Tanabata (七夕) atau Festival Bintang adalah salah satu perayaan yang berkaitan dengan musim
di Jepang, Tiongkok, dan Korea. Perayaan besar-besaran dilakukan di kota-kota di Jepang,
termasuk di antaranya kota Sendai dengan festival Sendai Tanabata. Di Tiongkok, perayaan ini
disebut Qi Xi.
perayaan Tanabata diadakan malam tanggal 7 Juli, hari ke-7 bulan ke-7 kalender lunisolar, atau
sebulan lebih lambat sekitar tanggal 8 Agustus.
Dongeng Tanabata ini berasal dari Prefektur Kagawa. Tema kisah cinta yang tragis ini
memberikan inspirasi bagi masyarakat tradisional Jepang untuk menjadikan kedua tokoh dalam
cerita itu sebagai dewa-dewi yang dapat mengabulkan segala permohonan mereka, terutama hal-
hal yang berhubungan dengan cinta asmara. Nilai-nilai positif yang dapat diambil antara lain
adalah ketulusan cinta tidak akan pernah mati walaupun diterpa berbagai macam rintangan.
Cerita Tanabata :
Pada zaman dahulu, di sebuah desa kecil hiduplah seorang pemuda miskin. Untuk
mencukupi kebutuhan sehari-harinya pemuda tersebut menjual gerabah. Setiap hari ia
berjalan dari kampung ke kampung untuk menawarkan gerabah buatannya. “Gerabah…
gerabah…!!!” teriaknya setiap hari. Meskipun sangat berat dan melelahkan tetapi sang
pemuda selalu riang gembira menawarkan barang dagangannya.
Pada suatu hari yang panas, sang pemuda berjalan menyusuri tepi sebuah danau yang
jernih. “Ah, hari ini melelahkan sekali” katanya sambil meletakkan bakulnya di tepi danau
tersebut dan mengusap peluh yang menetes di dahinya. Sang pemuda membasuh muka
dan minum beberapa tangkup air yang diambil dengan tangannya. “Ah, segarnya…” katanya
dengan senang.
Menjelang senja, sang pemuda kembali lagi melewati danau tersebut untuk melihat-lihat
apakah ada wanita-wanita cantik yang tadi sedang mandi masih ada atau sudah pergi.
Betapa terkejutnya ia ketika melihat dari balik pohon di tepi danau seorang wanita yang
cantik jelita tanpa berpakaian selembar pun sedang menangis seorang diri. Dengan hati
berdebar-debar sang pemuda mendekati gadis itu.
“Pakaianku dicuri orang! Aku tak bisa pulang tanpa pakaian itu” jawab sang gadis.
Sang pemuda jadi merasa kasihan melihat gadis itu menangis, sejenak timbul niatnya untuk
mengembalikan pakaian yang telah diambilnya tadi. Tapi, karena baru pertama kali ia
melihat gadis secantik itu, maka timbul niatnya untuk mengajak sang gadis ikut pulang ke
rumah bersamanya. Sang gadis pun sangat berterima kasih atas kebaikan sang pemuda
untuk mengajaknya pulang ke rumah.
Karena sang gadis tidak punya tempat tujuan lainnya di dunia ini maka ia memutuskan
untuk tinggal bersama sang pemuda. Mereka pun akhirnya menikah. Beberapa waktu
kemudian sang gadis yang kini telah menjadi istrinya, melahirkan seorang anak. Kehidupan
mereka pun menjadi semakin bahagia.
Pada suatu hari, seperti biasanya sang suami pergi bekerja, sedangkan sang istri tinggal di
rumah untuk memasak dan bermain dengan anaknya yang masih bayi. Hari itu tidak seperti
biasanya, sang bayi menangis dengan keras, hingga sang ibu harus bersusah payah untuk
menidurkannya. Ketika anaknya sedang tertidur pulas, tanpa disadarinya mata sang ibu
tertuju pada sebuah benda aneh yang digantung di langit-langit rumahnya. Benda apa itu
ya? Karena penasaran, maka diambilnya tangga untuk mengambil benda yang sedang
tergantung di atas. Ternyata benda itu adalah sebuah bungkusan kain. Perlahan-lahan
dibukanya bungkusan itu dan… “Oh, ini pakaianku yang selama ini aku cari. Ternyata
suamiku sendiri yang telah menyimpannya!” katanya dengan sedih bercampur gembira.
