Anda di halaman 1dari 3

Menulis Banten; Antara Peluang dan Ancaman (Catatan sekadar dari panitia sayembara menulis cerpen Banten, Suatu

Ketika) Oleh Niduparas Erlang Menggali-gali Banten sebagai sebuah entitas yang unik-menarik ternyata tidak segampang membalikkan telur dadar di penggorengan. Apalagi, menjadikan Banten sebagai tak sekadar ruang sempit berlangsungnya peristiwa, atau sekadar sesuatu yang disinggung sambil lalu; melainkan dengan sekujur tubuh Banten yang penuh-seluruh dengan nilai-nilai luhur yang dijunjung-dianut, dengan kearifan lokal yang niscaya, dengan khasanah budaya, kesenian, sosialpolitik-ekonomi, untuk kemudian merawinya menjadi sebuah cerita pendek (cerpen), ternyata juga bukanlah perkara mudah. Sebuah entitas yang hendak digali, agaknya memang mesti digumuli sedemikian rupa sedemikian mesra dengan segenap kesadaran, segerap ruh, dan segenap kesabaran yang luar biasa utuh. Terlebih, Banten sebagai sebuah entitas yang khas sampai stakat ini masih menjadi bahan perdebatan. Barangkali, diperlukan juga kontemplasi untuk mengendapkannya beberapa lama, agar cerita yang ditulis tak terkesan tergesa-gesa. Begitulah, sedikitnya yang dipersoalkanatau mungkin dikeluhkanpara dewan juri Lomba Menulis Cerpen dengan tema Banten, Suatu Ketika yang digelar Banten Muda Community, yang terdiri atas Yanusa Nugroho (sastrawan), Zen Hae (sastrawan), dan Iwan Gunadi (budayawan). Hal ini juga yang menjadi alasan mengapa pengumuman para pemenang terpaksa kami (panitia) undur beberapa hari, karena para juri cukup mengalami kendala dalam menentukan naskah cerpen yang dapat dikatakan layak sebagai sebuah cerpen yang bulat-utuh dengan menghadirkan Banten secara menyeluruh. Namun demikian, akhirnya, dari 233 naskah yang masuk ke meja panitia dan diseleksi dewan juri, ditetapkanlah 15 pemenang (3 juara dan 12 nomine) yang dianggap cukup mewakili tujuan penyelenggaraan lomba menulis cerpen tersebut. Mereka adalah (urutan sesuai abjad nama penulis) Aksan Taqwin dengan cerpen Kujang Meradang, Badri Yunardi dengan cerpen Macan Angob, Fatih Muftih dengan cerpen, Guntur Alam dengan cerpen Tiga Penghuni dalam Kepalaku, Ismawanto dengan cerpen Tarian Sang Gurandil, Ikal Hidayat Noor dengan cerpen Lembur Singkur, Richa Miskiyya dengan cerpen Perempuan Lesung, Skylashtar Maryam dengan cerpen Teluh, Sulfiza Ariska dengan cerpen Larva Waktu, Sutantinah dengan cerpen Tolhuis Jembatan Rante, Teguh Afandi dengan cerpen Ini yang Berlabuh, Uthera Kalimaya dengan cerpen

Candiru, Wi Noya dengan cerpen Rabeg, Winda Az Zahra dengan cerpen Cula Karo, dan Yohan Ariandi dengan cerpen Bebek Panggang Nyai Pohaci. Agaknya, mesti menjadi catatan tersendiri bahwa menggali lokalitas Banten, sebagaimana yang disodorkan Banten Muda Community lewat penyelenggaraan lomba/sayembara menulis cerpen tersebut, tidak mereduksi kelokalan Banten menjadi sekadar setting tempat. Seperti dikatakan Irvan Hq selaku ketua Banten Muda Community, bahwa harapan digelarnya lomba menulis cerpen dengan tema Banten, Suatu Ketika adalah bukan menjadikan Banten (wilayah Provinsi Banten pada umumnya) menjadi sekadar setting berlangsungnya suatu peritiwa. Akan tetapi, setting tak direduksi sedemikian rupa menjadi sekadar sebuah ruang sempit, melainkan menjadi wahana ekspresif yang menampung segala percik pemikiran, khasanah budaya, kultur, sosial-ekonomi-politik, dan sebagainya sebagai cermin (mimesis) sebuah masyarakat secara utuh-penuh. Dan bukankah nilai-nilai luhur lokalitas (kearifan lokal) yang terdapat dan dijunjung di sebuah wilayah bukan sekadar setting tempat? Bukan juga sesuatu yang hanya disinggung sepintas dalam dialog para tokoh dan terlepas dari luka-dukaderita-keriaan-keceriaan masyarakat yang menyokongnya? Tampaknya, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi para penulis, terutama yang berdomisili di Banten, untuk terus menggali dan menggumuli Banten dengan sepenuh mesra sepenuh rindu. Tanpa pergumulan yang serius dan intensitas yang sungguh-sungguh, agaknya sulit bagi kita menghasilkan karya sastra yang akan diperhitungkan secara kualitas. Padahal lewat karya sastra, mungkin, kita dapat merumuskan Banten atau kebantenan secara tepat. Betapa, misalnya, dayak dan alam Kalimantan begitu memesona dalam novel Upacara Korrie Layun Rampan. Dan bukankah menulis cerita masih jauh lebih baik daripada meledakkan sebuah bom yang nyaris menutup ruang diskusi itudan menyia-nyiakan nyawa manusia-manusia yang tak pernah kita hafal warna muka apalagi warna dosanya? Akhirnya, selamat kepada para nominasi (3 juara dan 12 nomine) terpilih, yang akan menghadiri malam penganugerahan pada Sabtu, 15 Desember 2012, di Ballroom Hotel Ratu Bidakara. Selamat juga kepada suluruh peserta yang telah berupaya keras menulis Banten dalam cerpen-cerpennya. Ah, bukankah kegagalan dalam lomba tidak pernah menjadi syarat mutlak untuk menghentikan seseorang menulis cerita, atau menyurutkan minatnya menggali nilai-nilai budaya? Tentu. Dan barangkali, kita mesti memerhatikannya dengan seksama sedari para ayam itu saling mengejar sebelum bersenggama, bunting, untuk kemudian bertelur. Dan dari telur itu,

kelak, kita tak sekadar membuat telur dadar. Dan agaknya kita juga mesti percaya bahwa warna lokal masih punya peluang dalam sastra Indonesia. Bahwa warna lokal Banten bisa bersanding sejajar dengan warna-warna lokal lainnya yang sudah lebih dulu ada. Sebuah upaya untuk memasukan lema Banten ke dalam khazanah sastra Indonesia modern, mesti terus kita jaga. Nah, sampai jumpa lagi dalam penyelenggaraan lomba menulis cerpen tahun mendatang. Dan telur dadar saya pun sudah matang. Demikian. [*] Penulis adalah: panitia lomba menulis cerpen Banten, Suatu Ketika yang digelar Banten Muda Community.

Anda mungkin juga menyukai