Anda di halaman 1dari 39

Silabus Menulis Cerpen Itu

Gampang

Ken Hanggara

(Dilarang menyebarluaskan tulisan ini demi tujuan apa pun, kecuali seizin penulis)

1
Bab 1
Pengenalan

A. Menulis: Proses dan Tujuan


Menulis itu menyenangkan. Tak percaya? Percayalah. Menulis memberimu banyak
keuntungan, apalagi kalau sudah terbiasa dan jadi kebutuhan sehari-hari seperti makan,
minum, dan tidur. Kamu bakal punya "tambahan" teman, pengetahuanmu kian
bertambah, dan bahkan menulis juga bisa jadi profesi.
Wah, enak dong jadi penulis?
Oh, so pasti. Tapi, ada proses yang mesti kamu lewati. Setiap proses gak ada yang
mudah. Berbagai ujian, cobaan, dan godaan datang mengiringi proses menulismu.
Sampai lahirlah keluhan seperti: "Aku pengen nulis, tapi kok sulit banget, ya?" Atau
begini: Aku bingung kalau ada yang nanya aku nulis buat apa?
Keluhan-keluhan itu biasanya datang saat proses menulis sedang berlangsung. Satu
yang perlu diingat, menulis bukan seperti saat kamu masak mie instan, sekali seduh
langsung mateng. Proses menulis butuh waktu yang tidak sedikit.
Sebenarnya gak ada yang sulit dalam menulis. Yang ada cuma proses. Dalam
proses ada naik-turun, ada pahit-manis. Itu wajar. Kita sulit mungkin karena belum
terbiasa. Kata orang Jawa, "Witing tresno jalaran saka kulino", yang artinya kira-kira:
"cinta tumbuh karena terbiasa". Maka, dengan tekun berlatih, seiring waktu jemari kita
akan lancar dalam menulis.
Tujuan menulis tiap orang pasti beda-beda. Ada yang pengen terkenal, kaya raya,
menginspirasi, dan lain-lain. Itu juga wajar. Maka anggaplah suatu hari kamu berada di
tempat umum, makan bareng temen, nongkrong, ngobrol soal entah apa, lalu tiba-tiba
ada orang datang menyapa, "Eh, kamu si A, ya? Yang nulis cerpen 'Ketika Sore
Bertabur Salju' itu, 'kan? Wah, cerpen kamu bagus! Inspiratif! Sampai kebawa mimpi
loh. Makasih, ya!"
Apa yang ada di benakmu kalau suatu saat ada kejadian seperti itu? Ini bukan soal
kelak kamu akan terkenal dan punya banyak fans. Ini lebih dari itu! Ini soal bagaimana
kamu membuat orang lain senang dengan tulisanmu. Bukankah itu indah? :)

2
Ya, itu adalah satu dari sekian banyak motivasi dalam menulis. Setidaknya menurut
saya, kejadian seperti ini tidak hilang dari ingatan dan membekas dengan manis di hati.
Lalu apa hubungannya dengan menulis? Bagaimana tulisan dapat membuat orang lain
tergugah? Jawabannya satu: karena kamu menulisnya dengan cinta. Bukankah semua
yang dimulai dengan cinta dan kebiasaan, hasilnya tidak akan biasa?
Siapkan tempat duduk yang nyaman. Mari selami bagaimana menulis menjadi
begitu menyenangkan! Are you ready?

B. Belajar Menulis Lewat Cerpen


Sering kesulitan saat mulai nulis? Padahal pengen cepet-cepet bisa nulis, sementara
belum bisa membagi waktu? Rasanya nyesek banget, ya? Apalagi kalau kamu suka baca,
lalu pengen bisa nulis juga seperti penulis-penulis favoritmu. Hmm, saya dulu juga gitu.
Nah, di buku ini kita akan bahas salah satu cara memulainya. Bagaimana agar
terbiasa nulis? Karena kita secara khusus membahas salah satu jenis tulisan fiksi, maka
jawabannya adalah cerpen. Ya, cerpen bisa menjadi sarana yang tepat buatmu untuk
belajar menulis.
Ah, serius? Kok bisa?
Bisalah. Karena selain jumlah halaman terbatas (umumnya 5-7 halaman A4),
cerpen tidak sepanjang novel yang kadang membuat kita bingung dan berpikir, "Ini
yang mau gue tulis apaan, ya? Dua ratus halaman? OMG!"
Masalah itu insya Allah bisa kamu selesaikan kok. Asal ada kemauan, tidak ada
yang tidak mungkin. Dengan mulai menulis, dari skala lebih kecil seperti cerpen, kelak
jika terus berlatih, bukan tidak mungkin kamu lihai menulis novel juga. Semua bermula
dari "dimulai".
Cerpen tentu beda dengan novel. Cerpen atau cerita pendek cenderung lebih gak
ribet dibanding novel. Ya, iyalah. Cerpen cuma berapa halaman doang, sedang novel
ratusan. Itu yang membedakan, meski keduanya sama-sama bentuk karya fiksi. Cerpen
biasa memusatkan perhatian pada satu konflik, satu plot, satu setting, dan jumlah tokoh
terbatas.
Dalam novel kita akan temukan unsur seperti eksposisi (pengantar setting, situasi
dan tokoh); komplikasi (peristiwa menjelang konflik); klimaks (puncak masalah);
penyelesaian; dan pesan moral. Nah, di cerpen agak beda tuh. Oleh karena disebut

3
"pendek", maka cerpen tidak semua mengandung eksposisi atau malah cenderung tidak
diwajibkan. Cerpen yang baik hendaknya ditulis to the point, langsung ke inti masalah,
menarik perhatian, dan tuntas dalam sekali baca.
Ya jelaslah cerpen harus selesai sekali baca. Kalau seminggu baru selesai baca,
bukan cerpen namanya, tapi cerpun (cerita puaanjang). :D

1. Ciri-Ciri dan Syarat Umum Cerpen


Berikut ciri-ciri cerpen yang perlu kamu ingat:
a. Wajib pendek
pendek. Bisa dibaca dalam sekali duduk, misal sambil nunggu antrean di
minimarket, nunggu bus di halte, atau sekadar nunggu masakan Ibu yang mau matang.
pokok. Bayangkan kita membaca cerpen yang isinya tentang
b. Fokus ke satu ide pokok
asal usul hantu dari mulai dia lahir, hidup sebagai manusia sampai dewasa, lalu
meninggal dan jadi hantu. Ebuset... Panjang bener! Ini mau bikin cerpen atau novel?
Cerpen yang baik adalah cerpen yang fokus ke satu masalah/konflik, misal si hantu
sedang galau akibat tidak ada orang yang takut padanya. Maka kembangkan apa saja
yang dia jalani dalam kegalauan itu.
c. Padat/tidak bertele-tele
adat/tidak bertele-tele. Tiap kalimat dalam cerpen hendaknya gak bertele-tele,
sehingga memancing rasa penasaran pembaca sampai di akhir. Jangan hanya karena
untuk memenuhi jumlah halaman sebuah cerpen, lalu ceritamu jadi datar lantaran terlalu
boros memasukkan kata/kalimat tidak penting.
Ini contoh penulisan yang bertele-tele:

"Hallo, namaku Rian," kataku memerkenalkan diri.


"Hallo, namaku Putri," jawabnya memerkenalkan diri juga.
"Rumah kamu di mana?" kataku bertanya di mana rumahnya.
"Di Jalan Melati," jawabnya menyebut alamat rumahnya.

Duh... capek, 'kan, bacanya? Diulang-ulang mulu. :(


Padahal bisa ditulis seperti ini:

"Hallo namaku, Rian," kataku mengulurkan tangan kananku.


Putri, begitulah nama yang kudengar setelah ia membalas jabat
tanganku. Tak buang waktu, kutanya di mana tempat tinggalnya.
Dan apa jawabnya? Dia tinggal di Jalan Melati!
Ya Tuhan, ternyata rumah kami tidak terlalu jauh!

4
logis. Menulis fiksi (cerpen) bukan semata menuang imanjinasi, meski
d. Harus logis
bukan berdasarkan kisah nyata. Yang perlu kamu ingat: imajinasi hanya membantu
cerpen. Imajinasi
pada deskripsi dan narasi, tapi logikalah yang mengutuhkan isi cerpen
tanpa logika membuat sebuah cerpen terkesan cacat dan dipaksa. Nanti malah jadi gak
bagus. Contoh kamu menulis soal persahabatan dua orang anak TK, tetapi yang mereka
bahas soal dunia politik. Ini gak nyambung. Pembaca malah curiga, jangan-jangan tuh
bocah datang dari masa depan?
Yang dimaksud logika bukan berarti kita tidak boleh nulis cerita fantasi seperti
Lord of The Ring, Harry Potter, dan semacamnya. Boleh kok. Menulis apa saja bebas.
Logika maksudnya agar jalinan cerita tidak berlawanan dengan logika umum di kepala
manusia. Kalaupun tidak logis, meski ada sebab akibat yang mendampingi. Tidak lucu
kalau dalam kisah normal, kita nulis soal bulan Desember di Eropa, tapi digambarkan
matahari sedang terik-teriknya. Padahal di sono 'kan musim salju. #LOL (--",)
kesan. Kesan selalu datang di saat awal dan akhir. Maka buat opening
e. Memberi kesan
yang to the point dan ending mengejutkan. Ending di luar dugaan, atau bahkan di luar
harapan pembaca (yang ini agak kejam, hihi) sangat dianjurkan. Jangan khawatir
pembaca gak suka karena kamu buat ending menggantung. Sah-sah saja ending-mu
begitu, asal logis dan tidak melemahkan kekuatan cerpen yang kamu bangun sejak
opening.

2. Unsur-unsur dalam Cerpen


Sekarang masuk ke bagian penting. Jika sebuah pesawat tidak bisa terbang
tanpa sayap, maka cerpen tidak bisa lahir tanpa unsur pembangunnya. Ya, unsur
intrinsik dan ekstrinsik.
Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun sebuah cerpen, meliputi tema,
alur, latar, tokoh/perwatakan, dan sudut pandang. Sedangkan unsur ekstrinsik
adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung
memengaruhi isi sebuah karya.
Mari kita bahas satu-satu.

5
a. Unsur Intrinsik
>> Tema
Tema adalah ide pokok sebuah cerita. Tema sama dengan ide cerita, gagasan,
sesuatu yang muncul dan ingin kita tulis. Sebuah cerpen tak akan terwujud jika tak
ada ide. Maka, tema/ide cerita adalah salah satu hal penting, pondasi yang kelak
menjadi asal-usul sebuah cerpen yang kita tulis. Jadi, sebelum menulis, temukan
dulu tema apa yang mau kamu tulis. Jangan langsung nulis tanpa menetapkan tema.
Nanti cerpenmu tidak terarah.

