FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
DISUSUN OLEH:
SUPERVISOR PEMBIMBING:
NIM : C017142088
Telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada Departemen Kardiologi dan Kedokteran
Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Supervisor Pembimbing,
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Umur : 53 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Alamat : Pinrang
Tanggal Masuk :20 September 2018
No. RM : 851903
II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Sesak napas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Sesak napas dirasakan sejak 5 bulan terakhir hilang timul dan dirasakan memberat 3 jam
sebelum masuk rumah sakit. Sesak dipengaruhi aktivitas dan dirasakan memberat
terutama ketika berbaring pada permukaan yang rata. Pasien mengeluh sering terbangun
malam hari dikarenakan sesak. Nyeri dada sebelah kiri tidak ada. Jantung rasa berdebar
tdak ada. Riwayat demam (-), mual dan muntah (-), BAB dan BAK normal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Terdapat riwayat penyakit gagal jantung kongestif, didiagnosis sejak bulan
Agustus 2018
b. Riwayat serangan jantung ada tahun 2015
c. Riwayat hipertensi ada,
d. Riwayat diabetes mellitus tidak ada
e. Riwayat dislipidemia tidak ada
4. Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung ada, saudara laki-laki meninggal
karena serangan jantung
b. Riwayat keluarga dengan diabetes mellitus tidak ada
c. Riwayat keluarga dengan hipertensi ada
5. Riwayat kebiasaan
a. Riwayat merokok tidak ada
b. Riwayat minum alkohol tidak ada
c. Pasien telah menopause
Tanda Vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 96 kali/ menit
Pernapasan : 28 kali/menit
Suhu : 36.7o C
Saturasi : 98%
Pemeriksaan jantung
Inpeksi : ictus cordis jantung tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung kanan di ICS 4 garis midklavikula kanan, dan batas jantung
kiri di sulit ditentukan. Batas jantung atas di ICS 2.
Auskultasi : BJ I/II reguler, dan murmur sistolik 3/6 terletak di apex
Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : ikut gerak napas, asites (-)
Auskultasi : peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : massa tumor (-), nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani (+), shifting dullness negatif
Pemeriksaan ekstremitas
Edema pretibial (+) bilateral
b. EKG (20/09/2018)
Interpretasi
Ritme : Sinus Takikardi dengan Ventrikel Ekstrasistol
Regularitas : Reguler
PR interval : normal
QRS Kompleks : sempit, Interval QRS 0,08 detik, terdapat gelombang QRS
Segmen ST : normal
Gelombang T : Normal
d. Ekokardiografi (20/09/2018)
Fungsi sistolik ventrikel kiri menurun, fraksi ejeksi 27%
Dilatasi semua ruang jantung
Hipertrofi ventrikel kiri konsentrik
MR moderate
TR mild
Akinetik dan Hipokinetik Segmental
V. DIAGNOSIS
1. Congestive Heart Failure NYHA III
2. Coronary Artery Disease
3. Mitral Regurgitasi Moderate
4. Tricuspid Regurgitasi mild
VI. TERAPI
furosemid 40 mg/ 8 jam/ intravena
Ramipril 2,5mg/8 jam/oral
Spironolakton 25 mg/24 jam/oral
bisoprolol 1,25 mg/24 jam/oral
simarc 2mg/24jam/oral
VII. RESUME
Perempuan 43 tahun masuk IGD PJT dengan keluhan dispneu yang dirasakan memberat
sejam 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Sesak dipengaruhi aktivitas dan dirasakan
memberat terutama ketika berbaring pada permukaan yang rata. Pasien mengeluh sering
terbangun malam ari dikarenakan sesak. Nyeri dada sebelah kiri tidak ada. Jantung rasa
berdebar tdak ada. Riwayat demam (-), mual dan muntah (-), BAB dan BAK normal.
