Anda di halaman 1dari 7

Ikon Sebagai Identifikasi Kota

Oleh Niduparas Erlang


Prolog
Sebuah kota yang sempurna hanya mungkin terjadi di dalam isolasi, dan isolasi
hanya bisa dengan paksa. Maka kita tak dapat menikmati tata ruangyang melulu
berkorelasi dengan tata uangdi kota-kota yang bermutasi. Dan Banten, sebagai sebuah
kota, pun telah bermutasi sedemikian rupa.
Di Banten Lama, seorang kawan yang saya ajak berziarah ke sana beberapa
waktu lalu, menyampaikan kerisauannya sebab ia tak lagi dapat menemukanatau
sedikitnya merasakanbahwa Banten pernah sampai ke puncak yang gilang-gemilang
pada masa kejayaannya. Tak lagi ada kesakralan dalam berziarah di sana. Memang, di
seputaran Masjid Agung Banten Lama itu, kini kita hanya bisa mendapati Surosowan
yang lapuk dan nelangsa, kios-kios kumuh dengan para pedagang yang rewel
menawarkan dagangannya, atau para peminta-minta yang sepertinya dirundung duka tak
berkesudahan. Kesakralan, sekaligus keagungan Banten, tak lagi menguar dan dapat
dibaui di sana. Dan berziarah, tampaknya memang telah lama menjadi hanya sekadar
berbelanja. Sebuah transaksi ekonomi. Sebuah untung dan rugi.
Padahal, pada awal tahun 2007 lalu, saya hanya mendapati sebuah mal di dekat
alun-alun Serang: Mal Ramayana Serang. Sebuah mal yang konon telah menggusur
salah satu bangunan bersejarah di kota ini. Namun kini, setelah enam tahun berselang,
setelah Kota Serang memisahkan diri dari Kabupaten Serang, sementara saya masih
kerasan tinggal di sini, kota ini bermutasi sedemikian laju. Carrefour dan McDonald mendongak angkuh di perempatan Ciceri; Giant merentang tegang di Sempu;
Lotte Mart mengangkang di Kepandean; dan Mall of Serang terhampar di depan pintu
tol Serang Timur. Kemajuan sebuah kota, seolah hanya ditandaiatau jangan-jangan
dimaknai (?)dengan hanya pembangunan gedung-gedung atau mal-mal megah.
Dengan hanya sebuah simulakra.
Di satu sisi, Banten pasca-provinsi, terus mencari-cari identitas kebantenannya
setelah sekian lama hanya menjadi bagian kecil dari Jawa Barat. Kesenian tradisi terus
digali-gali meski dalam sunyi. Pakaian adat atau rumah adat yang tidak Banten miliki,
dicoba dicarikan bentuknya yang paling sesuai sekaligus paling mewakili. Apalagi