>> Alur
Alur (plot) adalah urutan peristiwa atau kejadian yang membentuk sebuah
cerita berdasarkan sebab akibat. Alur tidak cuma mengemukakan yang terjadi, tapi
juga menjelaskan kenapa itu bisa terjadi. Oleh karena itu, alur biasanya disebut
susunan cerita atau jalan cerita. Sebuah cerpen sudah pasti memiliki jalan cerita.
Tidak ada jalan cerita, bukan cerpen namanya.
Ada tiga jenis alur yang bisa kamu pilih sesuai kebutuhan, yakni alur maju,
mundur, dan campuran (maju dan mundur). Alur maju adalah rangkaian kejadian
yang urut dari awal menuju akhir. Sedang alur mundur, urutan waktu kejadiannya
bergerak mundur/flashback. Kamu bebas mau nulis dengan alur mana. Asal jangan
lupakan untuk membangun jalan cerita dengan baik.
Bagaimana membangun jalan cerita dengan baik?
Ketika seseorang belajar menulis cerpen, fokusnya bisa terbelah menjadi dua,
tiga, empat, bahkan lima. Misal dia mau nulis cerpen tentang si anak yang ingin
sepatu baru. Ibunya ingin memberi anak itu kejutan di hari ulang tahunnya. Maka
yang ada di kepala kita sudah pasti toko sepatu, kado, hari ulang tahun, dan sekitar
itu, 'kan? Tapi yang ada malah diberi fokus lain seperti tiba-tiba terjadi
perampokan di pinggir jalan yang tidak ada kaitan dengan jalan cerita.
Nah, bagaimana membangun jalan cerita yang baik? Jawabnya: jangan
perlebar ide/tema/masalah yang kita angkat. Jangan tergoda menambah hal
lain--yang jika hal itu tidak kita masukkan ke dalam cerpen pun--cerita yang kita
buat sudah sempurna. Ini seperti menuang air garam ke lautan: sia-sia.
Fokus ke satu konflik bisa dilakukan dengan membuat outline atau gambaran

6
kasar, seperti apa sih keseluruhan jalan cerita di cerpenmu nanti. Outline bisa kamu
buat dalam satu paragraf kecil, yang terdiri dari 4-5 kalimat. Itu contoh. Kalau mau
bikin yang lebih juga tidak apa-apa, misal dua paragraf. Asal yang kamu tulis
dalam outline tidak keluar dari tema yang ingin kamu tulis.
Tujuan outline simpel: agar tulisan kita tidak melebar ke mana-mana. Jika
nanti terpaksa melebar, tidak terlalu besar efek pelebarannya (emangnya jalan bisa
melebar, wkwk).
Tulis outline di lembar lain dari cerpenmu, jangan satukan! Ini penting,
biar tidak campur aduk dan malah bikin puyeng, hehe. Biasakan menulis pakai
outline, terutama bagi kamu yang sering kehilangan ide bila tidak cepat disimpan.
Dengan adanya outline, kamu lumayan terbantu karena tidak perlu lagi berpikir
panjang menentukan ending di tengah-tengah proses menulis cerpen itu sendiri.
Nah, jika keseluruhan alur ada di outline dan tinggal menulisnya, semua lebih
mudah. Kembangkan ceritamu. Boleh diawali dialog atau narasi. Bebas, terserah.
Yang penting bikin opening semenarik mungkin, agar pembaca bisa kamu tangkap
hatinya (ceileh... tangkap hatinya :D ). Kembangkan cerita itu sesuai pakem yang
kamu buat di outline, lalu tangkap hati pembaca sampai akhir cerita. Sampai di sini,
jangan ada yang bilang, "Aku punya ide, tapi menuangkan ke dalam kata-katanya
itu lho sulit!"
Trik soal itu bisa kita intip ke bagian selanjutnya.

>> Latar/Setting
Latar (setting) adalah tempat, waktu, dan suasana yang terdapat dalam cerita.
Jika cerpen sebuah keluarga besar, maka latar adalah rumah tempat mereka tinggal.
Sebuah cerpen tidak bisa disebut cerpen jika tidak mempunyai latar.
Yang perlu kamu ingat: latar tidak melulu soal tempat yang bisa dilihat
seperti sekolah, rumah, stasiun, dan sebagainya. Latar juga tidak melulu soal
waktu seperti "sepuluh tahun lalu", "dua bulan kemudian", dan sebagainya.
lho..
Suasana emosi di jiwa para tokohmu juga termasuk latar lho
Kesulitan mengubah ide ke dalam kata-kata bisa kamu atasi di bagian ini.
Katakanlah kamu pengen nulis soal petualangan penganen cilik di Jakarta. Anggap
kamu pernah ke sana, bahkan sering. Jadi, kamu tahu dong detail tempat-tempat

7
umum di Jakarta. Bagi yang belum pernah, padahal pengen juga nulis dengan latar
kota itu, bisa minta bantuan Mbah Google. Di zaman semudah ini, riset bisa kamu
lakukan di mana saja, termasuk di warnet. Hehe.
Kamu yang hafal suasana sebuah kota bisa mengandalkan kenangan dan
ingatan. Mungkin ini salah satu kegunaan sebuah kenangan. Jika kamu senang
mengamati, tentu tidak sulit ketika menuliskan paduan narasi dan dialog seperti di
bawah ini:

Blok M pagi itu begitu dingin. Perutku lapar. Matahari sudah naik. Entah
jam berapa ini. Baru saja bangun, tempat ini telah penuh lalu lalang pejalan kaki.
Aku terkantuk-kantuk menyusuri trotoar di salah satu sudut kawasan ini, dekat
jalur masuk halte busway, tempatku tidur beberapa malam lalu.
"Di mana Ibu?" batinku pedih. "Apa jangan-jangan ke tempat juragan
Hasim? Ah, mudah-mudahan saja tidak!"
Metromini segala warna, hijau, biru, dan entah apa lagi, di sudut timur sana,
mengadu derunya dengan mesin busway yang lembut tapi garang yang berbaris
tak jauh dariku.
Seorang pengamen berbadan pendek turun dari metromini hijau, berlari
menembus barisan orang kantoran di sepanjang trotoar, dan menghampiriku
dengan gelisah, "Gawat, Dul! Ibumu, Dul, ibumu!"

Jadi, latar menggambarkan tempat, waktu, dan suasana emosi dalam cerita.
Sebuah cerita harus jelas di mana berlangsungnya, kapan terjadi, termasuk suasana
yang dialami sang tokoh ketika cerita berlangsung.
Dari contoh di atas, setidaknya kamu dapat dua hal.
Pertama, mengubah ide jadi kata-kata. Seperti yang saya bilang, ingatan itu
penting. Jika kamu datang ke suatu tempat, di mana pun, sempatkanlah menyimpan
pemandangan di memori otakmu. Atau bisa juga kamu simpan di foto. Suatu saat
kamu butuh untuk deskripsi latar tempat atau suasana. Dari proses pendeskripsian
inilah, seiring waktu, pelan-pelan, mau tidak mau, kamu pasti akan juga bertemu
dengan pendeskripsian gerak laku/tindakan orang seperti menangis, tertawa, marah,
dan sebagainya.
Maka, gak ada lagi alasan untuk bilang, "Aku punya ide, tapi mengubahnya ke

8
dalam bentuk tulisan itu sulit."
Memang ini butuh proses, gak langsung mateng seperti bikin mie instan gitu.
Mengamati dan mengamati, itu kuncinya. Banyaklah mengamati, maka akan
terbiasa buatmu "memelihara" gambar imajiner dalam kepala. Cara ini banyak
membantumu mengubah ide menjadi kata-kata.
Hal kedua yang kamu dapat dari contoh itu adalah: narasi tidak harus selalu
panjang. Cukup tulis yang penting-penting
penting-penting. Padahal bisa saja dalam contoh di
atas, si penulis menjabarkan detail lain seperti pedagang asongan dan penumpang
metromini yang berjubelan. Tapi di contoh itu tidak ada.
Tentu deskripsi yang detail tentang suatu tempat akan membuat tulisan lebih
hidup. Tapi sesuaikan juga dengan kebutuhan ceritamu. Tokoh "aku" dalam contoh
tampak baru bangun tidur. Masa iya sih bakal sempet ia jabarin semua yang ada di
Blok M pagi itu, sementara ia masih ngantuk? Emang presenter acara plesiran? :D
Seperti kata Pak Edi Akhiles, CEO Divapress, bahwa dalam menuliskan
latar, jangan sampai kamu terjebak jadi reporter! Nah, loh! Kok bisa? Iya,
reporter. Maksudnya pendeskripsian tempat terlalu detail sampai-sampai lupa
bahwa kamu sedang menulis cerpen, bukan berita.
Jadi, sedetail apa pun ceritamu, jangan abaikan tokoh dan segala
masalahnya, sedang kamu malah sibuk sendiri jabarin satu per satu lokasi
tempat dia berada. Masukkan tokoh dan masalahnya ke bingkai utama
pemanis. Detail
ceritamu, lalu jadikan detail tempat tadi sebagai selingan dan pemanis
tempat bisa dalam narasi atau dialog, begitupun masalah yang tokoh hadapi.
Perpaduan narasi dan dialog yang berimbang akan membuat tulisanmu tidak
membosankan.

>> Tokoh dan Perwatakan


Setiap cerita yang kamu tulis harus punya tokoh, apa pun bentuknya. Kamu
bebas membuat tokoh sesuai maumu. Misal seganteng atau secantik apa dia,
sepintar atau sehebat apa dia, sejelek atau senakal apa dia, dan lain sebagainya.
Tempatkan tokoh-tokoh buatanmu ke dalam peran yang jelas. Apakah ia menjadi
penjahat atau pahlawan.
Nah, pembuatan tokoh ini gak lepas dari perwatakan, yakni menggambarkan

9
watak atau karakter tokoh, yang bisa kamu lakukan dengan tiga cara, di antaranya
melalui dialog, penjelasan tentang tokoh (dari segi watak), dan penggambaran fisik
tokoh.
Paling tidak, kamu harus punya dua jenis tokoh agar ceritamu lengkap, yakni
tokoh protagonis (tokoh utama) dan tokoh antagonis (lawan dari tokoh utama). Jika
ada tokoh penengah, yang disebut tritagonis, tentu tidak masalah. Syarat penting
sebuah cerpen salah satunya adanya tokoh antagonis yang menimbulkan atau
memperparah konflik yang dialami tokoh utama. Biasanya si protagonis orangnya
selalu baik, sementara lawannya si antagonis selalu jahat. Sedang tritagonis
kebanyakan hadir membantu tokoh utama.
Dalam pembuatan tokoh perlu kamu ingat logika dan konsistensi. Setiap
tokoh adalah semua yang ada di dunia nyata. Maksudnya gini, cerita yang baik
bisa membuat pembaca merasa seperti melihat kejadian sesungguhnya. Ya to? Jadi
buat tokohmu sewajar mungkin sesuai usia, latar belakang, karakter, dan
sebagai apa tokoh itu hidup.
Misal kamu membuat tokoh kepala sekolah yang galak. Tentu kepala sekolah
itu orang disiplin, pintar, dan dewasa. Masa iya kepala sekolah tiba-tiba merengek
pada ibunya minta dibelikan mobil-mobilan? 'Kan gak lucu? Segala bentuk
"penyimpangan" ini bisa diterima kalau ada sebab akibat dan penjelasan logisnya.
Selain logika, konsistensi tokoh juga perlu. Jangan tiba-tiba mengubah watak,
sifat, atau kesukaan si tokoh di bagian tengah atau akhir cerita tanpa alasan. Misal
dia yang tadinya penyuka hujan, tapi tiba-tiba ngedumel gara-gara kejebak hujan
dan gak bisa pulang. Jelasin apa yang membuat dia jadi berubah. Konsistensi tidak
akan cacat kalau kamu punya alasan.
Kesimpulan:
1. Logika tiap tokoh gak lepas dari tingkah laku dan dialog
dialog. Perhatikan
betul saat nulis dialog tokohmu atau menggambarkan tingkah lakunya.
Berpeganglah pada pakem bahwa tokohmu harus sesuai dengan usia, latar
belakang, karakter, dan sebagai siapa dia hidup.
2. Konsisten pada tokoh. Biasanya kita melenceng dan lupa pada watak antar
tokoh dalam satu cerpen, hingga saling tumpang tindih. Untuk menghindari hal ini,
kamu buat catatan di kertas tentang tokoh-tokoh dalam cerpenmu
cerpenmu. Tulis ciri

10
fisik dan karakter dia di situ, termasuk hobi dan tanggal lahir bila perlu. Dengan
berpedoman dari situ, kamu akan terbiasa menempatkan tokohmu pada jalurnya,
tidak melenceng, misal dari yang tadinya menyebut diri sendiri "saya", menjadi
"gue". Namun sekali lagi, perubahan seperti itu tidak akan masalah jika kamu
punya alasan.

