Anda di halaman 1dari 5

AKU DATANG MEMENUHI PANGGILAN-MU

LABBAIK Allahumma labbaik, labbaika la syarikalaka labbaik. Innal hamda wanni`mata


laka wal mulka, la syarikalak...

Talbiyah itu terus berkumandang memenuhi ruangan. Aku mendengarnya begitu


mencekam, mendebarkan, membuatku terpana. Ada sesuatu yang membuatku
terguncang. Jutaan suara itu menggema. Entah dari mana. Padahal di dalam ruangan
tak ada siapa-siapa, kecuali aku, sendiri.

Tiba-tiba seperti ada yang menggiringku untuk melangkah. Aku tak tahu pasti apakah
aku berjalan di atas tanah, atau di udara. Yang kurasakan tubuhku begitu ringan,
seakan melayang-layang. Lalu aku tiba di suatu tempat, entah di mana. Di hadapanku
sudah berdiri seseorang berpakaian putih-putih, menyambutku dengan kedua
lengannya yang merentang lebar-lebar.

Sesaat aku tertegun. Aku sangat mengenal wajah itu. Wajah tua renta, dengan tubuh
bungkuk, yang biasa berdiri di pertigaan sebuah kompleks perumahan. Ia selalu
menadahkan topi anyaman yang sudah kusam. Setiap aku lewat, kumasukkan uang
seribu, kadangkala dua ribu atau lima ribu ke dalam topi itu. Dan ia selalu
membalasnya dengan doa yang itu-itu juga. "Ooo, terima kasih, Den. Terima kasih.
Semoga rezekinya banyak, jadi haji yang mabrur?."

Aku tak tahu pasti, apakah doa itu diucapkannya juga kepada yang lain, atau hanya
khusus kepadaku saja. Yang pasti, aku tak pernah melihat ada orang lain, ketika ia
berada di tempat itu. Atau aku tak pernah melihat ada orang lain yang memberi uang
kepada dia.

Mengapa aku begitu terikat secara emosional kepada dia, aku juga tak tahu. Aku
selalu merasa iba melihat wajah dan keadaan tubuhnya yang renta.

Kadangkala aku memergoki dia sedang makan di tepi jalan, di bawah rimbun pohon,
sambil menyembunyikan wajahnya ke dalam topinya. Bahkan sekali waktu, aku pernah
melihat dia sedang shalat dzuhur di tepi jalan, di atas sajadah yang bersih.

Sempat terpikir, ingin menghampiri dan bertanya lebih jauh tentang dia, tapi selalu
urung dan urung lagi. Ah, untuk apa, bukankah ia sama saja seperti peminta-minta
yang lainnya. Padahal, jauh dalam lubuk hatiku, ada sesuatu yang membuatku
penasaran. Begitu banyak pengemis di jalanan, tapi aku merasakan ada sesuatu yang
lain jika memerhatikannya.

Dan lelaki tua itu sekarang ada di hadapanku. Wajahnya seolah memancarkan cahaya.
Begitu bersih. Berseri.

Ia menyuruhku mebersihkan tubuh, lalu memberiku kain putih, sama seperti yang
dikenakannya.

Ia mengajakku salat tengah malam, salat tahajud.

Ia membacakan doa dalam bahasa Arab, tapi aku seperti mendengarkan artinya dalam
bahasa Indonesia.
"Ya, Allah karuniakanlah haji yang mabrur, sai yang diterima, dosa yang diampuni,
amal saleh yang diterima, dan usaha yang tidak akan mengalami rugi. Wahai Tuhan
Yang Maha Mengetahui apa-apa yang terkandung dalam hati sanubari. Keluarkanlah
aku dari kegelapan ke cahaya yang terang benderang. Ya Allah, aku mohon kepada-
Mu segala hal yang mendatangkan rakhmat-Mu dan keteguhan ampunan-Mu, selamat
dari segala dosa dan mendapat berbagai kebaikan, beruntung memperoleh surga,
terhindar dari siksa neraka. Tuhanku, puaskanlah aku dengan anugerah yang telah
Engkau berikan, berkatilah untukku atas semua yang Engkau anugerahkan kepadaku
dan gantilah apa-apa yang gaib dari pandanganku dengan kebajikan dari-Mu. Wahai
Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan hindarkanlah
kami dari siksa neraka."

Usai berdoa, ia menangis sesenggukan. Lalu aku pun terbawa ke dalam keharuan
yang tulus itu, keharuan yang ikhlas itu, keharuan yang mengalir begitu saja, dalam
tangis yang menderas.

Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Pada saat kedua telapak tanganku
terbuka, ia tak ada lagi di hadapanku. Aku berteriak memanggilnya. Tapi suaraku
seakan menembus ruang hening.

Lalu aku terbangun. Duduk termangu di tepi ranjang. Melihat ke arah jam dinding.
Pukul tiga dinihari.

"Tahajud…," aku mendengar bisikan itu, bisikan yang membuatku bergerak menuju ke
kamar mandi untuk berwudu.

Ini adalah tahajudku yang pertama kali.

**
PUKUL tujuh pagi, baru saja aku mau berangkat ke kantor, seorang lelaki muda
berpakaian rapi, datang kepadaku.

"Maaf, Pak. Saya disuruh pimpinan saya untuk menemui Bapak," kata lelaki itu.
"Ada urusan apa? Siapa pimpinan Bapak?" tanyaku terheran-heran.
"Saya dilarang menyebutkan namanya. Pokoknya, Bapak diminta menemuinya jam
satu siang. Ini alamat kantornya."

