Anda di halaman 1dari 5

Esai-esai karya Ajidarma memiliki dampak penting sebagai konsep awal dalam

penafsiran yang dilakukan oleh para kritikus sastra terhadap antologi Saksi Mata. Dampak ini
muncul dari keterhubungan fakta historis dalam antologi tersebut yang mengaitkan unsur-
unsur fakta dan unsur fiksi di dalamnya. Budiawan (1998) menyatakan bahwa antologi Saksi
Mata mencerminkan suara-suara yang dibungkam. Hal ini menguatkan aspek kesesuaian
antara fakta dan fiksi dalam antologi Saksi Mata, yang Budiawan pandang sebagai daya kritis
dan wacana alternatif.
Saksi Mata sebagai wacana alternatif dapat diartikan sebagai bentuk komentar sinis
terhadap proses pengadilan yang berkaitan dengan kasus Timor Timur, dan pada saat yang
sama, juga dianggap sebagai kritik terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Namun, meskipun secara paradoks dinilai
sebagai kritik terhadap kekejaman pasukan Indonesia, Saksi Mata tetap tidak memiliki
kekuatan sebagai wacana alternatif yang mendukung gerakan pembebasan rakyat Timor
Timur. Akibatnya, Saksi Mata hadir sebagai bentuk lain dari ungkapan simpati terhadap
korban kekerasan, seperti yang tercermin dalam cerpen "Salazar".
Clark (1996) menguraikan bahwa cerpen "Salazar" memiliki sifat ambivalen terhadap
fenomena kolonialisme dengan mendorong penduduk Timor Timur untuk menerima
kedaulatan Indonesia sebagai bagian dari upaya resolusi konflik. Pada tahap ini, keragu-
raguan mengenai pandangan Ajidarma terhadap posisi Timor Timur dianggap bertentangan
dengan pandangan yang kontradiktif. Artinya, dalam konteks Timor Timur, pertanyaan
penting yang muncul menurut Clark adalah apakah Ajidarma menulis untuk penduduk Timor
Timur atau sebagai perwakilan orang Indonesia? Padahal, sikap Ajidarma terhadap semangat
perlawanan di Timor Timur dianggap tidak menggambarkan simpati. Dari sini, Clark
menyimpulkan bahwa melalui cerpen "Salazar," Ajidarma berada pada ambang tipis antara
sastra yang terletak setelah kolonialisme atau sastra yang masih terikat oleh kerangka
kolonial.
Oleh karena itu, data ilmiah ini menunjukkan bahwa peran antologi "Saksi Mata"
masih memiliki aspek yang memunculkan pertanyaan. Di satu sisi, antologi ini dianggap
sebagai rekaman dari kenyataan yang menggabungkan unsur fakta dan fiksi, tetapi di sisi
lain, ia juga dianggap sebagai bentuk komunikasi alternatif yang menyentuh garis halus
antara sastra kolonial dan pascakolonial. Penelitian lebih lanjut terhadap antologi "Saksi
Mata" menjadi penting karena beberapa alasan tertentu. Pertama, daripada hanya dilihat
sebagai sebuah karya sastra yang mendukung rezim Orde Baru, antologi ini perlu dijelajahi
dalam dimensinya sebagai wadah ideologi, intelektual, dan formatif, agar dapat menjadi
sumber pembelajaran bagi generasi sekarang dan masa depan. Kedua, jika ternyata antologi
tersebut memiliki arti yang berlawanan, maka konsep wacana alternatif yang diajukan oleh
Ajidarma perlu digunakan sebagai pegangan untuk tujuan perbandingan, baik dari sudut
pandang teoritis maupun praktis, agar mampu menghadapi dinamika perubahan sosial dan
politik yang makin rumit, termasuk dalam aspek geografis, mistis, fisik, maupun psikologis.
Dalam perbandingan ini, dapat dilihat bahwa nilai-nilai kesusastraan yang terkandung dalam
antologi "Saksi Mata" mungkin dapat menciptakan jarak ontologis antara manusia dengan
nilai-nilai yang memiliki nilai manfaatnya (dulce et utile).
Jarak ini memiliki signifikansi yang penting dalam upaya pemahaman dan
pengembangan diri, untuk mencegah manusia dari sikap meremehkan atau beranggapan telah
memahami sesuatu dengan baik, padahal kenyataannya manusia kehilangan sensitivitas yang
disebut sebagai kesadaran akan tempat (Sayuti, 2014). Maka dari itu, analisis konfrontasi
ideologi, peran tokoh intelektual, dan peran formatif yang ada dalam antologi "Saksi Mata"
memegang peran yang esensial dalam membentuk identitas pembaca sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari narasi sejarah Indonesia. Pemikiran ini mencerminkan pandangan Ruggiero
(2018) yang menyatakan bahwa "Kehidupan dalam fiksi lebih baik, dan sastra membantu kita
melihat permasalahan yang ada di lingkungan kita... sastra mengingatkan kita akan buruknya
kondisi dunia ini dan dengan demikian memberikan harapan bahwa dunia ini bisa
diperbaiki."
Sehubungan dengan itu, penelitian ini menggunakan pendekatan analisis wacana kritis
dengan menggunakan teori Teun A Van Djik untuk menjelaskan Representasi Identitas dan
Kelompok yang ada dalam teks dalam antologi Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma.