>> Sudut Pandang (Point of View)


Sudut pandang adalah cara kita/penulis dalam memandang suatu peristiwa.
Untuk tahu sudut pandang apa yang dipakai, kita dapat mengajukan pertanyaan:
siapakah yang menceritakan kisah tersebut?
Sudut pandang dibagi menjadi dua, yakni sudut pandang orang pertama
("aku", "saya", "gue", dsb) dan sudut pandang orang ketiga (pengamat). Dalam
menulis cerita kebanyakan dari kita tinggal pilih mana di antara dua sudut pandang
di atas yang enak. Tapi sebagian ada yang memilih sudut pandang campuran, yakni
dalam satu cerita memakai sudut pandang orang pertama dan sudut pandang
pengamat. Untuk pilihan ketiga ini perlu ketelitian. Maka, disarankan bagi kamu
yang baru menulis cerpen, sebaiknya memilih antara sudut pandang pertama atau
ketiga saja, bukan campuran.

b. Unsur Ekstrinsik
Unsur Ekstrinsik adalah unsur-unsur yang membangun sebuah karya dari luar,
seperti pesan moral, pandangan, keyakinan, dan sebagainya yang disampaikan
secara tidak langsung oleh penulis melalui cerita pendek.

11
Bab 2
Tips-Tips

Saat diminta menulis buku ini oleh creator UNSA, Uncle Dang Aji Sidik,
saya survei ke sekitar 20-an teman penulis dengan usia 15-25 tahun, bertanya apa
kendala mereka saat nulis cerpen. Dan hasilnya? Semua jawaban ada di sekitar
situ-situ saja.
Kita sebagai penulis muda rata-rata punya masalah sama kok. Jadi jangan
berpikir, "Kayaknya cuma gue doang yang kesulitan nulis?" Berasa cuma kamu aja
yang menderita di dunia ini. Hehe. Tenang, kamu tidak sendiri, Sobat. Saya yakin,
seiring waktu, dengan terus berlatih, semua masalah dapat teratasi.
Di bagian ini ada tips-tips yang semoga berguna buatmu saat sedang nulis
cerpen. Tips-tips ini ditulis berdasar pengalaman pribadi saya, dan tentu mengutip
pula dari pengalaman-pengalaman penulis senior. Siapa tahu setelah membaca
rentetan tips ini ada pencerahan yang membuatmu bangkit.

A. Judul yang Memikat


Judul ibarat wajah, kepala, baju, dan segala asesoris yang dipakai "seorang"
cerpen. Semua terlihat dari luar. Maka sepatutnya judul dibuat memikat, mengikat,
mengundang rasa penasaran dengan sejuta tanda tanya. #jiaah...
Kamu percaya cinta pada pandangan pertama? Love at the first sight? Bagi
sebagian orang itu omong kosong. Tapi percayalah, bagi pembaca cerpen, cinta
semacam itu wajib!
Cerpenmu gak akan menarik minat pembaca jika judul yang kamu buat
ngebosenin, jadul, klise (itu-itu saja), bikin ngantuk, dan pasaran. Maka buatlah
gebrakan baru soal judul. Dan satu lagi, jangan ikut-ikutan!
Cara membuat judul yang bagus adalah sebagai berikut:
1. Gunakan kata-kata yang tidak lazim
lazim, tapi jangan sampai gak ada
hubungan dengan isi cerpenmu. Ibaratnya kamu punya kebun mangga tapi di pagar
depan ada tulisan: "Ternak Sapi". 'Kan gak lucu? -_- Buat kata-kata yang tidak

12
lazim tapi tetap berpegang pada isi cerpenmu. Contoh judul yang tidak lazim ini
misalnya: "Travelogue".
2. Kreatif alias jangan meniru-niru
meniru-niru. Misal kamu lihat temen bikin cerpen
judulnya "Ketika Senja Menjadi Tangis", kamu tertarik lalu bikin "Ketika Pagi
Menjadi Tangis". Padahal ceritamu beda jauh sama cerita temenmu, atau malah
beda jauh sama judul itu sendiri. Duh, keliatan maksa nyonteknya. :( Buat judul
yang sekiranya belum pernah ada. Contoh: "Minus Menangis".
3. Buat pembaca penasaran dengan judul cerpenmu sampai
isinya. Gimana caranya biar orang penasaran? Jawabnya adalah
menebak-nebak isinya
saat kamu merasa penasaran dengan cerpen orang lain sesaat setelah baca judulnya.
*ya iyalah :D Caranya dengan membuat judul yang berpusat pada konflik. Misal
kamu nulis tentang ibu yang diam-diam rela lapar demi anaknya. Ibu itu kemudian
sakit dan pingsan di tepi jalan. Maka judulnya bisa begini: "Maaf, Jatah Makan
Malammu Kuambil, Bu." Kira-kira penasaran, gak? Kok ada ya, anak yang tega
ngambil makanan ibunya. Pasti yang ada di pikiran pembaca itu. Padahal aslinya
enggak.
4. Hindari memakai pola judul yang sama dengan judul tulisan orang
orang.
Misal kamu seneng ngelihat judul novel terkenal "Ayat-Ayat Cinta", lalu kamu
merasa kagum dan pengen punya karya fenomenal juga, hingga membuat judul
yang kira-kira berbunyi: "Surat-Surat Cinta", "Jari-Jari Cinta", "Daun-Daun Cinta"
-_- Tidak salah kok membuat judul dengan pola yang sama dengan judul yang
sudah ada. Cuma ya jangan keseringan, nanti pembaca bosan dan malah mungkin
enggan membaca cerpen kita. :) Ingat, terobosan, terobosan!
5. Sesuaikan judul dengan target pembacamu
pembacamu. Kalau kamu nulis cerpen
untuk remaja, judul seperti "My Sweet Diary" boleh-boleh saja. Tapi masa iya kita
nulis cerpen untuk anak-anak, malah dibikin judul: "Ketika Aku Terjerat Dilema".
Gak cocok banget, 'kan?
6. Yang tak kalah penting dari penulisan judul adalah: buatlah judul setelah
cerpenmu selesai. Ini lebih mudah membuatmu mengembangkan cerita dengan
bebas meski dalam satu konflik. Kamu tidak akan macet hanya karena terikat oleh
judul yang sudah ditetapkan. Tapi ada juga sih, yang lebih mudah menulis dengan
membuat judul lebih dulu. Itu sah-sah saja. Tinggal pilih mana yang kamu

13
nyaman. :)

B. Opening yang Menjerat


Kalau judul ibarat penampilan luar, maka opening adalah tingkah laku. Attitude!
Bayangin, kamu ketemu orang baru, kenalan baru. Kelihatannya sih asyik, seru, baik,
ramah, sopan... ah, pokoknya perfect lah. Eh, ternyata, setelah kenal beberapa menit aja,
kamu udah bosen hanya karena cara bicara dia yang tidak sopan atau kurang ajar.
Nah, judul yang bagus saja tidak cukup untuk cerpenmu. Opening yang bagus juga
penting lho. Karena sejak kalimat-kalimat pertama, orang akan tahu dia mau atau tidak
meneruskan membaca cerpenmu. Maka, opening harus menjerat, nendang, mengundang
penasaran, menggugah perasaan, dan menyimpan kejutan.
Contoh opening yang ngebosenin kira-kira begini:

Matahari bersinar begitu terik, membelai rerumputan di halaman depan


rumahku, sekaligus mengurung hatiku yang sepi dan sendiri dirundung gundah
gulana. Pohon-pohon berbaris riang di sepanjang jalan depan, tapi aku meriang
dan merana di tepi jendela. Ada awan berarak yang nampak malu-malu. Aku
menangis mengingat segala luka masa laluku.

Ini bosen banget, kurang menggairahkan. Yang ada bukan nerusin baca, tapi
ngantuk dan tutup cerpennya. Contoh yang baik buat opening adalah:

Kota itu habis, tinggal tersisa ujung-ujung gedung bangunan tingginya. Seekor
kambing bernama Bartus menghela napas. Ekor panjangnya ia lingkarkan ke pantat
dan perut. Cuaca dingin. Bersama Duma, anjing bertanduk yang jadi sahabatnya,
Bartus meringkuk di geladak kapal. Di sekitarnya, kaki manusia-manusia beruntung
pengikut kebenaran tampak memucat.

Atau bisa juga pakai dialog seperti ini:

"Sejak kepergianku tujuh tahun lalu, kamu tidak banyak berubah. Rambut
jabrik, celana bolong, jaket kulit. Seperti kembali ke masa lalu, aku melihatmu
sama seperti dulu. Hanya saja...."
"Hanya saja apa?" potongku yang tak percaya ia datang dan kembali ke kota
ini. Ia, perempuan yang dulu menjeratku hingga jatuh ke titik nadir, kini berjilbab.
Cahaya di matanya begitu berbeda.
"Hanya saja, aku sudah tidak seperti dulu, Rano."
14
Cara membuat opening yang bagus:
1. Jangan terjebak kata-kata puitis. Terjebak kata-kata puitis kadang membuat
opening-mu bertele-tele. Menulis dengan bermain-main kata itu bagus, tapi perhatikan
bahwa opening yang bagus adalah opening yang tidak membuat ngantuk pembaca.
Kata-kata puitis boleh kamu masukkan, asal tidak berlebihan. Sesuai porsi sebagai
pembuka, jangan sampai kata-kata puitis mendominasi "jeratan" yang mestinya ada
dalam opening.
2. Buat "jeratan"
"jeratan". Yang namanya "menjerat", pasti tidak jauh-jauh dari menahan,
menyandera, atau mengikat. To the point, itu kuncinya. Ada dua pedoman yang bisa
kamu jadikan pancingan. Pertama, apa konfliknya
konfliknya? Dan ketiga, apa akibat yang bisa
terjadi dari konflik itu
itu?
Pilih satu dari kedua pertanyaan ini untuk memfokuskan opening.
Misal kamu memilih konflik. Maka sasarlah konsentrasi pembaca dengan konflik
yang terjadi sejak awal mula. Contoh:

Hari yang tidak kusangka-sangka. Sebuah bom meledak tepat di pusat


perbelanjaan kota besar ini. Aku yang hendak menjemput Dina, kontan panik.
Orang-orang berlarian. Tua, muda, tak pandang bulu. Bunyi alarm dan asap di
mana-mana. Ya Tuhan, apa Kau masih memberiku kesempatan?

