Anda di halaman 1dari 31

KEDOKTERAN VASKULAR SEPTEMBER 2018

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

CONGESTIVE HEART FAILURE

DISUSUN OLEH:

 Musyarrafah Jamil (C014172088)


 Lalu Rahmat Yuanda Aji (C014172138)
 Mohammad Zhaffri bin Zahari (C014172189)
 Mutia Ilyas (C014172136)

SUPERVISOR PEMBIMBING:

dr. Akhtar Fajar M, Sp.JP, FIHA

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN KARDIOLOGI & KEDOKTERAN VASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Musyarrafah Jamil

NIM : C017142088

Judul Laporan Kasus : Congestive Heart Failure (CHF)

Telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada Departemen Kardiologi dan Kedokteran
Vaskuler Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Makassar, 25 September 2018

Supervisor Pembimbing,

dr. Akhtar Fajar M, Sp.JP, FIHA


BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Umur : 53 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Alamat : Pinrang
Tanggal Masuk :20 September 2018
No. RM : 851903

II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Sesak napas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Sesak napas dirasakan sejak 5 bulan terakhir hilang timul dan dirasakan memberat 3 jam
sebelum masuk rumah sakit. Sesak dipengaruhi aktivitas dan dirasakan memberat
terutama ketika berbaring pada permukaan yang rata. Pasien mengeluh sering terbangun
malam hari dikarenakan sesak. Nyeri dada sebelah kiri tidak ada. Jantung rasa berdebar
tdak ada. Riwayat demam (-), mual dan muntah (-), BAB dan BAK normal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Terdapat riwayat penyakit gagal jantung kongestif, didiagnosis sejak bulan
Agustus 2018
b. Riwayat serangan jantung ada tahun 2015
c. Riwayat hipertensi ada,
d. Riwayat diabetes mellitus tidak ada
e. Riwayat dislipidemia tidak ada
4. Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung ada, saudara laki-laki meninggal
karena serangan jantung
b. Riwayat keluarga dengan diabetes mellitus tidak ada
c. Riwayat keluarga dengan hipertensi ada

5. Riwayat kebiasaan
a. Riwayat merokok tidak ada
b. Riwayat minum alkohol tidak ada
c. Pasien telah menopause

III. PEMERIKSAAN FISIS


Status generalis
Sakit sedang / gizi cukup / compos mentis
BB :52 kg
TB : 155 cm
IMT : 21.6 kg/m2(Normal)

Tanda Vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 96 kali/ menit
Pernapasan : 28 kali/menit
Suhu : 36.7o C
Saturasi : 98%

Pemeriksaan Kepala dan Leher


Mata : Konjungtiva pucat (-), ikterus (-)
Bibir : Sianosis (-)
Leher : JVP R+3cm H2O, limfadenopati submandibula kiri dan kanan tidak ada
dan tidak ada pembesaran tiroid
Pemeriksaan Thoraks
Inspeksi : simetris kiri dan kanan
Palpasi : massa tumor (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : sonor kiri dan kanan, batas paru-hepar ICS 6 kanan
Auskultasi : vesikuler, bunyi tambahan ronkhi basal bilateral, wheezing -/-

Pemeriksaan jantung
Inpeksi : ictus cordis jantung tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung kanan di ICS 4 garis midklavikula kanan, dan batas jantung
kiri di sulit ditentukan. Batas jantung atas di ICS 2.
Auskultasi : BJ I/II reguler, dan murmur sistolik 3/6 terletak di apex

Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : ikut gerak napas, asites (-)
Auskultasi : peristaltik (+) kesan normal
Palpasi : massa tumor (-), nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani (+), shifting dullness negatif

Pemeriksaan ekstremitas
Edema pretibial (+) bilateral

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium (20/09/2018)
PEMERIKSAAN HASIL NILAI SATUAN
RUJUKAN
PT 13,0 10-14 Detik
INR 1.25 -
APTT 30,0 22-30 Detik
Glukosa GDS 95 140 mg/dl
Ureum 41 10-50 mg/dl
Kreatinin 0,62 L (<1.3); P (<1.1) mg/dl
SGOT 14 <38 U/L
SGPT 19 <41 U/L
Natrium 146 136 – 145 mmol/l
Kalium 4.2 3.5 – 5.1 mmol/l
Klorida 109 97 – 111 mmol/l
WBC 7.16 x 103/ 4 – 10
uL
RBC 4,56 x 106/ 4 – 6
uL
HGB 14.5 g/dL 12 – 16
PLT 176 x 103/uL 150 – 400
LED Jam I :4 <10
Jam II :10
pH 7,446 7,35-7,45
sO2 99 95-98 %
pO2 128,5 80,0-100,0 mmHg
pCO2 38,6 35-45 Mmol/L
HCO3 26,9 22-26 Mmol/L

b. EKG (20/09/2018)
Interpretasi
 Ritme : Sinus Takikardi dengan Ventrikel Ekstrasistol

 Denyut Jantung : 104 kali per menit

 Regularitas : Reguler

 Axis : Left Axis Deviation

 Gelombang P : terdapat komponen negatif pada gel P pada lead V1 yang

melebihi 1 mm, durasi gel P melebihi 0,12 s pada lead II

 PR interval : normal

 QRS Kompleks : sempit, Interval QRS 0,08 detik, terdapat gelombang QRS

tambahan di semua lead, terdapat ventrikel ekstrasistol, left ventrikel hiperthrophy

 Segmen ST : normal

 Gelombang T : Normal

 Kesimpulan : Sinus Taikardi dengan Ventrikel Ekstasistol, Left Axis Deviation,

Left Atrial Enlargment, Left Ventrikular Hipertrophy

d. Ekokardiografi (20/09/2018)
 Fungsi sistolik ventrikel kiri menurun, fraksi ejeksi 27%
 Dilatasi semua ruang jantung
 Hipertrofi ventrikel kiri konsentrik
 MR moderate
 TR mild
 Akinetik dan Hipokinetik Segmental

d. Radiologi X-Ray Thorax (20/09/2018)


 Perselubungan homogen pada kedua hemithorax disertai gambaran groundglass yang
menutupi sinus dan diafragma bilateral
 Cor = Membesar, terdapat diltasi aorta dan kalsifikasi
 Tulang-tulang tervisualisasi intak
Kesan : Kardiomegali dengan edema paru
Dilatasi dan atersklerosis aortae
Efusi pleura bilateral

V. DIAGNOSIS
1. Congestive Heart Failure NYHA III
2. Coronary Artery Disease
3. Mitral Regurgitasi Moderate
4. Tricuspid Regurgitasi mild

VI. TERAPI
 furosemid 40 mg/ 8 jam/ intravena
 Ramipril 2,5mg/8 jam/oral
 Spironolakton 25 mg/24 jam/oral
 bisoprolol 1,25 mg/24 jam/oral
 simarc 2mg/24jam/oral
VII. RESUME
Perempuan 43 tahun masuk IGD PJT dengan keluhan dispneu yang dirasakan memberat
sejam 3 jam sebelum masuk rumah sakit. Sesak dipengaruhi aktivitas dan dirasakan
memberat terutama ketika berbaring pada permukaan yang rata. Pasien mengeluh sering
terbangun malam ari dikarenakan sesak. Nyeri dada sebelah kiri tidak ada. Jantung rasa
berdebar tdak ada. Riwayat demam (-), mual dan muntah (-), BAB dan BAK normal.
Riwayat serangan jantung ada tahun 2015 Riwayat hipertensi ada Dari pemeriksaan fisis
: sakit sedang, gizi cukup, compos mentis. Terdapat riwayat penyakit gagal jantung
kongestif, didiagnosis sejak bulan Agustus 2018. Tanda vital: Tekanan darah normal
yaitu 110/70 mmHg, Pemeriksaan kepala dalam batas normal, JVP R+3 cmH2O.
Pemeriksaan jantung terdapat kardiomegali. Pemeriksaan ekstremitas ditemukan edema
pretibial. Pemeriksaan darah rutin dan gas darah dalam batas normal, ekg didapatkan
Sinus Taikardi dengan Ventrikel Ekstasistol, Left Axis Deviation, Left Atrial
Enlargment, Left Ventrikular Hipertrophy. pemeriksaan ekokardiografi didapatkan
Fungsi sistolik ventrikel kiri menurun, fraksi ejeksi 27% dan pemeriksaan Radiologi
ditemukan Kardiomegali dengan edema paru disertai Efusi pleura bilatera
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan curah jantung


(cardiac output = CO) dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Penurunan CO
mengakibatkan volume darah yang efektif berkurang. Untuk mempertahakan fungsi sirkulasi
yang adekuat, maka di dalam tubuh terjadi suatu refleks hemeostasis atau mekanisme
kompensasi melalui perubahan-perubahan neurohormonal, dilatasi ventrikel dan mekanisme
Frank-Starling. Dengan demikian, manifestasi klinis gagal jantung terdiri dari berbagai
respom hemodinamik, renal, neural, dan hormonal yang tidak normal.

Salah satu respon hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan tekanan
pengisian (filling pressure) dari jantung atau preload.

Apabila tekanan pengisian ini meningkat sehingga mengakibatkan edema paru dan
bendungan sistem vena, maka keadaan ini disebut gagal jantung kongestif. Apabila tekanan
pengisian meningkat dengan cepat sekali seperti yang terjadi pada infark miokard akut,
sehingga dalam waktu singkat menimbulkan berbagai tanda-tanda kongestif sebelum jantung
sempat mengadakan kompensasi yang kronis, maka keadaan ini disebut gagal jantung
kongestif akut (Peter Kabo, 2014).

B. ETIOLOGI

Penyebab tersering dari gagal jantung kongestif antara lain; (Dumitru,2018)

1. Infark miokard atau penyakit arteri koroner

2. Kardimiopati dilatasi

3. Hipertensi

4. Penyakit katup jantung

5. Artimia (misalnya bradiaritmia pada blok jantung lengkap)

6. Penyakit jantung bawaan (misalnya VSD, PDA)

7. Gagal ginjal
8. Hipertiroidisme atau hipotiroidisme

C. KLASIFIKASI

1. Gagal jantung akut dan gagal jantung kronis

a. Pasien dengan gagal jantung akut, ditandai dengan gangguan pernapasan dan
dekompensasi. Pasien dapat m emiliki ukuran jantung normal.

b. Pasien dengan gagal jantung kronis mungkin stabil atau mungkin dekompensasi.
Ukuran jantung membesar.

2. Gagal jantung curah rendah vs gagal jantung curah tinggi

a. Gagal jantung curah rendah mengacu pada jenis yang lebih umum dari disfungsi sistolik
ventrikel kiri dengan curah jantung rendah. Keadaan curah rendah ini menyebabkan
vasokontriksi, oliguria, dan tekanan darah rendah.

b. Gagal jantung curah tinggi dikaitkan dengan keadaan sirkulasi hiperkinetik dengan
curah jantung yang itnggi. Keadaan curah tinggi, sebalinya, menyebabkan vasodilatasi
terkanan nadi melebar.

3. Gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan

a. Gagal jantung kiri mengacu pada kegagalan ventrikel kiri dan gejala dispnea saat
aktivitas, ortopnea dan dispnea nokturnal paroksismal.

b. Gagal jantung kanan mengacu pada kegagalan ventrikel kanan dengan distensi vena
leher dan edema bipedal. Penyebab paling sering dari gagal jantung kanan adalah gagal
jantung kiri.

Gagal Jantung bagian kiri Gagal jantung bagian kanan

Beberapa keadaan yang menghasilkan elevasi yang signifikan

1. Ventrikel kiri tekanan diastolik Gagal jantung bagian kiri


misalnya infark miokard,
penyakit arteri koroner

Kardiomiopati membesar
Penyakit katup jantung

Hipertensi

2. Tekanan mitral misalnya mitral Kor pulmonal – gagal ventrikel


stenosis kanan dan penyakit paru

3. Overload cairan misalnya gagal ↑ tekanan RA- misalnya TS, TS


ginjal, iatrogenik

4. Gagal jantung sistolik dan gagal jantung diastolik

a. Gagal jantung sistolik mengacu pada masalah kontraktilitas jantung yang buruk

b. Gagal jantung diastolik mengacu pada masalah dalam relaksasi dari ventrikel kiri yang
kaku (Starry Homenta Rampengan, 2014)

D. PATOFISIOLOGI

Defek primer pada gagal jantung adalah berkurangnya kontraktilitas jantung; yaitu, sel-
sel otot jantung yang melemah berkontraksi kurang efektif. Kemampuan intrinsik jantung
untuk menghasilkan tekanan dan menyemprotkan isi sekuncup berkurang sedemikian
sehingga jantung beroperasi pada kurva panjang-tegangan yang lebih rendah. Kurva Frank-
Starling bergeser ke bawah dan ke kanan sedemikian sehingga untuk EDV tertentu, jantung
yang kepayahan memompa isi sekuncup yang lebih kecil dibandingkan dengan jantung
normal.

Pada tahap-tahap awal gagal jantung, dua tindakan kompensasi utama membantu
memulihkan isi sekuncup ke normal. Pertama, aktivitas simpatis ke jantung secara refleks
meningkat, yang meningkatkan kontraktilitas jantung ke arah normal. Namun, stimulasi
simpatis dapat membantu mengompensasi hanya dalam waktu singkat karena jantung menjadi
kurang responsif terhadap norepinefrin setelah pajanan bekepanjangan, dan selain itu,
simpanan norepinefrin di ujung saraf simpatis jantung terkuras. Kedua, ketika curah jantung
berkurang, ginjal, dalam suatu upaya kompensatorik untuk memperbaiki aliran darahnya yang
menurun, menahan lebih banyak garam dan air di tubuh sewaktu pembentukan urin, untuk
menambah volume darah. Meningkatnya volume darah dalam sirkulasi meningkatkan EDV.
Teregangya serat-serat otot jantung memungkinkan jantung yang payah memompa volume isi
sekuncup yang normal. Jantung kini memompa keluar darah yang kembali kepadanya tetapi
organ ini beroperasi pada panjang serat otot jantung yang lebih besar.
Seiring dengan perkembangan penyakit dan semakin merosotnya kontraktilitas, jantung
mencapai suatu titik di mana organ ini tidak lagi dapat memompa keluar isi sekuncup yang
normal (yaitu, tidak dapat memompa keluar semua darah yang kembali padanya) meskipun
dilakukan tindakan-tindakan kompensasi. Pada tahap ini, jantung jatuh dari gagal jantung
terkompensasi menjadi keadaan gagal jantung dekompensasi. Kini serat-serat otot jantung
teregang hingga ke titik dimana mereka berkerja di bagian desendens kurva panjang-
tegangan. Forward failure terjadi ketika jantung gagal memompa darah dalam jumlah
memadai ke jaringan karena isi sekuncup semakin berkurang. Backward failure terjadi secara
bersamaan ketika darah yang tidak dapat masuk dan dipompa keluar oleh jantung terus
terbendung di sistem vena. Kongesti di sistem vena adalah penyebab mengapa penyakit ini
kadang disebut gagal jantung kongestif.

Gagal sisi kiri memiliki konsekuensi lebih serius daripada gagal sisi kanan. Backward
failure sisi kiri
menyebabkan edema Faktor
Penyebab
paru (kelebihan
cairan jaringan di
paru) karena darah
terbendung di paru. Kerusakan
Miokardial
Akumulasi cairan di
paru ini mengurangi
pertukaran O2 dan
CO2 antara udara dan Gagal jantung
darah di paru, kongestif
menurunkan
oksigenasi darah
-↑ resistensi - ↓ curah jantung
arteri dan pembuluh darah - ↑ ujung ventrikel
meningkatkan CO2 sistemik kiri tekanan
pembentuk asam di (afterload) diastolik
- ↑ volume darah
darah. Selain itu,
(preload)
salah satu
konsekuensi yang
lebih serius dari Respon imbangan
forward failure sisi
kiri adalah
berkurangnya aliran ↑ Renin-angiotensin II-sistim aldosteron
darah ke ginjal, yang ↑ bunti vasokonstriktor simpatik
menimbulkan
masalah ganda. Pertama, fungsi ginjal tertekan; dan kedua, ginjal semakin menahan garam
dan air di tubuh sewaktu pembentukan urin dalam upaya meningkatkan volume plasma lebih
lanjut untuk memperbaiki penurunan aliran darahnya. Retensi cairan berlebihan semakin
memperparah masalah kongesti vena yang sudah ada. Karenanya, terapi gagal jantung
kongestif mencakup tindakan-tindakan yang mengurangi retensi garam dan air serta
meningkatkan pengeluaran urin dan obat yang meningkatkan kontraksi jantung-digitalis
contohnya. (Lauralee Sherwood, 2014)

E. GEJALA DAN TANDA

Akibat bendungan di berbagai organ dan low output, pada penderita gagal jantung
kongestif hampir selalu ditemukan:

a. Gejala paru berupa: dyspnea, orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea. Selain itu
batuk-batuk nonproduktif yang timbul pada waktu berbaring.

b. Gejala dan tanda sistemik berupa lemah, cepat capek, oliguri, nokturi, mual, muntah,
desakan vena sentralis meningkta, takikardi, pulse pressure sempit, asites, hepatomegali
dan edema perifer.

Gejala Tanda

Tipikal Spesifik

- Sesak nafas - Peningkatan JVP

- Ortopneu -Refluks hepatojugular

- Paroxysmal nocturnal dyspnoe - Suara jantung S3 (gallop)

- Toleransi aktifitas yang berkurang - Apex jantung bergeser ke lateral

- Cepat lelah - Begkak di pergelangan kaki - Bising jantung

Kurang tipikal Kurang tipikal

- Batuk di malam / dini hari - Edema perifer

- Mengi - Krepitasi pulmonal

- Berat badan bertambah > 2 kg/minggu - Sura pekak di basal paru pada perkusi

- Berat badan turun (gagal jantung stadium - Takikardia


lanjut) - Perasaan kembung/ begah - Nadi ireguler

-Nafsu makan menurun - Nafas cepat

- Perasaan bingung (terutama pasien usia - Heaptomegali


lanjut)
- Asites
- Depresi
- Kaheksi
- Berdebar

- Pingsan

c. Gejala susunan saraf pusat berupa: insomnia, sakit kepala, mimpi buruk sampai delirium.

Pada kasus akut, gejala yang khas ialah gejala edema paru yang meliputi: dyspnea,
orthopnea, tachypnea, batuk-batuk dengan sputum berbusa, kadang-kadang hemoptisis,
ditambah gejala low output seperti: takikardia, hipotensi dan oliguri, beserta gejala-gejala
penyakit penyebab atau pencetus lainnya seperti keluhan angina pektoris pada infark miokard
akut. Apabila telah terjadi gangguan fungsi ventrikel kiri yang berat, maka dapat ditemukan
pulsus alternans. Pada keadaan sangat berat akan terjadi syok kardiogenik.

Tanda khas pada auskultasi ialah adanya bunyi jantung ketiga (diastolic gallop). Dapat
pula terdengar bising apabila terjadi dilatasi ventrikel. Sedangkan pada paru hampit selalu
terdengar ronki basah.

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk gagal jantung kongestif.
Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium tergantung dari penyakit dasar dan komplikasi yang
terjadi. Seperti adanya peninggian enzim creatine kinase (CK) pada infark miokard, atau
kultur darah positif pada endokarditis. Walaupun demikian, hampir semua penderita
ditemukan adanya peningkatan jumlah sel-sel darah merah, dan penurunan PO2 dan asidosis
pada analisis gas darah akibat kekurangan oksigen.

Gambaran EKG pada pendeita gagal jantung kongestif tidak khas dan tergantung pada
penyakit dasar, namun hampir semua EKG ditemukan takikardi (kecuali yang sudah diobati).
Pada gagal jantung kongestif akut karena selalu terjadi iskemik dan gangguan fungsi konduksi
ventrikel, maka selain takikardi, dapat pula ditemukan left bundle-branch-block (LBBB),
perubahan segmen ST dan gelombang T.

