Anda di halaman 1dari 5

Komentar terhadap “Reflections of A Young Man on The Choice of A Profession” –

Bagian 1

Siapa yang tidak kenal Karl Marx? Ia mungkin salah satu pemikir paling paten dalam
peradaban manusia. Banyak ilmuwan menggunakan gagasannya sebagai catatan kaki agar
rancangan idenya bisa berdiri tegak. Ia sosok kontroversial. Ia disanjung sekaligus dicaci.
Namun, apa pun dramanya, kita tidak bisa mungkiri, Marx adalah sosok penting.
Pengaruhnya terasa dalam berbagai disiplin ilmu. Idenya menyebar dalam dunia filsafat,
ekonomi, sosiologi, bahkan teologi.

Namun, bagi para pembaca Marx, pernahkah kita bertanya, apa jiwa dari ide Marx? Apa
yang menjadi pergumulan batinnya? Apakah ada pergulatan spiritual dibalik ribuan lembar
tulisannya? Apa ide utama yang selalu hadir dalam setiap guratan penanya?

Marx pernah menulis esai pendek yang, mungkin, bisa memberi jawab atas pertanyaan itu.
Risalah singkat itu berjudul Reflections of A Young Man on The Choice of A Profession
(1835). Ia berusia 17 tahun ketika menuliskan ini. Esai ini ditulis sebagai salah satu makalah
ujian akhir sekolah menengah. Secara umum, tulisan ini bertutur tentang panduan
bagaimana seorang pemuda dalam memilih profesi yang tepat. Kesannya, tulisan ini seperti
sebentuk panduan. Sama sekali tidak! Malahan, tulisan ini sarat dengan perenungan
filosofis.

Sebagai gambaran besar, pada usia ini Marx belum menjadi seorang materialis. Saya
melihat, ia adalah anak kandung dari pencerahan Prancis. Ia awalnya adalah seorang
idealis, yaitu paham yang kelak akan dimaki-makinya. Pisau analisisnya pun bukan
dialektika, tetapi metode analisa a la Cartesian. Cara berpikirnya masih sangat eklektik.
Eklektik adalah cara berpikir bersifat memilih yang terbaik dari berbagai sumber. Bibit
dialektis memang sudah bertunas, namun masih tanpa sintesis. Gairahnya masih komparasi
dikotomis. Semangatnya pun belum revolusioner, malah terkesan utilitarian.

Tulisan ini akan mencoba memberi komentar-komentar singkat tentang esai ini. Saya
menempatkan diri seperti komentator Alkitab bekerja. Setiap frasa dan kalimat menarik akan
saya komentari dengan bebas. Saya tidak menjamin pendapat ini akan konsisten dengan
pemikiran Marxisme arus utama. Saya menuliskan ini pun hanya mengisi waktu luang dan
menjaga kesadaran.

Kali ini, saya akan mulai dari paragraf pertama esai itu.

Nature herself has determined the sphere of activity in which the animal should move, and it
peacefully moves within that sphere, without attempting to go beyond it, without even an
inkling of any other. To man, too, the Deity gave a general aim, that of ennobling mankind
and himself, but he left it to man to seek the means by which this aim can be achieved; he
left it to him to choose the position in society most suited to him, from which he can best
uplift himself and society.
I

”Nature herself has determined the sphere of activity in which the animal should move, and
it peacefully moves within that sphere, without attempting to go beyond it, without even an
inkling of any other.”
”Alam telah menentukan ruang aktivitas dimana binatang mesti bergerak, dan mereka
bergerak dengan damai dalam ruang itu, tanpa ada niat untuk melangkahinya, atau bahkan
menginginkan yang lain.”
Pada mulanya, ia berbicara tentang alam. Menurutnya, alam sudah menentukan aturan
main bagi setiap makhluk yang tinggal di dalamnya. Masing-masing objek bebas bergerak
dalam lingkup batas yang sudah ditetapkan. Binatang, kata Marx, tidak punya niat untuk
melangkahi limitasi tersebut. Bahkan, ia mengatakan hewan-hewan itu bergerak damai dan
tiada niat keluar dari kodrat.