Coba perhatikan, opening ini langsung menyasar ke arah konflik dan menjerat hati
pembaca, 'kan? Atau kamu lebih suka memilih akibat yang terjadi oleh konflik itu?
Maka opening bisa menjadi seperti ini:

Barangkali Tuhan tidak memberiku kesempatan. Lorong rumah sakit ini


mengandung bau kematian. Aroma anyir menyusup masuk ke dalam hidungku.
Hari yang tidak kusangka. Aku yang mengira akan membawa Dina pulang,
mengenalkannya pada Ayah dan Ibu, kini duduk di sini dan mendengar jerit
tangis di mana-mana. Sebuah bom meledak, mengacaukan seluruh rencanaku.
"Anakku... Anakku!" teriak seorang ibu di ujung sana.

Opening yang fokus pada "akibat sebuah konflik" ini akan dilanjutkan
dengan teknik alur flashback. Sebaliknya, opening yang fokus pada "apa

15
konfliknya", dilanjutkan dengan alur maju
maju. Meski demikian, di pertengahan cerpen
tidak menutup kemungkinan akan terjadi alur campuran, tergantung bagaimana kamu
nyamannya saja.

3. Buat opening yang beda, artinya jangan nyama-nyamain dengan opening yang
sudah terlalu sering dipakai. Misal adegan bangun pagi si tokoh yang diawali dengan
bunyi alarm atau telepon seperti:

"Kriiiing!" suara alarm membangunkanku.


Sial! Sudah jam setengah delapan!
Aku melompat bangun dari tempat tidur, meraih handuk, dan masuk
kamar mandi. Duh, telat lagi, kan? Moga-moga Panji tidak marah

Hmm, rasanya opening seperti itu sudah jadul banget, Sobat. :) Coba cari sisi
lain seandainya kamu memang pengen bikin adegan bangun pagi si tokoh. Saya beri
contoh sederhananya, kira-kira gini:

Pagi yang dingin. Aku berada di setengah alam mimpi. Bayang-bayang


wajahnya hadir. Ah, janji itu. Aku jenuh, meski harus bangun dan
akhirnya mematikan alarm yang menggangu kuping. Tidak, tidak, ini
bukan soal kebenaran perasaanku pada Lucy. Ini semata karena ingin
menyenangkan ibuku.

angan buka cerpenmu dengan dialog-dialog yang kurang begitu penting


4. Jangan penting.
Opening dengan dialog boleh saja, selama dialog bisa mengikat pembaca dengan dua
pedoman di atas ("apa konflik" dan "akibat konflik").
Kalau dialog seperti "Tidaaakk!", "Awaaaasss!", dan sekitarnya jadi terkesan boros
sih. Kan bisa langsung kita bikin kalimat pamungkas seperti: "Lelaki itu berteriak ketika
sebuah mobil hampir menabrakku. Tubuhku segera limbung. Pandangan gelap. Pada
detik itu aku tidak ingat apa-apa lagi... dst" Narasi tersebut sudah mewakili teriakan
"Tidak!" atau "Awas!" itu, kan? Jadi tidak perlu diulang-ulang. :)

C. Ending yang Membekas


Ending adalah akhir sebuah cerita. Ending yang baik adalah yang membekas di

16
hati pembaca. Yang namanya membekas, bisa menyenangkan, bisa juga menyebalkan.
Coba ingat kejadian apa yang paling berkesan dalam hidupmu. Pasti kebanyakan yang
nyebelin. Iya atau iya? :p Kejadian menyenangkan lebih jarang kita ingat. Maka buatlah
ending yang menyebalkan bagi pembaca.
Lha kok malah gitu? Aya-aya wae Kakak ini!
Ini gak main-main. Ending menyebalkan yang saya maksud adalah ending yang
menampar, ngagetin, kurang ajar, dan nggantung. Berikut cara-cara membuat ending
yang seperti itu:
1. Simpan rahasiamu, jangan sampai ketahuan! Maka kamu akan menemukan
ending yang menampar dan ngagetin di cerpenmu. Penulis harus pintar menyimpan
rahasia dalam sebuah cerita untuk nanti disajikan di akhir cerita. Contoh: Kamu nulis
dari sudut pandang sepeda. Maka "aku" adalah sesosok sepeda. Dia hidup, bisa berpikir,
punya perasaan seperti manusia. Hanya saja dia tidak bisa bicara. Si sepeda ini jatuh
cinta sama manusia pemiliknya. Sayangnya, sepeda ini tidak bisa bicara.
Nah, kamu buat seolah mereka sepasang sahabat, pergi ke mana-mana selalu
bareng, gak peduli hujan atau panas. Pokoknya selalu bersama. Yang dimaksud
menyimpan rahasia adalah: jangan sampai pembaca tahu wujud asli "aku"
"aku". Gimana
caranya? Ya jangan sebut bahwa "aku" itu sepeda. Sebut saja bahwa "aku" adalah teman
baik manusia itu. Sepanjang cerita jangan sampai bocor rahasiamu, kecuali di akhir
cerita. Kira-kira akhir cerita sepeda ini bisa begini:

Malam itu aku masih sendiri, bertemankan hujan dan dingin. Dia
meninggalkanku di sudut gang basah ini dengan serbuan rasa cemburu.
"Gadis itu terlalu cantik untuk kucemburui. Tentu saja, aku tidak akan menang,
karena aku hanya sebuah sepeda," kataku melihatnya duduk berdua dengan pacarnya.

"Sepeda" adalah kata kunci yang jadi rahasiamu. Jadi apa pun caranya, sebisa
mungkin jangan menyebut kata "sepeda" lebih dari satu kali. Tapi jangan lupa buat
ceritamu selogis mungkin. Tidak mungkin manusia mengenalkan "aku" ke keluarganya
dengan berkata, "Hei, ini kenalin sahabatku!" Itu gak logis. Masa iya sepeda pake
dikenalin segala? Logika selalu penting.
Kisah sepeda (benda mati) ini hanya satu dari sekian banyak "cara"
mengembangkan tips "rahasia". Ada banyak alternatif untuk menyimpan rahasia. Salah

17
satunya dengan membuat cerita semacam penyamaran. Misal ada pencuri misterius
yang meresahkan warga. Warga meminta bantuan detektif untuk mencari pelakunya.
Sampai kapan pun pelaku tidak pernah ditemukan karena ternyata si detektiflah
pelakunya. Ini bisa kamu bongkar di ending--bisa ketahuan oleh warga, atau bisa juga
tidak ketahuan dan hanya pembaca saja yang kamu beri tahu, terserah. Tapi jangan
sampai kebongkar di bagian tengah, apalagi awal cerita. Buat saja seolah si detektif itu
sedang bekerja melacak pencurinya. Toh dia memang pura-pura jadi orang baik, 'kan?
2. Jangan buat ending yang sudah terlalu sering dipakai. Seperti opening,
ending yang pasaran pun juga mesti kita hindari, agar cerita kita tidak lantas dilupakan
oleh pembaca. Supaya berkesan, hindari membuat ending klise seperti ini:

"Baiklah, Juliet! Kalau ini maumu, aku juga akan mati! Ah!"

Atau malah begini:

Dan mereka pun hidup bahagia selamanya.

Itu basi, beneran deh. Selain tidak berkesan, ending klise juga kurang menghibur.
Hiburlah pembaca dengan ending yang menggigit dan jarang dipakai, seperti:

Sorenya, Sarbini mendapati istrinya berbaring dengan wajah kaku dan penuh
darah. Tak jauh dari sana, tubuh Mak melingkar di kolam, mengambang, dengan
puluhan semut dan kotoran kering di sekitarnya. Matanya tidak berkedip-kedip
lagi.

Ending semacam inilah, yang menohok ulu hati perasaan jiwa dan raga, yang bakal
membuat pembaca tidak melupakan cerpenmu.

sendiri. Ya, ending yang menggantung atau


3. Biarkan pembaca menyimpulkan sendiri
tidak jelas akan membuat pembaca menyimpulkan sendiri nasib tokohmu. Ini kadang
nyebelin, tapi kamu bakal dapat nilai plus dari pembaca. Semakin sering kamu buat
jengkel pembaca dengan ending menggantung, maka cerpenmu akan semakin ditunggu.
Tapi dengan satu syarat: kalau bikin ending menggantung, ya jangan terlalu dipaksa
dipaksa.
Ingat, logika selalu nomor satu!
Contoh ending menggantung:

18
Rasanya tenagaku habis. Tubuhku benar-benar tanpa daya. Akankah aku terus
terjebak di sini, di tempat yang bahkan tidak ada seekor pun kadal bertahan hidup.
Baiklah, aku akan bertahan sejauh yang aku mampu, walau bayang-bayang wajah itu
selalu hadir.
"Kau harus hidup, Jack! Harus!" suara-suara itu menggema.
Kulihat tetes-tetes hujan di angkasa, bukan wajahnya lagi. Entahlah, apa besok
pagi aku masih merasa haus?

Di contoh itu tidak jelas apakah "aku" selamat atau tidak dari terdamparnya dia di
sebuah tempat. Perhatikan kalimat terakhir. Kalimat itu multitafsir; bisa berarti "aku"
selamat atau malah masih terjebak.
Kalau ending menggantung yang dipaksain, contohnya ini:

Ardi tidak tahu lagi harus berbuat apa. Ditelepon berkali-kali, di-SMS, bahkan
didatangi rumahnya, tetap Rina tidak mau merespon. Padahal yang menghilangkan
buku matematikanya bukan dia, tapi Norman.
Hingga akhirnya Ardi pun berteriak, "Apa salahku? Ini fitnah! Ini fitnah!"
"Tenanglah, Nak," kata seorang dokter. Di seragamnya, terdapat tulisan: Rumah
Sakit Jiwa Sumber Waras.

Apa-apaan coba? Masa karena dituduh ngilangin buku matematika, terus bisa jadi
gila gitu? Ckck. #ngelusdada.