Riwayat serangan jantung ada tahun 2015 Riwayat hipertensi ada Dari pemeriksaan fisis
: sakit sedang, gizi cukup, compos mentis. Terdapat riwayat penyakit gagal jantung
kongestif, didiagnosis sejak bulan Agustus 2018. Tanda vital: Tekanan darah normal
yaitu 110/70 mmHg, Pemeriksaan kepala dalam batas normal, JVP R+3 cmH2O.
Pemeriksaan jantung terdapat kardiomegali. Pemeriksaan ekstremitas ditemukan edema
pretibial. Pemeriksaan darah rutin dan gas darah dalam batas normal, ekg didapatkan
Sinus Taikardi dengan Ventrikel Ekstasistol, Left Axis Deviation, Left Atrial
Enlargment, Left Ventrikular Hipertrophy. pemeriksaan ekokardiografi didapatkan
Fungsi sistolik ventrikel kiri menurun, fraksi ejeksi 27% dan pemeriksaan Radiologi
ditemukan Kardiomegali dengan edema paru disertai Efusi pleura bilatera
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Salah satu respon hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan tekanan
pengisian (filling pressure) dari jantung atau preload.
Apabila tekanan pengisian ini meningkat sehingga mengakibatkan edema paru dan
bendungan sistem vena, maka keadaan ini disebut gagal jantung kongestif. Apabila tekanan
pengisian meningkat dengan cepat sekali seperti yang terjadi pada infark miokard akut,
sehingga dalam waktu singkat menimbulkan berbagai tanda-tanda kongestif sebelum jantung
sempat mengadakan kompensasi yang kronis, maka keadaan ini disebut gagal jantung
kongestif akut (Peter Kabo, 2014).
B. ETIOLOGI
2. Kardimiopati dilatasi
3. Hipertensi
7. Gagal ginjal
8. Hipertiroidisme atau hipotiroidisme
C. KLASIFIKASI
a. Pasien dengan gagal jantung akut, ditandai dengan gangguan pernapasan dan
dekompensasi. Pasien dapat m emiliki ukuran jantung normal.
b. Pasien dengan gagal jantung kronis mungkin stabil atau mungkin dekompensasi.
Ukuran jantung membesar.
a. Gagal jantung curah rendah mengacu pada jenis yang lebih umum dari disfungsi sistolik
ventrikel kiri dengan curah jantung rendah. Keadaan curah rendah ini menyebabkan
vasokontriksi, oliguria, dan tekanan darah rendah.
b. Gagal jantung curah tinggi dikaitkan dengan keadaan sirkulasi hiperkinetik dengan
curah jantung yang itnggi. Keadaan curah tinggi, sebalinya, menyebabkan vasodilatasi
terkanan nadi melebar.
a. Gagal jantung kiri mengacu pada kegagalan ventrikel kiri dan gejala dispnea saat
aktivitas, ortopnea dan dispnea nokturnal paroksismal.
b. Gagal jantung kanan mengacu pada kegagalan ventrikel kanan dengan distensi vena
leher dan edema bipedal. Penyebab paling sering dari gagal jantung kanan adalah gagal
jantung kiri.
Kardiomiopati membesar
Penyakit katup jantung
Hipertensi
a. Gagal jantung sistolik mengacu pada masalah kontraktilitas jantung yang buruk
b. Gagal jantung diastolik mengacu pada masalah dalam relaksasi dari ventrikel kiri yang
kaku (Starry Homenta Rampengan, 2014)
D. PATOFISIOLOGI
Defek primer pada gagal jantung adalah berkurangnya kontraktilitas jantung; yaitu, sel-
sel otot jantung yang melemah berkontraksi kurang efektif. Kemampuan intrinsik jantung
untuk menghasilkan tekanan dan menyemprotkan isi sekuncup berkurang sedemikian
sehingga jantung beroperasi pada kurva panjang-tegangan yang lebih rendah. Kurva Frank-
Starling bergeser ke bawah dan ke kanan sedemikian sehingga untuk EDV tertentu, jantung
yang kepayahan memompa isi sekuncup yang lebih kecil dibandingkan dengan jantung
normal.
