Anda di halaman 1dari 6

Sepeda dan Doa

Oleh Niduparas Erlang

Doa yang sesungguhnya adalah perbuatan. Sebuah upaya dalam bentuk tindakan
untuk/demi beroleh sesuatu. Bentuk kongkret dari doa adalah kerja keras, upaya terus menerus,
berkesinambungan, tidak menyerah, tidak mengeluh, dan tidak putus asa. Aksi, tindakan,
perbuatan, adalah doa itu sendiri. Dan barangkali karena itulah saya, terbilang bukan orang yang
suka tengadah sembari menadahkan kedua tangan ke langit, dan bermunajat kepada Allah.
Keangkuhan semacam ini tentu tidak datang begitu saja. Dulu, sewaktu saya masih duduk
di bangku sekolah dasar, seperti kebanyakan anak laki-laki seusia saya kala itu, sekira enam atau
tujuh tahun, saya pun memunyai keinginan memiliki sepeda mini untuk memudahkan perjalanan
pulang-pergi sekolah, sekaligus untuk bergaya di depan teman-teman satu kelas. Asyik dan
menyenangkan kiranya apabila bersepeda beramai-ramai menuju dan pulang sekolah, pikir saya
waktu itu. Maka untuk mewujudkannya, saya mengutarakan keinginan tersebut kepada nenek
sebab sedari berumur dua tahun saya dirawat dan tinggal bersama nenek, kakek, dan bibi (dari
garis Ibu) karena kedua orangtua saya bercerai. Namun, Nenek yang tidak memiliki uang yang
cukup untuk membeli sepeda, menyarankan agar saya memintanya kepada Bapakseperti
teman-teman yang lebih dahulu punya sepeda juga kebanyakan merengek kepada orangtuanya.
Lebih kurang sebulan setelah saya mengatakan keinginan saya pada Nenek, akhirnya
Bapak datang menjenguk. Dan tanpa ba-bi-bu, setelah sebelumnya bergelayut manja pada
pundaknya, saya langsung menodong Bapak untuk membelikan saya sepeda merk Mustang,
seperti kepunyaan Itingnama kecilkawan sepermainan yang berambut kriting yang sekaligus
juga tetangga saya. Tetapi, sayangnya Bapak tidak mampu membelikan sepeda pada saat itu
juga, dan menyuruh saya untuk berdoa. Katanya, Bulan depan saja, ya. Kamu berdoa saja
supaya Bapak cepat punya uang dan bisa membelikanmu sepeda. Saya masih mengingatnya
dengan jelas, bahwa ketika mengatakan ketakmampuannya itu, ia mengusap-usap kepala saya
dengan maksud, barangkali, hendak menenangkan saya atau menenangkan dirinya sendiri.
Oleh karena saya bukanlah anak yang dapat dikatakan kerap memaksakan kehendak
kepada orangtua, maka saya hanya bisa madah dengan kondisi yang kurang memungkinkan
untuk memiliki sepeda pada saat itu. Dan seperti kata Bapak, saya pun berdoa setiap kali selesai
shalat, agar Allah SWT memberikan rezkenya yang melimpah kepada Bapak supaya saya