PEMBAHASAN
Antologi Saksi Mata diterbitkan pertama kali oleh penerbit Bentang Budaya pada tahun 1994.
Antologi yang dijadikan sumber data dalam penelitian ini adalah buku Saksi Mata cetakan
pertama yang diterbitkan oleh Mizan Media Utama pada tahun 2016.
Buku ini memiliki tebal 150 halaman dan terdiri dari 16 cerita pendek, antara lain ialah
cerpen “Saksi Mata”, “Telinga”, “Manuel”, “Maria”, “Salvador”, “Rosario”, “Listrik”,
“Pelajaran Sejarah”, “Misteri Kota Ningi (atawa The Invisible Chirstmas)”, “Klandestin”,
“Darah itu Merah, Jendral”, “Seruling Kesunyian”, “Salazar”, “Junior”, “Kepala di Pagar Da
Silva”, dan “Sebatang Pohon di Luar Desa”.
Selama pemerintahan rezim Orba berkuasa, pemerintah berhasil meningkatkan kekuasaannya
sambil menghilangkan gejala-gejala protes yang efektif dan berkelanjutan terhadapnya.
Membuat masyarakat kehilangan minat dalam urusan politik menjadi sangat penting untuk
menjaga stabilitas pembangunan ekonomi (Faruk, 1994). Orba menggunakan berbagai faktor
utama seperti nasionalisme dan Pancasila untuk merendahkan oposisi terhadap kebijakan-
kebijakan negara (Fuller, 2011). Sejak tahun 70-an, opini atau pandangan mulai disampaikan
dengan sangat hati-hati. Akibatnya, pada era 80-an, perkembangan sastra secara umum
menjadi semakin tidak pasti, baik dalam pengertian maupun dalam karya-karya itu sendiri.
Represi yang keras dan campur tangan militer dalam urusan politik menciptakan semangat
anti-totalitarianisme yang kuat. Beberapa pihak secara terbuka menentang melalui sastra,
contohnya Rendra dan Widji Thukul. Semangat ini kemudian diteruskan oleh Seno dalam
genre cerpen.
Cerita "Saksi Mata" berasal dari inspirasi Seno, yang menjadi saksi atas peristiwa insiden Dili
di Timor Timur pada tahun 1991. Seno mengabarkan peristiwa tersebut melalui sebuah
majalah di Jakarta. Namun, pada akhirnya Seno dipecat karena ia secara luas memberitakan
kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh militer di sana. Dalam cerita "Saksi Mata," Seno
membangun sebuah narasi di mana seorang saksi mata yang kehilangan kedua matanya
berjalan menuju ruang pengadilan sambil meraba-raba udara di depannya. Walaupun
terdengar aneh, gambaran ini berhasil memberikan efek kejutan dan ketakutan melalui
pemilihan kata-kata seperti 'darah', 'lubang mata', 'darah yang mengucur', dan sejenisnya. Hal
ini dapat diamati dalam potongan awal cerpen ini.
Saksi mata itu datang tanpa mata. Ia berjalan tertatih-tatih di tengah ruang
pengadilan dengan tangan meraba-raba udara. Dari lubang bekas tempat kedua
matanya mengucur darah yang begitu merah bagaikan tiada merah yang lebih
merah dari merahnya darah yang mengucur perlahan-lahan dan terusmenerus
dari lubang mata itu. (Ajidarma, 2016:2)
Representasi identitas berdasarkan pengalaman Seno yang kemudian dituangkan

pada kutipan sebelumnya menjelaskan bahwa Pada awalnya, Seno merepresentasikan

identitas sebagai seorang saksi yang menyaksikan peristiwa insiden Dili di Timor Timur.

Identitas ini menjadi penting karena ia memiliki pengalaman langsung terhadap kejadian

tersebut. Ketika Seno mengabarkan peristiwa tersebut melalui majalah, identitasnya semakin

tumbuh sebagai saksi yang ingin membawa kebenaran kepada masyarakat. Namun,

identitasnya menghadapi perubahan saat ia dipecat karena berbicara secara luas tentang

kejahatan kemanusiaan militer. Identitasnya kemudian berkembang menjadi seorang

penyampai kebenaran yang melawan ketidakadilan.

Dilain sisi terdapat kelompok dan konflik yang melatarbelkangi terciptanya cerpen

saksi mata yakni kelompok yang terlibat dalam konteks ini adalah militer yang melakukan

kejahatan kemanusiaan dan masyarakat yang menjadi korban. Seno adalah bagian dari

kelompok saksi yang ingin mengungkap kebenaran. Konflik timbul ketika kelompok militer

ingin menyembunyikan kejahatan mereka, sementara kelompok saksi dan korban ingin

membongkar kebenaran. Representasi kelompok dan konflik ini menciptakan dinamika yang

mempengaruhi perubahan identitas Seno dari seorang saksi menjadi penyampai kebenaran

yang dihargai dan dikritik oleh berbagai kelompok. Di samping suasana mengerikan yang

penuh dengan darah, Seno juga menggambarkan dirinya sebagai seseorang yang memberikan

kesaksian di hadapan media massa melalui berita. Dalam konteks ini, Seno mengalami

dilema antara menyampaikan kesaksian atau menyimpannya dengan rahasia. Namun, ia

menyadari bahwa menyimpannya dalam rahasia akan merendahkan martabat


kemanusiaannya. Akhirnya Seno menyampaikannya dalam bentuk sastra namun Seno

mampu mengolahnya dalam bentuk satire dan khas komedi, seperti dalam kutipan berikut.