Pada tahap-tahap awal gagal jantung, dua tindakan kompensasi utama membantu
memulihkan isi sekuncup ke normal. Pertama, aktivitas simpatis ke jantung secara refleks
meningkat, yang meningkatkan kontraktilitas jantung ke arah normal. Namun, stimulasi
simpatis dapat membantu mengompensasi hanya dalam waktu singkat karena jantung menjadi
kurang responsif terhadap norepinefrin setelah pajanan bekepanjangan, dan selain itu,
simpanan norepinefrin di ujung saraf simpatis jantung terkuras. Kedua, ketika curah jantung
berkurang, ginjal, dalam suatu upaya kompensatorik untuk memperbaiki aliran darahnya yang
menurun, menahan lebih banyak garam dan air di tubuh sewaktu pembentukan urin, untuk
menambah volume darah. Meningkatnya volume darah dalam sirkulasi meningkatkan EDV.
Teregangya serat-serat otot jantung memungkinkan jantung yang payah memompa volume isi
sekuncup yang normal. Jantung kini memompa keluar darah yang kembali kepadanya tetapi
organ ini beroperasi pada panjang serat otot jantung yang lebih besar.
Seiring dengan perkembangan penyakit dan semakin merosotnya kontraktilitas, jantung
mencapai suatu titik di mana organ ini tidak lagi dapat memompa keluar isi sekuncup yang
normal (yaitu, tidak dapat memompa keluar semua darah yang kembali padanya) meskipun
dilakukan tindakan-tindakan kompensasi. Pada tahap ini, jantung jatuh dari gagal jantung
terkompensasi menjadi keadaan gagal jantung dekompensasi. Kini serat-serat otot jantung
teregang hingga ke titik dimana mereka berkerja di bagian desendens kurva panjang-
tegangan. Forward failure terjadi ketika jantung gagal memompa darah dalam jumlah
memadai ke jaringan karena isi sekuncup semakin berkurang. Backward failure terjadi secara
bersamaan ketika darah yang tidak dapat masuk dan dipompa keluar oleh jantung terus
terbendung di sistem vena. Kongesti di sistem vena adalah penyebab mengapa penyakit ini
kadang disebut gagal jantung kongestif.
Gagal sisi kiri memiliki konsekuensi lebih serius daripada gagal sisi kanan. Backward
failure sisi kiri
menyebabkan edema Faktor
Penyebab
paru (kelebihan
cairan jaringan di
paru) karena darah
terbendung di paru. Kerusakan
Miokardial
Akumulasi cairan di
paru ini mengurangi
pertukaran O2 dan
CO2 antara udara dan Gagal jantung
darah di paru, kongestif
menurunkan
oksigenasi darah
-↑ resistensi - ↓ curah jantung
arteri dan pembuluh darah - ↑ ujung ventrikel
meningkatkan CO2 sistemik kiri tekanan
pembentuk asam di (afterload) diastolik
- ↑ volume darah
darah. Selain itu,
(preload)
salah satu
konsekuensi yang
lebih serius dari Respon imbangan
forward failure sisi
kiri adalah
berkurangnya aliran ↑ Renin-angiotensin II-sistim aldosteron
darah ke ginjal, yang ↑ bunti vasokonstriktor simpatik
menimbulkan
masalah ganda. Pertama, fungsi ginjal tertekan; dan kedua, ginjal semakin menahan garam
dan air di tubuh sewaktu pembentukan urin dalam upaya meningkatkan volume plasma lebih
lanjut untuk memperbaiki penurunan aliran darahnya. Retensi cairan berlebihan semakin
memperparah masalah kongesti vena yang sudah ada. Karenanya, terapi gagal jantung
kongestif mencakup tindakan-tindakan yang mengurangi retensi garam dan air serta
meningkatkan pengeluaran urin dan obat yang meningkatkan kontraksi jantung-digitalis
contohnya. (Lauralee Sherwood, 2014)
Akibat bendungan di berbagai organ dan low output, pada penderita gagal jantung
kongestif hampir selalu ditemukan:
a. Gejala paru berupa: dyspnea, orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea. Selain itu
batuk-batuk nonproduktif yang timbul pada waktu berbaring.
b. Gejala dan tanda sistemik berupa lemah, cepat capek, oliguri, nokturi, mual, muntah,
desakan vena sentralis meningkta, takikardi, pulse pressure sempit, asites, hepatomegali
dan edema perifer.