1
dibelikannya sepeda. Hampir setiap hari saya membayangkan, Bapak datang secara tiba-tiba
dengan senyum yang mengembang di kedua pipinya yang memang tembem, sembari menjinjing
sepeda Mustang seperti yang saya pinta. Alangkah nikmat berimajinasi sebab ia bergerak-
berkelebat dengan cepat; dalam lamuman, tiba-tiba saya mengendarai sepeda dengan riang
gembira bersama teman-teman yang juga bersepeda berangkat menuju sekolah; tapi secara tiba-
tiba meloncat pada sebuah adegan di mana saya tengah membersihkan dan mengelapnya dengan
sayang; kemudian saya memarkirkannya di halaman rumah; dan kenikmatan-kenikmatan lainnya
yang berkelebatan di dalam imajinasi saya, membayangkan sesuatu yang didambakan terjadi.
Akan tetapi, setelah doa demi doa saya panjatkan, setelah hari berganti minggu, berganti
bulan, berlarian ke belakang waktu yang melaju, Bapak tak kunjung datang membawa sepeda
seperti yang dijanjikan. Dua bulan berselang, keinginan dan imajinasi saya tak juga terealisasi,
tak juga kunjung nyata. Saya pasrah dan akhirnya menyerah. Doa dan harapan saya terbang
entah ke mana. Barangkali doa saya tersangkut di pucuk-pucuk daun bambu di belakang rumah,
dan tak pernah sampai kepada Tuhan.
Di antara membayangkan doa yang mengambang dan melayang-layang di bawah langit
tak sampai kepada Tuhandan harapan yang mulai memudar, Paman (adik Bapak) yang
kebetulan melintas di dekat rumahsaya lupa waktu itu ia hendak ke manamenyempatkan diri
untuk mampir dan menyampaikan kabar bahwa, Bapak tidak lagi bekerja selama dua bulan
terakhir ini. Menurut sepenuturannya, Bapak saya sudah dua bulan ngeringkuk di rumah Umi
(saya memanggil Nenek dari garis Bapak dengan panggilan Umi). Tidak jelas apakah Bapak
diberhentikan oleh bosnya atau mengundurkan diri. Yang pasti, Bapak tidak lagi bekerja. Dan
tidak bekerja artinya tak akan punya uang, artinya pula tak akan membelikan saya sepeda.
Harapan memiliki sepeda seperti Iting pun ambruk, kandas, kemudian amblas ke dalam
tanah. Saya mengubur, tepatnya terpaksa menguburkan, keinginan itu. Dan saya berhenti berdoa,
berhenti menadahkan kedua tangan ke langit....
Perististiwa lain yang tak mudah saya lupakan adalah waktu Bapak terserang stroke.
Tubuhnya nyaris mati setengah, yaitu pada bagian organ-organ tubuhnya sebelah kanan yang
tidak sanggup ia gerakkan. Dari mulai pertolongan medis, dukun pijat, tukang urut, sampai cara
pengobatan alternatif lainnya sudah ditempuh namun hasilnya nihil. Kemudian Bapak hanya bisa
berbaring di rumahnya di Cikande, Serang, Bantenkarena kedua orangtua saya masing-masing
sudah menikah lagiditemani istri dan anak perempuannya.

2
Pada usia saya yang sudah lebih dari 16 tahun ketika itudan masih bersekolah di kelas 2
STM di Rangkasbitung, Lebak, Bantentak banyak yang bisa saya lakukan untuk kesembuhan
Bapak, kecuali berdoa. Apalagi antara saya dengan Bapak memang selalu terpisahkan jarak yang
lumayan jauh karena sedari saya kecil kami tak pernah tinggal serumah. Entah mengapa, waktu
itu, saya kembali memercayai doa sebagai salah satu upaya terakhir. Barangkali karena segala
upaya telah kami tempuh, namun tak menunjukkan hasil yang optimal. Maka, dari sekotak kamar
kos-kosan di Rangkasbitung, siang-malam tak henti-hentinya saya berdoa demi kesembuhan
Bapak. Karena walau bagaimanapunmeski Bapak sudah memiliki keluarga yang baru, begitu
pun dengan IbuBapak tetaplah ayah yang dulu sangat mencintai Ibu, menyayangi saya, yang
lewat perantara keduanyalah saya terlahir ke dunia. Memang ada ungkapan mantan istri bagi Ibu,
namun tak akan pernah ada ungkapan mantan anak bagi saya.
Selama ia terbaring sakit, sesekali saya menjenguknya ke Cikande. Menyuapinya makan,
memijat-mijat bagian tubuhnya yang kaku, menghibur istrinyaIbu tiri sayadengan
menyuruhnya bersabar dan banyak berdoa, serta mengajak bermain anaknyaadik perempuan
sayayang berumur belum genap dua tahun. Sembari bermain-main dengan adik perempuan
itulah, saya kerap membayangkan, barangkali duluketika orangtua saya berceraisaya seusia
dengan adik perempuan ini. Ah, sungguh, saya tak ingin ia mengalami nasib yang sama seperti
saya, bahkan mungkin jauh lebih berat, apabila ia kehilangan Bapak.
Namun siapa nyana, setelah lebih dari empat bulan Bapak terbaring dengan tubuh kaku
setengah, akhirnya doa kami terjawab. Bapak sembuh total seperti sedia kala. Saya memang
tidak tahu persis bagaimana Bapak bisa sembuh secara tiba-tiba sebab saya masih tinggal di
Rangkasbitung dan tengah mempersiapkan diri menghadapi ujian semester. Saya hanya
mendengar kabar kesembuhan Bapak lewat surat yang dikirim oleh ibu tiri saya. Dalam suratnya
ia hanya sedikit bercerita, kalau pagi itu, ia menemukan Bapak tengah terduduk di atas kasurnya
dan menyandarkan diri ke dinding kamar, sembari kedua belah tangannya mempermainkan bola
kastimelempar dan menangkapnya kembali. Saya membayangkan, barangkali dengan penuh
haru ia memeluk Bapak yang pagi itu telah mampu menggerakkan organ-organ tubuhnya yang
sebelumnya kaku. Saya pun sujud syukur kepada sang Pemurah, karena telah memberikan
nikmatnya kepada Bapak dan kami semua.
Selang empat bulan, ketika saya menikmati liburan kenaikan kelas di rumah Nenek (dari
garis Ibu), Paman yang dulu sekali berkunjung untuk mengabarkan bahwa Bapak menganggur