Alam akan menjadi anasir penting dalam pemikiran Marx. Dalam Economic And Philosophical
Manuscripts (1844), ia memperlihatkan bahwa alam (external nature) adalah bagian dari
kesadaran (consciousness) manusia.1 Kesadaran, menurut Marx, adalah produk dari proses
aktual.2 Pada Tesis Tentang Feuerbach no. 3 (1845), Marx juga mengatakan, ”Manusia itu
adalah hasil keadaan.” Jargon terkenalnya, ”Keadaan membentuk kesadaran.” Dalam hal
inilah, proses aktual membutuhkan wadah untuk menetaskan diri. Cangkang itu bernama
alam. Tempat itu menjadi pentas untuk meneaterkan aksi manusia menjadi sandiwara
sejarah. Alam sebagai prasarana utama berlangsungnya peristiwa. Istilah saya, alam adalah
prakondisi dari kesadaran.

Pada kalimat pertama ini, Marx berasumsi bahwa alam adalah sebuah tatanan. Dalam
tatanan, ketertiban adalah raja. Semua bergerak dalam rima yang saling menjaga. Ada
hukum yang menata semesta. Segalanya patuh pada tataan alam. Marx menggunakan
”analogi” bahwa binatang tidak mengingini untuk keluar dari sistem. Kelihatannya, Karl Marx
muda sudah kegandrungan terhadap struktur. Ia melihat bahwa alam ”sungguh amat baik”
adanya. Pasalnya, unsur-unsur dalam alam, katanya, bergerak dalam irama damai.

Ini mungkin yang menjadi pijakan mengapa Aristoteles, Epicurus, dan filsafat alam sangat
memengaruhinya. Materialisme sudah bertunas dalam pikiran Marx muda, tetapi belum
mengakar. Nanti, kita akan melihat idealisme/utilitarian adalah konsentrasi utamanya.

Jadi, hentakan pertama dalam cara Marx berpikir adalah tentang alam. Saya teringat pada
sebuah buku yang belum selesai dibaca. Bahkan, saya hanya menyentuh beberapa
halaman. Bukunya berjudul, Marx’s Ecology oleh John Bellamy Foster. Dalam pengantar, ia
mengatakan bahwa wawasan dunia (world-view) Marx sangat dalam, sistematis, dan
bersifat ekologis.3 Jika melihat tulisan Marx muda ini, rasa-rasanya saya setuju dengan
Foster.

II

”To man, too, the Deity gave a general aim, that of ennobling mankind and himself, but he
left it to man to seek the means by which this aim can be achieved; he left it to him to
choose the position in society most suited to him, from which he can best uplift himself and
society.”
”Kepada manusia juga, Sang Ilah memberikan tujuan umum, yaitu memuliakan umat
manusia dan dirinya sendiri, tetapi Ia membiarkan manusia mencari sarana-sarananya untuk

1
Lan Fraser, and Lawrence Wilde, The Marx Dictionary, (New York, USA: Continuum International
Publishing Group, 2011), 148-50.
2
Ibid., 64.
3
Foster, John Bellamy, Marx's Ecology, ( New York, USA: Monthly Review Press, 2000), viii.
mencapai tujuan itu; Ia mengizinkan manusia untuk memilih posisinya yang cocok dalam
struktur masyarakat, yang melaluinya bisa mengangkat (derajat) dirinya dan
masyarakatnya.”
To man, too. Segala pandangannya tentang alam juga berlaku kepada manusia. Manusia
juga bagian dari alam. Jadi, manusia wajib menetap dalam ”ruang” yang sudah ditentukan
baginya. Manusia bergerak damai dalam ketetapan tapal batas yang alam sediakan. Saya
menilai, Marx menganggap manusia sama dengan objek lain yang tinggal di alam. Ia tidak
melebih-lebihkan nilai manusia dari benda yang lain. Di hadapan hukum alam, manusia dan
lingkungan adalah setara.

The Deity gave a general aim. Ini pernyataan Marx muda yang paling menarik dalam esai
pendek ini. Pada usia 17 tahun, Marx ternyata percaya kepada sesuatu yang ilahi. Bahkan,
ia percaya Sang Ilah itu menetapkan sebuah tujuan umum untuk manusia.

Diksi tentang ”Deity” pun menarik. Ini mengusik saya. Entah mengapa, saya merasa Marx
sedang menyembunyikan sesuatu dari term ini. Saya menduga, ia sedang
mengomunikasikan sesuatu dengan memilih istilah ini daripada God.

Marx memang menggunakan kosakata agama. Akan tetapi, bagi saya, bukan berarti ia
termasuk penganutnya. Dalam esai ini, ia pun menunjukkan itu dengan gamblang, lugas,
dan penuh pertimbangan.