D. Twist/Kejutan
Kebosanan akan melanda para pembaca, jika apa yang dibacanya datar-datar saja,
hambar, monoton, tanpa gairah. Nah, untuk mengatasinya, kita wajib memasukkan twist
dalam cerpen yang kita buat. Apa itu twist?
Twist adalah kejutan, lonjakan, sentakan, atau apa saja yang bisa kamu sebut jika
sebuah tulisan dapat menaik-turunkan perasaan dan emosi pembaca. Sesuatu yang
"menaikkan" inilah yang disebut twist. Ibarat cerpen itu sebuah jalan, maka twist adalah
polisi tidur. Dan karena kamu pembuat jalan, buatlah polisi tidur di banyak tempat agar
pembaca tidak ngantuk, karena jalan yang dilaluinya mulus kayak lapangan bola!
Posisi ideal twist di cerpen ada di pertengahan (puncak konflik/klimaks), sesudah

19
opening, dan sebelum ending. Tapi jangan terpaku hanya pada teori ini saja. Kamu juga
bisa mencari titik-titik mana saja yang sekiranya bisa kamu beri twist di sana, yakni titik
yang harus membuat pembaca penasaran dan mau melanjutkan membaca sampai
akhir. Buset, panjang bener!
akhir
Cara-cara memasukkan/membuat twist:
1. Kuasai tema cerpenmu
cerpenmu. Dengan menguasai tema, kamu lebih mudah mencari
celah di mana saja twist akan mengusir rasa kantuk akibat "jalan mulus" di cerpenmu
mulai kelewat panjang.
tegangan. Bayangin kamu datang ke lapangan Gelora Bung Karno, lalu
2. Buat tegangan
nonton pertandingan bola antara Timnas Indonesia vs Malaysia. Apa yang kira-kira
kamu rasain? Tegangkah? Ngantukkah? Saya jamin kamu tegang! Ya, kira-kira kamu
perlu membuat tegangan sebesar itu di antara tokoh utama dengan tokoh lawan, atau
bisa juga antara tokoh utama dan konflik. Dan ingat, menciptakan tegangan tidak harus
selalu berantem lho. Bisa juga dengan derita sang tokoh dan lain sebagainya.
suasana. Jangan lantas kamu nulis tentang Badrun yang kehilangan
3. Dramatisir suasana
hape baru, padahal itu hape dibeliin emaknya kemarin lusa. Bayangkan sedihnya
Badrun, sebab dia tahu emaknya dapet ngutang buat bisa beliin dia hape. Dramatisasi
suasana emosi Badrun sedalam-dalamnya, tapi jangan sampai ke tahap lebay, kecuali
kamu sedang nulis genre komedi. Dramatisasi ini penting. Kalau kamu ciptakan suasana
yang lempeng saja tentang kondisi Badrun, pembaca tidak akan percaya bahwa Badrun
benar-benar sedih akibat kehilangan hape barunya.
bertele-tele. Bertele-tele ini terlalu asyik mengajak pembaca jalan di
4. Jangan bertele-tele
atas lapangan bola yang mulus tanpa polisi tidur. Bersikaplah seperti pembaca, bahwa
apa yang kamu tulis itu jangan sampai membuat ngantuk orang.
Misal kamu nulis tentang penderitaan anak tiri. Memang bagus mendramatisir
keadaan tokoh, tapi jika kamu terus-terusan dramatisir juga gak baik. Masa iya dia
terus-terusan nangis? Gak mungkin, 'kan? Pasti ada senengnya, meski itu gak banyak.
Maka kasih jeda, kasih waktu istirahat, agar tensi darah pembaca tidak terus naik. Bisa
kamu beri tokoh sampingan seperti seekor katak yang menjadi teman baik si anak.
Kehadiran katak itu sedikit mengobati rasa sedihnya akibat kejahatan ibu tiri.
Kesimpulannya: jangan sampai "ketegangan" atau "kemulusan" mendominasi
seluruh bagian cerpen.

20
E. Konflik
Cerpen tanpa konflik bagai sayur tanpa garam. Tidak ada konflik, berarti cerpenmu
belum jadi! Kalau kata Pak Edi Akhiles, konflik adalah jantungnya cerita. Maka tanpa
jantung, apakah cerita itu bisa hidup? Hmm...
Cerpen terdiri dari satu konflik, gak seperti novel yang ada banyak konflik
"bumbu"-nya. Namun yang perlu diingat, fokus pada satu konflik bukan berarti hanya
mengutamakan bagian tengah cerpen saja yang harus menarik. Itu tidak benar. Semua
bagian harus menarik, bahkan wajib. Meski jumlah konflik dalam cerpen cuma ada
satu, buatlah agar seluruh bagian cerpen itu dikuasai oleh konflik
konflik.
Cara mengolah konflik:
1. Menjadikan konflik sebagai raja
raja. Ya, kamu harus menganggap bahwa konflik
itu raja dari seluruh bangunan cerpenmu. Maka, kehadiran raja penting. Sekali kamu
membantah atau berkhianat, berarti kamu bukan warga yang baik. Jadi jangan
melebarkan konflik ke hal-hal yang tidak penting, padahal tanpa adanya hal-hal
tidak penting itu, akhir ceritanya juga bakal sama.
2. Berpikir bahwa kamulah yang mengalami konflik
konflik. Dengan berpikir seperti
ini, akan lebih mudah mengembangkan bangunan konflik. Kamu akan merasakan dan
mengira-ngira apa yang bakal terjadi pada dirimu andai konflik yang dialami sang tokoh
menimpamu? Apa kamu akan menyerah? Atau bangkit?
3. Pilih konflik yang menggigit
menggigit. Konflik yang menggigit adalah konflik yang
punya taring kayak manusia serigala. Bisa kamu bayangin gak tuh, seremnya si manusia
serigala? Kamu bakal dikejar, ditangkap, dan digigit. Duh, sakitnya! (jangan tambah "di
sini"!). Konflik yang umum dipakai sah-sah saja kamu pilih. Tapi bagaimana kamu
mengolahnya agar berbeda? Buat ending tak terduga dan yang "menipu" pembaca. Itu
bakal kerasa gigitannya. Serius.
4. Konflik harus dramatis
dramatis. Dramatis bukan berarti berhubungan dengan sakit
dan kematian saja, ya. Dramatis maksudnya menyentuh hati pembaca, membangkitkan
gairah, memancing emosi, dan lain-lain. Pokoknya selama pembaca bisa kamu aduk
perasaan marah, sedih, dan bahagianya, maka konflik yang kamu bawa sudah bisa
disebut dramatis.

21
F. Seputar Dialog
Ada beberapa hal yang mesti diperhatiin soal menulis dialog, di antaranya:
1. Sesuaikan umur, latar belakang, pekerjaan, dan watak seorang tokoh
dengan dialognya (ini sudah dijelaskan di bagian awal. Coba dibaca lagi).
2. Konsisten dengan gaya bicara suatu tokoh. Misal dia yang tadinya bilang
"gue", ya jangan tiba-tiba diubah jadi "saya" apalagi "ane". Itu bisa saja terjadi kecuali
ada penjelasan masuk akal, seperti misalnya bicara ke orang yang lebih tua, maka
berubah menjadi "saya" (biar sopan).
3. Dialog harus real/nyata
/nyata. Jangan buat dialog yang seolah tidak mungkin atau
tidak bakal ada di dunia nyata. Contoh:

Di sebuah kelas, menjelang hari perpisahan.


"Wahai murid-muridku, apakah kelak kita akan berjumpa lagi di ujung waktu?
Akankah barat dan timur menyatukan kita kembali dalam kebersamaan seperti ini? Oh,
Tuhan, aku guru yang mencintai para muridku! Jangan lepaskan mereka dari hatiku!"
ujar Pak Mahfud dengan begitu sedihnya.
"Wahai guru kami, terpujilah engkau sebab engkaulah pelita bagi kami, penerang
jalan dan pembebas dari kegelapan abadi. Tidak, tidak! Hati dan jiwa ini tidak lepas
dari jiwamu, Bapak! Kami akan merindukanmu, seperti malam merindukan purnama
berseri!" sahut para murid dengan takzimnya.

Apa-apaan ini? Saya dulu perpisahan gak gitu-gitu amat. Suerr! -_-
Contoh yang bener ya begini:
Di sebuah kelas, menjelang hari perpisahan.
"Anak-anakku, sebentar lagi kalian lepas dari sini. Bapak sebagai seorang guru,
berharap agar kalian terus mengejar cita-cita kalian. Belajar yang rajin. Jangan bandel,
apalagi bolos. Pokoknya Bapak sayang kalian semua. Ingat pesan Bapak ini, ya," ujar
Pak Mahfud dengan mata berkaca-kaca.
"Baik, Pak. Terima kasih atas kesabaran Bapak menghadapi kami selama ini. Insya
Allah akan kami ingat pesan Bapak," sahut para murid serempak.

4. Totalitas tokoh
tokoh. Kalau tokohmu mau dibikin jahat, buatlah yang jahat sekalian.
Gak mungkin dong orang jahat ngomongnya gini: "Maaf, Pak. Saya mau merampok.

22
Adakah Bapak keberatan? Kalau keberatan, ya sudah saya tidak jadi ngerampok.
Hehehe."
Ini apaan? Yang ada si korban malah ketawa guling-guling sambil joget Cesar!
#Lol

G. Detail Tingkah Laku Tokoh dan Lokasi


Tingkah laku tokoh dan lokasi dalam sebuah cerita terasa hambar jika kurang
mendetail. Berikut caranya agar dua hal itu bisa terasa nyata hingga pembaca seolah
ikut mengalaminya:
Observasi. Banyak-banyaklah mengamati suasana sekitarmu. Apa yang terjadi
1. Observasi
saat seseorang menangis, tertawa, atau marah? Bagaimana ekspresinya? Bagaimana
cara mereka bicara saat nangis, tertawa, dan marah? Bagaimana gerak lakunya?
Observasi bisa kamu lakukan di banyak tempat. Entah di rumah, di sekolah, di
stasiun, di mall, di mana saja. Ada banyak ekspresi yang kamu temukan di sana.
2. Menonton film
film. Selain observasi, kamu juga bisa melakukannya dengan cara
ini. Tontonlah film setidaknya dari genre-genre berikut ini: drama, horor, komedi, dan
action. Semakin banyak yang kamu tonton, semakin banyak pula "referensi
ekspresi dan tingkah laku" untuk tokoh dalam cerpenmu
cerpenmu.
Kamu mesti tahu, bahwa menonton film bukan sekadar menikmati ceritanya.
Tugasmu adalah memerhatikan gerak laku para tokoh dalam film itu. Cara ini ampuh
jika benar-benar serius kamu jalani. Biasanya ekspresi senang, sedih, dan marah yang
ada di film drama, horor, dan action akan sama, karena mereka sama-sama film serius
(tidak termasuk yang genre campuran). Kemungkinan ekspresi lain dari tawa, tangis,
dan marah akan kamu temukan di film komedi. Intinya tangkap dan simpanlah hasil
pengamatanmu di semua film itu. Kelak bisa kamu jadikan acuan untuk menulis
sesuai dengan kebutuhanmu.
3. Mencari data dan foto-foto
foto-foto. Untuk detail lokasi, kamu bisa melihatnya dari
foto-foto. Tapi foto saja tidak cukup. Kamu juga perlu data. Di sini kamu bisa minta
bantuan Mbah Google. Semakin banyak data yang kamu simpan tentang suatu lokasi,
maka semakin banyak cara untuk mengembangkan detail yang kamu butuhkan. Tapi ya
itu, kamu jangan sampai terjebak jadi reporter. Dari data-data seabrek tadi kamu saring
sesuai kebutuhan ceritamu. Tidak harus semua dimasukkan. Kemas data-data tadi

23
dalam cerita lewat paduan narasi dan dialog yang berimbang.
Berikut ini contohnya:
Louvre. Di sudut
Usai acara, Famke mengajak kami ke Museum Le Louvre
halamannya penonton berdesakan mengelilingi seniman-seniman muda yang
menampilkan koreografi pirouettes: penarinya berputar sambil saling menumpukan
kaki pada penari lain. Koreografi baroque itu menjadi menawan karena mereka
gabungkan dengan gaya tari kontemporer. Semarak. Perkusi berdentam-dentam nakal
menggoda penonton untuk ikut bergoyang. Para penari itu adalah sahabat sekelas
Famke dari Amsterdam School of The Arts. Famke bergabung dengan mereka,
menari berputar-putar. Pengunjung tak henti-henti melemparkan koin Euro ke
dalam topi yang disediakan untuk menampung sumbangan.
Kami ceritakan pada Famke rencana kami keliling Eropa dan kesulitan
yang kami hadapi.
"Mengamen saja di jalanan," sarannya ringan.
Kami tertegun, binbang. Tapi Famke serius.
dalam topi tadi?"
"Mengapa tidak? Kalian lihat, kan, uang dala
("Edensor" karya Andrea Hirata, hal. 154).