Gejala Tanda
Tipikal Spesifik
- Berat badan bertambah > 2 kg/minggu - Sura pekak di basal paru pada perkusi
- Pingsan
c. Gejala susunan saraf pusat berupa: insomnia, sakit kepala, mimpi buruk sampai delirium.
Pada kasus akut, gejala yang khas ialah gejala edema paru yang meliputi: dyspnea,
orthopnea, tachypnea, batuk-batuk dengan sputum berbusa, kadang-kadang hemoptisis,
ditambah gejala low output seperti: takikardia, hipotensi dan oliguri, beserta gejala-gejala
penyakit penyebab atau pencetus lainnya seperti keluhan angina pektoris pada infark miokard
akut. Apabila telah terjadi gangguan fungsi ventrikel kiri yang berat, maka dapat ditemukan
pulsus alternans. Pada keadaan sangat berat akan terjadi syok kardiogenik.
Tanda khas pada auskultasi ialah adanya bunyi jantung ketiga (diastolic gallop). Dapat
pula terdengar bising apabila terjadi dilatasi ventrikel. Sedangkan pada paru hampit selalu
terdengar ronki basah.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk gagal jantung kongestif.
Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium tergantung dari penyakit dasar dan komplikasi yang
terjadi. Seperti adanya peninggian enzim creatine kinase (CK) pada infark miokard, atau
kultur darah positif pada endokarditis. Walaupun demikian, hampir semua penderita
ditemukan adanya peningkatan jumlah sel-sel darah merah, dan penurunan PO2 dan asidosis
pada analisis gas darah akibat kekurangan oksigen.
Gambaran EKG pada pendeita gagal jantung kongestif tidak khas dan tergantung pada
penyakit dasar, namun hampir semua EKG ditemukan takikardi (kecuali yang sudah diobati).
Pada gagal jantung kongestif akut karena selalu terjadi iskemik dan gangguan fungsi konduksi
ventrikel, maka selain takikardi, dapat pula ditemukan left bundle-branch-block (LBBB),
perubahan segmen ST dan gelombang T.
Pada foto toraks, sering ditemukan pembesaran jantung dan tanda-tanda bendungan
paru. Apabila telah terjadi edema paru, dapat ditemukan gambaran kabut di daerah perihiler,
penebalan interlobar fissure (Kerley’s line). Sedangkan kasus yang berat dapat ditemukan
pada efusi pleural.
Klasifikasi menggunakan system NYHA bersifat reversibel yaitu, pasien dapat naik
kelas dari kelas II ke III, namun dapat juga turun kelas dari III menjadi II setelah pengobatan.
Akan tetapi kerusakan struktur jantung bersifat ireversibel artinya sekali rusak maka tetap
rusak. Sedangkan proses yang menimbulkan kerusakan struktur jantung berlangsung lambat
(kecuali pada miokard infark akut).