“Ngomong-ngomong, kenapa Saudara diam saja ketika mata Saudara diambil


pakai sendok?”
“Mereka berlima, Pak.”
“Saudara, kan, bisa teriak-teriak atau melempar barang apa saja, kenapa Saudara
diam saja?”
“Habis, terjadinya dalam mimpi, sih, Pak.” (Ajidarma, 2016:6)
Meskipun tidak ada sebutan "Timor Timur" yang disebutkan dalam cerpen tersebut,

termasuk dalam antologi yang berisi 13 cerpen tentang Dili, konteks keberadaan cerpen

tersebut dapat diartikan sebagai berkaitan dengan Timor Timur. Kutipan tersebut terkait

dengan representasi identitas dan kelompok dalam konteks politik Orba, Seno

menggunakan diksi “mimpi” untuk menyembunyikan fakta sebenarnya, yang dapat

dimengerti dalam konteks situasi politik yang represif pada era Orba.

Peristiwa di Dili yang melibatkan pelanggaran hak asasi manusia yang luar biasa telah

dicemarkan oleh tindakan kejam pembantaian terhadap individu yang tidak bersenjata atau

yang mendukung kemerdekaan Timor Leste. Dalam laporan yang dikemukakan oleh Paul R.

Bartrop, pasukan militer Indonesia melakukan penembakan massal dengan senapan otomatis

di pemakaman Santa Cruz, mengakibatkan jumlah korban tewas sebanyak 273 orang.

Tindakan penembakan ini dilakukan oleh pasukan Indonesia, termasuk A Brimob 5485,

kompi A dan kompi D Batalion 303, serta kelompok campuran yang menyamar sebagai

preman, bersama dengan Batalion 744 dan kodim 1627. Seno secara cerdik mengomentari

peristiwa ini dalam bentuk simbolis, seperti yang tampak dalam kutipan berikut dari cerita

"Saksi Mata".

“Saya tidak sempat meneliti, Pak, habis mata saya keburu diambil, sih.”
“Masih ingat pakaiannya barangkali?”
“Yang jelas mereka berseragam, Pak.”
Ruang pengadilan jadi riuh kembali. Seperti dengungan seribu lebah. (Ajidarma,
2016:4)
Oleh karena itu, analisis terhadap konstruksi teks dalam cerpen "Saksi Mata" ini

mengindikasikan upaya teks untuk merekonstruksi elemen-elemen eksternalnya. Elemen-

elemen ini dipaparkan dan diubah agar dapat menggambarkan ketakutan yang diakibatkan

oleh kekuasaan represif Orba. Walaupun dominasi kekuasaan yang represif selalu menjadi

ancaman, hal tersebut tidak menghentikan struktur ideologi dalam teks yang menghasilkan

semangat kemanusiaan, keadilan, dan usaha pembebasan. Dalam menghadapi representasi

identitas, Seno menggunakan karakter saksi mata dalam cerita "Saksi Mata" sebagai simbolis

dalam menggambarkan keadaan tersebut. Melalui dialog antara saksi mata dan hakim di

ruang pengadilan, terungkap bahwa saksi mata tidak mampu melihat secara jelas apa yang

terjadi karena matanya telah diambil. Dialog ini menyoroti ketidakberdayaan individu dalam

menghadapi represi kekuasaan yang tak terkendali. Penggunaan istilah "mereka berseragam"

merujuk pada kelompok yang melakukan penembakan, yang menciptakan representasi

kelompok tersebut dalam konteks kejahatan yang terjadi.

Daftar Pustaka
Ajidarma, S. G. (2016). Saksi mata. Yogyakarta: Bentang.
Clark, M. (1996). Imaging East Timor: post-colonialism and identity in the short stories of
Seno Gumira Ajidarma. Australian National University.
Faruk.(1994) Pengantar Sosiologi Sastra: Dari strukturalisme Genetik sampai
Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fuller, Andy. (2011) Sastra dan Politik: Membaca Karya-Karya Seno Gumira Ajidarma.
Yogyakarta: Insist Press.
Ruggiero, V. (2018). Fiction, war and criminology. Criminology and Criminal Justice, 18(5),
604–616. https://doi.org/10.1177/17488958 18781198
Sayuti, S. A. (2014). Suara alam dalam “puisi karawitan” Narto Sabdo: dimanakah posisi
manusia? In Wiyatmi (Ed.), Bahasa dan Sastra dalam Perspektif Ekologi dan
Multikulturalisme (pp. 21– 29). Yogyakarta: Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai