Anda di halaman 1dari 4

Bengkel Las Bu Ijah

Ibuku selalu mengatakan padaku agar aku menjaga hatiku supaya tidak patah. Percayalah,
aku berusaha keras menjaganya agar tidak tergores segaris pun. Hati bagai pagar rumah, dia
melindungi segalanya.

Ketika aku mengenal kekasihku, kubuat dia berjanji untuk selalu menjaga hatiku. Tapi
mulut memang lancar berdusta. Hari berlarian cepat, memberiku kebahagiaan yang
kemudian kutahu semuanya ternyata hanya cahaya teramat remang. Kekasihku menistaiku.
Dia tak hanya menggoreskan baret yang teramat dalam, dia pun tega mematahkannya.
Hatiku penyok, tak dapat berbentuk seperti sediakala.

Aku pergi ke pantai, di mana angin dari selatan mengalir dengan manis, mengantar buih
yang pecah berhamburan di udara bagai gelembung-gelembung rapuh. Rambutku dipeluk
asin air garam dan telingaku mendengar lirih suara pesisir pantai. Katanya, aku harus pergi
ke kota Leda, kota yang penuh kotoran dosa dan gelimang kebejatan. Di sana ada seseorang
yang dapat merapikan kembali hati yang patah.

***

Bengkel itu sudah ada di sana selama puluhan tahun, mungkin ratusan. Tidak ada yang
dapat mengingatnya dengan tepat. Penerangan samar-samar membuatnya semakin tampak
terpencil di tengah lautan ruko, kedai, dan rumah sederhana yang bersesakan di kiri dan
kanannya. Pemilik awalnya seorang lelaki yang ketika saatnya tiba mewariskan bengkel itu
kepada anak pertamanya. Kini anak pertamanya telah terbalut usia. Seperti raja diraja, dia
juga hendak menyerahkan bengkel itu kepada anak lelaki pertamanya, keputusan sederhana
yang dilakukan oleh ayahnya, selama dua generasi.

Tapi anak pertamanya ngotot, tak sudi tenggelam dalam kotoran oli, tak layak mengutak-
atik mesin, tak bersedia mengurus bengkel. Otaknya telah penuh dengan kecerdasan
artifisial hasil mahakarya universitas. Lelaki itu memang keras kepala, sama seperti ilmu
yang telah diserapnya. Si ayah berkubang dalam lumpur kecewa. Anak yang disekolahkan
tinggi-tinggi terbang sejauh-jauhnya, tak ingin kembali ke tempat dia terjerembap ketika
langkah mungilnya pertama diayun. Tapi suatu pagi, anak perempuannya yang dulu hanya
berkuncir ekor kuda dan senang menggendong-gendong boneka tahu-tahu mengatakan
padanya dengan lemah lembut bahwa dia bersedia melanjutkan usaha bengkel itu.

Demikianlah si ayah dapat beristirahat dengan tenang. Harta keluarga telah ada yang
menjaga. Anak perempuannya ternyata sangat cakap dan ulet. Semua rahasia tentang ilmu
perbengkelan dikunyahnya lembut-lembut. Suasana bengkel menjadi sangat yin, feminin,
perempuan. Kantor tempat menerima telepon pelanggan dicat warna merah muda. Daun
pintunya dipasangi rumbai-rumbai. Jendelanya ditutupi gorden bermotif bunga-bunga
mungil. Tiap hari lantai disikat sampai mengilat dan bebas hama. Wangi potpourri menari-
nari di udara sejak orang memasuki gerbang bengkel.