Stadium A Kelas I
Stadium B Kelas II
Stadium D Kelas IV
Kriteria Framingham
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan kriteria klinis menggunakan kriteria klasik
Framingham: bila terdapat paling sedikit satu kriteria mayor dan dua kriteria minor. (Chris
Tanto, 2014)
Ronki; Hepatomegali;
Dengan mengetahui tingkat keparahan gagal jantung, dokter dapat melakukan itervensi
lebih cepat dan tepat untuk menyelamatkan pasien agar tidak jatuh ke tingkat gagal jantung
yang lebih berat (Peter Kabo, 2014)
F. TEKNIK DIAGNOSTIK
1. Elektrokardiografi:
Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung memiliki nilai prediktif yang kecil
dalam mendiagnoss gagal jantung. Jika EKG normal, maka diagnosis gagal jantung dengan
disfungsi sistolik sangat kecil (<10%). (Peter Kabo, 2014)
2. Foto thorax:
Modalitas ini merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Foto thorax
dapat mendekteksi kardiomegali, kongesti pau, efusi pleura dan dapat mendeteksi penyakit
atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak napas. (Peter Kabo, 2014)
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah perifer
lengkao (hemoglobin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju filtrasi
glomerulus,glukosa tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan tambahanlain
dipertimbangkan sesuai tampilan klinis. Gangguan hematologis atau elektrolit yang
bermakna.
Kadar peptida natriuretik meningkat sebagai respon peningkatan tekanan dinding ventrikel,
dan memiliki waktu paruh yang pajang. Saat ini, peptide natriuretik dapat digunakan untuk
mendiganosis ataupun menentukan prognosis dari gagal jantung. Konsentrasi peptide
natriuretik yang normal sebelum pasien diobati mempunyai nilai prediktif negatof yang
tinggi dan membuat gagal jantung sebagai penyakit dari gejala klinis yang dikeluhkan
pasien menjadi kecil. Sebaliknya, kadar peptide natriuretik yang tetap tinggi, walaupun
pasien telah diterapi optimal mengindikasikan prognosis yang buruk. (PERKI, 2015).
4. Ekokardiografi
Ekokardiografi digunakan sebagai uji diagnostik gagal jantung, dan merupakan hal yang
harus dilakukan pada pasien dengan dugaan gagal jantung. Penggunaan ekokardigrafi juga
dapat menguruk fungsi ventrikel untuk membedakan antara pasien disfungsi sistolik dan
pasien dengan fungsi sistolik normal. Pada gagal jantung diastolic, didapatkan hasil
ekokardiografi dengan fraksi ejeksimenunjukkan hasil yang normal >45-50%. Untuk
mendiagnosis hal ini digunakan criteria:
G. TATALAKSANA
1. Non Faramkologis
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat
badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas pertmbangan
dokter (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C)
Asupan cairan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal jantung
dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala
dan meningkatkan kualitas hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti C)
Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil.
Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit
atau di rumah (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A)
2. Farmakologis
Kasus Kronis
Bagi penderita gagal jantung kongestif berat (NYHA kelas IV) yang perlu dirawat
lama di rumah sakit, atau pada mereka yang memiliki risiko tinggi terjadinya trombosis
vena dalam, maka perlu diberi tambahan pengobatan berupa antikoagulan.
Perlu diuraikan sedikit tentang gagal jantung kongestif akibat disfungsi diastolik,
yang mekanisme terjadinya adalah melalui gangguan relaksasi miokard, kekakuan
dinding ventrikel dan/atau adanya pengekangan perikard. Pada keadaan demikian, maka
strategi terapi adalah menurunkan tekanan ventrikel kri dengan nitrat atau diuretik,
mencegah hipertrofi ventrikel kiri dengan ACE-inhibitor atau ARB, dan mengusahakan
jantung dalam irama sinus. CCB merupakan salah satu obat yang dapat memperbaiki
relaksasi diastolik, obat ini dilaporkan bermanfaat pada penderita gagal jantung akibat
hypertrophic cardiomyopathy.
Menurunkan preload
Berbagai manifestasi klinik gagal jantung kongestif adalah akibat adanya retensi
cairan dan kelebihan garam. Oleh sebab tu pengobatan gagal jantung kongestif yang
pertama adalah mengeluarkan kelebihan cairan dan garam dalam tubuh.
a. Diuretik
Diuretik merupakan pengobatan standard untuk penderita gagal jantung
kongestif. Kebanyakan pasien membutuhkan obat golongan ini secara kronis untuk
mempertahankan euvolumia. Diuretik yang sering digunakan ialah tiazid, furosemid
dan spironolakton. Hydro-Chloro Tiazide (HCT) dan spironolakton dianjurkan
terutama pada gagal jantung NYHA kelas II. Apabila kondisi memburuk kemudian
diberikan furosemid.