Pada foto toraks, sering ditemukan pembesaran jantung dan tanda-tanda bendungan
paru. Apabila telah terjadi edema paru, dapat ditemukan gambaran kabut di daerah perihiler,
penebalan interlobar fissure (Kerley’s line). Sedangkan kasus yang berat dapat ditemukan
pada efusi pleural.
Klasifikasi menggunakan system NYHA bersifat reversibel yaitu, pasien dapat naik
kelas dari kelas II ke III, namun dapat juga turun kelas dari III menjadi II setelah pengobatan.
Akan tetapi kerusakan struktur jantung bersifat ireversibel artinya sekali rusak maka tetap
rusak. Sedangkan proses yang menimbulkan kerusakan struktur jantung berlangsung lambat
(kecuali pada miokard infark akut).

American College of Cardiology / American Heart Association 2005 Guidelines Update


membagi gagal jantung menjadi 4 tingkat (stage) menurut keparahan yaitu:

Klasifikasi berdasarkan kelainan Klasifikasi berdasarkan kapasitas


struktural jantung fungsional (NYHA)

Stadium A Kelas I

Memiliki risiko tinggi untuk Tidak terdapat batasan dalam


berkembang menjadi gagal jantung. melakukan aktifitas fisik. Aktifitas
Tidak terdapat gangguan struktural fisik sehari-hari tidak menimbulkan
atau fungsional jantung, tidak kelelahan, palpitasi atau sesak napas.
terdapat tanda atau gejala

Stadium B Kelas II

Telah terbentuk panyakit struktur Terdapat batasan aktifitas ringan.


jantung yang berhubungan dengan Tidak terdapat keluhan saat istirahat,
perkembangan gagal jantung, tidak namun aktifitas fisik sehari-hari
terdapat tanda atau gejala menimbulkan kelelahan, palpitasi
atau sesak napas

Stadium C Kelas III

Gagal jantung yang simtomatik Terdapat batasan aktifitas bermakna.


berhubungan dengan penyakit Tidak terdapat keluhan saat istirahat,
jantung struktural jantung yang tetapi aktifitas fisik ringan
mendasari menyebabkan kelelahan, palpitasi
atau sesak

Stadium D Kelas IV

Penyakit jantung struktural lanjut Tidak dapat melakukan aktifitas fisik


serta gejala gagal jantung yang tanpa keluhan. Terdapat gejala saat
sangat bermakna saat istirahat istirahat. Keluhan meningkat saat
walaupun sudah mendapat terapi melakukan aktifitas.
medis maksimal (refrakter)

Kriteria Framingham

Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan kriteria klinis menggunakan kriteria klasik
Framingham: bila terdapat paling sedikit satu kriteria mayor dan dua kriteria minor. (Chris
Tanto, 2014)

Kriteria Mayor Kriteria Minor

Paroxysmal nocturnal dyspnea; Edema ekstremitas;

Distensi vena-vena leher; Batuk malam;

Peningkatan vena jugularis; Sesak pada aktivitas;

Ronki; Hepatomegali;

Kardiomegali; Efusi pleura;

Edema paru akut Kapasitas vital bekurang 1/3 dari


normal;
Gallop bunyi jantung III
Takikardia (>120 kali/menit).
Refluks hepatojugular positif

Mayor atau minor

Penurunan berat badan ≥ 4,5kg dalam 5 hari terapi

Dengan mengetahui tingkat keparahan gagal jantung, dokter dapat melakukan itervensi
lebih cepat dan tepat untuk menyelamatkan pasien agar tidak jatuh ke tingkat gagal jantung
yang lebih berat (Peter Kabo, 2014)

F. TEKNIK DIAGNOSTIK

1. Elektrokardiografi:
Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung memiliki nilai prediktif yang kecil
dalam mendiagnoss gagal jantung. Jika EKG normal, maka diagnosis gagal jantung dengan
disfungsi sistolik sangat kecil (<10%). (Peter Kabo, 2014)

2. Foto thorax:

Modalitas ini merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Foto thorax
dapat mendekteksi kardiomegali, kongesti pau, efusi pleura dan dapat mendeteksi penyakit
atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak napas. (Peter Kabo, 2014)

3. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah perifer
lengkao (hemoglobin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju filtrasi
glomerulus,glukosa tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan tambahanlain
dipertimbangkan sesuai tampilan klinis. Gangguan hematologis atau elektrolit yang
bermakna.

Kadar peptida natriuretik meningkat sebagai respon peningkatan tekanan dinding ventrikel,
dan memiliki waktu paruh yang pajang. Saat ini, peptide natriuretik dapat digunakan untuk
mendiganosis ataupun menentukan prognosis dari gagal jantung. Konsentrasi peptide
natriuretik yang normal sebelum pasien diobati mempunyai nilai prediktif negatof yang
tinggi dan membuat gagal jantung sebagai penyakit dari gejala klinis yang dikeluhkan
pasien menjadi kecil. Sebaliknya, kadar peptide natriuretik yang tetap tinggi, walaupun
pasien telah diterapi optimal mengindikasikan prognosis yang buruk. (PERKI, 2015).

4. Ekokardiografi

Ekokardiografi digunakan sebagai uji diagnostik gagal jantung, dan merupakan hal yang
harus dilakukan pada pasien dengan dugaan gagal jantung. Penggunaan ekokardigrafi juga
dapat menguruk fungsi ventrikel untuk membedakan antara pasien disfungsi sistolik dan
pasien dengan fungsi sistolik normal. Pada gagal jantung diastolic, didapatkan hasil
ekokardiografi dengan fraksi ejeksimenunjukkan hasil yang normal >45-50%. Untuk
mendiagnosis hal ini digunakan criteria:

a. Tanda dan/atau gejala gagal jantung


b. fungsi sistolik ventrikel kiri dalam batas noral
c. Terdapat disfungsi diastolic berupa relaksasi ventrikel kiri yang abnormal ataupn
kekuan diastolik. (PERKI,2015)
Gambar . Algoritma diagnostik gagal jantung. Disadur dari ESC Guidelines for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012.

G. TATALAKSANA

1. Non Faramkologis

 Ketaatan pasien berobat

Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup


pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat pada terapi
farmakologi maupun non-farmakologi

 Pemantauan berat badan mandiri

Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat
badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas pertmbangan
dokter (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C)

 Asupan cairan

Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien dengan


gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua pasien
dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis (kelas
rekomendasi IIb, tingkatan bukti C)

 Pengurangan berat badan

Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal jantung
dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala
dan meningkatkan kualitas hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti C)

 Kehilangan berat badan tanpa rencana

Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung


berat.Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka
kelangsungan hidup.Jika selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 % dari berat
badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai
kaheksia. Status nutrisi pasien harus dihitung dengan hati-hati (kelas rekomendasi
I, tingkatan bukti C)

 Latihan fisik

Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil.
Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit
atau di rumah (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A)

2. Farmakologis

Usaha pertama dalam penanggulangan gagal jantung kongestif ialah mengatasi


sindrom gagal jantung yaitu meningkatkan cardiac output dan menurunkan ventricular
filling pressure. Kemudian mengobati faktor presipitasi seperti aritmia, anemia,
tirotoksikosis, stres, infeksi dan lain-lain, memperbaiki penyakit penyebab seperti
hipertensi, PJK, penyakit katup serta mencegah komplikasi trombo-emboli.