Nama bengkel pun berubah. Si anak perempuan tak mau berkompromi untuk
mempertahankan nama bengkel yang menurutnya sangat kelaki-lakian. Bengkel Las Maju
Bersama diubahnya menjadi Bengkel Las Bu Ijah, seperti nama warung nasi uduk atau
plang papan nama bidan. Semua pelanggan yang datang akan dilayani dan didengarkan
dengan penuh perhatian. Tak ada yang dianggap angin lalu. Pekerjaan-pekerjaan sepele
selalu diterima dengan tangan terbuka. Peraturannya, tak boleh menolak permintaan tolong
dari orang lain, bahkan hal-hal yang di luar kapasitas bengkel las. Misalnya, jika ada orang
yang minta tolong ban mobilnya diganti karena kebetulan kempes persis di depan bengkel,
maka mereka wajib membantu.
Segera saja Bengkel Las Bu Ijah menjadi terkenal. Bengkel kecil yang letaknya menyempil
itu menjadi masyhur namanya. Orang berbondong-bondong mencari Ijah untuk mengurus
tetek-bengek masalah pembuatan pagar, pemasangan rangka atap rumah, sampai membuat
ayunan untuk anak-anak di taman. Kegiatan di bengkel tak pernah berhenti. Cahaya api
yang melompat-lompat dari mesin las selalu mewarnai udara.

Si ayah meninggal beberapa tahun kemudian. Dia meninggal dengan bintik-bintik


kebahagian dan kepuasan memenuhi gelembung paru-parunya yang tinggal sebelah karena
digerogoti sel-sel kanker. Ijah sibuk menyiapkan pemakaman yang megah untuk ayah
tercinta sampai-sampai air matanya tak sempat turun. Seminggu setelah ayahanda tiada,
rumah Ijah dialiri gema keheningan yang sangat memekakkan telinga. Saat itulah Ijah baru
menyadari, hatinya patah karena ditinggal sang ayah yang selalu menyiraminya dengan
cinta tanpa henti.

Ijah pun akhirnya menangis.


Menangis sampai bibirnya berdarah karena terantuk gigi.
Menangis sampai pipinya lembap dan embun menguap.

Hati patah memang mengerikan. Dunia luar terbentang mengancam, tanpa ada pagar yang
mampu melindungi jiwa. Sambil tersedu-sedu Ijah berjalan menuju bengkel lasnya. Air
matanya masih mengalir deras ketika tatapannya terbentur pada alat-alat bengkel yang
diwariskan oleh ayahnya.
Pada detik itu, ada suara berbisik lirih, tapi cukup jelas mengalir di pikirannya.

Mulanya Ijah mengira itu idenya sendiri yang sangat brilian. Tapi, beberapa menit
kemudian, dia tahu diri. Itu bukan ide yang sekadar terpantik di otaknya. Itu bukan murni
gagasannya. Ijah yakin, suara itu berasal dari ayahnya di surga, memberitahu bagaimana
cara agar Ijah dapat menghentikan kesedihannya.

Maka Ijah mempersiapkan alat-alat las dengan khidmat dan sahdu. Diperlakukannya
barang-barang kasar itu dengan lemah lembut. Perlahan-lahan Ijah mengeluarkan hatinya
yang penyok, rusak tak berbentuk. Dirapikan kepingan-kepingan hati itu di atas lantai. Dia
berjongkok, mengangkat kawat las, memasang pelindung wajah, dan mulai mengelas
pecahan hati; menyatukan kembali hatinya yang telah rusak.

Air matanya masih berhamburan, berdansa dengan lidah-lidah api ketika mesin las
bergerung keras, menempelkan pecahan demi pecahan, bagai menyambung potongan
puzzle. Semalam suntuk Ijah bekerja, merapikan hatinya. Pada pagi hari ketika ayam jantan
pertama berkokok keras, hati Ijah telah kembali bersatu dengan sempurna. Tak ada bekas-
bekas goresan atau penyok lagi. Tak ada lekukan buruk rupa maupun garis samar. Hati itu
sangat indah, mengilat, dan berkilau. Mahakarya Ijah, hasil belajar dan kerja keras selama
bertahun-tahun.