peresmian Balai Budaya Banten, yang salah satu fungsinya adalah mengakomidasi
kebudayaan Banten itu, telah diresmikan pada 6 November 2012 lalu. Namun, di sisi
lain, investasi-investasi yang terus menggelontor ke Bantenpaling tidak ke Kota
Serangterus melakukan pembangunan gedung-gedung dan mal-mal. Semakin banyak
gedung, semakin banyak mal, semakin kita terperangkap dalam simulakrum tak
berkesudahan, dalam konsumerisme yang melingkar-lingkar.
Nah, saya pikir ada yang ironis pada bagian ini. Betapa, ketika identitas kebantenan
itu tengah dicari, digali, atau dibentuk dengan kreasi, Banten malah tengah menjelma
menjadi kota pada umumnya. Kota sembarang, kata Avianti Armand. Sementara itu,
bukankah keumuman selalu beroposisi dengan kekhususan? Tentu. Tapi itu pun jika kita
hendak percaya bahwa identitas kebantenan adalah suatu kekhususan yang tak dimiliki
daerah lain, tak didapati di kota-kota lain.
Pada titik ini, saya jadi teringat pada sebuah perbincangan di malam-malam yang
tak begitu tenang dengan salah seorang kawan. Bahwasannya kini, di Serang, orangorang hanya bisa membicarakan derita nelayan sembari mengunyah Pizza Hut, mencari
solusi akan kemiskinan warga sembari menghisap cerutu di dalam hotel, atau
membincangkan duka petani yang gagal panen dengan mulut penuh Hamburger, dengan
lidah yang lebih hafal rasa salad tinimbang rasa lumpur. Kita berbicara di ruang-ruang,
di gedung-gedung, di mal-mal, dan selamanya berjarak dengan isi pembicaraan.
Mungkin, kita memang tak perlu membayangkan Banten menjadi sebuah kota yang
terisolasi. Atau menjadi semacam Invisible Cities yang ditaklukkan dan dilaporkan
Marco Polo kepada Kublai Khan dalam novel gubahan Italo Calvino itu. Kota-kota
yang memiliki spesifikasi, keunikan, citra, khasanah, dan pesonanya sendiri-sendiri.
Tetapi, agaknya kita perlu khawatir jika Banten, kelakmeski saat ini gejalanya telah
tampak, justru menjadi salah satu kota yang persis sama dengan kota lain. Kota-kota,
di mana-mana, menjadi identik, persis serupa, dengan gedung-gedung yang sama,
dengan bilbor-bilbor yang beradu terang yang sama, dan mal-mal yang juga sama. Kotakota yang kehilangan taman, kehilangan pesona atau kesakralan, sekaligus kehilangan
bangunan-bangunan bersejarah bagi identifikasi diri kita sebagai manusia Banten yang
utuh.
Dengan demikian, tata ruang sebuah kota, tak lagi dimiliki warga kota yang
menghuninya, atau dengan kata lain, tak lagi dapat dinikmati turis lokal apalagi turis

internasional untuk sekadar tempat pelesir. Apakah yang menarik dari kota-kota yang
identik? Rasanya tak ada. Sebab, agaknya saya tidak ingin pergi ke Palembang yang
sudah sangat men-jakarta dengan nama-nama mal yang juga persis sama, sebab tak
lagi bisa menemukan bahwa kota itu pernah menjadi sebuah kota kerajaan yang cukup
diperhitungkan di nusantara. Atau pergi ke Bandung yang macet saban akhir pekan dan
hampir kehilangan udara dingin di pagi hari. Atau ke Cirebon yang nasibnya tak jauh
berbeda dengan Banten kini.
Agaknya, kelak, di kota ini, ketika kita terbangun di pagi hari, membuka jendela,
lalu berjalan-jalan dan mencari makan, yang kita dapati hanyalah rumah makan
Kentucky Fried Chicken atau California Fried Chicken atau Kebab Turki. Padahal kita
tahu belaka bahwa kita tidak sedang berada di Kentucky atau di California atau di Turki,
tapi di kota kecil bernama Serang, atau di provinsi bernama Banten.
Sekadar Mimpi yang Mungkin Nyata
Akan tetapi, di tengah era yang serba-hiper (hiperealitas, hiperkomunikasi,
hiperkomoditi, hipersemiotika, hyper-sign) semacam ini, isolasi menjadi hal yang
muskil. Sebab keterhubungan kita dengan manusia-manusia lain dari bangsa-bangsa lain
dalam wilayah teritorial yang lain, menjadi semakin singkat, ringkas, dan seolah jarak
yang merentang sedemikian jauh-panjang itu terlipat, menyusut, atau memadat begitu
saja. Dan tidak hanya ruang atau jarak yang tampak semakin meniada, semakin tak
berjarak, melainkan juga waktu yang semakin terasa begitu ringkas.
Untuk menyeimbangkan atau menghindari ironi atas pembanguan-pembangunan
dalam ranah komersialisasi seperti mal, pusat perbelanjaan, dan lain sebagainya itu
semakin marak, tampaknya menjadi penting bagi pemerintahan Provinsi Banten untuk
juga melakukan pembangunan-pembangunan di bidang lain guna identifikasi jati diri
bangsa Banten yang utuh. Kita masih dapat terus menggali, membentuk, mengkreasi,
jika perlu mengklaim apa-apa yang masih kita milikiatau apa-apa yang masih dapat
kita kreasiguna mengkhususkan kembali Banten.
Saya pikir, pencarian atau identifikasi identitas kebantenan harus sampai pada
kekhususan Banten sebagai sebuah kota dengan ikon atau simbol-simbol yang tak
dimiliki daerah lain, tak didapat di kota-kota lain. Banten harus memiliki spesifikasi,
keunikan, citra, khasanah, dan pesonanya sendiri.