Martin Suryajaya menerjemahkan kata ini sebagai Dewa (huruf ’d’ kapital).4 Saya merasa
terjemahan tersebut kurang menyentuh arwah esai ini. Istilah ”Dewa” rasanya bernuansa
pada glosarium lembaga agama. Padahal, menurut saya, ada perbedaan halus antara Deity
dan God. Walaupun secara substansi sama, Deity memiliki arti yang lebih luas dari God.
Sederhananya, God adalah term agama. Ia satu, tunggal, dan biasanya dipahami sebagai
laki-laki (Male God). Sementara, pengertian Deity adalah godhood. Ia bisa merujuk pada
banyak bentuk entitas adikuasa. Ia bisa menerjemahkan diri dalam banyak cara. Dengan
pertimbangan inilah saya lebih memilih istilah Sang Ilah. Kata ini, saya rasa, lebih steril dari
aroma agama.

Lalu, apa signifikansi istilah ini? Setidaknya, Marx belia tidak percaya ada Tuhan dalam
pengertian agama. Tuhan versi agama memiliki kepribadian yang dibahasakan sama dengan
manusia. Kita sering mengistilahkan dengan Tuhan yang personal. Dengan diksi ini, Marx
tampaknya tidak percaya itu. Ia tidak percaya God. Namun sepertinya, ia tidak punya pisau
analisa yang tajam untuk menjelaskan realitas. Ia tidak mengerti teori evolusi karena itu
baru muncul pada 1859. Saya membayangkan, Marx sedang berdiri pada persimpangan. Ia
tidak percaya kepada Tuhan versi agama, namun tidak punya penjelasan tentang fakta
semesta. Dalam pergumulan itulah, ia memilih kata Deity (Sang Ilah). Ia adalah entitas yang
memberi tujuan besar (umum) kepada manusia.

Jika Anda adalah seorang pembaca karya Marx pasca 1841, Anda mungkin kaget dengan ini.
Ternyata, ada suatu masa bahwa Marx percaya kepada ”sosok Tuhan”. Bukan hanya itu,
”sosok” tersebut diyakininya memberi tujuan hidup kepada manusia. Nanti, dalam komentar
selanjutnya, kita akan melihat apa tujuan itu. Setidaknya sampai di sini, kita melihat Marx
adalah penganut teleologi. Ia meyakini bahwa hidup ini bertujuan.

4
Martin Suryajaya, Teks-teks Kunci Filsafat Marx, (Yogyakarta, Indonesia: Resist Book, 2016), 1.
Sejauh ini, kita melihat bahwa Marx muda sama seperti manusia lainnya. Ia juga mengalami
pergumulan dan transisi dalam sikap serta pandangan filosofisnya. Ia melewati tahapan
krisis intelektual dalam memaknai kehidupan. Dalam ketegangan itu, Marx menggunakan
paradigma zamannya untuk menarik kesimpulan dan penjelasan. Ia memakai bahasa yang
dipahami akalnya untuk memuaskan dahaga pengetahuannya.

That of ennobling mankind and himself. Tujuan umum yang ditetapkan Sang Ilah itu adalah
untuk memuliakan umat manusia dan dirinya. Dalam risalah ini, Marx tidak terlalu jelas
dengan apa yang dimaksudnya. Ia tidak menyediakan indikator bagaimana derajat manusia
itu ditinggikan. Memang, pada akhir-akhir tulisan, nuansa jawaban atas pernyataan ini
sangat kental dengan corak utilitarianisme, yaitu for the common good. Demi kebaikan
bersama, bisa jadi, adalah keutamaan dalam kerangka penalaran Marx.

Namun, bagaimana ini diterjemahkan konkret? Dalam tulisan ini, Marx belum memberi
jawaban pasti. Sejauh ini, menurut Marx, apa yang baik hanya ada pada tatanan alam.
Apakah jika ingin derajat kian mulia, maka manusia harus dekat dengan alam? Tunduk pada
alam? Entahlah.

Imajinasi paling dekat yang muncul dalam benak saya ada pada utopia Marx. Masyarakat
tanpa kelas adalah puncak dari pemikiran Marx. Kalau merujuk pada tulisan ini, impian itu
merupakan ekspresi nyata for the common good. Penafsiran saya, Marx membenci
kapitalisme karena sistem ini tidak menghormati keutamaan ”demi kebaikan bersama”.
Pendeknya, bagi saya, degup jantung materialisme-dialektis-historis dari Marx ada pada
semangat utilitarianisme. Inilah motor penggeraknya. Minimal, posisi ini akan saya pegang
untuk sementara.