3
hingga tak sanggup membelikan saya sepeda mini, mengetuk-ketuk pintu rumah sekira pukul
22.00 WIB. Saya yang tengah terlelap terpaksa dibangunkan Nenek. Dan di ruang tamu, Paman
yang duduk bersebelahan dengan sepupu saya, Mumuh, menyampaikan sebuah berita dengan
suara yang bergetar, bahwa Bapak telah meninggal tadi sore. Saya yang masih berada di ambang
antara sadar dan tak sadar, mendusin, lumayan shock dengan kabar yang dibawanya. Bagaimana
mungkin. Bukankah beberapa bulan lalu saya menerima kabar bahwa Bapak telah sembuh dari
stroke dan kembali normal? Pertanyaan saya tidak terjawab karena Paman langsung menyuruh
saya untuk berbenah diri dan ikut dengannya ke rumah Umi. Jenazah Bapak dalam perjalanan
menuju rumah Umi, katanya kemudian.
Barangkali sebagian besar keluarga memandang saya sebagai anak yang tabah menghadapi
ujian semacam ini, sebab saya tak menunjukkan kesedihan di depan mereka dan memang tidak
menitikkan air mata ketika peristiwa besar itu terjadi. Padahal dalam hati, dalam pikiran, saya
masih tidak menyangka bahwa Bapak telah memenuhi panggilan-Nya, sekaligus masih
menganggapnya belum meninggalkan dunia, belum meninggalkan saya dan meninggalkan
anaknya yang masih kecil. Namun, memang, maut tak pernah dapat ditampik.
Tidak dimungkiri bahwa saya sangat terpukul atas kematian Bapak. Saya terpuruk cukup
lama, tepatnya tiga tahun. Menyendiri dalam kebungkaman batin, namun tempramen dalam
menghadapi setiap persoalan. Saya berhenti shalat secara total, berhenti berdoa karena tak ingin
lagi memercayai ada suatu kekuatan yang transenden di luar sana. Di sisi lain, saya menyalahkan
orang-orang terutama ibu tiri saya yang tidak bisa menjaga dan memperhatikan makanan Bapak,
menyalahkan dunia kedokteran yang tak mampu memberikan obat yang ampuh, menyalahkan
diri sendiri yang tak bisa berbuat apa-apa, bahkan menyalahkan Tuhan yang telah megambil
Bapak dari realitas kehidupan. Dalam keterpurukan, saya kutuki segala dan hengkang dari
rumah.
Setelah merayakan kelulusan bersama kawan-kawan dengan cara menenggak minuman
beralkohol sampai terjungkal dan tertidur di got, saya hijrah ke Tangerang dan berkerja pada
sebuah pabrik panel listrik. Namun sayang tak bertahan lama. Hiruk pikuk dunia pabrik ternyata
bukan tempat yang tepat untuk melarikan diri.
Selanjutnya, saya hidup seolah-olah hanya untuk diri saya sendiri. Tak mempedulikan
orang-orang di sekitar yang berkomentar tentang sikap saya yang angkuh, acuh, dan keras
kepala, berpenampilan berantakan, tukang mabuk, namun tak pernah banyak bicara. Kematian