Barangkali, beberapa hal yang masih dapat dilakukan adalah dengan membangun
land mark Provinsi Banten. Identifikasi identitas kebantenan, dengan pembangunan
land mark tersebut kiranya dapat merujuk pada bangunan-bangunan kuno, benda cagar
budaya, makanan khas daerah yang hanya diproduksi di Banten, atau simbol-simbol
peninggalan masa lampau. Sungguh, Banten yang telah bermutasi menjadi kota yang
identik dengan kota-kota lain ini memang memerlukan ikon/simbol untuk
menjadikannya berbeda. Ikonisasi sebagai identifikasi jati diri kebantenan.
Dalam kajian semiotika Pierce, ikon merupakan tanda yang hubungan antara
representamen dan objeknya berdasarkan pada keserupaan identitas. Itulah mengapa
kita perlu membuat atau mengkreasi ikon berdasar pada keserupaan identitas Banten
dari masa lampau, agar kita tak semakin tercerabut dari akar budaya tempat kita
berpijak.
Kita semua tahu, bahwa land mark atau ikon sebuah daerah merupakan suatu
bentuk kebanggaan bangsa, jati diri bangsa, kepribadian bangsa, simbol sikap politik,
sekaligus memiliki fungsibaik transenden maupun profan. Sebab peradaban sebuah
bangsa, salah satu wujudnya adalah bentuk bangunan yang kelak menjadi bangunan
bernilai sejarah.
Dapat kita bayangkan jika peradaban masa lalu, Raja Samaratungga tidak
membangun Candi Borobudur untuk mengagungkan Buddha, pada sekitar abad 89
itu, maka sampai saat ini bangsa Indonesia tidak akan pernah memiliki kebanggaan atas
warisan masa lalu berupa bangunan Candi Borobudur. Atau jika Soekarno tidak pernah
membangun Monumen Nasional (Monas) sebagai simbol bangsa yang merdeka, yang
mencerminkan kepribadian bangsa, dengan semangat api yang berkobar di pucuknya,
bersifat dinamis, dan memberikan kesan bergerak ke arah kemajuan, maka kita
khususnya warga Jakartatak akan pernah memiliki kebanggaan sebagai warga ibu
kota negara. Lantas, apa yang bisa kita banggakan dari Banten pasca-provinsi?
Jika jawabannya masih belum ada, maka kita harus merebut sebuahatau beberapa
buahikon dari masa lampau dan melakukan klaim atasnya sebagai bagian dari
peradaban masa kini. Barangkali, hal ini akan menjadi sebuah projek yang bukan hanya
menguras anggaran belanja daerah, melainkan juga menguras pikiran dan daya
kreativitas kita. Tetapi, walau bagaimana, upaya pembangunan land mark Provinsi
Banten yang kelak menjadi ikon atau simbol provinsi ini harus tetap ditempuh.