Lihat contoh di atas. Kehadiran tokoh dan masalahnya tidak lepas dari deksripsi
lokasi. Semua berimbang. Kalimat-kalimat yang ditebalkan itu adalah bagian dari
cerita. Maka lokasi dapet, peran para tokoh juga dapet. Beginilah cara yang tepat
memasukkan detail lokasi tanpa menjadi reporter.
Bisa kamu bandingkan dengan contoh di bawah ini:

Kalau ada pemandangan di London yang ingin disaksikan setiap pengunjung,


maka itu adalah Tower of London atau Menara London. Sejarah dan kemegahan
Inggris tampaknya diperlihatkan ke mana pun mata memandang. Tempat di mana
menara itu berdiri mungkin dulunya adalah benteng Inggris, lalu benteng Romawi,
dan mungkin benteng Saxon. Wiliam sang penakluk yang pertama kali membangun
White Tower yang merupakan bagian tertua dari benteng ini. Kebanyakan
bangunannya dibangun pada masa pemerintahan Henry II.

Ini namanya bukan bercerita, tapi ngasih tahu. Mana tokohnya? Mana dialognya?

24
Mana unsur cerpennya? Gak ada, 'kan? Dengan kata lain, kamu bukan sedang menulis
cerpen, tapi buku wisata.

H. Bermain-main dengan Kalimat


Salah satu masalah penulis adalah bermain dengan kalimat. Sering kita terjebak
terlalu sering nulis pake kalimat panjang, atau terlalu sering pake kalimat pendek. Ada
juga yang kebanyakan nulis narasi atau kebanyakan dialog, dan lain sebagainya. Sama
sekali gak ada perpaduan, gak ada harmonisasi. Ini bakal membuat pembaca bosan.
Berikut cara-cara bermain kalimat yang baik:
1. Kombinasikan kalimat panjang dan pendek
pendek. Kombinasi ini tujuannya agar
cerpenmu bagai perahu yang berayun di atas air. Kebayang gak betapa nyaman rasanya?
Kalau kebanyakan kalimat panjang cerpenmu bakal bikin ngantuk. Dan kalau
kebanyakan kalimat pendek, cerpenmu malah nyebelin. Dalam hal ini kamu mesti
hati-hati. Jangan sampai terjebak frase (anak kalimat alias kalimat tanpa predikat).
Padahal setiap kalimat seminim-minimnya butuh subyek dan predikat (S+P).
Contoh frase:
Anak kecil di sudut kelas, yang berambut keriting dan berwajah bulat itu, yang
konon bernama Nina.
Contoh kalimat utuh:
Anak kecil di sudut kelas, yang berambut keriting dan berwajah bulat itu, yang
konon bernama Nina, menangis tersedu-sedu.

Contoh perpaduan kalimat panjang dan pendek:


Apa kau kira aku marah
marah?? Tidak, aku tidak marah, malah mual-mual. Kubawa
diriku ke dokter. Ketika kukatakan selama dua minggu ini aku sering diam-diam
menelan kertas, dokter mengira aku sudah gila.

Di contoh ini, kalimat yang ditebalkan adalah kalimat pendek.

2. Narasi dan dialog berimbang


berimbang. Kebanyakan narasi, pembaca bakal takut. Kok
bisa? Ngelihat paragraf di mana-mana, apalagi yang panjang, mata udah sepet. Serius.
Maka cobalah imbangi dengan dialog. Sedangkan kalau kebanyakan dialog, pembaca

25
akan mengira kamu hanya mengulur-ulur waktu alias tidak bisa mengeksplore cerita
lebih dari yang mereka harapkan.
Berikut contoh terlalu banyak dialog:
"Hallo. Kamu Rina?"
"Hallo? Ya, saya Rina. Ini siapa, ya?"
"Coba tebak aku siapa?"
Aku sengaja menggoda Rina. Hari ini kan dia ulang tahun.
"Siapa sih? Jangan main-main, ah!"
"Lho aku gak main-main kok!"
"Lha kamu siapa?"
"Coba tebak aku siapa!"
"Hmm... Siapa, ya?"
"Bisa gak?"
"Hmm..."

Garing banget, kan? Ini mau nulis apa cuma menuh-menuhin kertas sih? Coba
lihat, narasi di contoh itu cuma ada satu, yang ditebelin. Sisanya dialog semua dan
tidak terlalu penting pula. Ah!
Kalau yang ini contoh terlalu banyak narasi:

Nenek Fatmah merawatku sejak hari pertama kelahiranku. Beliau tinggal di


Surabaya. Setiap hari beliaulah yang membantu Ibu merawatku, karena cemas pada
kondisi Ibu sesudah operasi caesar. Namun, meski tubuhnya lemah, Ibu tak mau
merepotkan Nenek Fatmah. Maka, tiga bulan kemudian, Ibu membawaku pulang ke
selatan, menuju ke rumah yang dibangunnya bersama Ayah sepuluh tahun silam. Di
sanalah kedua kakakku menunggu. Di sanalah seluruh kisah akan dimulai. Di sanalah...
kampung halamanku.
Dulu Ibu bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan cat. Sewaktu melahirkan
kakak kedua, Ayah mengkhawatirkan kondisi kesehatannya. Maka, diturutilah
keinginan Ayah agar mengundurkan diri dari perusahaan. Tidak heran. Hal inilah yang
kemudian membuatku paling dekat dengan Ibu. Ibu tidak lagi berkarir dan meluangkan
seluruh waktunya untuk keluarga.

26
Padahal di narasi itu bisa disisipkan beberapa dialog. Kalau dialog bisa ngomong,
mungkin dia protes dengan berkata: "Di manakah aku bisa hidup? Masih adakah yang
mau menerimaku?" *lebay
Di bawah ini contoh perpaduan narasi dan dialog yang berimbang:

Hannah pasti senang. Itu yang ada di pikiranku. Tapi dia tidak seceria biasanya.
Baru kali ini kulihat gadis ini sedih, gelisah, galau, atau entah apa menamai ekspresi
macam itu. Akhirnya kami pulang sebelum acara puncak kembang api malam ini.
"Maafkan aku, Anton."
"Tidak apa. Mungkin lain waktu kamu bisa mengajakku ke tempat yang seru."
Aku mencoba mengucap itu dengan nada sesantai mungkin, walau aslinya sangat
gugup, takut Hannah tidak mau pergi lagi denganku, takut dia tidak mau menemuiku
lagi. Macam-macam rasa takut kalau kita berbuat salah dalam urusan cinta.
"Maaf, mungkin kita tidak bisa melakukannya."
Bak disambar petir di siang bolong, aku terkejut mendengar itu.

3. Gunakan tanda baca yang baik dan benar agar makna kalimat tidak rancu.
Kalau mengakhiri kalimat, gunakan tanda titik. Jangan di akhir kalimat kamu letakkan
tanda koma. Tanda koma dipakai untuk memisahkan anak kalimat (frase) dengan induk
kalimat. Biasanya kita paling sering salah menempatkan dua tanda ini.
Contoh yang salah:
1. Dia memang pintar, sejak awal tidak sekali pun nilainya anjlok, aku sampai iri
dibuatnya.
2. Kalau hari hujan. Saya tidak jadi datang.

Padahal seharusnya gini:


1. Dia memang pintar. Sejak awal tidak sekali pun nilainya anjlok. Aku sampai iri
dibuatnya.
2. Kalau hari hujan, saya tidak jadi datang.

Perhatikan perbedaan kedua contoh salah dan benar di atas. Intinya tanda baca
penting dan bukan sekadar buat hiasan. Coba deh kamu perhatiin contoh di bawah ini,
betapa tanda baca itu sangat besar pengaruhnya bagi makna sebuah kalimat:

27
Kejadian sebenarnya:
"Kata dokter, anak saya sakit demam," ujar Bu Narto.
Maka artinya yang sakit demam itu adalah anaknya Bu Narto. Ya, 'kan?

Tapi makna kalimat akan berbeda jika tanda koma berpindah tempat:
"Kata dokter anak, saya sakit demam," ujar Bu Narto.
Yang ini malah jadinya lucu. Masa iya Bu Narto periksa kesehatannya ke dokter anak?
-_-

4. Hadirkan selipan latar di tiap adegan


adegan. Dalam sebuah adegan, misalnya
mengejar pencuri, kamu bisa menguatkan emosi tokohmu dengan menambah selipan
berupa tempat kejadian dan suasana. Kalau berhasil, berarti kamu tsakep! Contoh:

Pencuri itu jaraknya lima meter di depanku. Ia terus berlari. Rumah-rumah di


sepi. Tidak ada yang bisa kumintai bantuan. Gila! Dikejar kayak
sepanjang jalur ini sepi
bagaimanapun, sepertinya gak bakal ketangkep. Dari gang ke gang, dari pintu ke
pintu, ia liat menghindari terkamanku bagaikan belut. Sampai di sebuah tikungan, ia
pintu
berhenti. Keringat bercucuran di wajahnya.
"Bentar, Bro. Gue capek!" katanya terkekeh setengah meledek.
Kurang ajar! Di waktu yang sama napasku juga habis. Bulir-bulir keringat
memenuhi jidatku. Matahari bersinar terik seolah ikut meledek
meledek. Ya Tuhan, perutku
mulai kaku. Kalau bukan karena isi tas itu, biar sajalah pencuri itu lari.
"Eh, mau ke mana loe?!" teriakku setelah secara mendadak pencuri itu kembali
lari. Ada pagar setinggi dua meter di depan
depan. Mungkin karena terbiasa, bukan
masalah bagi sang pencuri untuk lolos. Kali ini jarak kami sepuluh meter. Dasar
pencuri licik!

Bisa kamu bayangkan, gimana susahnya si tokoh dalam contoh di atas? Kalimat
yang ditebalkan itulah selipan. Andai dihilangkan, tidak akan berpengaruh banyak ke
cerita, bukan? Coba deh kamu baca lagi. :)
Selipan macam ini akan membuat pembaca seolah tahu dan ikut merasakan yang
tokoh dalam cerita rasakan.

28
5. Perkaya kosakata
kosakata. Dengan banyak membaca, koleksi kosakata di kepalamu
makin bertambah. Apa sih gunanya ngoleksi kosakata? Ya untuk mempermudah kamu
saat akan menulis sesuatu dengan tulisan yang tidak itu-itu saja hingga bikin ngantuk
pembaca sampe tidur ngorok #halah!
Intinnya kosakata yang berjubelan di kepalamu tidak membuatmu kesulitan mikir,
"Kata-kata apa, ya, yang bagus?" Langsung terabas saja dengan tetap mengindahkan
aturan penulisan yang baik dan benar. Semakin mudah kamu menulis tanpa berpikir
soal kosakata, maka semakin lincah kamu bermain kata.
natural. Bermain kata dan kalimat itu bagus. Tapi yang selalu harus
6. Tetap natural
kamu terapkan adalah tetap natural dan berpegang pada logika. Jangan malah keenakan
bermain kata-kata, terlebih kata puitis, lalu malah keluar konteks jadi permainan kata
tanpa makna atau malah tulisan berita.