4
Bapak adalah indikator yang menyeret saya pada kertepurukan yang semakin lama semakin akut,
semakin menggurat tajam dalam ingatan. Sungguh, saya tak berani menatap kenyataan hidup,
dan lebih sering berkhayal akan sesuatu yang saya inginkan. Karena hanya dalam imajinasi saya
dapat menghidupkan kembali apa saja yang saya inginkan, yang saya rindukan.
Tahun ketiga saya tergeletak sakit. Maag kronis. Lalu, saking tak kuatnya menahan sakit,
saya memutuskan untuk kembali ke rumah Nenek. Saya pulang. Kembali ke pelukan Nenek
yang amat menyayangi saya. Dan dalam terbaring, sesekali menggigil, nyaris setiap malam
sayup-sayup terdengar Nenek berdoa untuk kesembuhan saya: sembuh dari penyakit lahir
sekaligus penyakit batin. Sesekali saya juga mendengarnya terisak. Lambat laun, entah mengapa
saya mulai memikirkan ulang segala yang telah saya lakukan dalam tiga tahun terakhir. Adakah
saya telah berbuat salah? Barangkali, iya. Dan karena seringnya mendengar Nenek berdoa di
samping tempat saya terbaring, saya kembali terkenang pada doa-doa yang siang-malam saya
panjatkan ke pangkuan-Nya ketika Bapak terserang stroke beberapa tahun lampau. Lalu tiba-
tiba, ingatan saya terseret pada apa yang telah disampaikan guru mata pelajaran Fiqih sewaktu di
MTs dulu, bahwa anak yang saleh adalah satu dari tiga hal yang akan menyelamatkan orangtua
dari siksa neraka dan mampu mengangkat kita ke surga-Nya. Di sinilah, saya merasakan
kesedihan yang teramat dalam telah kehilangan Bapak. Sebuah rasa kehilangan yang sanggup
melelehkan air mata dan menggulirkannya dari sudut-sudut mata saya.
Setelah sembuh, saya meminta restu Nenek untuk melanjutkan pendidikan dan berkuliah
meskipun secara ekonomi agak tidak memungkinkan. Namun dengan keyakinan bahwa setiap
upaya tak ada yang sia-sia, setiap kerja keras akan membuahkan hasil yang setimpal, maka setiap
gerak-laku, tindakan, tuturan, dan cara berpikir saya adalah bentuk dari doa, selain doa-doa
malam dan doa-doa setelah shalat dengan menadahkan tangan ke langit mengharap keridhoan-
Nya.
Kini, saya tengah berkulian di salah satu kampus di Serang, sudah menginjak semester VI.
Beberapa sayembara menulis esai dan cerpen pernah saya menangi. Kadang-kadang sebagai
juara, kadang-kadang sebagai nominasi. Semua ini bisa saya lakukan dan saya peroleh tentu saja
karena kerja keras, upaya terus menerus, berkesinambungan, tidak menyerah, tidak mengeluh,
dan tidak putus asa, serta tentu pula doa-doa Nenek dan keridhoaan-Nya. Dan doa terakhir saya
adalah, semoga Bapak disambut sebagai tamu yang diundang dan beroleh tempat di sisi-Nya.
Amin. [*]

5
Belistra, 15 Mei 2010

Anda mungkin juga menyukai