Kasus Kronis

Pengobatan nonfarmakologik seperti: memperbaiki oksigenasi jaringan, membatasi


kegiatan fisik sesuai beratnya keluhan, dan diet rendah garam, cukup kalori dan protein.
Semua hal ini memegang peranan penting dalam penanggulangan gagal jantung kongestif
kronis atau yang tidak akut.

Berdasarkan patofisiologis yang telah diuraikan diatas, konsep terapi farmakologis


saat ini ditujukan terutama pada:
1. Menurunkan preload melalui pemberian diuretik termasuk aldosteron reseptor
antagonist dan nitrat. Diuretik juga dipakai sebagai obat untuk mengatasi retensi
cairan badan.

2. Meningkatkan kontraktilitas jantung (bagi yang terjadi gangguan kontraktilitas


miokard) melalui pemberian digitalis, ibopamin, β-blocker generasi ketiga atau
fosfodiesterase inhibitor.

3. Menurunkan afterload (bagi yang terjadi peningkatan afterload) dengan ACE-


inhibitors, Angiotensin Receptor Blocker (ARB), Direct renin inhibitor, atau
Calcium Channel Blockers (CCB) golongan dihidropiridin.

4. Mencegah myocardial remodelling dan menghambat progresivitas gagal jantung


dengan ACE-inhibitors dan ARB

5. Memperbaiki metabolisme energi miokard dengan Carnitine, Co-enzyme Q10, D-


ribose, Magnesium dan vitamin vitamin

6. Intervensi khusus nonfarmakologis ditujukan bagi pasien gagal jantung stadium D


yang sudah tidak respon dengan obat-obatan.

Bagi penderita gagal jantung kongestif berat (NYHA kelas IV) yang perlu dirawat
lama di rumah sakit, atau pada mereka yang memiliki risiko tinggi terjadinya trombosis
vena dalam, maka perlu diberi tambahan pengobatan berupa antikoagulan.

Perlu diuraikan sedikit tentang gagal jantung kongestif akibat disfungsi diastolik,
yang mekanisme terjadinya adalah melalui gangguan relaksasi miokard, kekakuan
dinding ventrikel dan/atau adanya pengekangan perikard. Pada keadaan demikian, maka
strategi terapi adalah menurunkan tekanan ventrikel kri dengan nitrat atau diuretik,
mencegah hipertrofi ventrikel kiri dengan ACE-inhibitor atau ARB, dan mengusahakan
jantung dalam irama sinus. CCB merupakan salah satu obat yang dapat memperbaiki
relaksasi diastolik, obat ini dilaporkan bermanfaat pada penderita gagal jantung akibat
hypertrophic cardiomyopathy.

Menurunkan preload

Berbagai manifestasi klinik gagal jantung kongestif adalah akibat adanya retensi
cairan dan kelebihan garam. Oleh sebab tu pengobatan gagal jantung kongestif yang
pertama adalah mengeluarkan kelebihan cairan dan garam dalam tubuh.

a. Diuretik
Diuretik merupakan pengobatan standard untuk penderita gagal jantung
kongestif. Kebanyakan pasien membutuhkan obat golongan ini secara kronis untuk
mempertahankan euvolumia. Diuretik yang sering digunakan ialah tiazid, furosemid
dan spironolakton. Hydro-Chloro Tiazide (HCT) dan spironolakton dianjurkan
terutama pada gagal jantung NYHA kelas II. Apabila kondisi memburuk kemudian
diberikan furosemid.

Spironolakton akihir-akhir ini mendapat perhatian khusus bukan karena


memiliki efek potassium sparing yang tidak menyebabkan hipokalemia, akan tetapi
obat ini adalah antagonis reseptor aldosteron. Saat ini diketahui bahwa perangsangan
reseptor aldosteron yang terdapat di jantung dan pembuluh darah akan
mengakibatkan terjadinya fibrosis miokard (remodelling) dan kekakukan pembuluh
darah. Randomized Aldactone Evaluation Study (RALES, 1999) melaporkan
spironolakton menghambat perburukan gagal jantung dan menurunkan mortalitas.
Dosis spironolakton dianjurkan tidak melebihi 25 mg karena dapat menyebabkan
hiperkalemia, apalagi bila dikombinasi dengan ACE-inhibitor.

Furosemid adalah loop diuretik yang kuat, mula kerja untuk diuresis sudah
tampak dalam 30 menit dengan masa kerja 4-6 jam. Obat ini masih memperlihatakan
efek diuresisnya walaupun glomerular filtration rate turun di bawah 25 ml/jam dan
aman digunakan untuk penderita gagal ginjal.

Pemberian furosemid secara kronis dapat terjadi proses adaptasi seperti


peningkatan aktivitas saraf simpatis dan sistem RAA, peninggian pelepasan arginin
vasopresin, sebalinya akan menyebabkan terjadi penurunan curah jantung dan
tekanan a. Pulmonalis, juga menurunkan respon terhadap ANP.

Mekanisme ini mungkin bertanggungjawab terhadap timbulnya resistensi


furosemid. Dengan demikian, penderita yang telah lama menggunakan furosemid,
perlu diberi ACE-inhibitors untuk menghambat terjadinya resistensi furosemid.
Selain itu, ACE-inhibitors juga dapat mencegah efek samping furosemid berupa
hipokalemia dan hipomagnesemia karena menurunkan konsentrasi plasma
aldosteron.

Bagi penderita gagal jantung yang ringan sampai sedang, furosemid dengan
dosis 20-40 mg per hari akan memberi respon yang baik. Sedangkan pada kasus
berat mungkin membutuhkan 40-80 mg perhari. Dosis ini dapat ditingkatkan sesuai
kebutuhan.

Kontraindikasi pemberian diuretik adalah: tamponade jantung, infark miokard


ventrikel kanan, hepatic failure, hipokalemi dan hipersensitif.
b. Nitrat

Pemberian nitrat sangat berguna bagi penderita gagal jantung yang juga
memiliki riwayat penyakit jantung koroner. Atau bagi mereka yang telah menerima
furosemid dosis tinggi namun belum mampu mengatasi sindrom gagal jantung.
Pemberian nitrat harus selalu dimulai dengan dosis awal yang rendah untuk
mencegah sinkope.