Furosemid adalah loop diuretik yang kuat, mula kerja untuk diuresis sudah
tampak dalam 30 menit dengan masa kerja 4-6 jam. Obat ini masih memperlihatakan
efek diuresisnya walaupun glomerular filtration rate turun di bawah 25 ml/jam dan
aman digunakan untuk penderita gagal ginjal.
Bagi penderita gagal jantung yang ringan sampai sedang, furosemid dengan
dosis 20-40 mg per hari akan memberi respon yang baik. Sedangkan pada kasus
berat mungkin membutuhkan 40-80 mg perhari. Dosis ini dapat ditingkatkan sesuai
kebutuhan.
Pemberian nitrat sangat berguna bagi penderita gagal jantung yang juga
memiliki riwayat penyakit jantung koroner. Atau bagi mereka yang telah menerima
furosemid dosis tinggi namun belum mampu mengatasi sindrom gagal jantung.
Pemberian nitrat harus selalu dimulai dengan dosis awal yang rendah untuk
mencegah sinkope.
Tidak semua gagal jantung kongestid terjadi gangguan kontraktilitas. Obat inotropik
hanya diberikan pada pasien yang tebukri ada gangguan kontraktilitas misalnya pada
pemeriksaan fisis atau hasil ECHO menunjukkan ejection fraction (EF) < 40%. Sebagian
besar simpatomimetik seperti adrenalin, isoprenalin, dobutamin atau efedrin memiliki efek
inotropik positif, namun obat ini tidak dianjurkan untuk gagal jantung karena mereka juga
meningkatkan laju jantung yang akan memperparah kondisi penyakit. Dibawah ini hanya
diuraikan obat inotropik yang khusus untuk pengoabatan gagal jantung.
a. Digitalis (digoksin)
Digitalis telah hampir satu abad digunakan sebagai obat standard untuk penderita
gagal jantung karena memiliki efek inotropik positif (meningkatkan kontraktilitas)
dan kronotropik negatif (menurunkan laju jantung). Sifat ini sangat ideal digunakan
sebagai obat gagal jantung karena hampir semua pasien gagal jantung mengalami
takikardi. Dengan menurunkan laju jantung, obat ini memberi kesempatan ventrikel
kiri mengadakan relaksasi dan pengisian yang efektif untuk kemudia dipompakan
keluar.
Digoksin adalah rapid-acting digitalis yang dapat diberikan secara oral dan
intravena. Mekanisme kerja digoksin yang pertama adalah menghambat aktivitas
sodium pump (Na+/K+-ATPase) yang memperlambat fase repolarisasi, atau dengan
kata lain menyebabkan fase depolarisasi miokard lebih lama, dengan demikian lebih
banyak Ca++ masuk ke dalam sel.sehingga kontraktilitas miokard meningkat.
Mekanisme digoksin yang kedua adalah meningkatkan tonus vagus (parasimpatis)
sehingga menurunkan laju jantung.
Digoksin dapat diberikan per oral atau per intravenous (tidak intramuscular
karena menyebabkan iritasi otot yang hebat). Digoksin (IV) diberikan pada gagal
jantung akut akibat fibrilasi atrium respon cepat. Digoksin oral diabsorpsi lambat
dan tidak sempurna (hanya 30-40%), akan tetapi obat ini masuk ke dalam sirkulasi
enterohepatis sehingga waktu paruh (t1/2) panjang yaitu 1,6 hari. Sifat ini
menyebabkan pemberian digoksin selalu mulai dengan dosis muat (loading dose),
yaitu 3 kali 1 tablet (0.25 mg) per hari selama tiga hari untuk orang dewasa,
kemudian dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan. Pada umumnya dosis
pemeliharaan adalah 0.25 mg/hari untuk umur di bawah 70 tahun dan 0.125 mg/hari
untuk umur diatas 70 tahun.