I. Pesan Moral
Cerpen yang baik tidak sekadar bisa dinikmati, tapi juga yang mengandung pesan
moral. Dan karena cerpen adalah cerita, sebagai penulis hendaklah tidak mengubah diri
menjadi guru apalagi ustadz. Tetaplah bertindak sebagai penulis cerita fiksi. Jauhi
hasrat menggurui pembaca. Kalau soal opening kamu harus to the point, maka
perkara pesan moral ini tidak bisa dibikin to the point, melainkan secara tidak
langsung.
Berikut cara-cara yang bisa kamu lakukan:
1. Sampaikan pesan lewat cerita
cerita. Pesan moral bisa kita sampaikan secara tidak
langsung kepada pembaca, yakni lewat kejadian-kejadian yang dialami si tokoh. Misal
apa yang terjadi jika seorang anak durhaka kepada ibunya? Bisa kamu bikin si tokoh
menderita hidupnya, tidak tenang, dan lain sebagainya. Atau apa yang terjadi jika
seorang murid terbiasa menyontek? Kamu bikin murid itu terjebak di situasi yang tidak
memungkinkan dia untuk menyontek dan akhirnya tidak naik kelas (gara-gara biasa
nyontek, jadi ketergantungan).
2. Selundupkan pesan dalam dialog-dialog sederhana
sederhana. Gunakan paparan yang
lembut dan singkat, tapi menggiring dan nancep. Lembut dalam artian halus. Halus, ya
tidak kasar. Tidak kasar, ya halus. *malah muter2 :D Sedangkan singkat, ya singkat
alias tidak bertele-tele.

29
Contoh yang kurang pas:
"Hendaklah kamu jangan membohongi kedua orangtuamu. Karena di dalam
kitab suci itu tercantum bahwa berbohong adalah perbuatan dosa. Berkatalah jujur
walau itu pahit. Berkatalah jujur walau kamu sakit. Beni temanku yang baik, sejatinya
kejujuran itu disukai semua orang. Bahkan dalam Alquran dijelaskan, dalam QS
At-Taubah ayat 119, bahwasannya Allah SWT berfirman: 'Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang
jujur'. Itu artinya, dalam keseharian, kita harus berbuat jujur."

Itu terlalu panjang, Bro! *-* Dan kesannya menggurui banget, 'kan? Coba dibikin
seperti ini:
"Menurutku sih, kamu sebaiknya jangan bohongi ibumu," kata Husni.
"Tapi gue bingung musti gimana lagi, Sob." Beni membetulkan letak kopiahnya.
Ia baru saja berbohong soal uang SPP pada ibunya.
"Bohong itu gak baik lho, Ben. Dosa. Aku yakin kamu tahu itu."
Mendengar ucapan Husni, Beni menyesal. Ia menatap wajah temannya.
"Masih ingat QS At-Taubah, 'kan?" Husni menyambung.
Beni ingat. Tempo hari guru ngajinya membahas soal ayat itu.
Husni tersenyum. Disentuhnya pundak Beni, lalu pergi meninggalkan
sahabatnya, memberikan ruang untuk Beni merenungi kesalahannya.

Tuh... Enak banget, kan? Cerita mengalir, pesan juga tersampaikan. Tidak ada
kesan menggurui, tidak ada kesan sok pintar. Semua mengalir dalam kemasan cerita.
3. Jangan memvonis
memvonis. Biarkan pembaca menyimpulkan sendiri pesan kebaikan
yang ada di ceritamu. Contoh yang pas:
Setelah memukul Anton, Dio berlari ke toilet. Seisi kelas menyorakinya. Ia
tidak punya pilihan. Ia membenci hari-harinya. Di toilet, Dio menangis. Ia tidak
tahu kenapa semua orang membencinya, hanya karena dia 'berbeda'.
Selang beberapa menit Bu Sandra datang. Wanita itu tahu alasan Dio, namun
juga tidak membenarkan. Tidak seharusnya ini terjadi. Dipeluknya tubuh
kerempeng anak itu, dibelainya rambut tipis itu.
"Ibu antar kamu pulang, ya, Nak? Kita tenangkan dirimu di rumah," ucapnya
lembut.

30
Contoh yang kurang pas:
Setelah memukul Anton, Dio berlari ke toilet. Seisi kelas menyorakinya. Ia
tidak punya pilihan. Ia membenci hari-harinya. Di toilet, Dio menangis. Ia tidak
tahu kenapa semua orang membencinya, hanya karena dia 'berbeda'.
Selang beberapa menit, Bu Sandra datang. Wanita itu tahu alasan Dio, namun
juga tidak membenarkan. Tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan cara
kekerasan. Dipeluknya tubuh kerempeng anak itu, dibelainya rambut tipis itu.
kekerasan
"Ibu antar kamu pulang, ya, Nak? Kita tenangkan dirimu di rumah," ucapnya
lembut.

Perhatikan perbedaan kalimat yang ditebalkan. Sebenarnya dua-duanya tidak salah.


Hanya saja, penyampaian di contoh pertama lebih halus terdengar.
4. Jangan masukkan "quotes" dengan lugas tanpa kemasan cerita
cerita. Ini bisa
mengganggu bangunan cerpenmu, apalagi kalau keseringan. Ini cerpen, Sob, bukan
tulisan motivasi. Jadi tetaplah berpegang teguh pada prinsip bahwa apa yang kamu
tulis itu fiksi, bukan nonfiksi. Jangan paksakan kutipan-kutipan yang membuatmu
malah mirip Mario Teguh, ya.

31
Bab 3
Lain-Lain

Selain teknik, ada beberapa hal yang menghambat hobi menulismu. Ini bermula
dari mindset dan keseriusan dalam menulis. Ya, keseriusan. Banyak dari kita bilang
ingin jadi penulis, tapi belum maksimal dalam mengejar keinginan itu. Ada saja yang
dicurhatin. Misalnya:
Susah nyari ide, Kak!
Aku sering buntu, Kak!
Gak ada waktu buat nulis, Kak!
Dan akhirnya, keluhan-keluhan itu ditutup dengan kalimat: "Ternyata jadi penulis
itu susah!" sebelum kamu benar-benar mencari jalan keluar dari masalahmu itu.
Nah, untuk memberi semangat dan masukan dari persoalan di atas, mari kita
sama-sama mengheningkan cipta... eh, bukan, maksudnya mari kita sama-sama lanjut
ke bagian berikutnya, yakni tips lain-lain seputar menulis cerpen.

A. Menangkap Ide
Masalah utama para penulis, apalagi bagi yang baru belajar, adalah ide. Ide sering
jadi kambing hitam. Bilangnya gak nulis karena belum ada ide. Atau gak nulis-nulis
karena idenya mentok di situ aja. Intinya kita yang males nulis, tapi ide yang disalahin.
*hayoo, ngaku... :p
Baiklah, di bagian ini saya beri rahasia menangkap ide dengan mudah, semudah
menepuk nyamuk yang hinggap di jidat temanmu. Sebenarnya ide itu tidak perlu dicari.
Suer! Bahkan kamu tidak perlu sampai nangis bombay di tengah jalan gara-gara
"merasa" tidak menemukan ide.
Yang pertama mesti diubah adalah mindset-mu, yakni bahwa ide sebetulnya tidak
perlu dicari, karena ia ada di mana-mana. Serius. Kalau gak percaya, coba sekarang
saya tanya. Kalau ke sekolah, di jalan, kamu lihat apa? Pengamen cilikkah? Tukang
tambal bankah? Penjual eskah? Pohon rindangkah? Burung-burung beterbangankah?
Mobil baguskah? WC umumkah? Atau apa?

32
Waduh, gak keitung, Kak, aku liat apa aja!
Nah, semua yang kamu lihat itulah yang disebut "ide". Ide bisa datang dari mana
saja dengan satu syarat: kamu kudu peka. Ya, peka. Kalau kata para cewek, merekalah
yang paling peka. Tapi dalam hal menulis, tidak peduli cowok ataupun cewek, semua
kudu peka! P-E-K-A... Peka!
Misal di jalan kamu lihat penjual es yang udah tua. Dia berjualan dengan memikul
dagangannya. Sedih banget, 'kan? Kalau kamu peka, kamu pasti berpikir kira-kira di
mana anak beliau, ya? Kenapa di usia setua itu masih harus memikul beban berat di
pundak ringkihnya? Haruskah kuberikan pundakku sebagai tempat dia bersandar?
#halah!
Nah, dari lesatan-lesatan tanda tanya yang bermunculan di otak dan hatimu itu,
maka akan timbul sebuah ide untuk membuat tulisan inspiratif. Kira-kira ide itu akan
membentuk satu kalimat: "Seorang kakek sebatang kara yang menjual es!"
Cling! Satu ide berhasil didapat! Hore!
Dan tentu saja, biar ide itu tidak hilang, segera tangkap. Caranya? Kamu harus
punya buku catatan. Tulis di sana kalimat: "Seorang kakek sebatang kara yang menjual
es!" Bila perlu, kamu kasih tanggal kapan kamu ketemu kakek itu, biar gak lupa.
Usahakan menulis ide dalam bentuk satu kalimat ini sesegera yang kamu bisa.
Kalau kata Pak Edi, "Jangan percaya pada ingatan!" Ya, saya setuju itu. Kalau kamu
hanya menyimpan ide itu dalam ingatan, yakin deh nanti pas mau ditulis bakalan ilang.
-_-"
Jadi kesimpulannya omong kosong bahwa ide itu dicari. Yang benar ide itu
ditangkap. Ia ada di mana-mana, tergantung bagaimana kita peka melihat kejadian
yang ada di sekitar.
Oh, ya, setelah satu ide datang dan kamu tulis dalam bentuk cerpen, jangan
menunggu cerpenmu selesai untuk kemudian menangkap ide lain, ya. Duh, itu
namanya kurang semangat. Harus semangat dong! Selama ada ide bagus, catat saja di
buku idemu tadi, tidak peduli kamu masih dalam proses menyelesaikan sebuah karya.
Kenapa? Agar sewaktu-waktu jika kamu tidak ada ide, bisa mengambil dari "bank
idemu". Semakin banyak ide yang kamu catat, insya Allah, kamu gak akan kekurangan
ide setiap akan menulis.
Sampai di sini, gak ada lagi alasan gak nulis gara-gara gak ada ide, kan? :)

