Cerpen Lelaki Tua Bersama Bunga-Bunga
Cerpen Lelaki Tua Bersama Bunga-Bunga
Lelaki tua itu menyisiri rambut istrinya. Uban yang tumbuh subur
menjadi salah satu bukti ketuaan. “Sayang, cinta kita ternyata sampai
juga setua ini,“ bisiknya. “Anak-anak kita sudah menikmati hidupnya
bersama pilihan hatinya. Kita patutlah bersyukur di usia yang senja ini
masih bisa bersama. Bersyukur masih di rumah kita. Entah kapan kita
akan menikmati rumah baru lagi.”
“Tidak. Untuk kita berdua.” Ia bagi ubi rebus nya. Giginya hampir tak
ada. Deretan gigi yang memutih dulu hanya tersisa gusinya saja. Ia telan
ubi itu pelan-pelan, takut keselek.
“Sudahlah jangan membahas masa lalu. Masa lalu milik masa lalu.
Masa kini milik hari ini.”
Keduanya berusaha menuju balai-balai rumahnya. Dipandanginya
halaman rumahnya yang tidak seberapa luasnya. Istrinya mengambil
janur muda. Ia torehkan pisaunya dengan cinta. Hatinya merasa tentram
saat merangkainya. “Hyang Widhi, terima kasih. Masih diberikan
kesempatan tangan ini untuk memuja-Mu. Berikanlah kesempatan
dalam sisa hidup hamba memujaMu, walau tidak sesempurna yang kau
harapkan.”
“Bukannya tak ingat kita. Kita yang sering melupakan anak kita.”
“Setiap yang tumbuh akan menua juga sama seperti kita. Ayo kita
lanjutkan ke timur sana. Laki-laki tua itu melihat bunga dengan warna
putih kristal. Menyilaukan. “Ini taman apa?” tanyanya dalam hati. Ia
ingat kata-kata istrinya tak boleh memetik bunga kalau bukan kita yang
menanam.