Segera dipakainya pakaian itu. Dan dengan menggendong anaknya yang masih tertidur
pulas itu, ia hendak terbang ke angkasa. Bersamaan dengan itu suaminya pulang ke rumah.
Melihat istrinya mengenakan pakaian itu suaminya menjadi sedih dan khawatir.
“Suamiku, aku telah menemukan pakaian yang selama ini aku cari. Sesungguhnya aku
adalah bidadari dari langit. Dan kini saatnya aku harus kembali ke langit. Karena disanalah
tempatku!” kata sang istri sambil perlahan-lahan melayang ke udara.
“Istriku, jangan tinggalkan aku!” teriak sang suami dengan memohon.
“Kalau engkau ingin menemui aku, buatlah seribu pasang sandal jerami, lalu pendamlah
dalam tanah di hutan bambu yang tinggi. Panjatlah pohon bambu itu hingga mencapai
kerajaan langit. Nanti kita akan dapat bertemu lagi. Sampai jumpa…” kata istrinya dengan
mata berkaca-kaca karena sedih berpisah dengan suaminya. Dan perlahan-lahan sang istri
pun naik ke atas langit hingga hilang di balik awan putih.
Teriakan sang suami pun akhirnya sampai juga ke telinga sang istri. Diulurkannya lengan
sang istri untuk menjangkau lengan suaminya. Akhirnya sang suami berhasil juga
menginjakkan kaki di kerajaan langit. Setelah itu mereka berdua menghadap ke dewa langit
yang juga ayah sang istri. Tetapi karena pada dasarnya kerajaan langit tidak menyukai
adanya hubungan antara manusia dan dewa, maka dengan cara apapun ayah dan ibu
istrinya memisahkan hubungan anaknya dengan manusia.
Suatu hari sang ayah memerintahkan suami anaknya untuk mengambil air tanpa tumpah
sedikitpun dengan keranjang yang banyak lubangnya. Tentu saja hal tersebut mustahil.
Dalam kebingungannya sang istri menolong sang suami dengan membawakan kertas
minyak untuk menutupi keranjang yang berlubang-lubang itu. Sewaktu ayah sang istri
melihat bahwa keranjang tersebut mampu menampung air, ia sangat terkejut.
Saat itu adalah saat musim panas. Di kerajaan langit, makan buah semangka adalah suatu
pantangan yang tidak boleh dilakukan karena akan menimbulkan suatu bencana. Namun,
karena sang ibu ingin memisahkan anak gadisnya dari suaminya, maka ia
memerintahkannya untuk memetik semangka di kebun.
“Belah dan bawa kemari buah semangka dari kebun!” perintah sang ibu.
Karena ia pikir memetik dan membelah buah semangka bukanlah merupakan pekerjaan
sulit, maka tanpa banyak basa-basi sang suami langsung pergi ke kebun untuk mengambil
buah semangka. Dipotongnya buah semangka tersebut dengan hati-hati. Tetapi selanjutnya
apa yang terjadi? Dari dalam buah semangka yang terbelah itu mengalirlah air bah dengan
derasnya. Sang suami terseret arus air tersebut tanpa bisa berbuat apa-apa. “Tolong…
tolong!” teriak sang suami. Ayah dan ibu sang istri tertawa senang melihat suami anaknya
terseret arus air yang telah berubah menjadi sungai yang besar. Istrinya yang baru
menyadari terjadinya bencana tersebut segera pergi ke tepi sungai tersebut. Namun ia
terlambat. Suaminya telah terbawa arus sungai yang jauh. Ia sangat sedih. Ia pun
berteriak, “Suamiku! Kita akan bertemu setiap tanggal tujuh! Tujuh…!”
Tetapi karena suaminya semakin menjauh, maka yang terdengar oleh suaminya hanya
angka “tujuh”.