagi apa yang ada di hati mereka.
Tidak ada tali apa pun yang mengaitkan hati mereka, sungguh tidak ada. Atau kalau pun ada,
mungkin tali itu yang disebut orang-orang bernama perasaan. Perempuan itu, tiga tahun
menyimpan perasaannya. Bukan waktu yang lama. Sungguh singkat sebenarnya.

Tidak ada yang tahu, tapi sesosok laki-laki yang ia beri nama “Langit” mengerti dan
memahami. Sesosok laki-laki itu membuatnya memiliki harapan. Jauh perjalanan mereka.
Harapan-harapan itu menggantung dalam doa. Hingga perempuan itu kini mendapati banyak
“Langit” yang juga siap memantulkan warna birunya untuknya. Perempuan itu jengah. Bukan
ia berhenti mencintai Langitnya, tapi karena ia mengerti satu hal. BELUM SAATNYA
MENCINTAI LANGIT. Sungguh belum saatnya. Dan kali ini, ia benar-benar menghayati
kalimat itu.

Aku pamit.

Kalimat itu diketiknya lagi. Tapi satu persatu hurufnya ia hilangkan lagi dengan tombol
backspace. Perempuan itu akhirnya terdiam. Ia tahu hatinya sungguh lemah. Berkali-kali kata
pamit itu terucap, tapi perasaan itu belum juga mau pamit dari tuannya.

Maka ia memutuskan untuk diam, berusaha menjadi tegar. Diam-diam, ia pamit pada
perasaan yang pernah ia sebut cinta. Diam-diam, ia pamit pada kata penantian yang pernah
memenuhi halaman buku catatannya. Tiba-tiba, ia membiarkan semuanya berjalan
sebagaimana mestinya tanpa perasaan menyesal, apalagi takut kehilangan. Diam-diam, ia
berhenti mengamati gradasi warna biru yang ditampakkan Langit. Diam-diam, ia menutup
semua ceritanya sendirian. Perempuan itu menjadi tegar.

Ia tengah asyik bercerita dengan taman bunganya. Ia tengah asyik bercengkerama dengan
bunga-bunganya yang mekar. Ia tengah asyik mensyukuri karunia-Nya. Ia tengah asyik
belajar bagaimana caranya menjadi bunga yang mekar dan indah untuk dipetik. Tidak ada
yang berubah. Ia memilih pamit. Dan lihatlah, Tuhan menguatkan hatinya.

Mungkin, di suatu waktu, hari, dan tempat yang dirangkai-Nya, ia akan kembali bertemu
dengan Langit. Ia harus menatap birunya, bahkan bercengkerama dengan matahari dan bulan
bintangnya. Bahkan, mungkin, perempuan itu juga berkesempatan untuk menjelajahi isi
Langit. Mungkin. Jika seseorang yang ia sebut Langit itu adalah dia yang membuatnya ia
menangis malam ini, maka memang garis Tuhan menitahkan begitu. Jika bukan, Langit itu
pasti tetap biru dan membuatnya bahagia. Karena takdir Tuhan tidak akan pernah tertukar.

Perempuan itu lalu tersenyum di antara bulir-bulir air matanya. Sungguh, ia tidak tahu apa
yang ada di dalam hati seseorang yang ia sebut Langit itu. Mungkin, ia masih menyimpan
harapan. Mungkin, di dalam hati perempuan itu juga. Aku juga tidak tahu isi hatinya. Aku
hanya seonggok buku yang pernah ditulis oleh perempuan itu. Aku pernah tahu tentang
semua isi hatinya. Ah, tapi perempuan itu sekarang benar-benar merahasiakan tentang
perasaannya. Yang aku tahu, penanya selalu mengatakan, “dia yang mengatakan pada yang
membuatku ada, yang akan mendapatkan jawabannya.”

Kalau takdir sudah berkehendak, maka tidak ada apa pun yang bisa memisahkan. Melalui
pena ini, kukembalikan hati yang pernah kujaga. Kukembalikan nama yang bertahun
membuatku tersenyum juga menangis. Kukembalikan kisah pada keindahan skenario-Nya.
Aku ingin berbahagia di taman bungaku. Dan kamu, berbahagialah di hamparan luasmu.
Bawa cahayamu jika benar kau ingin jadikanku bulan di malammu. Lakukan saja, jangan
janjikan. Toh, takdir Tuhan, tidak akan pernah tertukar.