Aku tertegun. Membaca kantor perusahaannya, ia seorang pengusaha sukses. Tapi


siapa namanya? Apa urusannya denganku? Mengapa merahasiakan namanya? Dari
mana pula ia mengenalku?

Aku masih termangu, ketika lelaki itu mengingatkan.

"Jangan lupa pukul satu siang. Pimpinan saya sangat sibuk, tapi ia sengaja
meluangkan waktu untuk bertemu dengan Bapak."

Meskipun dalam keadaan bingung, aku menganggukkan kepala.

Pukul satu siang aku sudah tiba di kantornya. Aku disuruh menunggu di ruangan
kerjanya yang luas dan sejuk. Begitu aku disuruh untuk masuk, ia seperti sengaja tak
mau langsung bertatap muka. Aku menunggu selama lima menit.
Orang itu muncul dari arah lain. Tinggi tegap. Gagah. Tampan. Ia menghampiriku
sambil tersenyum. Begitu berhadapan, aku terperangah.

"Masih ingat aku?" tanyanya.


"Alfarizi," gumamku.
"Ya, ya, aku Alfa. Syukurlah kau masih ingat aku."

Lalu kami berpelukan.

Alfarizi, dia teman sekolahku waktu di SMA. Anak tukang becak. Ia sering menunggak
iuran sekolah, karena orang tuanya memang miskin. Tapi semangat belajarnya tinggi.
Pintar. Cerdas. Aku sering membantu, membayar iuran sekolah, atau membelikan
buku pelajaran. Kadangkala, aku berbohong kepada ibuku, pura-pura meminta uang
untuk keperluan sekolah, padahal untuk kepentingan Alfarizi.

Ketika kami lulus SMA, aku pindah ke kota lain. Kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi.
Kami tidak sempat bertemu lagi. Bahkan aku mengira, ia tak meneruskan sekolah,
mungkin kerja, jadi buruh pabrik.

Dan kini, setelah tiga puluh lima tahun berpisah, ia sudah jadi orang yang sukses.
Pimpinan sebuah perusahaan besar. Aku tak ingin banyak bertanya tentang
kesuksesannya, sebab aku percaya pada satu hal tentang Alfarizi; ia pintar, cerdas,
ulet, dan pantang menyerah. Ibadahnya juga kuat.

Ia baru dua Minggu ditugaskan memimpin perusahaan di kota ini. Ia bilang, ia ingat
dulu aku pindah ke kota ini. Lalu ia mencari-cari alamatku. Hingga menemukannya
berikut tempatku bekerja.

Kami bercerita panjang lebar, sampai akhirnya ia bilang....

"Aku banyak berhutang budi padamu. Aku bisa begini, salah satunya karena andil
kebaikanmu sewaktu di SMA. Aku selalu berharap suatu ketika aku bisa bertemu
denganmu, ingin sekali aku membalas kebaikanmu."

"Nggak perlu diingat-ingat, aku ikhlas kok. Aku nggak mengharapkan balasan. Bahkan
aku ikut bangga, karena kau jadi orang yang sukses," kataku, benar-benar tulus.

"Begini saja. Kalau ada kesulitan, bilang saja padaku, sebagaimana aku dulu, jika ada
kesulitan dalam urusan membayar uang sekolah, selalu mengemukakannya padamu."

Aku terharu sekali mendengar ucapannya itu. Memang banyak keperluan yang belum
terpenuhi, tapi aku selalu bersyukur sebab bisa mengatasi segala kebutuhan rumah
tangga, termasuk biaya untuk sekolah anak-anakku. Tapi aku tak mau mengemukakan
hal itu. Aku hanya bisa mengucapkan, "Terima kasih."

Ia memandangku, lalu mengusap pundakku.

"Yang ini jangan kau tolak. Tahun ini aku ingin menunaikan ibadah haji bersama istriku,
dan aku berharap kau dan istrimu juga ikut bersama. Semua biaya biar aku yang
menanggungnya."

Aku tertegun. Ini benar-benar di luar dugaan.


Subhanallah.... Alangkah bagianya istriku bila mendengar berita ini!
Tiba-tiba saja aku ingat mimpi itu.
Labbaik Allahumma labbaik!. Aku datang memenuhi panggilan-Mu, Ya Allah!

**
PULANG kantor, pukul lima sore, mobilku dihentikan oleh beberapa orang yang
sedang berkerumun di tepi jalan. Aneh, begitu banyak mobil yang lewat, tapi mereka
malah menghentikan mobilku.

Salah seorang menuntunku ke halaman sebuah rumah kosong. Ia meminta tolong agar
aku membawa seseorang ke rumah sakit.

Aku melihat seorang lelaki tua tergeletak di atas sajadah.


Ya, Allah! Lelaki tua itu. Pengemis itu. Dia yang datang dalam mimpiku. Dia yang
selalu menyampaikan do`a, agar aku banyak rezeki dan jadi haji yang mabrur.

Aku menghampirinya. Innalillahi wa inna ilaihi roji`uunn. Ia sudah meninggal. Dan


semua terheran-heran menyaksikan aku menitikkan air mata.

"Aku melihat kedamaian dalam penderitaanmu. Aku menemukan cahaya di wajahmu.


Semoga engkau jadi ahli surga," bisik hatiku. ***

Anda mungkin juga menyukai