Anda di halaman 1dari 2

Izinkan Aku Menangis dalam Senyummu

Langit begitu muram, membakar awan hingga tampak merah menganga. Menyulut hingga dasar
hatiku, membakar rongga-rongga dada hingga jantungku. Membuat hatiku murka pada Kekuatan Abadi
yang memaksa bapakku kembali ke haribaan-Nya. Tiada tidak untuk menolak kehendak Sang
Berkehendak. Air mataku larut dalam genangan pasrah, tengkurap dalam dekapan bunda. Butir-butir
mutiara bergiliran menetes dari sela-sela bibir bunda, mengundang segenap malaikat tuk belai hatiku,
tenangkan jiwaku yang tengah hancur. Angin sumilir menerpa keranda, mengantarkan bapakku kembali
pada Yang Tak Pernah Pergi.

Tasbih beriring do’a menggema di dinding-dinding cakrawala, berikan kabar gembira akan
bapakku yang tengah bersenandung rindu di surga. Mataku tak berkedip menatap lukisan di dinding
bambu itu. Aku teringat, tepat delapan bulan lalu, saat ulang tahunku yang ke 15, buah tangan ayahku
sebagai hadiah ulang tahunku. Salam senyum hangat memeluk tubuhku, menuturkan penggalan kata
surga, mengisyaratkan akan kepergiannya segera. Pesan yang begitu menyentuh kalbu, tetapi maksudnya
tak mampu kutahu. Suasana hati yang riang bahagia, membuatku larut dalam pesta sederhana malam itu
hingga berlian yang mengenai telingaku tak mampu ku dengar.

Kini telingaku mulai melebar, mencari sisa-sisa berlian yang telah dijatuhkan bapakku dalam
pori-pori gendang ini. Otakku juga memaksa syaraf-syarafnya, mengais sejarah-sejarah delapan bulan
silam. Untung, kertas putih yang terbungkus darah masih tercecer di otakku. Tulisannya nampak begitu
jelas di otakku: “berbahagialah dengan sisa umurmu, sebuah perbuatan yang mulia tak selamanya terlihat
indah. Lebih baik mati sebagai binatang walau terlihat seperti manusia, daripada hidup sebagai manusia
namun tampak seperti binatang.”

Kini aku tersadar, pesan bapakku telah nyata dalam duniaku saat ini, dimana banyak orang
menjadikan dirinya sebagai binatang yang rakus akan tetesan kesejukan dunia yang menipu, juga tak
sedikit orang yang terlihat seperti binatang, mengais mengorek sampah demi lalunya nyawa.

Kata itu membuat aku tahu, bahwa apa yang aku rasa, apa yang aku tahu, dan apa yang terfikir olehku
selama ini, sebelum bapakku meninggalkanku ternyata berbanding terbalik dengan kebenaran yang
hakiki. Aku merasa hidup ini mudah dan menyenangkan tetapi aku tak tahu, bahwa selama ini bapakku
terjepit dan bersedih, bersenandung dengan terik mentari di luar sana. Yang aku tahu hanya keringat dan
darah yang telah berubah menjadi rupiah. Yang terfikir oleh otak kecilku hanya glamour dan limpahan
surga, namun aku tak sampai berfikir, bahwa bapakku merelakan jazatnya berlinang di neraka demi
senyumku.