***

Aku menghabiskan waktu berhari-hari sebelum berhasil menemukan kota Leda. Aroma
kebejatan memerkosa udara sehingga sulit bagiku untuk bernapas lega. Di sana-sini ada
bayangan hitam yang melintas-lintas, membuatku ingin kencing di celana karena ketakutan.
Di tanganku, ada sepotong alamat yang tercetak di atas kertas kumal. Aku harus mencari
tempat itu untuk menyelamatkan hatiku. Aku menepuk saku celanaku, meyakinkan
potongan-potongan hatiku masih tersimpan aman di sana.

***

Sejak Ijah berhasil menyatukan hatinya, dia memutuskan untuk menyatukan hati orang lain
yang rusak. Pelanggan pertama adalah seorang ibu yang telah kawin belasan tahun dengan
pacar pertamanya. Kini suaminya, tanpa meminta restunya, tahu-tahu menikahi seorang
perempuan muda. Ijah menggabungkan hati yang rusak dengan mesin lasnya selama dua
hari dua malam. Pekerjaan yang tak sia-sia. Segera saja hati yang retak itu kembali menjadi
sempurna.

Pelanggan kedua seorang lelaki tua yang ditinggal mati oleh istrinya setelah enam puluh
tahun menikah. Hati itu pun kembali pulih seperti sediakala.

"Semoga Tuhan besertamu."


Itu kata-kata Ijah kepada setiap orang yang hatinya dibetulkan. Ternyata memang Tuhan
beserta mereka semua karena hati sebenarnya adalah rumah Tuhan bernaung. Hati yang
koyak wajib dibetulkan kembali agar tempat Tuhan menjadi indah seperti sediakala.

Kemampuan Ijah menyelamatkan orang-orang yang mengalami patah hati tersebar ke


pelosok kota. Segera saja ribuan orang berdatangan minta digabungkan kembali hati
mereka yang pecah, penyok, rusak, tergores, tak berbentuk, dan hancur. Tak lama bengkel
mungil itu semakin tersudut dikerumuni orang-orang yang datang dari segala arah angin.

Selama matahari mengelilingi lingkaran cakrawala dan bulan menggenapi perputarannya,


Ijah selalu disibukkan dengan permintaan putus asa orang-orang yang sedih, tak punya
harapan, dan frustrasi. Dia melakukan pekerjaan itu dengan rela, seperti kerelaan ranting
kehilangan daun-daunnya pada musim gugur.

***

Pada purnama kesembilan, hari kelimabelas, pertengahan tahun, aku tiba di Bengkel Las
Bu Ijah. Ada seorang perempuan muda yang berwajah teduh menerimaku dengan
kelembutan yang mengingatkanku akan belaian pertama ibu. Kutunjukkan hatiku yang
patah kepadanya. Dia mendampingiku, memegang tanganku, dan membelai air mataku.
Katanya padaku, jangan menangis, jangan kehilangan arah. Hatimu sangat indah, cantik,
bercahaya, dan rapuh. Tak heran banyak pencuri yang hendak merusak pagar jiwamu.
Senyumnya meneduhkanku. Kutelan butir-butir harapan yang berjatuhan dari bibirnya.
Katanya padaku, dia dapat merapikan hatiku kembali, bahkan memperkuat dan
meninggikannya agar tak mudah dirusaki oleh pencuri lain.

Ijah menepati janji. Hatiku kembali menjadi hati yang utuh, seperti hati yang dahulu
kukenal baik, yang kusimpan rapat-rapat di dalam diri. Hati ini bahkan tampak lebih kuat,
tak mudah goyah, bahkan lebih perkasa. Kupasang hatiku baik-baik sambil berjanji
kepadanya untuk tak akan membiarkan hatiku diserempet oleh apa pun.