Efek toksik digoksin yang paling sering ialah aritmia berupa sinus bradikardia,
interval PR memanjang atau ekstrasistol. Apabila setelah pemberian digoksin
ditemukan tanda-tanda aritmia, maka digoksin harus segera dihentikan.
Pemberian KCl biasanya efektif dalam mengatasi aritmia akibat efek toksik
digoksin. Namun perlu ditekankan disini bahwa pemberian KCl dikontra-indikasikan
pada blok AV, digoxin overdose, dan pada penderita gagal ginjal. Dalam keadaan
demikian, maka dapat diberikan fenitoin atau obat-obat anti aritmia lainnya.
Efek toksik yang lain dari digoksin adalah pada saluran pencernaan berupa
nausea, vomitus, diare dan nekrosis intestinal. Pada susunan saraf pusat dapat berupa
lethargy, stupor, amnesia, confussion sampai koma. Sedangkan pada mata dapat
berupa fotofobia, penglihatan berkilau dan gangguan persepsi warna. Selain
hipokalemia, faktor lain yang ikut berperan dalam intoksikasi digoksin adalah
kondisi jantung itu sendiri misalnya penyakit jantung iskemik dan gagal jantung
berat, karena penyakit ini selalu menimbulkan asidosis dan peningkatan saraf
simpatis.
Berbagai studi melaporkan bahwa pemberian ibopamin 3 x 100 mg per hari pada
penderita gagal jantung mampu menaikkan cardiac index sebesar 30% disertai
penurunan resistensi vaskular, tanpa banyak mempengaruhi denyut jantung dan
tekanan darah. Dengan demikian obat ini dapat diberikan sebagai monoterapi
(menggantikan digitalis dan diuretik), atau diberikan sebagai terapi kombinasi
dengan digitalis pada gagal jantung NYHA kelas II dan III.
c. β-blocker
d. Fosfodiesterasi inhibitor
e. Isoniazide (INH)
Menurunkan after-load
a. ACE-inhibitors
Pederita gagal jantung kongestif yang juga hipertensi adalah golongan penderita
yang aman untuk menerima ACE-inhibitors.
Efek samping yang paling sering ialah batuk-batuk. Selain itu ACE-inhibitor dapat
menimbulkan angioedema, gatal-gatal, hiperkalemia, anemia dan hilangnya rasa pengecap.
b. ARB
Kombinasi antara ARB dan ACE-inhibitors juga dilaporkan memiliki efek sinergis
dalam mempengaruhi hemodinamik, remodelling dan profil neurohormon.
Aliskiren adalah obat antihipertensi yang relatif baru. Aliskiren Observation of Heart
Failure Treatment (ALOFT) Study menunjukkan bahwa pada pasien gagal jantung yang
stabil dengan obat-obat gagal jantung termasuk ACE-inhibitors dan ARB, penambahan
aliskiren 150 mg menurunkan konsentrasi N terminal pro B-type natriuretic peptide (NT
pro BNP), suatu petanda gagal jantung. Aliskiren juga dilaporkan mampu menurunkan
hipertrofi ventrikel kiri.
d. CCB
Mencegah remodeling
Obat yang memiliki efek mencegah remodeling seperti ACE-inhibitors dan ARB
bermanfaat menghambat progresivitas gagal jantung. Namun dosis yang diberikan harus
maksimal. Sebenarnya hampir semua obat antihipertensi memiliki efek mencegah remodeling
termasuk CCB, β-blocke dan diuretik.