Tanpa sepatah kata pun, perempuan itu pamit. Ia pamit pada hatinya sendiri.

Tidak ada yang perlu disesali dari sebuah perasaan yang menyesakkan, karena fitrahnya
manusia mengalami itu. Tapi membiarkan rasa sesak berlarut dalam penantian juga tidak
baik. Lebih baik menyibukkan diri belajar, menyibukkan diri memperbaiki kualitas hati dan
diri, menyibukkan diri bercerita bersama taman-taman bunga. Perempuan itu, mungkin nanti
juga akan jatuh lagi. Mungkin ia akan menangis lagi. Tapi, semoga tulisan ini membuatnya
ingat, bahwa takdir-Nya tidak akan pernah tertukar. Semoga tulisan ini membuatnya tegar.
Semoga membuat tegar pula perempuan-perempuan lain yang tengah jengah oleh rasa sakit,
rindu, galau, dan perasaan lain karena “Langit” mereka.

PERTEMUAN

Siapa bilang pertemuan itu membunuh rindu? Ia hanya melipatgandakannya lalu diam-diam
menikammu dari belakang. Kamu terhunus dalam bahagia. Lalu kamu menahan tangismu
setelah ia kembali pergi. Kamu ingin waktu itu satu menit berjalan lebih dari 60 detik. Tapi
kamu pura-pura tersenyum. Punggungnya menyapamu untuk terakhir kali sebelum tubuhnya
tak menyisakan bayangan. Kamu seperti bermimpi. Tapi itu nyata.

Ah, mereka bilang pertemuan itu pangkal rindu. Tapi bagimu ia tunas untuk lahirnya rindu-
rindu yang terus bereplika. Kamu sempat lupa bahwa pertemuan bukan berarti harapanmu
boleh tumbuh. Ah, kamu protes. Apakah bahagia tak juga diizinkan? Kamu hanya bahagia
karena mimpimu menjadi kenyataan dalam sekejap. Kamu hanya teringat tahun-tahun
sebelum hari itu, pertemuan macam itu harus kamu bayar dengan sebuah kekecawaan ketika
kamu terbangun. Hanya mimpi.

Kamu tak peduli lagi apa kata mereka tentang pertemuan. Kamu hanya tahu, pertemuan itu
membahagiakanmu walaupun di saat bersamaan menikammu. Walaupun harus dibayar
dengan rasa sesak melihatnya kembali pergi, pertemuan tetaplah hadiah bagimu. Walaupun
harus membunuh harapan yang diam-diam tmenumbuh, pertemuan tetap saja jawabanmu atas
berbagai harapan. Walaupun harus memeras lagi air matamu oleh lipatan rindu, pertemuan
tetap saja pengukir senyum yang terlalu lama kamu nanti.

Bukankah kamu bahkan sudah menjauh dari harapan tentang pertemuan? Tapi Tuhan
membawa langkahmu ke sana–tanpa sepengetahuanmu. Ketahuilah, barangkali pertemuan,
yang walaupun tanpa banyak kata apalagi tatap, adalah hadiah atas kesabaranmu menata
rindu. Seperti hadiah Tuhan pada Ibrahim atas keikhlasannya melepas Ismail untuk-Nya.
Barangkali begitulah hadiah sebuah keikhlasan. Maka berhentilah berharap apa-apa pada
pertemuan singkatmu itu. Karena bisa jadi, selain hadiah, pertemuan sebenarnya adalah ujian
terindah Tuhan untukmu.

...

Terkadang kita hanya ingin pergi sejenak, bukan untuk pergi dari masalah, tapi untuk
menyisakan lagi ruang hati agar tak terlalu sesak. Agar ia kuat lagi menghadapi tumpukan
rasa yang siap datang. Entah rasa apa saja.

Bukankah luka di hati adalah tanda bahwa kita sedang belajar? Kita belajar bagaimana
mengobatinya. Kita belajar membujuknya untuk tak lagi sakit walau masalah menumpuki
ruang-ruangnya. Kita belajar untuk bernegosiasi dengan apa-apa yang siap menyakitinya.
Bahwa bagaimanapun keadaan membuat hati terhimpit, kita masih bisa mengajak hati untuk
menjadi lega, sebab kita tahu bagaimana cara keluar dari himpitan itu. Maka, wahai hati,
bukankah ikhlas itu tak berbatas? Mari terus menjadi luas.

Anda mungkin juga menyukai