Meningkatkan kontraktilitas jantung

Tidak semua gagal jantung kongestid terjadi gangguan kontraktilitas. Obat inotropik
hanya diberikan pada pasien yang tebukri ada gangguan kontraktilitas misalnya pada
pemeriksaan fisis atau hasil ECHO menunjukkan ejection fraction (EF) < 40%. Sebagian
besar simpatomimetik seperti adrenalin, isoprenalin, dobutamin atau efedrin memiliki efek
inotropik positif, namun obat ini tidak dianjurkan untuk gagal jantung karena mereka juga
meningkatkan laju jantung yang akan memperparah kondisi penyakit. Dibawah ini hanya
diuraikan obat inotropik yang khusus untuk pengoabatan gagal jantung.

a. Digitalis (digoksin)

Digitalis telah hampir satu abad digunakan sebagai obat standard untuk penderita
gagal jantung karena memiliki efek inotropik positif (meningkatkan kontraktilitas)
dan kronotropik negatif (menurunkan laju jantung). Sifat ini sangat ideal digunakan
sebagai obat gagal jantung karena hampir semua pasien gagal jantung mengalami
takikardi. Dengan menurunkan laju jantung, obat ini memberi kesempatan ventrikel
kiri mengadakan relaksasi dan pengisian yang efektif untuk kemudia dipompakan
keluar.

Digoksin adalah rapid-acting digitalis yang dapat diberikan secara oral dan
intravena. Mekanisme kerja digoksin yang pertama adalah menghambat aktivitas
sodium pump (Na+/K+-ATPase) yang memperlambat fase repolarisasi, atau dengan
kata lain menyebabkan fase depolarisasi miokard lebih lama, dengan demikian lebih
banyak Ca++ masuk ke dalam sel.sehingga kontraktilitas miokard meningkat.
Mekanisme digoksin yang kedua adalah meningkatkan tonus vagus (parasimpatis)
sehingga menurunkan laju jantung.

Digoksin dapat diberikan per oral atau per intravenous (tidak intramuscular
karena menyebabkan iritasi otot yang hebat). Digoksin (IV) diberikan pada gagal
jantung akut akibat fibrilasi atrium respon cepat. Digoksin oral diabsorpsi lambat
dan tidak sempurna (hanya 30-40%), akan tetapi obat ini masuk ke dalam sirkulasi
enterohepatis sehingga waktu paruh (t1/2) panjang yaitu 1,6 hari. Sifat ini
menyebabkan pemberian digoksin selalu mulai dengan dosis muat (loading dose),
yaitu 3 kali 1 tablet (0.25 mg) per hari selama tiga hari untuk orang dewasa,
kemudian dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan. Pada umumnya dosis
pemeliharaan adalah 0.25 mg/hari untuk umur di bawah 70 tahun dan 0.125 mg/hari
untuk umur diatas 70 tahun.

Pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal, dosis pemeliharaan diberikan


sesuai dengan banyaknya digoksin yang diekskresi melalui ginjal.

Efek toksik digoksin yang paling sering ialah aritmia berupa sinus bradikardia,
interval PR memanjang atau ekstrasistol. Apabila setelah pemberian digoksin
ditemukan tanda-tanda aritmia, maka digoksin harus segera dihentikan.

Pemberian KCl biasanya efektif dalam mengatasi aritmia akibat efek toksik
digoksin. Namun perlu ditekankan disini bahwa pemberian KCl dikontra-indikasikan
pada blok AV, digoxin overdose, dan pada penderita gagal ginjal. Dalam keadaan
demikian, maka dapat diberikan fenitoin atau obat-obat anti aritmia lainnya.

Efek toksik yang lain dari digoksin adalah pada saluran pencernaan berupa
nausea, vomitus, diare dan nekrosis intestinal. Pada susunan saraf pusat dapat berupa
lethargy, stupor, amnesia, confussion sampai koma. Sedangkan pada mata dapat
berupa fotofobia, penglihatan berkilau dan gangguan persepsi warna. Selain
hipokalemia, faktor lain yang ikut berperan dalam intoksikasi digoksin adalah
kondisi jantung itu sendiri misalnya penyakit jantung iskemik dan gagal jantung
berat, karena penyakit ini selalu menimbulkan asidosis dan peningkatan saraf
simpatis.

Konsentrasi terapeutik digoksin dalam plasma adalah 0,8-2 ug/ml. Pemberian


digoksin dikontraindikasikan pada semua penderita yang pernah mengalami
intoksikasi digitalis. Selain itu, obat ini juga tidak boleh diberikan pada penderita
kardiomiopati hipertrofi dan sindrom Wolff-Parkinson-White, dan harus sangat hati-
hati pada pasien hipertiroidisme.

Berhubung digoksin biasanya digunakan dalam jangka waktu panjang bahkan


seumur hidup, maka beberapa obat yang dapat berinteraksi dengan digoksin perlu
diketahui: kuinidin, verapamil, diltiazem, amiodarone, siclosporin, itraconazol,
propanfenon dan flecainide menurunkan bersihan digoksin sehingga meningkatakn
kejadian intoksikasi digoksin. Selain itu obat-obat yang menimbulkan hipokalemia
seperti diuretik, kortikosteroid dan amphotericin B juga meningkatkan intoksikasi
digoksin.
b. Ibopamin

Ibopamin adalah dopamine-like prodrug. Di dalam plasma obat ini dihidrolisa


menjadi epinine yang memiliki efek merangsang reseptor dopamin-1 dan dopamin-2
(DA-1 dan DA-2), adrenoseptor β1 dan β2, juga adrenoseptor α1 dan α2.

Aktivasi reseptor DA-1 dan β2 menyebabkan vasodilatasi arteri. Aktivasi


reseptor DA-2 dan α2 (sentral) menghambat pelepasan noradrenalin, dan penurunan
aktivitas sistem RAA. Aktivasi adrenoseptor β1 meningkatkan kontraktilitas jantung.
Jadi secara teoritis obat ini memenuhi semua kriteria pengobatan gagal jantung.

Berbagai studi melaporkan bahwa pemberian ibopamin 3 x 100 mg per hari pada
penderita gagal jantung mampu menaikkan cardiac index sebesar 30% disertai
penurunan resistensi vaskular, tanpa banyak mempengaruhi denyut jantung dan
tekanan darah. Dengan demikian obat ini dapat diberikan sebagai monoterapi
(menggantikan digitalis dan diuretik), atau diberikan sebagai terapi kombinasi
dengan digitalis pada gagal jantung NYHA kelas II dan III.

c. β-blocker

adrenoseptor-β di miokard memegang peranan penting atas terjadinya gagal


jantung. Pada binatang percobaan, pemberian β-agonis yang terus menerus
menyebabkan gagal jantung, over expresi adrenoseptor-β di miokard pada transgenic
mice menyebabkan dilated cardiomiopathy. Terjadi penurunan jumlah adrenoseptor-
β1 di miokard dan juga sebseluler signaling terjadi pada gagal jantung. Sebalinya
populasi adrenoseptor β3 di miokard meningkat pada gagal jantung. Hal ini adalah
salah satu contoh bahwa begitu kompleksnya adrenergik farmakologi pada sistem
kardiovaskular termasuk sindrom gagal jantung.