Baiklah, identifikasi identitas kebantenan yang dapat kita tempuh adalah dengan
cara, pertama, mengidentifikasi benda-benda cagar budaya. Misalnya, Menara Banten,
Gapura Kaibon, dan Gapura Bentar. Jika kita hendak menjadikan Menara Banten
sebagai land mark Provinsi Banten, maka kita perlu membuat ikon dari menara tersebut,
yang kelak kita klaim sebagai bagian dari peradaban masa kini dan bukan berasal dari
peradaban pada zaman Kesultanan Banten. Tapi tentu saja, karena ini adalah ikon atau
simbol, maka duplikasi yang dilakukan tidak harus sama persis dengan Menara Banten
yang berada di seputaran Masjid Agung Banten Lama itu. Kita dapat membuat variasi,
kreasi, dan kemudian membuat konvensi sosial, atas simbol Menara Baru Provinsi
Banten tersebut.
Misalnya, kita dapat membuat menara kembar dua atau kembar tiga (triad) yang
menjulang di puncak Gunung Pinang, Gunung Pulosari, atau Gunung Aseupan. Bentuk
menara baru tersebut dapat memadukan variasi antara Menara Banten seperti yang
berada di Banten Lama, Menara Air seperti yang terdapat di Rangkasbitung, Menara
Masjid Pecinan Tinggi, dan/atau Menara Masjid Kasunyatan. Dapat pula dikreasi
dengan berbagai ornamen-ornamen unik yang terdapat pada gerabah peninggalan masa
lalu, atau dengan memadukan berbagai gaya arsitektur benda-benda cagar budaya
lainnya. Lalu kita sematkan konvensi sosial kepada menara baru tersebut, pada tiaptiap bagiannya.
Seperti Soekarno yang menyematkan konvensi sosial api yang terus berkobar
pada emas di pucuk Monas, padahal seorang Amerikaseperti diceritakan seorang
kawan kepada saya beberapa tahun lalupernah menafsirkan pucuk Monas sebagai
bukan sebagai api melainkan es krim vanila. Hal itu terjadi karena konvensi sosial
yang berlaku di Indonesia dan di Amerika berbeda. Maka, konvensi sosial atas menara
baru menjadi perlu diciptakan oleh pemerintahan provinsi untuk kemudian menjadi
kesepakatan bersama seluruh masyarakat Banten.
Kemudian, misalnya, kita membuat gapura selamat datang di perbatasanperbatasan teritorial Banten yang menyerupai Gapura Kaibon atau Gapura Bentar atau
Paduraksa atau paduan antarketiganya. Kita dapat mengkreasikannya sedemikian rupa
hingga menjadi bentuk gapura yang baru tanpa menanggalkan ikonitas gapura-gapura
tersebut, dan kembali menyematkan konvensi sosial kepadanya. Setelah terbentuk, guna
sosialisasi kepada seluruh masyarakat atau para pelancong, gapura baru itu harus