Memperbaiki metabolisme energi miokard
Kasus akut
Tindakan umum untuk gagal jantung kongestif akut ialah apabila penderita dibaringkan
pada posisi setengah duduk, dan diberi oksigen. Oksigen secara rutin diberikan pada penderita
gagal jantung kongestif akut, karena hampir semua penderita mengeluh sesak napas. Oksigen
konsentrasi tinggi mutlak diperlukan pada penderita yang PO2 kurang dari 70%, atau terdapat
tanda-tanda edema paru yang berat.
Agar tidak terjadi kekeringan mukosa paru, pemberian oksigen sebaiknya disertai uap
air. Pada pemberian oksigen konsentrasi sangat tinggi (60-100%), maka setiap 5 jam harus
dihentikan beberapa menit untuk mencegah keracunan oksigen. Tanda-tanda keracunan
oksigen antara lain: perasaan lemah, nausea, vomitus, batuk-batuk, perasaan terbakar di
daerah substernal dan tanda-tansa serebral seperti konvulsi.
Apabila dalam pengukuran ditemukan LVEDP dan PCWP lebih besar dari 20 mmHg,
maka tanpa ragu-ragu penderita dapat segera diberikan venodilator seperti furosemid atau
nitrat secara intravena. Pada gagal jantung kiri yang sangat berat dimana LVEDP atau PCWP
lebih besar dari 25 mmHg, pemberian venodilator walaupun dapat menurunkan LVEDP atau
PCWP, namun hal ini akan sangat menurunkan curah jantung. Pada keadaan demikian,
pemberian obat yang memiliki efek dilatasi vena dan arteri seperti natrium nitroprusid
merupakan pilihan utama. Dilatasi vena menurunkan preload sehingga memperbaiki gejala
meringankan beban ventrikel kiri untuk berkontraksi sehingga meningkatkan curah jantung.
Selain itu, pemberian obat inotropik untuk meningkatkan kontraktilitas juga penting dalam
mengatasi sindrom gagal jantung.
Dua petunjuk penting dalam pemilihan obat gagal jantung akut adalah:
1. Bila ditemukan ronki basah di basal paru (tanda bendungan), TDS > 100 mmHg
maka segera diberikan diuretik atau nitrat (kecuali kontraindikasi).
2. Bila ditemukan ronki basah, TDS<90 mmHg, akral dingin (perfusi jelek)
menunjukkan indikasi pemberian inotropik (dopamin atau dobutamin) (Peter Kabo, 2014)
H. PROGNOSIS
Mortalitas 1 tahun pada pasien dengan gagal jantung cukup tinggi (20-60%) dan berkaitan
dengan derajat keparahannya. Data Framingham yang dikumpulkan sebelum pengunaan
vasodilatasi untuk gagal jantung menunjukkan mortalitas 1 tahun rerata sebesar 30% bila
semua pasien dengan gagal jantung dikelompokkan bersama, dan lebih dari 60% pada NYHA
kelas IV. Maka kondisi ini memiliki prognosis yang lebih buruk daripada sebagian besar
kanker. Kematian terjadi karena gagal jantung progresif atau secara mendadak (diduga karena
aritmia) dengan frekuensi yang kurang lebih sama. Sejumlah faktor yang berkaitan dengan
prognosis pada gagal jantung.
1. Klinis: semakin buruk gejala pasein, kapasitas aktivitas, dan gambaran klinis, semakin
buruk prognosis;
2. Hemodinamik: semakin rendah indeks jantung, isi sekuncup, dan fraksi ejeksi, semakin
buruk prognosis;
3. Biokimia: terdapat hubungan terbalik yang kuat antara norepineprin, renin, vasopresin, dan
peptida natriueretik plasma. Hiponatremia dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk;
4. Aritmia: fokus ektopik ventrikel yang sering atau takikardia ventrikel pada pengawasan
EKG ambulatori menandakan prognosis yang buruk. Tidak jelas apakah aritmia ventrikel
hanya merupakan penanda prognosis yang buruk atau apakah aritmia merupakan penyebab
kematian. (Huan Grey dkk,2003).
DAFTAR PUSTAKA