Β-blockers yang terbukti dapat meningkatkan ejection fraction, memperbaiki


gejala dan menurunkan angka kematian pasien gagal jantung adalah metoprolol,
bisoprolol dan carvedilol.

d. Fosfodiesterasi inhibitor

Fosfodiesterase inhibitor seperti milrinone, amrinone menghambat degradasi


cAMP. Peningkatan jumlah cAMP selular mengaktifkan protein kinase yang pada
jantung akan menyebabkan terjadinya peningkatan kontraktilitas, sedangkan pada
pembuluh darah terjadi vasodilatasi dan venodilatasi. Dengan demikian
fosfodiesterase inhibitor dinamakan “ino-dilator”. Secara teoritis obat ini sangat
idela diberikan pada pasien gagal jantung karena selain meningkatkan kontraktilitas
miokard, juga terjadi penurunan after load dan pre load. Akan tetapi dalam praktek
penggunaan milrinone jangka panjang meningkatkan mortalitas pada pasien gagal
jantung. Obat ini hanya dianjurkan pada pasien gagal jantung akut dengan
penggunaan singkat secara intravenous.

e. Isoniazide (INH)

Potassium channel blocker 4-aminopiridin memperpanjang fase depolarisasi


sehingga meningktakan kontraktilitas otot jantung atau otot polos vaskular. Isoniazid
(INH) memiliki struktur kimia yang mirip 4-aminopiridin. Kabo (2000) dengan
menggunakan preparat jantung terpisah (Langendorf) membuktikan bahwa INH
memiliki efek inotropik. Efek ini besar kemungkinan adalah melalui blokade kanal
K+ sehingga memperpanjang fase depolarisasi, karena pemberian β-blocker
propanolol gagal menghambat efek inotropik INH.

Menurunkan after-load

Menurunkan beban jantung dengan menurunkan after-load merupakan langkah


berikut penanggulangan gagal jantung kongestif. Kadang-kadang tekanan darah pasien
tidak tinggi, namun hanya dengan pemberian dosis kecil obat yang menurunkan
afterload dapat sangat memperbaiki gejala.

a. ACE-inhibitors

Setelah ditemukannya angiotensi II reseptor yang memiliki sifat protooncogenic


terhadap sel jantung, maka konsep yang paling populer terhadap mekanisme kerja ACE-
inhibitors pada gagal jantung ialah bahwa obat golongn ini memiliki efek langsung pada
jantung dalam hal mencegah terjadinya remodelling dan menghambat perluadan
kerusakan miokard. Selain itu, obat golongan ini juga memiliki efek lainnya seperti:
menurunkan after-load, menurunkan aktivitas saraf simpatis, menurunkan sekresi
aldosteron (sehingga meningkatkan ekskresi natrium), dan menurunkan sekresi
vasopresin yang semuanya berguna untuk penderita gagal jantung.

Pederita gagal jantung kongestif yang juga hipertensi adalah golongan penderita
yang aman untuk menerima ACE-inhibitors.

Biasanya pengobatn dimulai dengan ACE-inhibitors yang short acting seperti


kaptopril dosis rendah yaitu 3 kali 6,25 mg atau 12,5 mg perhari, atau enalapril 2 kali 2,5
mg per hari selama beberapa hari di bawah pengawasan ketat. Apabila tampak perbaikan
dan hemodinamik stabil, obat golongan short acting ini dapat diganti ke golongan yang
long acting seperti lisinopril atau ramipril.
Kontraindikasi pemberian ACE-inhibitors antara lain: stenosis aorta, stenosis a.
Renal atau carotis, anemia berat, gagal jantung yang disertai angina karena restrictive atau
hyperthropic cardiomiopathy, ibu hamil atau yang sedang menyusui, hipotensi,
hipovolemia, hiponatremia dan hiperkalemia.

Efek samping yang paling sering ialah batuk-batuk. Selain itu ACE-inhibitor dapat
menimbulkan angioedema, gatal-gatal, hiperkalemia, anemia dan hilangnya rasa pengecap.

b. ARB

ACE-inhibitors tidak mampu menghambat sebagian besar produksi Angiotensin II,


jadi dengan memblokade AT-1 reseptor, ARB diharapkan dapat menghambat sebagian
besar efek negative dari sistem RAA. Walaupun ARB diketahui tidak memiliki efek yang
baik seperti ACE-inhibitors yaitu meningkatkan bradikinin, prostaglandin dan NO di
jaringan jantung, pembuluh darah dan organ lain.

Kombinasi antara ARB dan ACE-inhibitors juga dilaporkan memiliki efek sinergis
dalam mempengaruhi hemodinamik, remodelling dan profil neurohormon.

c. Direct renin inhibitor (Aliskiren)

Aliskiren adalah obat antihipertensi yang relatif baru. Aliskiren Observation of Heart
Failure Treatment (ALOFT) Study menunjukkan bahwa pada pasien gagal jantung yang
stabil dengan obat-obat gagal jantung termasuk ACE-inhibitors dan ARB, penambahan
aliskiren 150 mg menurunkan konsentrasi N terminal pro B-type natriuretic peptide (NT
pro BNP), suatu petanda gagal jantung. Aliskiren juga dilaporkan mampu menurunkan
hipertrofi ventrikel kiri.

d. CCB

CCB dihidopiridin merupakan vasodilator kuat sehingga biasanya diberikan pada


pasien gagal jantung grade II yang tidak takikardi. CCB yang long acting seperti amlodipin
dan nivedipin GIT lebih baik karena tidak mempresipitasi refleks takikardi dan dilaporkan
bermanfaat pada kasus yang belum maupun yang sudah terjadi gangguan fungsi sistolik.
Bagi pasien tidak mampu dapat diberikan nifedipin (10 mg) yang penting dosis dibagi rata
setiap 8 jam.

Mencegah remodeling

Obat yang memiliki efek mencegah remodeling seperti ACE-inhibitors dan ARB
bermanfaat menghambat progresivitas gagal jantung. Namun dosis yang diberikan harus
maksimal. Sebenarnya hampir semua obat antihipertensi memiliki efek mencegah remodeling
termasuk CCB, β-blocke dan diuretik.
Memperbaiki metabolisme energi miokard

Telah diuraikan diatas bahwa patogenesis disfungsi miokard terutama disebabkan


karena kekurangan produksi energi atau ATP. D-ribose merupakan satu-satunya komponen
yang dapat mengisi ulang cadangan energ. Co-enzyme Q10 (Co-Q10) menangkap elektron
yang keluar dari siklus Krebs dan menghantarkannya ke sitokrom dalam rantai transportasi
elektron. L-carnitine yang terdapat di dalam ATP yang berperan dalam berbagai metabolisme.
Dengan demikian D-ribose, L-carnitine, Co-Q10 dan Mg++ merupakan empat bahan yang
sangat dibutuhkan untuk memperbaiki metabolisme energi dan menyuplai kebutuhan energi
secara maksimal pada miokard. Pada pasien gagal jantung kongestif yang selalu diikuti
gangguan penyerapan nutrisi oleh usus atau pada usia lanjut yang disertai berbagai penyakit
kronis dan malnutrisi, maka pembentukan bahan-bahan ini berkurang, sehingga perlu
memperoleh suplemen untuk menjaga atau memperbaiki fungsi jantung. Pemberian keempat
bahan ini secara teoritis adalah jauh lebih fisiologis dalam pengobatan gagal jantung,
dibandingkan berbagai obat gagal jantung yang diperkenalkan saat ini yang lebih
mengfokuskan pada memacu kontraktilitas dan laju jantung. (Peter Kabo, 2014)