Mataku belum berpindah dari lukisan itu. Rasa sedih bercampur luka menggores hatiku hingga
aku tak mampu meraba maksud bapakku. Air mataku melinang tak tertahan. Hatiku hanya bisa bersedih
dan bertanya-tanya: “bapak, mengapa engkau begitu jahat dengan dirimu sendiri? Mengapa engkau bunuh
dirimu dengan senyumku? Sudahkah tak ada hal lain yang lebih engkau inpikan daripada senyumku?
Mengapa engkau tak ingin membagi rasa dengan anakmu ini? Apa aku masih terlalu dini tuk meneteskan
air mata? Mengapa engkau tak izinkanku menangis dalam senyummu? Jantungku terasa sesak, penuh
akan rasa lara hati ini. Delapan bulan silam, setelah bapakku tak lagi mampu memberikan senyumnya
padaku. Ada bunda yang gantikan senyum itu juga langkah bapakku dalam menerpa kehidupan ini. Aku
teringat, sore itu bunda menampakkan hidungnya terlihat hampa walau tertutup dengan senyum yang
menghiasi bibirnya. Namun aku tak mampu menahan emosiku tuk luapkan rasa kecewaku kepada bunda.
”Sabar dulu nak, ibu pasti kabulkan permintaanmu.” tutur kata lembut, Belaian tangan lembut serta
kesabaran yang begitu nyata tak mampu ku tanggapi dengan sempurna. Aku tak tahu, apa yang ada di
otakku saat itu. Setan apa yang merasuk hati ini hingga saat itu aku benar-benar murka, aku benar-benar
kecewa, bahkan menatap matanya aku tak sudi. Pikiranku hanya terisi oleh glamour, dan apa yang
kuinginkan terkabul dengan segera. Aku tak befikir bagaimana bisa terkabul permintaan yang tinggi
sedangkan untuk makan sehari-hari hanya mengandalkan tulang bundaku saat itu juga. Kedinianku benar-
benar menbuat nalar dewasaku buta, membuat mataku tak mampu melihat, terhalang kelopak dunia yang
dusta.

Sebelum aku terbangun dari tidur lelapku, Bunda mulai melangkahkan kakinya dari rumah
bambu ini. Berlari mengejar sisa-sisa nasi dalam tumpukan sampah, mengais rupiah dalam bangkai dan
nanah. Tekat yang begitu besar, hanya ingin melihat senyumku, menbuat bunda memaksakan tubuhnya
yang kusam dan kering itu bertahan dalam jeratan takdir yang kurang sepadan.

Bunda, mengapa engkau juga tak jujur padaku? Mengapa engkau juga bunuh diri dengan
senyumku? Apa sebenarnya arti dari senyum ini, jika engkau sendiri tak mampu tersenyum? Mengapa
kau tak bilang padaku, Bahwa engkau tak tahan melawan kenyataan? Mengapa kau membiarkanku buta
akan semua ini? Aku tahu, engkau pulang pasti membawa senyum manis untukku, namun kini aku juga
tahu, nyatanya engkau terajajah oleh waktu, terpanggang mentari, terjerembab dalam tumpukan sampah.
Sesal susah gelisah bercampur dalam tubuh ini hingga panas dingin rasaku pilu.

Aku teringat sore itu bunda pulang dengan senyum palsu, menutupi sakit perih tubuhnya yang
letih. Namun aku tetap tak peduli dengannya. Hingga pagi itu aku temui tubuhnya terbujur kaku diatas
tikar jerami dengan kotak kecil dalam dekapannya. Air mataku berlinang tak henti memandang isi kotak
kecil terbungkus koran bekas itu. Hanya ada sepucuk kertas merah bertuliskan pesan terahir sebagai
hadiah ulang tahunku. “Nak, gunakan sisa waktumu tuk menjadi manusia seutuhnya, jangan seperti bapak
dan ibumu yang seakan menjadi hewan. Maafkan ibu bapakmu yang tak mampu jujur padamu.”

Aku janji pada diriku, aku tak kan pernah lupakan jasa-jasa yang telah engkau berikan selama ini.
Juga kan ingat selalu pesan yang telah terekam oleh otakku.
Bapak, ibu,…. Andaikan engkau masih ada saat ini, aku pasti memohon padamu hingga engkau benar-
benar rela tuk ijinkan aku menangis dalam senyummu, agar aku tahu ini rasamu. Tapi sayang, semua ini
kutahu saat semua telah berakhir.

Anda mungkin juga menyukai