But he left it to man to seek the means by which this aim can be achieved. Kalimat ini
menjelaskan posisi teologis Marx ketika itu. Tampaknya, ia seorang penganut deisme.
Deisme adalah sebuah paham yang mengakui bahwa adanya Tuhan. Tuhan adalah sumber
dari segala sesuatu yang ada. Ia pencipta alam dan hukum yang mengaturnya. Namun,
Sang Ilah itu tidak lagi mencampuri urusan manusia. Ia hanya menetapkan tujuan umum,
kemudian manusia mencari cara sendiri untuk menggenapi tujuan itu. Pilihan posisi teologis
ini memang populer pada abad ke-19.

Namun, kalau melihat secara keseluruhan, Marx pun nanti akan mengkritik posisi ini. Ia
akan mempertanyakan sumber dan akses manusia menemukan pengetahuan adiluhung itu.
Membicarakan posisi teologis Marx belia ini, sungguh menarik perhatian saya. Bagi saya,
pada jenjang usia ini, Marx adalah seorang ateis yang malu-malu. Pasalnya, ia belum
menemukan cara dalam mengartikulasikan posisi ateismenya dengan ilmiah. Baru nanti
ketika Marx menuliskan disertasi doktor, sikap itu akan kian tegas. Kita akan membicarakan
itu lagi nanti.

He left it to him to choose the position in society most suited to him, from which he can best
uplift himself and society. Sebelumnya, saya mengatakan bahwa Marx memang tidak
mengagungkan manusia secara berlebihan. Namun, ia tetap memberi faktor pembeda.
Manusia bisa memilih posisi dalam masyarakat untuk menggenapi tujuan umum itu.
Kemampuan memilih ini adalah keistimewaan dari manusia.

Asumsi kental Marxisme terlihat juga dalam kalimat ini. Marx yakin bahwa tujuan umum dari
Sang Ilah itu akan tergenapi jika seseorang masuk dalam society-nya. Pemikiran ini nanti
akan berkembang dalam Critique of Hegel's Philosophy of Right (1843). Marx melemparkan
kritik pada konsep masyarakat dari Hegel. Bagi Hegel, sistem kemasyarakatan adalah
masyarakat sipil. Hegel menyebutnya sebagai bürgerliche Gesellschaft. Frasa ini secara
harfiah berarti masyarakat borjuis. Masyarakat sipil, bagi Hegel, diperlakukan seperti pasar
bebas yang mengizinkan setiap orang mengejar kepentingan pribadinya.5 Dalam Tesis
Tentang Feuerbach no. 10 (1845), Marx mengajukan konsep masyarakat manusia sebagai
tandingannya. Bisa dikatakan, society menjadi judul sentral dalam hamburan gagasan Marx
lewat jutaan aksara yang ditulisnya.

Saat itu, Marx tampak yakin dengan kebebasan. Manusia diyakininya merdeka dalam
menentukan kedudukan dalam struktur masyarakat. Nanti akan kita lihat, masih dalam teks
yang sama, Marx tidak percaya ini. Marx tidak yakin dengan ide ini. Ia malah mengatakan
bahwa posisi manusia dalam tatanan masyarakat sudah ditentukan tanpa seizin kita. Hidung
Marx muda sudah mengendus aroma ini, yaitu bau ketidakadilan.

III

Paragraf pertama tulisan ini penting. Inilah titik mula dari seluruh esai pendek ini. Kalau
saya diizinkan lancang, alinea ini adalah degup nadi seluruh bangunan pemikiran Marx
nantinya. Mungkin, seluruh tema pemikirannya berfokus dari kalimat pendek ini, yaitu
tentang tatanan masyarakat (society), alam, tujuan manusia, dan Sang Ilah.

Tentu saja uraian di atas belum final. Sebelumnya, saya sudah sebutkan bahwa Marx adalah
seorang eklektik. Ia akan menguliti semua ide itu satu persatu. Dalam paragraf selanjutnya,
kita akan melihat Marx sangat mencurigai narasi raksasa yang berkembang pada eranya. Ia
akan memeriksa semua posisi sampai menemukan satu yang ultima. Apa itu? Nantikan
dalam tulisan berikutnya.

5
Lan Fraser, and Lawrence Wilde, The Marx Dictionary, (New York, USA: Continuum International
Publishing Group, 2011), 44-45.

Anda mungkin juga menyukai