dapat ditempatkan di mana saja. Mal, instansi pemerintah, lembaga pendidikan,


lembaga swasta, tempat-tempat rekreasi/pariwisata, mestilah menggunakan gapura yang
serupa tanpa perlu memodivikasinya sama sekali. Dalam hal ini, agaknya gapura baru
tersebut perlu dipatenkan dan dibuatkan peraturan khusus yang mengatur pembuatan
gapura untuk setiap banguan seperti mal, instansi pemerintah, lembaga pendidikan,
lembaga swasta, dan tempat-tempat rekreasi/pariwisata tadi.
Kedua, pakaian khas. Karena Banten tidak memiliki pakaian adat, maka kita perlu
membuatnya dengan kreasi, inovasi, dengan segenap imajinasi yang kita miliki untuk
menciptakan pakaian khas daerah Provinsi Banten. Motif, corak, warna, dapat diambil
dari ornamen-ornamen gerabah, kramik, kaligrafi, bentuk daun atau bunga langka yang
berasal dari wilayah Provinsi Banten, batik Baduy (?), dan sebagainya, hingga
menghasilkan motif, corak, dan warna yang baru, yang memiliki keunikan, citra, dan
pesonanya sendiri. Padanan pakaian khas Provinsi Banten dari atas sampai bawah,
untuk laki-laki dan perempuan, dapat disesuaikan dengan zaman tanpa meninggalkan
nilai dan citarasa masa lampau sebagai identitas kebantenan. Beberapa bentuk pakaian
khas dari Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang, atau pakaian orang-orang
Baduy dapat juga diakomodasi untuk kepentingan kreasi membuat pakaian khas Banten.
Dengan catatan, desain pakaian khas Provinsi Banten tersebut harus benar-benar
dibuat berbeda.
Ketiga, makanan khas. Sebagai provinsi yang multikultur, Banten memiliki cukup
banyak varian makanan khas daerah. Namun juga cukup banyak yang sama atau mirip
dengan daerah lain, atau kota-kota lain yang secara teritorial berbatasan dengan Provinsi
Banten. Tetapi saya kira, jika kita telusuri lebih lanjut, cukup banyak makanan-makanan
khas yang hanya dapat diperoleh di sebuah wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten.
Rabeg, Balok, Ketan Bintul, Krawulan, Cecuwer, Intil, Jeledres, Uya Sange, Tetowol,
Kukurawu, Batok, Wewe Anjlog, Rande Kedodor, dan lain-lain, tampaknya hanya
menjadi makanan daerah khas suatu wilayah. Misalnya, Rande Kedodor, sekalipun
berada di wilayah Kabupaten Serang, Bojonegara, Pulo Ampel, tetapi dapat dipastikan
bahwa masyarakat Kabupaten Serang di perbatasan Kabupaten SerangKabupaten
Lebak (misalnya di Kecamatan Tunjung Teja) tidak mengetahui makanan khas tersebut.
Maka, makanan-makanan khas dari berbagai wilayah di Provinsi Banten tersebut dapat
diklaim sebagai makanan khas Banten.

Beberapa hal lain yang dapat kita identifikasi sebagai kebantenan adalah golok
(Ciomas atau Seuat), Almadad, dan Badak Ujung Kulon. Untuk yang terakhir ini
memang telah menjadi warisan budaya dunia.
Sekali lagi, yang perlu kita lakukan adalah mulai mengidentifikasi identitas
kebantenan dari masa lampau, menciptakan land mark dengan kreativitas sesuai
semangat zaman masa kini tanpa menafikan nilai-nilai budaya dan kemanusiaan,
mematenkan hasil ciptaan tersebut, dan menyosialisasikan ciptaan dengan konvensi
sosial di tengah-tengah masyarakat kita yang akan melanggengkan kekhasan peradaban
Banten masa kini.
Epilog
Kelak, jika beberapa hal tersebut sudah ditempuh, semoga Banten dapat menjadi
kota yang sungguh-sungguh memiliki keunikan, kekhasan, khasanah, pesona, citra,
spesifikasi, dengan memiliki ciri khusus dan berbeda dengan kota-kota lain yang
indentik satu sama lain, namun berhasil mempertahankan kekhasan daerahnya. Seperti
Bogor dengan kujang-nya, Bali dengan pura-nya, Surabaya dengan buaya-ikan hiu-nya.
Banten harus memiliki land mark baru yang menunjukkan kemampuan kita dalam
membangun suatu peradaban, sebagai sebuah bangsa yang mandiri, memiliki
kepribadian dan jati diri. Dan bahwa Banten, sebagai sebuah kota provinsi, memiliki
identitas kebantenan yang dimiliki dan dinikmati oleh segenap warga yang
menghuninya sebagai bangsa yang memiliki peradaban dan sejajar dengan bangsabangsa lainnya. Begitu. [*]
Tentang penulis:
Niduparas Erlang, lahir di Serang, 11 Oktober 1986. Mahasiswa pascasarjana Kajian
Tradisi Lisan, Departemen Susastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.
Bukunya yang telah terbit adalah kumpulan cerpen La Rangku (2011) dan Penanggung
Tiga Butir Lada Hitam di Dalam Pusar (2015).

Anda mungkin juga menyukai