Kasus akut

Tindakan umum untuk gagal jantung kongestif akut ialah apabila penderita dibaringkan
pada posisi setengah duduk, dan diberi oksigen. Oksigen secara rutin diberikan pada penderita
gagal jantung kongestif akut, karena hampir semua penderita mengeluh sesak napas. Oksigen
konsentrasi tinggi mutlak diperlukan pada penderita yang PO2 kurang dari 70%, atau terdapat
tanda-tanda edema paru yang berat.

Agar tidak terjadi kekeringan mukosa paru, pemberian oksigen sebaiknya disertai uap
air. Pada pemberian oksigen konsentrasi sangat tinggi (60-100%), maka setiap 5 jam harus
dihentikan beberapa menit untuk mencegah keracunan oksigen. Tanda-tanda keracunan
oksigen antara lain: perasaan lemah, nausea, vomitus, batuk-batuk, perasaan terbakar di
daerah substernal dan tanda-tansa serebral seperti konvulsi.

Keberhasilan penanggulangan gagal jantung kongestif akut sangat tergantung dari


ketepatan memonitor fungsi kardiovaskuler melalui perubahan-perubahan hemodinamik,
karena hal ini merupakan petunjuk dalam pemberian obat-obat untuk memperbaiki fungsi
jantung secara optimel. Perubahan-perubahan hemodinamik dapat dimonitor dengan
menggunakan metoda noninvasif atau invasif.

Metoda noninvasif seperti pengukuran tekanan darah dengan tensimeter, perhitungan


ejection fraction ventrikel kiri dengan ekokardiografi, dan penentuan tekanan vena sentralis
dengan mengukur tingginya desakan vena jugularis interna mudah dilakukan dan dapat
diterima oleh pihak penderita. Namun hasilnya tidak selalu adekuat sehingga pemeriksaan-
pemeriksaan ini dilakukan biasanya untuk penderita gagal jantung kronis.
Untuk gagal jantung kongestif akut dimana memerlukan pengobatan segera dan tepat,
maka monitoring fungsi kardiovakular sebaiknya dilakukan dengan metode invasif seperti
pemasangan kateter vena sentral atau kateter Swan-Ganz.

Dengan kateter Swan-Ganz, dokter dapat memperoleh pulmonary capillary wedge


pressure (PCWP, nilai normal adalah 4-12 mmHg), left venticle end-diastolic pressure
(LVEDP, nilai normal adalah 15-18 mmHg), tekanan vena sentralis (nilai normal adalah 0-7
mmHg), dan curah jantung (normal 4-8 L/menit)

Apabila dalam pengukuran ditemukan LVEDP dan PCWP lebih besar dari 20 mmHg,
maka tanpa ragu-ragu penderita dapat segera diberikan venodilator seperti furosemid atau
nitrat secara intravena. Pada gagal jantung kiri yang sangat berat dimana LVEDP atau PCWP
lebih besar dari 25 mmHg, pemberian venodilator walaupun dapat menurunkan LVEDP atau
PCWP, namun hal ini akan sangat menurunkan curah jantung. Pada keadaan demikian,
pemberian obat yang memiliki efek dilatasi vena dan arteri seperti natrium nitroprusid
merupakan pilihan utama. Dilatasi vena menurunkan preload sehingga memperbaiki gejala
meringankan beban ventrikel kiri untuk berkontraksi sehingga meningkatkan curah jantung.
Selain itu, pemberian obat inotropik untuk meningkatkan kontraktilitas juga penting dalam
mengatasi sindrom gagal jantung.

Dua petunjuk penting dalam pemilihan obat gagal jantung akut adalah:

1. Bila ditemukan ronki basah di basal paru (tanda bendungan), TDS > 100 mmHg
maka segera diberikan diuretik atau nitrat (kecuali kontraindikasi).

2. Bila ditemukan ronki basah, TDS<90 mmHg, akral dingin (perfusi jelek)
menunjukkan indikasi pemberian inotropik (dopamin atau dobutamin) (Peter Kabo, 2014)

H. PROGNOSIS

Mortalitas 1 tahun pada pasien dengan gagal jantung cukup tinggi (20-60%) dan berkaitan
dengan derajat keparahannya. Data Framingham yang dikumpulkan sebelum pengunaan
vasodilatasi untuk gagal jantung menunjukkan mortalitas 1 tahun rerata sebesar 30% bila
semua pasien dengan gagal jantung dikelompokkan bersama, dan lebih dari 60% pada NYHA
kelas IV. Maka kondisi ini memiliki prognosis yang lebih buruk daripada sebagian besar
kanker. Kematian terjadi karena gagal jantung progresif atau secara mendadak (diduga karena
aritmia) dengan frekuensi yang kurang lebih sama. Sejumlah faktor yang berkaitan dengan
prognosis pada gagal jantung.

1. Klinis: semakin buruk gejala pasein, kapasitas aktivitas, dan gambaran klinis, semakin
buruk prognosis;
2. Hemodinamik: semakin rendah indeks jantung, isi sekuncup, dan fraksi ejeksi, semakin
buruk prognosis;

3. Biokimia: terdapat hubungan terbalik yang kuat antara norepineprin, renin, vasopresin, dan
peptida natriueretik plasma. Hiponatremia dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk;

4. Aritmia: fokus ektopik ventrikel yang sering atau takikardia ventrikel pada pengawasan
EKG ambulatori menandakan prognosis yang buruk. Tidak jelas apakah aritmia ventrikel
hanya merupakan penanda prognosis yang buruk atau apakah aritmia merupakan penyebab
kematian. (Huan Grey dkk,2003).
DAFTAR PUSTAKA

1. Peter Kabo. 2014. Bagaimana menggunakan Obat-Obat Kardiovaskular Secara Rasional.


Jakarta : Badan Penerbit FKUI.
2. Dumitru Ioana, Baker Mathue M, et all. Heart Failure. 2018.
https://emedicine.medscape.com/article/163062. diakses pada 24 September 2018.
3. Huon H. Grey, Keith D. Dawkins, Iain A. Simpson, John M. Morgan. 2003. Kardiologi.
Jakarta : Erlangga.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Paduan Praktik Klinis
(PPK) dan Clinical Pathway (CP) Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta.
5. Sherwood, Lauralee. 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
6. Tanto, Chris dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.

Anda mungkin juga menyukai