***

Waktu pun menghilangkan hari dan hari menghilangkan waktu. Tahu-tahu telah belasan
kali matahari urung bersenggama dengan bulan serta puluhan kali angin timur bertabrakan
dengan angin barat. Kemampuan Ijah menyatukan hati yang patah telah didengar oleh
penguasa kota. Mereka berang untuk alasan yang gamang. Bengkel las mungil itu disatroni
puluhan manusia yang berpakaian seragam, sepatu bot berat, dan menghunus pedang.
Segera saja wangi potpourri bercampur aduk dengan keringat manusia dan liur ludah. Ijah
ditangkap lalu dipenjara. Pelanggannya dilarang kembali ke bengkel. Bengkel las itu
diobrak-abrik isinya lalu dililiti kain segel. Dilarang masuk, milik penguasa, begitu
tulisannya. Jelas, besar-besar, dan terang.

Tetangga-tetangga datang bergerombol, saling berbincang dengan asyik. Berita itu masuk
televisi dan koran, disiarkan oleh para pengejar berita. Sampai beberapa waktu, orang-
orang sibuk mendiskusikan kejadian itu. Jika ada beberapa orang menyetujui tindakan
semena-mena penguasa, lebih banyak lagi yang tak setuju. Ijah tak seharusnya ditangkap,
apalagi dipenjara. Tapi omongan-omongan seperti itu sekadar angin lalu dan kentut si
penderita masuk angin. Kasus bengkel las yang sempat masyhur itu perlahan-lahan
meredup bagai kunang-kunang yang sekarat.
Akhirnya ketika konser jangkrik mulai berbunyi di sekitar bengkel yang telah ditumbuhi
rumput-rumput liar, Ijah telah dilupakan orang. Perempuan yang membaktikan hidupnya
untuk menyatukan kembali kepingan-kepingan hati yang rusak kini meringkuk di penjara
oleh kesalahan yang tak pernah ia mengerti. Ijah akan tetap dipenjara sampai air pasang di
pantai tak akan mengobrak-abrik pasir di pesisir.

***

Aku menjaga hatiku baik-baik seperti yang kujanjikan pada Ijah. Kekasihku yang sekarang
tak pernah menggoreskan sedikit pun luka di sana. Aku mencintainya dengan segenap
jiwaku. Tapi apa yang bisa kulakukan jika ternyata Tuhan yang berkhianat dengan diriku?
Apa yang bisa kulakukan jika Tuhan sendiri yang mematahkannya? Katakan padaku
mengapa Tuhan sendiri yang mengobrak-abrik rumahNya? Kekasihku bersama buah cinta
kami yang masih berusia sangat belia meninggal dalam badai tsunami yang melenyapkan
kotaku di atas peta. Aku kehilangan segala-galanya, termasuk hatiku. Hatiku terseret ombak
setinggi gedung berlantai sepuluh dan entah terhempas ke mana.

Seketika itu, aku teringat akan Ijah. Dia yang dulu menyatukan potongan hatiku yang patah,
tentu dapat membuat hati yang baru, bukan? Tapi sayang kudengar Ijah sudah tidak
membuka praktik lagi. Bengkel lasnya kini sepi dan Ijah sendiri entah berada di mana. Aku
kini hidup dalam keputusasaan dan kelelahan teramat luas. Entah ke mana aku harus
mencari bengkel las yang mampu membuat hati sekeras baja atau menyatukan hati yang
retak. Jika saja ada Ijah lain yang dapat kutemui.

Pada Senin kedelapan sejak aku mencari Ijah, kubaca berita basi pada koran lecek berbau
pesing anjing tentang apa yang terjadi bertahun-tahun yang lalu. Penguasa telah melarang
kegiatan penyembuhan apa pun seperti yang Ijah lakukan. Menurut mereka, tindakan itu
menghina kekudusan dan pelecehan terhadap keagungan Tuhan. Air mataku mengalir tanpa
henti. Kini harapanku untuk mendapatkan hati yang baru tenggelam sudah. Sekarang aku
tertatih-tatih hidup tanpa sepotong hati, bergabung bersama dunia yang hiruk-pikuk. Dunia
yang penuh dengan manusia tak berhati. Dunia yang bersesakan dengan manusia berhati
retak, remuk, dan ambruk . Dan dunia yang membutuhkan manusia seperti Ijah. ***
+Fin

Anda mungkin juga menyukai