Anda di halaman 1dari 4

Lelaki Tua Bersama Bunga-Bunga

Oleh IBW Widiasa Keniten

Lelaki tua itu menyisiri rambut istrinya. Uban yang tumbuh subur
menjadi salah satu bukti ketuaan. “Sayang, cinta kita ternyata sampai
juga setua ini,“ bisiknya. “Anak-anak kita sudah menikmati hidupnya
bersama pilihan hatinya. Kita patutlah bersyukur di usia yang senja ini
masih bisa bersama. Bersyukur masih di rumah kita. Entah kapan kita
akan menikmati rumah baru lagi.”

Istrinya tersenyum sumringah. Pipinya yang cekung dengan sorot mata


kesetiaan menatap suaminya dalam-dalam. “Dunia kita semakin
mendekati titik akhir. Hanya menunggu waktu saja. Kapan kisah kita
akan berakhir di dunia ini?” Raut kecantikan masih membekas walau
semakin kusut. Tubuhnya semakin ringkih. Tangannya terkadang
gemetaran. Ia ambilkan ubi rebus buat suaminya. “Ini buatmu.”

“Tidak. Untuk kita berdua.” Ia bagi ubi rebus nya. Giginya hampir tak
ada. Deretan gigi yang memutih dulu hanya tersisa gusinya saja. Ia telan
ubi itu pelan-pelan, takut keselek.

Sepasang merpati cantik melintasi rumahnya. Keduanya tersenyum.


“Dulu, kami juga secantik dan segagah sepertimu. Kulitku halus seperti
bulu-bulumu. Burung itu menyindir kita. Kita pernah seperti merpati itu.
Terbang menikmati indahnya angkasa. Masa-masa yang menggelikan
buat kita. Ternyata tak ada yang kekal di dunia ini. Segalanya ada batas
waktunya.”

“Sudahlah jangan membahas masa lalu. Masa lalu milik masa lalu.
Masa kini milik hari ini.”
Keduanya berusaha menuju balai-balai rumahnya. Dipandanginya
halaman rumahnya yang tidak seberapa luasnya. Istrinya mengambil
janur muda. Ia torehkan pisaunya dengan cinta. Hatinya merasa tentram
saat merangkainya. “Hyang Widhi, terima kasih. Masih diberikan
kesempatan tangan ini untuk memuja-Mu. Berikanlah kesempatan
dalam sisa hidup hamba memujaMu, walau tidak sesempurna yang kau
harapkan.”

“Ini bunga jepunnya.” Suaminya menyodorkan bunga jepun yang


dicarikannya tadi.

“Jangan memaksakan diri untuk mencari bunga. Jika terjadi sesuatu,


yang repot itu siapa?”

“Ndak apa-apa. yang kucari tangkainya yang menjulur ke bawah.”

Istrinya menata canang sekar yang akan dipersembahkannya besok pagi.


Kebiasaannya sedari dulu tak pernah pudar. Usia bukan halangan untuk
memuja kebesaran-Nya. Kebiasaan bangun pagi bukan sesuatu yang
asing baginya lebih-lebih sekarang ini. Waktu tidurnya semakin
berkurang. Tidurnya semakin susah. Lebih banyak terjaga dibandingkan
dengan menikmati lelapnya kantuk.

Malam semakin larut. Keduanya ke tempat tidur. Matanya beradu.


Keduanya tersenyum. Dipeluknya istrinya dengan cinta. “Anak-anak
kita sedang ngapain jam segini?” Laki-laki tua itu terbangunkan
ingatannya akan kedua anaknya. Keduanya telah sukses. Keduanya telah
menikmati masa rumah tangganya. Apa ia tak ingat kita, ya?”

“Bukannya tak ingat kita. Kita yang sering melupakan anak kita.”

Keduanya tersenyum. “Hahahaha, kau ada-ada saja.”

“Anak kita, biarkan ia berbahagia. Kita juga berbahagia. Kita bahagia


karena rambut kita sudah memutih. Kita bahagia karena tubuh kita
semakin keriput. Kita bahagia karena mata kita semakin kurang awas.
Kita bahagia karena pendengaran kita semakin berkurang. Coba kau
bayangkan jika kita tak bahagia. Kita akan selalu merasa sakit. Padahal,
semuanya ini harus kita liwati. Justru kalau kita tak liwati, akan menjadi
kurang bahagia.”

“Ah, kau istri yang pintar mengada-ada saja.”

Keduanya terlarut dengan pikirannya masing-masing. Kantuk mulai


menghampiri matanya. Nafasnya terdengar bersuara. Mungkin ada
sedikit gangguan di paru-parunya. Atau bisa karena usianya yang
semakin senja. Kelelahan jiwanya terasa terobati. Malam itu terasa
indah. Udara tak terlalu panas. Awal musim bunga, bunga-bunga
menunjukkan keharumannya pada semesta. Keharuman sejati tanpa
dibuat-buat. Semesta menghadirkan keharuman yang patut dirawat
dengan kasih cinta.

Ruang sepinya ada mengisnya. Ia lihat dunia keindahan di dalam


batinnya. Beberapa pohon bunga dengan keharuman yang beragam
menusuk relung hatinya. Semilir angin membangunkan keharuman
semesta menyusupi pori-pori kehidupan.

Laki-laki tua itu terlarut dalam bunga-bunga yang menebarkan


wanginya. Ia berusaha mencari pemilik taman itu. Kepalanya
dilongokkan. Ia mau berteriak, tapi tak enak hati. Orang setua dia
teriak-teriak di tempat yang sepi. Satupun tak ada pemilik taman yang
terlihat. Ia terkaget. Dilihatnya bayangan istrinya. “Kau ada di sini
juga?”

“Memangnya disuruh di mana? Di manapun kita akan selalu bersama.


Bunga-bunga itu jangan dipetik. Jangan biasakan memetik bunga yang
tidak kita tanam. Itu mencuri namanya. Seharum apapun bunga itu kalau
bukan tanaman kita tak boleh kita petik. Apa yang kita tanam itulah
yang kita petik. Kita lihat saja keindahan taman bunga di sini.”
Keduanya mengelilingi taman bunga yang teramat luas. Setiap ada
pohon bunga yang bercabang tua. Di sanalah ia duduk sambil
menikmati keindahan bunga-bunga. “Pohon bunga di sini juga menua.”

“Setiap yang tumbuh akan menua juga sama seperti kita. Ayo kita
lanjutkan ke timur sana. Laki-laki tua itu melihat bunga dengan warna
putih kristal. Menyilaukan. “Ini taman apa?” tanyanya dalam hati. Ia
ingat kata-kata istrinya tak boleh memetik bunga kalau bukan kita yang
menanam.

Ia nikmati keharuman bunga kristal itu. Ia rasakan alirannya ke seluruh


darahnya. Terkadang terasa teramat dingin. Ia berusaha mencari selimut.
Ia panggil-panggil istrinya beberapa kali. Tak ada balasan. Ia melihat
matahari pagi membuka halaman barunya. Ia bersyukur karena
tubuhnya akan kembali hangat.

“Apa kau sudah menghaturkan canang sekar?”

Istrinya kaget. Ia terbangun. Dirabanya denyut jantung suaminya yang


tak berdetak lagi.

Anda mungkin juga menyukai