33
B. Macet/Stuck
Ada titik di mana kamu ngerasa gak bisa nulis apa-apa. Entah karena gak mood,
gak konsen, nge-blank, takut tulisanmu jelek, dan lain sebagainya. Ini penyakit lama di
kalangan penulis muda. Dari waktu ke waktu, makin banyak alasan yang diungkap.
Inilah yang dikenal dengan sebutan writer's block. Di acara #KampusFiksi Roadshow
yang digelar oleh Divapress di Surabaya tanggal 25 Januari 2015 lalu, kata Pak Edi,
persoalan ini cuma mitos. Hmm, kalau dipikir-pikir, bener juga.
Saya juga pernah mengalami stuck, gak mood, dan sekitarnya, tapi tidak sesering
teman-teman saya. Melihat ke belakang, dari apa yang saya alami, saya pikir gak salah
kalau ini disebut mitos. Tinggal percaya atau enggak aja sih. Takut tulisanmu jelek,
kurang bergairah, gak bisa mengembangkan ide adalah sebagian hambatan yang biasa
dijadikan alasan macet nulis. Gak cuma itu, ada banyak lagi ketakutan-ketakutan
sejenis. Padahal memelihara ketakutan macam ini malah menghambat prosesmu.
Coba hilangkan mindset bahwa tiap penulis pasti mengalami stuck setidaknya tiga
kali dalam seminggu dan harus libur nulis seminggu atau sebulan lamanya. Itu
namanya males, Bro. Jangan cari-cari alesan deh! :p
Coba ganti dengan mindset baru bahwa: setiap penulis yang terjebak stuck itu
belum tahu jalan keluar masalahnya dan harus mencari tahu jalan itu.
Ya, jalan keluar. Itulah yang perlu kita cari.
Tidak bisa mengembangkan ide? Jalan keluarnya mudah: cari bahan atau referensi
sebanyak mungkin soal apa yang kamu tulis. Intinya kamu harus tahu apa yang kamu
bakal tulis buat cerpenmu. Menulis bukan semata soal bermain kata dan logika, tapi
juga pengetahuan. Tanpa itu, otomatis tulisanmu kurang lengkap dan ketakutan baru
pun muncul: takut tulisanmu dianggap jelek.
Semakin kamu tahu apa yang kamu tulis, semakin hilanglah keraguan bahwa
tulisanmu bakal jelek atau idemu bakal mentok sampai di situ aja. Dan, secara otomatis
kamu juga lebih bergairah. Bayangin kamu yang biasa suka denger musik dangdut, lalu
disuguhi musik lain yang tidak kamu sukai, misalnya jazz. Bakal ngantuk gak sih?
Beda kalau ketemu musik dangdut, bawaanmu pengen goyang mulu.
Maka pancinglah biar gairah nulismu terus bergeliat. Cari ide-ide yang berkaitan
seputar hobi dan passion-mu. Suka basket, ya bikin cerpen seputar basket. Suka musik,

34
ya bikin cerpen seputar musik. Atau suka masak-masak, ya bikin cerpen tentang lomba
masak kayak di TV-TV, misalnya. Dengan berpatokan pada passion, gairahmu terus
menyala. Tentu kamu tahu banyak soal apa yang bakal kamu tulis, hingga kamu tidak
kesulitan mengembangkan ide.
Meski begitu, jangan lupa bahwa tidak selamanya apa yang kamu sukai selalu
memberimu ide-ide baru. Maka dari itu, cobalah memahami bahwa tidak semua hal di
dunia ini buruk. Andai kamu suka musik dangdut, maka jangan mengira musik jazz itu
buruk. Dengan membangun mindset ini, kamu tidak akan kesulitan jika suatu saat
ditugasi guru untuk meriset musik jazz yang sejatinya bukan passion-mu untuk bahan
cerpenmu. "Ciptakan passion," begitu kata Pak Edi. Ini tidak ada salahnya, walau
boleh kamu lakukan secara perlahan. Sebab suatu saat, hidup yang keras ini akan
memaksamu mempelajari hal-hal di luar passion-mu. *hiks...begitulah hidup, Sobat!
Oh, ya, satu yang perlu kamu simpan: bagus tidaknya sebuah tulisan bukanlah
kita yang menentukan, tapi pembaca. Tentu tidak ada yang sempurna di dunia ini.
Cerpen yang kamu tulis pun demikian, pasti ada kurangnya. Itu wajar. Seperti yang
sudah saya sebut di bab-bab sebelumnya, bahwa menulis bukan bikin mie instan--yang
bisa mateng hanya dalam 3 menit. Menulis itu butuh proses dan latihan jangka panjang.
Yakinlah, dengan terus berlatih dan memperbaiki cerpenmu dari waktu ke waktu, kamu
akan jadi cerpenis handal, atau bahkan novelis hebat.
Buat outline yang tertata dan rapi untuk cerpenmu. Outline banyak membantumu
dalam urusan penyakit writer's block ini. Sebab salah satu alasan macet nulis adalah:
tidak tahu gimana konflik dan ending ceritanya. Dengan adanya outline, tentu kamu
sudah berpikir lebih dulu gimana nanti konflik dan ending kamu buat. Outline gak usah
ribet. Tulis inti dan garis besarnya aja, yang tertata dan jelas. Outline yang tertata akan
lebih mudah dikembangkan.
Demikianlah cara-cara yang bisa kamu lakukan untuk memecah kebuntuan dalam
menulis. Semoga membantu. Kalau kamu merasa belum sanggup, di sebelah kanan ada
kamera. Di kiri juga ada. Tinggal lambaikan tangan dan kami akan menjemput Anda....
#loh! :v

35
C. Management Waktu
Seberapa sering kamu nulis? Sebulan sekali? Dua minggu sekali? Seminggu
sekali? Tiga hari sekali? Setiap hari? Atau enam bulan sekali? Selama apa pun jeda
waktu itu, perlu diingat bahwa tingkat keseringan menulis berpengaruh pada tulisanmu.
Ya, bahkan lumayan besar pengaruhnya.
Ini bukan soal gimana kamu kudu nulis banyak dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Bukan, bukan itu! Maksudnya, kamu mesti konsisten nulis biar tulisamu berkembang.
Jangan dulu berpikir kamu harus mendapat target tertentu misal harus bisa nulis novel
setebal 400 halaman dalam waktu dua minggu. Bukan itu intinya. Tujuan konsisten ini
adalah agar kita terus berlatih dan berlatih. Soal hasil, suatu saat pasti kelihatan.
Tapi aku tuh sibuk lho, Kak. Jadi gak sempet nulis, deh!
Ah, itu cuma alesan. Ada berapa jam dalam sehari? Apa saja yang kamu lakukan
selama itu?
Eh, tapi kalaupun ada waktu aku juga sering bad mood.
Lagi-lagi alesan. Gak ada waktu dan bad mood itu hanya pembenaran dari sifat
malas. Ya, malas. Kalau kamu disiplin, rasa malas tidak akan ada. Menulis itu harus
dilakukan atas dasar cinta dan terbiasa. Kalau tidak cinta dan tidak terbiasa, pasti bakal
sulit. Gimana caranya biar cinta dan terbiasa? Menulislah setiap hari.
Hah? Setiap hari? Gak salah tuh, Kak?
Gak salah. Ya, setiap hari.
Caranya?
Management waktu, dong. Ada berapa jam dalam sehari? 24 jam? Oke, mari kita
hitung berhitung secara kasar. Katakanlah kamu bangun pukul 04.00 pagi. Salat subuh
dan olahraga pagi satu jam. Mandi, sarapan, dan bersiap ke sekolah kira-kira satu jam.
Perjalanan ke sekolah, yah, anggaplah setengah jam. Di sekolah dari pukul 07.00-15.00
(8 jam). Pulang ke rumah setengah jam. Mandi dan makan siang satu jam.
Sampai di sini, kita total dulu:
1. Salat subuh+ olah raga = 1 jam
2. Mandi+sarapan+berkemas = 1 jam
3. Perjalanan pergi+pulang = 1 jam
4. Kegiatan seputar sekolah = 8 jam

36
5. Mandi+makan siang = 1 jam
+
Total : 12 jam
Sisa waktu : 24 jam - 12 jam = 12 jam.

Selesai mandi, kamu pergi les/belajar rata-rata 2 jam (Sisa waktu 10 jam).
Makan malam+nonton TV/nge-game/nongkrong bareng temen atau segala tentang
hobi: anggaplah 2 jam. Itu puas banget, Sob. Coba deh 2 jam gak ke mana-mana, di
toilet doang, ngitungin berapa meter tisu yang tersisa di dinding-dinding kelabu. Bakal
suntuk banget, 'kan?
Nah, sekarang sisa waktumu 8 jam. Kamu tidurnya pukul 22.00-04.00 = 6 jam.
Hmm, dalam waktu sebanyak dan kegiatan sepadat itu, kamu masih punya sisa
waktu 2 jam. Entah di bagian mana waktu itu ada, tidak selalu harus sekaligus 2 jam.
Entah satu jam letaknya di sesudah olahraga pagi, dan satu jam sisanya di sebelum tidur
malam. Intinya kamu masih punya sisa waktu 2 jam di luar jam tidurmu.
Eh, tapi kayaknya itung-itungan di atas itu maksa banget, Kak. Aku lho gak seperti
itu jadwalnya. Jangan mengada-ada, deh!
Ya boleh kamu bilang saya mengada-ada. Yang jelas saya gak percaya kalau dalam
satu hari kamu tidak punya satu jam pun waktu senggang. :p
Atau gini aja. Kamu bikin hitung-hitungan sendiri sesuai kegiatanmu, kalau
kegiatan yang saya hitungin itu banyak gak cocoknya. Percaya deh, di hitunganmu itu
pasti bakalan ada waktu senggangnya. :)
Waktu senggang inilah yang bisa kamu pakai untuk menulis. Tidak harus selalu 2
jam. Satu jam pun cukup, meski satu halaman A4 saja yang bisa kamu tulis. Dengan
management waktu seperti ini, perlahan kamu akan lebih konsisten menulis, dan cinta
pada menulis pun akan tumbuh subur. Tidak percaya? Cobalah.

37
Bab 4
Penutup

Selain kudu banyak latihan menulis dan rutin membaca, seorang penulis mesti
menjaga sikap dan kejujuran. Sikap yang baik mempermudah jalan kesuksesan. Tak
ketinggalan, kejujuran menjadi modal penting dalam rangka mencapai tujuan. Jujur di
sini artinya menghindari sikap memplagiat/menjiplak/mengakui karya orang lain yang
bukan karyamu. Jangan sampai itu kamu lakukan, Kawan.
Kalaupun mengutip tulisan orang, cantumkan di catatan kaki. Kalaupun terinspirasi
tulisan orang, sebutkan juga di bagian akhir karyamu. Jangan tergoda meng-copy-paste
tulisan orang, lalu mengumumkan bahwa itu adalah karyamu, hanya karena kamu
belum menemukan jalan keluar dari kebuntuan.
Jangan korbankan mimpi dengan ego dan keinginan untuk segera sukses tanpa
proses. Semua butuh proses, karena kita adalah manusia, bukan mie instan. Hindari
melukai hati siapa saja, bertemanlah dengan banyak orang, dan jaga hubungan baik
dengan mereka. Bukankah tujuan yang manis akan bisa dicapai dengan cara yang juga
manis? :)

Selamat menulis.
Salam bahagia selalu.

Ken Hanggara

UNSA Ambassador 2015

38
Tentang Penulis

Hanggara, lahir di Sidoarjo pada 21 Juni 1991, penulis asal Surabaya.


Ken Hanggara
Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, artikel/essai, dan review tersebar dalam puluhan
buku antologi, surat kabar, dan blog www.kenhanggara.blogspot.com. Buku solonya
yang terbaru: Museum Anomali, kumpulan 17 cerpen sastra horor-kontemporer (Unsa
Press, 2016) dan Babi-Babi Tak Bisa Memanjat, kumpulan 17 cerpen sastra (Penerbit
Basabasi, 2017).
Beberapa prestasi menulis pernah ia raih, salah satunya adalah dengan terpilihnya
cerpen "Robot-Robotan di Rahim Ibu" sebagai juara dua kategori bahasa Indonesia di
ASEAN Young Writer Award 2014. Ia juga terpilih sebagai UNSA Ambassador 2015
dan nominator Siwa Nataraja Award 2015. Untuk berinteraksi dengannya bisa melalui
Facebook "Ken Hanggara" (www.facebook.com/kenzohang) atau IG @ken.hang. Motto
hidup: "Menulislah seperti membangun peradaban; jangan berhenti sampai mati!"

39

Anda mungkin juga menyukai